• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan keuangan dan pengawasan pusat d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan keuangan dan pengawasan pusat d"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Hubungan Pusat Dan Daerah

Dinamika Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia pada Era Sentralisasi

(Pengampu : Nur Azizah, S.IP., M.Sc. / Drs. Josef Riwu Kaho, MPA)

Disusun oleh :

Kelompok 8

Fatra Yudha Pratama (14/364987/SP/26242)

Lia Wahyu Hartanto (14/364854/SP/26232)

Khristian Dwi Nugraha (14/369794/SP/26522)

Putu Alit Panca Nugraha (14/364869/SP/26241

)

Sri Bintang Pamungkas (14/364610/Sp/26138)

UNIVERSITAS GADJAH MADA

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN

Tahun Akademik 2014/2015

Jalan Sosio Yustisia, Bulaksumur 55281

(2)

PENDAHULUAN

Hubungan antara pusat dan daerah merupakan sesuatu yang banyak diperbincangkan, karena masalah tersebut dalam prakteknya sering menimbulkan upaya tarik-menarik kepentingan (spanning of interest) antara kedua satuan pemerintahan. Terlebih dalam negara kesatuan, upaya pemerintah pusat untuk selalu memegang kendali atas berbagai urusan pemerintahan sangat jelas sekali.

Menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan pemerintah pusat untuk senantiasa mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengesampingkan peran dan hak pemerintah daerah untuk ikut terlibat langsung dan mandiri dalam rangka mengelola serta memperjuangkan kepentingan daerahnya.

Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam pasal 18 UUD 1945 telah diatur pembagian wilayah Negara Kesatuan RI menjadi daerah provinsi yang kemudian dibagi lagi menjadi daerah kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Ketentuan tersebut merupakan amandemen kedua yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Sebelum amandemen ketentuan pasal 18 UUD 1945 berbunyi : “ Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil , dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang , dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratn dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.1

Pasal 18 ditambah dengan 6 ayat baru yang antara lain mengatur masalah otonomi daerah dan tugas pembantuan , pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah yang dilakukan secara demokratis dan langsung oleh rakyat, serta kewenangan pemerintah daerah dalam membuat peraturan daerah dan peraturan lain dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sedang penambahan pasal baru dilakukan dengan membuat pasal 18 A yang mengatur hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di bidang pemerintahan , keuangan , pelayanan umum dan pemanfaatan sumber daya alam. Sedang penambahan pasal 18 B isinya mengakui adanya satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa , serta mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya.

(3)

Di dalam hubungan antara pusat dan daerah paling tidak ada empat faktor yang menentukan hubungan pusat dan daerah dalam otonomi yaitu hubungan kewenangan, hubungan keuangan, hubungan pengawasan, dan hubungan yang timbul dari susunan organisasi pemerintahan di daerah.

A. Hubungan Kewenangan

Desentralisasi yang dianut dalam konsep negara kesatuan pada akhirnya juga akan mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, khususnya yang berkaitan dengan distribusi kewenangan pengaturan atas urusan-urusan pemerintahan. Oleh karena itu, adanya satuan pemerintahan yang berlapis-lapis maupun bertingkat tujuannya antara lain adalah untuk mencegah dominasi kewenangan pemerintah yang lebih tinggi.

Hubungan kewenangan, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menetukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas. Dapat digolongkan sebagai otonomi terbatas apabila : Pertama; urusan-urusan rumah tangga daerah ditentukan secara kategoris dan pengembangannya diatur dengan cara-cara tertentu pula. Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa , sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga; sistem hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak otonomi daerah.2

B. Hubungan Pengawasan

Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan dalam Undang-Undang. Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.3 Sistem pengawasan juga menentukan

2 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , (Yogyakarta: Pusat Studi hukum Fakultas Hukum UII,2004), hlm 37

(4)

kemandirian satuan otonomi. Untuk menghindari agar pengawasan tidak melemahkan otonomi, maka sistem pengawasan ditentukan secara spesifik baik lingkup maupun tata cara pelaksanaannya. Karena itu hal-hal seperti memberlakukan prinsip “pengawasan umum” pada satuan otonomi dapat mempengaruhi dan membatasi kemandirian daerah. Tidak boleh ada sistem otonomi yang sama sekali meniadakan pengawasan. Kebebasan berotonomi dan pengawasan merupakan dua sisi dari satu lembaran dalam berotonomi untuk menjaga keseimbangan antara kecenderungan desentralisasi dan sentralisasi yang dapat berjalan berlebihan.4

Jenis pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada beberapa macam ruang lingkup pengawasan, diantaranya:

1. Pengawasan dari segi institusi (lembaga)

Ada dua macam pengawasan pada segi ini, yaitu pengawasan internal dan pengawasan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi pemerintah itu sendiri. Contoh : Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat Wilayah Kabupaten, Inspektorat Wilayah Kota.

Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawas yang sama sekali berada di luar organisasi atau birokrasi pemerintah. Contoh : Pengawasan aspek politik oleh DPR-DPRD, Pengawasan aspek keuangan oleh BPK, Pengawasan aspek hukum oleh lembaga Peradilan, Pengawasan aspek sosial oleh Institusi Pers, Organisasi kemasyarakatan, LSM, dll, Pengawasan aspek etik oleh Komisi Ombudsman Nasional.

2. Pengawasan dari segi substansi atau objek yang diawasi

Dari segi substansi maupun objeknya, pengawasan dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin atau pengawas dengan mengamati,meneliti,memeriksa,mengecek sendiri secara “on the spot” ditempat pekerjaan terhadap objek yang diawasi. Jenis pengawasan semacam ini sering disebut pula dengan sidak. Sedang pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima baik lisan maupun tertulis, mempelajari masukan masyarakat dan sebagainya tanpa terjun langsung di lapang.

Objek yang diawasi dalam jenis pengawasan ini adalah pengawasan terhadap semua urusan pemerintahan (daerah) yang telah menjadi kewenangannya. Sifat pengawasannya bisa

(5)

menyangkut soal administratifnya, dari segi legalitas hukumnya, maupun dari pertimbangan kemanfaatannya.

3. Pengawasan dari Segi Waktu

Pengawasan dari segi waktu dapat dibedakan ke dalam pengawasan preventif (kontrol a-priori) dan pengawasan represif (kontrol a-posteriori). Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan (masih bersifat rencana) atau sebelum dikeluarkannya kebijakan pemerintah (baik berupa peraturan maupun ketetapan). Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah pekerjaan dilaksanakan atau setelah peraturan atau ketetapan pemerintah dikeluarkan.

4. Pengawasan Lintas Sektoral

Pengawasan lintas sektoral adalah pengawasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh dua atau lebih perangkat pengawasan terhadap program-program dan kegiatan pembangunan yang bersifat multi sektoral yang menjadi tanggungjawab semua departemen atau lembaga yang terlibat dalam program atau kegiatan tersebut.

C. Hubungan Keuangan

Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan. UU Nomor 33 Tahun 2004 telah menetapkan dasar-dasar pendanaan pemerintahan daerah sebagai berikut. Sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2004, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai APBD. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai APBN. Berikut beberapa hal yang diatur dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah :

1. Pajak Daerah ; iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang. Dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

(6)

untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ; pajak yang dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Pembagian hasilnya dibagi dengan imbalan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah.

4. Dana Alokasi Umum (DAU) ; dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dialokasikan untuk provinsi, kabupaten/kota. Misal : Pendidikan, Kesehatan, Irigasi, Jalan dan prasarana umum, Pertanian, Kelautan dll.

5. Dana Alokasi Khusus ; dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.Misal : Bidang kesehatan, Bidang Pendidikan, Bidang Infrastruktur.

DINAMIKA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DI INDONESIA PADA

ERA SENTRALISASI

I. Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Pada tahun 1855 Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan peraturan dasar ketatanegaraan mengenai sentralisasi. Pada saat yang bersamaan telah dijalankan pula dekonsentrasi. Dengan demikian pada waktu itu sudah terdapat wilayah-wilayah administratif, misalnya di Jawa secara hirarkis adalah Gewest, Afdeeling, District, dan

Onderdistrict. Pada tahun 1903 Pemerintah Kerajaan Belanda menerapkan

Decentralisatiewet 1903 dengan alasan bahwa sistem yang sentralistis tidak dapat dipertahankan terus karena perkembangan politik dan pemerintahan di Hindia Belanda maupun Negeri Belanda. Sedangkan hubungan keuangan di era pemerintahan Hindia Belanda baru dikenal pada tahun 1938. Pada masa ini, pengawasan atas pengeluaran daerah dilakukan sangat ketat oleh instansi atasannya. Usaha perluasan tugas Regentschappen dan

Stadsgemeenten dengan menerima urusan “Sekolah Rakyat” dan Provincies yang juga diserahi urusan-urusan pertanian rakyat, kehewanan, dan sebagainya adalah dasar dari adanya keuangan, karena harus dibiayai dengan Pajak dan Retribusi daerah. Sluitpost systeem

(7)

antara pengeluaran dan pendapatan, maka ditutup dengan cara Pemerintah Pusat menyerahkan sejumalah presentase dari hasil pungutan beberapa Pajak Negara.

Terdapat beberapa ciri pokok dari UU Desentralisasi 1903 diantaranya :

1) Pembentukan sebuah daerah dengan keuangan sendiri untuk membiayai kebutuhan-kebutuhannya yang pengurusannya dilakukan oleh sebuah raad.

2) Bagi daerah yang dianggap telah memenuhi syarat, maka setiap kali dengan

ordonnantie pembentukan, dipisahkanlah sejumlah uang setiap tahun dari kas negara untuk diserahkan kepada daerah tersebut.

3) Locale raad berwenang menetapkan locale verordeningen mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan-kepentingan daerahnya sepanjang belum diatur oleh pusat. 4) Pengawasan terhadap daerah baik berupa kewajiban daerah untuk meminta

pengesahan terlebih dahulu bagi keputusannya maupun hak menunda atau membatalkan keputusan daerah berada di tangan Gubernur Jenderal. Pejabat ini berhak pula mengatur hal-hal yang dilalaikan oleh locale raad.

II. Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942 hingga tahun 1945, Pemerintah Bala Tentara Kerajaan Jepang tidak mengadakan perubahan apapun atau kebijakan masa kolonial tetap dipertahankan. Hubungan keuangan pada masa ini pun masih menggunakan Sluitpost system juga.

III. Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Pemerintah Indonesia berhasil mengeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 yaitu Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang ini maka mulailah dibentuk daerah-daerah otonom yang diserahi urusan-urusan tertentu sebagai urusan rumah tangganya sendiri oleh pemerintahan pusat. Dari sini timbul hubungan keuangan dikarenakan untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, daerah membutuhkan biaya atau uang.

Undang-Undang No. 22 tahun 1948 pasal 37 membahas mengenai sumber-sumber keuangan daerah agar daerah-daerah dapat membiayai segala aktivitasnya, diantaranya :

a. Pajak daerah termasuk retribusi daerah; b. Hasil perusahaan daerah

c. Pajak Negara yang diserahkan kepada daerah

(8)

Karena kabupaten, kota besar, dan kota kecil merupakan kelanjutan dari Regentschap

dan Staatsgemeente dulu, maka daerah-daerah itu melanjutkan pemungutan Pajak-Pajak daerah seperti semula (pajak anjing, pajak hiasan kuburan, pajak minuman keras). Disamping pajak-pajak daerah tersebut, beberapa daerah tertentu juga memungut pajak dari Perseroan Terbatas sebagai pengganti kerugian dari perkebunan - perkebunan berhubung dengan kerusakan jalan sebagai akibat pengangkutan hasil-hasil perkebunan tersebut.

Sistem hubungan keuangan yang digunakan masih tidak jauh dengan Sluitpost systeem.. Dari sumber-sumber pendapatan mandiri daerah, tiap-tiap daerah menyusun APBD setiap tahun. Jika ada selisih pengeluaran dengan pendapatan maka daerah akan mendapat tambahan pemasukan dari pajak negara yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Pemerintah pusat telah menetapkan batas tertentu (plafond) dalam memberikan bantuan kepada daerah untuk menutupi kekurangan. Jadi daerah tidak dapat seenaknya menentukan pengeluarannya, karena berpeluang menyebabkan selisih antara pengeluaran dengan pendapatan yang sangat besar. Namun dalam perjalanannya hubungan keuangan yang diatur dengan Sluitpost systeem ini menimbulkan kecenderungan pemerintah daerah terlalu bergantung pada pemerintah pusat.

IV. Hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia Masa Pemerintahan Masa Orde Baru Dibawah UU No.5/1974.

Setelah UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah dicabut, maka diundangkanlah Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Dalam pasal 55 UU No. 5 tahun 1974 dinyatakan sebagai berikut, sumber pendapatan daerah adalah :

a. Pendapatan Asli Daerah sendiri (hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, lain-lain hasil daerah yang sah) ;

b. Pendapatan berasal dari pemberian pemerintah (sumbangan dari pemerintah, sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan) ;

c. Lain – lain pendapatan yang sah.

(9)

mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.5

Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah, yang ciri-cirinya meliputi :

a. Konsentrasi kekuasaan ada di lembaga eksekutif (kepala daerah)

b. Ditutupnya akses parpol dalam pemerintahan daerah, dihapusnya BPH (Badan Pemerintahan Harian) sebagai perwakilan parpol di dalam pemerintahan daerah (versi UU No.1 Tahun 1957).

c. Tidak dilakukannya hak equate (angket) DPRD yang dapat mengganggu keutuhan kepala daerah.

d. Kepala daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD , tetapi secara hierarki kepada presiden.

e. Kepala daerah hanya memberikan keterangan kepada DPRD tentag pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan 1 (satu) tahun sekali.

Pemerintah Orde Baru juga memperkuat posisi kekuasaannya dengan memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah). Hal itu ditandai dengan pemberian sebutan kepala daerah sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Tidak mengherankan jika kedudukan kepala daerah pada waktu itu sangat sentral dan dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Kepala daerah merupakan boneka atau kepanjangan tangan dari pemerintah pusat (Presiden) untuk mengamankan setiap kebijakan pemerintah di daerah.6

Selama pelaksanaan undang-undang tersebut , berkembangnya tuntutan otonomi daerah secara nyata tidak terlepas dari kenyataan ketimpangan antar daerah yang telah berlangsung lama , setidaknya terdapat lima kesenjangan yang kronis :7

1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar 2. Kesenjangan investasi daerah yang besar

3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang terpusat

4. Pendapatan daerah dikuasai pusat

5J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal dan tantangan global,(Jakarta:Rineka Cipta,2007),hlm 27

(10)

5. Net Negative Transfer yang besar .Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan regional adanya ketimpangan alokasi kredit.

Implikasi dari dominasi kekuasaan lebih berat pada Pemerintah pusat dan kepemimpinan di daerah yang berorientasi ke atas (pusat) menyebabkan rakyat berada pada posisi yang lemah (strong state and weak society), di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat mengalami pengikisaan akibat kuatnya kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah .

Dengan konsep otonomi yang demikian, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang dikemas dengan dekonsentrasi.8

KESIMPULAN

Dasar-dasar hukum pelaksanaan hubungan pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia diawali saat pembentukan Decentralisatiewet 1903 oleh Pemerintahan Kerajaan Belanda. Dilandasi bahwa sistem sentralistis yang berlaku sejak 1855 sudah tidak dapat dipertahankan. Usaha perluasan tugas Regentschappen dan Stadsgemeenten dengan menerima urusan “Sekolah Rakyat” dan Provincies yang juga diserahi urusan-urusan pertanian rakyat, kehewanan, dan sebagainya adalah dasar dari adanya keuangan, karena harus dibiayai dengan Pajak dan Retribusi daerah. Sluitpost systeem digunakan untuk mengatur hubungan keuangan pada masa kolonial. Apabila ada perbedaan antara pengeluaran dan pendapatan, maka ditutup dengan cara Pemerintah Pusat menyerahkan sejumlah presentase dari hasil pungutan beberapa Pajak Negara.

Pada era kolonialisme Jepang dan tahun-tahun pasca Kemerdekaan Sluitpost systeem

masih digunakan. Pada masa awal terbentuknya negara Indonesia (Orde Lama, utamanya era Demokrasi Terpimpin), pemerintah pusat telah menetapkan batas tertentu (plafond) dalam memberikan bantuan kepada daerah untuk menutupi kekurangan. Jadi daerah tidak dapat seenaknya menentukan pengeluarannya, karena berpeluang menyebabkan selisih antara

(11)

pengeluaran dengan pendapatan yang sangat besar. Namun dalam perjalanannya hubungan keuangan yang diatur dengan Sluitpost systeem ini menimbulkan kecenderungan pemerintah daerah terlalu bergantung pada pemerintah pusat.

Dominasi pemerintah pusat atas urusan-urusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam negara kesatuan (eenheidstaat) menjadi tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi negara federal. Dengan perkataan lain, gagasan negara federal atau negara serikat dapat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang dianggap berlebihan (a highly centralized government), di samping terdapat sebab lain seperti hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dianggap kurang adil (soal prosentase) yang merugikan daerah.9

Pada masa Orde Baru kebijakan pembangunan ekonomi berasaskan trilogi pembangunan, yaitu : stabilitas yang makin mantap,pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya. Pengaruh yang cukup signifikan dari trilogi pembangunan tersebut adalah pelaksanaan otonomi yang diarahkan untuk terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah. Salah satunya dengan mengalihkan konsentrasi kekuasaan di lembaga eksekutif (kepala daerah). Pemerintah Orde Baru juga memperkuat posisi kekuasaannya dengan memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah) untuk mengamankan setiap kebijakan pemerintah di daerah. Imbas yang lahir dari kebijakan tersebut adalah kesenjangan-kesenjangan yang timbul di antar-daerah yang melahirkan tuntutan otonomi, contohnya :

1. Kesenjangan pendapatan antar daerah yang besar 2. Kesenjangan investasi daerah yang besar

3. Pemusatan industri akibat dari kebijakan investasi dan birokrasi serta infrastruktur yang terpusat

4. Pendapatan daerah dikuasai pusat

5. Net Negative Transfer yang besar. Salah satu yang mendorong melebarnya kesenjangan regional adanya ketimpangan alokasi kredit.

Dengan konsep otonomi yang demikian, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan

9 Muhammad Fauzan, Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara

Pusat dan

(12)

konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol , menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah manipulasi demokrasi, atau sentralisme yang terbungkus demokrasi atau sentralisme yang dikemas dengan dekonsentrasi.

Jika ditarik kembali benang merahnya, pada era sentralisasi ini terjadi pemusatan kebijakan terutamanya keuangan pada pemerinah pusat sehingga daerah seolah-olah hanya di jadikan sapi perah karena tidak dibiarkan mengatur kebijakan perekonomiannya masing-masing. Pada akhirnya pemerintah daerah yang tidak memiliki kemampuan keuangan mencukupi tidak leluasa mengembangkan daerahnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Contohnya anggaran pendidikan menurun dari waktu ke waktu, dapat ditebak akan terjadi perlambatan pengembangan pendidikan daerah yang menyebabkan ketimpangan antar daerah.

(13)

Asshidiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta : Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, 2004

Astawa, I Gde Pantja, Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung: PT Alumni, 2008

Fauzan, Muhammad. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah , UII Press, Yogyakarta 2006.

Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah , Yogyakarta : Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, 2004

Hamidi, Jazim. Lutfi, Mustafa, Dekonstruksi Hukum Pengawasan Pemerintahan Daerah, Malang : UB Press, 2011

Kaloh, J., Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokaldan Tantangan Global, Jakarta : Rineka Cipta, 2007

Karim, Abdul Gaffar (Ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar, 2003

Liang Gie, The, Pertumbuhan Pemerintah Daerah di Negara Republik Indonesia : Suatu Analisa Tentang Masalah-Masalah Desentralisasi, Jilid I, Gunung Agung, Jakarta, 1993.

Syueb, Sudono, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi, Laksbang Mediatama, 2008

Riwo Kaho, Josef, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,

Bina Aksara, Jakarta, 1982.

Riwo Kaho, Josef, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,

Identifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya, Rajawali Press, Jakarta, 1988.

Referensi

Dokumen terkait

model pembe-lajaran langsung, (2) manakah yang menghasilkan pemahaman konsep dan keterampilan komputasi matematika yang lebih baik, siswa dengan kemam-puan

Van den Berg (dalam Soepomo, 2001) mengatakan sistem pernikahan yang berlaku pada komunitas Arab yaitu sistem pernikahan endogami di mana dengan bentuk sistem pernikahan

Hasil menunjukkan bahwa Sub DAS Kaliputih mengalami perubahan penggunaan lahan yang cukup signifikan dari hutan menjadi pemukiman dan lahan budidaya, adanya bidang gelincir di

penarikannya dapat dilakukan sesuai perjanjian antara bank dengan.. nasabah dan penarikannya dapat dilakukan dengan menggunakan

Potensi Lengkuas (Languas galangal L.), Beluntas (Pluchea indica L.), dan Sirsak (Annona muricata L.) sebagai Insektisida Nabati Kumbang Kacang Hijau.. Callosobruchus

b.  Menurut   keputusan   kongres   Statistik   Internasional   Was­ hington (1947), jang   dinamakan   Pendapatan   Nasional 

Sedangkan alat yang digunakan adalah Automatic Water Level Recorder (AWLR), Automatic Rainfall Recorder (ARR), Currentmeter, Turbidity meter , Logger tipe GL 500 dan