• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaitan Positivisme Hukum dengan Konsep M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kaitan Positivisme Hukum dengan Konsep M"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

pg. 1

KAITAN PAHAM POSITIVISME HUKUM DENGAN

PRINSIP

MALUM PROHIBITUM

DALAM PROSES

PEMBENTUKAN ATURAN HUKUM PIDANA

Oleh Refki Saputra

i negara-negara modern, hukum positif dalam bentuk peraturan perundang-undangan dianggap yang paling legitimate untuk mengatur tingkah laku masyarakatnya. Dalam wilayah perkotaan dengan tuntutan hidup yang tinggi, masyarakat membutuhkan suatu nilai yang dapat diterima sebagai acuan dalam bertingkah laku. Hal tersebut dibutuhkan agar tidak terjadi kekacauan jika masing-masing pihak menilai bahwa sikap merekalah yang paling benar diantara yang lain. Dalam hal ini prinsip kepastian menjadi dominan untk menjaga keamanan dan ketertiban, karena dengan adanya kepastian maka mereka bisa memprediksi tindakan masing-masing.

Kepastian merupakan hal yang paling esensial dalam aturan yang mengatur atau memiliki sanksi pidana. Setiap perbuatan yang dilarang serta diancam dengan sanksi pidana bagi siapa yang melanggarnya harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan negara, dalam hal ini undang-undang. Hal ini dikenal dengan asas legalitas dalam hukum pidana yang berbunyi, nullum delictum nulla poena siene previa lege poenali (tiada delik, tiada pidana, tanpa undang-undang pidana terlebih dahulu). Hal demikian dianggap penting karena hukum pidana merupakan domain hukum publik, dimana negara memiliki sejumlah kewenangan untuk memaksakan hukum kepada warga negaranya.

Dalam perspektif rule of law, adanya ketentuan hukum yang jelas dan terbuka merupakan salah satu prinsip negara hukum atau rule of law sebagai suatu formal legalitiy. Dalam hal ini Friedrich Hayek menyatakan pentingnya

kejelasan suatu peraturan adalah untuk allows people to know in advance which actions will expose them to the risk of sanction by the governmental apparatus .1 Hal ini menandakan jika terhadap perbuatan yang memiliki

sanksi pidana (tindak pidana), semuanya mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara.

1 Brian Z. Tamanaha, The History And Elements Of The Rule Of Law, Legal Studies Research

Paper Series, Paper No. 12-02-07, Public Lecture, Singapore Academy of Law, February 14, 2012. http://ssrn.com/abstract=2012845, h. 15

(2)

pg. 2 Namun sebenarnya, dalam konsep kriminologi, kejahatan dibedakan kedalam dua kategori umum, yaitu Mala in se dan Mala prohobita (Malum prohibitum). Mala in se adalah kejahatan dalam arti sosiologis (kejahatan dalam perspektif masyarakat sekitarnya). Sebuah tingkah laku manusia dalam pandangan Mala in se sudah dianggap tercela secara umum oleh pandangan masyarakat, walaupun tidak ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Sementara Malum prohibitum adalah kejahatan dalam perspektif yuridis. Dalam pandangan ini, suatu tindakan baru dianggap sebagai suatu kejahatan apabila sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara a contrario, suatu perbuatan tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana jika tidak dinyatakan sebagai perbuatan pidana oleh undang-undang pidana.

Konsep malum prohibitum mengindikasikan suatu perbuatan pidana (strafbaar) atau dapat dipidana. Konsekuensinya adalah, perbuatan yang tergolong criminal extra ordinaria (perbuatan pidana yang belum atau tidak dilarang oleh undang-undang), tidak dapat dituntut, karena belum dinyatakan sebagai malum prohibitum, walaupun perbuatan tersebut menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi korban dan/atau masyarakat.

Perbuatan yang tergolong crime extra ordinaria dinamakan sebagai strafwaardig (patut dipidana), tetapi bukan termasuk strafbaar, karena tidak dilarang oleh undang-undang pidana.2 Sebaliknya, perbuatan yang

senyatanya tidak perlu dipidana menurut masyarakat, maka dapat saja dituntut bagi siapa saja yang melanggarnya apabila sudah dinyatakan sebagai malum prohibitum dalam undang-undang.

Kondisi ini memiliki kesamaan konsep dan posisi dengan pandangan positivisme hukum, yang menganggap hukum hanya sebatas apa yang dituliskan undang-undang karena memiliki kepastian. Hal-hal yang berada diluar undang-undang bukanlah hukum karena tidak jelas batasannya yang lebih mengarah kepada hal-hal yang bersifat metafisis karena tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Tulisan ini hendak mengelaborasi kaitan antara pandangan positivisme hukum dengan konsep malum prohibitum dalam konteks perumusan tindak pidana.

2

(3)

pg. 3 Positivisme Hukum Beserta Asumsi Dasarnya

Paham Positivisme hukum tidaklah suatu konstruksi yang tunggal tentang karakter dari hukum itu sendiri, melainkan berpangkal pada pengaruh-pengaruh pandangan positivisme dalam ilmu pengetahuan. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal.

Pengetahuan demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode scientific yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis harus dihindari. Tujuannya adalah untuk menggusur sebagian besar filsafat dan agama sebagai sesuatu yang tidak bermakna dengan menetapkan criteria verifikasi, dan untuk menegaskan kembali serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang tersisa dengan menggunakan bahasa formal yang ketat.3

Adapun ciri-ciri positivisme ilmu anatara lain sebagai beikut:4 (a)

objektif/bebas nilai; hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin realitas (korespondensi); (b) fenomenalisme, ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi; (c) nominalisme, hanya konsep yang mewakili realitas partikularlah yang nyata. Contoh logam dipanaskan memuai, konsep logam dalam pernyataan ini mengatasi semua bentuk particular logam seperti; besi, kuningan, timah, dan lain-lain; (d) reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati; (e) Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam semesta yang menjelaskan supranatural; (f) Mekanisme, gejala yang dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk menjeaskan mesin-mesin (sistem meakis). Alam semeta dijelaskan sebagai sebuah jam besar (a giant clock work).

Sedangkan, aliran positivisme dalam hukum (positivisme hukum) muncul dari buah pikiran seorang matematikawan dan Filusuf Prancis Aguste Comte (1798-1857). Comte membedakan tiga tahap evolusi (Law of Three Stages) dalam pemikiran manusia. Tahap pertama adalah tahap teologis, yang terdapat dalam sistem tubuh manusia, di mana semua fenomena dijelaskan dengan mengacu pada penyebab supranatural dan intervensi yang terjadi

3 Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu

Hukum Indonsia, Genta Publishing, Yogyakarta, h. xiii.

(4)

pg. 4 pada diri manusia. Kedua adalah tahap metafisik, di mana pikiran merupakan jalan lahirnya prinsip-prinsip utama dan ide-ide yang dipahami dan merupakan kekuatan penggerak yang nyata dalam evolusi manusia. Tahap ketiga dan terakhir adalah tahap positivistik, yang menolak semua konstruksi hipotetis dalam filsafat, sejarah, dan ilmu pengetahuan dan membatasi diri pada pengamatan empiris dan koneksi fakta di bawah bimbingan metode yang digunakan dalam ilmu alam. Jadi pada intinya tahap positivistik merupakan pemikiran yang didasarkan pada ilmu alam yang mengkaji mengenai perkembangan pemikiran manusia.5

Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putera memandang prinsip-prinsip dari positivisme hukum adalah sebagai berikut;6 (a) Tata hukum Negara berlaku

bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan social (menurut Comte dan spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa (menurut Savigny), dan bukan juga karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dari instansi yang berwenang; (b) Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.

1) Positivisme Sosiologis

Menurut pandangan ini, hukum akan selalu dikaitkan dengan struktur sosial atau pranata sosial sebagai barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam bentuk material utuh. langkah-langkah dalam memahami hukum harus berdasarkan pengamatan terhadap objek dengan membuat suatu hipotesis yang merupakan anggapan yang bersifat tentative yang harus dibuktikan secara empiris.7

Maka dengan demikian, norma-norma kritis yang ada hubungannya dengan kesadaran akan keadilan didalam tubuh manusia tidak memiliki tempat dalam positivisme hukum ini. Penyelidikan terhadap hukum semata-mata sebagai suatu gejala sosial karena positivisme sosiologis tidak mengakui adannya hukum lain selain dari norma hukum yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh masyarakat.8

2) Positivisme Yuridis

Dalam positivisme yuridis tidak lagi mengaitkan hukum dengan lingkungan sosialnya seperti positivisme sosiologis yang telah diperbincangkan

5 Edgar Bodenheimer, 1962, Jurisprudence; The Philosophy and Method of the Law, Revised

Edition, Universal Book Traders, New Delhi, h. 91

6 Ibid., h. 72. 7

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitiam Hukum, Kencana, Jakarta, h. 27.

(5)

pg. 5 sebelumnya. Pandangan ini melulu berbicara kedayagunaan hukum sebagai instrumen secara mandiri, tidak terpenaruhi oleh unsur-unsur non hukum, karena hukum itu harus dianggap sakral dan valid.

John Austin (1790–1859) terkenal dengan pahamnya yang menyatakan bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi, atau dari yang memegang kedaulatan. Menurut Austin hukum adalah yang dibebankan untuk mengatur mahluk berpikir, perintah mana yang dilakukan oleh mahluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan.9

Selanjutnya menurut Austin, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai yang baik dan buruk.10

Konsep yang mendasar terhadap hukum yang analitik adalah yang memuat ketentuan perintah, sanksi dan kedaulatan. Pertama, perintah menghendaki orang lain untuk melakukan kehendaknya. Kedua, pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan (sanksi) bagi yang tidak melaksanakannya. Ketiga, perintah tersebut adalah pembedaan kewajiban anatara yang diperintah dengan yang memerintah. Keempat, perintah tersebut hanya akan terlakasana jika pihak yang memrintah itu adalah pihak yang berdaulat.11

Berbeda dengan Austin, Hans Kelsen (1881-1973) memberikan ajaran hukum yang bersifat murni dan yang kedua tentang ajaran stufenbau des recht yang mengutamakan adannya hierarkis dari pertauran perundang-undangan.12 Inti ajaran hukum murni ini adalah hukum harus dibersihkan

dari anasir-anasir non yuridis seperti nilai etis, sosiologis, politis dan sebagainya.

Menurut E. Sumaryono, kata murni digunakan tidak lain untuk spekulasi filosofis, dan bertujuan membebaskan gagasan tentang norma hukum positif dari penyelidikan dari norma hukum dengan perilaku actual manusia yang didasarkan atas hukum sebab akibat sebagai wujud manifestasi hukum kodrat.13 Hukum menurut pandangan hukum murni berada

9 Edgar Bodenheimer, Op.,cit., h 97.

10 Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 58 11 Ibid., h. 59.

12

Ibid., h. 60

(6)

pg. 6 pada sollen kategori bukan sebaliknya berada pada sein kategori (kenyataan

sosial). Jadi orang mena’ati hukum karena memang seharusnya ia wajib untuk mena’atinya sebagai suatu kehendak negara. Persoalan apakah orang pada kenyataannya menaati atau tidak itu berada diluar hukum yang hanya merupakan kenyataan sosial.

Kemudian berbicara tentang konsep stufenbau theory yang digunakan dalam ilmu perundang-undangan, menghendaki adanya suatu hierarkis (tingkatan) dalam penyusunan produk hukum, dimana peraturan yang ada harus bersumber pada hukum yang lebih tinggi lainnya.14 Artinya, norma hukum

baru dikatakan valid apabila diperintahkan oleh aturan lain yang lebih tinggi.15

Kaidah hukum tertentu akan dapat dicari sumbernya pada kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya. Kaidah yang merupakan puncak dari sistem pertanggapan tadi dinamakan sebagai kaidah dasar atau Grundnorm, Kaidah dasar tersebut tak dapat merupakan suatu kaidah hukum positif sebagai hasil keputusan legislative, oleh karena hal itu hanya merupakan hasil analisa cara berpikir yuridis.

Kaidah dasar tersebut menurut Kelsen, merupakan dasar dari segenap penilaian yang bersifat yuridis yang dimungkinkan didalam suatu tertib hukum dari negara-negara tertentu. Jadi, perumusan kaidah dasar dari suatu negara dapat berbeda dari negara lainnya, oleh karena hal itu tergantung dari sifat negara masing-masing. Peraturan yang paling tinggi dalam suatu tingkatan peraturan hukum bersifat hipotesis, sedangkan ketentuan yang lebih rendah akan bersifat konkret seperti perda.

Malum Prohibitum Dalam Pendekatan Positivisme Hukum

Dalam pandangan hukum tradisional, untuk membedakan sifat dari suatu kejahatan, dipergunakan istilah Mala In Se dan Mala Prohibita atau

Malum Prohobitum . Kejahatan dalam artian mala in se adalah perbuatan yang tercela secara moral (melanggar kaidah moral) dan sekaligus melanggar hukum. Sedangkan kejahatan yang termasuk malum prohibitu adalah perbuatan yang dinyatakan melanggar hukum oleh undang-undang. Biasanya kejahatan ini berkaitan dengan pelanggaran suatu undang-undang

14 Lili Rasjidi, op. cit., h. 61

(7)

pg. 7 yang menyangkut kepentingan umum (regulatory offences atau public welfare offences).16

Mala in se pada dasarnya tidak memerlukan otoritasi yang menyatakkan sebagai perbuatan tercela oleh sebuah undang-undang. Ia dengan sendirinya sudah mendefiniskan dirinya sebagai suatu kejahatan atau delik, atau dengan kata lain perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang natural. Sementara malum prohibitum pada umumnya dirumsukan tanpa mensyaratkan niat jahat (mens rea) pelakunya.

Ia tergolong suatu tindakan yang dapat berubah (not immutable), artinya dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang hukum yang berlaku. Hal ini menurut Hans Kelsen jika suatu perbuatan mungkin merupakan suatu delik di suatu komunitas masyarakat, namun tidak demikian dalam komunitas masyarakat yang lain karena perbedaan nilai moral yang dianut oleh masing-masing komunitas. Jeremy Bentham membahasakannya tentang suatu kesepakatan yang ada, sebenarnya tidak hanya berdasrkan prasangka, tetapi bervariasi menurut ruang dan waktu, adat istiadat, dan opini.17

Sebagai ilustrasi misalnya, perbuatan dapat diajukan dalam kasus pembunuhan dan gratifikasi (pemberian hadiah). Pembunuhan pada masyarakat modern merupakan perbuatan yang tercela dan sangat keji. Akan Tetapi, dibeberapa masyarakat tradisional diberbagai daerah di Indonesia Perbuatan membunuh orang lain yang menghamili anggota keluarganya atau kehormatannya bukan merupakan kejahatan sebagaimana yang dimaksud pada masyarakat modern melainkan pembalasan/penegakan aturan moral di masyarakat.

Kemudian gratifikasi (pemberian hadiah) kepada penyelenggara negara, di Indonesia dikategorikan sebagai penyuapan. namun hal itu tidak berlangsung di Cina. Masyarakat Cina dengan budaya khasnya menganggap pemberian hadiah berupa Ampao, dan sebagainya kepada pejabat publik bukan merupakan delik penyuapan melainkan sebagai saran menyarlurkan

16

Hanafi, Kebijakan Legislatif Dalam Menetapkan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan, Jurnal LOGIKA, Volume 3, Nomor 4 Tahun 1999. http://data.dppm.uii.ac.id/uploads/l0304092-103.pdf

17

(8)

pg. 8 kedermawanan/keikhlasan seseorang berbagi kepada orang lain. Dengan demikian, tatanan hukum dan budaya yang berbeda-beda pada masyarakat yang berbeda telah menggolongkan perbuatan tertentu sebagai delik atau bukan delik yang berbeda pula.

Konsepsi malum prohibitum yang identik dengan peraturan tertulis (undang-undang), tak lepas dari pengaruh perjalanan penggunaan asas legalitas dalam hukum pidana itu sendiri. Terkait dengan hal tersebut, banyak versi yang mendefinikan tentang asas legalitas. Namun paling tidak secara sederhana, isi daripada asas legalitas berbicara pada 3 (tiga) hal, yakni nullum delictum nulla poena siene previa lege poenali (tiada delik, tiada pidana, tanpa undang-undang pidana terlebih dahulu).

Asas legalitas muncul dari kondisi sosiologis abad pencerahan yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari perlakuan sewenang-wenang dari penguasa. Dimana sebelum abad penecerahan, penguasa dapat menghukum seseorang tanpa adanya aturan tertulis terlebih dahulu. Saat itu, penguasalah yang dapat menentukan perbuatan mana yang dapat dihukum atau tidak. Untuk penangkalnya, lahir asas legalitas yang merupakan instrumen perlindungan individu saat berhadapan dengan kekuasaan. Dengan demikian, apa yang disebut perbuatan yang dapat dihukum menjadi otoritas peraturan, bukan kekuasaan.

Pada intinya, asas legalitas menyandarkan operasionalisasinya dalam penegakan hukum kepada bentuk hukum tertulis. Pemilihan bentuk hukum tertulis ini dilakukan karena didasarkan pada keyakinan bahwa hanya dengan bentuk hukum tertulislah maka segala macam norma yang mengatur masyarakat dapat dirujuk dan dilihat dengan jelas dan pasti sehingga nantinya diharapkan dapat menjamin kepastian hukum.

Adanya perkembangan pemikiran bahwa segala macam norma atau aturan yang mengatur perilaku masyarakat harus dituangkan dalam bentuk hukum tertulis ini membawa konsekuensi munculnya apa yang dinamakan dengan pemikiran legisme, yakni pemikiran yang menyatakan bahwa apa yang dapat disebut sebagai hukum hanyalah undang-undang dan oleh karenanya segala macam norma diluar undang-undang bukanlah hukum yang merupakan filosofi utama dari aliran positivisme hukum.

(9)

pg. 9 dengan legalitas. Dalam arti tempat keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya. Teori hukum murni mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata, dan berusaha membebaskan ilmu pengetahuan hukum dari campur tangan ilmu-ilmu pengetahuan asing, seperti psikologi dan etika. Menurutnya hukum tidak bisa dijadikan sebagai obyek penelitian sosial.

Akibatnya, nilai-nilai diluar hukum, seperti moral tidak bisa dijadikan tolak ukur dalam membentuk suatu produk hukum. Jika dikaitkan dengan pemahaman tentang jenis kejahatan yang berupa perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat secara umum atau mala in se, maka hal demikian tidaklah mendukung prasyarat dari asas legalitas yang mengutamakan kepastian.

Moral masyarakat tidak dapat dijadikan ukuran, apa tindakan yang dianggap jahat dan mana yang tidak.18 Oleh karena itu, dari sudut pandang di atas,

dalam menentukan jenis perbuatan yang tergolong sebagai kejahatan, konsepsi Mala In Se jelas tidak dapat diterima, yang ada hanyalah Malum Prohibitum. Sebab suatu perbuatan baru dinyatakan sebagai malum atau delik jika perbuatan itu Prohibitum atau dilarang.

Maka tepatlah kirannya Kelsen kemudian menyatakan bahwa penetuan kejahatan berdasarkan undang-undang atau malum prohibitum merupakan konsekuensi dari azas-azas yang diterima secara umum dalam teori hukum pidana yaitu asas legalitas.19 Dengan demikian, suatu perbuatan dapat

dikatakan sebagai suatu delik hanya ketika telah dilekati oleh sanksi hukum oleh peraturan tertulis atau undang-Undang, maka semua delik dapat dikatakan sebagai mala prohibita.20 Dengan kata lain, suatu perbuatan yang

dianggap sebagai sesuatu yang jahat menurut hati nurani seseorang (mala in se) tetaplah bukan merupakan delik, jika atasnya tidak dilekati sanksi (hukuman/pidana).

Pada posisi ini, Kelsen pada dasarnya mengakui fakta bahwa ada tindakan-tindakan yang diakui oleh budaya manapun didunia yang dianggap sebagai

18 Dengan menggunakan teori positivisme Austin, maka jelas jika negaralah yang kemudian

menentukan perbuatan mana yang harus dituntut karena digolongkan sebagai kejahatan dan mana yang bukan. Dalam negara demokratis, hal suatu perintah negara sebelumnya dirumuskan oleh wakil-wakil dari masyarakat yang duduk di lemabaga perwakilan.

19 Hans Kelsen, 2010, Teori Umum tentang Hukum dan Negara , Judul asli General Theory of law

and State, diterjemahkanoleh Raisul Muttaqien, cetakan ke-V, Nusa Media, Bandung, h. 74.

(10)

pg. 10 tindakan tercela, hanya saja ia tidak setuju jika konsep mala in se dipakai dalam konteks hukum untuk menentukan adanya delik.21 Pandangan

positivisme Kelsen yang sangat mempengaruhi tentang konstruksi perbedaan antara mala in se dengan malum prohibitum, yang pada akhirnya dia menyimpulkan jika semua celaan terhadap suatu tindakan dalam konteks yuridis adalah bersifat malum prohibitum tersebut. Dalam ajaran positivisme hukum, membedakan hal demikian tidaklah begitu penting. Posisi ini juga disampaikan Douglas Husak, yang menyatakan:

Bagaimana kita harus menggambarkan perbedaan antara kedua jenis kejahatan (mala in se dan mala prohibita)? Aku tidak akan mencoba untuk menggambarkan dan mengkritik berbagai upaya para ahli yang telah ada untuk menjawab pertanyaan ini. Karena perbedaan antara malum in se dan malum prohibitum begitu sulit dipahami, banyak teori tampaknya telah meninggalkan perbedaan ini sama sekali. 22

Namun, pembedaan tersebut, pada faktanya tetap saja penting, terutama dalam hukum pidana yang memberlakukan sistem yang tidak mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. Dalam sistem common law yang tidak berbasis perundang-undangan, suatu perbuatan tindak pidana ditentukan berdasarkan pembedaan mala in se atau mala prohibita tersebut.

Tidak hanya di negara yang menganut common law, pembedaan Mala in se atau mala prohibita ini diperlukan dalam sistem berbasis perundang-undangan dalam hubungannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy) yakni dalam merumuskan suatu perbuatan pidana atau bukan. Contoh misalkan kasus yang aktual saat ini di Indonesia, apakah perkawinan siri atau di bawah tangan lebih tepat sebagai perbuatan pidana dan dengan sanksi pidana berkaitan dengan kebijakan kriminal yang tepat di Indonesia.

21 T. Suhaimi, 2009, Penentuan Kategori Mala In Se dan Mala In Prohobita Dalam Ketentuan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Tesis, h. 140.

22

(11)

pg. 11

Daftar Pustaka

Anton F. Susanto, 2010, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonsia, Genta Publishing, Yogyakarta.

Brian Z. Tamanaha, The History And Elements Of The Rule Of Law, Legal Studies Research Paper Series, Paper No. 12-02-07, Public Lecture, Singapore Academy of Law, February 14, 2012. http://ssrn.com/abstract=2012845.

Deni SB Yuherawan, Kritik Ideologis Terhadap Dasar Kefilsafatan Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 2 Mei 2012, Universitas Airlangga, Surabaya.

Douglas Husak, 2008, Overcriminalization : The Limits Of The Criminal Law, Oxford University Press, New York.

Edgar Bodenheimer, 1962, Jurisprudence; The Philosophy and Method of the Law, Revised Edition, Universal Book Traders, New Delhi.

Hanafi, Kebijakan Legislatif Dalam Menetapkan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan, Jurnal LOGIKA, Volume 3, Nomor 4 Tahun 1999. http://data.dppm.uii.ac.id/uploads/l0304092-103.pdf

Hans Kelsen, 2010, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Judul asli General Theory of law and State, diterjemahkanoleh Raisul Muttaqien, cetakan ke-V, Nusa Media, Bandung.

Jeremy Bentham, 2010, Teori Perundang-undangan; Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum perdata dan Hukum Pidana, Judul Asli The Theory of Legislation diterjemahkan oleh Nurhadi, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.

Lili Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Miftakhul Huda, Majalah Konstitusi No. 37-Februari 2010.

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitiam Hukum, Kencana, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

(CLEARANCE FORM) DITANDA TANGANI OLEH GURU DI SARANKAN UNTUK MENGAMBIL TIKET UPACAR LULUSAN DARI PENASEHAT (COUNSELOR) SELESAI SEKOLAH... SENIN, 12 JUNI PERPUSTAKAAN

Pada penelitian ini ekspresi protein p53 mutan didapatkan pada 5 dari 10 kasus melanoma, dengan kurang dari 10% sel tumor yang terwarnai sedangkan pada kasus nevus

3.3.3 Bagi setiap kapal yang mempunyai satu atau lebih tingkap samping yang diletakkan sedemikian rupa sehingga persyaratan paragraf 3.3.1 akan berlaku

Benih yang dipakai yaitu benih varietas pepaya yang bersifat unggul, produktif, dan berkualitas baik. Caranya adalah dengan melakukan penyerbukan sendiri pada bunga pepaya

Hasil selanjutnya adalah hasil data yang didapatkan dari hasil olah data peneltian pada variabel persepsi nilai pelanggan, dimana pada variabel membahas mengenai

Recommendation concerning the Aerodrome Safety For Manouvering Area against Local Government Regulation (Perda) on the Building Construction in Tangerang City. According to

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.992 artinya 99,2 persen variasi dalam tingkat produksi dipengaruhi oleh variable

bangunan tidak signifikan. Menggunakan taraf signifikansi 5% dengan memakai uji dua arah dan derajat kebebasan adalah 2 dari tabel statistik memperoleh t 2;0,025 =