TEORI STRUKTURAL DALAM CERITA RAKYAT “ASAL USUL DESA SUMBERSARI”
1. ALUR CERITA
Seorang Pendekar alim yang bernama Ali Imron yang mengubah hutan belantara untuk menjadi perkampungan penduduk.
Ali Imron yang dijuluki AL AMAR yang telah mendirikan sebuah pondok yang disebut AL AMAR untuk berdakwah.
Pondok AL AMAR telah berkembang pesat dan diteruskan oleh Kyai Imam Shobar dan Kyai Mahfud Shobar (menantu) sepeninggal dari Ali Imron. Kyai Imam telah
mendalami ilmu syari’atnya sedangkan Kyai Mahfud telah mendalami ilmu
tasawufnya, sehingga pondok itu terpecah menjadi dua, namun mereka tidak bisa
dipersatukan.
Kyai Imam adalah seorang pemuda yang sangat disegani oleh masyarakat. Selain itu ia juga sangat peka dalam situasi dan kondisi masyarakat, telah memiliki
kemuliaan hati dan sabar dalam menghadapi semua rintangan dan cobaan.
Masyarakat di perkampungan tersebut jauh dari sentuhan agama dari minum arak, perkelahian, adu ayam, berjudi dan pelacuran.
Pada saat itu santri-santri Kyai Imam banyak yang mandi di kolam santri yang airnya sangat jernih dan bersih. Dalam kondisi yang belum ada, masyarakat di
sekitar dipersilahkan untuk mandi di kolam santri tersebut. Berkat kekuasaan
Tuhan Yang Maha Kuasa di ciptakan kolam santri itu untuk mandi santri-santrinya
Kyai Imam.
ASAL USUL DESA SUMBERSARI
Dahulu kala kerajaan Mataram dijajah oleh Belanda. Mereka berkeinginan
membunuh penduduk kerajaan Mataram. Karena ingin menguasai kerajaan Mataram
tersebut. Maka ada pendekar alim yang bernama Ki Kanjeng Ali Imron. Ia melarikan diri
ke Jawa Timur untuk menyelamatkan dirinya. Akhirnya ia menetap di Kandangan Pare. Ia
selalu bermimpi buruk sekali. Dalam mimpinya ia disuruh pindah atau meninggalkan
tempat tersebut karena tempat itu tidak baik dan tidak nyaman. Oleh seorang laki-laki yang
sangat tua dengan menggunakan jobah putih berjenggot panjang. Akhirnya Ki Kanjeng Ali
Imron pindah dari tempat tersebut kemudian mencari tempat yang di mimpikannya. Ia
berkelana ke penjuru dunia akhirnya ia menemukan tempat tersebut yaitu desa Keras. Ki
Kanjeng Ali Imron tinggal di desa Keras dan beliau juga mendapatkan jodohnya yang
bernama Siti Lasirah.
Mereka masih tinggal di desa Keras tetapi setiap hari Siti Lasirah di tinggal oleh Ki
Kanjeng Ali Imron untuk membabat hutan belantara yang berada di timur selatannya desa
Keras. Hutan tersebut sangat luas, masih angker, banyak binatang buas sehingga tidak ada
seorang pun yang berani memasuki hutan belantara kecuali Ki Kanjeng Ali Imron.
Selama kurang lebih 25 tahun, beliau bergelut dengan semak belukar dan
binatang-binatang buas. Namun dengan pertolongan Allah Yang Maha Esa mereka selamat.
Sewaktu babat hutan belantara masih dapat setengahnya, kemudian Siti Lasirah di ajak
untuk melanjutkan babat hutan belantara tersebut. Akhirnya mereka berdua mendirikan
gubuk kecil untuk ditempati. Ia dengan semangat dan kesabarannya masih melanjutkan
babat hutan belantaranya. Dan beliau selalu meninggalkan istrinya sendirian di gubuk kecil
tersebut begitu juga Siti Lasirah pun mau ditinggal sendirian di tempat itu. Ketika Siti
dijaga dengan seekor anjing putih. Siti Lasirah sudah mengerti kalau dijaga anjing putih
tetapi Nyai Lasirah tidak mengerti dan tidak takut. Namun dengan berkat pertolongan
Allah Yang Maha Esa mereka selamat. Akhirnya setelah dalam perjuangannya yang sangat
lama, ia pun berhasil mengubah hutan belantara menjadi sebuah perkampungan penduduk.
Disitu juga di temukan adanya sumber mata air yang asli yang sangat jernih.
Dengan adanya itulah Ki Kanjeng Imron bersama penduduknya memberi nama “Desa
Sumbersari”.
Kemudian ia mendirikan sebuah Musholla (surau) kecil untuk berdakwah. Lama
kelamaan satu persatu orang datang dan membangun rumah di tempat tersebut untuk di
tempati. Dan akhirnya banyak penduduk masyarakat yang menjadi pengikutnya kurang
lebih 15 orang untuk mendalami ilmu agama di tempat tersebut.
Lama-kelamaan satu per satu orang datang dan membangun rumah di daerah tersebut
untuk di tempuh. Kemudian mereka mempunyai keturunan 5 anak perempuan semua.
Beliau menginginkan menantu yang dapat meneruskan perjuangannya. Dari pernikahannya
dengan Mahmudah putri pertamanya di nikahkan dengan pengikut kesayangannya, yaitu
Abdurrahman. Abdurrahman sangat di sayangi oleh Ki Kanjeng Ali Imron karena dalam
kesungguhannya untuk mendalami ilmu agamanya. Ia juga tergolong pengikut yang
cerdas, pandai dan sabar. Sehingga ia sering kali dimintai menggantikan Ki Kanjeng Ali
Imron untuk mengajarkan ilmu agamanya.
Usia Ki Kanjeng Ali Imron semakin tua, ia semakin sering udzur dalam kegiatan
pengajian serta karena kondisi fisiknya yang semakin lemah. Akhirnya, beliau meninggal
dunia, sehingga di teruskan oleh menantu pertamanya yaitu Abdurrahman. Kemudian lam
kelamaan makin bertambah banyak pengikutnya yang lazim disebut dengan santri.
Akhirnya sesuai dengan wasiat Ki Kanjeng Ali Imron, Abdurrahman yang bergelar Kyai
Imron sehingga Musholla (surau) kecil itu di bangun menjadi Masjid. Masjid tersebut di
beri nama “Masjid AL AMAR” yang di ambil dari nama Ki Kanjeng Ali Imron dengan
sebutan lain AL AMAR sebagai pengingat dari mertuanya.
Dengan bulan bertambah bulan, tahun berganti tahun muncullah permasalahan,
perselisihan antara menantu pertama yaitu Mbah Abdurrohman dengan menantu yang ke
lima yang bernama Kyai Shobar. Permasalahannya yaitu Mbah Kyai Abdurrohman tidak
boleh menjadi imam di Masjid AL AMAR karena Kyai Shobar menilai Mbah
Abdurrohman mengikuti thorikhoh yang tidak sama / tidak sejalur dengannya. Akhirnya
Mbah Kyai Abdurrohman berhenti dalam menjadi imam, tetapi Mbah Abdurrohman tetap
sholat sendirian di Masjid tanpa makmum.
Sepeninggal Mbah Abdurrohman, yang meneruskan tampuk pimpinan adalah Kyai
Shobar, menantu dari Ki Kanjeng Ali Imron dengan putri terakhir yang bernama Nyai
Roinah, beliau mempunyai keturunan 3 orang anak.
Akhirnya Kyai Shobar dapat melanjutkan perjuangannya dengan sabar dan tabah
dalam menghadapi semua rintangan, cobaannya. Namun dengan kesabarannya Kyai
Shobar mendapat bertambahnya pengikut yang jumlahnya 50 orang.
Setelah cukup lama hidup di tempat tersebut, ia sering menyaksikan banyak kemaksiatan,
dari pencurian, adu ayam, berjudi, minuman keras dan pelacuran. Akhirnya Kyai Shobar
mendirikan pondok yang berada di depan Masjid AL AMAR.
Pada saat itu hanya Kyai Shobarlah yang memiliki sawah yang sangat luas dan
hasil panennya berupa padi yang sangat melimpah. Namun, Belanda tidak berani untuk
merampasnya. Dengan kekayaannya, Kyai Shobar membesarkan sendiri Pondok Pesantren
yang telah didirikan oleh kakeknya, Kyai Shobar tanpa bantuan dari orang lain.
Pondok itu disebut pondok AL AMAR, dengan didirikannya pondok semua
penduduk masyarakat menjadi hidup rukun, tentram dan aman. Dengan banyaknya santri
kurang lebih 100 orang. Akhirnya Kyai Shobar meninggal dunia.
Sepeninggal Kyai Shobar yang meneruskan tampuk pimpinan dalam pondok AL
AMAR yaitu Kyai Imam Syufa’at, menantu dari putri pertamanya yang dinikahkan dengan
Mahmudah bersama Kyai Mahfud Shobar putra keduanya untuk mengembangkan pondok
tersebut.
Sehingga pondok tersebut bertambah banyak santrinya diantara jumlah pengikutnya
200 orang. Ternyata banyak yang berasal dari luar perkampungan penduduk setempat.
Pada waktu itu semua santri dan penduduk masyarakat mandi di sendang, akhirnya
dinamakan “Blumbang Santri”. Kyai Imam Syufa’at terkenal dengan kegemarannya karena
ia pernah berkelana ke penjuru dunia, sehingga beliau mengajak orang-orang tersebut
untuk belajar di pondoknya. Kemudian orang-orang dapat menetap di tempat tersebut.
Dengan merekalah Kyai Imam Syufa’at banyak berjuang demi menegakkan kebenaran dan
memerangi kemungkaran yang terjadi pada masyarakat setempat.
Berkat Kyai Imam Syufa’at dengan adanya pondok penduduk masyarakat setempat
menjadi baik serta menjadi segan, dan patuh kepadanya.
Pada saat itu sebagaimana lazimnya ulama, Kyai Shobar membekali dirinya dengan
ilmu kanuragannya selain itu juga memiliki keahlian dalam meramu obat yang biasanya ia
tambuk dengan menggunakan lumpang dari batu hitam. Sehingga, jika ada warga yang
sakit, maka mereka meminta ramuan obat kepadanya. Kemudian Kyai Mahfud Shobar
putra keduanya dinikahkan Masfufah putri dari Kyai Mukhsin pondok Salafiyah
Semanding Pare. Ia baru pulang dari pondok. Kemudian ia tidak sama ilmunya dengan
Kyai Imam Syufa’at. Jadi mereka memiliki perbedaan, Kyai Imam Syufa’at mendalami
ilmu tasawuf. Akhirnya terjadilah pertengkaran dan permusuhan diantara mereka karena
santrinya merasa takut dan tidak nyaman. Santri tersebut tidak lama lagi mereka
semua berbondong-bondong kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Pada saat
inilah semua penduduk masyarakat setempat tidak berani sholat ke Masjid dan ke pondok.
Pada suatu hari dengan penuh tanda marah kepada Kyai Mahfud Shobar dengan
membuat surat yang isinya tentang Kyai Syufa’at tidak boleh bertempat tinggal dan tidak
boleh menjadi imam di Masjid dan di Pondok Al-Amar dan tidak boleh menjadi pemimpin
dalam Pondok tersebut. Oleh karena itu Kyai Syufa’at diancam oleh Kyai Mahfud Shobar,
jika ia tetap bertempat tinggal di desa Sumbersari maka akan dibunuh oleh Kyai Mahfud
Shobar dan semua penduduk masyarakat Sumbersari. Oleh karena itu sebelum Kyai Imam
Syufa’at diusir dari desa tersebut ia sudah pergi ke tempat tinggalnya dulu yaitu desa
Badas Pare. Dan akhirnya Kyai Mahfud Shobar mengundang untuk datang ke rumahnya
kepada semua penduduk masyarakat Sumbersari. Kemudian penduduk masyarakat
Sumbersari berbondong-bondong menuju ke rumah Mahfud Shobar dengan penuh tanda
tanya. Apa yang terjadi pada Kyai Mahfud Shobar, rasa penasaran mereka semakin besar
ketika sesampainya di sana tidak langsung ditemua Kyai Mahfud Shobar. Karena tidak
biasanya Kyai Mahfud Shobar memanggil seluruh warga secara mendadak. Kemudian
cukup lama menunggu, muncullah Kyai Mahfud Shobar dengan wajah sembab. Wajah
yang semakin menimbulkan tanda tanya besar, wajah yang menceritakan bahwa beliau
telah menangis cukup lama karena menghadapi semua cobaan yang sangat besar yang
harus diselesaikan secara baik-baik. Kemudian masalah itu disampaikan kepada semua
warga masyarakat yang intinya Kyai Mahfud Shobar ingin membuat surat keputusan untuk
disampaikan atau ditujukan kepada Kyai Imam Syufa’at yang intinya beliau tidak boleh
“Assalamu’alaikum Wr.Wb!”
Ucap Kyai Mahfud Shobar memecahkan keheningan dengan amarah yang sangat dalam
pada saat itu.
“Saudara-saudaraku, saya mohon maaf jika telah membuat kalian semua menunggu saya
tidak bermaksud untuk menelantarkan kalian. Mohon maaf Kyai, apa yang telah terjadi
dengan Anda? Kenapa mata Anda begitu merah, wajah Anda ada sebab?.
Tanya salah seorang diantara warga yang hadir pada saat itu.
“Saya sangat malu dan merasa bersalah terhadap kalian semua. Begini saya punya inisiatif
gimana kalau Kyai Syufa’at kita singkirkan biar tidak di dalam Pondok AL-AMAR ini
karena kalau dia tetap disini maka desa Sumbersari tidak akan nyaman dan tidak bisa
berkembang selalu terjadi perselisihan setiap permusuhan. Oleh karena itu saya akan
membuat surat yang ditujukan kepada Imam Syufa’at. Tapi saya minta tolong kepada
seorang masyarakat Sumbersari untuk menyampaikan surat tersebut”.
“Assalamu’alaikum Wr. Wb.”
“Kepada Kyai Imam Syufa’at, untuk mulai hari ini dan detik ini dan sampai kapan pun
Anda tidak diizinkan tinggal di desa Sumbersari sampai kapanpun Anda tidak boleh
menjadi imam dan tidak boleh mengembangkan ilmu agamanya di Masjid dan Pondok
AL-AMAR Sumbersari karena semua penduduk masyarakat sudah tidak lagi menerima
kedatangan Anda. Dan jangan sekali-kali Anda datang ke Pondok tersebut. Demikian
hanya rangkaian surat ini dibuat oleh semua warga masyarakat Sumbersari yang ditujukan
oleh Kyai Imam Syufa’at”.
“Wassalamu’alaikum Wr. Wb”.
Namun hal itu tidak dapat disampaikan oleh Kyai Iman Syufa’at karena masih
disembunyikan, kemudian sudah beberapa bulan dibakar oleh salah satu warga masyarakat
Kyai Imam Syufa’at maka mereka akan menjadi pertempuran yang sangat dasyat, oleh
karena itu surat tersebut tidak disampaikan.
Akhirnya Kyai Imam Sufa’at di usir oleh Kyai Mahfud Shobar ia tidak boleh
menjadi Imam dan tidak boleh mengajarkan ilmunya ke semua santrinya. Dengan kondisi
seperti itulah Kyai Imam Sufa’at meninggalkan tempat tersebut bersama anak dan istrinya
kembali ke daerahnya yang disebut desa Badas Pare. Kemudian mereka merasa aman dan
tenang tinggal di daerahnya tersebut. Namun akhirnya penduduk masyarakat Sumbersari
tidak bisa disatukan. Kyai Mahfud Shobar masih tetap mengembangkan pondok AL
AMAR, tetapi masih ada santrinya yang berjumlah hanya 25 orang. Lama kelamaan
pondok AL AMAR tidak ada santrinya karena pengikut semuanya sudah kembali ke asal
tinggalnya. Kemudian pondok AL AMAR dibiarkan sampai beberapa tahun kurang lebih
10 tahun. Akhirnya Kyai Mahfud Shobar mengumpulkan semua penduduk masyarakat
Sumbersari untuk bagaimana langkah sebaiknya untuk pondok AL AMAR. Dari salah satu
masyarakat tersebut memberikan komentarnya. Bagaimana kalau pondok AL AMAR itu
dihancurkan baru kemudian didirikan untuk tempat pendidikan karena dengan akan
didirikan pendidikan maka akan lebih berbarokah dan manfaat bagi penduduk masyarakat
tersebut. Namun akhirnya komentar tersebut dapat diterima oleh semua penduduk
masyarakat maka dibangunkan gedung sekolahan di mulai dari sekolah dasar tingkat
bawah yaitu RAM dan MI AL AMAR.
Kyai Mahfud Shobar merasa senang dan bangga dapat mendirikan suatu sekolah
dasar. Ia semakin bersyukur atas rahmat dari Allah. Keimanan merekapun semakin dalam
dan akhirnya semua penduduk masyarakat dapat hidup dengan baik dan tentram.
Kemudian semua masyarakat dapat hidup dengan baik dan tentram. Kemudian semua
masyarakat dapat mengikuti semua ajarannya yang telah di kembangkan oleh Kyai Mahfud
Shobar dan memberikan gelar kepada Kyai Mahfud untuk menjadi imam dan ta’mir