• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md1 docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah Filsafat Yunani Sm1Md1 docx"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PARA FILOSOF PRA-SOCRATEAN

Sejarah pemikiran filsafat sistematis dalam sejarah peradaban manusia Barat dan bahkan dunia bermula dari bangsa Yunani. Affirmasi ini kedengaraannya terasa janggal dan seolah-olah mengabaikan pemikiran filosofis dalam kebudayaan Timur. Kiranya harus kita akui bahwa permenungan filsafat secara sistematis dan rasional tentang alam semesta dan berikutnya tentang dunia dan manusia tanpa embel-embel Allah atau Tuhan dan dewa-dewi tertera secara historis dan faktual dalam pemikiran para filosof Yunani. Adakah refleksi dan permenungan metafisis dan distingsi yang tegas, rinci dan sistematis tentang realitas ada, moralitas, politik dst. seperti kita temukan dalam Metafisica, Etika Nicomacea, Politeia, Anima dll. karya-karya Aristoteles, dalam pemikiran filosofis Timur? Karena alasan di atas, kita memberikan perhatian cukup besar pada sejarah perkembangan pemikiran filosofis dalam kebudayaan Yunani klasik.

1. Hakekat dan Problem dalam Filsafat Kuno

Secara filosofis kita dapat mengatakan bahwa filsafat merupakan sebuah aktivitas berpikir manusia dalam rangka mengenal segala sesuatu yang berada dan hidup dalam sementa raya: benda-benda mati baik di langit maupun di bumi, makhluk hidup, manusia dan tingkah lakunya, kematian dan masa depan sesudahnya. Singkat kata, filsafat ingin mengerti semua yang ada dan memahaminya dengan sebaik-baiknya. Untuk lebih singkatnya, kita dapat memperlihatkan beberapa ciri dasar filsafat.

a) Muatan atau isi

Filsafat bermaksud menjelaskan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Penjelasan yang dimaksud bukanlah sekedar memahami kulit luar dari suatu realitas, melainkan ingin memahami secara mendalam dan menyeluruh. Filsafat bermaksud menemukan prinsip, sebab dan intisari dari segala sesuatu. Karena itu, filsafat selalu dimulai dengan pertanyaan mengenai apa yang menjadi prinsip dari totalitas ada dan bagaimana ada-ada dapat berada secara demikian serta mengapa semua ini dapat berada dalam semesta ini?

b) Metode

Satu-satunya metode yang digunakan oleh filsafat untuk mencoba mengenal, memahami dan menjelaskan totalitas ada adalah pendekatan rasional. Senjata utama filsafat adalah nalar, akal, budi manusia semata tanpa embel-embel wahyu maupun tradisi religius apapun. Berbeda dari ilmu-ilmu sosial lainnya yang banyak berkutat dengan data dan pengalaman, filsafat menempatkan diri di atas data-data, fakta-fakta dan pengalaman individu. Argumentasi rasional sebagai pola penjelasan filsafat selalu terarah pada penemuan sebab-sebab utama, alasan-alasan prinsipil dan prinsip-prinsip dasar dari totalitas ada.

(2)

Ilmu-ilmu pengetahuan lainnya mempelajari dan menelaahi salah satu aspek saja dari realitas sesuai dengan bidang garapan, tuntutan metodis dan tujuan ilmiah tertentu. Dapat saja bahwa studi-studi ilmu-ilmu bersangkutan lebih mendalam dan mendetil dalam informasi dan pemahaman, namun karakter partikular membatasi kesimpulan yang mesti diambil. Mengingat obyek studinya hanya menyangkut salah satu bagian dari realitas ada, maka kesimpulannya bersifat sektoral semata.

c) Tujuan

Tujuan utama filsafat adalah menemukan kebenaran per se. Filsafat memiliki karakter teoretis murni atau kontemplatif. Yang dikontemplasikan dan yang dicari oleh seorang filosof adalah kebenaran dalam dirinya sendiri tanpa kepentingan sosial-politik-ekonomi apapun. Karena itu filsafat merupakan disiplin ilmu yang mencari, menemukan dan mencintai pengetahuan semata (philo dan sophia), yakni cinta akan kebenaran. Aristoteles mengungkapkan secara eksplisit tujuan sejati filsafat. “Sesungguhnya manusia telah mulai berfilsafat karena kekaguman. […] Dengan demikian, jika orang-orang telah berfilsafat untuk membebaskan diri dari ketidaktahuan, menjadi semakin jelas bahwa mereka mencari pengetahuan hanya untuk ilmu (pengertian) semata dan bukan untuk mengejar kegunaan praktis”1.

Gagasan dasar mengenai tujuan filsafat sebagai pertualangan untuk mencari, mendapatkan dan merenungkan kebenaran semata tanpa tujuan apa-apa, bermaksud mempertegas superioritas filsafat dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Dalam hal ini, Aristoteles membedakan secara jelas kegunaan dan derajad atau status suatu ilmu: “semua ilmu lainnya akan menjadi lebih perlu dan penting daripada ini (filsafat), tetapi tiada satupun yang akan lebih tinggi daripadanya”2. Dalam gagasan demikian, kita dapat

menemukan bahwa salah satu unsur dasar dalam filsafat adalah kebebasan pribadi dalam berkarya dan menikmati apa yang dilakukannya terlepas dari tuntutan-tuntutan praktis-pragmatis lainnya. Karena itu, ketika filsafat kehilangan orientasi dasar pada kontemplasi kebenaran dan berpretensi mengubah dunia, pada saat itu pula filsafat telah mengubah diri menjadi sebuah sistim ideologis atau ideologi tertentu. Tiada lagi keagungan, keluhuran, kebebasan dan kontemplasi maupun spekulasi dan kekaguman, melainkan hanya ada kepentingan, perhitungan untung rugi, pendalaman dan strategi atas dasar pertimbangan kekuatan dan kelemahan, peluang dan tantangan. Dengan kata lain, pengalihan filsafat dari spekulasi murni ke tujuan praktis-pragmatis telah mengubah filsafat dari ilmu dan pengetahuan menjadi alat kekuasaan dan status quo.

2. Beberapa Problem Filosofis Kuno

Totalitas ada sebagai obyek studi filsafat hendaknya dimengerti dalam kerangka dan cakrawala yang menyeluruh dan luas sekali. Totalitas ada menyangkut seluruh realitas dalam berbagai aspek dan dimensi masing-masing yang saling tersangkut dan terkait. Atas dasar keberagaman aspek dan dimensi itu, maka pusat perhatian, permenungan, pengkajian para pemikir mengalami juga tahap-tahap dan bidang-bidang yang berbeda-beda. Dalam artian

(3)

bahwa terdapat permasalahan-permasalahan tertentu yang menjadi titik tekan dalam kajian para filosof. Berikut adalah klasifikasi problem secar garis besar.

a) Kosmologis

Persoalan pertama yang dihadapi oleh para pemikir Yunani klasik adalah totalitas ada konkret dan empiris, physis atau kosmos. Mereka terkagum dan terkesima oleh semesta raya dan dari keterkaguman dan keterkesimaan muncul sekian banyak pertanyaan: bagaimana dunia dan semesta raya ini muncul? Apa yang menyokong dan menjadi prinsip utamanya? Apa dan bagaimana tahap-tahap dan momen-momen pemunculannya? Pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan filosofis semacam inilah yang mendominasi permenungan awal para filosof.

b) Antroplogis

Dalam tahap permenungan selanjutnya, pokok bahasan filosofis bergerak dari persoalan kosmologis ke persoalan antropologis. Pusat perhatian adalah realitas manusia itu sendiri. Fokus permenungan adalah persoalan-persoalan moral dan nilai keutamaan (arête). Peralihan tersebut disebabkan oleh perubahan multi dimensi yang dibawa oleh perluasan wilayah taklukkan Aleksander Agung. Perluasan wilayah menciptakan realitas kosmopolitan, sehingga sendi-sendi kehidupan sosial-politik-ekonomi-kultural dengan segenap perangkat nilai dan keyakinannya ikut mengalami perubahan yang radikal. Kosmopolitanisme menciptakan krisis identitas, krisis nilai dan krisis budaya, sebagaimana terungkap dalam kehancuran polis sebagai fondasi dan rujukan hidup setiap warga. Dengan kata lain, kosmopolitanisme menyadarkan para pemikir Yunani klasik tentang siapa, apa peran, kedudukan, nilai dan bagaimana manusia harus hidup, bersikap dan menemukan dirinya dalam relasi dengan sesama, lingkungan dan dewa-dewi. Persoalan antropologis merupakan karakter utama permenungan para sofis dan Socrates.

c) Entis, epistemoologis, antropologis dan estetis

Permenungan filosofis selanjutnya mewarisi persoalan-persoalan sebelumnya. Persoalan kosmologis menjadi persoalan mengenai ada itu sendiri: ada tetap dan ada berubah, sebab-sebab pengada, substansi dan aksiden, dunia ide dan dunia konkret. Dari persoalan entis ini lahir distingsi bidang-bidang kajian dan displin ilmu masing-masing yakni fisika dan metafisika.

Persoalan antropologis sebelumnya terus diperluas dan diperdalam secara rinci dan skematis dari sekedar tema siapakah manusia kepada bagaimana relasi dan interaksi antar individu dan individu dengan polis. Maka lahir sebuah pemahaman yang cukup komprehensif tentang jatidiri manusia sebagai pribadi dan sekaligus anggota masyarakat (zoon politikon) dan pokok perhatian bertambah menjadi soal etis dan politik.

(4)

Permenungan sesudah Aristoteles mengembangkan secara lebih sistematis tema-tema yang telah digarap sebelumnya yakni fisika, logika dan moral. Sejalan dengan perubahan sosial, politik dan kultural yang tengah berlangsung, filsafat sebagai ilmu ikut berubah diri. Salah satu tema utama yang menjadi pusat perhatian dan permenungan adalah persoalan-persoalan moral. Para pemikir post Aristotelian mencoba menemukan cara-cara untuk menemukan hidup ideal dan kebahagiaan jiwani. Problem-problem fisika dan logika diarahkan untuk menciptakan suatu kondisi hidup ideal seorang bijak. Tampak di sini bahwa filsafat sebagai spekulasi teoretis murni mengalami modifikasi secara internal. Tugas dan fungsi filsafat adalah bagaimana manusia dapat hidup dalam secara benar dan dalam kebenaran.

3. Beberapa Periode Filsafat Kuno

Sejarah filsafat Yunani klasik berlangsung dari abad VI SM sampai dengan 529 M; sebuah sejarah permenungan yang sangat panjang dan sarat dengan kekayaan intelektual yang tiada terkira nilainya. Hingga saat ini pun segala permenungan filosofis selalu menoleh kepada para filosof Yunani klasik dan hal ihwal yang telah mereka uraikan. Kajian-kajian filosofis yang mereka lakukan ternyata mempunyai nilai yang lintas generasi dan mengatasi jaman: selalu aktual dan secara prinsipil menyentuh intisari dan hakekat ada itu sendiri.

Kelenyapan filsafat Yunani berjalan beriringan dengan kemunculan kristianisme yang menyodorkan pola berpikir, cakrawala atau visi tentang dunia manusia dan semesta raya dan titik tolak yang jauh berbeda dan komprehensif. Secara kronologis, penghabisan filsafat Yunani terjadi pada 529 atas kemauan kaisar Ystinianus, tulen yang menghendaki agar sekolah-sekolah paganis ditutup, perpustakaan-perpustakaan dimusnahkan dan para pengikutnya diceraiberai-kan. Dengan kata lain, segala permenungan filosofis dan ilmiah selalu berada dalam bingkai iman kristiani dan kepentingan kekaisaran Romawi.

Kita dapat membedakan sejarah pemikiran Yunani klasik dalam beberapa periode berikut ini3.

a) Periode naturalistis. Periode ini dicirikan oleh persoalan-persoalan seputar semesta raya atau problem kosmologis-physis. Adapun para filosof yang masuk dalam periode ini adalah kelompok ionis, pitagoris, eleatis dan pluralistis.

b) Periode humanistis. Krisis dalam permenungan seputar alam semesta dan ditambah dengan perubahan multi dimensi menyebabkan pusat perhatian berpaling kepada manusia. Permenungan tentang manusia dimulai oleh kelompok sofis, tetapi upaya yang lebih mendalam untuk menemukan hakekat manusia dilakukan oleh Socrates.

c) Periode berikutnya merupakan era penyimpulan. Persoalan mengenai tetap dan berubah, yang menjadi problem utama para filosof naturalis dan permenungan tentang manusia menemukan sintesisnya dalam pemikiran Platon dan Aristoteles. Platon menggagas dunia ide, sedangkan Aristoteles mengemukakan gagasan tentang aktus dan potensi serta sebab-sebab ada.

(5)

d) Periode keempat dicirikan oleh sekolah helenis yang ditandai oleh kemunculan dan perkembangan tiga sistim utama yakni stoicism, epicurisme dan skeptisisme. Dalam perkembangan selanjutnya muncul juga sebuah aliran yang disebut ekletisme.

e) Periode terakhir ditandai dengan pertemuan kebudayaan dan permenungan Yunani klasik dengan kristianisme. Pada periode ini juga platonisme muncul kembali, yang terkenal dengan sebutan neoplatonisme.

Permenungan Yunani klasik tetap tinggal sebagai warisan pusakan peradaban dunia sampai kapanpun. Kemunculan kristianisme sama sekali tidak menghapus filsafat Yunani, sebaliknya menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk memperkaya pemahaman mereka tentang iman kepercayaan akan Yang Absolut dan relasi antar-manusia. Tentu saja dengan bersikap kritis dan menyaring gagasan-gagasan yang ada, para pemikir Kristen mencoba memadukan permenungan rasional Yunani klasik dengan wahyu untuk memberikan sebuah fondasi yang kuat bagi dunia filsafat itu sendiri maupun dunia teologi. Perpaduan keduanya mewarnai seluruh permenungan filosofis hingga dewasa ini.

BAB II

PARA FILOSOF KOSMOLOGIS 1. Thales

Menurut perkiraan para ahli, Thales lahir di penghujung abad VII (610) SM dan meninggal dunia sekitar pertengahan abad VI SM. Namun demikian tidak ada data yang pasti mengenai kapan filosof ini lahir dan hidup. Sedangkan mengenai pemikirannya seputar alam semesta, kita dapat mengetahui dengan lebih pasti berkat informasi-informasi yang diberikan oleh Aristoteles. Berikut adalah beberapa hal yang ditulis oleh Aristoteles seputar Thales.

a) Thales adalah pemulai filsafat physis. Dia adalah orang pertama yang menegaskan bahwa segala sesuatu disebabkan oleh satu-satunya prinsip ada dan prinsip tersebut adalah air4.

b) Thales mengatakan juga bahwa semesta raya dipenuhi oleh dewa-dewi5.

c) Filosof ini juga mengemukakan bahwa magnet memiliki suatu jiwa, karena mampu bergerak. Dalam cara pandang demikian, tampak bahwa Thales ingin mengatakan bahwa jiwa merupakan prinsip gerak dari setiap ada6.

Dalam pengertian Thales, istilah prinsip merujuk pada gagasan asal mula dari segala sesuatu. Segala sesuatu berasal dari air, hidup oleh air dan akan kembali kepada air. Air merupakan sebuah realitas yang stabil, tetap dan berada sebagaimana adanya meskipun telah melalui fase-fase perkembangan dan perubahan. Air merupakan sebuah prinsip eksistensial, merujuk pada realitas pertama dan awali serta memiliki peran sebagai dasar atau fondasi dan roh dari setiap ada.

4Aristoteles, Metafisica, A 3, 983 b, 6. 5Id., Anima, A 5, 411 a, 8.

(6)

Bagaimana Thales sampai pada kesimpulan bahwa air adalah sebab dari segala sesuatu? Seperti diungkapkan oleh Aristoteles, pernyataan Thales bertitik tolak dari kenyataan bahwa segala sesuatu mengambil sumber hidupnya dari kelembaban. “Thales, penggagas filsafat jenis ini [alam] mengatakan bahwa prinsip segala sesuatu adalah air (karena itu menegaskan bahwa bumi ini terapung di atas air) …”7. Kesimpulan demikian didasarkan pada pengamatan empiris

atas realitas dan pengalaman hidup tentang keberadaan dan nilai penting air bagi segenap makhluk hidup.

Gagasan Thales mengenai air sebagai prinsip dari segala sesuatu merupakan sebuah karya ratio, logos murni. Tiada lagi pendekatan terhadap semesta raya dengan menggunakan bahasa dan gambaran yang bersifat imaginatif, puitis dan mitis. Thales langsung menusuk pada jantung persoalan itu sendiri dan mencoba menjelaskan serta menemukan jawaban dari realitas empiris semata. Thales telah membuka era baru: era logos, masa pemikiran rasional.

2. Anaximandros

Para ahli filsafat hampir semuanya sependapat bahwa Anaximandros adalah murid Thales. Anaximandros diperkirakan berusia 64 tahun pada tahun kedua dari Olimpiade LVIII (547-546 SM) dan meninggal beberapa waktu sesudah even tersebut. Jika perkiraan ini benar, maka Anaximandros lahir pada 611 SM. Berdasarkan kesaksian kuno, Anaximandros menulis sebuah karya yang diberi judul Pherì Physeos (Tentang Alam) dan peradaban dunia masih memiliki satu fragmen dari buku tersebut. Itulah tulisan filosofis pertama dalam sejarah pemikiran filsafat Yunani dan dunia Barat8.

Anaximandros memperkenalkan istilah arché untuk menjelaskan realitas pertama dan terakhir dari segala sesuatu (physis). Namun demikian, Anaximandros mengambil jarak dari sang guru, Thales, dalam menemukan dan menjelaskan asal usul semesta raya.

Atas kesaksian Teofrastus dalam Opini-opini tentang Fisikawan fragmen kedua, kita tahu bahwa “Anaximandros dari Miletus menegaskan bahwa prinsip dan unsur dari segala sesuatu adalah apeiron dan dia adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah prinsip dan mengatakan bahwa prinsip dari segala yang ada bukanlah air maupun unsur-unsur lainnya, melainkan sebuah physis atau hakekat lain dari mana muncul langit dan semesta yang termuat di dalamnya”. Jadi, menurut Anaximandros, prinsip dari segala sesuatu adalah apeiron, infinitus, ketiada-berhinggaan, ketidakterbatasan.

Apa arti apeiron? Dari terminologinya, orang dapat mengenal bahwa istilah ini merujuk pada sesuatu yang bukan peras. Peras berarti tanpa batasan dan ketertentuan baik pada tataran eksternal maupun internal. Dalam istilah apeiron tersebut terkandung makna ketiada-berhinggaan dalam pengertian kwantitas (tempat, keluasan) maupun ketidakterbatasan kwalitas. Kedua muatan makna di atas didasarkan pada persepsi orang Yunani klasik bahwa langit merupakan dunia atas, semesta raya, sehingga apeiron mengarah pada dimensi spasial

7Id., Metafisica, A 3, 983 b, 9.

(7)

dan semesta raya itu mempunyai sekian banyak muatan yang kerap kali secara kwalitatif tidak tertentu misalkan, air dan udara.

Gagasan Anaximandros mengenai apeiron merujuk pada gagasan yang tiada berawal maupun berakhir, bukan dilahirkan dan bersifat kekal. Apeiron merupakan realitas tertinggi dari segala sesuatu, sebab pengadanya. Dengan demikian, tampak logis bila apeiron adalah tiada berhingga dan tak tertentu. Dalam artian tertentu, apeiron mengandung makna secara implisit mengenai sesuatu yang abadi dan selalu muda, karena binasa dan tidak-dapat-hancur. Apeiron adalah τò θεĩoν, divinitas; ia melingkupi dan merangkum, menyangga dan mengatur segala yang ada.

Bagaimana segala sesuatu lahir dari apeiron? Kelahiran segala yang ada disebabkan oleh pemisahan dari unsur yang berlawanan. Panas melepaskan diri dari dingin, kering memisahkan diri dari lembab, hidup membebaskan diri dari mati. Berdasarkan kesaksian Aristoteles dalam Fisika, Anaximandros menguraikan demikian bahwa dari mana segala sesuatu bisa lahir, di mana terjadi pemisahan seturut keniscayaan; sesungguhnya segala sesuatu menanggung hukuman dan balasan dari ketidakadilan, seturut tata aturan waktu9. Dari pemahaman ini,

orang dapat melihat bahwa yang dimaksud dengan ketidakadilan adalah pelampauan atas unsur oposisional dan sekaligus kelahiran tersebut. Sebab ketika sesuatu muncul, kemunculan demikian mengandung makna perlawanan terhadap yang lain. Sedangkan waktu dipahami sebagai hakim yang menandakan batasan dan juga akhir dari dominasi terhadap yang lain dan sebaliknya. Jadi ada dua ketidakadilan yakni, kelahiran di dunia melalui pemisahan diri dari kesatuan dan kedua sesudah pemisahan itu, kedua unsur tersebut memposisikan diri sebagai lawan atau musuh.

3. Anaximenes

Menurut para ahli sejarah, Anaximenes lahir di Miletus pada awal abad ke IV SM dan meninggal pada akhir abad tersebut pula. Yang pasti, Anaximenes merupakan murid dan sekaligus penerus Anaximandros.

Namun Anaximenes mengambil posisi yang berseberangan dengan sang guru berkenaan dengan prinsip dari segala sesuatu. Menurutnya, prinsip dan realitas pertama bukanlah apeiron seperti yang diajarkan oleh Anaximandros, melainkan udara, udara tak-berhingga. Segala sesuatu berasal dari udara dan turunannya.

Ada apa di balik pertentangan pendapat ini? Kesulitan utama yang mendorong Anaximenes menemukan prinsip lain adalah kenyataan bahwa pendapat sang maestro tentang cara unsur-unsur yang saling bertentangan memunculkan segala sesuatu: bagaimana pemisahan itu berlangsung? Teofrastos mengatakan bahwa “sama seperti jiwa kita adalah udara, yang menyangga dan menata kita, demikian pula nafas dan udara melingkupi semesta seluruhnya”10.

Pendapat ini timbul dari pengamatan atas eksistensi makhluk hidup termasuk manusia itu sendiri yang hidup dari nafas dan berakhir dalam ketiadaan nafas. Udara merupakan syarat

9Aristoteles, Fisika, A 4, 187 a, 20.

(8)

mutlak bagi semua makhluk hidup dan semasa masih bernafas, segala makhluk masih termasuk dalam kategori hidup.

Prinsip dan realitas pertama dalam gagasan Anaximenes berciri determinatif. Determinasi mengandaikan dinamika dan gerak itu sendiri. Segala sesuatu lahir dari udara lewat dua proses berikut: a) proses perenggangan dan b) proses pemadatan. Perenggangan menjadi asal usul api, sedangkan pemadatan memunculkan air dan tanah. Dari kedua prose situ, terlihat bahwa Anaximenen berupaya juga menjelaskan kejadian-kejadian alam dan memberikan solusi yang rasional. Hujan turun dari langit dan hujan adalah air, lalu muncul petir dan kilat yang merupakan ungkapan lain dari api dan dari bumi/tanah muncul asap dan uap yang bergerak naik. Udara berciri kasat mata dan tercerapi hanya ketika terdeferensiasi menjadi dingin, panas, kering, lembab dan bergerak (dalam rupa angin).

Ciri kasat mata (invisibilis) memperlihatkan karakter ketidakberhinggaan. Udara adalah Infinitus itu sendiri dan infinitus dalam pengertian ini merujuk pada karakter ilahi dan dewani. Udara adalah Dewa, Allah, Asal muasal dari segala sesuatu. Berberapa pemikir kerap melihat bahwa solusi Anaximenes mengenai udara sebagai asal muasal, prinsip pengada dan realitas pertama merupakan sebuah kemunduran dibandingkan dengan solusi yang diberikan oleh Anaximandros. Anggapan demikian bisa diterima jika titik tolaknya dikaitkan dengan gagasan mengenai Allah dan prinsip-prinsip metafisik sesudahnya. Namun, jika ditinjau dari segi permenungan ilmiah dan rasional, solusi Anaximenes menunjukkan sebuah perkembangan berarti, di mana titik tolaknya berpangkal pada pengamatan dan pengalaman empiris atas kehakikian dari suatu unsur bagi hidup manusia. Anaximenes dalam artian tertentu merupakan peletak dasar empirisme klasik dan pioneer dari metode pengamatan empiris.

4. Heraklitos

Menurut kesaksian kronografis Apollodoros, Heraklitos hidup pada Olympiade ke 69. Kalau kesaksian ini benar, itu berarti bahwa Heraklitos lahir pada sekitar tahun 504-501 SM di Efesus. Namun hingga saat ini, kapan Heraklitos lahir dan wafat sulit sekali dipastikan dengan tepat; semuanya bersifat perkiraan.

Ketiga filosof sebelumnya berasal dari Miletus dan karena itu, dalam manual filsafat kerap disebut para pemikir Miletus. Para filosof Miletus berkutat hanya seputar persoalan tentang prinsip dari segala sesuatu dan genesis alam semesta yang berawal dari suatu prinsip. Gagasan dasar yang dapat dipetik dari permenungan para filosof Miletus adalah doktrin mengenai dinamisme universal dari segala sesuatu yang muncul dan lenyap. Dinamisme universal ini bersumber dari karakter dinamis secara abadi dari prinsip tersebut.

(9)

Heraklitos berpendapat bahwa realitas adalah adalah mobilitas abadi. Tiada suatu hal pun bersifat tetap, stabil dan tak bergeming. Semuanya terus menerus berubah, bergerak dan berganti tanpa henti dan pengecualian. Siapa yang terjun ke sungai, selalu dialiri oleh air yang baru. Orang tidak dapat terjun dua kali ke sungai yang sama dan tiada seorang pun dapat menyentuh dua kali sebuah benda mati dalam status yang sama, tetapi akibat kesolidan dan kecepatan perubahan, sesuatu tercerai berai dan terpadu, datang dan pergi. Perasaan bahwa kita melihat sungai yang sama merupakan suatu tampilan semata, sebab dalam kenyataannya, air yang datang selalu berbeda. Begitulah manusia tidak bisa menemukan suatu kepastian dan pegangan, karena untuk mencapainya ia harus menjadi sesuatu yang lain daripada sebelumnya. Karena itu, tiada yang tetap; semua menjadi, segalanya mengalir (πάντά ρεί).

Realitas menjadi dicirikan oleh peralihan segala sesuatu secara berkelanjutan dari pertentangan yang satu ke pertentangan yang lain. Yang dingin menjadi panas dan yang panas menjadi dingin, yang lembab menjadi kering dan yang kering menjadi lembab, orang muda menjadi tua dan dari hidup menjadi mati. Semuanya berubah, bergerak dan beralih dari sudut yang satu ke sudut yang lain. Dengan demikian, realitas menjadi merupakan suatu konflik atau pertentangan dari hal-hal yang berlawanan dan pertentangan itu bersifat abadi.

Fondasi dari segala realitas adalah perang. Namun perang memuat di dalam dirinya damai dan harmoni. Realitas menjadi secara universal dan mengalir secara abadi dari segala sesuatu menyingkap diri sekaligus sebagai harmoni dan sintesis dari konflik dan pertentangan dari segala hal. Menjadi merupakan proses saling berdamai di antara mereka yang terlibat peperangan dan aktivitas berdamai dari antara orang-orang yang saling bermusuhan; dari perang dan konflik, dari perbedaan dan penolakan muncul harmoni yang paling indah. Jadi, semua lahir dari pertentangan.

Pertentangan antara hal-hal yang saling berlawanan selanjutnya memunculkan kesadaran mengenai makna kepada masing-masing pihak. Begitulah, penyakit membuat sehat terasa nikmat, rasa lapar menyebabkan kepuasan terasa manis dan letih lesu membuat istirahat terasa nyaman.

Kesimpulannya, bila segala sesuatu memiliki realitas dalam menjadi semata dan menjadi dilihat sebagai ciri dasar dari segala yang ada lewat konflik, perang dan pertentangan, prinsip yang menjelaskan seluruh realitas berada dalam sintesis dari segala pertentangan. Nah, sintesis itu adalah Yang Ilahi. Dewa adalah siang-malam, dingin-panas, kenyang-lapar, perang-damai, sehat-sakit, tesis-antitesis.

Setelah menemukan hakekat dari segala sesuatu dalam realitas menjadi, lalu apa prinsip dari segala sesuatu? Apa peny(s)ebab dari segala yang ada dan unsur dasarnya? Heraklitos mengatakan bahwa prinsip, sebab dan unsur dasar ada-ada adalah api. Segala sesuatu adalah transformasi dari api semata dan transformasi dalam pengertian ini mesti dilihat sebagai suatu pertukaran, perubahan, peralihan. Pertukaran dan perubahan menjadi semacam tata aturan yang ditimbulkan oleh api hidup yang abadi, yang seturut derajad tertentu padam dan ukuran tertentu menyala.

(10)

paradimatis. Api adalah gerak abadi, hidup yang memuat kemampuan mematikan dengan membakar, perubahan kontinyu menjadi asap dan abu, kepuasan dan kebutuhan. Dewa, Allah Heraklitos adalah api: kilat, adalah api dewani; kilat memerintah setiap ada. Begitu mencapai sesuatu, api akan mengadili dan menghukum segala sesuatu. Allah adalah siang-malam, musim panas dan musim dingin, peran dan damai, kepuasan dan kelaparan. Allah merupakan harmoni dari pertentangan, kesatuan dari oposisi.

5. Pitagorisme

Pitagoras lahir di Samo sekitar tahun 532/531 SM dan meninggal mungkin pada awal abad ke empat. Namun, sulit sekali memastikan data yang persis mengenai kapan dia lahir dan wafat. Yang pasti, Pitagoras berpindah dari Samo ke Italia, khususnya di kota Crotone. Di kota ini, ia mendirikan sebuah sekolah dan tidak berapa lama sekolah mengalami sukses besar serta mempunyai pengaruh kuat termasuk dalam bidang politik. Keadaan ini menimbulkan iri hati dan konflik kekerasan oleh kaum oposisi. Sekolah diserbu dan dihancurkan serta beberapa guru terbunuh, sedangkan Pitagoras sendiri melarikan di ke Locri, lalu ke Taranto dan terakhir di Metaponto, tempat ia menghembuskan nafat terakhir.

Dengan Pitagorisme kita memiliki sebuah pola pemikiran yang sungguh-sungguh baru. Adapun ciri dasar dari pemikiran Pitagoras adalah sebuah visi baru tentang hidup yang berciri mistik dan asketis. Dalam pembahasan ini, kita akan melihat hanya garis besar pemikiran pitagorisme dan bukan orang-perorangan. Alasannya adalah sebagai berikut.

a) Mustahil membuat sebuah pembedaan tegas antara Pitagoras dan murid-muridnya. Alasannya, Pitagoras tidak menulis apapun, yang memungkinkan orang mengetahui secara tepat dan rinci doktrin-doktrinnya. Adapun karya berjudul “Hidup Pitagoras” merupakan suatu karangan yang melulu rekaan, mengingat oleh para muridnya, Pitagoras telah diangkat ke tataran extra manusia.

b) Sekolah yang didirikan Pitagoras di Italia selatan berada di luar konteks dan intensi untuk mengadakan penelitian ilmiah. Pitagoras bermaksud mempraktekkan suatu bentuk hidup tertentu dan mewujudkan kesejahteraan bersaman. Dalam konteks ini ilmu dan pengetahuan menjadi sarana untuk membantu dan mempermudah praktek hidup demikian. Lebih dari pada itu, sekolah Pitagoras lebih mirip sebagai suatu perkumpulan (confraternitas) yang berbau religius, semacam sekte keagamaan daripada sebuah sekolah yang berorientasi pada pengetahuan.

c) Adapun doktrin sekolah Pitagorian dianggap sebagai sebuah rahasia. Untuk dapat ambil bagian dalam confraternitas ini, orang harus terlebih dahulu menempuh tahap-tahap inisiasi. Karakter rahasia semacam ini menghalangi penyebarluasan doktrin-doktrin dan pengetahuan tentang hakekat dan pola hidup pitagorian.

(11)

memastikan apakah doktrin-doktrin yang dipaparkan Filolao termasuk pada generasi pertama atau kedua. Karena itu, lebih baik melihatnya bukan secara sepotong-sepotong. e) Jika Filolao hidup sejaman dengan Sokrates, tentu saja doktrin-doktrin pitagorian telah

diperkaya oleh banyak hal, sehingga tidak mengherankan bila pengandaian-pengandaian dan dasar-dasar argumentasi secara substansial bersifat homogen.

f) Aristoteles sendiri, sebagai seorang pemikir besar dan berwawasan luas sama sekali buta terhadap para pemikir pitagorian orang per orang. Mereka hanya disebut secara bersama dan global dengan istilah “yang disebut kaum pitagorian”.

Doktrin Pitagorisme

a) Bilangan sebagai Prinsip

Kita telah melihat bahwa bagi para pitagorian, ilmu pengetahuan bukanlah tujuan melainkan sarana untuk mewujudkan suatu bentuk hidup tertentu. Karena itu, di sini ada dua hal yang perlu dihadirkan yakni, gagasan pitagorisme tentang ilmu dan praksis hidup yang diupayakan. Di sini kita akan mempresentasikan doktrin pitagorisme tentang ilmu pengetahuan terlebih dahulu, kemudian dibahas praksis hidupnya.

Menurut pitagorisme, prinsip dari segala sesuatu, realitas dasar dan sebab dari semua yang ada bukan terletak pada udara, apeiron maupun api sebagaimana diutarakan oleh para filosof kosmologis sebelumnya. Prinsip dan realitas hakiki adalah bilangan dan unsur-unsur hakiki bilangan. Aristoteles telah menggarisbawahi keyakinan pitagorisme tersebut dengan mengatakan bahwa “para pemikir pitagorian merupakan orang pertama yang berkecimpung dalam bidang matematika dan memajukan-nya. Dari pendalaman di bidang ini, mereka yakin bahwa prinsip-prinsip matematis merupakan prinsip-prinsip dari seluruh ada. Dan karena dalam matematika, bilangan-bilangan secara hakiki merupakan prinsip-prinsip pertama dan mereka beranggapan sungguh bahwa mereka melihat dalam bilangan-bilangan banyak kemiripan dengan segala sesuatu lebih daripada dalam api, tanah maupun air. [...] Mereka juga melihat bahwa not-not dan akord-akord musik memakai bilangan; dan karena itu mereka bersikeras bahwa semua hal dalam realitas ini dibuat seturut gambaran bilangan-bilangan dan bilangan-bilangan merupakan realitas pertama dan berpendapat bahwa unsur-unsur bilangan merupakan unsur-unsur dari segala sesuatu. Semesta raya seluruhnya adalah harmoni dan bilangan”11.

Bagi para pemikir pitagorian, segala sesuatu dapat diasalkan dan diterjemahkan ke dalam bilangan-bilangan; semua realitas ada adalah cetusan, ungkapan, gambaran bilangan-bilangan. Suara dapat dibeda-bedakan seturut bobot ketukan dan ukuran dari suatu benda. Dalam lingkup semesta raya, banyak fenomen alam yang dinyatakan dalam bilangan misalnya, tahun, bulan, minggu, hari, musim dan waktu. Jadi, bilangan merupakan prinsip dari segala yang ada.

(12)

manusia, buah abstraksi, sehingga dikategorikan sebagai ada nalarian (ens rationis). Sedang para pemikir pra Aristoteles beranggapan bahwa bilangan merupakan hal yang riil, bahkan lebih riil dari segala sesuatu; bilangan bagi mereka dipandang sebagai prinsip dasar dari semua realitas ada.

Pertanyaan penting adalah apa yang dimaksud dengan unsur-unsur bilangan? Pitagorisme berpendapat bahwa bilangan dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis: bilangan genap dan bilangan ganjil, kecuali angka 1 yang bisa mendatangkan bilangan genap bila ditambahkan pada bilangan ganjil maupun menghasilkan ganjil bila ditambahkan pada bilangan genap. Namun demikian, bilangan genap dan ganjil belum menjadi unsur tertinggi. Menurut Filolao dan para pitagorian, prinsip tertinggi dari semua ada adalah ketiadaberhinggaan, ketidak-terbatasan, infinitus dan batas atau pembatas dan akhir. Nah, simpul dari ketidakberhinggaan dan kehinggaan adalah bilangan itu sendiri. Dengan begitu, bilangan merupakan ketiadaberhinggaan dan keberhinggaan, tak-tentu dan tertentu.

Bilangan genap merupakan ungkapan unsur-unsur tak-tentu dan bilangan ganjil menjadi ekspresi elemen-elemen tertentu. Genap dan ganjil sama dengan tak-tentu dan tertentu. Pengelompok-an ini didasarkan pada pemahaman khas pitagorisme yang melihat bilangan sebagai keseluruhan titik yang tertera secara geometris. Baiklah kita lihat contoh-contoh berikut:

. . . . . .

Dst. . . . . . .

Dari pengelompokan ini tampak bahwa pembagian bilangan genap manapun tidak akan mendapatkan batas, melainkan mengarah pada ketakberhinggaan.

. . . . . .

. . . dst. . . . . . .

Sebaliknya, dalam s etiap bilangan ganjil, keterbagian menemukan titik berhenti dalam kesatuan, yang membuatnya menjadi bilangan dalam artian sebenarnya. Dengan kata lain, ketika bilangan ganjil dibagi dua, akan tetap ada satu kesatuan di tengahnya, tetapi, bilamana bilangan genap dibagi dua, tersisa senantiasa ruang kosong tanpa ketertentuan dan tanpa bilangan. Hal ini merupakan suatu hal yang cacat dan belum sempurna.

(13)

oleh pitagorisme sebagai kosmos, yang berarti keteraturan. Pitagorisme merupakan aliran yang menggunakan kosmos dalam pengertian ini.

Gagasan mengenai keteraturan menandakan sebuah babak baru dalam pemahaman tentang semesta. Tiada lagi kekuatan kegelapan, wilayah tak bertuan, kekuatan tak dikenal. Semuanya adalah kumpulan bilangan seturut tata aturan tertentu dan keteraturan memuat didalamnya rasionalitas, kemampuan untuk dikenal dan ditelisik. Dengan demikian, dominasi bilangan berarti dominasi rasionalitas dan kebenaran.

b) Manusia, Jiwa dan Nasibnya

Pitagoras bukanlan orang pertama yang memperkenalkan istilah metempsikosi atau suatu doktrin mengenai keterpaksaan jiwa untuk bereinkarnasi diri sekian banyak kali dalam berbagai rupa makhluk hidup (manusia maupun hewan-hewan). Pitagoras mengambil doktrin ini dari orfisme dan selanjutnya menyempurnakannya. Reinkarnasi yang berulang-ulang itu merupakan sebuah jalan untuk memulihkan dosa asal yang telah diperbuah oleh setiap orang selama hidupnya.

Pitagorisme, sama seperti orfisme, berkeyakinan bahwa jiwa adalah immortal, telah ada sebelum badan dan akan terus berada sesudah bereinkarnasi dalam badan. Kehadiran jiwa dalam badan merupakan suatu hukuman dan sekaligus penebusan atas dosa asal yang telah orang lakukan. Jiwa dan badan bukanlah pasangan kodrati sejak semula, karena kodrat jiwa adalah ilahi dan karena itu abadi, sementara badan secara kodrati dapat-binasa dan dapat-mati. Badan adalah penjara jiwa.

Manusia harus hidup bukan dalam hubungannya dengan badan, melainkan untuk kepentingan jiwanya. Artinya setiap orang mesti bertahan hidup dan hidup untuk melepaskan dan membebaskan diri dari ikatan dengan badan. Dengan kata lain, hidup merupakan suatu momen decisif bagi manusia untuk memurnikan diri, menjadikan diri suci dan murni kembali, seperti pada status sebelum masuk dan terkurung dalam badan.

Jalan pemurnian diri ala pitagorisme berbeda dari kebiasaan dan tradisi-tradisi religius masyarakat pada umumnya. Untuk memurnikan diri tiada lagi kurban dan perayaan liturgis serta aneka ritual di kuil-kuil; tidak perlu lagi berseru-seru kepada dewa-dewi. Jalan pemurnian pitagorian adalah pengetahuan: sebuah kultus terhadap rasionalitas dan pengetahuan. Perlu diingat bahwa bagi pitagorisme, pengetahuan merupakan misteri teragung dan tertinggi dalam skala hidup manusia. Pengetahuan adalah jalan utama pembebasan jiwa dari kurungan badan dan sekaligus pengantar pada status keabadian.

(14)

diijinkan bertanya seputar musik, arimatika dan geometri. Pada tahap akhir, mereka belajar alam semesta seluruhnya.

Selama berlangsung proses pengajaran, maestro berbicara dari tempat tersembunyi. Praktek ini didasarkan pada anggapan bahwa pengetahuan an sich terpisah dari orang yang mengajarkannya. Rumusan kata yang diucapkan oleh maestro adalah ipse dixit, ia telah mengatakannya (sang guru, Pitagoras telah mengatakannya). Ipse dixit merupakan suatu ekspresi tentang otoritas tertinggi.

Karakter misteri dinyatakan dalam sikap diam para pengikut pitagorisme. Tiada seorang pun boleh menyebarluaskan pitagorisme secara publik terlepas dari komunitas. Semua doktrin dan praktek hidup selalu dirahasiakan dari orang biasa; siapa yang melanggar akan dihukum. Jadi, pitagorisme merayakan misteri suci pengetahuan.

Dalam sejarah peradaban, para pengikut pitagorisme merupakan kelompok pertama yang menjalankan sebuah pola hidup yang sangat mengagungkan pengetahuan. Karena devosi dan adorasi terhadap pengetahuan, mereka dianggap sebagai pencetus bios theoretikos, hidup kontemplatif mencari kebenaran. Mereka berkontemplasi mencari kebenaran untuk pemurnian diri dan meraih kesempurnaan dewani. Itulah hidup pitagorian.

Xenophanes dan Aliran Elea 6. Xenophanes

Xenophaness lahir di Kolophon sekitar tahun 570 SM. Sekitar 545 SM ia terpaksa mengungsi ke Jonia dan dari tempat ini ke Sicilia serta daerah Italia meridional lainnya. Namun, semua data kelahiran tersebut tetap tinggal sebagai perkiraan alias dugaan semata.

a) Kritik atas Agama Tradisional Yunani

Tema utama yang digagas Xenophanes adalah kritik terhadap konsepsi tentang dewa-dewi yang telah berakar dalam kepercayaan Yunani dan terutama ditegaskan secara paragdimatis oleh Homer dan Esiodos. Xenophanes mengungkapkan sekian banyak kekeliruan prinsipil dalam pemahaman khalayak tentang dewa-dewi dan dari kekeliruan tersebut muncul sekian banyak gambaran-gambaran dan ungkapan-ungkapan yang terasa janggal. Nah, kekeliruan dasar itu terletak pada antropomorfisme. Artinya, pendapat dan keyakinan umum menggambarkan dewa-dewi memiliki rupa, bentuk, perasaan dan kecenderungan-kecenderungan yang sama dengan manusia. Perbedaan antara dewa-dewi dan manusia hanya terletak pada kwantitas dan kwalitas semata.

(15)

mengidentikkan fenomen-fenomen langit dan bumi dengan aneka macam divinitas, sebaliknya Xenophanes menganggapnya sebagai fenomen alam semata. Contohnya, khalayak ramai yakin bahwa lembayung adalah dewi Iris. Filosof kita ini mengatakan bahwa lembayung merupakan kombinasi dari awan gemawan.

b) Allah dan Keilahian

Lalu siapakah Allah menurut Xenophanes? Allah adalah Dia yang memiliki kekuasaan lebih tinggi daripada dewa-dewi dan manusia. Namun demikian, ide Xenophanes ini mesti dipahami dengan tepat; gambaran Allah yang dia maksudkan tentu berbeda daripada gambaran yang hidup dalam kepercayaan agama-agama wahyu. Allah Xenophanes adalah Allah-kosmos yang mengakui adanya sekian banyak dewa-dewi dan makhluk-makhluk ilahi lainnya. Dewa-kosmos itu selalu berada di tempatnya. Dia melihat, mendengar dan berpikir tapi bukan dalam dimensi manusia, melainkan dimensi kosmologis.

Karena itu, beberapa penafsiran yang mengatakan bahwa Xenophanes berbicara tentang Allah yang satu dan sama (monoteisme) merupakan sebuah pendapat yang kurang mempertimbangkan alam kepercayaan Yunani klasik pada umumnya dan bersifat anakronistis. Yang pasti, gambarannya tentang Allah memang berbeda dari pendapat umum masa itu yang antropomorfistis dan berbeda pula dari keyakinan Yahudi dan Kristiani mengenai ketunggalan dan kemahakuasaannya sebagai sang Pencipta.

c) Kosmologi

Mengenai prinsip kosmologis, Xenophanes tidak memiliki suatu kepastian pendapat. Di satu sisi ia melihat bahwa tanah adalah prinsip dari segala sesuatu, “semua lahir dari tanah dan akan berakhir menjadi tanah”, di sisi lain, ia menyebut tanah dan air sebagai asal muasalnya: “segala sesuatu yang tumbuh dan berkembang adalah (dari) tanah dan air”. Tampaknya, di balik gagasan tentang air dan tanah, Xenophanes bermaksud menjelaskan makhluk hidup di semesta raya dan bukan keseluruhan ada. Air dan tanah sebagai prinsip lebih merujuk pada konsepsi Gaia, yaitu sebagai Dewa-Bumi. Pengertian dan penjelasan Xenophanes tentang prinsip dari segala sesuatu, meskipun agak kabur, tetap memperlihatkan suatu perubahan cara pikir dan wawasan baru tentang semesta raya. Walaupun masih tetap mempertahankan makna religius, perlahan-lahan penjelasan rasional semakin mendapat tempat. Logos sedang menempatkan diri sebagai paradigma utama dalam memahami alam semesta.

7. Parmenides

(16)

Secara filosofis, ada yang mengatakan bahwa pada permulaan Parmenides mendapat pengajaran dari seorang pitagorian bernama Haminias dan hal ini ditunjukkan lewat puisi berjudul “Tentang Alam” yang sarat dengan semangat religius dan mistik.

Dari sudut pemikiran, Parmenides merupakan seorang pembaharu radikal dan sekaligus revolusioner pada era pra-sokratesan. Artinya, persoalan seputar kosmos atau physis telah dilampaui dan pusat permenungan di fokuskan pada realitas itu sendiri. Tiada lagi rujukan pada sesuatu yang sepotong-sepotong atau anasir-anasir tertentu. Persoalan seputar prinsip-prinsip dari segala sesuatu yang sebelumnya begitu menarik perhatian, oleh Parmenides ditransformasikan menjadi persoalan mengenai ada. Parmenides adalah pemulai ontologi dalam pengertian yang sebenarnya.

Tiga jalan permenungan Parmenidean

Berkaitan dengan metode permenungan, Parmenides memperkenalkan tiga jalan atau kemungkinan. Kemungkinan pertama di sebuah sebagai jalan kebenaran absolut. Jalan kedua dinamakan dengan jalan kekeliruan. Terakhir, jalan ketiga adalah jalan plausibilitas panca indera (doxa). Berikut uraian singkat mengenai apa arti ketiga jalan yang dimaksud.

a) Jalan Kebenaran Absolut

Prinsip utama pemikiran parmedean bertumpu pada kebenaran ontologis: ada adalah ada dan tidak dapat tidak ada; tidak ada adalah tidak ada dan mustahil dapat ada. Prinsip ontologis ini secara jelas ingin mengatakan bahwa ada diterima dan diakui, sementara tidak ada disangkal. Menyangkal ada dan menerima tidak ada merupakan sebuah kekeliruan absolut. Jadi, kebenaran terletak pada pengakuan mengenai ada dan penyangkalan terhadap tidak ada. (Bdk. Fragmen 2, 6, 8).

Ada dan tidak ada dalam permenungan parmenidean mempunyai makna utuh dan univoc. Artinya, ada merupakan positif murni dan tidak ada bermakna negatif semata dalam totalitas masing-masing. Tiada kemungkinan bagi masing-masing untuk memuat salah satunya di dalam dirinya. Dalam kaitannya dengan gerak atau aktivitas pemikiran, ada merupakan satu-satunya hal yang dapat dipikirkan dan diungkapkan. Berpikir berarti berpikir tentang ada. Ada dan berpikir saling bertautan dan mengandaikan: tiada aktivitas pikiran tanpa ada dan tiada ada yang terlepas dari pikiran. Sementara itu, tidak ada mustahil dipikirkan dan diungkapkan: tiada satu akses pun mampu menembus ketiadaan. Ketiadaan adalah ketiadaan dan ketiadaan berada di luar jangkauan pikiran.

Para penafsir kemudian menyimpulkan dalam prinsip ontologis parmenidean sebagai formulasi pertama prinsip non-kontradiksi. Kontradiktoritas terungkap dalam dua sisi ektrim yang saling berseberangan : ada dan tidak ada. Jika berada ada, tiada pernah ada ketiadaan atau sebaliknya di mana ketiadaan takkan pernah ada ada apapun.

Adapun makna ada dalam pengertian parmenidean adalah sebagai berikut.

(17)

2. Ada tiada mengenal masa lalu maupun masa depan. 3. Ada tidak dapat berubah dan bersifat tetap secara absolut.

4. Ada tidak dapat dibagi ke dalam bagian-bagian atau satuan-satuan apapun. Ada adalah suatu kesatuan utuh, sama dan identik.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa ada parmenidean ialah ada tanpa asal muasal, incorrutibile, immutabile, immobile, sama, sferiforma (berbentuk bulat) dan satu. Ada bukanlah prinsip dalam pengertian sebelumnya, karena tidak memiliki turunan, tidak berubah dan tetap, sama dan tidak dapat dibeda-bedakan. Dalam arti tertentu, ada parmenidean mempunyai karakter ambigu, mengingat ada bukanlah kosmos maupun prinsip, sehingga memerlukan suatu penjelasan rinci dan lebih mendalam lagi.

b) Jalan Kekeliruan (opini)

Jalan kebenaran merupakan jalan nalar atau jalan logos. Logos semata dapat mengakui ada dan menyangkal ketiadaan. Sebaliknya panca indera dapat saja meyakini eksistensi menjadi dan gerak, lahir dan mati, ada dan ketiadaan. Sayang sekali bahwa sebagian amat besar pendapat dan keyakinan manusia didasarkan pada panca indera.

Mengakui ada dan sekaligus ketiadaan secara substansial berarti mengakui keabsurdan, nullus. Jika orang mengatakan bahwa nullus est, dan menegaskan bahwa terdapat ada dan ketiadaan secara bersamaan, pernyataan tersebut bertentangan secara esensial dengan kenyataan sesungguhnya. Pernyataan demikian sama saja membuka suatu kemungkinan bagi kontradiksi negatif (ketiadaan), yang berarti di luar akal sehat dan absurd. Jadi, jalan kekeliruan berakar dalam pengakuan bahwa ada berada bersama dengan ketiadaan.

c) Plausibilitas fenomen dan doxa

Dalam fragmen 9, Parmenides mengakui bahwa cahaya dan malam adalah sama, karena tidak satu pun dari keduanya adalah ketiadaan dan karena itu keduanya adalah ada. Jika cahaya dan malam merupakan dua bagian dari ada, itu berarti bahwa perubahan dan gerak, yang menjadi bahan pencerapan panca indera, dalam arti tertentu, diterima sebagai sebuah kebenaran lain (kebenaran inderawi), selain kebenaran ontologis.

8. Zenon

Zenon lahir di Elea pada sekitar akhir abad ke VI atau awal abad ke V SM (490 SM?). Zenon merupakan murid Parmenides dan sekaligus penerusnya di Sekolah Elea yang didirikan oleh Parmenides. Sama seperti gurunya, Zenon terlibat dalam kehidupan politik dan pernah masuk penjara gara-gara menentang seorang Tiran, bernama Nearcus atau Diomedontes, seperti terungkap dalam Epitome Satir.

(18)

sebagai benar perubahan, gerak dan kemajemukan. Di tengah perdebatan semacam ini, Zenon tampil untuk membela ajaran-ajaran sang guru dan menunjukkan kekeliruan argumentasi yang dimunculkan oleh pihak lawan. Zenon bertitik tolak dari prinsip-prinsip dasar argumentasi lawan dan kemudian memperlihatkan cacat dan kekeliruan serta kemudian menggiringnya pada absurditas pemikiran. Zeno nadalah pemula argumentasi dialektis. Platon memberikan sebuah kesaksian berikut, “ia berbicara dengan suatu seni yang membuat sesuatu tampak sama dan tidak sama, tunggal dan banyak, bergerak dan tidak bergerak kepada para pendengarnya pada saat bersamaan”12. Pola berdialog secara demikian merupakan suatu

kebaruan dalam pemikiran Yunani klasik. Berikut adalah beberapa argumentasi Zenon. a) Argumen dialektis melawan gerak

Argumen kontra pertama disebut argumentasi dikotomi. Menurut Zenon, gerak merupakan hal yang absurd dan mustahil. Alasannya, sebuah benda untuk sampai pada tujuan harus terlebih dahulu mencapai titik akhir dari jalan yang ditempuh. Namun sebelum mencapai titik akhir ini, benda tersebut harus sampai pada titik akhir dari titik akhir itu dan begitu seterusnya secara tak berhingga. Artinya, sebelum mencapai titik akhir, benda harus menempuh titik akhir dari titik akhir, tujuan dari tujuan sebelumnya.

Argumentasi kontra kedua disebut penalaran Achilles. Absurditas dan kemustahilan gerak dibuktikan dengan satu hipotesis yang menggambarkan pertandingan antara pelari tercepat masa itu, Achilles melawan kura-kura. Menurutnya, Achilles yang berlari di belakang kura-kura, tidak akan pernah mampu mencapainya, karena sebelum menyejajarkan diri dengan kura-kura itu, ia harus mencapai titik berangkat kura-kura, titik kedua, titik ketiga dst sampai titik tak berhingga.

Argumentasi kontra ketiga dinamakan pola berpikir anak panah. Argumentasi ini bermaksud meluruskan pendapat umum yang berkeyakinan bahwa anak panah yang dilepas dari busur sedang bergerak. Zenon mengatakan bahwa anak panah tersebut sesungguhnya tidak bergerak melainkan tetap. Menurutnya dalam setiap detik di mana waktu tempuh dapat dibeda-bedakan nah anak panah tersebut selalu menempati ruang kosong yang sama. Tapi siapa yang menempati ruang kosong sebenarnya berada dalam posisi istirahat. Jadi pada setiap waktu tempuhnya, anak panah sedang dalam posisi istirahat.

Argumentasi kontra keempat dikenal dengan sebutan argumentasi stadium. Argumentasi ini hanya ingin membuktikan relativitas kecepatan. Ia berkata bahwa “apa yang bergerak, tidak bergerak di tempat di mana ia berada maupun di tempat di mana ia tidak berada”. Artinya, tidak bergerak di tempat di mana berada, karena pada posisi demikian ia beristirahat dan tidak bergerak pada tempat di mana tidak berada, karena tidak ada tempat demikian. Jika kecepatan bersifat relatif dan kecepatan merupakan bagian dari gerak itu sendiri, nah, kecepatan bukanlah sebuah hal yang obyektif dan bukan pula realitas gerak. Jadi gerak adalah mustahil.

(19)

b) Argumen dialektis menentang kemajemukan

Argumentasi dialektis yang digunakan untuk menentang gerak digunakan juga untuk menentang kemajemukan. Argumentasi dasar Zenon terletak pada preposisi berikut bahwa untuk menjadi banyak suatu hal mesti menjadi satu kesatuan yang majemuk. Kemajemukan sama artinya dengan kemajemukan dari kesatuan. Namun, kemajemukan demikian merupakan suatu hal yang di luar akal sehat yakni menggiring pada kontradiksi. Ada tiga argumentasi.

Argumentasi pertama membuktikan bahwa jika makhluk hidup dan benda-benda adalah jamak, setiap mereka haruslah kecil secara tak berhingga dan besar secara tak terbatas. Artinya setiap makhluk dan benda, untuk menjadi satu (utuh), harus tidak memiliki keluasan, ketebalan maupun massa (sebab jika memilikinya dapat dibeda-bedakan ke dalam bagian-bagian). Jika ada satu yang memiliki kekecilan tak berhingga sampai tanpa keluasan apapun kiranya tidak berarti apa-apa, karena ditambahkan atau pun dikurangkan dari sesuatu tanpa membawa pengaruh apa-apa. Demikian pula, suatu hal yang memiliki keluasan pasti dapat dibagi-bagi ke dalam bagian-bagian tak berhingga. Nah hal yang memiliki bagian-bagian tak berhingga adalah ketakberhinggaan dalam keluasan.

Argumentasi kedua menyatakan bahwa jika diakui kemajemukan ada, konsekwensinya adalah pengakuan bahwa benda/ada demikian berada dalam bilangan/jumlah berhingga dan tidak berhingga. Berada dalam jumlah berhingga dan tidak berhingga sekaligus merupakan hal yang absurd.

Argumentasi ketiga didasarkan pada sifat kontradiktoris kemajemukan dibandingkan dengan bagian. Jika banyak buah durian jatuh, pasti akan menimbulkan suara gemuruh dibandingkan dengan jatuh sebiji saja. Nah jika pengalaman inderawi adalah benar, kontradiksi demikian (antara banyak dan sebiji durian) semestinya tidak terjadi. Banyak atau sebiji tetap mempunyai gemuruh yang sama.

c) Argumentasi dialektis menyangkal ruang kosong

Menurut Zenon, jika ada ruang kosong, ia harus berada pada suatu tempat atau hal. Nah sesuatu yang berada pada posisi tertentu artinya berada dalam suatu ruang pula. Akibatnya, ruang kosong mesti berada dalam ruang kosong tertentu dan begitu seterusnya. Jadi tidak ada ruang kosong apapun.

Apa sumbangan Zenon bagi permenungan filosofis kemudian? Yang pasti argumentasi untuk membela ajaran Parmenides mengenai ada dan tidak ada memunculkan sebuah tema baru yang tidak kalah penting secara metafisis. Tema tersebut adalah satu, tunggal dan banyak, majemuk. Selain itu, pemikiran dialektis akan menjadi cikal bakal penalaran logis yang disebut dengan argumentasi absurd.

(20)

Melissos lahir di Samo pada akhir abad ke VI atau pada awal abad ke V SM. Pemikir satu ini merupakan seorang ahli dalam hal kelautan dan politikus ulung. Pada tahun 442 SM ia digelari ahli strategi perang oleh warganya sebagai akibat lanjutan dari persaingan dan pertempuran dengan serta keberhasilannya membawa kemenangan Samo atas Athena. Hal yang membanggakan adalah Melissos berhasil mengalahkan armada perang Perikles, seorang panglima perang terkenal dari Athena.

Melissos mengarang sebuah traktaf filsafat dengan judul Tentang Alam atau Tentang Ada. Dari sudut filsafat filosof satu ini dapat disebut sebagai penata eleatisme. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa argumen-argumen Parmenides menimbulkan sekian banyak kelemahan dan bahkan dalam artian tertentu membuat permenungan tentang ada menjadi mengambang dan kontradiktif. Sedangkan Zenon membuat pembelaan yang terbatas pada reduksi argumentasi contra dari pihak lawan pada posisi absurd tanpa meneruskan penalaran sampai pada tahap yang lebih rinci dan sistematis mengenai pengertian dan klasifikasi ada. Singkat kata, Zenon tidak mengembangkan argumen-argumen filosofis Parmenides, gurunya sebagaimana seharusnya.

a) Sifat-Sifat Ada

Pemahaman Melissos tentang ada sejalan dengan gagasan Parmenides dan menurutnya ada bersifat tanpa awal dan tanpa akhir, kekal dan abadi, tiada batas. Dalam fragmen 1, Melissos mengatakan bahwa “apa yang dulu selalu begitu dan yang akan datang akan tetap demikian. Sesungguhnnya, jika sesuatu itu dilahirkan, maka niscaya bahwa sebelum dilahirkan, ia bukan ketiadaan dan bila bukan ketiadaan, tidak ada alasan apapun bahwa ia dilahirkan dari ketiadaan”. Singkatnya, ada adalah selalu sama baik dulu, sekarang maupun nanti, tetap dan stabil, utuh dan sempurna. Tiada gerak maupun proses apapun padanya, sebab ada berada dalam kepenuhan sebagai ada

Unsur baru dalam gagasan Melissos adalah ketidakberhinggaan ada. Unsur baru, karena Melissos berbeda argumentasi dari Parmenides. Ada parmenidean memang bersifat sempurna, utuh dan tetap (dari sudut waktu), namun selalu berhingga (dari sudut ruang). Bagi Parmenides ketiadaberhinggaan merupakan tanda ketidaksempurnaan. Melissos melawan anggapan itu dengan mengatakan bahwa “karena tidak diadakan, selalu sama dulu dan nanti, ada tidak mempunyai awal maupun akhir, melainkan berciri tak-berhingga (infinitus)”. Ada adalah ada yang kekal-abadi dan tiada berhingga baik dalam ruang maupun dalam waktu. Alasannya, jika berhingga ada harus bersinggungan dengan kekosongan, ketiadaan; suatu hal yang mustahil dapat dipikirkan.

Selain berciri tak-berhingga, ada adalah satu, tunggal. Justru karena bersifat tiada berhingga, ada secara niscaya adalah satu. Dalam fragmen 6, Melissos mengatakan bahwa “jika ada adalah tak-berhingga ada haruslah satu. Sebab, seandainya ada dua ada adalah mustahil ada bersifat tidak berhingga, yang satu akan dibatasi oleh yang lain”.

(21)

selalu penuh. Seandainya kosong, ada mesti berpindah ke tempat kosong; namun karena tiada ruang kosong, ada tidak dapat bergerak.

Karakter ada berikutnya adalah nir-badani. Melissos mengatakan bahwa “jika ada adalah ada, ada demikian haruslah tunggal. Dan dengan berada dalam ketunggalan, ada tidak harus mempunyai badan. Sebagai ada tunggal, ada tidak mempunyai badan; karena jika mempunyai bobot, ada harus memiliki bagian-bagian; jadi bukan lagi tunggal”.

Secara singkat bisa dikatakan bahwa ada melissosian adalah tunggal dan tak-berhingga. Ada demikian tidak mengenal batasan apapun baik intern, ekstern maupun lingkaran, karena bukan sesuatu yang memiliki badan maupun bobot. Dari gagasan itu, ada melissosian berciri spiritual dan material sekaligus.

b) Eliminasi Pengalaman dan Tampilan

Gagasan ada tunggal, tak-berhingga, tetap, abadi dan sempurna menggiring Melissos pada penegasan lain, yakni menolak secara radikal kemungkinan bagi panca indera untuk mencerap ada dan tampilan-tampilannya. Eliminasi terhadap pengalaman empiris dan tampilan tertera dalam fragmen 8. Di sini ada lima argumen yang dikemukakan oleh Melissos untuk meniadakan kebenaran empiris.

a) Ada-ada majemuk yang dicerap oleh panca indera, sungguh-sungguh benar ada dan pengenalan inderawi kita benar adanya hanya dengan satu syarat: tiap benda tercerap akan tetap berada secara demikian seperti saat pencerapan berlangsung. Itu berarti bahwa ada tetap sama, tetap, tanpa awal, kekal-abadi. Jadi kemajemukan dapat diterima sebagai kebenaran bila ia identik dengan ada-tunggal dan tak-berhinga.

b) Sebaliknya, bertitik tolak dari pengetahuan inderawi kita semua tahu bahwa sekian banyak hal yang tercerap tidak pernah tinggal tetap melainkan terus menerus berubah dan mengurai. Mengurai, berubah dan berpindah merupakan hal yang bertentangan dengan kebenaran ada.

c) Ada kontradiksi antara apa yang diterima oleh nalar sebagai persyaratan absolut ada dan kebenaran dengan apa yang dihadirkan oleh panca indera dan pengalaman.

d) Kontradiksi ini dieliminasi oleh Melissos dengan menyangkal kesahihan panca indera dan segala sesuatu yang dimaklumkan olehnya. Mengapa demikian? Karena baginya, panca indera hanya mengatakan yang tidak ada. Satu-satunya kebenaran dan ada adalah apa yang diungkapkan oleh nalar semata.

e) Realitas satu-satunya adalah Ada-Tunggal. Keberadaan pluralitas dapat diterima secara bersyarat hanya jika ada Ada-Tunggal ini. “Seandainya ada kemajemukan, ia mesti ada secara demikian sebagai Tunggal”.

Sebagai kesimpulan: ada eleatis adalah ada kekal, tunggal, tak-berhingga, tetap, rohani, sama, abadi. Ada demikian hanya dapat diterapkan pada ada ilahi. Dalam ada demikian terdapat sebuah distingsi amat tegas dan absolut. Di luar ada ilahi hanya ada ketiadaan. Nah ada eleatis adalah ada ilahi dan ada dunia; keduanya ada dalam kesatuan integral.

(22)

Pendapat para pemikir sebelumnya, mulai dari Thales hingga Melissos mempunyai satu benang merah yang kurang lebih sama. Ada adalah ada yang tunggal, tetap, kekal dan abadi. Itulah ada sejati. Penegasan atas ada tersebut dengan sendirinya mengakui kesahihan absolut nalar dan ketidakmampuan panca indera untuk membawa subyek penahu kepada kebenaran.

Para pemikir sesudah Melissos memang menerima pendapat para pemikir sebelumnya mengenai karakter tunggal (monisme), tetap, sama, kekal-abadi dan spiritual ada. Namun mereka berkeyakinan bahwa selain apa yang dapat dikenal dan dipahami nalar, manusia menghidupi pula apa yang disodorkan oleh panca indera dan pengalamannya dalam berkontak dengan realitas yang terus berubah dan mengalir. Dengan demikian, ada dan prinsip pengada serta pola keberadaan secara tersirat maupun tersurat menghadirkan ciri-ciri ada yang berubah dan bergerak dengan sekian banyak prinsip. Jadi ada bukan sekedar tunggal (monisme) tetapi juga majemuk (plural).

1. Empedokles

Empedokles lahir di Agrigento, daerah Sisilia selatan. Diogenes Laertios mengatakan bahwa Empedokles muda hidup pada olimpiade ke 80. Itu berarti terjadi pada tahun 444-441 SM. Kemudian Aristoteles mengatakan bahwa Empedokles mencapai umur 60 tahun, lalu diperkirakan bahwa tahun kelahirannya berkisar pada 484-481 dan wafat pada 424-421 SM.

Dari sudut pekerjaan dan status sosial, Empedokles berasal dari keluarga bangsawan, berwawasan luas dan berprofesi macam-ragam: filosof, mistikus, tabib, pujangga, orator dan politikus ulung dan militan-revolusioner. Di seputar hidupnya berkembang sekian banyak legenda dan mengenai akhir hidupnya ada dua versi: Empedokles menghilang setelah mempersembahkan sesajen kepada Dewa dan ia meloncat ke kawah Etna. (Bdk.Hölderlin, Der Tod des Empedokles. Empedokles auf dem Ätna). Yang pasti, filosof ini meninggalkan dua karya yakni, Tentang Alam dan Syair Suci (Katharmoi).

a) Empat akar (anasir awali) dari segala sesuatu

Empedokles merupakan orang pertama yang mencoba memecahkan persoalan antara tetap dan berubah, kesahihan nalar dan kebenaran pengalaman empiris, ada dan fenomen-fenomen. Persoalan mengenai “muncul dari ketiadaan dan kembali kepada ketiadaan” adalah hal yang mustahil dan di luar akal sehat. Ada adalah ada. Namun demikian, argumentasi para filosof eleatis tetap menyisakan suatu plausibilitas mengenai realitas hidup dari dan kembali ke pada sesuatu. Datang dan pergi, bergerak dan berubah menjadi sesuatu merupakan pengalam-an yang tidak dapat dibantah. Kelahiran dan kematian merupakan padanan dari perpaduan- percampuran dan pemisahan-penghancuran dari benda-benda tertentu yang selalu sama dan tetap, tidak dilahirkan maupun tak-dapat binasa.

(23)

berubah dari keempat akar dan prinsip dari segala sesuatu. Bagi keempat filosof sebelumnya unsur-unsur yang menjadi prinsip dari segala sesuatu berubah diri dan menjelma secara kwalitatif dengan menjadi benda-benda material-korporal, sedangkan dalam Empedokles keempat akar itu tetap tinggal sebagaimana adanya secara kwalitatif tanpa berubah maupun menjelma menjadi sesuatu.

Gagasan empedoklean ini memunculkan beberapa hal baru. Hal pertama berkaitan dengan kemunculan istilah akar (unsur-anasir) sebagai sesuatu yang awali dan tetap secara kwalitatif. Anasir ini memiliki dua kemampuan dasar yakni berpadu dan bercerai berai secara spasial dan mekanis. Kedua timbul pula gagasan mengenai konsepsi pluralistis yang melampaui secara definitif konsepsi monistis. Prinsip ada dan akar dari segala sesuatu bukanlah tunggal tetapi secara struktural adalah bermacam-ragam; pluralisme merupakan sebuah prespektif baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara ontologis sebagai prinsip ada.

b) Cinta dan Benci

Persoalan yang muncul dan menjadi bahan permenungan seluruh filosof adalah bagaimana dan mengapa realitas ada dapat lahir dan dapat mati, berpadu dan bercerai berai. Siapa yang melakukannya atau dalam bahasa tekhnis Aristotelian, apa causa efisiennya? Filosof satu ini mengatakan bahwa causa efisien dari setiap perpaduan dan peleburan, lahir dan mati adalah cinta (philotes) dan benci (neikos), persahabatan dan perseteruan. Cinta dan benci merupakan dua kekuatan utama kosmis yang menjadi sebab dari setiap gerak dan perubahan dalam alam semesta serta dipahami sebagai dua kekuatan kosmis-ilahi: ilah.

Benci merupakan prinsip ada yang meleburkan, menguraikan, mencerai-beraikan, sedangkan cinta memadukan, menyatukan, mengharmoniskan. Sebagai prinsip keduanya memiliki kecenderungan untuk saling mengalahkan dan menguasai satu sama lain dalam suatu siklus yang terus berubah-ubah secara abadi. Ketika cinta berkuasa, unsur-unsur disatupadukan sehingga terbentuk suatu kesatuan, sebaliknya bila benci berhasil mengalahkan cinta, semua hal dicerai-beraikan. Alhasil, jika keduanya saling bertemu dan saling mempengaruhi lahirlah segala sesuatu.

c) Kesatuan dan Kosmos

Empedokles berpendapat bahwa kosmos lahir dari hubungan dialektis antara cinta dan benci dalam suatu siklus waktu yang berbeda-beda. Ada empat siklus waktu tersebut.

Fase pertama, ketika cinta menguasai seluruhnya, semua anasir bersatu-padu dan membentuk suatu kesatuan yang disebut Tunggal atau Bulatan. Tiada perbedaan apapun di antara anasir-anasir tersebut; semua adalah sama. Gagasan mengenai bulatan ini mempunyai kemiripan dengan gagasan ada parmenidean.

(24)

Fase ketiga, benci berhasil menaklukkan cinta dan memaklumkan diri sebagai penguasa tunggal. Semua anasir tercerai-berai, melebur dan terurai-burai. Pada fase ini tiada satu pun dapat bertahan dan dapat berada sebagaimana adanya. Dominasi benci menghancurkan setiap hal yang telah dipadukan oleh cinta.

Fase keempat, perlahan-lahan, cinta berhasil menguasai kembali semesta raya. Semasa peralihan tersebut, muncul kembali segala sesuatu sebagai kombinasi dari cinta dan benci. Fase kedua terulang kembali. Demikianlah, ketika cinta berhasil menguasai secara total seluruh semesta, segala sesuatu kembali berada dalam satu kesatuan.

d) Epistemologi

Prinsip dasar epistemologi empedoklesian adalah “hal yang sama mengenal hal yang sama; unsur yang sama mengenal unsur yang sama dengannya”: air mengenai air, api mengenal api, tanah mengenal tanah, udara mengenal udara, cinta dengan cinta dan benci dengan benci. Dari segala sesuatu dan dari pori-porinya mengalir keluar uap dan sinar yang mengenai organ-organ inderawi atau sebalikya.

Proses yang sama mengenal yang sama berlaku juga dalam pikiran dan pengetahuan. Tiada perbedaan antara ragawi dan rohani, seperti terungkap dalam fragmen 105. “Dalam gelora detak darah [jantung] terasup, di mana yang maksimum adalah apa yang dikatakan nalar kepada orang-orang fana, karena bagi manusia darah yang mengalir lagi dalam batin adalah pikiran”. Pikiran adalah darah yang menghidupkan manusia; pikiran adalah pengetahuan.

e) Jiwa dan Yang ilahi

Dalam “Syair Suci” Empedokles membela pengertian orfisme-pitagorisme tentang jiwa manusia. Menurutnya jiwa adalah ilah yang karena dosa asal telah diasingkan dari dunia para suci (Olympos), terbuang ke dalam badan dan terikat pada lingkaran kelahiran.

Dalam syair tersebut Empedokles memperkenalkan diri sebagai salah satu dari ilah yang terhukum akibat dosa asal. Akibat kesalahan tersebut para ilah (termasuk Empedokles) harus menjalani hukuman tiga kali sepuluh musim dan akan lahir kembali dalam bentuk makhluk hidup yang fana. Mereka dilemparkan dari udara ke laut, dari laut dimuntahkan ke bumi dan dari bumi ke panas terik matahari. Ilah-ilah itu akan menjelma menjadi pohon, ikan-ikan, binatang darat dan burung-burung di udara dan kemudian menjadi manusia.

Upaya keluar dari lingkaran kelahiran berantai ini [reinkarnasi] hanya dapat terjadi jika manusia mampu menyucikan diri. Penyucian diri yang terus menerus akan membuat manusia terlahir ke dalam bentuk yang selalu lebih sempurna hingga akibat dosa asal tersebut lunas terbayar. Manusia akan kembali lagi ke dalam kahyangan menjadi ilah-ilah. Nah salah satu cara penyucian diri itu adalah dengan berpantang makan daging.

(25)

demikian pula siklus reinkarnasi bergantung pada perbuatan jahat dan perbuatan baik. Dengan kata lain, baik fisika maupun doktrin mengenai jiwa empedoklesian senantiasa berada dalam dimensi mistik.

2. Anaxagoras

Anaxagoras lahir di kota Klazomenai sekitar tahun 500 SM dan meninggal dunia sekitar tahun 428 SM. Salah satu hal yang amat menarik adalah kenyataan bahwa Anaxagoras pergi meninggalkan kota kelahirannya dan ia menjadi filosof pertama yang membawa permenungan filosofis ke Athena. Dia tinggal di Athena selama kurang lebih 30 tahun. Sejak saat itu Athena perlahan-lahan menjadi pusat permenungan filosofis.

Dari sudut karya, Anaxagoras mengarang sebuah buku berjudul Tentang Alam. Dari buku tersebut masih ada beberapa fragmen yang diwarisi oleh dunia peradaban. (Untuk lebih detil mengenai hidup dan karya filosof satu ini, baca K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani).

a) Doktrin mengenai Benih

Anaxagoras mencoba membela ajaran kelompok eleatis mengenai ketetapan ada, tetapi sekaligus juga memberikan ruang bagi kebenaran empiris. Pendekatan argumentatif yang dilakukan oleh Anaxagoras tentu semakin menunjukkan kemajuan dalam permenungan filosofis pada waktu itu. Dalam fragmen 17, Anaxagoras mengatakan bahwa “orang-orang Yunani kurang memahami persoalan mengenai lahir dan mati: tiada hal yang lahir dan mati, tetapi bertitik tolak dari hal yang ada dihasilkan suatu proses pemaduan dan pemilahan. Dengan demikian dapat dikatakan secara tepat bahwa lahir berarti memadukan diri dan mati sama dengan mencerai-beraikan diri.

Apa yang dimaksudkan dengan hal yang ada, yang lahir lewat pemaduan diri dan mati dengan pencerai-beraian diri? Hal yang ada tersebut tiada lain adalah benih-benih

(σπέρματα) yang tiada berhingga dalam jumlah dan bobot, seperti diuraikan dalam

fragmen 4. Benih-benih ini merupakan suatu kwalitas asal-usul dari hal, asal usul kwalitatif tanpa perubahan apa pun. Kebalikkan dari Melissos, Anaxagoras memberikan sebuah rumusan positif untuk menegaskan ketetapan ada. Kemajemukan bukan hal ihwal fenomenis yang muncul dan menghilang, tetapi benih-benih yang memuat segala macam bentuk, warna dan rasa. Istilah benih menunjuk pada asal usul, sedangkan bentuk (ide) mengungkapkan perbedaan kwalitas awali kemajemukan.

Benih-benih itu tidak memiliki batasan dalam keluasan maupun dalam kekecilan. Artinya benih-benih itu secara kwantitatif tak berhingga dan tidak dapat habis serta setiap benih dapat dipilah-pilah secara tak berhingga. Nah, dari karakter yang demikian, benih-benih tersebut dinamakan homoeomeria, yang berarti ketika setiap benih dipisah-pisahkan setiap bagian secara kwalitatif selalu identik.

(26)

ber-beda-beda. Dengan demikian, prinsip eleatis tentang kwalitas maupun kwantitas. Segala sesuatu tetap tinggal sebagaimana adanya dalam kesamaannya.

b) Nous atau Nalar Ilahi

Segala sesuatu muncul dari perpaduan awali yang disebabkan oleh gerak yang berasal dari sebuah Nalar. Lalu apa hakekat dan fungsi nalar? Fragmen 12 memberikan beberapa ciri dan fungsi Nous. Nous bersifat tak terbatas, mandiri dan tidak tercampur dengan segala sesuatu. Ia berada dalam kesendirian. Meski tidak tercampur, Nous itu merupakan bagian dari setiap benda, bersifat sangat halus (leptos) dan murni (katharos) melebihi segala sesuatu dan yang paling penting: Nous memiliki suatu pengetahuan sempurna atas segala sesuatu dan mempunyai kekuasaan dan daya yang sangat besar. Segala sesuatu yang hidup memiliki nous tetapi ada juga yang tidak memilikinya. Dari situ muncul distingsi antara makhluk hidup dan makhluk tak hidup. Selanjutnya, segala sesuatu membentuk diri lewat proses pemaduan diri dan pemisahan diri dari berbagai unsur. Namun proses pemaduan dan pemisahan hanya terjadi karena Nous semata. Nous adalah sama, besar maupun kecil, sementara itu ketiadaak tidak tiada terbandingkan dengan apapun, namun setiap satu adalah ada dan terdiri dari segala fenomen yang ambil bagian di dalamnya.

Satu hal mesti diingat bahwa Nous anaxagorian tidak dapat diidentikkan dengan roh ilahi dalam pengertian platonis-aristotelian. Identifikasi semacam ini kiranya amat dipaksakan dan dari segi waktu adalah anakronistis. Seperti kaum Yunani klasik pada umumnya, Anaxagoras tetap masih menganut pola pemikiran yang memadukan antara materi dan rohani, badan dan jiwa. Pemisahan yang tegas belum muncul.

Atomisme

Referensi

Dokumen terkait

Jika dilihat pada syarat slump test yang memenuhi syarat konsistensi campuran yang baik (5 – 10 cm) diperoleh bahwa pasir dengan gradasi sangat halus dan agregat kasar diamater

Kondisi pada kuadran II ini merupakan kondisi yang cukup rawan karena akan menjadi ajang kepentingan banyak pihak, termasuk pihak asing untuk berebut memanfaatkan (eksploitasi)

“Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibility dan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi.”

Karena, PUSDARU merupakan pelopor terbentukanya wisata edukasi berbasis lingkungan dari daerah kumuh, dengan terealisasinya PUSDARU maka akan membuka

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelas sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru.

[r]

Pokok kajian akuntansi Islam yang membedakan dengan kapitalisme, sosial- isme adalah kajian substansi (doktrinal), se- dangkan aksiden (tampakan) bersifat relatif yang

Wallpaper sangat praktis di gunakan untuk menggantikan cat dinding sebab bahan tersebut banyak sekali motif yang sangat unik sehingga sangat tepat jika anda menggunakan bahan