• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN KONFLIK PERAN GANDA PADA PEREMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GAMBARAN KONFLIK PERAN GANDA PADA PEREMP"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN KONFLIK PERAN GANDA PADA PEREMPUAN SUKU JAWA BERSTATUS JERO DAN MEMILIKI ANAK

AUTISME

Putu Noni Shintyadita

Program Studi Psikologi, Universitas Udayana

Bali – Indonesia

pnshintyadita@gmail.com

Abstract

Nowdays, women have various kinds of roles, not only domestic but also social a d worki g role. I Bali, wo e ’s roles are very important in the society. Supported with strong traditions and patriarchy in the social system causing Balinese women or women who married to Balinese man not only do a single role but more than single role at once. Multiple roles situation involving mind, experience and perception which causing someone who do more than single role expectation at once causing difficulty to demonstrate both roles at the same time properly and it will cause conflicts role (Mohr and Puck, 2003). Research conducted in a qualitative method by a phenomenological approach using data collections by interviews and observations. Respondent is a Javanese working woman who became Jero because she married to Wangsa Ksatria man and has autism syndrome daughter. The purpose of this study is to describe the multiple roles conflict faced by respondent initial SW. The result of this study is bi-directional: work-family and family-work conflict where each of it having a dimension of time-based conflict, strain-based conflict and behaviorstrain-based conflict with some factors on multiple role conflicts are the age of SW’s child, the quality of a person who taking care of the kid, the person who assist in household

work and the age of the mother work.

Keywords : multiple role conflict, Balinese, Woman. Mother.

(2)

konflik peran ganda pada diri JS yaitu usia anak, kualitas pengganti ibu, orang yang membantu pekerjaan rumah tangga dan usia ibu bekerja.

Kata Kunci : peran ganda, perempuan, perempuan, bali, ibu.

PAPARAN KASUS

Seiring perkembangan zaman, peran yang dimiliki perempuan telah mengalami banyak perubahan. Bila pada zaman dahulu, peran perempuan hanya terbatas pada melahirkan anak dan mengurus rumah tangga, kini perempuan bisa memiliki peran sosial yang besar dimana mereka dapat berkarir dalam berbagai bidang pekerjaan fenomena ini terjadi di seluruh belahan negeri dan juga di pulau Bali.

Bali merupakan wilayah yang sangat kuat dalam budaya dan adat istiadatnya. Karena itulah, hukum adat sebagai batasan-batasan atau aturan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali. Suku Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal yakni sistem yang meletakkan laki-laki pada kedudukan yang tinggi dalam sistem kemasyarakatan di Bali (Swarsi, 1986). Sancaya (dalam Widayani, 2014) menyebutkan budaya patriarki dalam kebudayaan Bali dinyatakan bersumber dari adanya konsep purusha dan predana, yang melambangkan jiwatman (roh) yang bersifat abadi (purusha) dan fisik manusia yang mempunyai sifat berubah-ubah (prakirti) . Di dalam masyarakat, konsep ini lebih dikenal dengan hal-hal yang berkaitan dengan laki-laki atau purusha, dan hal-hal yang berkaitan dengan perempuan atau predana. Konsep ini dijadikan sebagai landasan untuk membedakan status dan peran antara

perempuan dengan laki-laki, yang dalam hal tertentu tidak bisa saling menggantikan (Wiasti, 2006). Status perempuan di Bali saat ini sangat kompleks dimana perempuan Bali tidak hanya memiliki fungsi domestic namun fungsi sosial dan berkarir.

(3)

akan menimbulkan konflik peran (Mohr dan Puck, 2003).

Kasus pada penelitian ini adalah seorang perempuan berusia 42 tahun berinisial SW. SW berasal dari suku Jawa, menikah dengan pria suku Bali yang memiliki wangsa Ksatria. Suku Bali menganut adat patriarki dan juga sistem wangsa yang masih kental hingga saat ini, dimana suku Bali menerapkan sistem yang disebut dengan tri wangsa. Tri wangsa adalah tatanan sosial masyarakat Bali berdasarkan garis keturunan dan dianggap dari kalangan terhormat yaitu kaum Brahmana, Ksatria dan Waisya. Adat dalam tri wangsa ini pun berpengaruh dalam perkawinan, dimana jika seorang perempuan yang berbeda suku atau perempuan suku Bali yang memiliki wangsa yang berbeda dari suami khususnya jika suami tersebut adalah golongan tri wangsa maka perempuan tersebut akan di panggil dengan sebutan Jero. Hal ini dialami oleh SW, dimana SW merupakan perempuan suku Jawa yang menikah dengan wangsa Ksatria sehingga SW diberikan sebutan baru yaitu Jero Sri. Pernikahan SW dengan AA membuahkan seorang anak perempuan yang menderita autisme berusia 14 tahun.

SW adalah seorang perempuan pendatang suku Jawa berusia 42 tahun. Pada usia 18 tahun setelah SW menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atasnya di Banyuwangi ia pindah untuk menetap di Bali dikarenakan orang tua beserta dua orang kakaknya menetap di Bali, lalu SW memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikannya di sekolah pariwisata di Bali, Setelah tamat dari BPLP, SW bekerja di HS selama tujuh tahun, awalnya ia diterima sebagai guest relation. Di perusahaan tersebut pula ia bertemu dengan pria suku Bali berwangsa ksatria berinisial AA dan menjalin hubungan dengannya dan tiga

tahun setelah SW menikah dengan AA dan dikaruniai seorang anak perempuan yang kemudian di diagnosa mengidap autisme.

SW berhenti bekerja di perusahaan HS pada tahun ke tujuhnya ia bekerja disana dikarenakan SW ingin meningkatkan pengalaman kariernya. Setelah itu SW bekerja di perusahaan TL dengan menjabat sebagai sales manager namun setahun kemudian SW berhenti dari TL dikarenakan SW meninilai atasannya memiliki sikap yang kurang baik, jarang sekali mengapresiasi karyawan dan seringnya perilaku atasannya yang gemar menyepelekan pekerjaan, pernah suatu ketika SW sedang overseas sales di Australia selama seminggu dan pada hari keempatnya ia mendengar kabar bahwa puteriya dirawat di rumah sakit karena demam berdarah, seketika itu juga SW meminta izin kepada atasannya untuk segera pulang ke Bali, SW juga mengaku bahwa saat itu tugas yang diberikan oleh atasannya sudah terselesaikan dan hanya menunggu waktu pulang saja. namun atasan tersebut tidak mengizinkannya dan meminta SW untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut hingga hari yang ditentukan ditambah atasan tersebut mengatakan bahwa SW tidak perlu khawatir karena anak SW sudah diurusi oleh suami SW. SW saat itu sangat tersinggung atas pernyataan atasannya, Sepulangnya dari overseas sales di Australia, SW memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan TL tersebut.

(4)

karyawan dari perusahaan STS tersebut banyak konflik terjadi dimana SW merasa teman-teman kerjanya cemburu dengannya dikarenakan SW dapat kembali bergabung ke manajemen perusahaan HS, padahal salah satu aturan pada sistem yang ada pada manajemen perusahaan HS adalah karyawan yang sudah keluar dari manajemen HS tidak dapat kembali bergabung dengan pihak manajemen perusahaan tersebut. SW mengatakan banyak pihak yang ingin menjatuhkannya karena banyak mantan karyawan yang dulu bergabung dengan manajemen HS yang tidak diterima lagi ketika ingin bergabung kembali ke manajeman namun sebaliknya, SW diterima oleh manajemen. Hal ini yang menimbulkan kecemburuan bagi pihak-pihak lainnya, banyak pihak yang mencoba menjatuhkan SW hingga suatu ketika manajemen pusat perusahaan tersebut memberhentikan SW tanpa alasan dan tanpa sepengetahuan direktur sales pusat. SW merasa diperlakukan tidak adil oleh sikap manajemen HS dan SW merasa kontribusinya selama dua tahun bekerja di perusahaan STS tidak dihargai. Setelah berhenti dari perusahaan STS, SW bekerja di perusahaan TOB hingga saat ini dan sejak tahun 2011 hingga sekarang jabatan SW adalah director of sales.

SW bekerja dari hari Senin hingga Jumat dari pukul sembilan pagi hingga tujuh malam. Disini, SW mengaku bahwa bekerja di bidang sales selama ini merupakan suatu tantangan yang besar baginya, salah satu hal yang terkadang memberatkan SW pada pekerjaannya adalah dimana ketika SW kerap kali pergi keluar kota bahkan keluar negeri selama beberapa hari bahkan beberapa minggu untuk overseas sales, karena SW sebagai seorang perempuan yang memiliki anak berkebutuhan khusus yaitu autisme, puteri SW lahir pada tahun 2002, puterid

SW didiagnosa autisme sejak usia tiga tahun. Awal mulanya SW curiga dengan perilaku anaknya yang tidak bisa melakukan kontak mata pada lawan bicara, ketika berjalan suka berjinjit, terkadang suka menangis tanpa alasan yang jelas, tidak bisa berkomunikasi untuk mengungkapkan perasaan atau keinginannya dan puteri SW ini sering terbangun pada malam hari dan melakukan aktivitas mengutak-atik serpihan cat di dinding kamar sembari monolog.

(5)

saran dari terapis saat itu bahwa kedua orang tua atau salah satu harus memiliki waktu yang maksimal untuk puteri mereka sedangkan posisi SW dan AA saat itu sama-sama bekerja.

Pada awalnya SW sempat kebingungan dan mudah mengalami stress dikarenakan kondisi tersebut, SW harus bekerja dan juga merawat anaknya, pernah suatu ketika dari pengakuan AA bahwa puteri mereka tidak mengenali SW sebagai ibunya dikarenakan SW yang sering overseas call dan bekerja dari pagi hingga malam. SW merasa sedih dan suatu ketika SW berdiskusi dengan AA mengenai rencana masa depan keluarganya dan akhirnya AA memutuskan untuk berhenti bekerja. Keputusan AA untuk berhenti bekerja diambil karena jabatan pada pekerjaan SW lebih stabil dan berpotensi besar untuk lebih baik lagi sehingga AA memulai usaha mandiri agar dapat memberikan waktu yang maksimal kepada puteri mereka. SW mengaku banyak perubahan terjadi setelah keputusan itu diambil dan puterinya pun mengalami perkembangan yang baik dan cepat.

Puteri SW saat ini duduk di bangku kelas delapan di sekolah menengah pertama pada salah satu sekolah swasta di Bali. SW beberapa kali mendapat laporan dari guru sekolah ditempat puterinya mengenyam pendidikan bahwa puterinya sering mengganggu salah satu teman sekelasnya dan terkadang puterinya bertengkar dengan temannya tersebut membuat SW khawatir dengan pergaulan puterinya karena puterinya merupakan anak berkebutuhan khusus sehingga sulit bagi puterinya untuk mengekspresikan emosi dan perasaannya serta sulitnya beradaptasi dengan teman-teman sebayanya. Namun puterid SW saat ini dapat berkomunikasi dua arah

walaupun struktur bahasa yang digunakan agak sulit dipahami, puterid SW dapat mengikuti pelajaran di sekolahnya, dapat mengikuti perintah dan nasehat orang tuanya. Saat ini puteri SW hanya menjalani terapi seminggu sekali.

Peran SW lainnya adalah sebagai seorang istri dari AA. diketahui bahwa AA merupakan laki-laki suku Bali yang memiliki wangsa ksatria. Wangsa ksatria di Bali dipercaya merupakan keturunan pemimpin atau raja. Orang-orang dengan wangsa ksatria ini cenderung dihormati dan disegani oleh masyarakat Bali. Wangsa ksatria ini mempunyai tradisi dan adat Bali yang sangat kental dibanding wangsa waisya dan wangsa sudra. Orang dengan wangsa ksatria memiliki sebuah bangunan besar yang disebut dengan puri yang merupakan tempat tinggal keturunan wangsa ksatria di daerah tersebut sekaligus menjadi tempat pusat kegiatan upacara adat dan acara adat. Di puri asal AA sangat sering dan banyak sekali upacara adat istiadat dan acara keluarga. Sehingga AA dan SW terkadang bergantian untuk menghadiri kegiatan tersebut.

(6)

mengklaim merupakan keturunan bangsawan. SW sering merasa dipandang sebelah mata dan diperlakukan kurang baik oleh keluarga di puri dan sampai sekarang masih dirasakan oleh SW walaupun tidak separah kondisi perlakuan pada awal-awal SW menjadi jero. SW mengaku kerepotan dan kebingungan untuk belajar mengenai adat, tradisi dan budaya Bali terutama di puri dikarenakan SW sejak menikah tidak memiliki mertua sebagai panutan untuk beradaptasi di puri sedangkan menurut SW, AA kurang bisa maksimal dalam mengayomi SW pada kondisi di puri sehingga SW belajar beradaptasi dan bersosialisasi dengan ipar dan saudara-saudara AA mengenai iklim budaya di puri.

METODE

Observasi Kasus

Salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penyusunan penelitian ini adalah dengan melakukan observasi pada pihak- pihak yang terkait dengan topik atau judul penelitian ini. Nasution (dalam Sugiyono, 2013) menjelaskan bahwa observasi merupakan dasar yang digunakan dalam ilmu pengetahuan. Dengan melakukan observasi akan menghasilkan data yang digunakan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Marshall (dalam Sugiyono, 2013) menyatakan bahwa melalui observasi, peneliti akan mampu mepelajari perilaku, serta makna dari perilaku tersebut. Teknik observasi yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini adalah observasi partisipatif. Pada observasi partisipatif, peneliti terlibat dalam kegiatan yang dijalani orang yang diamati.

Observasi pertama yang dilakukan adalah observasi awal pada saat SW

sedang melakukan aktivitas rumah tangga pada hari Sabtu, 7 Mei 2016 pukul 07.00 WITA hingga pukul 11.00 WITA, bertempat di rumah tinggal SW. Observasi kedua dilakukan pada Sabtu, 14 Mei 2016 bertempat di rumah SW. Observasi ketiga dilakukan saat SW berada di lingkungan kerjanya. Observasi dilakukan pada hari Minggu, 15 November 2016, bertempat di perusahaan SW bekerja.

Wawancara Kasus

Studi kasus ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara pada pihak-pihak yang terkait dengan topik atau judul penelitian ini. Wawancara dilakukan oleh peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud untuk melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut. Stainback (dalam Sugiyono, 2013) mengatakan bahwa dengan wawancara, peneliti akan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam mengenai partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak bisa ditemukan melalui observasi.

(7)

dilakukan peneliti pada SW. Pada S W , diajukan beberapa pertanyaan utama oleh peneliti yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam penelitian ini.

Topik pertanyaan pertama adalah mengenai latar belakang SW memutuskan untuk menetap di Bali.Saat peneliti bertanya, sejak kapan SW memutuskan untuk menetap di Bali, SW mengatakan bahwa dirinya memutuskan untuk menetap di Bali karena dua orang kakaknya dan kedua orang tuanya sudah menetap di Bali terlebih dahulu dan kala itu, SW berusia 18 tahun yang saat itu baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas nya, lalu ia melanjutkan pendidikan tingginya dengan mengambil jurusan D2 front office di BPLP yang merupakan pendidikan tinggi untuk bidang pariwisata yang terletak di Nusa Dua, Bali. SW kala itu juga sempat mendapat beasiswa dari kedutaan Perancis untuk mengikuti pelatihan front office selama enam bulan.

Topik pertanyaan kedua adalah mengenai perjalanan karir SW serta peran SW pada pekerjaannya sebagai director of sales. Saat peneliti bertanya, mengenai riwayat karir SW, SW mengatakan bahwa SW berhenti bekerja di perusahaan TL dikarenakan selain sikap dari atasannya yang kurang bisa bisa menghargai diri SW, SW juga semakin tidak tahan dan tersinggung ketika SW tidak diberikan izin untuk kembali pulang ke Bali pada hari keempat saat SW bertugas, padahal saat itu anaknya dirawat dirumah sakit dikarenakan sakit demam berdarah dan menurut pengakuan SW atasannya berkata bahwa puterinya tersebut toh sudah dijaga oleh AA sebagai ayahnya. SW juga mengatakan bahwa bekerja sebagai director of sales merupakan hal

yang besar tanggung jawabnya, dimana SW harus disiplin dengan segala urusan pekerjaannya karena departemen sales merupakan ujung tombak perusahaan. Belum lagi SW harus mengembangkan potensi bawahannya dengan mengadakan training sebulan sekali. Ditambah overseas call yang sering dilakukan oleh SW. SW melakukan overseas call sekiranya minimal sebulan sekali, baik itu di dalam negeri maupun diluar negeri.

Topik pertanyaan ketiga adalah peran SW sebagai ibu dan dengan anak autisme. Saat peneliti bertanya, bagaimana menjalani peran sebagai ibu dengan anak autisme, SW mengatakan bahwaawalnya SW sangat sulit menjalani perannya yang begitu kompleks dan sering mengalami stress, ditambah lagi SW yang sering melakukan overseas call minimal sebulan sekali dan dalam jangka waktu minimal 3 hari, membuat SW sering khawatir jika meninggalkan rumah. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin cepaat tumbuh kembang puterinya maka SW mengaku sudah dapat mengatur dirinya dalam menghadapi respon-respon stress SW juga tetap harus memberikan waktu yang cukup pada anaknya dikala kesibukannya dalam bekerja. Seperti SW menyempatkan diri untuk datang pada jadwal terapi puterinya, menyiapkan keperluan sekolah dan memantau perkebangan serta perilaku puterinya tersebut.

(8)

masyarakat puri, sering didapatnya sindiran dari beberapa anggota keluarga membuatnya harus bersabar sebagai seorang istri dari AA. Selama ini acara dan upacara yang dilakukan di puri tidak semuanya diikuti oleh SW. SW dan AA bergantian untuk hadir pada kegiatan-kegiatan tersebut. Jika kegiatan-kegiatan tersebut dinilai merupakan acara besar dan penting maka SW bersama AA dan puterinya akan menghadiri bersama, jika dirasa kurang tingkat kepentingan acara tersebut maka cukup AA atau SW yang menghadiri. SW juga mengatakan bahwa iawalnya a sangat kesulitan beradaptasi dengan lingkungan di puri karena tidak ada peran mertua selaku orang tua sebagai panutan dirinya di puri, sedangkan AA dirasa kurang peduli dengan hal-hal adat di puri. Jadi hingga sekarang SW memakai ipar perempuan dari kakak pertama AA sebagai panutannya di puri karena SW menganggap bahwa kakak ipar perempuannya tersebut dapat mengayominya dengan baik di puri.

Berikut merupakan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada suami SW yaitu AA. Topik pertama adalah mengenaipandangan AA terhadap SW ketika menjalakan perannnya sebagai jero di puri beserta hal-hal mengenai kondisi kehidupan di puri. AA mengatakan bahwa kehidupan di puri amat berat, banyaknya aturan dan kewajiban yang harus dijalani sebagai wangsa ksatria dan anggota puri. Maka dari itu AA memutuskan untuk tidak tinggal di puri karena AA tidak begitu menyukai hal-hal yang konservatif selain itu untuk melindungi SW dari tekanan-tekanan yang ada di puri. SW dipandang oleh AA cukup mandiri dan mampu beradaptasi dengan cepat pada keluarga di puri. Awalnya AA memang menerima sindiran-sindiran mengenai SW seperti

contoh sindiran yang diterima AAketika salah seorang saudaranya di puri berkata yaki , “W bekerja di luar egeri ? apa tidak seli gkuh ? . hal-hal tersebut sering terjadi dan AA mengatakan bahwa AA hanya bersabar dan menguatkan SW bahwa tidak perlu terlalu mendengarkan perkataan orang-orang tersebut dan biarkan waktu yang menjawab sindiran-sindiran kepada AA dan SW.

Topik kedua adalah mengenai peran SW dalam rumah tangga serta menjadi ibu untuk puterinya dengan autisme. AA mengatakan bahwa selama ini SW memang memiliki waktu yang tidak banyak dirumah namun SW dapat menjalankan tugasnya dalam rumah tangga dan sebagai ibu dengan baik. Hal yang terkenang oleh AA ketika saat itu puterinya berusia tiga tahun dan tidak mengenali SW sebagai ibunya dan puterinya sempat tidak memanggil SW dengan sebutan ibu, AA mengatakan hal itu kemungkinan terjadi karena SW yang berada jarang dirumah ditambah seringnya berpergian ke luar daerah atau Negara unuk overseas call selama beberapa hari. Disana AA merasa iba terhadap SW. AA mengerti kondisi SW dan keluarganya memang tidak mudah untuk menjalani hal dengan kondisi seperti yang dialami oleh AA dan SW. AA sangat kagum kepada SW yang dapat menjalankan semua peran dan pekerjaannya, dimana AA mengatakan bahwa SW selalu menyempatkan untuk mempersiapkan bahan-bahan masakan di malam hari, menyempatkan diri datang pada jadwal terapi puteri mereka dan selalu bersabar atas puterid semata wayangnya tersebut.

(9)

sejak puteri mereka di diagnosa autisme mereka sepakat bahwa SW lah yang akan bekerja sementara AA dirumah membuat usaha dan memiliki waktu yang lebih banyak untuk puteri mereka. Keputusan ini diambil dikarenakan jabatan SW dalam pekerjaan stabil dan memiliki potensi yang baik kedepannya dibanding dengan jabatan AA sebelumnya. Kemudian AA dan SW merencanakan memulai usaha sedini mungkin karena AA dan SW memikirkan masa depan puteri mereka dimana nanti jika puteri mereka sudah besar dan tidak bisa bekerja pada instansi atau perusahaan maka puteri mereka bisa mengembangkan usaha yang di buat oleh AA dan SW ini. AA sering kali merasa khawatir dengan pekerjaan SW yang dimana SW sering pergi keluar kota ataupun keluar negeri dalam jangka waktu beberapa hari bahkan beberapa minggu. AA sering marah jika SW tidak memberikannya kabar ketika sudah sampai di tempat tujuan overseas call tersebut, namun menurut AA itu merupakan hal kecil namun sangat berarti.

Berikut ini merupakan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada karyawan perusahaan TOB yang merupakan bawahan dari SW. Topik yang dibahas diantaranya mengenai pandangan DP pada peran SW sebagai atasan dan situasi kerja SW saat di kantor. DP merupakan seorang sales coordinator di perusahaan TOB. DP mengatakan bahwa lingkungan kantor cukup padat terutama di departemen sales. SW dikenal sebagai seorang yang tegas, keras, sedikit kaku dan memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. DP juga mangatakan bahwa SW merupakan sosok yang task-oriented. Sehingga bawahannya segan terhadap SW. pernah suatu ketika SW mengeluarkan surat peringatan kepada salah satu

bawahannya karena suatu sikap bawahannya tersebut yang tidak bisa ditolerir lagi oleh SW, dimana bawahannya tersebut memalsukan laporan mingguannya dikarenakan beberapa nota dan bukti transaksi hilang. Lalu sempat juga SW memecat salah satu bawahannya ketika itu salah seorang bawahannya dengan posisi junior sales yang baru bekerja tiga minggu mengatakan bahwa bawahan tersebut diterima beasiswanya dan akan melanjutkan kuliah pada salah satu Universitas di Negara lain. Namun bawahan tersebut mengatakan bahwa ia masih bisa bekerja sampai bulan depan. Namun ternyata respon yang diterima oleh SW berbeda, SW memecat saat itu juga bawahannya karena SW kecewa dengan sikap bawahannya tersebut. Ketika peneliti bertanya mengenai intensitas SW cuti bekerja dengan alasan keluarga, DP mengatakan bahwa cukup sering terjadi pada SW dan terkadang mendelgasikan tugasnya kepada bawahannya. DP cukup mengerti kondisi SW sehingga DP memakluminya.

ANALISIS DAN DISKUSI

Studi kasus mengenai gambaran konflik peran ganda pada perempuan suku Jawa yang bersuamikan wangsa ksatria dan memiliki anak dengan autisme ini, akan menggunakan analisis dari teori-teori yang relevan terhadap permasalahan kasus tersebut. Teori yang akan diterapkan dalam menganalisa kasus ini adalah teori mengenai konflik peran ganda pada perempuan.

(10)

lingkungan, tetapi bersifat bertentangan. Sedangkan Netemeyer et al. (dalam Widyamartaya, 1999) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggung jawab yang berhubungan dengan pekerjaan mengganggu permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga. Dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan motif yang tidak memiliki kesesuaian dalam mencapai tujuannya, dimana individu dalam waktu bersamaan dihadapkan pada dua peran atau lebih yang saling bertentangan. Menurut Greenhause dan Beutell (dalam Ginting, 2011) konflik peran ganda bersifat bi-directional dan multidimensi. Bi-directional terdiri dari :

a. Work-family conflict:

Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Netemeyer et el. (1996) mendeskripsikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Jadi dapat disimpulkan work-family conflict sebagai konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab keluarga dimana secara umum permintaan waktu dan ketegangan yang diakibatkan oleh pekerjaan yang mengganggu tanggung jawab keluarga.

b. Family-work conflict

konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan. Netemeyer et el. (1996) mendeskripsikan family-work conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga

mengganggu tanggung jawab pekerjaan. Jadi dapat disimpulkan family-work conflict adalah konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan dimana secara umum permintaan, waktu dan ketegangan dalam keluarga mengganggu tanggung jawab pekerjaan.

Greenhause dan Beutell (dalam Munandar, 1983) multidimensi dari konflik peran ganda muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work-family conflict maupun family-work conflict masing-masing memiliki 3 dimensi yaitu: time-based conflict, strain-time-based conflict, behavior-based conflict. Greenhaus dan Beutell (dalam Ginting, 2011) mendefinisikan tiga dimensi dari konflik peran ganda, yaitu:

a. Time-based conflict

Konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus.

b. Strain-based conflict

Ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain. Sebagai contoh, seorang ibu yang seharian bekerja, ia akan merasa lelah, dan hal itu membuatnya sulit untuk duduk dengan nyaman menemani anak menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Ketegangan peran ini bisa termasuk stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah dan sakit kepala.

c. Behavior-based conflict

(11)

Sebagai contoh, seorang perempuan yang merupakan manajer eksekutif dari suatu perusahaan mungkin diharapkan untuk agresif dan objektif terhadap pekerjaan, tetapi keluarganya mempunyai pengharapan lain terhadapnya. Dia berperilaku sesuai dengan yang diharapkan ketika berada di kantor dan ketika berinteraksi di rumah dengan keluarganya dia juga harus berperilaku sesuai dengan yang diharapkan juga.

Berdasarkan teori-teori terkait kasus yang telah dipaparkan di atas, maka dapat ditarik suatu kaitan untuk menganalisis kasus yang diangkat dalam penelitian ini sesuai dengan teori-teori di atas. Analisis kasus ditinjau dari teori-teori tersebut adalah sebagai berikut. Sebagaimana telah dituliskan dalam paparan kasus, SW merupakan seorang perempuan bekerja suku Jawa, dengan jabatan sebagai director of sales, menikah dengan laki-laki suku Bali wangsa ksatria dan memiliki anak dengan autisme tentunya memiliki banyak sekali peran dalam kehidupannya. Dimana dengan jabatannya sebagai director of sales SW harus berperan menjadi atasan yang tegas, dapat mengayomi, disiplin dan dihormati oleh karyawannya, ketika SW dirumah tangga, SW berperan menjadi seorang ibu untuk puterinya yang perlu perhatian lebih karena puterinya merupakan anak dengan autisme, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, melayani dan patuh kepada suaminya sedangkan SW merupakan pencari nafkah utama di keluarganya. Saat SW berada di lingkungan masyarakat terutama saat perannya sebagai jero di puri maka SW harus mengikuti seluruh aturan dan tatanan yang ada di puri apalagi dengan latar belakang dari SW yang merupakan suku Jawa dan dulunya merupakan seorang muslim. Tentu SW sangat merasakan

sekali konflik peran yang terjadi pada dirinya. SW sempat merasa tertekan dengan kondisi yang ada pada dirinya, SW karena situasi dimana harapan-harapan peran dari SW datang pada saat yang bersamaan, baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan, dan bersifat bertentangan.

(12)

karyawannya dengan tindakannya yang tidak mengizinkan SW bertemu anaknya yang dirawat di rumah sakit.

Analisis kedua dari sifat konflik peran ganda yang bersifat bi-directional yaitu Family-work conflict dimana konflik muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan. Dengan dimensi yang sama yaitu time-based conflict dimana konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya, Strain-based conflict, yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain dan dimensi terakhir yaitu Behavior-based conflict, yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan dari suatu perilaku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku peran lainnya. Dapat dilihat pada hasil observasi dan wawancara dimana ketika SW berada di perayaan ulang tahun perusahaannya, SW meminta izin pulang terlebih padahal acara tersebut belum selesai, lalu hasil wawancara dari AA yang mengatakan bahwa AA tidak menyukai sikap SW dimana jika SW baru pulang dari overseas SW akan langsung menuju ke kantor terlebih dahulu untuk membuat laporan sedangkan AA kurang menyukai perilaku SW tersebut, menurut AA laporan SW sebaiknya menemui keluarganya terlebih dahulu dan pembuatan laporan bisa ditunda sementara, ditunjang dengan hasil wawancara dari DP yang merupakan bawahan SW dimana DP mengatakan bahwa SW kerap kali izin dari kantor untuk mengurusi acara di puri ataupun urusan puterinya.

Konflik peran ganda yang terjadi pada SW dapat dianalisis pula melalui

faktor-faktor penunjang lain yang dapat mempengaruhi Konflik peran ganda. Dimana menurut Hewlett (dalam Winslow, 2005) ada beberapa faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda pada ibu yang bekerja, yaitu:

a. Usia anak.

Keterlibatan ibu dalam pengasuhan anak usia bayi dan prasekolah cenderung tinggi dibandingkan dengan anak di atas usia sekolah Mereka mengidap kekhawatiran dan rasa bersalah karena dipenuhi bayangan bahwa anak kehilangan ibu atau sesuatu mungkin akan terjadi pada anak. Ibu bekerja mengalami konflik batin berkaitan dengan peran mereka sebagai ibu. Hal ini terjadi pada SW dimana puteri SW merupakan siswa kelas delapan pada sekolah menengah pertama yang kini berusia 13 tahun. Dengan hasil wawancara dari SW yang mengaku bahwa SW merasa khawatir jika SW bekerja untuk overseas call dengan waktu yang cukup lama.

b. Kualitas pengganti peran ibu

(13)

yang menjadi andil besar dalam perkembangan puterinya.

c. Orang yang membantu pekerjaan rumah tangga.

Ibu bekerja yang mempunyai anak di bawah usia delapan belas tahun tetap melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan belanja (Schaie & Willis, dalam Triwahyuni, 2010). Ibu bekerja ini tidak pernah lepas dari perasaan bersalah karena tidak bisa menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Menurut Deutsh (dalam Munandar, 1983), konflik antara peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dengan peran sebagai pekerja dapat berkurang apabila mereka mendapatkan bantuan tenaga keluarga atau pembantu rumah tangga. Dalam kasus ini SW awalnya memiliki dua orang pembantu rumah tangga namun sejak puterinya menginjak kelas enam sekolah dasar SW mulai mengajarkan puterinya pekerjaan rumah tangga yang ringan. SW juga terbantu oleh suaminya yang memiliki waktu yang banyak di rumah sehingga urusan rumah tangga dapat diatur dengan baik oleh SW.

d. Usia ibu bekerja.

Usia juga mempengaruhi konflik peran ganda pada ibu bekerja, terutama pada masa dewasa awal, dimana seorang perempuan yang memiliki usia dewasa awal sekitar 21-35 tahun diharapkan memainkan peran ganda baru yaitu sebagai istri, ibu dan pekerja. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi pada diri SW, dimana SW menikah pada usia 28 tahun dan memiliki anak saat berusia 29 tahun.

PENUTUP

SW merupakan perempuan yang memiliki konflik peran ganda dimana konflik peran ganda SW dapat dilihat dari

konflik peran ganda yang bersifat bi-directional yaitu work-family dan family-work conflict dengan masing-masing memiliki dimensi time-based conflict, strain-based conflict dan behavior-based conflict. Dengan beberapa faktor yang terdapat pada konflik peran ganda pada diri SW yaitu usia anak, kualitas pengganti ibu, orang yang membantu pekerjaan rumah tangga dan usia ibu bekerja. Konflik peran ganda yang dihadapi SW sangat kompleks dan SW merupakan salah satu kasus yang unik dalam menjalani perannya. Pelaksanaan peran ganda perempuan pada kenyataannya menimbulkan masalah yang tidak sedikit. Peran ganda memungkinkan terjadinya konflik peran dimana suatu perilaku yang diharapkan pada suatu posisi tidak cocok dengan posisi yang lain. perempuan bekerja mendapatkan sejumlah implikasi klinis dan efek psikologis ketika bernegosiasi dengan konflik internal dan eksternalnya. Pengalaman konflik perempuan bekerja sering menimbulkan depresi, perasaan stress dan rasa bersalah. Ketika seseorang menggunakan waktu dan energi yang berlebihan terhadap peran bekerja maka peran dalam keluarga akan mengalami kesulitan, dan begitu juga sebaliknya, ketika seseorang menggunakan waktu yang berlebihan dan energi terhadap peran dalam keluarga maka peran bekerja akan mengalami kesulitan. Dengan kemandirian tersebut, perempuan juga bisa diandalkan untuk membantu keuangan keluarga. Perempuan bisa bekerja diberbagai sektor formal maupun informal dan pada realitanya banyak para suami yang terbantu akan hal ini sehingga tidak mempermasalahkan keadaan istri yang memerankan peran ganda.

(14)

Anoraga Panji, 2009, Psikologi Kerja, Jakarta : Rineka Cipta.

Ginting, SY. (2011). Hubungan Self Efficacy Bekerja dan Keluarga dengan Tingkat konflik peran ganda pada Perempuan Dewasa Dini.

http://repository.usu.ac.id/bit stream.

Mihelič, Katari a Katja. 4 . Work-Family Conflict: A Review Of Antecedents And Outcomes. International Journal of Management & Information Systems First Quarter, 2014 Volume 18, No 1.

Munandar, S.C Utami, Gandadiputra, Mulyono. (1983). Emansipasi dan peran ganda perempuan Indonesia: suatu tinjauan psikologis. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.

Mohr, A.T., dan J.F. Puck. (2003). Inter-Sender Role Conflicts, General Manager Satisfaction and Joint Venture Performance in Indian-German Joint Ventures. Working Paper No. 03/19.

Netemeyer, R. G., Boles, J. S., & McMurrian, R. (1996). Development and validation of work-family conflict and family-work conflict scales. Journal of Applied Psychology, 81(4), 400-410.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta.

Solomon, Michael. R., Surprenant, Carol., Czepiel, John A. (1985). A Role Theory Perspective On Dyadic Interactions : The Service Encounter. Journal Of Marketing Vol. 48, 99-111, Winter 1985.

Swarsi, Si Luh dkk. 1986. Kedudukan dan

Peranan Wanita Pedesaan Daerah Bali. Jakarta : Depdikbud.

Triwahyuni, Bunga. (2010). Dual Role Conflict Relationship with Satisfaction Work on the Married Women Teachers. Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.

Widayani, Ni Made Diska. (2014). Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis Terhadap Penulis Perempuan Bali. Jurnal Psikologi Undip, Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162

Widyamartaya, (1999). Individu, Manyarakat dan Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Winslow, S. (2005). Work-Family Conflict, Gender, and Parenthood, 1977-1997. Journal of Family Issues, 26(6), 727-755.

Wiasti, N. M. (2006). Hubungan industrial

yang berwawasan gender:

Studi kasus pada industri

kerajinan bambu di desa

Belega, kabupaten Gianyar,

Bali. Kembang Rampai

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Wahyudin (Hulu, 2009:3) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut

Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staff Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis

Selain CT-Scan dan MRI diagnosis stoke dapat ditegakkan dengan mengguanakan carotid Doppler (CD) yaitu menentukan apakah pasien mengalami tingkatan stenosis yang tinggi

Dilaksanakannya pendidikan multikultural di sekolah bertujuan untuk menciptakan manusia yang berbudaya, mengajarkan nilai-nilai bangsa, kemanusiaan, dan nilai kelompok

– Operasional windows lebih kompleks daripada tiled windows – Informasi pada windows dapat tertutup oleh windows lain. – Windows dapat hilang atau terlupakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi gaya peng- aturan tempat duduk yang meliputi face to face style, chevron style, cluster style, seminar style,

Penelitian lain yang dilakukan oleh Erry fratama (2013) mengenai Pengaruh karakteristik pemerintah daerah terhadap Kinerja keuangan pemerintah daerah (study Empiris

z Digunakan untuk menyajikan data   dalam bentuk kolom dan baris,   tujuannya agar   informasi. dapat ditampilkan secara lebih terstruktur