45
A. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan
dalam sistem Ketatanegaraan di Indonesia
Membahas sistem ketatanegaran berarti membicarakan pula mengenai
pembagian kekuasaan dan hubungan antar lembaga negara. Sistem ketatanegaran
dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang merupakan perbuatan pemerintahan
yang dilakukan oleh organ-organ atau lembaga-lembaga negara seperti legislatif,
eksekutif, yudikatif, dan sebagainya, di mana dengan kekuasannya masing-masing
lembaga negara tersebut saling bekerjasama dan berhubungan secara fungsional
dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.87
Berdasarkan rumusan di atas, sistem ketatanegaraan dapat ditinjau dari segi
pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara dan sifat hubungan antar
lembaga negara. Pembagian kekuasaan dapat dibedakan atas :
a.
Pembagian kekuasan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yangdidasarkan pada fungsi maupun mengenai lembaga negara yang
melaksanakan fungsi tersebut; dan
b.
Pembagian kekuasaan negara secara vertikal, yaitu pembagiankekuasaan di antara beberapa tingkatan pemerintah yang akan
87
melahirkan garis hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah atau antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian.88
Sejalan dengan bangkitnya paham mengenai demokrasi, teori-teori
mengenai pemisahan kekuasaan pun berkembang. Teori ini mempunyai tujuan
untuk memisahkan secara tegas kekuasaan negara atas beberapa kekuasaan yang
masing-masing dipegang oleh lembaga-lembaga tertentu guna mencegah
timbulnya monopoli seluruh kekuasaan negara di tangan satu orang yaitu raja
seperti terjadi di dalam sistem pemerintahan monarki absolut.89
Sejalan dengan Locke90, ajaran pemisahan kekuasaan juga disampaikan oleh
Montesquieu. Berdasarkan teori Montesquieu, terdapat tiga kekuasaan yang
dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif yang kemudian dikenal sebagai trias politica. Montesquieu
mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan
masing-masing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan
88
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, cet. ke-22, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 138
89 M. Suradijaya Natasondjana, “
Pengisian Jabatan Wakil Presiden dalam Teori dan Praktik,” (skripsi program sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 1992),h. 14.
90
satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang
mutlak.91
Konsep klasik di banyak Negara mengenai pemisahan kekuasaan tersebut
dianggap tidak lagi relevan karena tiga fungsi kekuasaan yaitu eksekutif,
legislatif, yudikatif92 tidak mampu menaggung beban Negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Untuk menjawab tuntutan tersebut, negara
membentuk berbagai jenis lembaga negara baru yang diharapkan dapat lebih
responsif dalam mengatasi persoalan aktual negara. Maka, berdirilah berbagai
lembaga negara yang membantu tugas lembaga-lembaga negara tersebut yang
menurut Jimly Asshidiqie disebut sebagai “Lembaga Nagara Bantu” dalam bentuk
dewan (council), komisi (commissian), komite (committee), badan (board)
ataupun otorita (authority)93.
Beberapa ahli tetap mengelompokkan beberapa Lembaga negara bantu94
dalam lingkup eksekutif, namun ada pula sarjana yang menempatakan tersendiri
sabagai cabang keempat kekuasaan pemeritahan. Kehadiran lembaga negara
bantu di Indonesia menjamur paska perubahan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945. Berbagai lembaga negara tersebut tidak dibentuk dengan dasar
92
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali pers, 2012) h. 281
93
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI), h.vi-viii.
94
hukum yang seragam. Beberapa diantaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun
ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun
keputusan presiden.
Salah satu konsekuensi dari dilakukannya perubahan terhadap UUD Negara
RI Tahun 1945 adalah munculnya beragam penafsiran mengenai istilah “lembaga
negara” akibat kekurang jelasan UUD Negara RI Tahun 1945 dalam mengatur
lembaga negara. Hal ini dapat terlihat dari tiadanya kriteria untuk menentukan
apakah suatu lembaga dapat diatur atau tidak dalam konstitusi. Dari berbagai
penafsiran yang ada, salah satunya adalah penafsiran yang membagi lembaga
negara menjadi lembaga negara utama (state main organ) dan lembaga negara
bantu (state auxiliary organ).
Untuk menentukan institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara
bantu dalam struktur ketatanegaraan RI lebih dahulu harus dilakukan pemilihan
terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pasca
perubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara kedalam tiga
kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan atas perintah
UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga
negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted
power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibetuk berdasarkan perintah keputusan
presiden.95
95
Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga-lembaga negara
yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD 1945, yaitu Presiden
dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Selain delapan
lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam UUD
RI Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit oleh
konstitusi. Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah Kementrian Negara,
Pemerintahan Daerah, Komisi Pemilihan Umum, Bank Sentral, Tentara Nasional
Indonesai (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Dewan
Pertimbangan Presiden. Salah satu yang perlu ditegaskan adalah kedelapan
lembaga yang sumber kewengannya berasal langsung dari konstitusi tersebut
merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat dan berada dalam suasana yang setara,
seimbang, serta independen satu sama lain.96
Berikut, berdasarkan catatan lembaga swadaya masyarakat Konsorium
Reformasi Hukum Nasional (KRHN)97, paling tidak terdapat sepuluh lembaga
negara yang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Lembaga-lembaga
tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komis Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
kemasyarakatan secara politis dan hukum telah menyebabkan dekosentrasi kekuasaan negara dan reposisi atau restrukturisasi dalam sistem ketatanegaraan. Secara eksternal berupa fenomena gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia internasional.
96
Firmansyah Arifin dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, (Jakarta: Konsorsium Reformasi HukumNasional (KRHN), 2005), h.88, UUD Negara RI Tahun 1945 menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan sama/sederajat, yang secara langsung menerima kewenangan konstitusional, yaitu MPR, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY). Lihat Bab II, Bab III, Bab VII, Bab VIIA, Bab VIIIA, dan Bab IX UUD Negara RI Tahun 1945
97
(KKR), Komisi Nasioanal Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Perlindungan
Anak), Komisi Kepolisian Nasional. Komisi Kejaksaan, Dewan Pres, Dewan
Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah atau berkurang mengingat
lembaga negara dalam kelompok ini tiak bersifat permanen melainkan bergantung
pada kebutuhan negara. Misalnya, KPK dibentuk karena dorongan kanyataan
bahwa fungsil lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya, seperti Kepolisian
dan Kejaksaan, dianggap tidak maksimal atau tidak efektif dalam melakukan
pemberantasan korupsi. Apabila kelak, korupsi dapat diberantas dengan efektif
oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka keberadaan KPK dapat di tinjau kembali.
Sementara itu, lembaga negara pada kelompok terahkir atau yang dibentuk
berdasarkan perintah dan kewengannya deberikan oleh Keputusan Presiden antara
lain adalah Komisi Ombusdman Nasional (KON), Komisi Hukum Nasional
(KHN), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), Dewan Maritim Nasioanal (DMN), Dewan Ekonomi Nasional
(DEN), Dewan Pengembangan Usaha Nasioanal (DPUN), Dewan Riset Nasional
(DRN), Dewan Pembina Industri Srategis (DPIS), Dewan Buku Nasional (DBN),
serta lembaga-lembaga negara dalam kelompok yang terahkir ini pun bersifat
sementara bergantung pada kebutuhan negara.
Lembaga-lembaga negara dalam kelompok kedua dan ketiga inilah yang
disebut sebagai lembaga negara bantu.98 Pembentukan lembaga-lembaga negara
yang bersifat mandiri ini secara umum disebabkan oleh adanya ketidak percayaan
publik terhadap lembaga-lembaga negara yang ada dalam menyelesaikan
98
persoalan ketatanegaraan. Selain itu pada kenyataanya, lembaga-lembaga negara
yang telah ada belum berhasil memberikan jalan keluar dan menyelesaikan
persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka
seiring dengan berkembangnya paham demokrasi di Indonesia.99
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Salah satu lembaga negara bantu yang dibentuk dengan undang-undang
adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ini dibentuk sebagai salah
satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda
terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia100. Walaupun
bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun101, KPK tetap bargantung
kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitannya dalam masalah keorganisasian, dan
memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan
persidangan perkara tindak pidana korupsi.
Namun demikian, dalam perjalanannya yang belum menginjak tahun
keempat sejak pendiriannya, keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur
negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas, wewenang, dan
kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat komisi ini
terkesan menyerupai sebuah superbody. Sebagai organ kenegaraan yang namanya
tidak tercantum dalam UUD Negara RI Tahun 1945, KPK dianggap oleh sebagian
99
Rizky Argama, op.cit.,h.129
100
Mahmuddin Muslim, Jalan Panjang Menuju KPTPK, (Jakarta: Gerakan Rakyat Anti Korupsi Indoneisa, 2004), h.33
101
pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional. Beberapa orang sebagai pemohon
mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi102 dengan
mempersoalkan eksistensi KPK dengan menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal
20 Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 tentang negara hukum. Mereka berpendapat bahwa ketiga pasal
Undang-undang KPK tersebut bertentangan dengan kosep negara di dalam UUD
1945 yang telah menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan
yang sama atau sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional
dari UUD 1945 yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan KY.
Ada tiga prinsip yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan soal
eksistensi KPK. Pertama, dalil yang berbunyi salus populi supreme lex, yang
berarti keselamatan rakyat (bangsa dan negara) adalah hukum yang tertinggi. Jika
keselamatan rakyat, bangsa, dan negara sudah terancam kerana keadaan yang luar
biasa maka tindakan apapun yang sifatnya darurat atau khusus dapat dilakukan
untuk menyelamatkan. Dalam hal ini, kehadiran KPK dipandang sabagai keadaan
darurat untuk menyelesaikan korupsi yang sudah luar biasa.103 Kedua, di dalam
hukum dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan bersifat
khusus (lex spescialis).104 Dalam hukum dikenal asas lex specialis derogate legi
generali, yang artinya udang-undang istimewa/khusus didahulukan berlakunya
102
Lihat Putusan MK RI Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, h.33 Para pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, yang terdiri dari Mulyana Wirakusumah, Nazaruddin Sjamsuddin, dkk., dan Capt. Tarcisius Walla, menilai KPK sebagai lembaga ekstrakonstitusional karena telah mengambil alih kewenangan lembaga lain yang diperoleh dari UUD Negara RI Tahun 1945 yang sebetulnya telah terbagi habis dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
103
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, (RI.Jakarta: Sektretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI ,Cetakan Pertama, 2008)
daripada undang-undang yang umum.105 Keumuman dan kekhususan itu dapat
ditentukan oleh pembuat Undang-Undang sesuai dengan kebutuhan, kecuali UUD
jelas-jelas menentukan sendiri. Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran
KPK merupakan perwujudan dari hak legislasi DPR dan pemerintah setelah
melihat kenyataan yang menuntut perlunya itu.
Sulit menerima argumen bahwa keberadaan KPK yang diluar kekuasaan
kehakiman dianggap mengacaukan sistem ketatanegaraan, mengingat selama ini
Kejaksaan dan Kepolisian pun berada di luar kekuasaan kehakiman, oleh karena
Undang-undang telah mengatur hak yang tak dilarang atau disuruh tersebut maka
keberadaan KPK sama sekali tak menimbulkan persoalan dalam sistem
ketatanegaraan. Tentang persoalan menimbulkan abuse of power106, justru hal itu
tidak relevan jika dikaitkan dengan keberadaan KPK, sebab abuse of power itu
bisa terjadi di mana saja. KPK justru dihadirkan utnuk melawan abuse of power
yang terlanjur kronis.107
Mengenai fungsi Kejaksaan dan Kepolisian di bidang peradilan, adalah
Undang-Undang yang memberikan fungsi kepada lembaga-lembaga itu yang bisa
di pangkas atau ditambah oleh pembuat Undang-undang itu sendiri. Jadi,
ketentuan ini tak dapat dipersoalkan malalui judicial review, sebab pembuat
105
Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: PT Intermesa,Cetakan Pertama, 1977), h.63.
106
Philipus M. Hadjon dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesian Administrative Law cetakan ke-10, 2008), h.277, Asas suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan ia diberikan yang di dalam hukum Belanda
tidak banyak diketemukan bagaimana contoh aturan ini yang menyebabkan pembatalan. “Pada umumnya penyalahgunaan suatu wewenang juga akan bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan
107
Undang-Undang itu sudah mengaturnya menjadi seperti itu seharusnya delakukan
melalui legislative review, bukan melalui judicial review.108
KPK sabagai lembaga pemberantas korupsi yang diberikan kewenangan
yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan
secara yuridis didalam sistem yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD
1945. KPK juga tidak mengambil alih kewenangan dari pembuat undang-udang
sebagai bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan
hukum, peradilan, kekuasaan kehakiman.
Bahwa keberadaan KPK itu konstitusional, hal itu dapat didasarkan juga
konstitusi tertulis yang menurut teori mencakup UUD (sebagai dokumen tersebar)
mengenai pengorganisasian negara. Dari cakupan pengertian ini, maka kehadiran
KPK adalah Konstitusional karena bersumber dari salah satu dokumen tersebar
sebagai bagian dari konstitusi yang sama sekali tidak bertentangan dengan
dokumen khususnya.109
KPK dibentuk sebagai lembaga negara bantu kerena adanya isi insidentil
menyangkut korupsi di Indonesia pasca era Orde Baru. KPK merupakan aplikasi
bentuk politik hukum yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 kepada badan
legislatif sebagai pembuat Undang-undang.110
108
Ibid, h.105 109
Jimly Asshiddiqie, op cit, h.197-198 110
2. Kejaksan Republik Indonesia
Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaran
dapat dilihat sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia
melalu beberapa fase.
Pada masa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 19
Agustus 1954, Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
memutuskan mengenai Kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik
Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Secara yuridis formal
Kejakaan Republik Indonesia diproklamasikan.111
Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan Negara Republik
Indonesia adalah selaku alat kekuasaan eksekutif dalam bidang yudisial yang
sudah berakar sejak zaman kerajaan Majapahit, Mataram, Cirebon, serta zaman
penjajahan.112
Isilah kejaksaan dipergunakan secara resmi oleh Undang-undang
Balantentara Penduduk Jepang No.1 Tahun 1942, yang kemudian diganti oleh
Osamu Seirei No.3 Tahun 1942, No.2 Tahun 1944 dan No.49 Tahun 1944.
Peraturan tersebut tetap dipergunakan dalam Negara Republik Indonesia
Proklamasi berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang diperkuat oleh
Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1945.113
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo PP No.2 Tahun 1945,
ketentuan yang digariskan oleh Osamu Seirei No.3 Tahun 1942 menegaskan
111
R.M. Surachman dan Andi Hamzah, Jaksa di berbagai negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 1966), h.3
112
Ibid, h.4 113
bahwa Jaksa yang menjadi satu-satunya pejabat penuntut umum tetap berlaku di
Negara Republik Indonesia Proklamasi.114
a. Masa Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) (1949-1950)115
Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949-17
Agustus 1950 , sejak bulan Januari 1950, Jaksa Agung RID setelah aktif
menjalankan tugasnya walaupun perihal Jaksa Agung baru diatur kemudian dalam
KRIS dan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1950 tentang Sususan dan
Kekuasaan serta Jalannya Peradilan Mahkamah Agung Indonesia Undang-undang
Mahkamah Agung (UUMA). Sesuai dengan susunan kenegaraan RIS sebagai
negara federal yang komponennya terdiri dari alat-alat perlengkapan negara
tingkat Pusat (Federal) dan tingkat Daerah Bagian, maka struktur organisasi
Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Tingkat Pusat dan Tingkat Daerah-daerah
Bagian. Pada tingkat Pusat (Federal) hanya ada satu instansi Kejaksaan yaitu
Kejaksaan Agung RIS, yang merupakan Kejaksaan tingkat tertinggi di RIS.
Sedangkan, daerah tidak mempunyai instansi Kejaksaan. Dalam usianya yang
hanya 7 bulan 20 hari, RIS belum sempat mangangkat Jaksa Agung Muda dan
tidak terdapat keterangan mengenai hubungan fungsional antara Jaksa Agung RIS
dan para Jaksa Agung Muda.
b. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)116
114
R.M Surachman dan Andi Hamza, Jaksa di Berbagai Negara, Peranan dan Kedudukanya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996, )Harmuth Horstkotte, seorang Hakim Tinggi Federasi Jerman, memberikan julukan kepada jaksa sebagai bosnya perkara (master of the procedure), sepanjang perkaranya itu tidak diajukan ke muka pengadilan.
115
Pada masa Republik Indonesia (17 Agustus 1950- 5 Juli 1959), kedudukan
Kejaksaan sama seperti pada masa RIS, yaitu masuk kedalam Departemen
Kehakiman. Sesuai dengan statusnya dalam Negara Kesatuan, Wewenang Jaksa
Agung, yang antara lain tertera dalam Pasal 156 ayat 2, 157 ayat 1 dan Pasal 158
ayat 3 KRIS serta Pasal 22 ayat 2 dan Pasal 31 ayat 1 UUMA, tidak berlaku bagi
Jaksa Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan berdirinya
Negara Kesatuan RI, Kejaksaan Agung dari bekas Negara Bagian Republik
Indonesia semestinya bubar dan tidak berfungsi lagi. Namun tidak demikian
kenyataannya. Kejaksaan Agung di bekas negara Bagian Republik Indonesia tidak
jelas kapan dibubarkan, namun menurut Jaksa Agung Tanggal 28 Februari 1951
dapat diketahui bahwa Kejaksaan Agung tersebut masih ada kendatipun pekerjaan
yang diperbolehkan untuk ditangani hanya kasus-kasus lama yang belum
terselesaikan dan bukan pekerjaan baru.
c. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)117
Pada masa setelah dekrit Presiden (5 Juli 1959- 11 Maret 1966) terjadi
perubahan dalam status Kejaksaan dari lembaga nondepartemen dibawah
Departmen Kehakiman menjadi lembaga yang berdiri sendiri, yang dilandaskan
pada Putusan Kabinet Kerja I Tanggal 22 Juli 1960, yang kemudian diperkuat
dengan Keputusan Presiden No. 204 Tahun 1960 Tanggal 15 Agustus 1960 yang
berlaku surut terhitung mulai tanggal 22 Juli 1960. Peristiwa ini didahului dengan
berubahnya kedudukan Jaksa Agung dari pegawai tinggi Departemen Kehakiman
116
Ibid, h.68 117
menjadi menteri ex Officio118 dalam Kabinet Kerja I dan kemudian Menteri dalam
Kabinet Kerja II, III, dan IV, Kabinet Dwikorsa dan Kabinet Dwikora yang
disempurnakan, yang merupakan Jaksas Agung pertama yang menyandang status
Menteri, walaupun hanya Menteri ex Officio. Pimpinan dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong dengan surat No: 5263/DPR GR/1961 Tanggal 30 Juni 1961
perihal Pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kejaksaan RI, selanjutnya disampaikan kepada Presiden untuk disahkan.
Ahkirnya Pemerintahan cq.Presiden tanggal 30 Juni 1961 mensahkan
Undang-undang No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan
Republik Indonesia. Dalam pasal 1 ditegaskan Kejaksaan adalah alat negara
penegak hukum yang betugas sebagai Penuntut Umum, dan pasal 5 mengatur
bahwa penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dalam Keputusan Presiden.
Untuk mengatur dan menetapkan kedudukan, tugas, dan wewenang Kejaksaan
dalam rangka sebagai alat revolusi dan menempatkan Kejaksaan dalam struktur
organisasi Departemen disahkan Undang-udang No. 16 Tahun 1961 tentang
Pembentukan Kejakaan Tinggi. Pada masa ini terjadi 5 (lima) kali penggantian
Jaksa Agung yang terdiri atas R.Soeprapto, Gatot Taroenamihardja, R. Goenawan,
Kadaroesman, dan A. Soetardhio. Dari kelima Jaksa Agung ini Gatoto
Taroenamihardja menjabat paling singkat, yaitu kurang lebih 5 (lima) bulan, dan
118
pada periode ini pertama kali Jaksa Agung diangkat dari kalangan militer, yaitu
Jaksa Agung Brigjen A.Soetardhio.
d. Masa Orde Baru (1966-1998)119
Pada masa orde Baru, Kejaksaan selain mengalami beberapa perubahan
dalam kekuasaannyajuga mengalami beberapa kali perubahan pimpinan,
organisasi, dan tata kerjanya. Perubahan pimpinan pertama kali terjadi pada
tanggal 27 Maret 1966 dengan digantinya Menteri/Jaksa Agung Sutardhio oleh
Brigjen. Sugih Arto, Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat sehari sebelum
dibubarkannya Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan diganti dengan Kabinet
Dwikora yang Disempurnakan lagi. Ketika itu, organisasi Kejaksaan dibawah
koordinasi Wakil Perdana Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan yang
merangkap Menteri Angkatan Darat, Ltiga orang etjen. Soeharto. Setelah
perubahan pimpinan berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana Menteri Bidang
Pertahanan dan Keamanan No.:KEP/A/16/1966 Tanggal 20 Mei 1966, dilakukan
perubahan dan pembaharuan mengenai Pokok-pokok Organisasi Kementrian
Kejaksaan, yang intinya sabagai berikut :
1. Menteri /Jaksa Agung memimpin langsung Kementrian Kejaksaan
dengan dibantu oleh Deputi Menteri/Jaksa Agung, masing-masing
dalam bidang-bidang Intelijen/Operasi Khusus dan Pembinaan, dan
seorang Pengawas Umum (Inspektur Jenderal);
2. Ketiga Deputi dan Pengawas Umum dalam melaksanakan tugasnya
dipimpin dan dikoordinasikan oleh Menteri/Jaksa Agung;
119
3. Dibawah para Deputi ada Direktorat-direktora, Bagian, Biro, dan Seksi,
sedangkan di bawah Pengawasan Umum hanya ada
Inspektorat-inspektorat.
Menyusul setelah perubahan organisasi adalah perubahan dalam susunan para
pembantu Menteri/Jaksa Agung berdasarkan Surat Keputusan Wakil Perdana
Mentri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.:KEP/E/40/1966 Tanggal 16 Juni
1966. Pada tanggal 25 Juli 1966 Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Lagi
dibubarkan dan dibentuklah Kabinet Ampera, dimana Jaksa Agung tidak
dicantumkan sebagai Menteri. Dalam rangka pemurnian pelaksanaan
Undang-undang Dasar 1945 status Kejaksaan sebagai Departemen ditiadakan dan
Kejaksaan Agung dinyatakan sebagai Lembaga Kejaksaan Tinggi Pusat dan Jaksa
Agung tidak diberi kedudukan Menteri. Hal tersebut ditegaskan dalam Keputusan
Presidium kabinet Ampera No. 26/U.Kep/9/66 Tanggal 6 September 1966 tentang
Penegasan Status Kejaksaan Agung. Kemudian Kejaksaan Agung mengalami
perubahan dalam bidang organisasi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dalam
Surat Keputusan Sementara Jaksa Agung No.:KEP-086/D.A/7/1968 Tanggal 6
Juli 1968. Setelah memperhatikan hasil-hasil Musyawarah Kerja Kejaksaan
seluruh Indonesia Tahun 1967, keluarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 1969
tanggal 22 Maret 1969 tentang Pokok-pokok Organisasi Kejasaan yang mencabut
Keputusan Wakil Perdan Menteri Bidang Pertahanan dan Keamanan No.:
KEP-A/16/1966 Tanggal 20 Mei 1969 dan oleh Keppres No.29 Tahun 1969 Bidang
Operasi/Intelijen dijadikan Bidang Intelijen saja. Menyusul pelaksanaan Keppres
No.:KEP-061/D.A/7/1969 tentang Tugas dan Organisasi Kejaksaan dan Kejaksaan Daerah.
Dalam Musyawarah Kerja Kejaksaan tahun 1971 dikeluarkan Keppres No.29
Tahun 1971 yang dalam pelasanaannya dikeluarkan Keputusan Jaksa Agung No.:
KEP-022/D.A/5/71 dalam tanggal 15 Mei 1971 tentanh Kelengkapan Susunan
Organisasi Tata Kerja dan Perincian Tugas Kejaksaan Agung
No.:KEP-061/.A/7/1969 Tanggal 4 Juli 1969. Pada masa Kabinet Pembangunan IV,
kedudukan Jaksa Agung setingkat dengan Menteri Negara yang tercantum dalam
Keppres No.48/M Tahun 1983 Tanggal 16 Maret 1983. Dalam pemberian
kedudukan tersebut Kejaksaan tidak berubah menjadi Departemen. Dalam
Ketetapan MPRS No.: II/MPRS/1960 Lampiran A.III No. 47 ditetapkan dengan
tegas Jaksa Agung sebagai Pembantu Presiden. Selaku pembantu langsung
Presiden maka kepada Jaksa Agung dapat diberikan predikat dan kedudukan apa
pun, baik sebagai Menteri/Menteri Negara/Menteri ex Officio, maupun setingkat
Menteri, dan sebagainyaatau tanpa predikat sama sekali, sebagaimana yang terjadi
sejak Kabinet Ampera hingga Kabinet Pembangunan III.
Selain itu susunan organisasi dan tata kerja institusi kejakasaan Republik
Indonesia mengalami perubahan mendasar dengan Keluarnya Keputusan Presiden
Republik Indonesia tanggal 20 November 1982 susunan organisasi Kejaksaan
terdiri dari:
1. Jaksa Agung
2. Jaksa Agung Muda Pembinaan
3. Jaksa Agung Muda Pembinaan
5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
7. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Pendidikan dan Latihan,
Pusat Penyuluhan Hukum, Pudat Operasi Intelijen, dan
8. Instansi Vertikal: Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.
Sedangkan dalam Keputusan Presiden No.55 Tahun 1991 terdiri dari :
1. Jaksa Agung
2. Wakil Jaksa Agung
3. Jaksa Agung Muda Pembinaan
4. Jaksa Agung Muda Intelijen
5. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
6. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus
7. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara
8. Jaksa Agung Muda Pengawas
9. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pudat Pendidikan dan Latihan,
Pusat Penyuluhan Hukum dan;
10. Kejaksaan di daerah: Kejaksaan Tingi dan dan Kejaksaan Negeri
Pada periode ini, terjadi 7 (tujuh) klai pergantian Jaksa Agung RI dan dari 7
(tujuh) kali pergantian, 5 (lima) orang diantaranya militer, yaitu Sugih Arto, Ali
said, Imail Saleh, Hari Suharto, dan Sukarton Marmo Sudjono. Dengan demikian,
ternyata dalam perjalanan ketatanegaran Indonesia, kedudukan Kejaksaan
perubahan adalah dalam upaya mendudukkan dan memfungsikan Kejaksaan
secara optimal.
e. Masa Orde Reformasi (1998- sekarang)120
Pada orde reformasi, selain terjadi 6 (enam) kali pergantian Jaksa Agung
dalam periode dan juga penambahan fungsi yang berkaitan dengan fungsi dan
wewenang, Jaksa Agung diberi legi keweangan untuk melakukan penyidikan dan
penuntutaan terhadap pelanggaran HAM dengan keluarnya Undang-udang No.26
Tahun 1999 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Disamping itu pengurangan
tugas dan kewenangan penyidikan dan penuntuttan berkaitan dengan tindakan
pidana korupsi dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK) pada tanggal 29 Desember 2003 berdasarkan Keppres
No.266/M/2003 yang merupakan tindak lanjut dari Undang-undang No.30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari keenam Jaksa
Agung tersebut A. Soedjono Atmonegoro hanya menjabat selama 3 (tiga) bulan,
sedangkan Marsilam Simanjuntak belum sempat menduduki ruang kerjanya
karena terjadi pergeseran kursi kepresidenan dari Abdurrahman Wahid kepada
Megawati Soekarno Putri di mana ia langsung digantikan oleh M.A. Rachman.121
Pencopotan A.Soedjono Atmonegoro oleh Presiden B.J.Habibie adalah karena
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya ia tidak sejalan denga Presiden
mengingat keinginan Kejaksaan RI pada saat itu untuk melakukan penyidikan
terhadap mantan presiden Soeharto yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Meskipun dalam masa jabatan Jaksa Agung Marzuki Darusman tetap dilakukan
120
Ibid, h.72 121
penyelidikan terhadap mantan presiden Soeharto atas dugaan melakukan tidak
pidana korupsi sama jabatannya namun hingga sekarang perkaranya tetap tidak
pernah digulirkan kepangadilan karena alasan kesehatan. Dalam periode era
reformasi, perkara-perkara yang berkaitan dengan tindak pidan korupsi dan
perkara lainnya disinyalir oleh masyarakat bernuansa politis belum serius
ditangani oleh Kejaksaan. Contonya dalam perkara kasus Ginanjar Kartasasmita
(mantan Mentri Pertambangan dan Energi / Ketua Bappenas), perkara Syahril
Sabirin (Gubernur Bank Indonesia), perkara Akbar Tanjung (Ketua DPR RI),
Djakfar Umar Sidik (Panglima Komando Jihad) dalam kasus penghinaan kepada
diri Kepala Negara, dan perkara KH.Abubakar Baasyir dalam kasus terror bom
dan makar. Selain itu, perkara pelanggaran HAM Timor Timur dan Tanjung Priok
juga belum diselesaikan secara tuntas. Dengan demikian, situasi dan kondisi
dihadapi Kejaksaan RI periode Orde Reformasi tidak jauh dari periode Orde Baru.
Namun, satu hal yang menggembirakan adalah digantinya Undang-undang No.5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI dengan Undang-undang No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam masa periode Reformasi setelah
Marzuki Darusman, berturut-turut terjadi penggantian Jaksa Agung. Pergantian
dari Marsilam Simanjuntak ke Baharuddin Lopa. Lopa hanya sempat menjabat
Jaksa Agung selama 1 (satu) bulan karena setelah itu meninggal dunia, kemudian
digantikan oleh H.M.A. Rachman. Adapun susunan organisasi dan tata kerja
Keluarnya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2010 yang
terdapat dalam pasal 5, susunan organisasi Kejaksaan122, terdiri dari:
Gambar 1. Struktur Organisasi Kejaksaan Republik Indonesia
B. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan
dalam penuntutan tindak pidana korupsi
Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan RI secara
normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan mengenai Kejaksaan
sebagaimana hendak dijelaskan dibawah ini.123
1. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatur secara implisit keberadaan
Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang berkait
dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo.Pasal
41 UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi
yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominuslitis, pengendali
122
Ibid. 123
proses perakara yang menetukan dapat tidaknya seorang dinyatakan
sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang
sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar
pelaksaan penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana.
2. Pasal 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa
yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan
penuntutan.124
3. Pasal 2 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
yang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik
dalam sitem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yang
melaksanakam kekuasaan negara di bidang penuntutan secara bebas dari
pengaruh kekuasaan pihak manapun.
4. Pasal 30 ayat 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap125, melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat126, putusan
124
Ibid., h.126, Dalam penjelasan pasal 30 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, dijelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dan penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidik yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjukguna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan, apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
125
Penjelasan Pasal 30 Ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 menjelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga tugas dan wewenang untuk mengedalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.
126
Dalam penjelasan Pasal 30 ayat 1 huruf c bahwa Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan „keputusan lepas bersyarat‟ adalah keputusan yang
pidana pengawasan dan keputusan pidana bersyarat, melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-undang,
dan melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan kepengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasi dengan penyidik
5. Pasal 33 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 mengatur bahwa dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan
kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan
negara atau instansi lainnya.127
Tumpang tindih kewenangan dalam hal siapa yang berwenang untuk
malakukan penuntutan terhadap tindak pidan korupsi muncul setelah
dikeluarkannya Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
tindak pidana korupsi128. Pasal 26 Undang-undang ini menyebutkan bahwa
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak
127
Penjelasan Pasal 33 menyatakan: adalah menjadi kewajiban bagi setiap abdan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui kordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerja sama anatara Kejaksaan dan instansi penegak hukum lainnya dimaksudkan untuk memperlancar upaya penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.
128
pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-undang ini.129
Secara gramatikal arti kalimat berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di
Indonesia secara umum. Hal tersebut berarti bahwa terhadap tindak pidana
korupsi, harus dilakukan penuntutan menurut pasal 137 sampai 144 KUHAP oleh
penuntut umum yaitu jaksa130. Bahwa selanjutnya terjadi tumpang tindih konsepsi
yang berhubungan dengan tugas dan kewenangan Kejaksaan disebabkan karena
beberapa faktor yaitu:
1. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP
menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan
129
Evi Harianti, op.cit., h.71-72, Kalimat “kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang
ini” di dalam Pasal 26 , dasar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah: (a) Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi. (b) Jika dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur seuatu kegiatan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perakara tindak pidana korupsi. (c) JIka di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang mengatur suatu kegiatan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penunututan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perakara tindak pidana korupsi, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP atau Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 sesuai dengan kompetensi absolutnya. Sebagai peraturan pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP, telah dikeluarkan PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
130
Kejaksaan dan sub-sistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian
dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.
2. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan
Undang-undangNo.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan
lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan
Kejaksaan tidak mandiri dan independen.
3. Pengurangan dan pembatasan kewenangan oleh Undang-undang, baik di
bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat
dilihat dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi berdasarkan Keppres No.266/M/2003 sebagai tindak lanjut
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan
Korupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalam rumusan Pasal 6 huruf c yaitu
KPK mempunyai tugas melakukan tindakan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Rumusan pasal ini jelas
bahwa KPK mempunyai kewenangan melakukan tindakan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi.
Namun, Undang-undang KPK tersebut memberikan kualifikasi terhadap
tindak pidana korupsi mana saja yang dapat ditangani oleh KPK. Sebagaimana
yang ditegaskan dalam pasal 11 Undang-Undang KPK bahwa dalam
melaksanakan tugasnya , KPK berwewenang untuk melakukan penuntutan
1. Yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.131
Kualifikasi mengandung arti bahwa apabila suatu tindak pidana korupsi
masuk dalam rumusan dari pasal tersebut, maka KPK yang berwenang untuk
melakukan tindakan penuntutan. Namun, dalam hal beberapa kasus korupsi di
Indonesia yang nilai kerugian negara ditafsir diatas satu miliyar rupiah serta
melibatkan penyelenggara negara dalam hal ini pemerintahan (sesuai dengan
kualifikasi pasal 11 Undang-Undang KPK), penuntutan dalam perkara korupsi
tersebut malah ditangani Kejaksaan, bukan KPK. Contohnya kasus yang
melibatkan Elly Lasut, Bupati Kepulauan Talaud Sulawesi Utara, dalam kasus
Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif senilai 7,7 Milyar rupiah132 serta
kasus Gerakan Daerah Orang Tua Asuh (GDOTA) senilai 1,5 Milyar rupiah.133
Perkara korupsi yang melibatkan penyelenggara negara tersebut tindakan
penuntutannya dilakukan oleh Kejaksaan bukan oleh KPK. Hal seperti ini yang
menimbulkan suatu ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum dalam hal siapa
sebenarnya yang berwenangn untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi.
131
Evi Hertati, op.cit.,h.70 132
Korupsi Dana Bencana Alam: Dua Pejabat Talaud Ditahan Kejaksaan, (http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=5689&l=korupsi-dana-bencana-alam-duapejabat-talaud-ditahan-kejaksaan, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.30 WIB)
133
Bersadarkan contoh kasus tersebut seharusnya ada pemisahan yang jelas
antara tugas dan wewenang KPK dan Kejaksaan dalam menangani tindak pidana
korupsi, secara khusus dalam hal penuntutan134. Jangan sampai terkesan bahwa
lembaga yang satu mengambil kewenangan lembaga lainnya. Hal tersebut
dimaksud agar adanya penjernihan fungsi yang bertujuan untuk menghilangkan
kekacauan dan tumpang tindih fungsi dan wewenang penunututan. Selain itu
dengan adanya spesifikasi yang jelas dalam wewenang untuk melakukan
penuntutan akan memberikan dan menjamin terwujudnya suatu kepastian hukum,
sehingga hasil yang didapat akan lebih efektif dan maksimal.
Kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi lebih diperluas dari dengan wewenang untuk mengambil alih penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini didasarkan pada tugas KPK sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 huruf b Undang-Undang KPK, yang berbunyi KPK
mempunyai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi135. Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas
supervisi tersebut, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau
penelaahan terhadap instansi yang mejalankan tugas dan wewenang yang
berkaitan dengan pemberatasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik.136
134
Sahuri Lasmadi, op.cit.,h.37, Mengapa masalah kewenangan yang perlu diperjelas, mengingat penegakan hukum pidana (perkara tindak korupsi) sangat berkaitan dengan Hak Azasi Manusia, jadi jika suatu lembagamempunyai kewenangan dalam hal penegakan hukumnya harus diatur secara limitatif, hal ini disebabkan bahwa dalam hukum pidana menganut Azas Legalitas.
135 Ibid. 136
KPK dalam melaksanakan wewenangnya, berwenang untuk mengambil
alih penuntutan137 terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan
oleh pihak Kejaksaan dengan alasan bahwa proses penanganan tindak pidana
korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang
dipertanggungjawabkan, penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan
dari eksekutif, yudikatif, dan legislatif, atau keadaan lain yang menurut
pertimbangan Kejaksaan penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan
secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.138
Undang-Undang KPK tidak memberikan defenisi tentang penuntutan,
dengan demikian maka pengertian penuntutan mengacu kepada KUHAP sebagai
hukum acara pidana yang bersifat umum. Undang-undang KPK tersebut hanya
mengatur kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan yang mana dilakukan
137
Romli Atmasasmita, Memahami Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b0a444f23252/UU%20KPK, diakses Tanggal 16 Maret 2015, pukul 03.15 WIB), Ketentuan Pasal 6 huruf b, dirinci lebih lanjut dalam Pasal 8 yang menegaskan di dalam menjalankan wewenang supervisi tersebut, KPK berwenang untuk mengambil alih penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan (Pasal 8 ayat (2). Konsep “unwilling” atau “unable” usulan pemerintah kemudian disepakati dan dirinci secara limitatif menjadi 6 (enam) alasan sebagai tercantum di dalam Pasal 9 UU KPK. Perlu digarisbawahi oleh para penegak hukum bahwa, ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 telah membatasi pengambilalihan pada wewenang penyidikan dan penuntutan saja, tidak termasuk pengambil alihan wewenang penyelidikan, dengan pertimbangan bahwa, ketika kepolisian atau kejaksaan sedang melakukan langkah penyelidikan atau penyidikan, KPK telah dibentuk, dan telah melaksanakan koordinasi dan supervisi dengan kedua instansi penegak hukum tersebut sehingga KPK terus mengikuti perkembangan penanganannya. Ketika KPK mengambil alih penanganan perkara korupsi tersebut, maka KPK cukup dapat mengambil sejak tahap penyidikan saja, tidak diperlukan melakukan pengambilalihan sejak penyelidikan. Namun demikian terhadap perkara korupsi yang terjadi sebelum terbentuknya KPK, di mana KPK belum dapat melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi terhadap Kepolisian atau Kejaksaan, maka sangat tepat jika KPK harus mengambil alih penanganan korupsi tersebut sejak tahap penyelidikan, dengan pertimbangan untuk memelihara kesinambungan penanganan perkara korupsi, memelihara kepastian hukum dan keadilan serta keseimbangan kepentingan antara pelaku dan korban kejahatan
138
oleh Penunutut Umum pada KPK. Penunutut Umum yang dimaksud adalah Jaksa
Penuntut Umum yang melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.139
Apabila ditinjau kembali maka pada kenyataanya berdasarkan rumusan
dalam Undang-undang timbul permasalahan dalam hal dualisme kewenangan
penuntutan antara Kejaksaan dan KPK terhadap penanganan perkara tindak
pidana korupsi. Kewenangan Kejaksaan dan KPK dalam melakukan penuntutan
dalam tindak pidana korupsi diberikan berdasarkan perintah Undang-undang
sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan RI, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bedanya kewenangan KPK untuk
melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi diatur lagi dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Apabila dilihat dalam rumusan KUHAP, maka yang berwenang untuk
melakukan penuntutan adalah jaksa yang bertindak sebagai penunutut umum.
KPK dan Kejaksaan sama-sama mempunyai jaksa yang bertindak sebagai
penuntut umum sebagaimana terdapat dalam Undang-undang Kejaksaan dan
Undang-undang KPK sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Bahwa dalam
KUHAP tidak menyebutkan secara eksplisit tentang jaksa di institusi mana yang
berwenang melakukan penuntutan.
Hal itu yang kemudian muncul pendapat140, menginginkan agar
kewenangan penuntutan sepenuhnya diberikan kepada Kejaksaan, dan
139
kewenangan penuntutan yang ada di KPK dikembalikan kepada Kejaksaan. Hal
tersebut dikarenakan kewenangan penunututan yang ada dalam diri KPK telah
menerobos dan mengesampingkan asas dominus litis, dimana Kejaksaan sebagai
pengendalian proses perkara, dan prinsip een on deelbaar141 yaitu kejaksaan satu
dan tidak terpisah-pisahkan. Undang-undang KPK dinilai didorong oleh semangat
memberantas korupsi yang terlalu menggebu-gebu. Semangat itu berakibat
ditabraknya beberapa asas hukum dan sistem hukum. Salah satunya Penuntut
Umum tidak tunduk pada Jaksa Agung.
Namun, sebenarnya perlu diketahui bahwa jaksa yang bertugas di KPK
adalah jaksa yang diambil dari Lembaga Kejaksaan yang dinonaktifkan sementara
dari tugasnya di lembaga Kejaksaana. Sehingga Jaksa yang berada di KPK itu
kemudian melakukan tugas penuntutan sama sekali tidak menyalahi ketentuan
yang diatur dalam KUHAP yang mengatur bahwa yang dapat bertindak sebagai
penuntut umum adalah Jaksa, dengan tidak menyebutkan nama lembaga yang
berwenang. Sehingga jaksa yang bertindak sebagai penuntut umum yang ada di
lembaga Kejaksaan dan KPK tetap berwenang melakukan penuntutan.142
140
Jaksa Agung: Tidak Masalah Kewenangan Penuntutan Dipegang Satu Lembaga (http://sp.beritasatu.com/home/jaksa-agung-tidak-masalah-kewenangan-penuntutan-dipegang-satu-lembaga/5205, diakses tanggal 16 Maret 2015 pada pukul 01.40 WIB), Jaksa Agung Basrief Arief berpendapat bahwa kewenangan penuntutan perkara korupsi dikembalikan lagi kelembaga Kejaksaan sebagai Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan ketentuan KUHAP. Secara universal di dunia, yang berwenang malakukan penuntutan adalah Kejaksaan dan Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Oleh karena itu jika semua penuntutan dari KPK nantinya diserahkan kepada kejaksaan tidak ada masalah.
141
Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
menyatakan, Kejaksaan adalah ”satu dan tidak terpisahkan”. Bagian penjelasan atas pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ”Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” adalah
satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini dikenal dengan prinsip een on deelbaar.
142
Selanjutnya, pendapat yang mengatakan bahwa jaksa yang ada di KPK telah
melanggar prinsip een on dellbaar sebagaimana yang juga diatur dalam Pasal 2
ayat (3) Undang-Undang Kejaksaan yang mengatakan bahwa Kejaksaan satu dan
tidak terpisahkan adalah keliru. Karena sesungguhnya maksud dari pasal ini
sebagaimana yang ada dalam penjelasan pasal tersebut ialah apabila dalam
melakukan penuntutan perkara korupsi di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan
terhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Karena tugas
penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap berlangsung dan dilakukan oleh Jaksa
pengganti. Jaksa yang berada di KPK sebagai bentuk kerja sama yang terjalin
antara Kejaksaan dan KPK, hal itu dapat dilihat dalam Pasal 33 Undang-undang
Kejaksaan yang mengatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak
hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya, dalam hal ini adalah
KPK.
Sebagian pihak beranggapan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh KPK
untuk melakukan penuntutan adalah tidak sah karena menimbulkan ketidakpastian
hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang
kemudian diusulkan untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang
KPK khususnya pasal 6 huruf c. Kepasitian hukum menuntut ketegasan
berlakunya suatu aturan hukum (lex cetra) yang mengikat secara tegas dan tidak
meragukan dalam pemberlakuaanya. Dikatakan bahwa pemberlakuan Pasal 6
huruf c Undang-Undang KPK menyebabkan munculnya pertentangan antara dua
undang-undang atau lebih yang berlaku atau mengikat pada saat yang sama , yaitu
Undang-Undang Kejaksaan dan Undang-Undang KPK.
Ketika ternyata lembaga legislatif memberikan kewenangan kepada KPK
untuk dapat melakukan penuntutan, isi Undang-undang itu sah dan tidak
bertentangan dengan Undang-Undang yang lain, sebab hubungan yang terjadi
(dengan Undang-undang lain) sebenarnya hanya lah pengkhususan karena situasi
dan tujuan khususnya. Bukan bertentangan karena hak itu memang harus
diberikan oleh Undang-undang. Akan menjadi tidak sah kalau itu tidak diberikan
oleh lembaga lain, bukan kepada KPK.143 Kalaupun itu dianggap bertentangan
dengan Undang-undang Kejaksaan maka masalahnya adalah legislative review
bukan judicial review.144
Pendapat yang beranggapan bahwa ketentuan itu dirasakan tidak
menjamin kepastian hukum, justru sebaiknya dapat dikatakan pula bahwa disana
ada kepastian hukum, karena secara khusus KPK diberikan kewenangan oleh
Undang-undang untuk melakukan itu. Harus diingat bahwa kedaulatan rakyat
yang harus dilakukan menurut UUD di sini sudah dipenuhi, yakni menurut UUD
hal seperti itu diatur oleh lembaga legislatif. Lembaga legislatif dapat menentukan
mana yang umum dan mana yang khusus. Harus diingat pual bahwa hak-hak asasi
yang dituangkan dalam semua isi Pasal 28 UUD 1945 dapat dilangkahi hanya
dengan ketentuan Undang-undang kalau ada alasan-alasan untuk menegakkan
143 Ni‟matul Huda, Sengketa Lembaga Negara
(MK dan KY), artikel dalam majalah keadilan, ed 1/XXII/2007. Sengketa yang trjadi ditubuh lembaga-lembaga negara menurutnya berasal diantaranya adalah dari keruwetan yuridis yang terdapat dalam kewenangan-kewenangan yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut.
144
hukum dan melindungi hak asasi orang lain. (lihat Pasal 28J ayat (2) UUD 1945),
dan ketentuan itu telah dipenuhi oleh Undang-undang KPK.145
Tabel 1. Perbedaan Keweanangan yang dimiliki oleh KPK dan Kejaksaan dalam memberantas Korupsi di Indonesia
No KPK Kejaksaan
1. Kewenangan yang dimiliki oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tidak hanya terkait
dengan KUHAP dan
Undang-melakukan terobosan diluar KUHAP
sesuai dengan ketentuan didalam
Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. Hal tersebut dikarenakan
bahwa Komisi Pemberantasan
Menyangkut masalah penyidikan,
Berdasarkan pasal 184 ayat (4)
KUHAP, Jaksa tetap diberi
wewenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana khusus
seperti tindak pidana korupsi,
Undang-undang Nomor 20 tahun
2001 tentang perubahan atas
Undang- undang Nomor 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dilengkapi dengan
Korupsi (KPK) adalah lembaga
Negara yang dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya besifat
independen dan bebes dari pengaruh
kekuasaan manapun, sehingga
acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagai
Kewenangan jaksa sebagai penyidik
berdasarkan Pasal 30 ayat (1) huruf
d Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan , sebagai
berikut : Melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang”
2. Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, memberi
kewenangan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
mengatasi perkara tindak pidana
1. Melibatkan aparat penegak
hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak
pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat
penegak hukum atau
penyelenggaranegara
2. Mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat
dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara
paling sedikit
Rp.1.000.000.00 (satu milyar
rupiah)
3 Korupsi (KPK) melakukan
pemeriksaan terdapat Pasal 46 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi yang berbunyi :
“Dalam hal seseorang ditetapkan
sebagai tersangka oleh Komisi
Jaksa melakukan pemeriksaan
terhadap pejabat negara dapat ditarik
dari Pasal 36 ayat 1 dan 2
Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang
Pemberatasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapkan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-udangan lain, tidak berlaku dalam
berdasarkan undang-undang ini”.
KPK dapat melakukan pemeriksaan
terhadap tersangka tanpa harus
meminta izin pemeriksaan terlebih
dahulu.
“Tindakan penyelidikan dan
penyidikan terhadap Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah
dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik. Dan apabila persetujuan tertulis tidak diberikan dalam waktu 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak
diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat
dilakukan.”
4 KPK dalam melaksanakan
wewenangnya, berwenang untuk
mengambil alih penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh pihak
Kejaksaan sebagaimana diatur dalam
berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap palaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian
atau kejaksaan”
Sementara Kejaksaan,
Undang-undang hanya memberikan
kewenangan untuk menajalin kerja
sama dengan badan pebegak hukum
dan keadilan serta badan negara atau
instamsi lain. Sebagaimana diatur
dalam pasal 33 Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 tentang
C. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan
Menurut Jaksa Agung Basrief Arief146, sekarang sudah dimulai satu
kebijakan yakni segala kasus perkara korupsi diserahkan kepada pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Baik dari Penunutut Umum maupun KPK, itu
semua bermuara kepada Pengadilan Tipikor. Jadi satu kebijakan sudah jelas yaitu
semua perkara korupsi diserahkan kepada Pengadilan Tipikor. Lalu kenapa tidak
di sisi lain yaitu kebijakan seluruh penunututan diserahkan kepada Kejaksaan. Hal
tersebut benar bahwa setelah dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, maka sudah seharusnya tidak ada dualisme hukum dalam sitem
peradilan pidana. Hal tersebut juga selaras dengan Keputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 terhadap judicial review147
diajukan oleh Mulyana W.Kusuma, dkk. Mahkamah Konstitusi dalam putusan
tersebut meminta pembuat Udang-Undang harus segera mungkin melakukan
penyelarasan undang KPK dengan UUD 1945 dan membentuk
Undang-undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi , sehingga dualisme sistem
pengadilan tindak pidana korupsi yang telah dinyatakan bertentangan dengan
UUD 1945 dapat dihilangkan.148 Namun, untuk lebih mengoptimalkan dan
mengefektifkan penanganan kasus korupsi akan lebih baik apabila ditangani
146
Suara Pembaharuan, Jaksa Agung: Tidak Masalah Kewenangan Penuntutan di Pegang satu Lembaga, (Sp.beritasatu.com/home/jaksa-agung-tidak-masalah-kewenangan-penuntutan-dipegang-satu-lembaga/5205, diakses Tanggal 19 Maret 2015, pada pukul 09.00 WIB
147
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: PT PajarInterpratama Mandiri,2006), h. 1-2, Judicial review adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma.
148
suatu lembaga mulai dari penyelidikan, penyidikan hingga sampai melakaukan
penuntutan dalam penanganan suatu kasus tindak pidana korupsi , dalam hal ini
ditangani oleh KPK.149 Hal ini juga akan semakin memperjelas maksud dari Pasal
53 Undang-undang KPK bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan
berwenang memeriksa dan memutuskan tindak pidana korupsi yang
penunututannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)150. Jadi ,
ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dipandang sebagai satu-satunya
pengadilan pidana korupsi, maka KPK sangat tepat bertidak sebagai satu-satunya
lembaga yang berwenang melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Kewenangan KPK yang dinilai sangat luas, temasuk dalam hal kewenagan
dibidang penuntutan tindak pidana korupsi, membuat DPR berencana merevisi
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Revisi Undang-undang tentang KPK yang menjasi inisiatif Komisi III tersebut
berada dalam urutan keempat dalam prioritas Perogram Legislasi Nasional
(Polegnas) 2011. Wakil ketua DPR dari Partai Golkar, Priyo Budi Santoso
menyebutkan kalau kewenagan KPK sebagai lembaga superbody terlalu kuat151.
Oleh karena itu dia berharap melalui revisi terhadap Undang-undang KPK, maka
nanti bisa mamangkas kewenangan tersebut. Pro kontra kemudian bermunculan
ketika Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan
tersebut dimana Antasari menyebut bahwa KPK bukan merupakan lembaga „super body‟, seperti
Tindak Pidana Korupsi pada tahun 2009 telah sepakat memangkas kewenangan
penuntut yang dimiliki oleh KPK.
Khusus pengkebirian kewenangan penuntut KPK ada sejumlah
pertimbangan dari aspek hukum, jelas usulan tersebut menyesatkan. Ada dua
pertimbangan hukum yang digunakan Panja152. Pertama, kewenangan Penuntutan
di KPK harus dialihkan hanya pada Kejaksaan , karena diatur di Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, tepatnya Pasal 1 butir (2) yaitu
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim. Dari pasal inilah
kemudian Panja berpendapat, bahwa hanya Kejaksaan yang dapat melakukan
penuntutan. Tentu saja analisis tersebut terlalu dangkal dan mengada-ada.
Perhatikan kata “yang di beri wewenang oleh Undang-undang ini”, secara a
contratio153, sesungguhnya dimungkinkan ada Undang-Undang lain yang juga
memberikan kewenangan penuntutan pada lembaga/pihak lain. Jadi, tidak
merupakan monopoli Kejaksaan. Disinilah Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK menjadi dasar hukum penting, bahwa boleh saja, KPK diberi
kewenangan penuntutan.154
Kedua, karena Undang-Undang Kejaksaan RI disahkan tahun 2004, maka
Undang-Undang KPK yang disahkan tahun 2002 harus dikesampingkan.
contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
154
Kesesatan berpikir hukum semakin terlihat disini. Karena asas “lex posterior
derogate legi priori” atau Undang-Undang yang baru mengesampingkan yang
lama. Asas ini hanya berlaku jika dua Undang-undang tersebut mengatur materi
yang sama. Misalnya, di tahun 1999 telah disahkan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian tahun 2001 dilakukan Revisi
maka yang berlaku materi perbaikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.155
Sedangkan untuk Undang-Undang KPK tentu saja analisis hukumnya
berbeda yaitu, seperti yang dikatakan Mahkamah Agung melalui
KMA/694/RHS/XII/2004 dan diatur tegas di Undang-Undang KPK, bahwa
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 bersifat khusus. Maka berlakulah asas
“lex specialis derogate legi generalis”. Artinya, Undang-undang yang bersifat
khusus mengenyampingkan Undang-undang yang bersifat Umum. Karena
Undang-Undang Kejaksaan RI yang mengatur secara umum keberadaan dan
kewenangan Jaksa, maka Undang-Undang Kejaksaan tersebut dan
dikesampingkan dengan Undag-undang KPK.156
Dari dua poin itu saja, bahwa pertimbangan hukum Panja sebenarnya terlalu
lemah sehingga yang menonjolkan justru kehendak mengebiri KPK atau
konklusi/kesimpulan mendahului analisis. Selain itu, analisis hukum lain yang
sangat penting untuk membantah sikap Panja yaitu:157
1. Adanya upaya pensiasatan melanggar konstitusi. Karena sejauh ini MK
pun bahkan sudah mengakui, kewenangan penuntutan KPK sah dan