KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TAYANGAN SINETRON TELEVISI INDONESIA TAHUN 20081
Darni2 Abstract
Research results have shown that violence that victimizes women
characters in Indonesian TV sinetron is mostly in the the form of psychological abuse, which involves both men and women as the abusers. In the case of polygamy that is often considered hurt leaving a strong psychological impact to women, there were three of fi ve sinetron that were used as the research data,i.e. Suci, Munajah Cinta, and Cinta Bunga. In spite of the attempt a man like the character Atar to be fair and just to his wives, women are often the victims. One main reason of confl icts and violence between women is their unwillingness to
share their husband’s love with another woman. It is interesting to fi nd that, for
the sake of a man’s love or worldly privileges, women characters are abused
by other women as refl ected in those sinetron, with polygamy as the root of the violence. Two characters, Amelia and Wilda, for instance, plot a murder of their
husbands’ other wife, respectively, in order to gain full control over the husband.
Those events imply that polygamy has the potential to cause anxiety and violence to women.
Key words: motive, attitude, characterperempuan.
A. Pendahuluan
Saat ini pertelevisian Indonesia dibanjiri oleh mode tayangan sinetron.
Sinetron, berbentuk drama bersambung yang ditayangkan setiap hari atau
setiapminggu di layar televisi Indonesia. Hampir setiap setasiun televisi
menayangkan sinetron. Memang ada suatu mode untuk menyamai atau meniru
tayangan setasiun lain, sehingga suatu model tayangan akan disiarkan oleh beberapa
setasiun televisi. Selain sinetron, tayangan yang memiliki kemiripan misalnya,
tayangan lomba menyanyi, seperti dangdut mania, super mama, super soulmate,
Indonesian Idol, Akademi Fantasi, Idola Cilik, Kecil-kecil Cabe Rawit, dan
sebaginya.
Tidak hanya model tayangannya saja yang mirip, tema yang disuguhkan juga
memiliki model yang sama. Saat ini tema-tema poligami disuguhkan oleh beberapa
setasiun televisi.
1 Diterbitkan di Jurnal Lentera, Pusat Studi wanita Unesa, Vol.4, No.2, Desember 2008 2
Malam hari merupakan waktu vavorit untuk tayangan tersebut. Mulai jam
18.00 sampai tengah malam, selalu ada sinetron. Bahkan tidak hanya malam hari,
siang haripun pemirsa masih dapat menikmati tayangan yang terlewat pada alam
hari. Disediakan tayangan ulang pada siang hari. Di sisi lain, waktu tayang yang
bersamaan, mendorong pemirsa memindah-mindah cenel televisi untuk menikmati
tayangan lain di saat iklan lewat.
Sebagai sebuah topik cerita, perempuan memang merupakan topik yang
menarik dibicarakan dalam karya sastra. Nama seorang perempuan sering dijadikan
judul sebuah cerita, baik novel maupun judul sinetron. Tidak hanya dalam
karya-larya populer yang mengekploitasi perempuan sebagai bumbu penyedap sebuah
cerita. Dalam karya serius pun tidak jarang nama perempuan dijadikan sebuah judul
cerita.
Sementara itu, di seluruh dunia, di belahan bumi mana pun, perempuan pada
umumnya menerima perlakukan yang tidak adil dibanding dan oleh pria.
Deskriminasi dan kesewenang-wenangan tersebut menurut Hassan (2004:x)
bersumber dari budaya patriarkhi yang berurat dan berakar sangat kuat dan
disosialisasikan secara turun menurun dalam praktek kehidupan dalam masyarakat.
Menurut Herkiswono (2000:76) patriarkhi sebagai struktur yang menderogasi
perempuan, yang dalam kenyataannya tergambar dalam kebijakan pemerintah
maupun perilaku masyarakat. Diskriminasi tersebut terjadi dalam segala bidang
kehidupan. Dalam dunia kerja misalnya, menurut Lopez (1996:viii) bahwa wanita
seringkali bekerja tanpa bayaran, jika pun dibayar, mereka mendapatkan upah lebih
sedikit dari pada pria. Wanita mengahadapi kekerasan yang semakin tinggi
dikarenakan gender mereka. Tidak sedikit dari mereka menjadi korban kekerasan.
Dalam masyarakat Jawa, menurut beberapa pengamat, perempuan Jawa juga
mengalami diskriminasi. Perempuan semata-mata sebagai obyek dan tidak diberi
kesempatan berinisiatif. Hal tersebut sudah melegenda dalam ungkapan Jawa seperti:
wanita iku swarga nunut neraka katut, yang artinya perempuan selalu dibelakang
laki-laki, termasuk di kehidupan ‘mendatang’, perempuan mesti mengikuti suaminya
ke neraka, dan hanya sebagai angka ikut apabila suaminya bisa mendapatkan surga.
Selain itu perempuan hanya dipandang sebagai pelengkap pengesahan kewibaan
1981:23). Perempuan merupakan salah satu benda di antara empat benda yang harus
dimiliki laki-laki, yakni rumah, senjata, dan kendaraan. Dengan memiliki tiga benda
tersebut dan perempuan maka lengkaplah kekuasaan dan kewibawaan seorang
laki-laki. Dalam perjodohan pun perempuan juga mengalami diskriminasi. Menurut
pengamatan beberapa pengamat, mereka mencatat bahwa sebagian besar perempuan
menikah dengan dijodohkan. Dalam kehidupan rumah tangga pun perempuan
memikul beban mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anak mereka (lihat
Koentjaraningrat, 1984; Geertz, 1989; dan Kartodirdjo, 1993). Sampai saat ini pun
masih banyak perempuan, terutama yang tinggal di pedalaman dan pedesaan, masih
dijodohkan dan tidak berhak menolak jodoh yang sudah ditetapkan.
Bertolak dari kenyataan sosio budaya masyarakat Jawa yang menempatkan
perempuan sangat diskriminatif seperti itu sangat memberi peluang terjadinya
berbagai tindak kekerasan kepada perempuan dalam masyarakat Jawa. Sebuah Pusat
Komunikasi dan Informasi Perempuan yang bernama Kalyanamitra, menyebutkan bahwa kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga, 98 %
korban penyerangan adalah perempuan (1999:5). Di Jawa Timur, menurut catatan
KPPD, tahun 2002 tercatat 429 kasus yang dilaporkan ke kepolisian, dengan 246
korban perkosaan. Kemudian disimpulkan, bahwa rasio satu korban kekerasan terjadi
/35 jam (Mufidah, 2004:148). Bahkan dalam tragedi kerusuhan bulan Mei 1998 di
Jakarta menurut catatan Wandita (2000:117) terjadi pemerkosaan besar-besaran
menimpa para perempuan berdarah Cina dalam sehari.
Berbagai kekerasan terhadap perempuan dalam realita sosial masyarakat Jawa
di atas juga tercermin dalam karya sastra, termasuk sinetron. Pernyataan tersebut
berangkat dari asumsi bahwa karya sastra adalah cerminan kehidupan
masyarakatnya. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan, melainkan dilatari oleh
sosio budaya masyarakat yang menghasilkananya (Damono, 1979; Sugihastuti,
2001). Jauh sebelumnya juga telah dikemukakan oleh Swingewood (1972:19)
bahwa karya sastra mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat.
Maraknya tema poligami dalam tayangan televisi Indonesia juga tidak lepas dari
berita-berita hangat yang menghiasi media massa di Indonesia. Mulai dari kyai
sampai politikus, sekarang tidak segan-segan melakukan poligami. Melalui
tayang sinetron televisi Indonesia. Motif terjadinya kekerasan, dan sikap perempuan
dalam menghadapi kekerasan perlu ditelusuri.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kekerasan dalam fiksi Jawa modern
perlu dicermati dengan segera. Ada 5 permasalah yang akan dipecahkan dalam
penelitian ini berkaitan dengan kekerasan dalam fiksi Jawa modern. Kelima
permasalahan tersebut seperti diuraikan di bawah ini.
1) Bagaimanakah gambaran kekerasan terhadap perempuan dalam fiksi sastra Jawa
modern? Permasalahan pertama ini di samping mengungkap gambaran kekerasan
yang telah terjadi juga mengetahui sejauh mana kekerasan itu menimpa
perempuan dalam tayangan sinetron televisi Indonesia.
2) Kondisi apa yang melatari terjadinya kekerasan yang menimpa perempuan dalam
tayangan sinetron televisi Indonesia. Dengan mengetahui latar belakangnya,
diharapkan akan diketahui pula akar permasalahan kekerasan yang menimpa
perempuan.
3) Sikap dan tindakan apa yang dilakukan tokoh-tokoh perempuan fiksi sastra Jawa
modern dalam menghadapi kekerasan yang menimpa dirinya.
B. Kajian Pustaka
1. Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat
Perempuan dan laki-laki memang berbeda secara fisik dan kodrat. Tetapi
perbedaan itu tidak hanya berhenti sampai kedua hal tersebut, pada umumnya
perempuan dianggap lebih rendah dari pada laki-laki. Menurut seorang ahli
psikologi, Jean Baker Miller, dengan keunggulan tenaga dan bentuk tubuh laki-laki
dipandang lebih dominan dari pada perempuan, sehingga pihak dominan menguasai
dan memandang perempuan sebagai inferior. Berkaitan dengan kekurangan tersebut,
pria memberikan kepada laki-laki sejumlah sifat yang menyenangkan pria, misalnya
sikap menyerah, pasif, penurut, ketergantungan, kurang inisiatif, dan
ketidakmampuan bertindak. Kodrat melahirkan yang tidak dimiliki laki-laki,
menyebabkan laki-laki memandang bahwa perempuan harus mengurus keluarga dan
rumah (Djajanegara, 2000:65-7). Posisi perempuan sebagai pihak yang inferior
agama, dan ilmu pengetahuan merupakan ciptaan laki-laki. Pada umumnya gagasan
tersebut disetujui, termasuk perempuan.
Ciri-ciri perempuan Jawa sebagian sudah disinggung pada bagian latar
belakang. Selain ungkapan-ungkapan tersebut masih banyak
pengamatan-pengamatan para alhi yang menunjukkan pandangan masyarakat Jawa yang rendah
terhadap perempuan Jawa dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam
perkawinan, pekerjaan, dan pergaualan.
Menurut pengamatan Geertz (1983:59) para gadis dikawinkan pada usia yang
terlalu muda. Perkawinan dini itu untuk mencegah agar tidak terjadi sesuatu yang
memalukan yang dapat mencoreng nama baik orang tua. Anak gadis yang banyak
bergaul dengan lawan jenisnya dikhawatirkan tidak akan mendapatkan suami yang
baik dan bertanggung jawab. Pandangan tersebut dalam masyarakat Jawa terungkap
pada ungkapan bahwa mempunyai anak perempuan itu bagaikan ancik-ancik ing
sapucuking eri (berdiri di ujung duri), maksudnya mempunyai akan perempuan
sangat besar tanggung jawab moralnya, harus mengawasinya dengan ketat.
Pengamatan Sartono Kartodirdjo (1993:197) juga menunjukkan bahwa perkawinan
sangat penting bagi perempuan. Perempuan yang sudah dewasa tetapi belum juga
kawin akan mendapat penilaian yang kurang baik, tidak wajar, dan tidak normal,
bahkan dianggap rendah. Status janda juga dianggap tidak wajar. Anggapan seperti
itu tidak hanya dimiliki oleh perempuan yang tidak berpendidikan. Menurut Mulder
(1985:44) perempuan yang berpendidikan tinggi pun juga merasa malu apabila tidak
segera menikah. Dominasi laki-laki dalam perkawinan juga dapat dilihat dari sistem
poligami. Laki-laki yang bisa melakukan poligami melambangkan potensi yang
tinggi akan kejantanan dan wibawanya dalam masyarakat.
Masih berkaitan dengan perkawinan, mengenai kriteria pemilihan jodoh juga
ditentukan oleh laki-laki. Perempuan yang baik adalah perempuan yang memiliki
bobot, bibit, bebet (asal-usul keturunan, kualitas fisik, dan kekayaan)(Kartodirdjo,
1993:186). Selain ketiga hal di atas, menurut ajaran Mangkunegara IV, seorang
laki-laki hendaknya memilih calon isteri yang tariman, yaitu perempuan yang tidak
banyak menuntut (Ardani, 1995:207). Di samping anggapan yang rendah terhadap
perempuan, dalam perkawinan atau rumah tangga banyak perempuan mengalami
tersebut diakibatkan oleh adanya ketergantungan perempuan dalam masyarakat.
Dengan ketergantungan tersebut perempuan berkedudukan di bawah.
Dalam hal pekerjaan perempuan banyak dibedakan dengan laki-laki. Ada sebuah
ungkapan Jawa yang menunjukkan bahwa pekerjaan dapur dan rumah tangga adalah
pekerjaan perempuan, yaitu pintera njala langit wong wadon iku tetep ana pawon
panggonane, maksudnya setinggi apa pun pendidikan perempuan tempatnya tetap di
belakang, mengerjakan pekerjaan dapur dan rumah tangga. Dari data yang ada
Djajanegara menyimpulkan bahwa meskipun angkatan kerja perempuan sudah
menunjukkan angka yang tinggi, namun para pekerja perempuan tersebut sebagian
besar terdapat di desa. Sedangkan di kota angka angkatan kerja perempuan kecil,
rupanya para perempuan kota banyak yang mengambil peran ibu rumah tangga. Di
sektor apa pun jarang perempuan yang menduduki kedudukan pimpinan, sebagian
besar dari mereka menduduki pekerjaan sebagai sekretaris, guru, perawat, dan buruh
pabrik. Di sektor swasta para pekerja perempuan masih mendapatkan perlakukan
yang tidak adil dalam hal pengupahan (1987:239). Meskipun para perempuan sudah
ada yang menduduki kursi sebagai wakil rakyat di MPR dan menjadi menteri, namun
jumlah mereka tetap sangat sedikit, jauh tidak berimbang dengan laki-laki. Di
samping pengupahan dan perlakukan yang tidak adil, banyak perempuan juga
mengalami pelecehan seksual sampai pada pemerkosaan di tempat kerja.
Ditambahkan oleh Sadli (2000:6) bahwa perempuan hanyalah sebagai pencari nafkah
kedua. Pencari nafkah pertama adalah laki-laki. Hal tersebut meruapakan
konsekuensi dari penetapan laki-laki sebagai kepala keluarga dalam UU Perkawinan.
Djajanegara (2000) juga mengungkapkan bahwa feminisme di Indonesia
sedang lesu. Di bidang organisasi, meski banyak organisasi perempuan saat ini,
namun kegiatan mereka tidak ada hubungannya dengan kepentingan perjuangan
kaum perempuan. Padahal pada awal abad 20, perkumpulan perempuan seperti
Poetri Mardika telah dengan tegas mempunyai tujuan memperjuangkan peningkatan
derajat kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dan menghilangkan rasa rendah diri
perempuan terhadap laki-laki. Sekarang, banyak organisasi perempuan, seperti
"Dharma Wanita", "Persatuan Istri Tentara", "Bhayangkari", "Pia Adiagarini", dan
perkumpulan-perkumpulan arisan. Perkumpulan-perkumpulan tersebut semuanya
mata kaum laki-laki, apalagi melindungi perempuan dari kekerasan suami dan
menunutut hak-hak perempuan. Mereka justru mendukung kelancaran kerja dan
jabatan suami. Mereka juga berbicara tentang kepentingan perempuan, namun
mereka cenderung mendorong dan mendukung suami. Di samping itu para ibu dan
gadis muda cenderung mengkonsumsi majalah-majalah wanita yang hanya
menyajikan menu-menu masakan, model-model pakaian, dan keperluan-keperluan
dapur dan rumah tangga. Majalah-majalah tentang perempuan yang beredar pun
hanya majalah populer yang tidak berisi tentang perjuangan hak perempuan dan
perlindungan perempuan dari kekerasan. Sederetan majalah populer seperti itu
misalnya Nyata, Nova, dan Lipstiks. Bacaan bermutu seperti Jurnal Perempuan
justru hanya diminati oleh sekelompok perempuan yang peduli terhadap nasib
perempuan. Kegiatan-kegiatan yang mengajak perempuan dan laki-laki untuk
memahami gender juga kurang diminati. Menurut hasil kegiatan yang dilaksanakan
oleh Pusat Studi Wanita Unesa (Darni, 2005, 2006, 2007, 2008), bahwa setiap ada
kegiatan yang melibatka laki-laki dalam sosialisasi gender, sepi peserta laki-laki.
Mereka memandang bahwa gender merupakan urusan perempuan. Padahal,
pemahaman perempuan akan perannya yang setara dengan laki-laki membutuhkan
kehadiran, kesadaran dan pengertian laki-laki.
Beberapa hal di atas: pola perkawinan, pekerjaan, perkumpulan-perkumpulan, dan
majalah-majalah wanita mendukung semakin kuatnya diskriminasi terhadap
perempuan. Adanya diskriminasi terhadap perempuan Jawa tersebut tidak berbeda
dengan ciri-ciri wanita tradisional yang dikemukakan oleh Ferguson (1981: 6-11),
yaitu selalu bergantung kepada pria, lemah, dan bersikap mendorong kemajuan pria
sebaliknya merendahkan diri sendiri. Sejumlah peran yang mendukung adanya
diskriminasi terhadap perempuan tersebut adalah peran sebagai ibu, isteri, obyek
seks, gadis dan janda yang takut sendiri dan kesepian, dan putri yang selalu ingin
dilayani. Realita yang menunjukkan kuatnya dominasi laki-laki terhadap perempuan
Jawa mendorong semakin suburnya budaya kekerasan terhadap perempuan di
berbagai sektor kehidupan.
2. Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu tindakan nyata akibat adanya
perempuan dimuat dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan di Nairobi tahun 1985, yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan
psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi (Mufidah, 2004:146, Subhan, 2004:7). Dari pengertian di atas
tampak bahwa kekerasan menimpa perempuan terjadi baik fisik maupun psikhis,
berupa tindakan maupun ancaman. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
menurut Humm (2002:485) antara lain berupa pemerkosaan, pemukulan, incest
(hubungan dengan anak kandung), pelecehan seksual, dan pornografi. Ditambahkan
oleh Irianto (2000:186) bahwa kekerasan dapat terjadi di dalam rumah tangga,
kerusuhan massal, konflik bersenjata, incest, pacar yang ingkar janji, dan
perampokan.
Perkosaan merupakan puncak kekerasan terhadap perempuan. Perkosaan akan
meninggalkan penderitaan fisik, psikis, mental pada perempuan. Menurut catatan
PPT Provinsi Jawa Timur, dari 247 kasus kekerasan yang masuk, hanya 31 kasus
yang merupakan kasus kekerasan seksual. Sedikitnya data tersebut, karena
perempuan enggan melapor. Ada pandangan bahwa, melaporkan kekerasan seksual
akan menambah beban dan rasa malu perempuan korban kekerasan sesksual. Ada
faktor lain yang menurut Arivia (2000) merupakan faktor paling sulit dalam memerangi “budaya pemerkosa”, yaitu adanya anggapan bahwa kekerasan seksual merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari, merupakan salah satu sisi biologis
manusia.
Faktor sosio budaya merupakan faktor utama penyebab terjadinya kekerasan
terhadap perempuan. Adanya diskriminasi terhadap perempuan dan sistem patriarkhi,
yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki, menyebabkan perempuan berada pada
posisi yang lemah menjadi sasaran kekerasan. Diungkapkan oleh Funk (2007) bahwa
sejak 6000 tahun yang lalu patriarki menaklukkan perempuan, dan terorganisasi
dalam dominasi laki-laki. Perempuan menjadi milik laki-laki dan harus berterima
kasih atas kebaikan hatinya. Ditambahkan oleh Muhammad (2002:xvi) budaya
memandang perempuan sebagai sumber fitnah, sumber kekacauan dan kerusakan
sosial, serta sumber nafsu birahi laki-laki. Menurut Luhumina (2000:148) dominasi
dan diskriminasi tersebut merupakan ketimpangan historis yang bisa menghambat
kemajuan perempuan dan mendorong munculnya tindak kekerasan. Lebih jauh,
Fakih (1996:x) mengemukakan bahwa tidak hanya peran gender itu saja yang
menyebabkan perempuan menderita, tapi juga faktor kelas atau kasta dalam
masyarakat, warna kulit dan asal darah sukunya. Penderitaan perempuan akibat
penindasan tiga lapis tersebut berhasil ditunjukkan oleh Mosse (1996) dalam
penelitiannya terhadap perempuan di belahan dunia bagian Selatan.
Di samping faktor sosio budaya tersebut, faktor individu merupakan penyebab
langsung terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Menurut pemantauan
Kalyanamitra penyebab kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga adalah: (a) lelaki rendah kepercayaan dirinya, sehingga menghasilkan
rasa cemburu yang besar dan ingin mengendalikan isteri; (b) perempuan bergantung
secara ekonomis kepada laki-laki, (c) alkohol, sifat keras laki-laki, stres kerja, dan
kecemasan karena menganggur (1999:32).
Kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi dalam keluarga, selanjutnya
dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Melalui Undang-Undang
No. 23 Tahun 2004, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga ditegaskan
harus ditiadakan. Selengkapnya bunyi Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan tersebut dapat dilakukan laki-laki
kepada perempuan dalam keluarga yaitu istri, anak tiri maupun anak kandung, ibu,
nenek, kakak, adik, dan saudara.
Kekerasan dalam rumah tangga sebagian besar tidak bisa diungkap atau tidak
bisa diatasi. Kasus kekerasan yang terjadi di antara tembok-tembok keluarga yang
tertutup ini semakin menjadi gunung es, yang sulit dicairkan. Menurut Hartiningsih
(2000:140), hal tersebut disebabkan oleh ketergantungan perempuan kepada suami
Sampurna (2000:55) bahwa keengganan tersebut dikarenakan perempuan merasa
malu kepada lingkungannya dan takut akan adanya kekerasan lanjutan akibat dari
pelaporan yang dilakukan. Dari sisi hukum, menurut Tomasevski (1993:84)
usaha-usaha berbagai negara untuk mengangkat permasalahan kekerasan terhadap
perempuan sebagai sebuah bentuk pelanggaran hak azasi manusia selalu mengalami
kegagalan. Banyak pihak mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak
ada sangkut pautnya dengan hak azasi manusia.
Kekerasan terhadap perempuan tetap berlangsung dan perempuan berusaha
bertahan. Banyak alasan yang memojokkan perempuan untuk bertahan dalam siksaan
dan tidak melaporkan diri untuk mendapat perlidungan. Kalyanamitra (1999:14)
menemukan beberapa sebab mengapa perempuan tetap bertahan dengan kekerasan
yang menimpanya, yaitu: (a) takut ancaman dan pembalasan yang lebih kejam
apabila diketahui akan meninggalkannya; (b) stigma sosial (cap jelek) sebagai istri
yang dipukuli atau menjadi janda; (c) rasa percaya diri rendah (d) untuk kepentingan
anak-anak; (e) mencintai suami dan berharap suami sadar; (f) tidak ada tempat lain.
Untuk penyebab terakhir ini ditambahkan oleh Ollenburger (2002:232) bahwa
apabila para gadis melarikan diri dari siksaan seksual dan fisik di rumah, mereka
sering kali berakhir di jalanan, prostitusi, obat bius, dan bentuk penyalahgunaan yang
lain.
Struktur sosial masyarakat Jawa yang patriarkhi dan dua prinsip hidup orang
Jawa, yakni prinsip rukun, hormat, dan toleransi (Susena, 1991, Handayani, 2004)
memberi peluang yang sangat besar atas terjadinya kekerasan terhadap perempuan
Jawa. Sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga
menyebabkan perempuan tunduk dan di bawah kekuasaan laki-laki. Demikian juga
dua prinsip hidup orang Jawa menuntut adanya sikap saling menjaga kerukunan dan
keharmonisan hubungan antar manusia Jawa. Prinsip hidup tersebut mendorong
perempuan Jawa untuk tetap diam terhadap kekerasan yang diterimanya. Kondisi
psikologis tersebut didukung oleh adanya sifat narima yang melandasi setiap upaya
yang dilakukan oleh orang Jawa. Jadi meskipun perempuan Jawa banyak mengalami
kekerasan dari lawan jenisnya, banyak kontrol sosial yang mengarahkan perempuan
untuk tetap diam. Namun karya sastra, khususnya karya sastra Jawa yang memiliki
memunculkan tindak-tindak kekerasan terhadap perempuan yang tidak dapat
disuarakan oleh perempuan dalam realita kehidupan bermasyarakat. Maka kajian
kekerasan terhadap perempuan Jawa dengan mengambil sumber dari karya sastra
Jawa merupakan jalan yang lebar untuk mengungkap berbagai kekerasan yang telah
dialami dengan sebenarnya oleh perempuan Jawa.
3. Landasan Teori
Pengkajian dalam penelitian ini akan dilakukan secara intrinsik. Sinetron
sebagai salah satu bentuk drama memiliki unur pembangun yang tidak jauh dengan
fiksi. Secara umum unsur pembangun karya sastra berbentuk fiksi yang bersifat
instrinsik meliputi tema, tokoh, alur, latar, dan sudut pandang. Foster (1971:36) dan
Kennedy (2002) menambahkan adanya unsur nada dan gaya. Wellek (2002:237)
mengemukan tentang unsur inti pembangun fiksi, yakni tokoh, latar dan alur. Unsur
pembangun karya sastra yang bersifat intrinsik tersebut ada yang mengelompokkan
lagi menjadi bentuk dan isi. Seperti yang dikemukan oleh Wellek (1963:141), bahwa
struktur merupakan konsep yang terdiri dari bentuk dan isi yang terorganisasi untuk
tujuan estetis. Bentuk dan isi tersebut dipertimbangkan sebagai suatu keseluruhan
dari sistem tanda atau struktur tanda yang berfungsi sebagai suatu tujuan estetis yang
spesifik. Demikian juga menurut Friedman (1976) dalam bukunya Form and
Meaning in Fiksion, unsur bentuk dan isi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan,
keduanya saling berkaitan dalam mewujudkan makna menyeluruh. Sedangkan unsur
pembangun karya sastra secara ekstrinsik berkaitan dengan pengarang, penerbit, dan
sosio, budaya, psikologi, agama, dan nilai-nilai yang melatari terciptanya karya
sastra. Namun, dalam penelitian ini pengkajian dipusatkan pada unsur intrinsik saja.
Unsur pembangun drama seperti yang dikemukakan oleh Kennedy (2001:838)
terdiri dari 3 unsur, yaitu plot, tema, dan karakter. Ketiga unsur tersebut tidak beridir
sendiri-sendiri. Ketiganya berkaitan dalam mewujudkan makna yang utuh. Kajian
kekerasan dalam penelitian ini akan difokuskan pada unsur tema, yakni tema
kekerasan terhadap perempuan, sedangkan unsur yang lain, yakni plot dan karakter
akan mendukungnya.
1. Desain Penelitian
Penelitian ini berada pada bidang ilmu sastra. Penelitian pada bidang ilmu
sastra pada umumnya menggunakan model penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
bukan berarti suatu model penelitian yang mengharamkan data-data statistik. Namun
penelitian ini tidak memanfaatkan data-data statistik. Menurut Sukmadinata
(2007:60), penelitian kualitatif bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis
fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang
secara individual maupun kelompok.
Metode yang digunakan dalam penelitian sastra memiliki tiga sifat, yakni
deskriptif, analitis, dan komparatif (Aminuddin, 1990:120). Dua metode yang disebut
paling awal, digunakan dalam penelitian ini. Di samping memberi penjelasan secara
sistematis dari fakta sasaran kajian yang disusun berdasarkan pendekatan, teori, dan
cara kerja yang sudah ditetapkan, penelitian ini dilanjutkan tahap analisis dengan
menghubungkan hasil diskripsi guna menemukan perbedaan sikap para tokoh
perempuan dalam menyikapi kekerasan yang dialami.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah sinetron yang ditayang di layar televisi
Indonesia. Sumber data dibatasi pada sinetron karya cipta anak bangsa. Sinetron hasil
dubing dari sinetron manca negara tidak dijadikan sumber data dalam penelitian ini.
Tidak semua drama dalam sinetron televisi Indonesia dijadikan sumber data dalam
penelitian ini. Sumber data dibatasi berdasarkan fokus penelitian, yaitu sinetron yang
memiki nuansa kekerasan.
Setelah dilakukan pengamatan awal, ditentukan 5 judul sinetron yang dijadikan
data dalam penelitian ini. Kelima judul sinetron tersebut diproduksi oleh stasiun
televisi RCTI dan SCTV di tahun 2008. sampai penelitian ini disusun,tayangan cerita
tersebut belum semuanya berakhir. Tayangan sinetron yang belum berakhir yaitu
Suci dan Munajah Cinta. Sedangkan 3 judul tayangan sinetron yang sudah tamat
yaitu: Cinta Bunga, Gara-gara Cinta, dan Cahaya. Cinta Bunga dinyatakan sudah
berakhir, dan ganti dengan tayangan lain. Namun cerita tersebut diberitahukan akan
dilanjutkan dengan Cinta Bunga 2. dalam penelitian ini Cinta Bunga yang
dinayatakan tamat itulah yang dijadikan sumber data penelitian.
Data penelitian ini adalah semua keterangan baik berbentuk dialog, sikap, dan
perilaku tokoh yang berhubungan dengan kekerasan yang terjadi terhadap
perempuan dalam ranah domestik maupun ranah publik.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode telaah pustaka. Yang dimaksud
pustaka dalam penelitian ini adalah tayangan sinetron di layar kaca Indonesia,
khususnya RCTI dan SCTV. Cara pengumpulan data dengan metode pustaka
ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Menyimak dengan seksama tayangan sinetron yang telah ditentukan sebagai
sumber data penelitian.
2) Mencatat bagian-bagian cerita berupa dialog, tindakan, dan pikiran tokoh
yang memuat kekerasan.
3) Membuat klasifikasi berdasarkan catatan yang dibuat sesuai dengan
permasalahan dalam penelitian.
5. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode kerja telaah teks drama. Sebagai langkah
awal untuk mendeskripsikan gambaran kekerasan dalam tayangan sinetron Indonesia
dilakukan dengan analisis struktur yang dipusatkan pada unsur tema, sedangkan
unsur pembangun drama lainnya mendukung perwujudan tema kekerasan yang
menjadi pusat perhatian. Sesuai dengan pendpat Teauw (1984:135) bahwa analisis
struktur merupakan pintu pembuka ke analisis selanjutnya. Metode diskripsi
digunakan untuk menguraikan kondisi yang melatari terjadinya kekerasan terhadap
perempuan, sikap dan tindakan yang dilakukan para tokoh dalam menghadapi
kekerasan yang menimpanya.
D. Pembahasan
Pada bagian ini akan dibahas tiga hal berkaiatan dengan kekerasan dalam
tayangan sinetron televisi Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah: gambaran kekerasan
yang menimpa tokoh perempuan dalam tayangan sinetron televisi Indonesia, motif
yang melatari terjadinya kekerasan tersebut, dan sikap yang diambil oleh para tokoh
1. Gambaran Kekerasan yang Menimpa Perempuan dalam Tayangan Sinetron Televisi Indonesia.
Ada tiga bentuk kekerasan yang menimpa perempuan. Kekerasan bisa
berbentuk fisik, psikologis, dan seksual. Ketiga bentuk kekerasan tersebut bisa
berdiri sendiri, bisa dua atau bahkan ketiganya bersama-sama menimpa perempuan.
Demikian juga yang terjadi pada para tokoh perempuan dalam sinetron tayangan
SCTV dan RCTI dalam penelitian ini.
1.1 Kekerasan Psikologis
Kekerasan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh
semua tokoh utama dalam cerita sinetron yang terpilih sebagai sumber data
penelitian ini. Tokoh utama dalam Cahaya (RCTI, 2008), yang juga bernama
Cahaya mengalami banyak siksaan batin dari orang-orang disekitarnya. Ayahnya
sendiri, yang sebenarnya bukan ayah kandungnya, sering mngecewakannya. Di
samping sering berkata kasar dan memaki-maki, laki-laki yang memang bertabiat
jelek tersebut sering berniat akan menjual dan memanfaatkannya. Akibat dari
kelakuannya tersebut Cahaya mengalami siksaan batin. Air mata Cahaya sering
mengalir sebagai ekspresi dari siksaan batin dan penderitaan yang diaminya akibat
dari kekerasan psikologis yang dilakukan oleh ayahnya.
Laki-laki tersebut juga gampang dimanfaatan oleh orang-orang yang berniat
mencelakai Cahaya. Ia dimanfaatkan oleh oma Satriya, suami Cahaya, untuk
memisahkan Cahaya dari Satriya. Cahaya dibawanya pergi jauh dari kota Jakarta
agar tidak bisa bertemu dengan Satriya.
Namun, ada sisi baik dari lelaki yang mengaku-aku ayah kandung Cahaya
tersebut. Meskipun Cahaya bukan anaknya sendiri, lelaki tersebut tidak pernah
berniat untuk melakukan kekerasan seksual kepada Cahaya. Bahkan di akhir cerita,
lelaki tersebut telah mengalami perkembangang karakter, menjadi ayah yang
sesungguhnya. Ia tidak lagi memanfaatkan cahaya demi uang. Ia menjadi sangat
perhatian kepada Cahaya.
Cahaya juga sering dihina oleh mertuanya terutama mertua perempuan.
Penghinaan tersebut berupa umpatan kata-kata jelek dan kasar maupun tindakan
yang menyakitkan hati Cahaya. Begitu juga oma Satriya. Perempuan tua tersebut
yang tidak berbahaya sampai pada cara yang membahayakan jiwa. Ujung dari
kebencian perempuan tua tersebut kepada Cahaya membuahkan kematian cicitnya
sendiri, Racil. Anak kecil tersebut sudah dibuang dari lahir oleh oma dan mertua
perempuan Cahaya. Kematian Racil menyisakan penyesalan di hati Oma. Dari
kematian cicit itlah perempuan tua tersebut sadar dari perbuatannya yang
sewenang-wenang kepada Cahaya. Tokoh Oma mengalami perkembangan kepribadian dari
membenci Cahaya menjadi menyukai Cahaya. Bahkan perempuan tersebut berusaha
menyatukan kembali Cahaya dengan Satriya.
Puncak kekerasan psikologis yang menimpa Cahaya terjadi saat Cahaya harus
berpisah dengan Satriya dengan latar belakang perselingkuhan. Cahaya dituduh
selingkuh dengan Raka. Alasan tersebut merupakan trik yang memang dibuat oleh
Oma dan mertua perempuan Cahaya untuk memisahkannya dengan Satriya. Namun,
Cahaya selalu diberi keberuntungan dalam cinta. Cahaya selalu mendapatkan
keberuntungan dalam cinta. Ia selalu mendapatkan cinta sejati dan tulus. Meskipun
penuh penderitaan, ia selalu disukai oleh laki-laki tampan dan kaya. Pertama-tama
Raka. Perjaka tampan tersebut menjadi perebutan antara Cahaya dan Talita.
Meskipun tidak bisa menikah, Raka sangat mencintai Cahaya. Kedua, Satriya, lelaki
tampan dan anak pejabat tersebut rela menderita demi Cahaya. Ketiga Firman, lelaki
kaya tersebut juga rela dipenjara demi cintanya kepada Cahaya. Di akhir cerita,
meskipun Cahaya menderita cacat fisik, kakinay lumpuh, justru mendapatkan
kebahagiaan bersama Satriya, lelaki yang sangat dicintainya.
Kekerasan psikologis juga menimpa tokoh Talita, masih dalam sinetron Cahaya
(RCTI, 2008). Gadis cantik yang tidak begitu beruntung dalam percintaan tersebut
dipaksa oleh orang tuanya, terutama mamanya, untuk menikah dengan laki-laki kaya
pilihan mereka.
Kekerasan psikologis juga banyak dialami oleh tokoh Bunga dalam Cinta
Bunga (SCTV, 2008). Tokoh utama perempuan tersebut selalu diteror oleh Wilda.
Kedua perempuan tersebut memperebutkan seorang lelaki bernama Reno. Wilda,
rival Bunga, selalu menghina dengan kata jelek dan kasar yang bersumber dari
kemelaratan yang dialami bunga. Wilda meneror Bunga mulai dengan segala cara,
mulai dari telepon, menakut-nakuti, sampai ke cara-cara berbahaya yang terencana.
kendaraan. Namun, justru Wilda sendiri yang celaka. Mukanya hancur, sampai ia
menjalani face off. Kejadian tersebut tidak membuatnya sadar, justru mendorongnya
melakukan balas dendam. Perempuan tersebut tidak mengalami perkembangan
kepribadian sampai akhir hayatnya. Kebenciannya kepada Bunga dibawa sampai
mati.
Orang tua Reno, Bu Ratih, yang akhirnya menjadi mertua Bunga juga sangat
tidak suka kepada Bunga. Perempuan tersebut banyak melakukan kekerasan
psikologis kepada Bunga. Ia justru merupakan dalam kekerasan tersebut. Ratih selalu
melontarkan penghinaan dengan kata-kata kasar. Kemiskinan merupakan alasan
mendasar untuk menolak Bunga sebagai menantu. Harta warisan merupakan alasan
kedua untuk membenci Bunga. Harta warisan adik iparnya, Arman, justru jatuh ke
tangan Bunga. Bunga dituduh telah berlaku tidak senonoh, sehingga Arman rela
memberikan seluruh hartanya kepada Bunga. Bunga menghadapi perlakuan
mertuanya dengan sabar. Ia tidak membalas perlakuan mertuanya dengan dendam.
Justru ia berdoa agar mertuanya disadarkan dan dibuka hatinya untuk menyukainya.
Di akhir cerita Ratih mengalami perkembangan kepribadian. Perempuan tersebut
berbalik membenci Wilda dan menyukai Bunga.
Kekerasan psikologis juga diterima Bunga dari suaminya. Reno melakukan
poligami meskipun tidak dikehendakinya. Kehadiran Wilda sebagai istri kedua Reno
merupakan himpitan psikologis bagi Bunga. Lebih banyak masalah yang dihadapi
Bunga akibat keculasan Wilda. Dengan kehadiran anaknya, Wilda justru ingin
menguasai Reno sepenuhnya. Namun, perempuan tersebut mengalami nasib yang
mengenaskan. Di akhir cerita ia meninggal, jatuh dari lantai dua rumah Reno.
Wilda juga mengalami kekerasan psikologis dari Reno. Meskipun ia mencintai
Reno sepenuh hati, namun tidak dibalas oleh Reno. Wilda justru mendapatkan
perlakuan tidak adil dari Reno. Sebagai istri kedua ia banyak ditelantarkan oleh
Reno. Bahkan ia tidak diberi nafkah biologis maupun psikologis. Bagi Reno,
menikahi Wilda merupakan kesalahan. Cinta Reno hanya untuk Bunga. Meskipun
hal tersebut benar, namun sebagai suami, Reno telah berbuat tidak adil kepada
istri-istrinya. Ia tidak bertanggung jawab untuk merukunkan istri-istrinya dan
Tokoh Tika dalam Gara-gara Cinta, mengalami kekerasan psikologis dari
pacarnya. Perempuan tersebut ditinggalkan oleh pacarnya saat melangsungkan
pertunangan. Rasa malu dan kecewa memenuhi dadanya, saat pacarnya, andes, tidak
datang di hari pertunagannya. Dalang dari kekerasan ini juga perempuan yang
dilatari oleh perebutan lelaki. Lisa, perempuan kaya yang mencintai Andes,
menghasut Andes untuk tidak datang di pertunangannya.
Tika juga mendapatkan kekerasan psikologis dari tokoh perempuan lain, ibu
Andra. Kemiskinan Tika mendorong perempuan tersebut memisahkan Tika dengan
anaknya. Ibu Andra selalu berupaya memisahkan anaknya dari perempuan miskin
seperti Tika. Tampak bahwa cerita ini tidak menghendaki adanya pembauran antara
si kaya dan si miskin. Meskipun Andra dan Andes sangat menyukai Tika, namun
akhirnya keduanya tidak bis amemiliki Tika. Justru Fuad, anak pedagang menengah
yang berhasil menikahi Tika. Tema tersebut diperkuat dengan sikap ibu Andra yang
bercerai dengan suaminya, ayah Andes dan Andra yang miskin. Ibu Andra juga tidak
menerima Andes sepenuhnya sebagai anak karena ikut ayahnya yang miskin.
Dalam sinetron Suci (SCTV, 2008), tokoh utama Suci banyak mengalami
kekerasan psikologis dengan menjadi istri kedua Denis. Suci sangat menderita karena
tidak ada kepercayaan dari suaminya. Meskipun ketidakpercayaan Denis kepada Suci
didalangi oleh Amelia, istri pertama Denis, perlakuan Denis yang langsung percaya
kepada istri pertamanya tersebut merupakan tindakan tidak adil. Di dorong oleh
keinginan untuk menguasai suami dan menang dari Suci, Amelia banyak melakukan
berbagai kekerasan, terutama kekerasan psikologis kepada Suci. Amela sering
mangancam dan ingin menyakiti Suci, yang membuat Suci selalu dihantui ketakutan.
Suci juga mengalami kekerasan psikologis yang dahsyat dari mertua
perempuannya. Anet dengan mudah mengeluarkan penghinaan kepada Suci karena
kemiskinan Suci. Tokoh tersebut juga berusaha menyingkirkan Suci dari rumah dan
anaknya. Dengan bekerja sama dengan Amelia, Anet mengambil anak Suci. Akibat
kehilangan bayi tersebut, Suci mengalami tekanan batin yang hebat.
Satu-satunya lelaki yang banyak melakukan kekerasan terhadap perempuan
adalah tokoh Marcel. Lelaki tersebut sering mengintimidasi dan memeras Amelia,
pacar yang berhasil dihamilinya, untuk mendapatkan uang. Marcel juga mengancam
kekerasan psikologis kepada anak kecil. Tiara diculik dan dibentak-bentak yang
mengakibatkan ketakutan.
Tokoh Martin juga melakukan kekerasan psikologis kepada Suci. Ia memaksa
Suci untuk bertunangan dan akhirnya kawin kontrak demi kepentingannta sendiri.
Meskipun Martin bertujuan baik dan memang ia tokoh yang bertabiat baik,
tindakannya memaksakan kehendak kepada Suci merupakan tindak kekerasan
terhadap perempuan. Martin juga melakukan kekerasan psikologis kepada Tania. Ia
tidak memberi maaf Tania yang telah menyesali dan meminta maaf atas kekilafannya
tidur dengan lelaki lain. Martin justru selalu melontarkan penghinaan kepada Tania
sebagai perempuan murahan. Meskipun tuduhan tersebut benar, namun perlakuan
Martin tersebut merupakan kekerasan psikologis, akibat dari tindakan lelaki tersebut
Tania menjadi malu, sedih, dan menderita batin.
Kekerasan psikologis juga dominan pada sinetron Munajah Cinta (RCTI,
2008). Poligami merupakan biang kekerasan dalam sinetron tersebut. Ada dua lelaki
yang melakukan poligami dalam cerita tersebut. Ironisnya lagi, kedua kelaki tersebut
berada dalam hubungan bapak dan anak. Namun kedua tokoh tersebut memiliki latar
belakang dan tabiat yang berbeda dalam poligami yang dilakukannya. Tokoh
bapaklah, Sanjaya, yang melakukan poligami dengan latar belakang pemuasan nafsu
biologis dan berakibat munculnya kekerasan psikologis yang mendalam bagi
istrinya. Lelaki tersebut telah membohongi istrinya, Intan, dengan melakukan kawin
siri dengan perempuan yang lebih muda.
Poligami yang dilakukan oleh tokoh Sanjaya mengakibatkan kekerasan
psikologis yang sangat dalam. Intan menjadi gila dan dijebloskan ke dalam rumah
sakit jiwa. Gila dan dimasukkan rumah sakit jiwa merupakan tekanan jiwa yang
sangat dalam. Istri muda Sanjaya juga ikut menyiksa Intan.
Banyak tokoh perempuan mendapatkan kekerasan psikologis oleh perempuan
juga. Perempuan saling menyakiti hati perempuan lain. Motif psikologis mereka
mengarah kepada kecemburuan dan perebutan laki-laki. Wilda dalam Cinta Bunga
(SCTV,2008) selalu menyakiti Bunga untuk merebut Reno. Perasaan cintalah yang
melandasi Wilda melakukan berbagai kekerasan baik psikologis maupun fisik kepada
untuk merongrong Bunga. Secara fisik Wilda sering menampar dan ingin membunuh
Bunga agar dapat memiliki Reno.
Amelia dalam sinetron Suci, juga sering menyakiti hati Suci karena
keinginannya menguasai Denis. Amelia pandai menyusun rencana untuk
menyingkirkan Suci dari sisi Denis. Amelia ingin mendapatkan perhatian dan kesan
psikologis yang baik dari Dennis. Amelia merebut anak Suci, dan menyiksa batin
Suci dengan tidak mengijinkan Suci menyusui anaknya sendiri. Namun di depan
Dennis, Amelia berpura-pura memberi kesempatan kepada Suci menyusui anaknya,
Tiara.
1.2 Kekerasan Fisik
Tidak banyak kekerasan fisik yang terjadi dalam 5 sinetron yang menjadi
sumber data penelitian ini. Dari lima cerita, hanya 2 cerita yang menonjolkan
kekerasan fisik, yaitu sinetron Gara-gara Cinta (RCTI, 2008) dan Suci (SCTV,
2008). Dalam Gara-gara Cinta tokoh Tika sering diperlakukan dengan kasar oleh
tokoh Andra, lelaki yang sangat mencintai Tika. Tika didorong dan ditampar oleh
lelaki tersebut karena kesal dan kecewa. Namun kekerasan fisik yang dialami oleh
Tika tidak sampai mengakibatkan luka parah apalagi cedera.
Dalam Suci, tokoh Marcel merupakan satu-satunya lelaki yang saring
melakukan kekerasan fisik kepada perempuan. Tindakan kekerasan yang dilakukan
Marcel sangat membahayakan jiwa perempuan. Suci dan Oma Upik, pernah
dicelakai dua kali. Suci dan Oma pernah dibakar di suatu rumah. Kedatangan tokoh
Denis menyelamatkan keduanya dari kobaran api. Keduanya juga pernah akan
didorong ke dalam jurang. Namun, tindakan Marcel juga tidak membuahkan hasil.
Justru ia sendiri yang terjerumus ke dalam jurang. Tokoh lelaki tersebut memang
berdarah dingin. Ia juga tega mencelakai anak kecil. Tiara, anak Suci, dilempar ke
jurang dan mengakibatkan Martin, penolongnya, hampair kehilangan nyawa. Marcel
juga melukai Lilis, perempuan yang mengasuh Tiara, sampai terluka parah. Bahkan
Marcel juga ditakuti oleh Amelia, pacarnya, karena iapun tega melukai pacarnya
kalau keinginannya tidak terpenuhi.
Tokoh Wilda dalam Cinta Bunga (SCTV,2008), sering dianiaya oleh Very,
suami Viola. Wilda yang dirubah wajahnya menjadi Viola mengalami penyiksaan
dilayangkan ke tubuh Wilda dengan tanpa bersalah. Lelaki tersebut memang
mengalami gangguan kejiawaan. Ia suka menyiksa perempuan dengan tanpa alasan
kesalahan yang jelas. Wilda tidak mau makan saja juga mendapatkan siksaan.
1.3 Kekerasan Seksual
Ada dua cerita yang menyuguhkan adanya kekerasan seksual, yakni sinetron
Cahaya (RCTI, 2008) dan Munajah Cinta (RCTI,2008). Tokoh Talita diperkosa oleh
lelaki yang mengalami kelainan kejiwaan. Lelaki tersebut mengaku sudah pernah
memperkosa 99 perempuan. Talita adalah orang ke 100 yang telah diperkosanya.
Akibat pemerkosaan tersebut tokoh Talita mengalami gangguan kejiwaan.
Perempuan malang tersebut mengalami depresi yang sangat berat. Dalam waktu yang
tidak singkat perempuan tersebut dihantui ketakutan kepada semua orang baik
laki-laki maupun perempuan. Namun penderitaan tersebut berhasil dilaluinya berkat
kepercayaan dan kasih sayang Raka, lelaki yang dicintai dan mencintainya.
Sedangkan tokoh Mainunah dalam Munajah Cinta (RCTI,2008), justru
diperkosa oleh lelaki yang sangat mecintainya, bernama Bakri. Lelaki tersebut
beranggapan bahwa, setelah diperkosa, perempuan tersebut justru memintanya untuk
menikahi. Namun, kenyataannya Maimunah justru tidak mau menikah dengan Bakri.
Ia justru menikah dengan lelaki yang tidak mencintainya. Bakripun ingin mengulangi
perbuatannya kepada Maimunah. Ironisnya, Bakri tidak pernah tertangkap dan tetap
bisa melakukan teror kepada Mainumah. Pemunculan tokoh Bakri dalam cerita ini
dirasakan disengaja sebagai selingan yang menggugah tawa. Dua orang teman atau
pembantu Bakri yang bertingkah laku lucu dan agak bodo bisa mengundang tawa.
2. Motif Kekerasan
Ada tiga motif yang melatari terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan muncul dilatari oleh dorongan biologis, psikologis, dan ekonomi. Ketiga
motif tersebut akan dibahas secara rinci seperti di bawah ini.
2.1 Motif Biologis
Motif biologis mengacu kepada tujuan pemuasan hasrat biologis laki-laki
kepada perempuan. Laki-laki melakukan kekerasan kepada perempuan karena ingin
memuaskan hasrat biologis semata. Tokoh Sanjaya melakukan poligami dan
mengakibatkan kekerasan psikologis terhadap Intan karena ingin memuaskan
perkawinan Sanjaya dengan Sri dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, namun
akhirnya diketahui oleh istrinya dan mengakibatkan Intan menderita depresi yang
sangat berat.
Tokoh lelaki yang memperkosa Talita, yang utama jelas dilatari oleh pemuasan
nafsu birahi lelaki yang brutal dan tidak terkontrol. Perkosaan yang mengakibatkan
depresi pada pihak perempuan tersebut tanpa perencanaan sebelumnya. Apa yang
dialami oleh Talia memang murni korban pemuasan nafsu biologis lelaki. Lelaki
pemerkosa tersebut sudah sangat sering melakukan pemerkosaan. Diungkapkan oleh
tokoh lelaki itu sendiri bahwa ia telah memperkosa 99 perempuan. Ucapan lelaki
tersebut merupakan strategi pemerkosa untuk melemahkan keberanian perempuan
untuk melakukan pemberontakan. Lelaki tersebut akhirnya berhasil ditangkap dan
diadili.
2.2 Motif Psikologis
Lelaki melakukan kekerasan kepada perempuan juga didorong oleh keinginan
yang menuju ke arah pemuasan psikologis. Lelaki melakukan kekerasan bisa
didorong oleh perasaan cemburu, kecewa, atau karena gengsi.
Tokoh Andra dalam Gara-gara Cinta (RCTI,2008) melakukan keerasan fisik
kepada Tika lebih didorong oleh perasaan kecewa karena Tika tidak mau menjadi
pacarnya. Tika lebih mencintai Andes dari pada Andra. Andra sering memaksakan
kehendak dengan berbuat kasar kepada Tika agar perempuan tersebut mau menerima
cintanya. Namun, tindakan lelaki tersebut justru membuat Tika tambah
membencinya. Lelaki tersebut akhirnya mengalami perkembangan karakter. Andra
berubah menjadi penyabar dan tidak pernah melakukan kekerasan kepada Tika.
Sebaliknya, Andra rela berkorban demi Tika. Andra rela melepaskan Tika demi
kebahagiaan perempuan tersebut.
Tokoh Andes juga memiliki latar belakang yang bersifat psikologis ketiga
meninggalkan Tika di hari pertunangannya dengan perempuan tersebut. Andes
merasa dibohongi oleh Tika, karena ia mengira Tika tidak mencintainya. Kegagalan
penyatuan cinta antara Andes dan Andra dengan Tika tampaknya menunjukkan sikap
pengarang terhadap pergaulan dan perkawinan. Wong cilik tidak bisa bergaul apalagi
perempuan dari kelas bawah tersebut akhirnya menikah dengan Fuat, lelaki dari
kalangan menengah dan pedagang.
Tokoh Firman dalam Cahaya (RCTI,2008), meninggalkan Cahaya, ingin
menceraikannya yang menimbulkan kekacauan pikiran Cahaya, karena tidak ingin
membuat Cahaya menderita. Secara sekilas apa yang dilakukan tokoh Firman
merupkan kekerasan, karena dampaknya memang membuat tokoh Cahaya bingung
dan tertekan. Namun sebenarnya tindakan Firman tersebut untuk menghindarkan
Cahaya dari musibah yang menimpa dirinya.
Tokoh Reno dalam Cinta Bunga (SCTV,2008), banyak menghina, dan
mencaci maki Wilda karena didorong oleh hal-hal yang bersifat psikologis. Pertama,
Reno memang tidak menyukai Wilda sama sekali. Tabiat jelek Wilda sangat tidak
menarik Reno. Kedua, Reno hanya mencintai Bunga. Kehadiran Wilda sangat tidak
diinginkan Reno. Begitu juga tokoh Bu Ratih sering mencaci maki Bunga sebagai
orang miskin. Kemiskinan bukan merupakan hinaan bagi Bunga. Namun, harga
dirinya yang dikaitkan dengan kemiskinan sangat menyinggung perasaan Bunga. Bu
Ratih melakukan penghinaan tersebut dengan sengaja, dengan motif agar Bunga
tidak kerasan di rumahnya, yang sebenarnya justru rumah Bunga dari pemberian
Arman, adik ipar Bu Ratih.
Bakri dalam Munajah Cinta (RCTI,2008), memperkosa Maimunah tidak
semata-mata terdorong oleh motif biologis. Bakri sangat mencintai Maimunah.
Lelaki tersebut berharap bisa menikahi Maimunah. Ia mau melakukan apa saja yang
diminta oleh Maimunah asal perempuan tersebut mau menerima dirinya. Di sisi
lain,Maimunah juga berharap Bakri dapat berubah menjadi orang yang baik, dan
anaknya bisa mengetahui bahwa ayahnya orang baik-baik. Namun, harapan tersebut
tidak terwujud, karena sifat dasar Bakri yang jelek menghalangi tujuan tersebut.
Sebaliknya, karena motif psikologis juga, banyak tokoh laki-laki melakukan
pengorbanan demi kebahagiaan perempuan yang dicintainya. Ali dalam sinetron
Munajah Cinta (RCTI,2008), pergi meninggalkan Viona karena ia tidak mau melihat
Viona menangis di depan jasatnya. Penyakit yang dideritanya dibawa pergi
meninggalkan Viona. Begitu juga Satriya dalam Cahaya (RCTI,2008) rela
melepaskan Cahaya menikah dengan laki-laki lain untuk kebahagiaan perempuan
kebahagiaan Suci. Dennis merelakan Suci hidup bahagia dengan Martin, sedangkan
ia hidup sendirian.
2.3 Motif Ekonomi
Hanya satu laki-laki dari 5 sinetron dalam pembahasan yang tega melakukan
kekerasan kepada perempuan hanya demi uang. Laki-laki tersebut telah melakukan
kekerasan fisik dan psikologis kepada tokoh-tokoh perempuan dalam sinetron Suci
demi mendapatkan uang. Uang memang sangat berharga bagi lelaki tersebut. Bahkan
uang lebih berharga dari pada nyawa manusia. Lelaki tersebut bernama Marcel.
Marcel selalu melakukan pemerasan disertai kekerasan dalam setiap aksinya.
Marcel memang pemuda pengangguran. Pertama-tama, Marcel tega bersandiwara
dengan pacarnya sendiri demi uang. Ia tega memeras pacar sendiri demi uang.
Karenanya, ia tidak berharga di mata pacarnya sendiri, Amelia. Bagi tokoh lelaki ini,
uang di atas segalanya. Pacarnya bahkan harga dirinya sendiri tidak lebih berharga
dari pada uang. Pacarnya diberikan untuk menikah dengan lelaki lain. Harga dirinya
sebagai laki-laki juga diinjak-injak orang lain hanya karena uang.
Tokoh yang paling menderita karena ulah Marcel adalah Suci. Sebenarnya
biang atau otak kejahatan dalam sinetron tersebut justru Amelia. Dilandasi oleh
keserakahan untuk memiliki Dennis, perempuan tersebut bekerja sama dengan
Marcel untuk menyakiti Suci dan orang-orang yang menghalangi keinginannya.
3. Sikap Tokoh Perempuan dalam Menghadapi Kekerasan
Para tokoh menunjukkan sikap yang berbeda dalam menghadapi kekerasan
yang menimpanya. Ada yang bersikap menyerah apa adanya, ada yang melawan, dan
ada yang berusaha mandiri. Ketiga sikap tersebut akan dibahas secara rinci di berikut
ini.
3.1 Menyerah
Tokoh Intan dalam Munajah Cinta (RCTI,2008) hanya pasrah menerima
nasibnya setelah mengetahui suaminya menikah lagi dengan perempuan lain yang
lebih muda. Tidak ada tindakan melawan dengan pergi dari rumah ataupun minta
cerai dari suaminya. Yang dilakukannya jutru mengamuk kepada istri muda
suaminya. Tindakannya itulah yang dijadikan alasan oleh isri muda suaminya dan
membahayakan orang lain. Hal tersebut dikarenakan, perempuan itu sudah merasa
percaya sekali kepada suaminya. Karena besarnya kepercayaan tersebut
mengakibatkan Intan menderita sakit jiwa dan diasingkan ke rumah sakit jiwa oleh
suami dan madunya.
Kepasrahan yang berlebihan dilakukan oleh tokoh Kumairah dalam sinetron
yang sama, Munajah Cinta. Perempuan tersebut justru menghendaki suaminya
melakukan poligami. Tokoh tersebut memang mempunyai alasan logis atas tindakan
tersebut. Alasan utama yang dirahasiakanya adalah ingin membahagiakan suaminya.
Kumairah menderita tumor rahim dan diperkirakan tidak bisa mempunyai anak.
Karena penyakit tersebut, ia tidak bisa melayani kebutuhan biologis suaminya secara
maksimal. Ia juga tidak ingin mengecewakan suaminya, karena ia beranggapan
bahwa anak merupakan faktor penting bagi kebahagiaan rumah tangga.
Kumairah juga memiliki alasan kemanusiaan atas kerelaannya untuk dimadu. Ia
ingin menolong perempuan yang menjadi korban kekerasan. Kumairah menerima
bahkan memaksa suaminya untuk menikahi Maimunah, karena perempuan tersebut
merupakan korban perkosaan tokoh bernama Bakri. Begitu juga, Kumairah
menerima dengan iklas di saat Elena memaksa minta dinikahi suaminya, Atar, karena
mengaku telah mengandung anak Atar. Tampak bahwa pengarang menginginkan
sosok perempuan yang narima dan utama dalam cerita ini. Menerima
kekurangannya sebagai perempuan. Utama, dalam arti memiliki jiwa kemanusiaan
yang tinggi, penyabar, pemaaf, dan penyayang. Namun, sosok yang dituntut dan
digambarkan pengarang lewat tokoh Kumairah terlalu sempurna. Tidak ada manusia
yang sempurna.
Meskipun melakukan perlawanan, sikap menyerah juga tampak dominan pada
tokoh utama Suci dalam sinetron Suci (SCTV,2008). Meskipun Suci melakukan
berbagai usaha untuk tidak dimadu, namun akhirnya ia menerima menjadi istri kedua
Dennis. Suci juga rela melakukan kawin kontrak dengan Martin juga karena alasan
kemanusiaan. Suci dituntut untuk menyelamatkan keluarga mertuanya. Justru
kepasrahan itulah yang memang diinginkan oleh pengarang. Pengarang sangat
memihak kepada laki-laki. Sikap tersebut tampak dari sikap Martin yang tidak mau
melanggar susila tidak bisa diterima lagi oleh laki-laki. Sebaliknya, laki-laki, yang
diwujudkan melalui sosok Dennis, dengan seenaknya melakukan poligami.
Dalam sinetron Gara-gara Cinta (RCTI,2008), tokoh Tika juga hanya bisa
pasrah menerima nasibnya ketika ditelantarkan Andes pada hari pertunangannya.
Tika tidak berusaha mencari laki-laki tersebut. Tika juga tidak membalas ketika
berulang kali warungnya dirusak oleh anak buah Andra dan Ibunya. Tampak bahwa
masyarakat kelas atas, orang kaya yang terpandang khususnya perempuan, dapat
melakukan kekerasan berupa tindakan dan hinaan kepada masyarakat kelas bawah.
Masyarakat kelas bawah dengan kemiskinanya tidakberdaya, hanya bisa pasrah.
3.2 Melakukan Perlawanan
Beberapa tokoh perempuan melakukan perlawanan ketika mengalami
kekerasan. Tokoh Wilda melakukan perlawanan dengan cara-cara yang menyimpang
dari norma kesopanan dan kebenaran ketika ditolak dan dihina oleh Reno. Semakin
kuat ia melakukan perlawan semakin besar pula ia dihina dan dipermalukan.
Memang Wilda menggunakan cara-cara yang licik untuk merebut Reno dari tangan
Bunga. Apa yang diperjuangkan oleh Wilda sebenarnya benar. Ia menginginkan
harkat dan harga diri perempuan dalam rumah tangga. Ia tidak mau dimadu, apalagi
dijadikan istri kedua. Ia ingin menjadi istri satu-satunya Reno. Namun, pandangan
Wilda juga terlalu sempit. Seakan-akan di dunia ini hanya ada nama Reno. Demi
seorang laki-laki ia menggunakan segala cara untuk mendapatkannya, meskipun
dengan cara menyakiti sesama perempuan. Solidaritas antar perempuan sangat
kurang dalam cerita ini. Perempuan saling menyakiti untuk memperebutkan laki-laki.
Tampak bahwa sinetron ini karangan laki-laki dan sangat bias gender. Perlawanan
bagi perempuan tidak ada artinya. Hal tersebut dapat dilihat dari akhir sinetron
tersebut. Wilda meninggal di akhir cerita.
Dalam Munajah Cinta, tokoh Maimunah yang semual berkarakter baik,
menjadi jahat, khususnya kepada Kumairah, istri pertama Atar, karena ingin
mendapatkan Cinta Atar. Tindakan Maimunah tersebut merupakan bentuk
perlawanan dari adanya poligami. Ia ingin menguasai Atar sebagai suaminya sendiri,
tanpa istri lain. Namun tindakan tersebut sia-sia. Sandiwara Maimunah terbongkar.
Dalam sinetron Suci, tokoh Suci banyak berusaha melakukan perawanan
Suci menolak dengan keras. Bahkan is bersedia hidup sendiri dengan anaknya dari
pada menjadi istri kedua. Namun perlawanan yang dilakukan Suci tersebut sia-sia.
Suci dipojokkan oleh alasan kemanusiaan juga. Suci dalam posisi terjepit. Ia harus
memilih menjadi istri kedua Dennis untuk menyelamatkan keluarga lelaki tersebut
dari rongrongan Amelia. Amelia sebagai istri pertama juga melakukan perlawanan
dengan caranya yang tidak manusiawi. Ia justru menyakiti madunya dan berusaha
menguasai Dennis. Apa yang dilakukan Amelia, sebenarnya berangkat dari
keinginannya untuk tidak berbagi dengan perempuan lain. Tetapi jalan yang diambil
Amelia tersebut bukan jalan yang dibenarkan oleh masyarakat. Poligami tersebut
akhirnya berakhir. Hal tersebut menunjukkan sikap pengarang yang tidak menyetujui
adangnya poligami. Perempuanlah yang selalu berusaha menolak poligami.
Sedangkan laki-laki tidak memasalahkan adanya poligami berdasarkan sikap yang
ditunjukkan oleh sikap tokoh Dennis dan para orang tua.
3.3 Mandiri
Kemandirian perempuan tampak pada diri tokoh perempuan dalam kelima
sinetron yang dibahas dalam penelitian. Namun, kemandirian tersebut semata-mata
hanya untuk mempertahankan hidup. Kebutuhan akan membiayai diri sendiri
merupakan motivasi terbesar bagi perempuan untuk bekerja. Namun, setelah
perempuan mendapatkan suami yang bisa menanggung hidupnya, maka perempuan
akan berhenti dari pekerjaannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya
perempuan masih ingin bergantung dan bersandar kepada laki-laki. Kita perhatikan
dalam uraian di bawah ini.
Tokoh Bunga dalam Cinta Bunga (SCTV,2008) semula merupakan perempuan
mandiri. Tokoh tersebut berjualan minunan di kaki lima. Perempuan tersebut
menjadi tulang punggung keluarga. Ketika mengalami kekerasan, diceraikan Reno,
tokoh tersebut kembali mandiri. Namun di saat ia telah kembali ke Reno, Bungapun
meninggalkan pekerjaannya dan tidak berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik.
Bunga tidak perlu bekerja untuk mencari nafkah. Ia diam di rumah, meskipun
anak-anaknya sudah ada yang merawat. Renolah yang harus bekerja untuk mencukupi
keluarganya.
Begitu juga tokoh-tokoh perempuan dalam Munajah Cinta. Tokoh Viona, ia
Tokoh Kumairah memang merupakan perempuan mandiri. Di tengah kepasrahannya
ia perempuan yang mandiri. Sebelum dan pada saat ia mempunyai suami ia tetap
bekerja. Bekerja merupakan tempat untuk melupakan kekerasan yang menimpanya
akibat poligami yang menimpanya. Tokoh Maimunah juga mandiri di saat ia
berusaha lari dari penderitaan menjadi istri kedua Atar. Ia menjadi pengusaha
perempuan sukses yang bisa menguasai Atar. Namun, tampak bahwa kemandirian
Maimunah ini tidak disetujui oleh masyarakat. Usaha perempuan tersebut untuk
mendapatkan suaminya, justru mendapatkan kecaman sebagai penipu.
Tokoh Suci sejak kecil merpakan perempuan mandiri. Ia sudah dapat bekerja
sejak duduk di bangku SD untuk membiayai diri dan sekolahnya. Di saat ia menikah,
sewaktu dapat bernaung di bawah lindungan keluarga yang mapan ia berhenti
bekerja. Namun di saat ia mendapatkan kekerasan, disia-siakan Dennis, ia memilih
pergi dan bekerja. Tampak bahwa bekerja merupakan tuntutan perempuan untuk
bangkit dari kekerasan. Namun setelah kekerasan tersebut lewat, perempuan kembali
bergantung. Hal tersebut ditunjukkan Suci saat ia menjadi istri Martin. Suci menjadi
nyonya besar yang harus diam di rumah dan tidak perlu bekerja.
Dalam sinetron Cahaya, tokoh Cahaya selalu mandiri dalam menghadapi
kekerasan. Bekerja menjadi tuntutan bagi tokoh Cahaya. Ia menjadi tulang punggung
keluarga. Ayahnya yang pemabuk tidak bekerja. Cahaya juga berhenti bekerja di saat
ia sudah mendapatkan sandaran hidup, yakni suami yang dapat mencukupinya.
Namun ketika ia ditelantarkan oleh Satriya ia harus bekerja untuk mencukupi
kebutuhannya. Perempuan tersebut tidak malu bekerja seadanya sesuai dengan
pendidikan yang dimiliki.
Keadaan ekonomi yang pas-pasan dari tokoh Tika dalam sinetron Gara-gara
Cinta, memaksanya untuk bekerja. Perempuan tersebut bekerja lebih giat ketika
warungnya dirusak oleh Andra dan Ibunya. Kemandirian yang diambil oleh Tika
memang merupakan tuntutan ekonomi. Namun, tokoh Tika memang perempuan
mandiri. Ia tidak mau duduk bermalas-malas ketika Bapak Lisa menanggung hidup
dan kuliahnya. Ia tetap bersikeras bekerja sebagai pembantu di rumah Lisa.
Bentuk kekerasan yang dihadapi tokoh perempuan dalam sinetron televisi
Indonesia sebagain besar merupakan kekerasan psikologis. Perempuan mengalami
kekerasan psikologis dari laki-laki maupun perempuan. Poligami yang dilakukan
laki-laki sangat menyiksa batin perempuan. Tiga sinetron dari 5 sinetron yang
dijadikan data, yaitu Suci dan Munajah Cinta, dan Cinta Bunga para tokoh lelakinya
melakukan poligami. Seadil apapun laki-laki terhadap istri-istrinya, seperti yang
dilakukan tokoh Atar, masih saja menyisakan penderitaan psikologis bagi
perempuan. Keinginan perempuan untuk tidak membagi cinta dengan perempuan
lain merupakan alasan utama timbulnya pertikaian dan kekerasan terhadap sesama
perempuan.
Yang menarik dari kekerasan yang dialami perempuan dalam tayangan sinetron
Indonesia di awal tahun 2008 ini, perempuan lebih banyak mendapatkan kekerasan
dari kaumnya sendiri. Mereka saling menyakiti untuk memperebutkan laki-laki atau
harta. Poligami menjadi akar permasalah terjadinya kekerasan. Dengan poligami,
perempuan tidak hanya mendapatkan kekerasan dari laki-laki, melainkan juga dari
perempuan lain, baik istri lain maupun mertua. Tokoh Amelia dan Wilda mampu
melakukan rencana pembunuhan terhadap madunya karena ingin menguasai
suaminya. Dari berbagai peristiwa kekerasan yang dialami perempuan tersebut
mengandung amanat bahwa, poligami tidak baik dilakukan. Poligami akan
menimbulkan ketidaktenangan bahkan kekerasan terhadap perempuan.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 1996. "Metode Kualitatif dalam Penelitian Karya Sastra" dalam Aminuddin. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam bidang Bahasa dan Sastra.Malang: Yayasan 3 A.
Ardani, Moh. 1995. Al Qur’an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang). Yogyakarta: Dana Bakti wakaf.
Djajanegara, Soenardjati. 1987. Citra Wanita dalam Lima Novel Sinclair Levis. Disertasi UI. Jakarta.
--- 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fakih, Mansour. 1995. ‘Menuju Dunia yang Lebih Adil melalui Perspektif Gender: Sebuah Pengantar’. Dalam Julia Cleves Mosse. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ferguson, Mary Anne. 1981. Images of Women in Literature. London: Palo Alto.
Foster, E.M. 1971. Aspec of the Novel. Harmons Word: Pelican Books.
Freman, Norman. 1975. Form and Meaning in Fiction. Athens: The University Gorgia Press.
Fromm, Erich. 2007. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. (diindonesiakan oleh Pipiet Maizier) Bandung: Jalasutra
Geertz, Cliffort. 1987. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press.
Handayani, S. Christina. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LKiS.
Herri, S. 1981. "Wanita: Alas Kaki di Siang Hari, Alas Tidur di Waktu Malam" dalam Prisma, no. 7,
Hassan, Tholchah. 2004. ‘Kata pengantar Paradigma Gender’ dalam Mufidah. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia.
Harkiswono, harkristuti. 2000. ‘Perempuan dan Hak Azasi Manusia dalam Perpektif Yuridis. Dalam: Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Yakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Irianto, Sulistyowati. 2000. ’Diskusi mengenai Bentu-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya (Suatu Tinjauan Hukum). Dalam Achie Sudiarti Luhumina (ed). Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya. Jakarta: Pusat Kajian Wanita dan Gender UI.