• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aksi Bela Islam Konservatisme dan Fragme (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Aksi Bela Islam Konservatisme dan Fragme (1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

15

Abstrak

1

Apakah Aksi Bela Islam menunjukkan adanya peta baru keberagamaan di Indonesia? Apakah aksi ini merupakan indikasi dari konservatisme yang dianggap sebagai ancaman terhadap “Islam moderat”? Pasca aksi tersebut, masih relevankah melihat NU dan Muhammadiyah sebagai dua model Islam Indonesia dan tidak ada model lain yang cukup berpengaruh? Tulisan ini ingin membahas tiga pertanyaan tersebut dengan memfokuskan kajian pada peran ulama dan organisasi Islam, terutama NU dan Muhammadiyah. Tulisan ini menunjukkan bahwa, pertama, fragmentasi otoritas keagamaan telah terjadi sebelum Aksi Bela Islam. Namun peta itu menjadi semakin terang paska aksi. Meski masih berperan signifikan, NU dan Muhammadiyah bukan lagi pemegang otoritas tunggal dalam persoalan agama di Indonesia. Kedua, fragmentasi ini terutama didukung oleh sosia media. Ketiga, keberhasilan Bksi Bela Islam itu terutama karena kemampuannya mentransformasikan konservatisme menjadi pop-culture serta kemampuannya mempergunakan psikologi kegamangan dan ketakutan umat Islam terhadap ancaman kelompok yang berbeda.

Kata Kunci: Aksi Bela Islam, konservatisme, otoritas keagamaan, fragmentasi, Rizieq Syihab, NU, Muhammadiyah, marginalisasi.

1 Sebagian dari isi tulisan ini pernah dimuat dengan judul “Aksi Bela Islam dan Fragmentasi Otoritas Keagamaan” di Koran Sindo, Jum’at, 6 Januari 2017, h. 7.

Aksi Bela Islam: Konservatisme dan

Fragmentasi Otoritas Keagamaan

1

(2)

16

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

“Hatred isn’t something you’re born with. It gets taught. At school, they said segregation what’s said in the Bible. Genesis 9 verse 27. At 7 years of age, you get told it enough times, you believe it. You believe the hatred. You live it… you breathe it. You marry it.”

—Mrs. Pell dalam Mississippi Burning, 1988—

Pendahuluan

Aksi Bela Islam I, II, dan III yang dilakukan pada 14 Oktober 2016, 4 November 2016, dan 2 Desember 2016 merupakan critical events (peristiwa yang sangat penting) untuk melihat perkembangan keagamaan di Indonesia. Salah satunya berkaitan dengan fragmentation of religious authority (fragmentasi atau terpecah-pecahnya otoritas keagamaan).

Ini diantaranya bisa dilihat dari anjuran dari Said Agil Siradj, Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), yang tidak diindahkan oleh sebagian warga NU. Siradj menganjurkan warga NU untuk tidak bergabung dalam Aksi Bela Islam III dan NU mengeluarkan fatwa bahwa sholat Jum’at di jalan raya adalah tidak sah. Alih-alih mengikuti anjuran ini, beberapa pesantren di Jawa Barat seperti Ciamis dan Tasikmalaya justru mengirimkan santri-santrinya untuk pergi ke Monas dengan berjalan kaki. Tentu afiliasi keormasan dari pesantren-pesantren itu perlu dilihat kembali. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa banyak dari warga NU yang bergabung atau mendukung Aksi Bela Islam 212.

Apa yang terjadi di NU itu juga terjadi di Muhammadiyah. Anjuran Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, kepada warganya untuk tidak turun aksi seperti fell on deaf ears, tak dihiraukan oleh anggota Muhammadiyah. Alih-alih mengikuti anjuran ketua umumnya, banyak warga NU dan Muhammadiyah yang memilih bergabung dengan Rizieq Syihab, Abdullah Gymnastiar, Arifin Ilham, Bachtiar Nasir, dan Zaitun Rasmin untuk melakukan aksi yang terpusat di tugu Monas (Monumen Nasional) Jakarta.

(3)

17

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

berpengaruh? Apakah Rizieq Syihab akan terus memiliki peran besar, pengaruh luas, dan dipandang sebagai tokoh nasional yang diikuti setelah peristiwa ini? Apakah aksi ini merupakan indikasi dari konservatisme yang dianggap sebagai ancaman terhadap “Islam moderat”? Apakah ini merupakan gerakan ideologis, politis, atau hanya kejadian tiba-tiba dan akan meredup segera?

Aksi Bela Islam itu seakan ingin menunjukkan peta baru keagamaan di Indonesia yang selama ini terlihat agak kabur, sepertinya menjadi semakin jelas. Warna Islam non-NU dan Muhammadiyah seperti semakin besar dan terus berkembang. Ia menggerogoti dua warna Islam lain yang selama ini dominan di Indonesia. Untuk mendiskusikan fragmentasi otoritas keagamaan di Indonesia pasca Aksi Bela Islam, tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, tentang Aksi Bela Islam I, II, dan III. Kedua, Rizieq Syihab dan otoritas keagamaan. Ketiga, analisis tentang relevansi NU dan Muhammadiyah dalam persaingannya dengan kekuatan keagamaan baru di Indonesia.

Aksi Bela Islam I, II, dan III

Aksi Bela Islam I, II, dan III bermula dari tuntutan agar Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dipenjarakan karena dianggap telah melecehkan Islam dalam salah satu kalimat pidatonya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Dalam pidato tersebut Ahok pada intinya berbicara tentang kebijakan dan program pemberdayaan budi daya kerapu. Ia meyakinkan warga Kepulauan Seribu bahwa program ini akan tetap dilaksanakan meski ia tak terpilih lagi menjadi gubernur DKI Jakarta pada Pilkada Februari 2017. Karena itu, masyarakat harus tetap menjaganya. “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu... Program ini jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok,” demikian kutipan beberapa kalimat yang disampaikan Ahok dalam pidato itu.

(4)

18

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

“’Bapak-Ibu [pemilih Muslim]... dibohongi Surat Al-Maidah 51’ [dan] ‘masuk neraka juga [Bapak-Ibu] dibodohi’. Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini.”

Pernyataan kontroversial Ahok ini ada di menit ke-24. Namun demikian, transkripsi yang diunggah Buni Yani ini berbeda dari pidato aslinya karena ada satu kata yang hilang, yaitu kata “pake (pakai)”. Status Buni Yani itu lantas di-share oleh puluhan ribu orang dan pidato asli Ahok yang hampir dua jam (1:48:32 jam) tak terlalu diperhatikan.

Bola liar kemarahan dan kecaman terhadap Ahok terus bergulir dan bahkan membesar. Beberapa orang semisal Izzul Muslimin, mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, mendesak agar Ahok segera meminta maaf atas ucapannya itu agar kasus ini segera selesai dan keadaan menjadi normal. Ahok pun meminta maaf di Balai Kota DKI Jakarta pada Senin 10 Oktober 2016. “Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa,” demikian pernyataan Ahok (Rudi 2016).

Rupanya protes dan kemarahan terhadap Ahok tak berhenti setelah ia meminta maaf. Beberapa kelompok yang mengajukannya ke pengadilan, semisal Pemuda Muhammadiyah, tetap saja melakukan tuntutan agar Ahok diadili. Bahkan, aksi protes di berbagai wilayah semakin ramai. Terlebih lagi setelah MUI mengeluarkan Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI tentang Penistaan Agama, Penghinaan pada Ulama dan Penodaan Al-Qur’an oleh Ahok pada 11 Oktober 2016 yang diantaranya menyatakan bahwa “pernyataan Gubernur DKI Jakarta dikategorikan: (1) Menghina Al-Qur’an dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum”.2 Setelah keluarnya Pendapat dan Sikap, yang

sering dipahami sebagai fatwa, inilah lantas muncul GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI) yang kemudian menjadi motor Aksi Bela Islam.

Kasus ini menjadi lebih besar dari sekadar isu agama. Ada unsur politik, terutama pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, dimana Ahok menjadi salah satu kandidatnya. Ada unsur kepemimpinan non-Muslim dan China di Indonesia. Juga terkait dengan isu penggusuran daerah kumuh atau pinggir bantaran

(5)

19

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

sungai, reklamasi, dan marjinalisasi. Ini diantaranya yang menyebabkan kasus ini tidak berhenti dengan permintaan maaf. Ini yang menjadi latar belakang Aksi Bela Islam I pada 14 Oktober 2016.

Aksi Bela Islam I dipimpin oleh Rizieq Shihab, Zaitun Rasmin, Arifin Ilham, Bachtiar Nasir, dan lain-lain. Aksi ini belum begitu besar, diikuti oleh puluhan ribu orang saja. Penyebutan bahwa itu adalah Aksi Bela Islam I adalah post factum atau terjadi setelah adanya Aksi Bela Islam II dan III. Sebelumnya ia hanya disebut sebagai “Aksi Bela Islam” saja atau tanpa ada kata-kata “I”.

Jika Aksi Bela Islam I, lebih identik dengan demonstrasi FPI (Front Pembela Islam) yang mendapat dukungan dari kalangan Islam radikal dan konservatif, maka Aksi Bela Islam II melibatkan elemen umat Islam yang lebih luas, termasuk Muhammadiyah. Dalam demonstrasi 4 November 2016 itu, secara diplomatis Muhammadiyah melarang peserta aksi untuk menggunakan atribut organisasi. Seperti tertulis dalam sikap resminya yang dikeluarkan pada1 November 2016 dan ditandatangani oleh Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti, Muhammadiyah tidak secara langsung melarang anggotanya terlibat dan berpartisipasi dalam aksi itu karena itu dianggap bagian dari ekspresi demokrasi, namun sebagai organisasi Muhammadiyah tak ingin terlibat langsung.

“Muhammadiyah secara kelembagaan tidak ikut serta dan terlibat dalam aksi unjuk rasa 4 November. Adapun warga Muhammadiyah memiliki hak demokrasi untuk demo selaras dengan misi dakwah amar makruf nahi munkar yang pelaksanaannya harus sejalan dengan Khittah dan Kepribadian. Karena itu bagi warga Muhammadiyah yang mengikuti aksi demonstrasi harus memahami sepenuhnya bahwa keikutsertaannya merupakan sikap pribadi sehingga tidak diperkenankan membawa atribut Muhammadiyah, terutama bendera, menggunakan fasilitas dan dana Persyarikatan untuk kepentingan demonstrasi.”

Pimpinan dan warga Muhammadiyah sendiri terlihat terbelah dalam aksi ini. Sebagian, seperti Ahmad Syafii Maarif, menentangnya dan menganggap kasus ini mestinya sudah ditutup dengan permintaan maaf Ahok. Namun sebagian yang lain, semisal Amien Rais, justru ikut aktif mendukungnya. Rais bahkan memimpin sendiri aksi massa yang berangkat dari kantor PP Muhammadiyah di Jl. Menteng Raya 62.

(6)

20

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

51 itu adalah “momentum yang diberikan Allah kepada umat Islam” untuk mengalahkannya dalam Pilkada dan momentum kebangkitan umat Islam. Aksi Bela Islam II mendapat dukungan besar dari umat Islam. Sekitar satu juta orang berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia dan sekitarnya. Meski terdapat kericuhan dan bentrokan kecil pada malam harinya, namun secara umum aksi itu bisa dikatakan berjalan damai dan tertib.

Bila Aksi Bela Islam II mendapat dukungan besar dari umat Islam, maka Aksi Bela Islam III yang berlangsung pada 2 Desember 2016 bisa dikatakan fenomenal. Pemerintah, melalui pihak kepolisian, berusaha untuk menggembosi aksi ini. Demikian pula dengan pimpinan dari NU dan Muhammadiyah. Fatwa larangan sholat Jum’at di jalan pun dikeluarkan. Namun, di tengah berbagai hambatan itu, lebih dari sejuta umat Islam berpartisipasi dalam aksi yang dipusatkan di Monas (Monumen Nasional). Beberapa tokoh nasional, semisal Hidayat Nur Wahid, wakil ketua DPR, hadir dan memberikan pidato di arena demonstrasi. Banyak yang menyangka, termasuk penulis, aksi ketiga ini paling besar hanya dihadiri oleh puluhan ribu orang, tidak akan mencapai angka satu juta. Namun yang terjadi justru di luar perkiraan; mendapat dukungan massa yang luar biasa dan berlangsung dengan aman dan tertib.

Kehadiran Jokowi dan pimpinan pemerintah pada Sholat Jum’at di Monas dan mendengarkan khutbah Jum’at dari Rizieq Syihab bisa jadi merupakan blunder atau langkah yang seharusnya tidak dilakukan dalam posisinya sebagai pemimpin negara. Kalaulah ia harus ke sana, maka akan lebih aman bila dilakukan seusai sholat Jum’at. Mengapa? Ini mengulang kesalahan yang pernah dilakukan Jokowi ketika ia membentangkan karpet merah kepada pimpinan GIDI (Gereja Injili di Indonesia) di Istana Merdeka pada Jum’at 24 Juli 2015 atau tak lama setelah peristiwa Tolikara (Aditya 2015). Sama seperti tindakannya terhadap pimpinan GIDI, kehadirannya di Monas seperti memberikan legitimasi terhadap Rizieq Syihab dan Aksi Bela Islam. Bagaimana mungkin presiden mau duduk dan mendengar orang yang sering mengajak masyarakat melawan konstitusi, menganggap hukum Tuhan lebih tinggi dari hukum negara (Marcus Mietzner dan Devin T. Stewart 2016). Banyak pemberitaan dan juga komentar yang menyebutkan bahwa Jokowi berhasil “steals the stage” (mencuri panggung) dengan hadir di Monas. Namun secara simbolik kenegaraaan, itu adalah langkah yang tidak pas. Ia justru membesarkan Rizieq Syihab dan kelompoknya.

(7)

21

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

dituduh anti-Islam atau dituduh menjadi pembela penghina Al-Qur’an. Ada juga yang terlibat karena tak mau ketinggalan kereta dalam arus massa. Sebagian lagi hadir karena menganggap acara ini sebagai party atau festival dan karena itu kesibukan mereka dalam demonstrasi adalah melakukan beragam foto selfie. Ada pula yang hadir karena motivasi ideologis, merasa aksi ini sebagai bagian dari jihad. Ada pula yang didasarkan pada kepentingan politik pilkada karena merupakan pendukung atau tim sukses dari kandidat gubernur tertentu dalam Pilkada DKI Jakarta.

Rizieq Syihab dan Otoritas Keagamaan

Sebelum peristiwa Aksi Bela Islam, Rizieq Syihab, jika dianggap sebagai ulama, maka ia adalah bagian ulama pinggiran. Dalam istilah akademik, ia biasanya disebut low-brow ulama dan sering dikontraskan dengan high-brow ulama semisal Quraish Shihab dan Ma’ruf Amin. Artinya, ia adalah ulama yang kurang didukung oleh penguasaan ilmu keagamaan yang luas dan pendidikan keagamaan yang panjang. Tentu saja bila dibandingkan dengan para dai selebritis, Syihab jauh memiliki ilmu agama. Pendidikan SMA-nya di tempuh di pesantren di Tangerang. Ia kemudian melanjutkan ke LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) Jakarta dan Universitas Imam Muhammad ibn Saud, Riyadh, Saudi Arabia. Di Saudi Arabia ia menyelesaikan S1 dalam bidang hukum Islam (Syari’ah) tahun 1990.3

Amin Abdullah sering menyebut Shihab dan FPI yang dipimpinnya sebagai noisy minority (kelompok kecil yang berisik). Buya Ahmad Syafii Maarif sama sekali tak menganggapnya sebagai ulama. Istilah Buya untuk FPI adalah para “preman berjubah”, yaitu mereka yang suka melakukan aksi teror dengan “membajak” Tuhan sebagai dalih (Maarif 2005). Lebih keras dari Abdullah dan Maarif adalah pernyataan Mark Woodward. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Maarif Institute di Yogyakarta pada 20 Januari 2017, Woodward menyebut FPI sebagai terrorist organization dan menyejajarkan gerakan ini dengan Ku Klux Klan di Amerika Serikat. Apapun pandangan orang terhadap Rizieq Shihab dan FPI, Aksi Bela Islam I, II, dan III telah mengubahnya dari orang marjinal dan peripheral menjadi salah satu tokoh nasional.

Pada Aksi Bela Islam III, Rizieq Syihab menjadi khatib dalam sholat Jum’at yang berpusat di Monas yang secara tak terencana, namun terjadi, dihadiri oleh Presiden Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Agama Lukman Hakim

(8)

22

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Saefuddin, Menteri Polkam Wiranto, Panglima TNI Gatot Nurmanto, Kapolri Tito Karnavian, dan pimpinan negara yang lain. Pada hari itu, ia seperti menjadi pimpinan dari jutaan umat Islam Indonesia. Aksi Bela Islam III seperti telah menyulapnya menjadi tokoh yang tak bisa dikecilkan atau diabaikan.

Sebelum Aksi Bela Islam III atau disebut juga sebagai Aksi 212, pemerintah dan juga banyak dari elemen umat Islam bukan hanya tak memandang Rizieq Syihab. Pemerintah cenderung mengacuhkan dan mengabaikannya. Jokowi berusaha mengontrol suasana dengan mengundang ulama dari NU, Muhammadiyah, dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) datang ke istana negara. Jokowi bahkan mendatangi kantor PP Muhammadiyah di Menteng dan kantor PBNU di Kramat untuk bertemu dengan pimpinan kedua organisasi tersebut. Ia bahkan membuat peristiwa penting dengan menghadiri penutupan Tanwir I Pemuda

Muhammadiyah di Tangerang pada 30 November 2016.4 Namun Presiden

mengabaikan atau tidak mau mengadakan pertemuan dengan pimpinan Aksi Bela Islam yang tergabung dalam GNPF (Gerakan Nasional Pembela Fatwa).

Setelah peristiwa 212, Rizieq Syihab dan GNPF-MUI seperti tak ingin kehilangan panggung dan momentum yang telah mengangkat mereka ke panggung nasional. Diadakanlah Aksi Sholat Subuh Berjamaah pada 12 Desember 2016. Mereka juga sempat merancang Aksi Bela Islam IV atau yang dalam beberapa meme

disebut sebagai Aksi Lempar Jumrah pada 6 Januari 2017 jika tuntutan mereka agar Ahok dipenjarakan karena dianggap melecehkan Islam tidak terpenuhi.

Berbeda dari NU dan Muhammadiyah yang memiliki berbagai amal usaha semisal rumah sakit, sekolah, dan pesantren yang harus selalu diurus, Syihab dan FPI tidak memiliki lembaga-lembaga semisal itu. Gerakan utamanya adalah

melakukan demonstrasi dan sweeping tindakan yang dianggap sebagai maksiat

dengan menggunakan semboyan “amar ma’ruf nahi mungkar”. Karena itu tak punya amal usaha, maka tak ada kesibukan yang menyita pikiran dan tenaganya selain untuk aksi demo dan sweeping.

Selama ini dalam melakukan aksi-aksinya, Syihab lebih banyak mendapat kecaman dari masyarakat, termasuk dari umat Islam. Momentum 212 seperti telah mengubahnya dari zero to hero, dari seorang pecundang menjadi pahlawan. Bahkan beberapa meme yang tersebut di media sosial telah mempersonifikasi sosok Syihab seperti sosok Umar bin Khattab, sahabat Nabi Muhammad

(9)

23

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

dan khalifah kedua dalam sejarah Islam yang terkenal dengan ketegasan dan keberaniannya. Karena itulah, ia ingin terus memelihara momentum tersebut

dan membuat gerakan ini terus bergulir atau jika memungkinkan seperti snow

ball yang semakin membesar.

Selain Aksi Sholat Subuh berjamaah pada 12 Desember, Shihab dan GNPF juga menjadikan semangat 212 sebagai alat kebangkitan ekonomi umat Islam dengan mengadakan FGD bertema “Revolusi Ekonomi, Terobosan Ekonomi

Umat”, pengoperasian Channel 212 dan pendirian Koperasi Syariah 212 yang

diantara unit usahanya adalah 212mart. Masih dengan semangat 212, ketika MUI mengeluarkan fatwa tentang atribut yang berkaitan dengan natal, maka sweeping pun dilakukan oleh anggota-anggota FPI di berbagai toko, swalayan, dan kantor-kantor.

Dalam hal otoritas keagamaan, belakangan ini Rizieq Syihab bahkan memproklamirkan dirinya bukan saja menjadi Imam Besar FPI, tapi Imam Besar Umat Islam Indonesia. FPI mengirimkan surat bai’at (janji setia) itu ke berbagai individu dan pesantren. Isinya adalah kesediaan dan janji setia untuk “mengangkat Dr. Habib Muhammad Rizieq Syihab, Lc, MA, DPMSS, sebagai Imam Besar Umat Islam Indonesia dan berjanji setia atas perintah dan larangannya yang sesuai dengan syari’ah Allah SWT dan Rosul-Nya”. Sebagian orang melihat hal ini masih sebagai bahan tertawaan dan olok-olokan, namun sebagian lagi telah menerima ajakan ini dengan terbuka dan menganggapnya sebagai sesuatu yang serius. Bahkan, ada aktivis Muhammadiyah di beberapa

grup diskusi yang belakangan ini dengan lantang memuji Syihab sebagai “our

leader, our imam”.

Peran NU-Muhammadiyah dan Perkembangan Konservatisme

Ada beberapa yang bisa dibaca dari Aksi Bela Islam dan gerakan Rizieq Syihab. Pertama, bahwa fragmentasi otoritas keagamaan itu ada. Jika sebelumnya NU, Muhammadiyah, dan MUI (yang dulu didominasi oleh orang NU dan Muhammadiyah) adalah pemegang otoritas keagamaan secara nasional, kini muncul tokoh dan lembaga baru di luar NU dan Muhammadiyah. Rizieq Syihab adalah satu nama yang menjadi pusat baru dari otoritas keagamaan setelah Aksi Bela Islam.

(10)

24

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

keikutsertaannya dalam aksi itu adalah karena panggilan dari Syihab. Pasca Aksi Bela Islam III, salah seorang ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah), misalnya, menjelaskan kepada penulis bahwa hal yang membuat dirinya dan orang lain hadir ke Monas pada 2 Desember bukanlah sosok Habib Rizieq Shihab, Aa Gym, Rasmin Zaitun, al-Khattat, Bachtiar Nasir, atau pimpinan GNPF-MUI yang lain, tapi perasaan psikologis dan kepentingan politik yang sama dengan Syihab. “Massa 411 dan 212 memiliki psikologi politik yang sama dengan Rizieq Syihab. Akan tetapi ia bukan pemimpin mereka,” jelasnya.

Ada rasa benci terhadap Ahok yang menyebar ke masyarakat. Kebencian itu berasal, misalnya, dari ucapan-ucapannya yang kadang kasar dan seperti preman. Kebencian itu yang terus di-reproduksi dan disebarluaskan melalui media

sosial dan ceramah-ceramah keagamaan.5 Lantas ditanamkan keyakinan bahwa

ketidakmampuan berkata-kata halus itu merupakan indikator dari pemimpin yang buruk. Seperti dalam kutipan kata-kata di film Mississippi Burning di epigraf tulisan ini, setelah ditanamkan terus-menerus kebencian terhadap Ahok, maka masyarakat lantas menerimanya dan bergerak bersama untuk menentangnya dengan hadir ke Monas pada aksi 212. Psikologi kebencian inilah yang berdasarkan penjelasan Ketua PDM itu yang menjadi penggerak orang untuk ikut bersama Rizieq Syihab menuntut dipenjarakannya Ahok. Seorang peserta lain (EAE) menjelaskan psikologi ini dalam akun twitternya dengan menyatakan, “Saya ikut aksi 411 dan 212 bukan karena Rizieq Syihab tapi ingin berkumpul jamaah se-Indonesia untuk menolak keberadaan Ahoak”. Kebencian terhadap Ahok ini sedemikian dalamnya yang seandainya ia dihukum 400 tahun pun bisa jadi masyarakat masih belum merasa puas (Maarif 2016a).

Sementara aspek politik yang menyatukan umat Islam tentu saja adalah upaya untuk menjegal Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta. Demonstrasi 212 mengintimidasi mereka yang selama ini ingin memilih Ahok atau mereka yang masih ragu-ragu bahwa suara umat Islam dan hukum Islam itu seakan kompak, menolak pemimpin non-Muslim di DKI Jakarta. Demo itu ingin menegaskan bahwa Ahok tidak pantas dipilih bukan hanya karena dia non-Muslim, tapi karena dia non-Muslim yang membenci Islam. Berkaitan dengan Rizieq Syihab, ia menjadi pemimpin dalam berbagai aksi itu adalah karena kebetulan saja dan, dalam keyakinan ketua PDM itu, ia tidak akan bisa mempertahankan peran itu pasca aksi tersebut. Dia hanyalah, meminjam istilah ketua PDM tadi, “accidental” atau “incidental” hero saja.

(11)

25

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Psikologi dan politik kebencian sebagai penyatu dari aksi umat Islam ini mengingatkan kepada apa yang pernah terjadi di Pakistan pada 29 Februari 2016 ketika lebih dari 100 ribu orang berkumpul di Rawalpindi untuk penguburan

Malik Mumtaz Hussain Qadri. Qadri adalah bodyguard yang membunuh tuannya,

Salman Taseer, gubernur Punjab, tahun 2011 karena dianggap membela orang Kristen, Asia Bibi. Dalam tulisan Aatish Taseer (2016), kehadiran orang pada penguburan itu adalah, “motivated not by love for the man who was dead but by hatred for the man he killed”. Demikian pula dalam Aksi Bela Islam, dalam analisis ini, umat berkumpul bukan karena cinta atau mendengarkan ajakan Rizieq Syihab, tetapi karena kebencian terhadap Ahok.

Meski sebagian peserta aksi menolak kepemimpinan Rizieq Syihab dan perannya dalam Aksi 411 dan 212, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Syihab terus membangun otoritasnya dan kredibilitasnya sebagai pemimpin umat Islam dari peristiwa itu. Dan sejak peristiwa itu semakin tampak adanya otoritas keagamaan baru di luar dari NU dan Muhammadiyah yang didengarkan oleh umat Islam Indonesia. Selain instruksi Haedar Nashir dan Said Agil Siradj yang tak diperhatikan oleh umatnya, pergeseran otoritas keagamaan atau perubahan peta otoritas keagamaan di Indonesia itu bisa dilihat pada kasus yang menimpa Ahmad Syafii Maarif. Dalam beberapa tulisannya (Maarif 2016abcdef), Maarif berusaha mengkritik sikap umat Islam dalam menyikapi kasus Ahok. Alih-alih didengarkan, ia malah dikutuk dan di-bully di berbagai tempat, terutama di media sosial. Jika Rizieq Syihab yang menyerang Ahok terus dipuji, Maarif yang mencoba mengkritisi sikap itu terus dicaci.

Tentu saja kehadiran Rizieq Syihab belum bisa dikatakan menggeser atau menandingi peran dari NU dan Muhammadiyah di Indonesia. Meski Syihab telah mengembangkan aktivitas dari FPI tidak hanya pada aksi sweeping dan menyerang bar dan diskotik, tapi juga pada aksi-aksi kemanusiaan dan ekonomi, namun apa yang dilakukannya belum bisa disejajarkan dengan aktivitas NU dan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Kehadirannya baru pada batas memberikan alternatif dan tantangan pada persoalan otoritas berbicara mengenai persoalan agama. Ini yang kemudian menjadi tantangan serius bagi NU dan Muhammadiyah.

(12)

26

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

festival yang menghadirkan jutaan orang. Orang yang hadir dalam Aksi Bela Islam tak semuanya didorong oleh motif politik atau ekonomi. Ada yang, seperti dikemukakan Hilman Latief, karena solidaritas ke-Islaman untuk berkumpul bersama melawan orang “kafir”. Mereka yang suka party dan festival, seperti dikemukakan Zuly Qodir, menjadikan momen ini juga sebagai tempat party

dan festival. Karena itu, mereka sibuk mengambil foto selfie dan membaginya di berbagai media sosial.

Konservatisme yang menjadi pop-culture ini bahkan menyebar hampir di seluruh elemen masyarakat. Tidak hanya pada kelompok yang selama ini kita sebut radikal, tapi juga pada organisasi semisal NU dan Muhammadiyah. Kebencian terhadap mereka yang berbeda, gerakan anti-intelektualisme, dan sikap yang terlalu memuja simbol-simbol agama serta lupa terhadap substansi menjadi gejala umum di masyarakat. Pejabat pemerintah, akademisi, artis, dan bahkan di kehakiman serta kepolisian, orang beramai-ramai memakai celana cingkrang, memilih bekas sujud di kening, dan memiliki jenggot tebal. Jika kita pergi ke mal-mal di Jakarta, maka pengajian-pengajian dengan warna keagamaan cukup keras seperti menjadi trend.

Konservatisme yang dulu dianggap sebagai sesuatu yang out of date, tiba-tiba sebagian berkolaborasi dengan kapitalisme dalam aktivitas semisal fashion show, festival film Islam, sertifikasi makanan halal, perbankan syariah, trend berpakaian, dan sebagainya. Yang bisa berkolaborasi dan kadang menundukkan konservatisme itu ternyata bukan moderatisme, tapi kapitalisme. Gambaran konservatisme yang menjadi pop-culture ini, misalnya ditampilkan Eko Prasetyo (2017) yang membanding film Catatan Si Boy dan Ayat-ayat Cinta: “Jika dulu pada masa Orba itu muncul dalam figur Catatan Si Boy: ganteng, kaya dan punya banyak pacar, kini hadir dalam figur Fahri-tokoh dalam Ayat-ayat Cinta --yang menanggapi apapun dalam tolak ukur Iman. Iman itulah yang jadi predikat untuk menilai situasi apapun, terutama situasi politik” (Prasetyo 2017, 30).

(13)

27

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

beragam. Motornya dan yang paling sering tampil adalah kelompok kedua. Mereka adalah orang yang gamang dan takut mengalami marjinalisasi dan karena itulah mereka bergerak.

Penutup

Dengan revolusi teknologi informasi dan komunikasi, terutama dengan keberadaan internet dan media sosial, masyarakat bisa dengan mudah belajar dan mencari informasi yang berkaitan dengan persoalan keagamaan. Informasi yang sebelumnya hanya bisa diakses melalui buku-buku atau dengan belajar di pesantren, kini bisa dengan mudah ditanyakan kepada Habib Google. Teknologi infomasi ini juga yang memberi peluang seseorang untuk menjadi mufti atau kyai atau ulama tanpa harus belajar agama berpuluh-puluh tahun. Kondisi ini sebetulnya secara teoritis telah menunjukkan adanya fragmentasi otoritas keagamaan, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia dan di seluruh tradisi keagamaan.

Namun fragmentasi otoritas keagamaan yang terjadi di masyarakat baru terasa menghenyakkan pada Aksi Bela Islam I, II, dan III ketika tokoh yang selama ini dianggap otoritatif berbicara tentang agama dan patut diikuti instruksinya ternyata justru diabaikan oleh umat Islam. Mereka lebih memilih bergabung dengan celebrity preachers dan low-brow ulama. Tentu tidak sepenuhnya ini bisa dibaca sebagai perubahan total ketaatan umat kepada ulama tradisional, namun ini menunjukkan bahwa mereka bukan satu-satunya referensi dalam isu agama. Hal lain yang bisa dibaca dari fenomena itu adalah bahwa umat telah memiliki pilihan politis dan emosional sendiri yang didukung oleh peluang mengakses informasi dan kadang pilihan itu berbeda dari pikiran ulama. Mereka memilih bergabung dengan siapa yang sesuai dengan pikirannya tanpa melihat apakah ulama itu dari high-brow atau low-brow. Inilah yang terjadi pada Aksi Bela Islam I, II, dan III.

Terakhir, NU dan Muhammadiyah tentu saja masih akan menjadi representasi dari Islam Indonesia pada tahun-tahun yang akan datang. Namun peta ke-Islaman di Indonesia tidak lagi bisa direduksi atau direpresentasikan oleh dua organisasi itu. Ada warna Islam lain seperti yang diwakili oleh FPI yang terus tumbuh dan menjadi penantang dari keberadaan dua ormas tertua dan terbesar itu.

(14)

28

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Daftar Pustaka

Aditya, Reza. 2015. “Jokowi Undang Ketua GIDI Papua ke Istana

Negara”. Tempo, Jum’at, 24 Juli. https://m.tempo.co/read/

news/2015/07/24/078686307/jokowi-undang-ketua-gidi-papua-ke-istana-negara

Bamualim, Chaider S. 2011. “Islamic militancy and resentment against Hadhriamis in post-Suharto Indonesia: a case study of Habib Rizieq Syihab and his Islamic Defenders Front”. Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East. 31 (2): 267-281.

Ichwan, Moch. Nur. 2005. “’Ulamā’, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia After Suharto”. Islamic Law and Society. 12 (1): 45-72.

Maarif, Ahmad Syafii. 2016a. “400 Tahun untuk Ahok”. Koran Tempo, kolom

Opini. Jum’at, 2 Desember.

---. 2016b. “Energi Bangsa Habis Terkuras”. Republika, kolom Resonansi. Selasa, 22 November.

---. 2016c. “Liarnya Lidah Ahok dan Pintu Masuk”. Republika, kolom Resonansi. Selasa, 15 November.

---. 2005. “Preman Berjubah”. Republika, kolom Resonansi, Selasa, 9 Agustus.

Mietzner, Marcus dan Devin T. Stewart. 2016. “Indonesia’s Growing Islamist Populism.” Asia Dialogues, Carnegie Council for Ethics in International

Affairs, 19 December. http://www.carnegiecouncil.org/studio/

multimedia/20161219/index.html

Prasetyo, Eko. 2017. “Kelas Menengah Islam: Wajah Keagamaan Tanpa Ide Populis”, dalam Dede Mulyanto dan Coen Husain Pontoh (eds.). Bela Islam atau Bela Oligarki? Pertalian Agama, Politik, dan Kapitalisme di Indonesia. Jakarta: Pustaka IndoPROGRESS & Islam Bergerak.

Pernyataan Pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Rencana Aksi 4 November 2016. Nomor: 552/PER/1.0/A/2016. Dikeluarkan di Jakarta, 1 November 2016. Ditandatangani oleh Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum.

(15)

29

MAARIF Vol. 11, No. 2 — Desember 2016

Pernyataan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor: 570/PER/1.0/A/2016 tentang “Aksi Damai 4 November dan Aspirasi Umat Islam”. Dikeluarkan di Jakarta, 8 November 2016. Ditandatangani oleh Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum.

Pernyataan dan Sikap Resmi PBNU Pasca Aksi Demo 4 November 2016. “Saatnya Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat”. Dikeluarkan di Jakarta, 7 November 2016. Ditandatangani oleh Said Aqil Siroj dan Helmy Faishal Zaini selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal.

Rudi, Alsadad. 2016. “Ahok Minta Maaf kepada Umat Islam”. Kompas, News,

Megapolitan. Senin, 10 Oktober. http://megapolitan.kompas.com/ read/2016/10/10/09245441/ahok.minta.maaf.kepada.umat.islam

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pengaruh bauran pemasaran terhadap keputusan pembelian sabun Lux di Kelurahan 7 Ulu Palembang.. Tujuannya untuk

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia yang memiliki pendidikan yang baik, sering mengikuti pelatihan serta memiliki pengalaman bekerja di bidangnya

3.5 Pandangan Imam Syafi’i Terhadap Kadar Susuan yang Mengharamkan Pernikahan Dalam Kaitan Dengan Konteks Kekinian Terlepas dari kejadian pada masa sekarang banyak

Quick on the Draw adalah suatu pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas dan kerja sama siswa dalam mencari, menjawab dan melaporkan informasi dari berbagai

Manfaaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang struktur morfologi dan anatomi keong tutut, dan prosedur dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai

Pemberian dukungan sosial dari suami atau istri lebih memiliki keterdekatan yang lebih tinggi dari pada sumber dukungan yang lainnya. Keterdekatan yang dimaksud di

Dalam akulturasi, setiap budaya masih memiliki identitas konkret, sedangkan dalam asimilasi, identitas budaya dari setiap budaya asli yang mengalami kontak budaya

NPP yang dibuat ini kemudian digunakan untuk mendeteksi kandungan ion merkuri pada sampel lingkungan secara citra digital menggunakan telepon genggam atau kamera