• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HAK HAK MASYARAKAT LOKAL DA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERLINDUNGAN HAK HAK MASYARAKAT LOKAL DA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HAK-HAK MASYARAKAT LOKAL DALAM

PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA SUMBER INDUSTRI

KREATIF: PERSFENTIF HUKUM INTERNASIONAL

Studi Kasus Perlindungan Karya Sastra Masyarakat Bugis, La Galigo

Rusmana bin Sayidin

I. Pendahuluan

Arus transformasi masyarakat dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri, baik langsung ataupun tidak langsung, telah membawa pergeseran sistem nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya barat yang dalam tata interaksi masyarakat dunia relatif memiliki pengaruh yang dominan telah mengikis sedikit demi sedikit nilai-nilai masyarakat lokal yang umumnya hidup di negara-negara berkembang. Untuk nilai-nilai yang sifatnya fundamental, hal ini tidak jarang menimbulkan benturan dan reaksi dari masyarakat lokal yang merasa diintervensi oleh nilai-nilai yang mereka anggap tidak sesuai dengan jiwa masyarakat lokal.

Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) adalah salah satu contoh konkrit dimana nilai-nilai individualistic dan monopolistic berhadapan dengan karakter masyarakat Indonesia yang bersifat komunal dan menghargai kehidupan harmonis dengan sesama.

Di Indonesia, pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang HKI sesungguhnya tidak disasarkan pada kepentingan atau kebutuhan dari mayoritas penduduknya sendiri. Pembentukan perundang-undangan HKI lebih banyak di dasarkan pada kebutuhan untuk menyesuaikan diri terhadap kecenderungan perdagangan global.1

(2)

Menurut Frederick Abbott sistem perlindungan HKI merugikan negara-negara berkembang.2 Akan tetapi mengap Indonesia tetap memberlakukan HKI meski terbukti tidak sepenuhnya bermanfaat? Menurut Agus Sarjono hal itu dilakukan tidak lain karena Indonesia harus menyesuaikan diri terhadap kesepakatan-kesepakatan internasional agar supaya dapat diterima sebagai anggota masyarakat dunia, serta tidak dikucilkan dalam dari arus perdagangan global.3 Dengan kata lain, diterapkannya HKI di Indoensia lebih disebabkan

factor “keterpaksaan” ketimbang faktor kebutuhan.

Terkait dengan pelaksanaan HKI ini, salah satu isu menarik untuk dibahas adalah mengenai perlindungan pengetahuan tradisional. Seperti kita ketahui, diadopsinya HKI dalam sistem hukum nasional, bagaimanapun telah “memaksa” kita untuk merubah paradigma dalam melihat suatu pengetahuan tradisional dari suatu obyek yang perlu tetap dijaga kegratisannya menjadi obyek yang bernilai ekonomis. 4 Persoalannya, seberapa jauh sistem perlindingan HKI yang bernilai individualistic dan monopolistik cocok bagi perlindungan pengetahuan tradisional yang berakar pada nilai budaya komunal? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba mengetengahkan salah satu kasus perlindungan karya sastra masyarakat Bugis, I La Galigo. I La Galigo adalah karya sastra orang Bugis dalam bentuk rangkaian puisi yang tebalnya lebih dari 6.000 halaman.5

Sebagai sebuah pengetahuan tradisional, tidak ad keraguan bahwa I La Galigo adalah hasil karya dan milik masyarakat Bugis, meskipun saat ini sebagain besar masyarakat Bugis mungkin tidak mengenal karya sastra tersebut. Persoalannya muncul justru ketika I La Galigo dimanfaatkan oleh pihak asing secara ekonomis. Seperti kita ketahui bahwa I La Galigo, pernah dipentaskan

2

Frederick Abbott, et al. The International Intelectual Proverty Sistem : Commentary and Materials Part One. (Kluwer law International, 1999), 8, sebagaimana di kutif Agus Sarjono, Ibid, 18.

3 Agus Sarjono, Ibid., 18.

4 Ranggalawe Suryasaladin, Masalah Perlindungan HKI Bagi Traditional Knowledge, 2008. 5Muhammad Salim, “I La Galigo, "Bissu", d

(3)

untuk pertama kalinya di Esplanade, Singapura, 12-13 Maret 2004 dan disutradarai Robert Wilson.6

Pementasan oleh pihak asing tersebut nyatanya telah menimbulkan pro dan kontra. Ada yang berpandangan bahwa ha tersebut telah melanggar hak-hak masyarakat lokal sebagai pemilik dari pengetahuan tradisional tersebut. Tapi ada juga yang berpandangan bahwa hal tersebut justru perlu didukung karena pementasan I La Galigo tersebut secara tidak langsung akan memperkenalkan dan mempromosikan I La Galigo ke masyarakat internasional.

Karena itu ketika masyarakat mempertanyakan sejauhmana legalitas dari pementasan I La Galigo oleh pihak asing tersebut, dalam hal ini memang tidak mudah untuk menjawabnya. Sebab, dalam menilai aktivitas eksploitasi I La Galigo, betapapun kita tidak dapat begitu saja mengabaikan komitmen dan norma-norma hukum yang sejak tahun 1982 telah dikukuhkan dalam Undang-Undang (UU) Hak Cipta. Di antaranya- yang paling relevan- adalah ketentuan dalam Pasal 10, bahwa negara memegang hak cipta atas karya peninggalan sejarah, prasejarah, dan benda-benda budaya. Negara juga memegang hak cipta atas hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama dalam kaitan penggunaannya oleh pihak luar negeri. Bahkan, UU Hak Cipta Tahun 2002 lebih menegaskan lagi kewajiban orang asing agar meminta izin jika bermaksud mengumumkan atau memperbanyak karya-karya seperti itu.

Dalam menelaah permasalahan tersebut, penulis berangkat dari asumsi bahwa HKI sebagai suatus sistem nilai yang berasal dari dunia barat tidak sejalan dengan sistem nilai yang berlaku di masyarakat tradisional, meski dalam tataran praktis hal tersebut tidak begitu saja dapat ditolak kehadirannya. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana agar sistem HKI tersebut dapat diadopsi dan diintepretasikan sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodir dan melindungi

6 Ratna Sarumpaet, I La Galigo“: Panggung Megah, Miskin Makna”, Harian Kompas, 21 Maret 2004.

(4)

sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat tradisional, termasuk dalam melindungi nilai budaya masyarakat tersebut.

II. HKI Sebagai Norma Hukum Baru

HKI pada umumnya berhubungan dengan perlindungan penerapan ide dan informasi yang niemiliki nilai komersial. HKI adalah kekayaan pribadi yang dapat dimiliki dan diperlakukan sama dengan bentuk-bentuk kekayaan lainnya.7 Sebagai suatu norma hukum, hukum HKI merupakan salah satu bagian sistem hukum yang merupakan salah satu bagian tatanan nilai dalam masyarakat. HKI tidak bisa tidak merupakan sistem yang dipengaruhi masyarakat dan mempengaruh masyarakat baik di tatanan masyarakat modern maupun masyarakat tradisional di negara berkembang.

Lantas apa yang mendasari pentingnya perlindungan HKI? Justifikasi yang paling mendasar adalah bahwa seseorang yang telah mengeluarkan usaha kedalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk memiliki dan mengontrol apa yang telah mereka ciptakan. Pendekatan ini menekankan pada kejujuran dan keadilan. Sebagai dasar dari pengakuan tersebut dimuat dalam Pasal 27 (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia se Dunia, dimana setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan (untuk kepentingan moral dan materi) yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusastraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta. Justifikasi lain adalah sebagai wujud dari imbalan dan dorongan bagi orang untuk lebih kreatif dalam melakukan penciptaan/menemukan sesuatu invensi. Dalam hal ini perlindungan terhadap HKI dilihat sebagai upaya bagi terciptanya iklim yang kondusif bagai tumbuh dan terpeliharanya kreatifitas masyarakat.8

7 Tim Lindsay, Eddy Damian, Simo Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar

(Alumni, Bandung: 2006), 3.

8

(5)

III. Hak-Hak Komunal vs Hak-Hak Individu

Kegagalan sistem HKI moderen untuk melindungi pengetahuan tradisional berawal dari sikap pandang yang lebih mementingkan pada perlindungan hak individu bukan hak masyarakat. Dalam masyarakat komunal, kedudukan individu tidak lebih tinggi di banding masyarakat. Indovidu adalah bagian dari masyarakat.9 Memang individu menurut paham masyarakat tradisional bukanlah individu yang kehilangan hak-hak individunya. Akan tetapi hak-hak-hak-hak individualnya itu tidak terlalu ditonjolkan sebagaimana pada paham individualism. Orientasinya adalah kedamaian dan kebahagiaan hidup bersama yang lebih bernilai spiritual ketimbang material.10

Bagi masyarakat Indoensia, karena faktor budaya masyarakat yang bersifat komunal menyebabkan mereka sulit untuk menerima konsep-konsep HKI yang menonjolkan hak-hak pribadi. 11 Masyarakat asli Indonesia pada umumnya tidak mengenal konsep-konsep yang bersifat abstrak termasuk konsep tentang HKI. Masyarakat Indonesia umumnya tidak pernah membayangkan bahwa buah fakiran (intellectual creation) adalah kekayaan (property) sebagaimana cara berfikir orang-orang barat. HKI adalah sesuatu yang abstrak sedangkan masyarakat lokal adalah masyarakat yang berfikir konkrit dan sederhana.12 Cara berfikir orang Indonesia dengan orang barat tentang hak kebendaan sama sekali berbeda.

Pandangan masyarakat yang berbeda, yang muncul berkenaan dengan rezim HKI tersebut di atas, pada hakikatnya mencerminkan adanya perbedaan pandangan antara masyarakat tradisional dan masyarakat barat. Masyarakat barat melihat dari sudut pandang teori pembangunan (development theory) yang memandang bahwa sumberdaya yang terdapat di muka bumi sebagai sesuatu yang dapat di eksploitasi. Sebaliknya, masyarakat tradisional memandang bahwa

9

Supomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), 10 sebagaimana di kutip Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, Ibid, 110.

10 Agus Sarjono, Ibid., 110. 11 Ibid., 26.

(6)

manusia hanyalah merupakan custodian dari sumber daya yang terdapat di bumi ini.13

Perbedaan pandangan tersebut pada akhirnya melahirkn perbedaan konsep mengenai kepemilikan (ownership), kekayaan (property), hasil karya cipta (creation), dan penemuan (discovery atau invention). Apa yang menurut masyarakat modern dianggap sebagai kekayaan milik pribadi, oleh masyarakat tradisional dianggap sebagai milik bersama karea diperoleh dan berasal dari lingkungan masyarakatnya.14 Bagi masyarakat tradisional, pengetahuan tradisional adalah warisan budaya yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, terutama anggota masyarakat yang bersangkutan.

Dalam konsep HKI, kekayaan intelektual dapat dimiliki seorang atau sekelompok individu yang dapat diketahui. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh hak milik individu mencerminkan kepercayaan dasar - biasanya dianggap sebagai hal yang diperhatikan negara barat, meskipun hal ini dapat dipersoalkan dan bahwa manfaat ekonomi merupakan acuan utama untuk berkarya. Hak kepemilikian pribadi kemudian diperkenalkan untuk memperbolehkan pemanfaatan ekonomi.15

Banyak karya-karya tradisional diciptakan oleh masyarakat tradisional secara berkelompok - berarti orang banyak memberi sumbangan terhadap produk akhir. Banyak pengetahuan tradisional seringkali ditemukan secara kebetulan. Lagipula, karya-karya dan pengetahuan tradisional juga dapat dikembangkan oleh orang berbeda selama jangka waktu panjang (barangkali selama beberapa abad). Bahkan, lebih penting lagi, banyak masyarakat tradisional tidak mengenal konsep hak individu, bagi mereka harta berfungsi sosial dan bersifat milik umum. Karena itulah, para pencipta dalam masyarakat tradisional tidak berniat atau ingin mementingkan hak individu atau hak kepemilikan atas karya-karya mereka.16

13 Ibid., 47. 14 Ibid., 47.

15 Tim Lindsay, dkk., Ibid., 261. 16

(7)

Kadang-kadang ada seorang wakil masyarakat yang memegang dan mengontrol informasi atau karya atas nama masyarakat, tetapi dapat dikatakan juga bahwa kepemilikan yang sungguh-sungguh tidak dapat dialihkan kepada wakil tersebut sesuai dengan syarat-syarat sistem HKI konvensional (misalnya, melalui sebuah kontrak). Dengan demikian sering sulit sekali untuk menetapkan pemilik kekayaan tradisional yang dilindungi sistem hukum HKI. Jika dilihat dari sudut pandang hukum, jarang ada seseorang dari masyarakat tradisional yang berhak mengajukan tuntutan terhadap pelanggar. Kelemahan ini merupakan halangan penting dan menyebabkan hampir semua bentuk HKI tidak dapat diterapkan untuk melindungi karya-karya dan pengetahuan tradisional.17

IV. Masalah Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Dalam Wacana HKI

Masyarakat Internasional dengan pelbagai usaha mencoba melindungi Pengetahuan Tradisional atau Karya-karya Tradisional yang dalam UUHC 2002 dicakup dengan istilah Folklore. Namun, usaha-usaha ini hasilnya belum cukup memadai. Salah satu usaha pertama masyarakat internasional adalah Konferensi Diplomatik Stockholm 1967, yang dalam salah satu rekomendasinya menetapkan perlu diberikannya perlindungan terhadap perwujudan suatu Folklore melalui Hukum Hak Cipta, Usaha ini, menghasilkan pengaturan tentang Folklore dalam Revisi Konvensi Bern 1971, Pasal 15 (4). Pasal ini mengatur perlindungan atas ciptaan-ciptaan yang tidak diterbitkan oleh Pencipta yang tidak diketahui, yang dianggap sebagai warga negara dari negara peserta Konvensi Bern. Negara bersangkutan akan menunjuk Badan Berwenang dalam negaranya untuk mewakili Pencipta yang tidak diketahui dan melindungi Ciptaan-ciptaannya. Badan Berwenang yang dibentuk ini harus dilaporkan keberadaannya kepada WIPO. Meskipun demikian, WIPO sampai tahun 1995 belum pernah menerima satu laporanpun dari negara-negara peserta Konvensi Bern tentang keberadaan Badan Berwenang di sesuatu Negara.18

Pasal 15 (4) Konvensi Bern telah mendapat tempat pengaturannya dalam Pasal 10 UUHC 1997 maupun UUHC 2002, walaupun hingga saat ini efektivitasnya belum tampak

(8)

hasilnya dalam memecahkan masalah-masalah Pengetahuan Tradisional atau Folklore seperti dimaksud dalam UUHC. Selain itu, Badan Berwenang yang ditunjuk Pemerintah untuk mewakili Pencipta yang tidak diketahui sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Bern belum menjadi kenyataan.

Untuk melindungi Ciptaan-ciptaan yang tidak diketahui Penciptanya dan dapat dikategorikan sebagai Folklore, UNESCO dan WIPO telah melaksanakan pelbagai usaha untuk pengaturannya. Atas prakarsa kedua organisasi internasional ini, pada tahun 1976 pengaturan Folklore telah dimuat dalam Tunis Model Law on Copyright for Developing Countries, WIPO pada tahun 1985 telah juga mengaturnya dalam Model Provisions for National Laws on the Protection of Expressions of Folklore Against Illicit Exploitation and Other Prejudical Actions.

Dalam Tunis Model Law dikemukakan bahwa kepada negara-negara berkembang dianjurkan untuk:

 mengatur secara terpisah perlindungan Folklore/Karya-karya Tradisional dengan ketentuan-ketentuan antara lain:

 Jangka waktu perlindungan tanpa batas waktu;

 Mengecualikan Karya-karya Tradisional dari keharusan adanya bentuk yang berwujud (fixation)',

 Adanya Hak-hak Moral tertentu untuk melindungi dari pengrusakan dan pelecehan Karya-karya Tradisional.

Lebih lanjut Tunis Model Law mengatur pelarangan penggunaan tanpa izin, penyajian secara salah, penggunaan Folklore secara serampangan, pengaturan perlindungan internasional secara timbal balik antara negara-negara pengguna Folklore. Juga ditetapkan perlu dibentuknya Badan Berwenang disetiap negara yang mewakili kepentingan komunitas-komunitas tradisional dalam melindungi Folklore yang dimilikinya.19

Warga negara asing yang akan menggunakan Folklore dari suatu masyarakat/komunitas tradisional perlu mendapat izin terlebih dahulu dari Badan Berwenang

19

(9)

yang ditunjuk Negara, kecuali Folklore itu digunakan untuk keperluan-keperluan wajar seperti pendidikan, penelitian atau pelestariannya. Dengan belum diaturnya hal-hal seperti dirinci secara lebih spesifik dalam Tunis Model Law, menunjukkan bahwa pengaturan Folklore dalam Konvensi Bern dan UUHC masih mengandung kelemahan-kelemahan dalam pengaturan perlindungan Folklore.

Lalu bagaimana sistem hukum nasional kita mengatur perlindungan terhadap hak-hak masyarakat atas pengetahuan tradisional yang mereka miliki? Isu pokok dalam pembahasan HKI dan perlindungan pengetahuan tradisional umumnya terfokus pada kelemahan sistem HKI dalam melindungi pengetahuan tradisional. Sistem HKI yang berdasarkan ide liberal barat terhadap kepemilikan pelbagai kekayaan intelektual dinilai hanya melindungi ciptaan dan invensi negara maju.20

Paling tidak ada dua alasan mengapa kebanyakan masyarakat asli atau pedesaan tidak dapat menerima kenyataan yang tidak menyenangkan ini. Pertama, pengarang, seniman dan pencipta dari masyarakat tradisional atau pedesaan jarang menerima imbalan finansial yang memadai untuk kekayaan intelektual berupa Pengetahuan Tradisional yang dieksploitasi. Kedua, penggunaan tanpa izin dari karya-karya Pengetahuan Tradisional yang dieksploitasi ini kadang-kadang menyinggung perasaan masyarakat yang mencipta karya Pengetahuan Tradisional tersebut. Misalnya, komersialisasi karya suci yang dilarang agama atau adat.21 Hal ini berlaku pula pada kasus I La Galigo. Masyarakat Bugis sebagai pemilik tidak mendapatkan benefit sharing dari pemanfaatan I La Galigo oleh pihak asing.

Harus diakui bahwa Hukum hak cipta memiliki beberapa kelemahan penting yang menghambat pengaturan perlindungan atas karya-karya dan pengetahuan tradisional. Agar dilindungi Hak Cipta, suatu Ciptaan harus bersifat asli dan dalam bentuk yang berwujud (syarat "fixation"). Jangka waktu perlindungan dalam Hukum Hak Cipta yang terbatas waktunya juga tidak tepat untuk diterapkan pada karya tradisional oleh karena kebanyakan karya-karya ini diciptakan beberapa abad yang lalu22.

(10)

Bagaimana dengan syarat harus berwujud? Pada intinya, hal ini berarti ide tidak dilindungi; suatu ide harus berupa suatu wujud atau bentuk yang dapat diproduksi ulang secara independen. Penyusunan kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan ide hanya dilindungi apabila dituangkan dalam bentuk tertulis (diterbitkan dalam wujud buku atau dicetak sebagai pamflet di alas kertas). Sama halnya dengan lagu, yang akan mendapat perlindungan bila telah dicatat atau direkam; tidak cukup untuk hanya memainkan lagu itu dengan gitar secara berulang-ulang.23

Dari aspek keaslian, Undang-undang Hak Cipta Indonesia mensyaratkan karya-karya yang dilindungi harus bersifat asli. Sebagaimana kita telah ketahui, hal ini berarti suatu karya harus telah diciptakan oleh seorang Pencipta dan tidak boleh merupakan karya yang meniru karya lain. Yang menjadi persoalan adalah beberapa karya tradisional telah diilhami adat yang telah ada dan melibatkan pola yang meniru pola lain secara berulang-ulang dalam jangka waktu panjang. Dalam masyarakat adat berlaku ketentuan bahwa suatu kebiasaan yang tidak sama dengan kebiasaan sebelumnya dianggap melanggar peraturan adat. Sehingga, meskipun tetap melibatkan keterampilan ahli dan usaha besar dalam mencipta, karya-karya ini dapat disebut 'tiruan' oleh HKIm dan dengan demikian barangkali tidak memenuhi persyaratan keaslian.

Dri sisi masa berlakunya, sebagaimana telah diketahui menurut Konvensi Bern dan UUHC, 'perlindungan Hak Cipta mempunyai masa berlaku selama hidup Pencipta ditambah dengan 50 tahun setelah Pencipta meninggal. Meskipun Hak Cipta dapat melindungi karya tradisional (yaitu, yang .berwujud dan asli), masa perlindungan ini barangkali tidak mencukupi. Dasar pemikiran pemberian perlindungan Hak Cipta adalah memberikan waktu kepada Pencipta untuk mengeskploitasi hak-hak ekonomi ciptaannya dalam jangka waktu tertentu, untuk memperoleh imbalan ekonomi yang adil. Hal ini dimaksudkan memberi manfaat kepada masyarakat umum, karena tanpa dorongan ini dapat dikatakan bahwa seorang Pencipta tidak akan berkarya, sehingga masyarakat umum tidak mempunyai akses terhadap karya itu. Akan tetapi, dengan adanya keinginan masyarakat untuk memperoleh

23

(11)

akses bebas' terhadap karya-karya yang dilindungi Hak Cipta, masa berlaku perlindungan Hak Cipta berakhir setelah waktu terbatas ini.24

Akan tetapi, bagi masyarakat tradisional, jangka waktu ini barangkali tidak mencukupi dikarenakan biasanya dasar pemikiran untuk membatasi masa perlindungan Hak Cipta tidak dapat diterapkan terhadap banyak karya tradisional. Seringkali tidak perlu adanya unsur kornersial untuk berkarya; karya sering diciptakan tidak demi alasan komersial, tetapi demi alasan budaya dan spiritual. Lagipula, banyak karya diciptakan hanya demi penggunaan di dalam masyarakat itu sendiri dan untuk memperbolenkan karya itu dijadikan milik umum (publik domain) setelah jangka waktu tertentu bertentangan dengan tujuan ciptaan itu sendiri.25

Lantas bagaimana Undang-Undang Hak Cipta memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional seperti pada kasus I La Galigo. Pasal 10 UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta mengatur bahwa :

(1) Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda nasional lainnya.

(2) Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

(3) Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat (2), orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah,

Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, perlindungannya berlaku tanpa batas waktu (Pasal 31 ayat la). Pasal ini jelas bertujuan melindungi karya-karya tradisional. Apakah kekurangannya? Dapatkah masyarakat pedesaan mengajukan gugatan terhadap suatu perusahaan oleh karena melanggar pasal ini?

(12)

Walaupun tujuan Pasal 10 ditujukan secara khusus untuk melindungi budaya penduduk asli, akan sulit bagi masyarakat tradisional untuk menggunakanhya demi melindungi karya-karya mereka berdasarkan beberapa alasan. Pertama, kedudukan Pasal 10 belum jelas penerapannya jika dikaitkan dengan berlakunya pasal-pasal lain dalam UU. Misalnya, bagaimana kalau suatu folklore yang dilindungi berdasarkan Pasal 10 (2) tidak bersifat asli sebagaimana disyaratkan Pasal 1 (3)? Undang-undang tidak menjelaskan apakah folklore semacam ini mendapatkan perlindungan Hak Cipta, meskipun merupakan ciptaan tergolong folklore yang keasliannya sulit dicari atau dibuktikan.

Kedua, suku-suku etnis atau suatu masyarakat tradisional hanya berhak melakukan gugatan terhadap orang-orang asing yang mengeksploitasi karya-karya tradisional tanpa seizin pencipta karya tradisional, melalui Negara cq. Instansi terkait. Undang-undang melindungi kepentingan para Pencipta Karya Tradisional apabila orang asing mendaftarkan di luar negeri. Akan tetapi, dalam kenyataan belum ada hasil usaha Negara melindungi karya-karya tradisional yang dieksploitasi oleh bukan warna negara Indonesia di luar negeri.

Sangat tidak mungkin, Pemerintah dalam waktu dekat ini akan menangani penyalahgunaan kekayaan intelektual bangsa Indonesia di luar negeri, mengingat krisis-krisis politik, sosial dan ekonomi yang masih berkepanjangan sampai sekarang. Selain itu, instansi-instansi terkait yang dimaksud dalam Pasal 10 (3) untuk memberikan izin kepada orang asing yang akan menggunakan karya-karya tradisional juga belum ditunjuk.

Menyikapi ketidakmampuan HKI konvensional dalam memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional ini, Agus Sarjono26 telah mengajukan suatu model perlindungan yang dianggap lebih tepat. Berpegang pada hasil kajian Tim, yang menekankan pentingnya gagasan perlindungan hukum harus diarahkan untuk mendukung para pelaku seni dan tradisi dalam mempraktekan dan mengembangkan seni dan tradisi itu, Agus Sarjono mengetengahkan suatu model perlindungan yang bersifat outhward looking dengan mengadopsi negative protection system.

26 Uraian lebih lengkap lihat Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, (CV. Nuansa Aulia, 2009),

(13)

Outhward looking disini diartikan sebagai bentuk fasilitas kepada pihak

luar (asing) yang berminat memanfaatkan warisan budaya Indonesia untuk tujuan ekonomi, asalkan pemanfaatan itu dilakukan dengan penyebutan atau pengakuan (acknowledgment) terhadap hak-hak masyarakat lokal Indonesia, dan pemanfaatan itu dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Sedangkan negative protection system perlindungan hukum yang diberikan kepada seseorang pengemban hak, dimana pengemban hak tidak dibebani untuk melakukan tindakan aktif mengajukan permohonan memperoleh hak perlindungan, akan tetapi hukum secara otomatis memberikan perlindungan. Meski demikian, pengemban hak tetap, untuk dapat mengajukan klaim kepada pihak lain yang dianggap merugikan hak-haknya, tetap harus memiliki bukti-bukti yang memadai atas hak yang dimilikinya tersebut. 27

Melalui negative protection system, disamping perlindungan bersifat otomatis tanpa memerlukan roses pendaftaran, pemerintah juga dapat mengajukan klaim kepada siapapn yang melanggar hak-hak masyarakatnya atas waisan budaya mereka. Klaim tersebut tidak berupa larangan untuk menggunakan warisan budya tersebut, tapi dapat berbentuk tuntutan untuk adaya equitable benefit sharing atas pemanfaatan warisan budaya masyarakat tersebut untuk tujuan ekonomis.

Menurut Agus Sarjono, penerapan negaritve protection ini harus didukung oleh database sistem yang memadai. Untuk itu, perlu ada suatu program dari pemerintah untuk menyiapkan sistem database yang memadai.

Upaya pendokumentasian merupakan upaya penting dalam melindungi pengetahuan tradiosional. Hal ini penting untuk menyelesaikan pertikaian seandainya ada klaim ganda atas suatu pengetahuan tradisional tertentu. Menurut Agus Sardjono, pendokumentasian merupakan suatu defensive protection sistem yang mengandung dua aspek, hukum dan praktis. Secara hukum, dokumentasi pengetahuan tradisional merupakan dokumen pembanding dari suatu penemuan. Secara praktis, database nasional dapat dimanfaatkan oleh masyarakat,

(14)

pemerintah atau LSM untuk melakukan oposisi paten. Apabila suatu invensi misalnya diklaim oleh pihak asing melalui paten, database akan berguna sebagai literartur untuk melakukan penolakan terhadap paten yang akan didaftarkan atau pembatalan paten yang telah didaftarkan. Namun syaratnya, perlu peran aktif dari masyarakat dan pemerintah serta kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses dokumen tersebut.

Perlindungan pengetahuan tradisional dapat juga dilakukan melalui mekanisme Benefit Sharing yang tepat antara masyarakat lokal dan pihak asing seperti yang dikembangkan dalam Convention on Biological Diversity (CBD) atau Konvensi Keanekaragaman Hayati. Dalam CBD telah dibentuk suatu working group yang merumuskan draft guidelines on access and benefit sharing. Langkah yang perlu diambil adalah pertama dengan membangun kemampuan nasional (capacity building). Hal ini agar Indonesia sebagai pemilik kekayaan sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional siap dalam memanfaatkan sumber daya tersebut untuk pihak asing.

V. Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebgai berikut:

1. HKI melihat suatu pengetahuan tradisional dari suatu obyek yang bernilai ekonomis sedangkan masyratakat tradisional memandang pengetahuan trasidioanl sebagai suatu tetap perlu dijaga kegratisannya. Pandangan masyarakat yang berbeda, yang muncul berkenaan dengan rezim HKI tersebut di atas, pada hakikatnya mencerminkan adanya perbedaan pandangan antara masyarakat tradisional dan masyarakat barat.

(15)

pengetahuan tradisional, khususnya berkenaan dengan syarat bersifat asli, dalam bentuk yang berwujud (syarat "fixation"), termasuk batasan waktu pendaftaran.

(16)

Daftar Pustaka

Agus Sarjono, Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009)

Muhammad Salim, “I La Galigo, "Bissu", dan Keberadaannya, Harian Kompas, 04 April 2004

Ranggalawe Suryasaladin, Masalah Perlindungan HKI Bagi Traditional Knowledge, 2008.

Ratna Sarumpaet, “I La Galigo“: Panggung Megah, Miskin Makna”, Harian Kompas, 21 Maret 2004.

Tim Lindsay, Eddy Damian, Simo Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual: Suatu Pengantar (Bandung: Alumni, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Bennula dari awaJ tahun 200 t , semua sekolah pintar di seluruh Malaysia telah dibeka lkan dengan suatu sistem pengurusan maklumat yang di panggi l SSMS iaitu singkatan kepada

Catering dengan ukuran pesanan 5-15 orang (biasanya yang sepaket dengan homestay informal) umumnya tidak menggunakan bantuan tenaga kerja, sehingga pendapatan

Pada penelitian ini, untuk melihat pengaruh mengkonsumsi minyak sawit mentah terhadap ketersediaan biologis vitamin E, maka dilakukan analisis konsentrasi α-tokoferol

2 KEMAHIRAN Gimnastik Asas  Kemahiran Hambur dan Pendaratan Aspek 1 : Kemahiran Pergerakan (Domain Psikomotor) Standard Kandungan 1.2 Melakukan kemahiran

Kebanyakan daripada pesantren tersebut menjadi pusat orientasi (anutan) orang ramai. Sebelum komunikasi berkembang pesat seperti sekarang, institusi ini menjadi pusat

Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keyakinan.Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden dapat

Sub CP-MK 3: Mahasiswa mampu menerapkan ilmu-ilmu yang didapatkan selama perkuliahan untuk menyelesaikan permasalahan di tempat kerja praktek. Non-tes :

Penelitian ini bertujuan untuk mencoba menemukan dan membahas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya yaitu mengenai peran satuan polisi pamong praja