• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA 2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara - Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara 1947-1950

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA 2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara - Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) di Sumatera Utara 1947-1950"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FUNGSI UANG DAN KEADAAN EKONOMI AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA

2.1 Sekilas Peranan Uang Dalam Masyarakat dan Negara

Kemajuan perekonomian dalam masyarakat mengantarkan pengenalan akan

uang sebagai alat tukar yang dapat diterima menjadi pengukur nilai dan sesuai dengan

barang yang akan dipertukarkan. Pada perekonomian tingkat awal yang sering

ditemukan pada masyarakat yang masih primitif, setiap individu harus berusaha

menghasilkan segala kebutuhan pribadi ataupun sebatas kebutuhan keluarga kecilnya.

Usaha untuk memproduksi sesuatu yang memuaskan bagi orang lain dapat dikatakan

belum ada pada tahapan ini sehingga keberadaan alat tukar masih belum dibutuhkan.

Namun, suatu kenyataan terutama karena faktor alam yang mengakibatkan

suatu jenis barang terdapat banyak pada suatu tempat, namun di tempat lain sangat

jarang ditemukan. Misalnya, di suatu daerah pantai yang ditemukan ikan dalam

jumlah yang besar, sedangkan di daerah pegunungan banyak ditemukan buah-buahan.

Di daerah lainnya, akibat kemampuan khusus dari anggota masyarakatnya ditemukan

periuk dalam jumlah besar, kemudian ada daerah lainnya juga yang banyak

ditemukan pacul. Keadaan yang menunjukkan tidak meratanya barang-barang itu

mengakibatkan munculnya pertukaran secara langsung. Artinya, orang yang

membutuhkan suatu jenis barang yang tidak ada di daerahnya berusaha untuk

(2)

tersebut dalam jumlah besar. Sebagai ganti dari nilai barang tersebut diberikanlah

barang-barang yang banyak terdapat di daerahnya dan yang disukai oleh si pemberi

barang pertama tadi. Sistem pertukaran ini sering kita kenal dengan istilah “barter”.13

Pertukaran barang secara lansung tersebut hanya bisa terjadi bilamana

kedapatan dua orang yang satu membutuhkan barang yang dijumpai oleh orang

kedua, sedangkan orang ini membutuhkan barang yang dijumpai pada orang pertama.

Pertukaran barang secara barter selanjutnya semakin sulit dijalankan bilamana

kebutuhan-kebutuhan sudah beranekaragam macamnya, sebab akan sulit kemudian

ditemukan pertukaran yang cocok dan saling membutuhkan dalam kondisi demikian.

Dengan demikian dapat dipahami, semakin meningkatnya berbagai macam

kebutuhan, maka dibutuhkan adanya suatu alat tukar untuk mempermudah melakukan

pertukaran tersebut. Alat tukar yang mempermudah pertukaran barang itu kemudian

disebut “uang”. Pada mulanya uang dibuat dari barang-barang yang disukai oleh

masyarakat, mungkin karena khasiatnya atau sebab yang lain.14

Uang sebagai alat tukar kemudian berkembang penggunaannya mulai dari

kegiatan pertukaran barang dalam satu kelompok, antar kelompok, hingga antar

negara. Demikian juga halnya dengan benda yang dipergunakan sebagai uang

semakin beranekaragam, mulai menggunakan logam berharga, hingga kertas.15

Seiring kemajuan ekonomi dunia yang semakin pesat sejak berlangsungnya revolusi

13

M. Manullang, Pengantar Teori Ekonomi Moneter, Djakarta: P.D. Aksara, 1969, hlm. 7. 14 Ibid

., hlm. 9. 15

(3)

industri di Inggris pada abad ke-18, menyebabkan perdagangan berkembang cepat.

Perkembangan perdangangan tersebut kemudian diikuti dengan permintaan uang

yang semakin tinggi sebagai alat tukar. Kebutuhan akan logam emas dan perak yang

pada masa itu berfungsi sebagai benda pembuat uang juga meningkat, namun

pemenuhan permintaan akan logam mulia tersebut berjalan lambat. Sulitnya logam

mulia sebagai bahan uang logam mengakibatkan semakin banyak negara-negara yang

menggantikan uang logam menjadi uang kertas sebagai alat tukar.16

Fungsi uang selanjutnya bukan hanya sebagai alat tukar namun juga sebagai

alat pengukur nilai dan penimbun kekayaan. Dengan keberadaan uang, masyarakat

dapat dengan mudah memenuhi kebutuhannya karena dapat menggunakan uang

sebagai alat pengukur nilai yang sepadan dengan barang yang dibutuhkan. Uang juga

mempermudah masyarakat dalam menimbun kekayaan yang dimiliki, sebab resiko

yang ditimbulkan lebih kecil dibanding meminjamkan kepada orang lain atau

menginvestasikannya.

Pada suatu negara, uang memiliki peranan penting dalam menjalankan

kegiatan kenegeraan dan proses pembangunan untuk kemakmuran masyarakatnya.

Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk

mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat.17 Untuk mengurusi

16

Kristaniarsi, Usaha Pemerintah Republik Indonesia Mengatasi Masalah Moneter Pada Masa Awal Kemerdekaan (1945-1946), Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 5.

17

(4)

hal tersebut, negara harus mengeluarkan uang sebagaimana kita ketahui bahwa negara

memiliki anggaran penerimaan dan pengeluaran.

Berbeda dengan anggaran rumah tangga (partikulir) yang harus melihat

dahulu berapa penerimaannya baru kemudian ditentukan berapa yang akan

dikeluarkan. Dalam anggaran penerimaan dan pengeluaran negara justru sebaliknya,

negara harus terlebih dahulu menentukan berapa yang akan menjadi pengeluaran agar

usaha yang akan dijalankan pemerintah dapat berjalan sesuai rencana. Setelah semua

hal tersebut dilaksanakan baru kemudian direncanakan berapa pemasukan dalam kas

negara sebagai penerimaannya, supaya penerimaan tersebut dapat menutupi

biaya-biaya pengeluaran pemerintah.18

Dalam perekonomian modern, pada suatu pemerintahan yang struktur

pemerintahannya sudah tertata baik, penguasa negara menetapkan lembaga-lembaga

yang mempunyai wewenang dalam hal pencetakan uang. Hal ini terjadi tidak lain

karena keberadaan uang dianggap mewakili keberadaan negara, sehingga sangatlah

wajar apabila ditetapkan lembaga atas nama negara atau pemerintahan yang

berwenang dalam hal penciptaan uang. Pada umumnya, lembaga ini dikenal sebagai

otoritas moneter atau bank sentral.

Banyak negara saat ini umumnya mempunyai mata uang yang terbuat dari

kertas. Dapat dikatakan juga, uang kertaslah yang lebih banyak dalam peredaran

dibandingkan dengan mata uang lainnya. Hal ini disebabkan karena ongkos

pembuatan uang kertas lebih murah dibanding mata uang logam, selain itu juga

18

(5)

disebabkan kemudahan dalam memperoleh kertas serta membawa ketas dari satu

tempat ke tempat lainnya. Nilai intrinsik pada mata uang kertas selalu lebih rendah

dari nilai nominalnya, sesungguhnya mengapa masyarakat mau menerima mata uang

kertas ini sebagai alat tukar terletak pada kekuasaan yang dimiliki pemerintah.

Masyarakat dapat menerima uang kertas sebagai alat tukar sebab masyarakat percaya

pada pemerintah yang memiliki otoritas dalam hal alat tukar. Karena atas dasar

kepercayaan inilah sehingga ada yang mengatakan bahwa uang kertas sebagai “uang

kepercayaan”.19

Sebagai alat tukar dan “uang kepercayaaan”, tentu pencetakan uang kertas

harus disesuaikan dengan jumlah kebutuhan yang ada. Semakin besar jumlah uang

yang dicetak akan menimbulkan inflasi20 yang berujung pada penurunan kepercayaan

masyarakat akan nilai uang tersebut, dan demikian sebaliknya. Untuk menjaga jumlah

uang yang beredar sesuai dengan kebutuhan demi mencegah terjadinya inflasi dan

fluktuasi harga, pemerintah kemudian melakukan langkah-langkah moneter dan

kebijakan melalaui bank sentral.

2.2 Kondisi Keuangan dan Ekonomi Indonesia Awal kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi

langkah baru bagi bangsa ini untuk memulai kehidupan berbangsa dan bernegara

19

M. Manullang, op.cit., hlm. 25-26. 20

(6)

yang merdeka. Kemerdekaan yang baru saja diperoleh bangsa ini ternyata harus

menerima kenyataan pahit akibat kondisi ekonomi pada awal periode ini begitu

buruk, baik secara makro maupun mikro sebagai peninggalan penjajah. Hancurnya

sebagian besar aparat produksi, distribusi, dan jaringan perdagangan internasional

setelah pendudukan Jepang, mengakibatkan kesulitan-kesulitan yang mendalam di

awal periode kemerdekaan.

Kekacauan ekonomi, khususnya masalah keuangan yang telah berlangsung

dari masa perang dunia ke II, semakin parah pada masa pendudukan Jepang dan terus

berlanjut hingga masa awal kemerdekaan Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang,

sistem ekonomi perang yang diterapkan Jepang di Indonesia membutuhkan dana yang

tidak sedikit untuk membiayai kegiatan perang di Asia Pasifik. Sebagai upaya

menutupi devisit anggaran pengeluaran, Pemerintah Militer Jepang kemudian

mengeluarkan uang kertas militer di Indonesia.21 Namun pengeluaran uang ini

ternyata tidak berdasarkan pada jaminan logam mulia dan yang paling

memprihatinkan, pengeluaran uang Jepang tidak diimbangi dengan banyaknya

persediaan barang yang diperdagangkan.22 Pada waktu uang kertas militer tersebut

dikeluarkan, mata uang yang berlaku di Indonesia terdiri dari uang De Javasche Bank

(DJB), Uang kertas Pemerintahan Belanda (muntbilyet), serta uang logam yang di

21

Selama 3 tahun pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang telah mengeluarkan tiga jenis mata uang yaitu, Japansche Regeering (menggunakan bahasa Belanda dan Gulden sebagai satuan uang) , Dai Nippon Teikoku Seihu (menggunakan Bahasa Indonesia dan Rupiah sebagai satuan uang), dan uang Pemerintah Dai Nippon. Lihat Bank Indonesia, Pameran Koleksi Uang Bank Indonesia, Museum Artha Suaka. Jakarta pusat: Tanpa penerbit dan tahun terbit, hlm. 20.

22

(7)

keluarkan oleh De Javasche Bank.23 Uang militer Jepang kemudian membanjiri

Indonesia dan mendorong meningkatnya inflasi terutama sejak tahun 1943 hingga

1945. Pada pertengahan tahun 1945 mata uang invasi Jepang bernilai sekitar 2,5%

dari nilai nominalnya.24

Inflasi besar di wilayah Indonesia terbukti dengan perbandingan angka antara

jumlah uang yang beredar dengan jumlah produksi makanan yang terus menurun.

Penurunan produksi makanan itu dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi perang

yang mulai terjadi di wilayah indonesia memasuki tahun 1940. Produksi makanan

semakin menurun pada masa pendudukan Jepang, banyak masyarakat direkrut dalam

kepentingan perang dan mengesampingkan masalah pertanian. Jumlah penurunan

produksi makanan di Jawa sejak tahun 1941 sampai 1944 dapat dilihat melalui angka

penurunan produksi makanan Pulau Jawa di bawah ini:

(Jumlah dalam kwintal, 1kwintal=100 kilogram)25

Jumlah produksi makanan di Pulau Jawa tentu membuat keberadaan bahan

makanan sangat terbatas keberadaannya di tengah masyarakat. Terbatasnya jumlah

(8)

kebutuhan yang diinginkan mengakibatkan harga kebutuhan tersebut meningkat di

Pulau Jawa, keadaan itu semakin parah ketika jumlah uang yang beredar sangat

banyak dan memperparah penurunan nilai uang tersebut. Di daerah Jawa, peredaran

uang kertas militer hingga bulan Juli 1943 bertambah sekitar kurang dari 5 juta

Rupiah setiap bulan, pada akhir tahun 1944 bertambah sekitar 50 juta Rupiah setiap

bulan. Pada bulan Maret 1945, jumlah peredaran uang militer Jepang menembus 80

juta Rupiah, dalam bulan Mei bertambah menjadi 117 juta Rupiah, hingga pada bulan

Agustus mencapai 369 juta Rupiah. Jika diperhatikan peredaran uang militer ini

dibandingkan dengan jumlah produksi pangan di Jawa yang terus menurun sejak

tahun 1941 hingga 1944, tentu saja dapat terlihat betapa rendahnya nilai mata uang

tersebut di dalam proses perdagangan.

Keadaaan perekonomian dan keuangan yang sangat kacau kemudian

diperparah lagi dengan kedatangan tentara Sekutu bersama tentara NICA

(Nederlands-Indische Civiele Administratie) pada tanggal 4 Oktober 1945 di Tanjung

Priok, dan pendaratan berikutnya di beberapa daerah pada bulan September 1945.

Kedatangan pasukan ini bertujuan untuk menerima penyerahan pemerintahan dari

Jepang atas wilayah Indonesia. Pendaratan tentara Sekutu ini diikuti dengan

(9)

mengakibatkan wilayah Indonesia secara de facto terbagi atas wilayah Republik

Indonesia dan wilayah pendudukan Belanda.26

Melalui Bank-bank yang berhasil dikuasai tersebut, NICA kemudian

mengedarkan uang cadangan masa pendudukan Jepang di daerah-daerah yang mereka

kuasai dan memicu membengkaknya peredaran uang di Indonesia. Uang Jepang yang

berhasil dikuasai NICA sebesar 2 miliar Rupiah, dengan jumlah itu mereka mencoba

merusak harga pasar dan membayar harga barang jauh lebih tinggi.27 Kedatangan

tentara NICA bukan hanya menghambur-hamburkan uang cadangan masa

pendudukan Jepang, namun juga mengacaukan perekonomian Indonesia dengan

mengeluarkan uang NICA28 yang sebelumnya telah dipersiapkan sebelum memasuki

wilayah Indonesia. Pengeluaran uang NICA terdiri atas 9 pecahan, mulai dari

Terbaginya wilayah tersebut mengakibatkan wilayah kekuasaan Republik Indonesia hanya meliputi wilayah Pulau Jawa, Madura serta Pulau Sumatera. Dalam perjalalanan selanjutnya Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook mengusulkan mengenai kemungkinan penerapan sistem federal di Indonesia dimana Indonesia pada gilirannya akan dibagi atas empat negara bagian yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur, atau hanya tiga jika Sumatera diakui sebagai bagian dari Republik. Lihat Ba’im, Terbentuk dan Runtuhnya Negara RIS 1945-1950, Tesis Universitas Indonesia: Jakarta, 1996, hlm. 29-30.

27

Departemen Penerangan RI, 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid II, Jakarta, 1968, hlm. 662. 28

Uang NICA disebut juga dengan “uang merah”, hal ini didasarkan pada warna kemerah-merahan yang terdapat pada pecahan f. 10 uang NICA yang banyak beredar masa itu. Lihat Oey Beng To, op.cit., hlm. 18.

(10)

Keadaan ekonomi semakin merosot seiring dengan peredaran berbagai jenis

mata uang di Indonesia. Di lain sisi, pemerintah Indonesia tidak bisa menyatakan

bahwa uang masa pendudukan Jepang tidak berlaku karena pada awal tahun 1945

negara Indonesia belum memiliki uang yang sah sebagai penggantinya. Untuk

mengatasi peredaran berbagai jenis mata uang dan mengurangi dampak inflasi, maka

pada tanggal 3 Oktober 1945 pemerintah mengeluarakan kebijakan melalui

departemen keuangan tentang macam uang yang berlaku di Indonesia, terdiri dari:

”A. uang kertas

1. Dari “De Javasche Bank” dikeluarkan tahun 1925 sampai dengan tahun 1941 terdiri dari 8 macm yaitu:

f. 1.000-, f. 500-, f. 200-, f. 100-, f. 50-, f. 25-, f. 10-, f. 5-.

2. Dari pemerintah Belanda dahulu, yang dikeluarkan pada tahun 1940 dan 1941 terdiri dari dua macam, yaitu:

f. 250-, dan f. 1-.

3. Dari Pemerintah Balatentara Dai Nippon dan Djawa dahulu, terdiri dari 8 macam, yaitu:

f. 100-. f. 10-, f. 5-. f. 1-, f. 0,50-, f. 0,10-, f. 0,05-, dan f. 0,01-.

B. Uang logam

Yang dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu sebelum tahun 1942:

1. Dari emas seharga f. 10-, dan f. 5-.

2. Dari perak seharga f. 2,50-, f. 1-, f. 0,50-, f. 0,25-, dan f. 0,10-. 3. Dari nikel seharga f. 0,05-.

(11)

Macam uang yang dianggap sah didaerah Republik di luar Jawa akan ditetapkan dengan undang-undang lain.”30

Pengeluaran maklumat pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 sebelumnya

didahului dengan keluarnya maklumat tanggal 2 Oktober 1945 yang menyatakan

bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak mengakui uang NICA sebagai uang yang

sah. Peredaran dan penggunaan uang NICA di wilayah yang dikuasai pemerintah

Republik Indonesia kemudian dapat ditekan walau tak bisa dihentikan seluruhnya. Di

daerah yang dikuasai pemerintah Republik Indonesia, peredaran uang NICA memang

dapat dihentikan, namun di daerah yang telah diduduki tentara NICA penggunaan

uang NICA sebagai uang yang sah terus berlanjut, terutama akibat tekanan-tekanan

yang dilakukan tentara sekutu dan NICA yang menyatakan uang NICA adalah uang

yang sah di kalangan masyarakat.

2.2 Upaya Pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI)

Peredaran berbagai jenis mata uang yang memicu inflasi besar-besaran di

Indonesia juga secara langsung telah mempengaruhi kas Negara Republik Indonesia

dimana pada masa awal kemerdekaan berasal dari Fonds Kemerdekaan Indonesia

(FKI).31 Pemerintah Republik kemudian memiliki dua jalan terbuka dalam mengatasi

siasat licik NICA yang telah mengacaukan perekonomian Indonesia. Adapun jalan

pertama dengan mengintensifkan aparat pemungutan pajak dan jalan kedua adalah

30

Departemen Penerangan RI, op.cit., hlm. 660-661. 31

(12)

mencetak uang. Pengintensifan aparat pemungutan pajak di masa awal tahun

kemerdekaan begitu sulit terlaksana akibat kondisi keamanan yang tidak terjamin,

ditambah hubungan kantor-kantor perpajakan di setiap daerah juga terhalang akibat

pendudukan Sekutu.

Upaya pencetakan uang kemudian menjadi perhatian serius bagi pemerintah

untuk menghadapi kekacauan ekonomi. Penjejakan tentang kemungkinan pencetakan

uang akhirnya terjadi dalam pertemuan di kementrian keuangan (Lapangan Banteng)

pada tanggal 24 Oktober 1945. Usaha ke arah pelaksanaan pencetakan uang

selanjutnya segera dilaksanakan oleh Menteri Keuangan yang pada masa itu dijabat

oleh Mr. A.A. Maramis. Sebuah tim kemudian dibentuk yang anggotanya berasal

dari serikat buruh percetakan G. kolff di Jakarta dan juga wakil buruh dari Surabaya.

Tim ini kemudian ditugaskan melakukan peninjauan beberapa percetakan di daerah

Surabaya, Malang, Solo, dan Yogyakarta yang dapat dipercaya dalam pelaksanaan

pencetakan uang.32

Pada tanggal 7 November 1945, Menteri Keuangan A.A. Maramis

membentuk Panitia Penyelenggara Percetakan Uang R.I. yang bertugas untuk

melaksanakan, mengawasi, dan mengamankan proses dan hasil pencetakan uang.

Adapun susunan kepanitiaan ini terdiri dari Ir. R.P. Soerachman sebagai pengawas,

dan T.R.B Sabarudin sebagai ketua panitia, keduanya berasal dari pegawai Kantor

Besar Bank Rakyat Indonesia. Anggota-anggotanya yaitu, H.A. Padelaki (Kementrian

32

(13)

Keuangan), M. Tabrani (Kementian Penerangan), M. Sugiono (Kantor Besar Bank

Rakyat Indonesia), E. Koesnadi (Kas Negara Indonesia), R. Abubakar Winangun

(Kementrian Keuangan), Osman (Pimpinan Serikat Buruh Percetakan Jakarta), Agoes

Soeryatama (Buruh percetakan Jakarta).33

Pada awalnya, Kota Surabaya direncanakan menjadi tempat pencetakan uang

RI berdasarkan hasil penelitian tim awal yang telah dibentuk Mentri Keuangan.

Persiapan kemudian dilaksanakan, bahkan pada tanggal 17 Oktober 1945, Menteri

Keuangan telah membubuhkan tanda tangan pada bahan pencetak uang. Pada awal

bulan November 1945 Panitia Pencetakan Uang RI telah menyiapkan klise yang

dibutuhkan dan direncanakan uang baru akan dikeluarkan pada bulan Januari 1946.

Namun semua persiapan yang telah direncanakan harus dibatalkan akibat

pertempuran besar yang terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.

Pertempuran yang terjadi di Kota Surabaya mengakibatkan rencana proses

pencetakan Uang Republik Indonesia tertunda. Surabaya tidak mungkin lagi

dijadikan sebagai tempat pencetakan uang, selanjutnya pilihan jatuh ke Kota Jakarta.

Di kota ini bahan-bahan yang diperlukan untuk pencetakan uang diperoleh dari

berbagai pabrik melalui bantuan para karyawan yang membantu secara sukarela.

Selain itu, ada juga yang diperoleh dengan cara mencuri pada malam hari seperti

33

(14)

mesin aduk pembuat tinta yang diambil dari Pabrik Pieter Choen, dan kertas yang di

ambil dari Percetakan Kolff & Co.34

Upaya pembuatan desain dan bahan-bahan induk berupa negatif-negatif kaca

dilakukan di Percetakan Balai Pustaka serta pembuatan lithoghrafi dilakukan di

Percetakan De Unie.35 Pencetakan Uang Republik Indonesia baru kemudian dimulai

pada bulan Januari 1946 di Percetakan RI Salemba dengan cetakan pertama pecahan

100 Rupiah. Adapun uang yang direncanakan akan dicetak adalah dengan nilai 100

Rupiah, 10 Rupiah, 5 Rupiah, 1 Rupiah, ½ Rupiah, 10 sen, 5 sen, dan 1 sen.

Pada awal Desember 1945 semua kegiatan pencetakan uang Republik harus

dihentikan akibat kondisi Kota Jakarta yang tidak kondusif setelah aksi-aksi profokasi

yang dilakukan tentera NICA. Semua uang hasil cetakan yang belum diberi nomor

seri dan segala alat percetakannya dipindahkan ke Yogyakarta dengan menggunakan

kereta api. Pemindahan tersebut berlangsung secara tiba-tiba agar tidak diketahui oleh

tentera Sekutu. Sesampainya di Yogyakarta, uang hasil cetakan Jakarta yang terdiri

atas pecahan 100 Rupiah, 10 Rupiah dan 5 Rupiah diserahkan pada satu bagian

Kementrian Keuangan di Jalan Malioboro. Adapun sisa uang pecahan yang

direncanakan akan dicetak sebelumnya di Jakarta, belum sempat dilaksanakan akibat

kondisi yang tidak memungkinkan. Pada tanggal 3 Januari 1946 Ibukota

34

Upaya dalam memperoleh bahan-bahan yang diperlukan dalam mencetak uang dilakukan dengan cara mencuri karena pabrik-pabrik yang memiliki bahan keperluan pencetakan uang tersebut merupakan pabrik milik Belanda. Pabrik-pabrik tersebut telah dikuasai pasukan Sekutu sejak bulan Oktober 1945.

35

(15)

Pemerintahan Republik Indonesia juga turut dipindahkan ke Yogyakarta akibat

kondisi kota Jakarta yang semakin tidak aman.

Pencetakan uang Republik Indonesia kemudian dilanjutkan di Yogyakarta

dengan mengandalkan Percetakan Canisius dan Percetakan Kolff Yogyakarta.

Percetakan Canisius kemudian bertugas melanjutkan pencetakan ORI pecahan 1

Rupiah, 10 sen, 5 sen, 1 sen, dan penyelesaian uang hasil percetakan RI Jakarta yang

belum bernomor seri. Sedangkan di percetakan Kolff Yogyakarta dilakukan

pencetakan ORI pecahan 100 Rupiah dibawah pimpinan Marsidi. Pencetakan ORI

juga dilakukan di Percetakan Gading Surakarta di bawah pimpinan Soedarbo dan

Soekijo.36

Akibat keadaan yang semakin genting, pencetakan ORI juga dilaksanakan di

percetakan NIMEF (Nederlands-indische Metaalwaren en Emballage Fabriken)

Kedalpayak, Malang. Percetakan ORI di daerah ini mendapat bantuan kertas dari

Serikat Buruh Kertas Padalarang yang dipimpin Amat Sumadisastra. Kertas ini

diperoleh dari Pabrik Kertas Leces di Probolinggo sebelum pabrik tersebut dikuasai

tentera Sekutu. Bahan-bahan kimia untuk mencetak uang kemudian didatangkan dari

Jakarta, selain itu juga ada yang diperoleh dari dr. Mustafa Zakir yang bekerja

sebagai dokter perusahaan gula di Kediri dan dari beberapa pabrik gula di Jawa

Timur. Dalam segala kesulitan terkait pencetakan Uang Republik Indonesia, hal-hal

yang berkaitan tentang rencana pengeluaran uang tersebut sangat dirahasiakan agar

tidak diketahui tentara NICA yang siap menggagalkan upaya pencetakan ORI.

36

(16)

Demikian juga halnya kepada masyarakat, hal-hal yang berkaitan dengan rencana

pengeluaran uang juga dirahasiakan agar tidak terjadi kegaduhan ekonomi akibat

kebingungan masyarakat dengan munculnya jenis uang baru.

Sebelum ORI diedarkan di masyarakat, pemerintah harus menarik semua uang

Jepang dan uang Belanda dari peredaran, namun penarikan berbagai jenis uang yang

beredar tidak dapat dilakukan secara tiba-tiba dan dengan menyatakan uang tersebut

tidak berlaku lagi, hal ini guna menghindari kerugian besar yang akan dialami

masyarakat jika kebijakan demikian dilaksanakan. Untuk itu, sebagai kebijakan

pertama dari pemerintah, pada tanggal 9 Mei 1946 Presiden Soekarno mengeluarkan

Undang-undang No. 4 Tahun 1946 tentang Pinjaman Nasional. Dalam kebijakan ini

diharapkan masyarakat mau meminjamkan uang kepada pemerintahan negara yang

diakuinya dengan sukarela dan tanpa paksaan, pinjaman ini akan dibayarkan kembali

kepada masyarakat selambat-lambatnya 40 tahun dengan bunga uang 4% per tahun.37

Jumlah pinjaman uang yang diperoleh dari kebijakan Pinjaman Nasional ini

berkisar 1 miliar Rupiah, dimana pinjaman pertama dilaksanakan di Pulau Jawa dan

Madura sebesar 500 juta Rupiah, dan tahap berikutnya di Pulau Sumatera. Uang hasil

pinjaman tersebut akan dipergunakan untuk menutupi anggaran belanja pemerintah

pada bulan Juni dan Juli 1946, serta menjadi modal dasar pendirian Pusat Bank

Nasional Indonesia yang kemudian berdiri pada tanggal 19 September 1946 dan

direncanakan menjadi bank sirkulasi Negara Republik Indonesia. Bank ini baru

kemudian resmi dibuka pada tanggal 17 Agustus 1946 melalui peraturan pemerintah

37

(17)

pengganti undang-undang No. 2 tanggal 5 Juli 1946 dengan nama Bank Negara

Indonesia (BNI). BNI kemudian bersama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI)

menjadi ujung tombak penjualan obligasi dalam rangka kebijakan Pinjaman Nasional

di setiap daerah. Kebijakan Pinjaman Nasional ini mendapat sambutan hangat dari

masyarakat, terbukti setelah kebijakan ini dibuka tanggal 15 Mei 1945 dan ditutup

pada 15 Juni 1946, dari dana yang dibutuhkan pada tahap I sebesar 500 juta Rupiah,

telah diperoleh sebesar 70 % dari yang dibutuhkan.38

Langkah selanjutnya, untuk mengurangi jumlah uang yang masih banyak

beredar, pemerintah kemudian mengeluarkan maklumat kementrian No. 11 tahun

1946 pada tanggal 12 April 1946. Peraturan itu kemudian dipertegas dengan

ditetapkannya undang-undang No. 10 tahun 1946 oleh Presiden Soekarno. Dalam

peraturan tersebut menekankan pembatasan pengiriman uang lewat pos atau bank

lebih dari f. 1.000,- per hari. Dengan kebijakan ini pemerintah berharap adanya

penekanan serbuan uang dari daerah yang dikuasai tentara NICA ke daerah

kekuasaan Republik.

Sebagai tahap akhir dari persiapan pengeluaran ORI, pada tanggal 5 juli 1946

Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang No. 3 tahun 1946 tentang kewajiban menyimpan uang dalam bank.39

Peraturan ini membatasi penggunaan uang di masyarakat yaitu untuk satu kelurga

diperkenankan memiliki uang paling banyak f. 3000, bagi orang yang hidup sendiri

38

Ibid,. hlm. 76. 39

(18)

(tidak dalam keluarga) diperkenankan memiliki uang paling banyak f. 1000,- Jika

masyarakat memiliki uang yang lebih dari yang ditetapkan, dianjurkan untuk

menyimpan uangnya pada bank-bank yang telah disediakan pemerintah.40 Sementara,

untuk perusahaan-perusahaan diadakan peraturan-peraturan tersendiri.

Dalam upaya untuk menggiatkan masyarakat dalam menyimpan uang dalam

bank dan persiapan menyambut peredaran ORI, pada tanggal 1 Oktober 1946

Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengeluarkan undang-undang No. 17

tahun 1946 untuk meyakinkan masyarakat bahwa uang Republik Indonesia akan

segera dikeluarkan.41 Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1946, pemerintah kembali

mengeluarkan Undang-Undang no. 19 tahun 1946. Di dalam undang-undang ini

pemerintah kemudian mentapkan dasar nilai dan dasar penukaran ORI terhadap uang

pendudukan Jepang. Sebagai dasar nilai ORI ditentukan 10 Rupiah ORI sama dengan

5 gram emas murni. Untuk dasar penukaran ORI, di daerah Jawa ditentukan 1 Rupiah

ORI sama dengan 50 Rupiah uang Jepang, sedangkan untuk daerah di luar Pulau

Jawa dan Madura ditetapkan 1 rupiah ORI sama dengan 100 Rupiah uang Jepang.42

Penukaran uang Jepang dan ORI hanya dilakukan melalui perantara bank dan untuk

sementara, uang yang dapat ditukar dengan ORI adalah uang Jepang yang telah

disimpan di dalam Bank.

40

Adapun bank yang ditunjuk sebagai penerima simpanan berdasarkan kewajiban menurut peraturan tersebut adalah: Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, Kantor Tabungan Pos, dan bank-bank lain yang mendapat izin dari Menteri Keuangan. Lihat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 1946.

41

Sekretariat Negara Republik Indonesia No. 343. (ARNAS) 42

(19)

Langkah peresmian berlakunya ORI kemudian ditandai dengan

dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan No. Ss/1/35 tanggal 29 Oktober 1946

tentang saat berlakunya ORI sebagai alat pembayaran yang sah, yaitu pada tanggal 30

Oktober 1946 tepat pukul 24.00. Selanjutnya mulai jam yang telah ditentukan, maka

uang Hindia Belanda dan Uang pendudukan Jepang dinyatakan tidak berlaku lagi.43

Sebelum ORI diedarkan, timbul permasalahan tentang jaminan uang yang akan

diedarkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta pada waktu itu berpendapat bahwa

uang yang baru diedarkan tersebut tidak perlu dikeluarkan oleh suatu bank tetapi oleh

pemerintah sendiri dengan dasar A-metalisme.44 Dalam hal ini kepercayaan rakyat

kepada pemerintahnya adalah dasar terpenting keabsahan uang tersebut. Melalui RRI

(Radio Republik Indonesia) Yogyakarta, wakil presiden Moh. Hatta kemudian

menyampaikan pidatonya menyongsong keluarnya ORI pada tanggal 29 Oktober

1946, adapun bunyi pidatonya yaitu:

“Besok mulai tanggal 30 Oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita! Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok mulai beredar Uang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak berlaku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu, ikut pula tidak laku uang De Javasche Bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia . Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita…”45

43

Team Penyusun Sejarah Percetakan Uang RI, op.cit., hlm. 30. 44

Tim Penyusun Penerbitan Naskah Sumber, op.cit., hlm. 3. 45

(20)

Dalam pencetakan selanjutnya, ORI diterbitkan lima emisi, ORI emisi

pertama bertuliskan “Djakarta 17 Oktober 1945” ditandatangani oleh A.A. Maramis,

dalam 8 pecahan yaitu 1 sen, 5 sen, ½ Rupiah, 5 Rupiah, 10 Rupiah, dan 100 Rupiah.

Emisi kedua bertuliskan “Djokjakarta 1 Januari 1947” ditandatangani oleh Mr.

Sjafruddin Prawiranegara dalam 4 pecahan yaitu 5 Rupiah, 10 Rupiah, 25 Rupiah,

dan 100 Rupiah. Emisi ketiga bertuliskan “Djokjakarta 26 Djuli 1947” ditandatangi

oleh A.A. Maramis dalam pecahan ½ Rupiah, 2 ½ Rupiah, 25 Rupiah, 50 Rupiah,

100 Rupiah, dan 250 Rupiah. ORI Emisi keempat diterbitkan dengan bertuliskan

“Djogjakarta 23 Agustus 1948” ditandatangani oleh Drs. Moh. Hatta dalam pecahan

yang unik yaitu 40 Rupiah, 75 Rupiah,100 Rupiah, dan 400 Rupiah, sedangkan

pecahan 600 Rupiah yang disiapkan belum sempat diedarkan. Emisi kelima

bertuliskan “Djogjakarta 17 Agustus 1949” ditandatangani oleh Mr. Loekman Hakim

dan merupakan Rupiah baru dalam pecahan 10 sen baru, ½ Rupiah baru, dan 100

Rupiah baru.46

Setelah beredar di Jawa dan Madura, peredaran ORI di Pulau Sumatera tidak

sertamerta dapat terlaksana dengan baik. Belanda telah melakukan blokade ekonomi

dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Pulau Sumatera. Pengiriman ORI

yang direncanakan dilaksanakan lewat jalur laut pun terkendala keamanan sehingga

pengiriman uang ke wilayah Pulau Sumatera harus ditunda untuk sementara waktu.

Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan bahwa untuk daerah di luar

46

(21)

Pulau Jawa dan Pulau Madura, untuk sementara waktu tetap menggunakan uang

Jepang. Namun seiring berjalannya waktu pengiriman ORI ke Pulau Sumatera tidak

dapat terealisasikan. Agresi militer Belanda I pada tahun 1947 justru mempersulit

keadaan dan tidak memungkinkan lagi untuk pelaksanaan pengiriman ORI. Di lain

sisi, kebutuhan keuangan di Sumatera terus meningkat seiring dengan upaya

mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Sumatera serta untuk kebutuhan

Referensi

Dokumen terkait

Kwarteng, leading the training explained that a previous study conducted at Anlo beach in the early part of the project year 2 on the topic “Energy Expenditure Budget for the

Pada perlakuan P3= konsentrat + daun singkong + kol menunjukkan pengaruh pakan dengan pakan sayuran, daun singkong dan kol terhadap daya tetas lebih baik dari pada perlakuan P0, P1

81 A tahun 2013 lampiran IV, dijelaskan bahwa proses pembelajaran dikembangkan atas prinsip pembelajaran siswa aktif melalui kegiatan mengamati (melihat,

awareness terhadap wisata Jendela Alam. Keuntungan merchandise berbayar dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendapatan bagi perusahaan. 4) Family member card adalah

• Decision of the Minister of Social Affairs number: 4/HUK/2018 dated 2 January 2018 on Stipulation of the Revised Number of Family Beneficiaries and the Disbursement Stages for

Pekerja merupakan salah satu agregat di dalam keperawatan komunitas yang sangat perlu diberikan perhatian akan masalah kesehatan yang dapat terjadi di

Dalam permasalahan di atas, maka perumusan masalah yang diambil dalam penelitian : bagaimana tanggapan konsumen terhadap citra merk, Bagaimana tingkat keputusan konsumen

Beberapa rekomendasi diantaranya adalah bahwa parameter keselamatan harus di tampilkan di ruang kendali utama, untuk mengevaluasi kondisi selama reaktor beropersi