• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN MINAT BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR Novalia1 Abstract - Index of /site/wp-content/uploads/2016/08

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN SELF EFFICACY DENGAN MINAT BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR Novalia1 Abstract - Index of /site/wp-content/uploads/2016/08"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

© Copyright 2016

HUBUNGAN

SELF EFFICACY

DENGAN MINAT

BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA TINGKAT AKHIR

Novalia1

Abstract

The study was conducted to determine the relationship of self-efficacy to Interests Student Entrepreneurship at the end of the level. The method used is quantitative. Subjects in the study a number of 64 students. Methods of data collection using two self efficacy scale that is scale and scale of interest in entrepreneurship with Likert scale model. The data were analyzed by product moment correlation test with the help of the program Statistical Package for Social Sciences (SPSS) 20.0 for Windows.

The results of this study indicate that there is a positive relationship and very significant between self efficacy with an interest in entrepreneurship in their final year with the value of r = 0.725 and p = 0.000. Then from the partial correlation results obtained are highly significant relationship between the level of the variable aspect of interest in entrepreneurship with r = 1.000 and p = 0.000. In the aspect of strength to demonstrate the value of r = 0.523 and p = 0.004 <0.05, which means there is a relationship between moderate and highly significant aspect of strength with a variable interest in entrepreneurship. Then, in the aspect of generality show the value of r = 0.267 and p = 0.35 <0.05 means there is a significant relationship between low and variable aspects of generality with interest in entrepreneurship.

Keywords: self efficacy, interest in entrepreneurship

Pendahuluan

Latar Belakang

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS, 2011) tingkat pengangguran di Indonesia pada tahun 2011 sebesar 6,8% atau 8,1 juta dan persentase terbesar yaitu lulusan perguruan tinggi sebesar 21,5% yaitu 9,9% Sarjana dan 11,6% Diploma (dalam buku Pedoman PMW, 2013). Pada tahun 2013, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2013 sebesar 6,25% atau mencapai 7,4 juta orang. Tingkat pengangguran mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2011, tetapi mengalami kenaikan dibandingkan tingkat pengangguran pada Februari 2013 yaitu sebesar 5,92% (BPS, 2011)

(2)

demikian lapangan kerja yang tersedia tidak mencukupi, yang berakibat banyak orang terdidik yang menganggur, sehingga semakin dirasakan pentingnya dunia wirausaha (Arifin, 2008).

Kellermann dan Sagmeister (2000) menyatakan bahwa di dunia kerja ini pengangguran terus bertambah setiap tahun, khususnya pengangguran dari lulusan perguruan tinggi. Oleh karena itu, para calon sarjana dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, memiliki kompetensi, keterampilan kerja, dan kepribadian yang baik. Hal ini karena, lowongan yang tersedia sebenarnya yang menjadi kendala utama bagi seorang sarjana untuk mendapatkan pekerjaan adalah kesiapan mereka untuk bekerja.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia menghadapi masalah keterbatasan kesempatan kerja bagi para lulusan perguruan tinggi dengan semakin meningkatnya jumlah pengangguran intelektual belakangan ini. Laporan International Labor Organization (ILO) mencatat jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2009 di Indonesia berjumlah 9,6 juta jiwa (7,6%), dan 10% diantaranya adalah sarjana (Nasrun, 2010). Data dari Badan Pusat Statistik Indonesia mendukung pernyataan ILO tersebut yang menunjukkan sebagian dari jumlah pengangguran di Indonesia adalah mereka yang berpendidikan Diploma/ Akademi/dan lulusan Perguruan Tinggi. Para sarjana lulusan perguruan tinggi perlu diarahkan dan didukung untuk tidak hanya berorientasi sebagai pencari kerja (job seeker) namun dapat dan siap menjadi pencipta pekerjaan (job creator) juga (Setiadi, 2008).

Di Fakultas Ekonomi Universitas mulawarman sebagai fakultas yang memiliki fokus untuk pengembangan wirausaha, materi dan bahan ajarnya mendukung perkembangan wirausaha. Alasan dipilihnya studi kasus pada mahasiswa Fakultas Ekonomi Univeritas Mulawarman mata kuliah pada fakultas ini mengandung materi untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan pada mahasiswa.

Wirausaha sendiri merupakan salah satu cara untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Sehingga pemerintah Indonesia mulai membentuk suatu program untuk meningkatkan wirausaha-wirausaha di Indonesia, salah satunya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, 2013).

(3)

Ada tiga ketakutan dalam diri individu untuk memulai menjadi wirausaha. Yang pertama adalah takut rugi. Memang usaha apapun akan selalu berisiko untuk rugi tetapi juga berpeluang untuk untung. Dalam dunia kerjapun kita juga menemui berpeluang untuk diberhentikan. Kedua takut terhadap ketidakpastian, terutama ketidakpastian dalam penghasilan. Seperti dijelaskan di atas, dalam berusaha pasti kita akan selalu berpeluang untuk untung maupun rugi. Dunia kerja pun juga memiliki ketidakpastian. Kita tidak dapat memastikan kondisi kesehatan perusahaan. Ketiga takut mencoba. Sebenarnya takut mencoba tersebut dapat disamakan dengan takut tenggelam. Jika kita tidak pernah mencoba untuk berenang, kita tidak akan pernah dapat berenang. Kita hanya akan tahu teori berenang tanpa tahu bagaimana rasanya berenang. Demikian halnya dengan menjadi wirausaha. Kita dapat belajar teknik menjadi wirausaha. Jumlah buku tentang menjadi wirausaha juga sudah sangat melimpah. Kita tahu banyak pengusaha yang berhasil memiliki penghasilan yang sangat memadai. Tetapi, jika kita tidak pernah mencoba memulai usaha, kita akan terus bermimpi menjadi pengusaha (Kusumo, 2002).

Profesi sebagai seorang wirausaha tampak sebagai salah satu solusi yang tepat. Orang-orang tidak lagi menggantungkan diri pada lapangan kerja yang tersedia, tetapi mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Pemerintah juga mulai gencar mencanangkan gerakan kewirausahaa nasional. Perguruan tinggi diharapkan mampu mempersiapkan masa depan yang lebih baik dengan mengembangkan intelektual dan keterampilan agar generasi muda dapat melakukan aktualisasi diri. Perguruan tinggi juga berperan dalam menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki jiwa dan sikap kewirausahaan dalam mengatasi masalah perekonomian negara dengan cara menciptakan lapangan kerja (Nurhidayah, 2014)

Minat merupakan faktor pendorong yang menjadikan seseorang lebih giat bekerja dan memanfaatkan setiap peluang yang ada dengan mengoptimalkan potensi yang tersedia. Minat tidak muncul begitu saja tetapi tumbuh dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Walgito, 2002). Woodworht (Walgito, 2002) menyatakan bahwa apabila seseorang menemukan suatu objek dan dapat berhubungan dengan objek tersebut maka ia akan menaruh minat terhadap objek tersebut. Banyak peneliti percaya bahwa efikasi diri terkait erat dengan pengembangan minat karir khususnya karir dalam berwirausaha. Merujuk Betz dan Hacket (dalam Indarti, 2008), efikasi diri akan karir seseorang adalah domain yang menggambarkan pendapat pribadi seseorang dalam hubungannya dengan proses pemilihan dan penyesuaian karir. Bandura (Fatmawati, 2003) mengemukakan bahwa self efficacy merupakan kemampuan seseorang untuk mengontrol segala sesuatu dalam hidupnya.

(4)

yang secara objektif benar. Persepsi pribadi seperti ini memegang peranan penting dalam pengembangan minat seseorang (Indarti, 2008).

Dalam konteks kewirausahaan, (Chen, Greene, dan Crick, 1998) mendefinisikan efikasi diri sebagai kekuatan kepercayaan/keyakinan seseorang bahwa dia mampu menunjukkan performa dalam berbagai peran dan tugas dalam kewirausahaan. Efikasi diri diukur dalam berbagai dimensi seperti pemasaran, inovasi, manajemen, pengambilan risiko, dan pengelolaan keuangan. (Chen dkk, 1998) kemudian melaporkan bahwa efikasi diri berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk memulai suatu bisnis.

Efikasi diri juga selalu berhubungan dan berdampak pada pemilihan perilaku, motivasi dan keteguhan individu dalam menghadapi setiap persoalan. Efikasi diri juga dapat memberikan pengaruh terhadap fungsi kognitif, motivasi, afeksi dan fungsi selektif individu yang diproyeksikan ke dalam pemilihan perilaku. Dimensi tersebut selaras dengan nilai-nilai kewirausahaan, dimana setiap individu yang memiliki minat kewirausahaan yang tinggi akan mampu berdiri sendiri, berani mengambil keputusan dan menerapkan tujuan yang hendak dicapai atas dasar pertimbangannya sendiri.

Banyak peneliti percaya bahwa efikasi diri terkait erat dengan pengembangan minat karir khususnya karir dalam berwirausaha. Betz dan Hacket (dalam Indarti, 2008) mengungkapkan, efikasi diri akan karir seseorang adalah domain yang menggambarkan pendapat pribadi seseorang dalam hubungannya dengan proses pemilihan dan penyesuaian karir. Dengan demikian, efikasi diri akan karir seseorang dapat menjadi faktor penting dalam penentuan apakah minat berwirausaha seseorang sudah terbentuk pada tahapan awal seseorang memulai karirnya. Lebih lanjut, Betz dan Hacket menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat efikasi diri seseorang pada kewirausahaan di masa-masa awal seseorang dalam berkarir, semakin kuat intensi kewirausahaan yang dimilikinya.

Kerangka Dasar Teori

Self Efficacy

Menurut Wulandari (2013), minat berwirausaha adalah keinginan, ketertarikan, serta kesediaan untuk bekerja keras atau berkemauan keras untuk berusaha secara maksimal dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa merasa takut dengan resiko yang akan terjadi, serta berkemauan keras untuk belajar dari kegagalan usahanya.

Pengertian minat wirausaha itu sendiri menurut Yanto (dalam Christers, 2010) adalah kemampuan untuk memberanikan diri dalam memenuhi kebutuhan hidup, memajukan usaha atau menciptakan usaha baru dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri.

(5)

Budaya Organisasi

Albert Bandura (dalam Pudjiastuti, 2012) mendefinisikan konsep self efficacy sebagai keyakinan tentang kemampuan yang dimiliki untuk mengatur dan melakukan serangkaian tindakan yang diperlukan dalam mencapai keinginannya. Self efficacy merupakan keyakinan atau kepercayaan individu terhadap kemampuannya dan menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapi, sehingga mampu mengatasi rintangan dan mencapai tujuan yang diharapkannya dengan mendapatkan nilai yang memuaskan. Keyakinan ini meliputi kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan.

Menurut Alwisol (2011), efikasi diri adalah persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Efikasi diri berbeda dengan cita-cita karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai, sedangkan efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif, yaitu penelitian yang banyak menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data serta penampilan dari hasilnya (Arikunto, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode skala. Metode skala merupakan suatu metode pengumpulan data yang berisikan suatu daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis (Sugiono, 2006). Alat pengukuran atau instrument yang digunakan ada dua macam yaitu skala self efficacy dan skala minat berwirausaha.

Skala self efficacy di susun berdasarkan tiga aspek yang dikemukakan Bandura (dalam Hairida dan Astuti, 2012 ) dengan aspek-aspek yang meliputi dimensi tingkat (level), kekuatan (strenght) dan generalitas (generality).

Skala minat berwirausaha di susun berdasarkan tiga aspek yang meliputi informasi akurat dan kepastian hukum dibidang pertanahan, peningkatan kualitas SDM, penertiban administrasi pertanahan, penyelesaian masalah pertanahan yang baik, dan menjalin kerjasama dengan instansi terkait yang berkesinambungan

Data yang dilakukan untuk pengolahan data penelitian adalah menggunakan dianalisis dengan pendekatan statistic. Pengujian hipotetis dalam penelitian ini menggunakan uji analisis product moment menggunakan progam SPSS 20.00 for windows.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

(6)

Tingkat II Samarinda. Untuk mengetahui hubungan tersebut, maka peneliti menentukan 80 pegawai yang ada dikantor tersebut untuk dijadikan sampel dengan menggunakan perhitungan statistik SPSS. Pada hasil uji normalitas, nilai yang didapatkan pada variabel perilaku kontraproduktif yaitu sebesar 0.068 yang berarti bahwa data tersebut memiliki sebaran yang normal (p < 0,050). Sedangkan pada variabel budaya organisasi memiliki sebaran data normal 0.087 (p < 0.050).

Peneliti melakukan beberapa wawancara pada pegawai yang bersangkutan bahwa perilaku kontraproduktif di pengaruhi budaya organisasi di lingkungan kerja mereka yang memberikan dampak pada hasil kinerja mereka dan pelayanan pada masyarakat.

Teori dan Gruys dan Sackett (2003) tentang faktor yang mempengarui perilaku kontraproduktif yaitu penyalahgunaan waktu dan sumber daya, yaitu membuang-buang waktu dan melakukan bisnis pribadi selama jam kerja, penarikan diri (withdrawal) terdiri dari perilaku yang membatasi jumlah waktu kerja dari yang ditentukan oleh organisasi seperti datang terlambat atau pulang kerja lebih awal.

Para peneliti sebelumnya seperti: Aquino, Lewis, dan Bradfield, (1999) secara konsisten telah menyebutkan bahwa perilaku kerja negatif (misalnya, perilaku kerja kontraproduktif) dinilai dapat menimbulkan konsekuensi negatif yang dapat merugikan organisasi. Konsekuensi negatif tersebut dapat berupa kerugian ekonomi dan dampak sosial maupun psikologis bagi organisasi maupun karyawan yang ada di dalam organisasi itu sendiri.

Perilaku kerja kontraproduktif yang terjadi di kalangan pegawai pemerintah terkait erat dengan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, disebutkan bahwa pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) akan dijatuhi hukuman sesuai dengan tingkat dan jenis disiplin. Akan tetapi pada kenyataannya masih terdapat beberapa kasus perilaku kerja yang tidak produktif dari pegawai pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya.

Menurut Schein (1992), budaya organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi. Menurut Cushway dan Lodge (2000), budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dan cara para karyawan berperilaku.

Penutup

(7)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara budaya organisasi dan perilaku kontraproduktif pada pegawai Badan Pertanahan Nasional Tingkat II Samarida.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian di atas maka peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Diharapkan pada kantor untuk tetap mempertahankan budaya organisasi yang baik agar kinerja pegawai tetap produktif dan dapat menghindari perilaku kerja yang kontraproduktif.

2. Diharapkan kepada para pegawai untuk semakin meningkatkan produktivitas kinerjanya dan budaya organisasi yang semakin kuat agar perilaku kontraproduktif bisa dihindari.

Daftar Pustaka

Aquino, K., Lewis, M. U., dan Bradfield, M. 1999. Justice constructs, negative affectivity, and employee deviance: A proposed model and empirical test. Journal of Organizational Behavior, 20 (7): 1073-1091.

Cushway, Barry dan Derek Lodge. 2000. Organizational Behaviour And Design. Jakarta: Elex Media Computindo.

Effendi, A. 2009. Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang Efektif. Bandung: Lembaga Adminitrasi Negara.

Gruys, M. L., dan Sackett, P. R. 2003. Investigating the dimensionality of counterproductive work behavior. International Journal of Selection and Assessment, 11 (1): 30-42.

Levy, Steve dan Ritti, R. Richard. 2003. Instructor Manual for The Ropes to Skip and Ropes to Know. Sixth Edition. New York: John Wiley and Sons, Inc. Meliala, Adrianus. 1998. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Mahasiswa

Terhadap Korupsi. Tesis. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Robbins, Stephen P. 2002. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Edisi Kelima, Jakarta: Erlangga.

Schein, Edgar H. 1992. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass Publisher.

Sondang P, Siagian. 2001. Filsafat Administrasi, Edisi Revisi cetakan kelima, Jakarta, Bumi Aksara.

Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Referensi

Dokumen terkait

1) Alat pemanas air tenaga surya memanfaatkan energi matahari sebagai sumber utama pemanasan pada kotak kolektor. Tanpa adanya energi matahari atau kurangnya energi pada

Inti dari pemasaran adalah mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan manusia dan sosial, secara singkat dapat di katakan pemasaran adalah memenuhi kebutuhan manusia dengan cara

Kekurangan akan barang dan jasa merupakan masalah central di negara-negara berkembang dan kebutuhan yang paling menekan adalah memperluas produksi. Pemasaran

gaya yang harus diberikan pada penampang kecil adalah ... Sebuah pipa U seperti pada Gambar di samping berisi air dan minyak. Jika tinggi kolom minyak adalah15 cm, selisih tinggi

Jawaban: perbedaan antara akuntan intern perusahaan dan akuntan pemerintah adalah akuntan intern adalah profesi akuntansi yang bekerja dalam perusahaan sedangkan akuntan

Dari defnisi diatas dapat diambil kesimpulannya bahwa merek adalah suatu nama atau simbol atau kombinasinya yang dimaksudkan untuk memberi tanda pengenal barang atau jasa

Berdasarkan hasil studi pendahuluan dan hasil penelitian, diharapkan dapat berkomitmen dalam mnalan program yang sudah ada sistem koordinasi antar kader-kader posyandu

Diantaranya apabila buruh menderita sakit majikan wajib memberikan tunjangan perawatan dan pengobatan begitu - juga majikan memberikan tunjangan kepada buruh apabila dalam dan