• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perekonomian dan negara mempunyai hubungan yang tidak bisa

dipisahkan. Kemajuan dan perkembangan suatu negara harus di awali dengan

perekonomian negara yang kuat. Dengan adanya perekonomian negara yang kuat,

maka negara dapat meningkatkan infrastruktur untuk memenuhi dan

meningkatkan keperluan negara lainnya.

Charles E.Mueller mengemukakan pula tiga pendekatan yang bisa diambil

oleh negara-negara :1

1. Bisa memakai pendekatan “laissez-faire” (secara harifiah berarti “biarkan sendiri”) yang sama sekali mengharamkan campur tangan pemerintah dalam

industri.

2. Negara-negara juga bisa memakai pendekatan “public supervision” yang ditandai oleh penguasaan negara atas industri-industri yang penting.

3. Negara-negara juga bisa menggunakan pendekatan “antitrust”, yakni kebijakan yang mensyaratkan pemerintah bertanggung jawab atas terjadinya

persaingan sehat diantara para pelaku usaha, namun sama sekali dilarang

campur tangan di dalam keputusan-keputusan tentang harga maupun output

produksi.

1

(2)

Seiring dengan timbulnya kecenderungan globalisasi perekonomian pada

pembangunan ekonomi, maka bersamaan itu semakin banyak pula tantangan

dihadapi dalam dunia usaha, antara lain persaingan usaha atau perdagangan yang

menjurus kepada persaingan produk/komoditi dan tarif, sebab perekonomian

sekarang merupakan perdagangan globalisasi antar negara.2

Sejak berdiri AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 1992 dan

APEC (Asia Pasific Economic Coorporation) pada tahun 1989 di kawasan Asia,

maka pemerintah Indonesia sejak awal harus bersungguh-sungguh

mempersiapkan segala sesuatu untuk ikut serta dalam lingkaran perdagangan

regional dan internasional terutama dari segi perangkat hukum dan

perundang-undangan. Dalam hal ini penting disadari bahwa berlakunya liberisasi

perdagangan dunia yang bebas dan adil (free trade and fair trade), yaitu dimana

pangsa pasar secara ekonomis akan ditentukan oleh keunggulan komoditi.3

Konsekuensi logis dibebaskannya aktivitas dunia usaha dari campur

tangan eksternal adalah munculnya persaingan. Karena setiap orang memiliki

kebebasan untuk menjalankan usaha yang dikehendakinya, persaingan antara

seorang pelaku usaha dengan pelaku usaha lainya menjadi tak terhindarkan.

Dengan demikian, sebenarnya dapat dikatakan bahwa persaingan merupakan

salah satu karakteristik sistem ekonomi pasar.4

Melalui sistem ekonomi pasar maka persaingan merupakan suatu elemen

yang menentukan karena pasar akan ditentukan oleh permintaan dan penawaran

2

Suhasril et.al, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Uaha Tidak Sehat di Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.3.

3 Ibid. 4

(3)

yang terbuka. Artinya dalam memenangkan pasar dan konsumen, maka pelaku

usaha akan melalui proses persaingan. Proses persaingan akan mengukur hasil

optimal dengan melihat kemampuan pelaku usaha melakukan efisiensi, inovatif

serta alokasi sumber daya yang tidak terbuang percuma melalui strategi yang

baik.5 Sesuai dengan konteksnya, dalam tulisan ini konsep “persaingan“ untuk selanjutnya akan dipersempit sehingga hanya mencakup persaingan usaha, sebagai

salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi.6

Mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya melalui persaingan

bukanlah sesuatu kesalahan, karena hal itu merupakan tujuan utama dari para

pelaku usaha. Namun yang menjadi permasalahan adalah banyak pelaku usaha

apalagi perusahaan-perusahaan besar melakukan cara-cara yang dapat merugikan

para pelaku usaha lain demi mendapatkan keuntungan sendiri semata.

Banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan persaingan tidak sehat

agar pelaku usaha lain terhambat untuk dapat mengembangkan perusahaanya

sehingga keuntungan sebesar-besarnya tetap dipegang oleh perusahaan yang

melakukan persaingan tidak sehat tersebut. Perusahaan besar yang mendominasi

pasar mempunyai peluang besar untuk mengontrol harga dan secara langsung

maupun tidak langsung membuat terjadinya barrier to entry.

Banyak hal yang dapat membuat terjadinya persaingan tidak sehat, salah

satunya adalah perjanjian penetapan harga (price fixing). Menurut UU Nomor 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

(selanjutnya disebut UU Nomor 5 Tahun 1999) Pasal 5, defenisi perjanjian

5

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm .21.

6

(4)

penetapan harga adalah sebagai suatu perjanjian penetapan harga (price fixing)

dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya untuk menetapkan harga atas mutu suatu barang dan atau jasa yang

harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

Jika penetapan harga dilakukan, kebebasan untuk menentukan harga secara bebas

menjadi berkurang.7Vertical price fixing diatas menunjukkan bahwa perdagangan

bisa terhambat ketika perusahaan yang berada pada level usaha tertentu mengikat

perusahaan lain pada level usaha dibawahnya dengan cara menentukan harga. Hal

inilah yang disebut pembatasan perdagangan secara vertikal.

Pembatasan perdagangan secara vertikal terkhususnya penetapan harga

jual kembali (resale price maintenance) dilakukan pada umumnya untuk

menghindari terjadinya persaingan intrabrand atau persaingan sesama merek

dalam suatu perusahaan itu sendiri. Persaingan intrabrand tersebut merupakan

persaingan diantara pengecer atau distributor untuk produk dengan merek yang

sama. Jelasnya, dalam suatu produk yang sama terdapat perbedaan harga (maupun

non-harga) yang bersaing dari para distributor yang memasarkan produk tersebut.

Para pelaku usaha akhirnya melakukan pembatasan perdagangan secara vertikal,

guna menghindari kerugian yang diakibatkan oleh penjual barang perusahaanya

sendiri. Padahal didalam UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 8 dikatakan :

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.

7

(5)

Disisi distributor, para pengecer merasa bahwa penentuan harga adalah

hak yang dimilikinya dan bukan merupakan tindakan pelanggaran karena barang

telah berada di tangannya, maka ia punya kuasa untuk menentukan harga yang

akan diberikannya dalam melakukan penjualan kembali. Berdasarkan dengan

uraian tersebut diatas, dirasakan perlu untuk mengadakan penelitian tentang

persaingan intrabrand dan kaitannya dengan pembatasan perdagangan secara

vertikal. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah bentuk skripsi

dengan judul “Persaingan Intrabrand Dikaitkan dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal.”

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus

diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah

maka akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga

tidak mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Tidak Sehat?

2. Bagaimana kaitan persaingan intrabrand dengan pembatasan perdagangan

(6)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penulisan.

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui pembatasan perdagangan secara vertikal dalam substansi

UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat

b. Untuk mengetahui kaitan persaingan intrabrand dengan pembatasan

perdagangan secara vertikal

2. Manfaat penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Secara teoritis pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini

akan memberikan pemahaman dan sikap kritis terhadap hukum persaingan

di Indonesia dan juga untuk mengetahui dan menambah wawasan terhadap

persoalan fenomena monopoli dan praktek persaingan tidak sehat,

khususnya tentang persaingan intrabrand dan pembatasan perdagangan

secara vertikal. Mengingat bahwa buku dan literatur yang membahas

permasalahan ini masih minim, maka diharapkan kelak tulisan ini mampu

menambah khasanah pemikiran tentang hukum persaingan usaha pada

umumnya dan persaingan intrabrand juga pembatasan perdagangan secara

vertikal pada khususnya, yang dapat memberi kontribusi pada terciptanya

persaingan usaha yang sehat.

(7)

Secara praktis, pembahasan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para

pembaca ataupun sebagai bahan kajian baik bagi kalangan akademisi,

praktisi hukum maupun para pelaku usaha di Indonesia guna terciptanya

persaingan usaha yang sehat di dalam dunia usaha ataupun perekonomian

negara, khususnya tentang persaingan intrabrand dikaitkan dengan

pembatasan perdagangan secara vetikal dalam hukum persaingan usaha di

Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan kepustakaan maupun di lapangan, perihal

persaingan usaha memang cukup banyak yang diangkat dan dibahas, naun

penulisan dengan judul “Persaingan Intrabrand Dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal “ belum ada yang menulis sebagai skripsi dan

merupakan hasil karya sendiri, dengan demikian maka penulisan skripsi ini tidak

sama dengan penulisan skripsi-skripsi yang telah ada, sehingga penulisan skripsi

ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.

Dalam penulisan skripsi ini khusus membahas jaminan perorangan yang

dijabarkan dengan pemikiran, referensi buku-buku dan dari bantuan pihak-pihak

lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

Persaingan secara umum (competition) adalah suatu proses sosial ketika

(8)

kemenangan tertentu. Persaingan terjadi apabila terdapat beberapa pihak

menginginkan sesuatu yang jumlahnya terbatas atau menjadi pusat perhatian

umum.8 Persaingan dalam pasar dan mekanisme pasar dapat membentuk beberapa

jenis pasar. Ada yang disebut dengan pasar persaingan sempurna (perfect

competition market), pasar monopoli, oligopoli, dan juga posisi dominan.9

Hukum Persaingan Usaha merupakan instrumen hukum yang menentukan

tentang bagaimana persaingan itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus

menekankan pada aspek persaingan. Hukum persaingan juga menjadi perhatian

untuk mengatur persaingan sedemikian rupa, sehingga tidak menjadi sarana untuk

mendapatkan monopoli.

Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah

hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha,

adapun istilah-istilah yang digunakan dalam bidang hukum ini selain istilah

hukum persaingan usaha (competition law), yakni hukum antimonopoli

(antimonopoly law) dan hukum antiturst (antitrust law). Namum demikian, istilah

hukum persaingan usaha telah diatur dan sesuai dengan substansi ketentuan UU

No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat yang mencakup pengaturan antimonopoli dan persaingan usaha

dengan segala aspek-aspeknya yang terkait.10

8

http://www.artikelsiana.com/2015/06/pengertian-persaingan-competition-contoh.html (diakses tanggal 23 Juni 2015).

9

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.10.

10

(9)

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 sendiri tidak menjelaskan secara

eksplisit mengenai pengertian dari persaingan usaha. Namun dapat kita tarik

pengertian persaingan usaha dari pengertian persaingan tidak sehat yang

tercantum pada Pasal 1 angka 6 yaitu Persaingan usaha tidak sehat adalah

“persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau

pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”11 Maka persaingan usaha adalah persaingan seperti yang dijelaskan diatas tanpa ada unsur tidak jujur,

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Materi dari UU No.5 Tahun 1999 ini mengandung 6 (enam) pengaturan

yang terdiri dari:

1. Perjanjian yang dilarang.

2. Kegiatan yang dilarang.

3. Posisi dominan.

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

5. Penegakan hukum.

6. Ketentuan lain-lain.

Keberadaan UU No.5 Tahun 1999 yang berasaskan demokrasi ekonomi

juga harus memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan

kepentingan masyarakat, sehingga Undang-Undang tersebut mempunyai peranan

yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang

11

(10)

sehat di Indonesia.12 Iklim dan kesempatan berusaha yang ingin diwujudkan

tersebut selengkapnya tercantum dalam ketentuan Pasal 3 UU No.5 Tahun 1999,

yang memuat:13

1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional

sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha

yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang

sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.

3. Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang

ditimbulkan oleh pelaku usaha.

4. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Persaingan intrabrand disebut juga di Indonesia sebagai persaingan

sesama merek. Menurut situs KamusBisnis.com persaingan intrabrand adalah

persaingan diantara pengecer atau distributor dari merek yang sama. Menghindari

kemungkinan terjadinya persaingan intrabrand maka pada umumnya

pelaku-pelaku usaha melakukan tindakan pembatasan perdagangan secara vertikal baik

dari sisi penetapan harga (price fixing) maupun pembatasan perdagangan vertikal

secara non-harga (Non-price Vertical Restraints).

Penetapan harga (price fixing) adalah kesepakatan diantara para penjual

yang bersaing di pasar yang sama untuk menaikkan atau menetapkan harga

dengan tujuan membatasi persaingan diantara mereka dan mendapatkan

12

Susanti Adi Nugroho, Op.Cit., hlm.4.

(11)

keuntungan yang lebih banyak lagi .14 Black’s Law Dictionary, price fixing

mengatakan “a combination formed for the purpose of and with the effect of raising, depressing, fixing, pegging, or stabilizing the price of a commodity”. Sedangkan dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua yang disusun oleh

Christopher Pass dan Bryan Lowes, penetapan harga diartikan sebagai penentuan

suatu harga (price) umum untuk suatu barang atau jasa oleh suatu kelompok

pemasok yang bertindak secara bersama-sama, sebagai kebalikan atas pemasok

yang menetapkan harganya sendiri secara bebas.15

Menurut Hukum Persaingan Usaha, penetapan harga dikategorikan

sebagai perjanjian yang dilarang. Menurut Salim H.S, perjanjian dikatakan adalah

hubungan antar dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan

akibat hukum. 16 Sedangkan menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian

dikatakan sebagai perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Penetapan Harga merupakan salah satu perjanjian yang dapat

mengakibatkan pembatasan perdagangan secara vertikal. Didalam penetapan

harga dipakai salah satu instrumen yang dapat mengakibatkan terjadinya

pembatasan perdagangan secara vertikal yaitu harga. Selain harga, instrumen lain

yang dapat berpengaruh adalah hambatan berdasarkan wilayah dan hambatan

berdasarkan pada pengguna produk.

14

Suhasril, Op.Cit., hlm.118. 15

Hermansyah, Pokok – Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm.26.

16

(12)

Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Tidak Sehat menyatakan bahwa perjanjian didefenisikan sebagai suatu

perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau

lebih pelaku usaha lain dengan, nama apapun baik tertulis ataupun tidak tertulis.17

UU No.5 tahun 1999 tentang perjanjian yang dilarang diatur dalam Bab III dalam

beberapa pasal yaitu dari Pasal 4 sampai Pasal 16. Sedangkan mengenai

penetapan harga diatur dalam Bab III tentang Perjanjian yang Dilarang Pasal 5.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah lembaga yang tepat untuk

menyelesaikan persoalan persaingan usaha yang mempunyai peran multifunction

dan keahlian sehingga dianggap mampu menyelesaikan dan mempercepat proses

penanganan perkara.18 Dasar hukum pembentukan Komisi Pengawas adalah Pasal

30 ayat (1) yang menyatakan “Untuk mengawas pelaksanan undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha.”19

F. Metode Penelitian

Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa penelitian dimulai ketika

seseorang berusaha untuk memecahkan masalah yang dihadapi secara sistematis

dengan moetode dan tekhnik tertentu yang bersifat ilmiah,, artinya bahwa metode

atau tekhnik yang digunakan tersebut bertujuan untuk satu atau beberapa gejala

dengan jalan menganalisisnya dan dengan mengatakan pemeriksaan yang

17

Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasal 4 - 6 18

Mustafa Kamal Rokan, Op.Cit., hlm.276. 19 Ibid

(13)

mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu

pemecahan atas masalah yang ditimbulkan faktor tersebut.20

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian hukum memiliki dua jenis penelitian, yaitu penelitian yuridis

normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian hukum normatif (yuridis

normatif) adalah jenis penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan

pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum sosiologis atau empiris

adalah jenis penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data primer. Jenis

penelitian yang digunakan pada skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif.

Penelitian yuridis normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik

hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap

pengertian-pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum,

obyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum dan hubungan hukum.

Sifat penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah

deskriptif. Bersifat deskriptif yaitu mengacu kepada penelitian hukum normatif

dengan menguji, mengkaji ketentuan-ketentuan mengenai persaingan intrabrand

dan kaitannya dengan pembatasan perdagangan secara vertikal.

2. Data penelitian

Data penelitian dapat berupa data primer dan data sekunder. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dimana data yang diperoleh

secara tidak langsung. Data sekunder terdiri dari:

20

(14)

a. Bahan hukum primer

Yaitu dokumen yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Dalam penulisan ini diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2014 tentang Perdagangan, Pedoman pelaksanaan Pasal 8 (penetapan

harga jual kembali) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Bahan hukum sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang

hukum perjanjian jual beli dan kegiatan dalam pengalihan saham perseroan

seperti buku-buku, karya-karya ilmiah serta tulisan yang ada hubungannya

dengan permasalahan yang diajukan dalam penulisan skripsi ini.

c. Bahan hukum tertier

Yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus

Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

3. Tekhnik pengumpulan data

Tekhnik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah dengan studi dokumen dengan penelusuran pustaka (library research)

yaitu mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah, dan

(15)

4. Analisis data

Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data

berikut dengan analisisnya.21 Metode analisis data yang dilakukan adalah dengan

metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode

penarikan kesimpulan secara deduktif dan nduktif. Metode penarikan kesimpulan

secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui

dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih

khusus. Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses yang berawal

dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada

kesimpulan (pengetahuan baru) berupa azas umum.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan suatu karya ilmiah khususnya skripsi, sistematika penulisan

merupakan suatu bagian yang sangat penting. Untuk menghasilkan karya ilmiah

yang baik maka pembahasannya harus diuraikan dengan sistematis, agar

pembahasannya dapat diarahkan untuk menjawab masalah-masalah dan

membuktikan kebenaran hipotesanya. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini,

maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam

beberapa bab serta sub-bab secara berurutan dan saling berkaitan satu sama lain.

Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah :

21

(16)

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini diuraikan secara ringkas mengenai latar belakang

penulisan skripsi, perumusan masalah, kemudian

dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan, keaslian

penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, yang

kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.

BAB II PEMBATASAN PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

DALAM SUBSTANSI UNDANG–UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

Bab ini membahas mengenai persaingan usaha di Indonesia,

dimana dalam pembahasannya diuraikan mengenai

pengertian persaingan usaha, pandangan ekonomi dan pasar

terhadap persaingan, serta peraturan persaingan usaha di

Indonesia, pembatasan perdagangan secara vertikal dalam

substansi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 , yang

dalam pembahasannya , diuraikan mengenai pengertian

perdagangan dan dasar hukumnya, substansi dasar

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, pembatasan perdagangan

secara vertikal dalam perjanjian yang dilarang, pendekatan

rule of reason terhadap pembatasan perdagangan secara

(17)

BAB III PERSAINGAN SESAMA MEREK (INTRABRAND)

DIKAITKAN DENGAN PEMBATASAN

PERDAGANGAN SECARA VERTIKAL

Bab ini menguraikan persaingan sesama merek (intrabrand)

dikaitkan dengan pembatasan perdagangan secara vertikal.

Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang terjadinya

persaingan sesama merek (intrabrand) , kaitan persaingan

sesama merek (intrabrand) dengan pembatasan

perdagangan secara vertikal, peran KPPU dalam menangani

perkara yang menghindari persaingan sesama merek

(intrabrand) pada pembatasan perdagangan secara vertikal.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan kesimpulan dari bab-bab yang telah

dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna

Referensi

Dokumen terkait

Lewat pro- gram ini antar dosen bisa mengambil nilai-nilai dari dosen lain yang bisa ditiru, sebagai contoh yaitu dalam hal penguasaan materi, ketelatenan, kesabaran, dan

Pada makalah ini akan dibahas bagaiman implementasi dari penerapan Sistem Informasi Manajemen serta pengaruhnya sebagai penunjang keberhasilan perusahaan dalam pencapaian tujuannya

E-Commerce adalah bagian dari e-business karena adanya penggunaan teknologi informasi berupa internet dan jaringan komputer lainnya untuk menjalankan proses bisnis

Pengaruh Pemberian Grit Kerang dan Cahaya terhadap Kualitas Kerabang Telur Ayam Arab (Siiver Brakel krie[). Meisji Liana Sari

namun pada saat di sekolah ia lebih cenderung ketergantungan dengan guru pendampingny a, meski ia dapat melakukan sesuatu hal sendiri namun tetap dalam pendampingan gur,

[r]

1.1 Menerima simbol sila- sila Pancasila dalam lambang negara “Garuda Pancasila” sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa di rumah 2.1Menerima sikap sesuai.. dengan sila-sila

statistik menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna, dimana, p=0,489 (p>0,05), walaupun terdapat perbedaan nilai pengetahuan responden sebelum penyuluhan pada