• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pernikahan atau perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Manjorang dan Aditya, 2015). Santrock (2002) juga mengatakan mengenai makna pernikahan yakni berupa penyatuan dua pribadi yang unik, dengan membawa pribadi masing-masing berdasar latar belakang budaya serta pengalamannya. Sesuai dengan makna tersebut dimana menjadikan pernikahan bukan hanya sekedar

penyatuan antar dua individu, namun lebih pada pernyatuan antar dua keluarga secara keseluruhan dan bertujuan untuk membangun sebuah keluarga yang baru. Artinya, perbedaan-perbedaan yang ada diantara mereka perlu disesuaikan antar satu sama lain untuk membangun sistem baru bagi keluarga mereka. Olson & DeFrain (2010) juga mendefiniskan bahwa pernikahan merupakan suatu hubungan yang sakral atau suci dan pernikahan memiliki banyak keuntungan dibandingkan hidup sendiri, karena pasangan yang sudah menikah dapat menjalani hidup sehat, dapat hidup lebih lama, memiliki hubungan seksual yang memuaskan, memiliki banyak asset dalam ekonomi, dan umumnya memiliki teman untuk membesarkan anak bersama-sama.

Sehubungan dengan pernikahan tersebut, di Indonesia selain kaya akan budaya, etnisnya pun beragam. Di Indonesia terdapat sekitar 380 suku bangsa dan kurang lebih 200 bahasa daerah (Junida, 2012). Hal ini sangat berpeluang besar akan terjadinya perkawinan beda budaya (lintas budaya) dan beda etnis. Globalisasi yang terjadi juga tidak memungkiri individu untuk melakukan interaksi yang lebih luas, sehingga hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya pernikahan lintas budaya maupun lintas bangsa sekalipun (Junida, 2012). Bukan hanya etnis dari penduduk pribumi tetapi ada juga etnis keturunan asing yang telah lama menetap di Indonesia dan menyebar diberbagai daerah, dengan melewati proses sejarah yang sangat panjang seperti etnis Tionghoa dan Arab. Komunitas Tionghoa dan Arab ini merupakan pendatang yang pada akhirnya menetap di Indonesia. Dari beberapa macam etnis yang ada di Indonesia tersebut, penulis tertarik untuk mengulas lebih

(2)

jauh tentang etnis Arab dan sistem pernikahannya. Pada awal penyebaran agama Islam kebanyakan dari pendatang Arab dimana mereka bergerak dibidang

perdagangan. Kedatangan mereka ke Indonesia tanpa membawa istri-istri, yang pada akhirnya mereka mengawini perempuan-perempuan pribumi. Dari situ mulai lah terbentuk budaya pernikahan di kalangan komunitas Arab yang mereka bawa dari negara asal mereka yaitu Yaman, serta terbentuk pula sebuah kampung yang menyebar di berbagai pelosok daerah dan biasanya disebut dengan kampung Arab (Kinasih, 2013).

Komunitas Arab merupakan warga atau orang-orang keturunan dari Negara Arab yang hidup sebagai pendatang di Indonesia dan hidup berinteraksi dalam lingkunganya serta terkait oleh suatu rasa identitas bersama. Hubungan masyarakat keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia terjalin dengan baik, hal ini

dikarenakan mayoritas agama yang dianut masyarakat Indonesia adalah Islam. Sehingga walaupun berbeda dalam suku bangsa tetapi memiliki rasa solidaritas yang kuat dari segi keagamaan. Tetapi tidak dalam hal pernikahan, masyarakat keturunan Arab tidak ‘berbaur’ dengan masyarakat pribumi Indonesia karena adanya adat istiadat yang harus dipatuhi serta dijalankan yaitu melakukan pernikahan dengan satu klan atau keturunannya.

Van den Berg (dalam Soepomo, 2001) mengatakan sistem pernikahan yang berlaku pada komunitas Arab yaitu sistem pernikahan endogami di mana dengan bentuk sistem pernikahan tersebut memiliki aturan khusus yang harus dipatuhi oleh masyarakatnya karena sudah menjadi suatu kebiasaan yang telah dijalankan dari dahulu hingga saat ini seperti keharusan untuk mengawini sesama golongan Arab, keharusan bagi wanita Arab untuk menikah dengan pria Arab dan larangan menikah dengan pria yang bukan dari golongan Arab, ini merupakan salah satu identitas mereka. Jika ada yang melanggar hal tersebut maka terdapat sanksi moral di

dalamnya. Sanksi tersebut dapat berupa pengucilan, pengasingan, maupun dihapuskan dari garis keturunan keluarga. Hal tersebut sesuai dengan penuturan H (29 Tahun) yang menikah dengan sesame etnis Arab, ia mengatakan “Dahulu saya memiliki pacar bukan etnis Arab, namun keluarga besar tidak menyetujui dan memilih untuk menjodohkan saya dengan sesama etnis Arab. Pernikahan tersebut tidak saya kehendaki, namun karena paksaan orang tua yang mengatakan takut nanti saya dikucilkan oleh keluarga besar dan tidak anggap lagi sebagai keturunan Arab sehingga saya terpaksa menikah dengan pasangan sesama etnis Arab tersebut.

(3)

Namun 3 tahun usia pernikahan saya bercerai karena memang merasa tidak cocok dan akhirnya saya sekarang lebih memilih sendiri saja”.

Populasi Arab memiliki tradisi yang sangat panjang mengenai kekerabatan dikarenakan faktor sosial dan budaya mereka. Dikatakan oleh Al-Khaja, dkk (2009) bahwa negara Arab merupakan salah satu negara tertinggi dari pernikahan kerabat, dan pernikahan sepupu khusus pertama yang mencapai 25-30% dari semua

pernikahan. Praktik pernikahan dengan sesama etnis yang biasa dilakukan oleh orang Arab ini juga masih tetap dipertahankan oleh pendatang Arab di Indonesia.

Banyaknya pendatang dari Arab Hadramaut yang masuk ke Indonesia tak lantas membuat mereka (orang-orang Arab) meninggalkan budaya pernikahan asal negeri mereka, dikarenakan kedatangan mereka ke Indonesia tidak membawa istri-istri mereka pada akhirnya tak sedikit di antara mereka menikah dengan wanita pribumi. Pernikahan orang-orang Arab dengan wanita pribumi yang melahirkan anak-anak keturunan Arab, mengakibatkan anak-anak mereka lebih condong hubungan sosial mereka dengan budaya pribumi dari pada ke Arab dan dengan sendirinya berasimilasi dengan lingkungan mereka. Untuk melawan atau mengantisipasi kecenderungan yang dapat menghancurkan atau menghilangkan garis keturunan mereka, akhirnya orang-orang Arab lebih cenderung menikahkan anak perempuan mereka dengan golongan Arab, meskipun pria itu miskin (Asmita, 2014). Hal tersebut merupakan salah satu alasan munculnya larangan pernikahan anak perempuan keturunan Arab dengan pria yang bukan keturunan Arab atau dengan beda etnis. Menurut Van den Berg (dalam Soepomo, 2001) kepala suku yang paling berkuasa sekalipun tidak akan mungkin bisa memperistri perempuan keturunan Arab.

Sehubungan dengan hal diatas bentuk pernikahan sesama etnis Arab tersebut masih dipertahankan sampai saat ini oleh masyarakat keturunan Arab. Pernikahan sesama etnis pada masyarakat keturunan Arab menjelaskan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh mempelai harus berasal dari lingkungan kerabat terdekat dan larangan untuk melakukan pernikahan dengan pihak dari luar klan (keturunan/ suku/ etnis) yang bukan keturunan Arab. Dalam hal pernikahan kerabat, Bittle dan Makov yang dikutip oleh Preeven (2012) menyatakan bahwa pernikahan kerabat adalah sebuah serikat antara pasangan yang memiliki hubungan darah, dapat menikahi ayah atau paman dari pihak ibu dan bibi. Pernikahan kerabat yang dimaksud di sini adalah antar sepupu, satu marga, satu klan atau yang garis keluarganya dekat, tapi bukan sedarah kandung atau incest.

(4)

Al-Rifai, dkk (2007) mengatakan praktik endogami dan kekerabatan ini masih dipertahankan sampai sekarang oleh banyak masyarakat di dunia, seperti Kuwait, Jordan, Lebanon, Aljazair, Mesir dan masih banyak lagi negara-negara yang mempraktikkan pernikahan endogami atau sesame etnis ini. Alasan masih

mempertahankan dijabarkan oleh Sari, dkk (2008) yaitu karena masih bergantung pada hubungan keluarga, isolasi geografis atau stratifikasi sosial, budaya dan alasan yang paling fundamental dari beberapa alasan tersebut yaitu alasan ekonomi.

Praktik pernikahan kerabat sangat terlihat pada masyarakat Arab yang

berdomisili diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia banyak sekali perkampungan Arab yang masyarakatnya semua adalah orang keturunan Arab. Dari pemukiman Arab inilah tampak budaya yang mereka bawa dari negeri asal mereka. Dimana mereka membatasi pernikahan antara wanita keturunan mereka dengan pria yang bukan keturunan Arab (pribumi), karena bagi mereka wanita keturunan Arab derajatnya lebih mulia, lebih tinggi dari pada bukan keturunan Arab (pribumi). Inilah konsep bagi orang-orang Arab dan juga bagian kultur di negeri mereka, dan mereka jaga sampai sekarang (Siregar, 2009).

Para peneliti genetik dan medis Perveen, dkk yang di kutip oleh Farzana Perveen (2012) mengatakan bahwa pernikahan kerabat harus dihindari. Hal ini dikarenakan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut memiliki peningkatan resiko secara fisik, terbelakang mental dan berafiliasi dengan cacat seperti asma, kebutaan, tuli, eksim, epilepsi, penyakit sel sabit, kanker tertentu dan juling mata. Dalam populasi dengan tingkat tinggi pernikahan kerabat, dapat meningkatkan prevalensi penyakit dewasa seperti kanker, gangguan mental, penyakit jantung, gangguan gastro-intestinal, hipertensi, defisit pendengaran dan diabetes mellitus. Sehubungan dengan hal di atas Sennel (2013) menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa pernikahan kerabat atau endogami jika dilihat dari aspek medis atau kesehatan anak, memiliki pengaruh yang sangat besar, bukan sekedar kecacatan fisik, namun juga memberikan efek terhadap kecerdasan anak. Sederhananya anak-anak yang dilahirkan memiliki kemungkinan terkena efek intelektual, fisikal, keterbelakangan mental, dan emosi, bahkan penyakit yang sering menimbulkan kematian yang lambat dan menyakitkan.

Terkait hal di atas mengenai bahaya pernikahan kerabat secara medis, masyarakat modern keturunan Arab sendiri sudah banyak yang melanggar budaya pernikahan sesama etnis tersebut karena alasan lain yakni pernikahan sesama etnis

(5)

dipandang sangat sempit dan membatasi ruang gerak seseorang dalam hal pemilihan pasangan. Namun, pada kenyataannya, pembatasan perjodohan priatidak seketat wanita. Mereka dapat memilih pasangan dari luar komunitas Arab atau beda etnis. Lain hal nya dengan keinginan pihak wanitauntuk bisa menikah dengan pria yang bukan keturunanArab sebagai pilihannya, sangat sulit diterima oleh keluarga karena dianggap status sosial wanitatersebut akan turun. Karena dipersulitnya pihak wanita keturunan Arab yang ingin menjalankan pernikahan beda etnis tersebut, membuat peneliti tertarik untuk melihat perbedaan kesiapan menikah antara wanita yang menikah dengan sesama etnis Arab dan wanita yang menikah dengan yang bukan etnis Arab.

Untuk mengurangi terjadinya praktik pernikahan dengan sesama etnis

tersebut, maka Jurdi dan Sexana (dalam Barakat, 2014) mengatakan bahwa diperlukan peningkatan dalam pendidikan perempuan untuk dapat meningkatkan pernikahan dengan beda etnis melalui pandangan global, pemberdayaan individu dan (keungan) kemandirian, dan kesadaran yang lebih besar dari resiko kesehatan yang berhubungan dengan pernikahan kekerabatan atau satu etnis. Sedangkan Ferry (2012) mengatakan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda kebudayaan tidaklah

gampang dan berjalan mulus, banyak tantangan yang harus mereka hadapi ketika mereka memutuskan untuk menikah seperti sulitnya meyakinkan keluarga,

penyesuaian budaya dari pasangan, benturan kebudayaan, ketersinggungan pasangan terhadap budaya pasangannya, dan ketakutan akan kehilangan identitas keturunannya kelak. Hal tersebut sejalan dengan penuturan S (25 tahun) dalam wawancara

mengenai pernikahan beda etnis, “Zaman sekarang jika menikah masih mengikuti kebudayaan bukan berdasarkan keinginan hati dikhawatirkan akan berdampak buruk. Karena pasangan yang beda etnis menurut saya justru banyak kelebihannya karena tidak monoton alias itu-itu saja. Walau banyak tantangannya untuk

melanggar kebudayaan sendiri dan harus lebih mempersiapkan diri karena akan mendapat banyak kritik dari dalam dan luar lingkungan keluarga, namun ketenangan hati lebih saya utamakan dibandingkan patuh pada kebudayaan yang jelas-jelas belum tentu menjanjikan kebahagiaan bagi saya.”

Berbicara mengenai pernikahan tersebut, di Indonesia juga mengatur mengenai usia pernikahan masyarakatnya dimana menurut UU No 1 Tahun 1974 diatur tentang usia yang diperbolehkan menikah yakni jika laki-laki telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah berusia 16 tahun (Manjorang, 2015). Sesuai

(6)

dengan peraturan tersebut dimana pihak wanita keturunan Arab di Indonesia rata-rata menjalani pernikahan yakni pada usia dewasa muda atau emerging adult (Asmita, 2014). Papalia, Sterns, & Feldman (2009) mengatakan bahwa masa dewasa muda adalah masa transisi dari tahap remaja menuju tahap dewasa. Erickson (dalam Papalia, et.al., 2009) mengatakan bahwa kematangan perkembangan psikososial dewasa muda dapat dicapai ketika mampu melewati tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini seseorang diharapkan mampu mempersiapkan dan membina hubungan yang dekat dan hangat dengan orang lain, pertemanan, menggabungkan diri dalam suatu kelompok dan mempersiapkan diri untuk membentuk komitmen dengan lawan jenisnya yang nantinya akan mengarahkan pada pernikahan.

Masa dewasa awal juga dikenal sebagai emerging adulthood, yakni suatu tahapan transisi antara remaja akhir ke dewasa. Pada fase perkembangan ini individu mengalami eksplorasi dengan melakukan eksperimen terhadap pekerjaan dan

seseorang yang akan menjadi role model mereka dalam kehidupan (Arnett, 2012). Tahapan ini terjadi dalam rentang usia antara 18-25 tahun. Arnett mendefinisikan bahwa pada tahapan ini individu mengalami proses pencarian jati diri berbagai arah kehidupan seperti pekerjaan dan pandangaan terhadap dunia. Sesuai dengan teori Erickson dan Arnett tersebut bahwa wanita saat usia dewasa muda harus sudah mempersiapkan diri untuk membentuk komitmen dengan lawan jenisnya serta

membentuk jati dirinya agar mampu memiliki pandangan hidup yang baik menegenai pernikahan.

Sehubungan dengan hal di atas dimana individu yang akan melangsungkan pernikahan harus juga mempersiapkan dirinya untuk menjalani hubungan

pernikahannya kelak. Kesiapan menikah sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan pernikahan karena individu perlu untuk meyakinkan dirinya bahwa ia bersedia untuk menikah serta bersedia untuk menjalankan perannya nanti setelah menikah dan siap menerima segala perubahan yang terjadi setelah menikah. Menurut Wiryasti (2004) kesiapan menikah yakni kemampuan individu untuk menyandang peran baru sebagai suami atau istri digambarkan dengan adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial dan studi yang telah selesai. Sehubungan dengan Wiryasti diatas, Holman dan Li (1997) mengatakan bahwa kesiapan menikah merupakan suatu kemampuan yang dipersepsi oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan dan

(7)

merupakan bagian dari proses perkembangan dalam memilih pasangan atau hubungan.

Kesiapan ini dianggap penting karena kehidupan pernikahan cenderung berbeda dengan kehidupan saat masih melajang (Williams, et al, 2006). Pada 2-3 tahun awal pernikahan beberapa perubahan akan terjadi sehingga pada tahap ini pasangan butuh menyesuaikan diri serta menerima diri satu sama lain (Williams, et al, 2006). Untuk mampu menyesuaikan diri dan menerima perubahan di awal pernikahan tersebut, sebenarnya individu dapat mempersiapkannya sebelum menikah yakni pada tahap perkenalan karena pasangan dapat mengetahui serta memahami tentang

perbedaan diantara pasangan tersebut yang tentunya sangat bermanfaat bagi

kehidupan pernikahan kelak. Sesuai dengan pernyataan tersebut setiap individu yang akan menikah harus mempersiapkan dirinya untuk menerima segala hal perubahan dalam dirinya serta diri pasangannya kelak.

Sesuai dengan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk melihat perbedaan kesiapan menikah wanita emerging adult keturunan Arab yang akan menikah dengan Etnis Arab dan Bukan Etnis Arab. Dimana peneliti juga merupakan wanita keturunan Arab berusia emerging adult yang berada dekat dengan fenomena tersebut dan peneliti ingin menjadikan penelitian ini sebagai acuan untuk penelitian

selanjutnya mengenai sistem pernikahan pada budaya Arab. Pernikahan sesama etnis yang sudah banyak terjadi dikalangan keluarga serta kerabat peneliti sendiri dan pernikahan dengan yang bukan etnis Arab sudah mulai terjadi dilingkup keluarga peneliti juga membuat ketertarikan tersendiri bagi peneliti untuk melihat perbedaan kesiapan menikah antara wanita yang menikah dengan sesama etnis Arab dan yang bukan etnis Arab. Selain itu subjek penelitian peneliti juga dekat dengan lingkungan peneliti sehingga memungkinkan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian ini. Berdasarkan penjelasan diatas bagaimana budaya Arab tidak memperbolehkan pernikahan dengan beda etnis atau yang bukan etnis Arab, memungkinkan adanya perbedaan kesiapan menikah antara wanita yang menjalankan pernikahan sesuai dengan kebudayaan yang sudah berjalan sejak zaman dahulu dengan wanita yang ingin menjalani pernikahan diluar kebudayaan yang dianut oleh keturunan Arab yakni pernikahan dengan yang bukan etnis Arab.

(8)

1.2Rumusan Permasalahan

Berdasarkan persoalan yang peneliti kemukakan pada bagian latar belakang, penelitian ini memiliki rumusan masalah mengenai apakah ada perbedaan kesiapan menikah wanita emerging adult keturunan Arab yang akan menikah dengan Etnis Arab dan Bukan Etnis Arab?

1.3 Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan persoalan yang peneliti kemukakan sebelumnya pada latar belakang, tujuan dari penelitian yakni peneliti ingin mengetahui ada atau tidak perbedaan kesiapan menikah wanita emerging adult keturunan Arab yang akan menikah dengan Etnis Arab dan Bukan Etnis Arab.

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya dengan pengetahuan komunikasi terapeutik perawat, kemampuan perawat yang sebagian besar pada kategori cukup baik tersebut kemungkinan karena adanya

Penelitian yang dilakukan di TK AndiniSukarame Bandar Lampung betujuan meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal konsep bilangan melalui media gambar pada usia

Ketersediaan informasi lokasi rumah sakit, fasilitas dan layanan yang tersedia di rumah sakit dan tempat kejadian dapat tersedia secara jelas dan terkini sehingga penentuan

Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji syukur dan sembah sujud, penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga penyusun

H1: (1) Terdapat perbedaan produktivitas kerja antara karyawan yang diberi insentif dengan karyawan yang tidak diberi insentif (2) Terdapat perbedaan

7.4.4 Kepala LPPM menentukan tindakan perbaikan yang harus dilakukan pada periode Pelaporan Hasil Pengabdian kepada masyarakat berikutnya.. Bidang Pengabdian kepada masyarakat

Ketika orang-orang dari budaya yang berbeda mencoba untuk berkomunikasi, upaya terbaik mereka dapat digagalkan oleh kesalahpahaman dan konflik bahkan

Dengan cara yang sama untuk menghitung luas Δ ABC bila panjang dua sisi dan besar salah satu sudut yang diapit kedua sisi tersebut diketahui akan diperoleh rumus-rumus