• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Manusia Terdidik Ulul Albab dalam (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep Manusia Terdidik Ulul Albab dalam (1)"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep

Manusia

Terdidik

(Ulul Albab)

dalam Islam

▸ Baca selengkapnya: jelaskan hikmah yang diperoleh dalam mempelajari rasul ulul azmi

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah  yang telah menganugerahi kita beragam kenikmatan kepada kita semua, khususnya nikmat iman, islam, potensi akal, jiwa dan tubuh yang sehat.

Shalawat serta salam atas Nabi Muhammad

, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya yang mengikuti beliau dengan ihsân hingga akhir zaman.

Makalah tafsir pendidikan ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Tafsir Pendidikan. Dalam penyusunannya, tentu tak lepas dari bantuan banyak pihak terutama kepada orangtua, tim dosen pengampu mata kuliah Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan yaitu Yth. Prof. Dr. Didin Hafidhudin dan Yth. Dr. Ibdalsyah, MA, dan rekan-rekan Pascasarjana di kelas IA Magister Pendidikan Islam UIKA Bogor yang tidak mungkin penyusun sebutkan satu persatu.

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... 1

KATA PENGANTAR... 2

DAFTAR ISI... 3

BAB I PENDAHULUAN... 4

I.1. Latar Belakang... 4

I.2. Rumusan dan Pembatasan Masalah... 7

I.3. Tujuan Penelitian... 7

I.4. Metode Penelitian ... 7

BAB II PEMBAHASAN II.1. Pengertian Pendidikan... 8

II.2. Pengertian Ulul Albâb dalam al-Qur’an ... 9

II.3. Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam ... 13

II.4. Aplikasi Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Kehidupan ... 54

BAB III PENUTUP ... 57

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang utama dalam kehidupan, ia adalah asas membina masyarakat dan sumber kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan dalam pergulatan.1 Dan pendidikan yang benar menjadi kunci tingginya suatu peradaban umat manusia. Luar biasanya al-Qur’an al-Karim pun berbicara mengenai pendidikan, termasuk karakteristik manusia terdidik yang setidaknya diwakili istilah ulul albâb yang tidak kurang disebutkan sebanyak 16 kali dalam al-Qur’an, dan di antaranya ditafsirkan oleh Rasulullah

dalam hadits-haditsnya yang mulia. Dan hal itu kian menjadi penting karena kedudukan al-Qur’an dan as -Sunnah yang menjadi pedoman hidup manusia.

Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad

, keagungannya tak disangsikan lagi

terbukti dari masa Rasulullah

hingga saat ini, dimana al-Qur’an telah menarik perhatian banyak umat manusia karena ungkapan dan kandungan pesan-pesannya yang agung dari Allah Rabb Alam Semesta. Dr. Samih ’Athif Az-Zayn menuturkan:

نآرقلا perantaraan Ar-Rûh Al-Amîn Jibrildengan lafazh berbahasa arab dan makna-makna yang murni, sebagai bukti bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan rujukan bagi

(5)

manusia mengambil petunjuk dengan petunjuknya, dan mendekatkan diri beribadah kepada Allah dengan membacanya, tersusun di antara lembaran-lembaran mushhaf, diawali Surat al-Fatihah, ditutup dengan Surat An-Nâs, dan dinukil kepada kita secara mutawatir.”3

Maka Konsep ulul albâb (manusia terdidik) ini menjadi sangat penting untuk dikaji setidaknya karena dua hal yang satu sama lain saling terkait:

Pertama, Tidak ada satu huruf pun dalam al-Qur’an yang tidak bermakna, setidaknya hal itulah

yang tersurat dalam ungkapan para pakar sastra arab, baik dari kalangan muslim maupun non muslim.

Salah seorang Dosen Tafsir (seorang doktor di bidang ilmu balaghah dari salah satu Universitas Islam terkemuka di dunia, Universitas al-Azhar) di tempat penyusun bekerja4, Dr. Hesham Mohamed Taha el-Shanshoury ketika kami berdiskusi mengenai ilmu balaghah dan tafsir al-Qur’an menuturkan:

ل كِل

ف ْر َح

ْنِم

ِفْو ر ح

ِنآ ْر قلا

ِهْيِف

را َ َْْأ

“Setiap huruf dari huruf-huruf Al-Qur’an mengandung pelbagai rahasia (kandungan makna).” Maka tak heran jika ahli sastra arab Quraisy yang tetap mati dalam kekafiran, Al-Walid bin al-Mughirah pun tak mampu menyangkal keagungan ungkapan al-Qur’an sehingga ia tak kelu untuk berkata:

نم اًئيش هلوقي يذلا هبشي ام هاو ينم هديصقو هزجرب ملعأ او ينم راعشْاب فرعأ لجر مكنم ام هاو

ةواطل هيلع نإو ةواح هلوقي يذلا هلوقل نإ هاو ،اذه

“Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian (Bangsa Quraysi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir dariku, dan tidak ada pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain diriku, Demi Allah tidak ada satupun dari apa yang dibaca Muhammad menyerupai ini semua, Demi Allah sesungguhnya ungkapan yang disampaikannya sangat manis dan apa yang dituturkannya sangat indah.”5

3D . Sa ih Athif az-Zayn, Il Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, Mesir: Dâr al-Kitâb al-Mishri, Cet. I, 1410 H, hlm. 308.

4 Kulliyyatusy-Sya î ah wad-Dirâsât Al-Islâmiyyah Jâ i atu -Râyah.

(6)

Padahal al-Walid bin Al-Mughirah adalah orang yang tidak beriman dan keras pada kekafirannya. I’jaz al-Qur’an itu terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri. Orang yang telah mendengarkan Al-Qur’an, dan mendengarnya hingga hari kiamat akan terus merasa kagum dengan kekuatan daya tarik dan balaghah-nya, walaupun hanya sekedar mendengar satu kalimat saja dari al-Qur’an.6 Dan penyusun tegaskan bahwa di antara ungkapan yang menarik untuk diperhatikan adalah frase ulul albâb yang disebutkan 16 kali dalam al-Qur’an, jumlah yang tidak sedikit dan menunjukkan bahwa frase ini penting untuk dipahami. Dimana satu kata dalam al-Qur’an pun menjadi hal yang urgen untuk kita pahami.

Kedua, Kedudukan al-Qur’an al-Karim merupakan petunjuk hidup manusia yang shâlih likulli

makânin wa zamânin (sesuai di setiap tempat dan waktu) dan tanpanya manusia akan hidup tersesat. Allah  berfirman:





 













 

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu,

petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl [16]: 89)

Makna frase (ءيش لكل ًن ي ت) adalah apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh ath-Thabari7, Imam ats-Tsa’labi8, Imam Abu Bakr al-Jazairi9 dan selain mereka dalam

kitab-kitab tafsir al-Qur’an.

Maka sudah pasti kedudukan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia yang shâlih likulli makânin wa zamânin (sesuai di setiap tempat dan waktu) dan tanpanya manusia akan hidup tersesat. Dan salah satu kandungan al-Qur’an mengenai pendidikan adalah karakteristik manusia terdidik (ulul albâb), yang sudah semestinya dipelajari, ditela’ah, ditafakuri, ditadaburi dan diaplikasikan dalam kehidupan, waLlâhul Musta’ân.

6

Ibid.

7 Muha ad bi Ja î bi Yazîd bi Katsî Abu Ja fa ath-Thabari, Jâ i al-Bayâ fî Ta wîl al-Qu â ,

Bei ut: Mu assasatu ‘isâlah, Cet. I, H, jilid XVII, hl . .

8 Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa labi, Al-Kasyf wa al-Bayâ a Tafsî al-Qu â , Beirut: Dâr

Ihyâ at-Turâts al-A abi, Cet. I, H, jilid VI, hl .

(7)

I.2. Rumusan & Pembatasan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini:

1. Apa pengertian ulul albâb (manusia terdidik) khususnya yang disebutkan dalam ayat-ayat al-Qur’an?

2. Bagaimana karakteristik atau konsep ulul albâb (manusia terdidik) dalam Islam?

Sesuai dengan tema Konsep Manusia Terdidik (Ulul Albâb) dalam Islam, maka pembahasan dalam penelitian ini dibatasi dalam perspektif al-Qur’an, dengan tambahan uraian penjelasan dari as-Sunnah dan penjelasan para ulama.

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian makalah ini adalah:

1. Menjelaskan pengertian ulul albâb (manusia terdidik) yang disebutkan dalam al-Qur’an. 2. Menjelaskan karakteristik ulul albâb (manusia terdidik) dalam Islam.

I.4. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif (deskriptif kualitatif) dengan pendekatan studi kepustakaan (library research). Yakni mengungkap teori-teori atau konsep-konsep utama dan turunannya dalam penelitian ini dengan kajian komperhensif mengolah dan menganalisa data-data primer dan data-data sekunder, mencakup kitab-kitab tafsir, syarh hadits, tarbiyah, tsaqafah, akidah, sirah, dan lain sebagainya, baik literatur klasik maupun kontemporer, yang berkaitan dengan konsep ulul albâb dalam Islam.

(8)

BAB II

PEMBAHASAN

II.1. Pengertian Pendidikan (

Tarbiyyah

)

10

Memahami konsep atau karakteristik manusia terdidik (ulul albâb) maka erat kaitannya dengan pemahaman terhadap pendidikan yang penting untuk penyusun uraikan sebelum inti pembahasan, menukil penjelasan para pakar.

Istilah pendidikan dalam bahasa arab sepadan dengan istilah tarbiyyah (ةيبرت) yang berasal dari akar kata ري - , dimana istilah ini secara bahasa mengandung sejumlah makna: Pertama, Perbaikan (حاصإا), Ibn Manzhur mengatakan:

هحلصأ اذإ ءيلا بر

Rabba asy-Syai-a jika ia memperbaikinya.”11

Kedua, Peningkatan dan penambahan ( يزلا ء لا), makna ini diungkapkan dalam ayat:

 hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (QS. Al-Hajj [22]: 5)

Ketiga, Tumbuh dan berkembang (عرعرت أشن). Ibn al-Arabi berkata:

تيبر اهو يزنم ةكمب يإف ينع ائاس نكي نمف

“Dan siapa yang menjadi penanya mengenai diriku # Maka di Makkah lah tempat tinggalku

dan di sanalah aku tumbuh.”

Dalam sya’irnya di atas, Ibn al-Arabi mengungkapkan bahwa dirinya tumbuh dan berkembang di suatu tempat yakni Makkah al-Mukarramah.

Keempat, Memelihara dan mengurusi urusannya (رمأ ىل ت هس س). Dr. Khalid bin Hamid al-Hazimi menyebutkan ungkapan:

10 Dr. Khalid bin Hamid al-Hazimi, Ushûl at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah, KSA: Dâ Âla al-Kutub, Cet. I, 1420 H/2000, hlm. 17-18.

(9)

مهتسس يأ موقلا تيبر

Rabbaytu al-Qawm yakni aku mengatur urusan mereka.”12

Kelima, Pengajaran (مي عتلا). Ibn Manzhur mengatakan bahwa kata ar-rabbâni (ين برلا) berasal dari kata ar-rabb ( رلا), yang artinya tarbiyah. Dan frase ulama ar-rabbani maknanya adalah orang yang cakap dalam ilmu atau seseorang yang menuntut ilmu karena Allah.

Berdasarkan perincian definisi pendidikan (tarbiyyah) di atas, setidaknya kita bisa memahami bahwa manusia terdidik sejatinya adalah manusia yang telah meraih pelajaran, peningkatan kualitas diri dan tumbuh berkembang menjadi sosok yang beradab (ulul albâb).

II.2. Pengertian Ulul Albâb

dalam Al-

Qur’an

Frase ulul albâb terdiri dari dua kata yakni ( ل أ) yang berarti memiliki; mempunyai13 dan ( لأا) yang berarti akal, dan digunakan dalam bahasa arab untuk menggambarkan bagian termurni, terpenting dan terbaik dari segala sesuatu, atau dalam bahasa lainnya yakni bagian inti dari segala sesuatu.14 Simpulan ini sebagaimana diungkapkan dalam kamus-kamus arab; ulama pakar bahasa yakni Imam Al-Fayruz Abadi (w. 817 H)15 dalam al-Qâmûs al-Muhîth menjelaskan bahwa kata al-albâb adalah jamak dari al-lubb yang artinya termurni dari segala sesuatu yakni qalbunya dan akal.16 Hal senada dijelaskan oleh Imam Muhammad bin Abi Bakr ar-Râzi dalam Mukhtâr ash-Shihâh.17

Penjelasan Imam Ibn Manzhur (w. 711 H) dalam Lisân al-’Arab,18 tak jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan dalam kitab al-Mu’jam al-Wasîth bahwa al-lubb bagian termurni,

12 Ibid, hlm. 18.

13 Ibn Manzhur, Lisân al-A ab, jilid XII, hlm. 215. 14

Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal ah Ji, dkk, Mu ja Lughatil Fu ahâ: A abiy-Inkilîjiy, Beirut: Dâr

an-Nafâ is, Cet. II, 1408 H.

15 Ia adalah Al-Alla ah Majduddi Muha ad bi Ya ub al-Fayruz Abadi.

16Majduddi Muha ad bi Ya ub al-Fayruz Âbâdi, Al-Qâmûs al-Muhîth, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1429 H,

hlm. 1453, No. 8347 suku kata (ببل).

(10)

terpilih, inti dan hakikat dari segala sesuatu.19Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1434 segala sesuatu, yakni akal.”20

Qal’ah Ji pun menukil dalil ayat:

benar terdapat tanda-tanda bagi ulil albâb.” (QS. Âli Imrân [3]: 190)

Namun ternyata bukan sembarang akal, melainkan akal yang bersih atau terbebas dari kecacatan; hawa nafsu dan kecendrungan pada kejahatan. Salah seorang ulama pakar bahasa abad ke-4 H, Imam Al-Hasan bin 'Abdullah Abu Hilâl al-’Askariy21 pun menjelaskan dalam kitab al-Furûq al-Lughawiyyah: “Perbedaan antara al-lubb dan al-‘aql: pendapat kami bahwa al-lubb berfaidah menyucikan sifat-sifat pihak yang disifatinya, adapun al-’aql berfaidah menyimpulkan beragam informasi-informasi yang diperoleh pihak yang disifatinya, maka keduanya berbeda dari sisi ini.”22

Imam ar-Raghib al-Ashfahani pun menegaskan bahwa setiap lubb itu pasti akal namun tak setiap akal adalah lubb. Imam Ar-Raghib al-Ashfahani menuturkan: “(Lubb) al-lubb : akal yang menjadi penyuci dari berbagai kecacatan.... Dikatakan pula: yakni apa-apa yang suci

21 Ia adalah Al-Imâm al-Adîb al-Lughawiy Al-Hasan bin 'Abdullah bin Sahal bin Sa'îd bin Yahyâ bin Mahrân al-'Askariy.

(11)

itulah, Allah menyematkan hukum-hukum yang tidak akan dipahami kecuali oleh akal-akal yang suci yang disebut ulul albâb.”23

Karakteristik allubb ini diisyaratkan dalam ayat:

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat-ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât,

semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)

melainkan orang-orang yang berakal. (mereka berdoa): "Ya Rabb Kami, janganlah Engkau jadikan hati Kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada Kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi Engkau; karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha

pemberi (karunia).” (QS. Âli Imrân [3]: 7-8)

Yakni mengenai karakteristik golongan ulul albâb dan do’a mereka kepada Allah agar dijauhkan dari kecendrungan terhadap kesesatan setelah Allah berikan mereka petunjuk kepada kebenaran. Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 197, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasythah menjelaskan bahwa Allah mengarahkan seruan kepada golongan ulul albâb karena mereka adalah golongan yang memahami kebaikan dan keburukan, rahmat Allah dari siksa-Nya, dan memahami apa-apa yang bermanfaat bagi kehidupan mereka dan apa-apa yang membahayakan, dan oleh karena itulah mereka menjauhi kemaksiatan kepada Allah, serta

(12)

mendekatkan diri kepada-Nya dengan keta’atan-keta’atan sehingga jadilah mereka menjadi golongan yang bertakwa.24

Berdasarkan pemahaman ini, maka orang-orang yang terjangkit penyakit akut ’sepilis’ (sekularisme, pluralisme dan liberalisme) jelas tidak termasuk ke dalam golongan ulul albâb meski nama mereka diawali gelar profesor sekalipun, karena pemikiran yang mereka emban selama ini jelas melenceng dari akidah dan syari’at Islam, dekonstruktif, sesat dan menyesatkan, wal ’iyâdzu biLlâh.

Namun, realitas dari akal itu sendiri adalah daya berpikir untuk menghasilkan hukum realitas tertentu dengan cara memindahkannya ke dalam otak melalui pengindraan indra terhadapnya dengan disertai informasi awal.25 Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 30-33 mengenai Adam a.s. yang mengajari para Malaikat mengenai benda-benda, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil menjelaskan realitas akal yakni berpikir yang bisa terwujud dengan 4 syarat: Pertama, Realitas yang terindra dimana seseorang bisa mengindranya atau mengindra pengaruhnya. Kedua, Alat pengindraan yang sehat yang biasa dipakai seseorang untuk mengindra realitas atau pengaruhnya. Ketiga, Otak yang sehat dimana realitas yang terindra dipindahkan kepadanya. Keempat, Informasi sebelumnya untuk menafsirkan realitas.26

Maka seorang muslim yang menggunakan akalnya sebagaimana mestinya (ulul albâb), ia akan mentadaburi ayat-ayat-Nya sehingga mencapai keimanan pada-Nya dengan kokoh, bukan keimanan taklid.

Istimewanya, al-Qur’ân al-Karîm menyebutkan karakteristik golongan ulul albâb ini tidak kurang dari 16 kali, yakni dalam ayat-ayat berikut:

1. QS. Al-Baqarah [2]: 269 2. QS. Al-Baqarah [2]: 197 3. QS. Al-Baqarah [2]: 179

24 Atha bi Khalil Abu a

-Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. II, 2006, hlm. 249.

25 Muhammad Waghfur Wahid MA, Koreksi Atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, Bangil: Al-Izzah, Cet. I, 2002, hlm. 109. hal itu sebagaimana dijelaskan oleh al-Alla ah Ta iyuddi bi Ib ahi a

-Nabha i, Syaikhul Ushul Atha bi Khalil Abu a -‘asythah da D . Sa ih Athif az-Zayn dalam kitab-kitab karya mereka.

(13)

4. QS. Âli Imrân [3]: 7 5. QS. Âli Imrân [3]: 190 6. QS. Al-Mâ’idah [5]: 100 7. QS. Ar-Ra’du [13]: 19-22 8. QS. Ibrâhîm [14]: 52 9. QS. Shâd [38]: 29 10.QS. Shâd [38]: 43 11.QS. Az-Zumar [39]: 9 12.QS. Az-Zumar [39]: 18 13.QS. Az-Zumar [39]: 21 14.QS. Ghâfir [40]: 54 15.QS. Ath-Thalaq [65]: 10 16.QS. Yûsuf [12]: 111

Maka memahaminya menjadi hal yang urgen, dan tak ada satu huruf pun dari al-Qur’an yang tidak mengandung pelajaran, Dr. Hesham Mohamed Taha el-Shanshoury berkata:

ل كِل

ف ْر َح

ْنِم

ِفْو ر ح

ِنآ ْر قلا

ِهْيِف

را َ َْْأ

“Setiap huruf dari huruf-huruf Al-Qur’an mengandung pelbagai rahasia (kandungan makna).”

II.3. Konsep Manusia Terdidik dalam Al-

Qur’an

Apa karakteristik atau konsep manusia terdidik dalam Islam sebagaimana ditunjukkan khususnya oleh dalil-dalil al-Qur’an yang terkait satu sama lain.

II.3.1. Berakidah Kokoh: Mentadaburi Ayat-Ayat Kawniyyah

Allah  berfirman:

















 





(14)

Menafsirkan ayat yang mulia ini, Ibn Hibban meriwayatkan hadits Rasulullah

:

َن هَأ َرَق ْنَِم لْيَو

هَل لْيَو هَل لْيَو ،َن ه ْرَبَدَتَي َََْو

Celaka bagi orang yang membacanya namun tidak mentadaburinya, celakah ia, celakah ia.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahîh-nya)

Ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]: 164, Syaikhul Ushul ‘Atha bin Khalil menukil dalil hadits riwayat Ibn Abi ad-Dunya’ dan Ibn Mardawaih dari ‘Aisyah r.a., bahwa Nabi

ketika membaca ayat tersebut, bersabda:

لْيَو

Dunya’ dan Ibn Mardawaih dalam ad-Dur al-Mantsûr (II/111))27

Dalil-dalil di atas adalah dalil dari sekian banyak dalil yang menekankan pentingnya mentadaburi ayat-ayat kawniyyah (alam semesta) sebagai dalil petunjuk dan argumentasi untuk semakin memperkuat keimanan kepada keberadaan Sang Pencipta, yakni Allah . Mentadaburi ayat-ayat-Nya dan senantiasa mengingat-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Âli Imrân [3]: 191)

Ketika menafsirkan ayat tersebut, al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari menjelaskan bahwa potongan kalimat (اً عق ًم يقه رك ي ني لا) dalam QS. Âli Imrân [3]: 191 merupakan sifat dari

ulul albâb yang disebutkan dalam ayat sebelumnya.28 Rasulullah

pun telah mencontohkan

27 Atha bi Khalil Abu a -Rasythah, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr: Sûratul Baqarah, hlm. 190-192.

28Muha ad bi Ja î bi Yazîd bi Katsî Abu Ja fa ath-Thabari, Jâ i al-Bayâ fî Ta wîl al-Qu â ,

(15)

bagaimana beliau mentadaburi ayat-ayat Allah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ’Abbas , ia berkata:

تِب

berbincang-bincang bersama istrinya sesaat. Kemudian beliau tidur. Tatkala tiba waktu sepertiga malam terakhir, beliau duduk dan melihat ke langit lalu beliau membaca; “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Ali Imran; 190). Lalu beliau berwudhu dan bersiwak, kemudian shalat sebelas raka'at. Setelah mendengar Bilal adzan, beliau shalat dua raka'at kemudian beliau keluar untuk shalat subuh.” (HR. al-Bukhâri)

Dalam ayat-Nya yang lain, Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman:



“Dan Kami anugerahi Dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi ulil albâb.” (QS. Shâd [38]: 43)

Makna dari frase ( َ لأا يل أ َرك َ ) yakni sebagai pelajaran bagi orang-orang yang berakal sehingga mampu mengambil pelajaran dan mengambil faidah darinya29, istimewanya kata ( رك لا) ini lebih mendalam maknanya daripada kata (رك لا). Imam ar-Raghib al-Ashfahani ketika menjelaskan kata ( رك لا) menuturkan: “Dan adz-dzikrâ yakni banyak berzikir, dan kata ini lebih dalam daripada kata adz-dzikru, Allah  berfirman: (sebagai rahmat dari Kami dan peringatan-peringatan bagi orang-orang yang berakal).”30

29 Ibid, juz XII, hlm. 211.

(16)

Di sisi lain, banyak dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan dzikruLlâh, al-Hafizh Ibn al-Jawzi (w. 597 H) menuliskan subbab berjudul “ه رك ى ع ثحلا” (anjuran untuk mengingat Allah) yang memaparkan dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah mengenai anjuran dan keutamaan dzikruLlâh31, di antaranya firman Allah ’Azza wa Jalla:













“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzâriyât [51]: 55)

Dalam QS. Âli Imrân [3]: 191 di awal, diisyaratkan di antara karakter ulil albâb adalah mereka yang mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, serta menggunakan akalnya untuk mentadaburi ayat-ayat-Nya. Dan dalam QS. Shâd [38]: 43, terdapat karakter bahwa golongan ulul albâb ini tak sekedar berzikir, melainkan banyak berzikir, sebagaimana dijelaskan oleh ar-Raghib al-Ashfahani. Kondisi berdiri, duduk dan berbaring pun merupakan gambaran dimana aktivitas harian seorang manusia tidak terlepas dari tiga kondisi tersebut; ketika bekerja maupun beristirahat, dan istimewanya bahwa aktivitas dzikruLlâh, tak terbatas zikir secara lisan, namun lebih dari itu yakni aktivitas menjalani kehidupan sesuai ajaran Islam, yakni berakidah dengan akidah Islam dan beramal dengan syari’at Islam sejatinya merupakan aktivitas riil dari mengingat Allah (dzikruLlâh). Itulah apa yang dijelaskan oleh al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim ketika menggambarkan pentingnya aspek kesadaran manusia, hubungan dirinya sebagai makhluk dengan Allah Al-Khâliq, yakni kesadaran ketika menegakkan berbagai aktivitas, sebagai hamba Allah yang senantiasa terikat dengan perintah dan larangan Allah ’Azza wa Jalla demi mengharap keridhaan-Nya.32

Dan jika kita telusuri lebih jauh, banyak ayat-ayat lainnya yang mendorong untuk mentadaburi ayat-ayat Allah. Di antaranya dalam empat ayat berikut yang mendorong untuk berpikir:

31 Abd a -‘ah a bi Ali Abu Al-Faraj (Ibn al-Jawzi), Bahr ad-Du û , Dâr ash-Shahâbah lit-Turâts, Cet. I, 1412 H, hlm. 24.

(17)

Pertama, QS. Al-Baqarah [2]: 266:

“Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang Dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 266) menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabb-nya.” (QS. Ar-Rûm [30]: 8)

(18)

Keempat, QS. Al-Hasyr [59]: 21: melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan

perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (QS. Al-Hasyr [59]: 21)

Ayat yang pertama mendorong manusia untuk memikirkan penciptaan makhluk-Nya. Ayat yang kedua mendorong untuk berpikir atas keajaiban penciptaan yang ada pada diri. Ayat yang ketiga dan keempat mendorong untuk berpikir atas peristiwa masa lalu. Dan itu semua merupakan ayat-ayat petunjuk atas keberadaan Allah.33 Lalu mengapa manusia tidak memanfaatkan potensi akalnya dengan sebaik-baiknya dengan batasannya sesuai petunjuk Islam? Pada sisi inilah para ulama memuji keutamaan akal pikiran yang dioptimalkan potensinya dengan benar sesuai petunjuk Islam. Disebutkan bahwa Imam ‘Ali bin Abi Thalib  bertutur dalam sya’ir34

(19)

“Anugerah Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akal pikirannya, tiada sesuatu pun dari berbagai keutamaan yang bisa menandinginya.”

“Jika Allah Yang Maha Pengasih menyempurnakan akal pikiran seseorang, maka sungguh akan sempurnalah akhlak dan orientasi hidupnya.”

“Seorang pemuda hidup dikenal di tengah manusia dengan kekuatan akal pikirannya, di atas akal pikiran itulah mengalir ilmu dan pengalamannya.”

“Seorang pemuda terhiasi hidupnya dengan kelurusan akal pikirannya, meski dirinya terhalang dari berbagai kasabnya.”

“Seorang pemuda tercemar hidupnya karena kerusakan akal pikirannya, meski dimuliakan ras dan nasabnya.”

“Dan barangsiapa yang meraih kemenangan dengan akal dan kecerdikannya, maka seseorang yang mulia dalam urusan kehidupan dunia akan dikalahkannya.”35

Mentafakuri Makhluk Bukan Khâliq

Islam telah menempatkan akal sesuai fungsi dan kadarnya. Dan di antara batasan kadar akal adalah mentafakuri makhluk Allah bukan Dzat-Nya. Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi (w. 742 H) menuturkan: “Maka mentafakuri Dzat-Nya Yang Maha Suci tidak diperbolehkan, karena akal akan gagal mencapai hal tersebut, karena Dzat Allah lebih agung dari apa yang terbersit dalam akal manusia dengan memikirkan Dzat-Nya, atau akan mengakibatkan timbulnya kerancuan dalam qalbu dengan penggambaran Dzat-Nya padahal:

 











“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan

Melihat.” (QS. Asy-Syûrâ’ [42]: 11)

Imam Ibn Qudamah melanjutkan: “Lain halnya dengan mentafakuri makhluk-makhluk Allah, al-Qur’an telah mendorong manusia untuk melakukannya, misalnya firman Allah:

35 Abd a -Rahman al-Mushthawi, Dîwân al-I â Ali bin Abi Thâlib, Beirut: Dâr al-Ma ifah, Cet. III, 1426 H, Qâfiyyah (ءابلا), hlm. 27-28. Lihat pula Abu al-Hasa Ali bi Muha ad bi Habib al-Mawardi, Adab ad-Du yâ

(20)

benar terdapat tanda-tanda bagi ulil albâb.” (QS. Âli Imrân [3]: 190)

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda

kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak

beriman.” (QS. Yûnus [10]: 101)36

Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 164)

Ketika menafsirkan ayat yang agung ini, Syaikhul Ushul ’Atha bin Khalil menjelaskan bahwa sesungguhnya bertafakur atas makhluk-makhluk Allah  berkonsekuensi secara qath’i kepada keyakinan bahwa bagi makhluk-makhluk tersebut ada Sang Pencipta yang Maha Agung, Maha Esa, tidak ada berhak diibadahi Nya, dan tidak ada sesembahan selain-Nya.37

36 Ah ad bi Muha ad bi Abd a -Rahman bin Qudamah Maqdisi, Mukhtashar Minhâj

al-Qâshidîn, Beirut: Dâr al-Khayr , Cet. III, 1418 H, hlm. 384.

(21)

II.3.2. Berakidah Kokoh: Mentadaburi Ayat-Ayat Qur’aniyyah

Al-Qur’an merupakan pedoman utama hidup manusia, tanpa petunjuknya manusia berada dalam kegelapan, terlebih dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah seperti di zaman ini. Sesungguhnya ia bagaikan apa yang dituturkan dalam sya’ir:

ردبلاك

“Bagaikan rembulan memalingkan perhatianmu memerhatikannya # memancarkan kepada kedua matamu cahaya yang kuat.”

“Bagaikan matahari di langit dan sinarnya # yang menaungi negeri-negeri di Timur dan

Barat.”38

Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman mengenai kedudukan al-Qur’an sebagai penjelasan, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.



“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu,

petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl [16]: 89)

Makna frase (ءيش لكل ًن ي ت) adalah apa-apa yang dibutuhkan oleh umat; mengetahui halal haram, pahala dan siksa, hukum-hukum serta dalil-dalil, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafih ath-Thabari, Imam ats-Tsa’labi dan Imam Abu Bakr al-Jazairi dalam kitab-kitab tafsir mereka. Imam ats-Tsa’labi (w. 427 H) misalnya menafsirkan:“(Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab

(Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu) manusia membutuhkannya baik berupa

perintah maupun larangan, halal dan haram serta batasan-batasan dan hukum-hukum Allah.”39

Imam Abu Bakar al-Jazairi pun menjelaskan bahwa kedudukan al-Qur’an sebagai penjelasan atas segala sesuatu yakni atas umat yang membutuhkan pengetahuan terhadap halal

38 Abu al-Qâsim bin Muhammad ar-Râghib Al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qu â , hlm. 3.

39 Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim ats-Tsa labi, Al-Kasyf wa al-Bayâ A Tafsî al-Qu â , Beirut: Dâr

(22)

haram, hukum-hukum serta petunjuk-petunjuk. Dan makna frase sebagai hud[an] yakni kedudukan al-Qur’an sebagai petunjuk dari segala kesesatan, dan sebagai rahmat khususnya atas mereka yang mengamalkan dan menerapkannya dalam diri sendiri dan kehidupan sehingga rahmat tersebut bersifat umum di antara mereka, serta sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri terhadap perintah dan larangan-Nya menjadi kabar gembira bagi mereka dengan ganjaran yang besar, pahala yang banyak pada hari kiamat, dan dengan pertolongan, kemenangan, kemuliaan di dunia ini.40

Al-Hafizh ath-Thabari (w. 310 H) pun ketika menakwilkan ayat di atas menjelaskan hal yang serupa, ia menuturkan:

“(Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu) Al-Qur’an ini telah turun kepadamu wahai Muhammad sebagai penjelasan atas apa-apa yang dibutuhkan oleh umat manusia; mengetahui halal dan haram, pahala dan siksa (sebagai petunjuk) dari kesesatan (dan rahmat) bagi orang yang membenarkan dan mengamalkan hukum-hukum Allah di dalamnya, perintah dan larangan-Nya, maka ia menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya (dan sebagai kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri) sebagai kabar gembira bagi orang yang ta’at pada Allah dan tunduk pada-Nya dengan bertauhid, dan patuh pada-Nya dengan keta’atan, maka Allah memberinya kabar gembira dengan ganjaran berlimpah di akhirat kelak dan besarnya kemuliaan-Nya.”41

Ini adalah salah satu dalil dari sekian banyak dalil-dalil lainnya yang menegaskan

petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)

Menafsirkan ayat di atas, Syaikhul Ushul ‘Atha’ bin Khalil menjelaskan: “Kemudian

Allah

menjelaskan bahwa Al-Qur’an Al-‘Azhim adalah:

40Jabi bi Musa bi Abdul Qadi bi Jabi Abu Bak Al-Jaza i i, Aysar at-Tafâsiir li Kalâm al-Ulya al

-Kabiir, Madinah: Maktabah al-Ulû wa al-Hikam, Cet. V, 1424 H, jilid III, hlm. 138-139.

(23)

(

“(Petunjuk bagi manusia): menunjuki mereka kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.”

(

“(Dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu): petunjuk-petunjuk yang jelas dan mukjizat bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk yang diturunkan Allah.”

(

 )

.ةئيسلا لّعْاو ةحاصلا لّعْا نبو ّْلاو رخا نبو لطابلاو قحا نب قرفي يذلا يأ

“(Dan pembeda): yakni yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, dan antara kebaikan dan keburukan, serta pemisah antara perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”42

Maka sudah semestinya seorang insan terdidik membaca, menela’ah, memahami, mentadaburi serta mentafakuri ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat kauniyyah maupun ayat-ayat Qur’aniyyah, yang menjadi proses untuk mencapai keimanan kepada keberadaan Al-Khâliq, Allah ’Azza wa Jalla. Dan hal itu merupakan dasar bagi seseorang berakidah kokoh; dimana keimanannya dibangun dari proses berpikir berdasarkan dalil ’aqliyyah maupun naqliyyah, karena pengertian al-Îmân itu sendiri yang memenuhi aspek mâni’ dan jâmi’ adalah:

ليلد نع عقاولل قباطما مزاجا قيدصتلا وه

“Pembenaran yang pasti yang sesuai dengan fakta berdasarkan dalil.”43

Maka seseorang yang mentadaburi ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kawniyyah maupun

Qur’aniyyah, seakan menapaki jalan untuk meraih keimanan yang kokoh. Allah ‘Azza wa Jalla

pun mengisyaratkan karakter manusia terdidik yang mentadaburi ayat-ayat al-Qur’an dalam firman-Nya:

“(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi

peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Rabb yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran.” (QS. Ibrâhîm [14]: 52)

42 Atha bi Khalil Abu ‘usythah, At-Taysîr fî Ushûl At-Tafsîr (Sûrah Al-Baqarah), hlm. 216.

(24)

Dan akidah yang kokoh dibangun dari argumentasi yang kokoh baik dalil-dalil naqliyyah maupun dalil-dalil ’aqliyyah, diwujudkan dalam bentuk pembenaran yang pasti yang bersesuaian dengan fakta didasarkan pada dalil. Hal itu tidak mungkin bisa diraih oleh orang yang tidak mau mentadaburi ayat-ayat Allah. Maka bisa disimpulkan bahwa keimanan ulul albâb bukanlah keimanan yang dibangun dari jalan taklid.

Larangan Bertaklid dalam Perkara Akidah

Mayoritas ulama melarang bertaklid dalam perkara akidah dan menjelaskan bahaya di dalamnya. Imam Abu Hayyan al-Andalusi (w. 745 H) ketika menafsirkan QS. Ash-Shâffât [37]: 70-71 mengisahkan mengenai nasib kafir Quraisyi yang terjerumus ke dalam siksa neraka, akibat taklid terhadap nenek moyang yang berada dalam kesesatan (kekafiran).44 Para ulama pun menjelaskan keharaman bertaklid dalam akidah. Imam Taqiyuddin Abu al-Baqa’ Muhammad (w. 972 H) yang masyhur dikenal dengan nama Ibn Najjar al-Hanbali mengungkapkan bahwa Imam al-Halwani dan selainnya –yakni sahabat-sahabatnya- menyatakan larangan bertaklid dalam perkara pokok agama, ini pula yang menjadi pendapat al-Bashri dan al-Qarafi.45 Al-‘Allamah Muhammad bin Thahir ‘Asyur (w. 1393 H) ketika menafsirkan QS. Al-Jin [72]: 5 menuturkan bahwa dalam ayat tersebut terdapat petunjuk bahaya bertaklid dalam perkara akidah, dan bahwa perkara akidah tidak boleh diadopsi dengan zhann (dugaan) semata.46

Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili menjelaskan:

نيّدلا رمأ ف ناسنإ ّلك ىع ّنعتم بجاو ليلّدلا ةعباتم ىإ عوجّرلاو ةديقعلا ف ديلقّتلا كرت نإ

“Sesungguhnya meninggalkan taklid dalam perkara akidah dan kembali kepada dalil hukumnya wajib yang ditetapkan atas setiap individu manusia dalam perkara agama.”47

44 Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf Al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth fî at-Tafsîr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1420 H, jilid IX, hlm. 107.

45 Taqiyuddin Abu al-Ba a Muha ad bi Ah ad, Syarh al-Kawkab al-Munîr, Maktabatul Abikan, Cet. II, 1418 H, Bab. At-Taqlîd, jilid IV, hlm. 535.

46 Muhammad ath-Thahir bin Muhammad bin Muhammad ath-Thahi bi Asyu, At-Tahrîr wa at-Tanwîr, Tunisia: Ad-Dâr at-Tûnisiyyah, 1984, juz 29, hlm. 224.

47 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr fî al-A îdah wa asy-Syarîah wa

(25)

Dalam referensi lainnya, Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili pun menegaskan bahwa bertaklid dalam perkara akidah dan ibadah merupakan kesesatan,48 yakni mengandung bahaya.

Lebih jauh lagi, Allah ‘Azza wa Jalla pun mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak beriman, dimana mereka jelas tidak termasuk golongan ulul albâb maka tidak berfaidah sama sekali bagi mereka tanda-tanda kekuasaan Allah ’Azza wa Jalla:

“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yûnus [10]: 101)

Dan hal itu sebagai akibat dari ketakaburan dan buruknya sikap mereka, Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni menjelaskan: “Ketika Allah Ta’âlâ menjelaskan rusaknya keyakinan kaum musyrikin, disebabkan oleh keras kepala mereka dan perbuatan mereka menyekutukan Sang Pencipta dengan makhluk yang tidak menciptakan apapun, disebutkan di sini wasiat-wasiat (Luqman) al-Hakim, dan hal itu merupakan wasiat yang sangat berharga dalam menyampaikan hikmah dan seruan kepada jalan petunjuk, dan sungguh wasiat-wasiat ini telah ada dimulai dengan peringatan terhadap kesyirikan yang merupakan seburuk-buruknya dosa, dan sebesar-besarnya kejahatan di sisi Allah.49

Bukankah tak sedikit para Orientalis yang mempelajari Islam namun tidak mengimani kebenarannya?! Sehingga mereka tetap mati dalam kekafiran. Atau gambaran dari seorang ahli sastra Arab, Al-Walid bin al-Mughirah, yang keras dalam kekafiran meski sebenarnya ia tak mampu menyangkal keagungan ungkapan al-Qur’an: “Demi Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian (Bangsa Quraysi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir dariku, dan tidak ada pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain diriku, Demi Allah tidak ada satupun dari apa yang dibaca Muhammad menyerupai ini semua, Demi Allah sesungguhnya ungkapan yang disampaikannya sangat manis dan apa yang dituturkannya sangat indah.”50

48 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Wasîth, Damaskus: Dâr a-Fikr, Cet. I, 1422 H. 49 Prof. Dr. Muhammad Ali ash-Shabuni, Shafwatut-Tafâsîr, Kairo: Dar ash-Shabuni, Cet. I, 1417 H, jilid II, hlm. 451.

(26)

II.3.3. Hidup Berorientasi Ibadah

Seseorang yang mentafakuri dan mentadaburi ayat-ayat Allah adalah hidup berorientasi ibadah, bagaimana tidak? Padahal ia menemukan keagungan Sang Pencipta dan petunjuk-Nya dalam ayat-ayat-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla pun berfirman mengisyaratkan hal tersebut:

mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakalah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Ayat yang agung ini menyiratkan sifat mereka yang berakal untuk menjalani hidup sebagai seorang hamba Allah, yang ta’at beribadah kepada-Nya. Karakteristik ini tergambar dalam diri Rasulullah

, sebaik-baiknya teladan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu ’Abbas , ia berkata:

(27)

Imam Muslim pun meriwayatkan hadits yang serupa, dari ‘Abdullah bin Abbas bahwa ia pernah bermalam di sisi Rasulullah

. Kemudian beliau bangun dan langsung bersiwak kemudian berwudlu. Lalu beliau membaca: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” Beliau membaca ayat itu hingga selesai satu surat (Âli Imrân). Kemudian beliau shalat dua raka'at dengan memanjangkannya berdirinya, ruku', dan sujudnya. Sesudah itu beliau tidur hingga terdengar hembusan nafasnya. Beliau melakukan hal itu hingga tiga kali yakni enam raka'at, dan setiap kalinya beliau mesti bersiwak dan berwudlu dan membaca ayat tadi, kemudian beliau shalat witir dengan tiga raka'at. Hingga sang muadzin mengumandangkan adzan. Maka beliau pun keluar untuk menunaikan shalat Shubuh seraya berdo'a:

َم هَللا

pendengaranku, berilah cahaya dalam penglihatanku, berilah aku cahaya dari belakangku, dari arah depanku, dan berikanlah cahaya dari atasku, dan arah bawahku. Ya Allah berilah aku cahaya.” (HR. Muslim)

Sikap Rasulullah

tersebut menggambarkan karakteristik ulul albâb yang mentadaburi ayat-ayat Allah, senantiasa mengingat Allah dan diwujudkan dalam hidup berorientasi ibadah kepada-Nya dimana hal itu sejalan dengan tujuan penciptaan manusia:



Menjelaskan ayat ini, al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) menukil pendapat ‘Ali

:

(28)

“Yakni tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan memerintahkan mereka untuk beribadah

(kepada-Ku).”51

Al-Hafizh al-Qurthubi lalu menuturkan bahwa az-Zujaj berpegang pada pendapat ini, dan dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman-Nya:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah

dan (juga mereka mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci

Allah dari apa yang mereka persekutukan.”(QS. At-Tawbah [9]: 31)

Dan manusia sudah diajari Allah tekad yang lurus dalam firman-Nya:

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. Al-An’âm [6]: 162)

Seorang muslim ketika menjadikan akidah islam sebagai kaidah dan tuntunan kepemimpinan berpikirnya akan hidup dengan cahaya petunjuk yang meneranginya ketika ia mengarungi kehidupan ini, yakni dengan menerapkan aturan-aturan syari’at Islam yang tegak di atas asas akidah ini. Apa yang diungkapkan Syaikh Yusuf as-Sabatin ini menggambarkan kiasan yang indah tentang pentingnya akidah sebagai pondasi hidup:

(29)

“Akidah islamiyyah merupakan asas kehidupan kaum muslimin, sumber kemuliaan mereka dan pondasi dari kehormatannya, dan akidah ini adalah kaidah yang dibangun di atasnya pemikiran mereka dan digali darinya pemikiran-pemikiran mereka dan dari akidah inilah mereka mengambil hukum-hukum dinnya, dan ’kepadanyalah’ kaum muslimin berlindung dari berbagai kesulitan dan dengannya lah kaum muslimin berpegangteguh ketika turun berbagai bencana.”52

Bahkan al-Qadhi Taqiyuddin bin Ibrahim pun dalam kitab Nizhâm al-Islâm menjelaskan bahwa pentingnya kedudukan akidah islam. Dimana akidah islam merupakan akidah yang berfungsi sebagai kaidah dan panduan berpikir seorang muslim, dan akidah inilah yang menjadi asas bagi syari’at islam yang wajib ditegakkan dalam kehidupan secara menyeluruh.

Peringatan Atas Penyakit Wahn (Cinta Dunia dan Takut Mati)

Di antara hambatan besar seseorang untuk berorientasi hidup untuk ibadah adalah

penyakit yang disebut Rasulullah

sebagai wahn yakni cinta dunia dan takut mati.

ب ح

اَيْن دلا

ةَيِها َرَكَو

ِتْوَما

“Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Muslim)

Berbeda dengan mereka yang berorientasi ibadah dalam hidupnya, generasi yang terjangkit penyakit cinta dunia dan takut mati sesungguhnya tenggelam dalam euphoria menipu “hidup hanya sekali enjoy saja!” Padahal dunia bagaikan perhelatan sementara untuk berbekal menuju kehidupan yang abadi kelak di akhirat, dan kehidupan hakiki yang abadi adalah

“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 134)

(30)

Rasulullah

bersabda:

َا

َشْيَع

َاِإ

شْيَع

ِة َر ِخْا

“Tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)53

Dan mereka yang terjangkit virus mematikan wahn, jika tak bertaubat dan kembali kepada jalan Islam, barangkali seperti apa yang dijelaskan oleh Dr. ‘Abdullâh al-Khâthir, yakni seperti pemuda yang sia-sia tak jelas orientasi hidupnya (عئ ضلا شلا): “Pemuda sia-sia (lemah, tak jelas arah tujuan hidupnya-pen.) yang mengalami kehampaan pemikiran dan krisis keyakinan, dan barangkali bait-bait Iliya Abi Madhi berikut ini yang bisa menggambarkan kondisi pemuda seperti ini:

نيأ نم ملعأ ا تئج

#

تْيتَأ ينكلو

اًقيرط تَبأ دقلو

#

تْي َشَمَف يماَد ق

ا ًرئا َس ىقبأ َسو

#

تْيَبَأ مأ اذه تْئ ِش

يقيرط تَبَأ فيك

#

تئ ِج فيك

يردأ تسل

يردأ تسل اذامو

#

يردأ تسل

“Aku telah datang namun entah dari mana # Tapi aku telah tiba”

“Sungguh telah kulihat sebuah jalan # dihadapanku maka aku berjalan”

“Dan aku tetap seseorang yang berjalan # aku kehendaki hal ini atau aku enggan”

“Dan bagaimana kulihat jalanku # bagaimana tibanya diriku”

“Aku tak tahu”

“Dan mengapa aku tak tahu # aku tak tahu”

(31)

Jelas sekali bahwa bait-bait di atas menggambarkan kondisi jahiliyyah, bagaimana mungkin manusia terdidik menjalani kehidupan tanpa berorientasi positif dan tenggelam dalam kemaksiatan? Dan jika ada yang mengaku cinta kepada Allah namun ia ringan bermaksiat kepada-Nya maka al-Hafizh Ibn al-Jawzi (w. 597 H) bertutur dalam sebuah sya’ir yang menggugurkan pengakuannya:

ىعت

هٰلإا

تنأو

معزت

هبح

#

اذه

لاح

ف

سايقلا

عيدب

ول

ناك

كبح

اًقداص

هتعطْ

#

نإ

بحما

نم

بح

عيطم

“Engkau bermaksiat kepada Allah tapi mengaku mencintai-Nya # Ini sangat mustahil dalam suatu pengukuran.”

“Jika cintamu benar maka sungguh engkau akan mena’ati-Nya # Karena sesungguhnya

seorang kekasih itu ta’at kepadayang dicintainya.”54

Dan kenikmatan yang ada di balik kemaksiatan merupakan kenikmatan semu karena tidak ada kenikmatan pada perkara yang akhirnya adalah siksa, setidaknya itulah yang dituturkan Imam Sufyan ats-Tsauri dalam pernyataannya:

نم ةّذل ف رخ ا

راّنلا اهدعب

“Tiada kebaikan dalam kenikmatan yang kesudahannya adalah siksa neraka.”55

Kenikmatan seperti apa? Maksudnya kenikmatan dalam kemaksiatan, hal ini dipahami dari ungkapan “kesudahannya adalah siksa neraka” ( لا ه عبنم). Dunia yang dipenuhi hingar bingar kemaksiatan adalah gemerlap yang menipu pandangan mata mereka yang cinta dunia, dan kita berlindung kepada Allah dari hal itu. Dan jika bencana dunia lebih membuat kita susah ketimbang bencana yang menimpa agama, sudah semestinya kita semua berlindung kepada Allah  dari keburukan yang dituturkan al-Hafizh Ibn ‘Abd al-Bar al-Andalusi (w. 463 H) dalam sya’irnya:

54 Abd a-‘ah a bi Ali Abu al-Faraj (Ibn al-Jawzi), Bahr ad-Du uu, hlm. 28.

(32)

ةميه لاجرلا نم نإ يخأأ

“Wahai saudaraku, diantara manusia ada bagaikan binatang # Dalam rupa seseorang yang

mampu mendengar nan berwawasan”

“Terasa berat atas setiap musibah yang menimpa harta bendanya # Namun jika musibah

menimpa agamanya tiada terasa.”56

II.3.4. Mendengarkan Nasihat yang Baik dan Mengikuti yang Terbaik

Karakter selanjutnya dari golongan ulul albâb adalah mereka yang mendengarkan nasihat yang baik dan mengikuti hal yang terbaik, karakter ini adalah karakter orang yang mau memperbaiki diri dan terus meningkatkan kualitas diri, dan hal itu tidak mungkin diwujudkan tanpa kesediaan mendengarkan nasihat dan mengikuti yang terbaik di antara nasihat kebaikan tersebut. Hal itu tersurat dalam firman Allah:

Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar [39]: 18)

Bukankah Allah ’Azza wa Jalla pun telah menegaskan dalam ayat-Nya yang agung, yakni QS. Al-’Ashr [103]: 3, bahwa salah satu karakteristik mereka yang tidak merugi adalah seseorang yang mau menasihati orang lain (dakwah) dalam kebenaran dan kesabaran? Di sisi lain mau mendengarkan nasihat dari orang lain. Dan mendengarkan perkataan adalah sarana untuk mendapatkan nasihat dari orang lain.

(33)

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat menasehati supaya mena’ati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-’Ashr [103]: 1-3)

Ayat ini menjelaskan, bahwa manusia benar-benar dalam keadaan merugi. Pertama, dijelaskan dengan qassam (sumpah) “رصعلا ” (demi masa). Kedua, dijelaskan dengan ta’kid “ إ” (benar-benar). Ketiga, dijelaskan dengan ta’kid “يفل” (sungguh dalam). Ketiga bentuk penjelasan ini, semuanya menguatkan makna pembahasan ayat ini, yaitu kerugian manusia yang sangat luar biasa. Kecuali orang yang beriman, beramal shalih dan saling menasihati dalam kebaikan dan penuh kesabaran, secara terus-menerus, sehingga selamat dari kesalahan. Dalam tinjauan ilmu balaghah, keberadaan semua penegasan (ta’kîd) seperti ini berfaidah menegasikan atau menafikan segala bentuk pengingkaran terlebih keraguan.57

Dalam ayat yang agung tersebut, diungkapkan kata (ا صا ت); yang artinya saling menasihati ( ًضعب م ضعبحصن), menggunakan wazan ( َلَع َفَت) yang menunjukkan interaksi dua sisi, perbuatan satu sama lain, artinya seorang insan yang tidak merugi memiliki karakteristik mau menasihati dan mau mendengarkan nasihat, ini adalah ungkapan yang agung. Berbeda dengan orang yang takabur, dimana ia memiliki karakter menolak kebenaran dan melecehkan manusia, lalu apakah mungkin orang yang takabur mau mendengarkan nasihat?! Apakah layak ia menyandang gelar ulul albâb? Dan karena sifat takabur pula Iblis –la’natuLlâhi ’alayh -terjerembap dalam kehinaan kekal, wal ’iyâdzu biLlâh.

Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi menjelaskan:

“Sesungguhnya surat ini menjelaskan perkara akidah dan tuntutannya yakni iman (pembenaran yang pasti) dan amal shalih. Setelah itu Allah berfirman: (ا صا ت) Allah tidak mengatakan (ا ص ), apa makna kata (ا صا ت)? Yakni agar setiap orang beriman mengetahui bahwa dirinya adalah bagian dari orang lain, begitu pula saudara seimannya

(34)

yang lain, terkadang di antara keduanya yang lemah terhadap suatu kemaksiatan sehingga ia melakukannya, akan tetapi yang lainnya tidak lemah terhadap kemaksiatan tersebut, maka dari itu orang yang tidak lemah tersebut sudah semestinya menasihati orang yang lemah (agar menjauhi kemaksiatan tersebut-pen.)”58

Perbuatan terpuji saling menasihati ini pun merupakan pengamalan terhadap hadits Nabi

, dari Abi Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Dâriy  bahwa Nabi

bersabda:

ةَحْي ِصَنلا نْي دلا

“Agama itu adalah nasihat”

Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi

bersabda:

، َ ْنِمِل ْس ما ِةَمِئَ َِْو ،ِهِلْو سَرِلَو ،ِهِباَتِكِلَو ،ِِّه

ْمِهِتَماَعَو

Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya.”(HR. Muslim)59

Apa maknanya? Imam Ibn Daqîq al-‘Iid (w. 702 H) menjelaskan:

:هلوق ىنعمو

"

ةحيصنلا نيدلا

"

ةحيصنلا :هماوقو نيدلا دّع يأ

“Makna sabda Rasulullah

: “Agama itu adalah nasihat” yakni tiang agama dan pondasinya adalah an-nashîhah.”60

Imam Ibn Daqîq al-‘Ied menjelaskan:

ملعأ هاو .كلذ رغ ليقو هتيفص اذإ لسعلا تحصن :لاقي صاخإا :ةغللا ف ةحيصنلاو

“Lafazh an-nashîhah secara bahasa: al-ikhlâsh (kemurnian), dikatakan: nashahtu al-‘asala (saya telah memurnikan madu) jika menyucikannya, dan dikatakan pula makna selainnya. Wallâhu a’lam.”61

58

Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya awi, Tafsîr asy-Sya awi, Kai o: Maj a al-Buhûts

al-Islâ iyyah Jâ i atul Azha asy-Syarîf, jilid III, hlm. 1.665.

59 Menurut Dr. Muhammad Yusri, hadits dari Abi Ruqayyah Tamim r.a. ini hadits paling shahih dalam bab

i i de ga lafazh te sebut, lihat: D . Abu Abdullah Muha ad Yus i, Al-Jâ i Sya h al-A ba ii a -Nawawiyyah,

Kairo: Dâr al-Yusr, Cet. III, 1430 H.

(35)

Adapun penafsiran terdahap lafazh “an-nashîhah” dan jenis-jenisnya dalam hadits ini, dijelaskan Ibn Daqîq al-‘Ied yang menukil pernyataan Imam al-Khithabi dan para ulama lainnya: “Adapun nasihat untuk kaum muslimin pada umumnya –selain para penguasa-, yakni dengan menunjuki mereka kepada kemaslahatan diri di akhirat dan di dunia, menolong mereka untuk mewujudkannya, menasihati agar mereka menutupi ‘auratnya, menutupi ‘aib mereka, menyingkirkan bahaya dari mereka dan mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan bagi mereka, memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dengan cara yang lembut dan niat ikhlas, mengasihi mereka, menghormati orang tua dan mengasihi yang kecil di antara mereka, memikat hati mereka dengan nasihat yang baik serta menjauhi sifat culas dan dengki, mencintai kebaikan bagi mereka sebagaimana ia mencintai untuk dirinya sendiri, dan membenci keburukan terjadi pada mereka sebagaimana ia benci jika hal itu terjadi padanya, membela harta, kehormatan dan lain sebagainya yang menjadi hak mereka dengan perkataan dan perbuatan dan mendorong mereka untuk bertingkahlaku sebagaimana yang telah kami sebutkan dari beragam nasihat ini. WaLlâhu A’lam.”62

Rasulullah

pun menjelaskan bahwa sikap meninggalkan apa-apa yang menurut Islam

tak berfaidah merupakan tanda kebaikan Islam pada diri seseorang. Dari Abu Hurairah

, dari

Nabi Muhammad

, beliau bersabda:

َا اَم ه كْرَت ِءْرَما ِمَا ْسِإ ِن ْس ح ْنِم

ِهْيِنْعَي

“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat

baginya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibn Majah & Ibn Hibban. Hadits hasan)63

Apa makna hadits ini? Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) menuturkan:

“Hadits ini merupakan dasar agung dalam pokok adab, Imam Abu ‘Amru bin ash -Shalah menuturkan dari Abu Muhammad bin Abu Zayd, Imamnya madzhab malikiyyah

pada masanya, bahwa ia mengatakan: “Kumpulan adab-adab kebaikan dan

62 Ibid.

63 Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Jâ i al-Ulû wa al-Hikam, jilid I, hlm. 287. Dalam catatan kaki kitab

Jâ i al-Ushul wa al-Hikam tah i : Syu aib al-A a uth disebutka bahwa hadits i i hasan li ghayrihi. Hadits ini

(36)

kehancurannya (kebalikannya) terbagi dalam empat hadits: Pertama, sabda Nabi

: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau

diamlah.” Kedua, sabdanya: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ia

meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya”. Ketiga, dan sabdanya yang meringkas wasiat: “Jangan marah”.Keempat, sabdanya: “Orang beriman itu mencintai

untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya”.”64

Al-Hafizh Ibnu Rajab pun merinci bahwa di antara tanda kebaikan keislaman seseorang adalah sikapnya meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat baginya baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan menyedikitkan diri pada hal-hal yang tidak bermanfaat baik berupa berbagai perkataan dan perbuatan, dan makna kata (هي عي): bahwa hal yang penting itu berkaitan dengan dirinya maka jadilah hal itu termasuk tujuan dan tuntutan dirinya. Kata (ةي علا): kuatnya perhatian pada sesuatu, dikatakan: هي عي – ع yakni jika seseorang memerhatikan dan mencarinya. Namun yang dimaksud (dalam hadits ini) bukan berarti bahwa ia meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya dan tidak dikehendakinya berdasarkan standar hawa nafsu dan tuntutan jiwa, akan tetapi berdasarkan standar hukum syara’ dan Islam. Oleh karena itulah ia termasuk “di antara kebaikan keislaman”, maka jika “baik keislaman seseorang” ia akan meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya dalam Islam baik berupa perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan. Karena Islam menuntutnya melaksanakan berbagai kewajiban sebagaimana telah dijelaskan dalam syarh hadits Jibril a.s.65

Begitu pula meninggalkan berbagai keharaman, sesungguhnya perbuatan tersebut

bagian dari ajaran Islam yang sempurna nan terpuji, sebagaimana sabda Rasulullah

:

ِهِدَيَو ِهِنا َسِل ْنِم نْو مِل ْس ما َمِل َس ْنَم ملسما

Seorang muslim itu ia yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya.”66

64 Ibid, hlm. 288.

65 Ibid.

(37)

Dan jika baik ke-Islaman (pada diri seseorang) maka hal itu mendorongnya untuk meninggalkan apa-apa yang tak bermanfaat secara keseluruhannya dari berbagai keharaman, syubhat dan kemakruhan, bahkan hal-hal yang mubah yang tidak dibutuhkan. Karena sesungguhnya ini semua tidak bermanfaat bagi seorang muslim apabila telah sempurna keislamannya, dan telah sampai pada derajat ihsan yakni menyembah Allah  seakan-akan ia melihat-Nya, dan jika ia seakan tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatnya.

Ini merupakan karakteristik yang agung, yang tidak mungkin ada pada orang yang terjangkit virus takabur, dimana orang yang takabur tidak akan sudi mendengarkan nasihat terlebih dari orang yang ia anggap remeh. Dan karena sifat yang buruk inilah Iblis –

la’natuLlâhi ’alayh- terjerembab ke jurang kehinaan yang abadi.

Rasulullah

bersabda:

ْرِك ْنِم ةَرَذ لاَقْثِم ِهِبْلَق ِف َناَك ْنَم َةَنَ ْجا ل خْدَي َا َلاَق

“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari ketakaburan.”

Seorang laki-laki bertanya: “Sesungguhnya seorang pria itu senang jika baju dan

sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau

menjawab:

ِساَنلا طْمَغَو قَْحا رَطَب ْرِكْلا َل ََّ ْجا بِ ح ليِ َم ها َنِإ

“Sesungguhnya Allah itu indah menyukai keindahan, ketakaburan itu menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)67

Al-‘Allamah Muhammad Nawawi al-Bantani pun menjelaskan:

.سانلا رقتح نأو ،هرغ نم رخ هنأ هسفن ف ىري نأك :ىاعت ها دابع ىع ركتلا

“Takabur terhadap hamba-hamba Allah : yakni ia memandang dirinya lebih baik daripada orang lain dan merendahkannya.”68

Dan kita berlindung kepada Allah dari sifat takabur, dimana ia merupakan sifat keji yang menjerumuskan Iblis ke dalam jurang kehinaan yang amat dalam, wal ’iyâdzu biLlâh.

67 Lihat pula hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dalam Sunan-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya.

68Muha ad Nawawi bi U a al-Jawi Bantani, Bahjatul Wasâ-il bi Syarh Masâ-il, Jakarta: Dâr

(38)

II.3.5. Memiliki Ilmu yang Mendalam

Ilmu yang benar bagaikan cahaya yang menuntut seseorang untuk melihat kebaikan dan keburukan, dan sudah semestinya tampak pada sikap. Allah  berfirman:

“Dia-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamât, Itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat-ayat-ayat) mutasyâbihât. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyâbihât daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbihât, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Âli Imrân [3]: 7)

Ayat ini mengisyaratkan karakteristik ulul albâb yang dapat mengambil pelajaran, mendalam ilmunya, dimana dengannya mereka menyatakan beriman kepada ayat-ayat mutasyâbihât dan tidak condong kepada kesesatan. Imam al-Bukhari mengetengahkan riwayat dari ’Aisyah

yang berkata bahwa setelah membaca ayat di atas, lalu Rasulullah

bersabda:

اَذِإَف

“Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyâbihât,

maka mereka itulah adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah, Maka waspadalah kalian terhadap mereka!” (HR. Al-Bukhâri, Muslim dan Abu Dawud)

اَذِإَف

(39)

Al-Hafizh Abu Ja’far ath-Thabari (w. 310 H) ketika menafsirkan ayat yang agung di atas menegaskan keutamaan ilmu golongan ulul albaab ini.69

Lalu apa makna frase { َ لأا ل أ اإ رَكَ َي َمَ }? Al-Hafizh Abu Ja’far Ath-Thabari menjelaskan bahwa tidak ada yang mawas diri, mengambil pelajaran dan mengendalikan diri dalam berbicara mengenai mutasyâbihât ayat-ayat KitabuLlâh yang tidak ada ilmu tentangnya kecuali mereka yang memiliki akal (ulul albâb).70 Dalam ayat yang agung ini terdapat petunjuk bahwa golongan ulul albâb adalah golongan yang mampu mengambil pelajaran.

Dalam ayat ini pun terdapat petunjuk bahwa golongan ulul albâb, sudah semestinya berbicara dengan ilmu ketika berkata mengenai ayat-ayat al-Qur’an. As-Sunnah pun mengecam mereka yang berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu dengan peringatan yang tegas. Diriwayatkan

Abu Dawud dan at-Tirmidzi dari Jundub bin ‘Abdullah yang berkata: Rasulullah

bersabda:

َبا َصَأَف ِهِيْأَرِب ِنآْر قْلا ِف َلاَق ْنَم

َأَط ْخَأ ْدَقَف

“Barangsiapa yang mengatakan sesuatu tentang al-Qur’an dengan pendapatnya, meski

pendapatnya benar ia tetap salah.” (HR. at-Tirmidzi dan lainnya)71

At-Tirmidzi pun meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: Rasulullah

bersabda:

َلاَق ْنَم

ِراَنلا ْنِم هَدَعْقَم ْأَوَبَتَيْلَف مْلِع ِ ْرَغِب ِنآْر قْلا ِف

“Barangsiapa berkata tentang al-Qur’an tanpa ilmu maka bersiap-siaplah mengambil

tempatnya di neraka.” (HR. at-Tirmidzi (V/199, 200), dan ia berkata: hadits ini hasan shahih)

Hadits-hadits di atas menunjukkan keharaman secara tegas, dengan adanya qariinah frase ( َ لا نم َ َعقَم أَ َ َتَي َف).

Di sisi lain, al-Qur’an dan as-Sunnah pun memaparkan keutamaan orang berilmu, dan dipaparkan oleh para ulama dalam banyak literatur, baik klasik maupun kontemporer.

69Muha ad bi Ja î bi Yazîd bi Katsî Abu Ja fa ath-Thabari, Jâ i al-Bayâ fî Ta wîl al-Qu â , jilid II.

70 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah pusat perbelanjaan bertema industri kreatif dengan konsep city walk dapat menjadi wadah yang pas selaras dengan perkembangan sektor komersil dan pariwasata

Dan juga penanganan persediaan Alat Tulis Kantor (ATK)saat ini tanpa adanya perencanaan pemakaian Alat Tulis Kantor (ATK) dari tiap-tiap bagian /unit kerja lain

Kertas cakram yang mengandung larutan (ekstrak daun kemangi 30%, 40%, 50% dan kontrol positif) diletakkan di atas medium PDA yang telah diinokulasi 0,1 ml biakan murni

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah ada baiknya pihak perusahaan menentukan jumlah crew dengan efisien sesuai dengan ketersediaan akomodasi

Berdasarkan hasil analisis data dari 2 subjek penelitian tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Kemampuan komunikasi matematis dari tipe kepribadian

Berdasarkan hasil analisis penilaian, peserta didik yang sudah mencapai ketuntasan belajar diberi kegiatan pembelajaran pengayaan untuk perluasan dan/atau pendalaman materi

Studi kelayakan telah dilakukan mengikuti diagram alir Gambar III.2, dengan cara membuat plot silang antara data sifat reservoir (seperti porositas, permeabilitas dan saturasi)

bangkai/daging saudaranya yang sudah mati).. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai orang-orang yang suka ghibah dan mereka merupakan musuh-musuh amal. Bersifat dengan