• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peluang Dan Tantangan Penulisan Ilmiah B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peluang Dan Tantangan Penulisan Ilmiah B"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PELUANG DAN TANTANGAN PENULISAN

ILMIAH BIDANG PERPUSTAKAAN DAN

INFORMASI DI INDONESIA

Iswanda Fauzan S.1 | iswanda.fauzan@outlook.com | http:oejankindro.tk

“I have always imagined that paradise will be a kind of library”

- Jorge Luis Borges, Poema de los Dones from El Hacedor, 1960

____________________

Mukadimah

Disadari atau tidak, hakekat ilmu perpustakaan dan informasi pada dasarnya berawal dari adanya sebuah tulisan. Anda bisa membayangkan jika tidak ada tulisan, mungkin tidak ada bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Alasannya, definisi yang diberikan oleh para ahli dan organisasi di bidang ilmu perpustakaan selalu mencantumkan kata „terekam‟ (recorded) dalam isitilah-istilah terkait kepustakawanan. Hal ini menunjukkan bahwa peran tulisan dalam eksistensi perpustakaan selalu berjalan selaras dengan perkembangan karya terekam, baik tercetak dan tidak tercetak (multimedia). Saat ini sudah berkembang pula media elektronik dan dukungan teknologi informasi dan komunikasi di perpustakaan – yang memaksakan tantangan-tantangan baru bagi dunia perpustakaan.

Keadaan tersebut juga secara langsung berdampak pada eksistensi profesi pustakawan, baik yang bekerja di perpustakaan, institusi pendidikan (baca:pengajar), dan peneliti di bidang perpustakaan dan informasi. Definisi pustakawan menurut International Encyclopedia of Information and Library Science tahun 1997 dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu; (1) Tradisional, pada term ini, pustakawan berperan sebagai kurator koleksi (buku) dan sumber/material informasi lainnya untuk selanjutnya disebarluaskan kepada pengguna; (2) Modern, pustakawan berperan sebagai menejer dari sekumpulan sumber informasi terseleksi dan melalui proses menejemen koleksi, pengorganisasian informasi, kebijakan akses, dan menyebarluaskan informasi tersebut kepada pengguna secara luas (lokal atau jarak jauh); (3) Modern Lanjutan, pustakawan saat ini juga berperan sebagai mediator aksesibilitas informasi dari berbagai tipe pengguna. Hal ini kemudian memunculkan kegiatan referensi (Chowdhury et.al., 2008:3).

Gorman (2008) menjelaskan beberapa aktivitas pustakawan abad 21 meliputi kegiatan: seleksi, akuisisi, organisasi dan akses, preservasi dan konservasi, layanan dan pendidikan pengguna, dan menejemen. Namun demikian, Gorman menambahkan bahwa seorang pustakawan harus meningkatkan kualifikasi dengan menempuh pendidikan dan mencari pengalaman guna mendukung pekerjaannya (Gorman, 2008:13-14). Pendapat-pendapat tersebut mengindikasikan bahwa pustakawan di Abad 21 perlu terus mengembangkan diri guna mengimbangi perkembangan zaman, baik melalui kegiatan penelitian, kegiatan organisasi, dan penerbitan buku-buku bidang perpustakaan dan informasi. Berdasarkan perkembangan definisi tersebut, fungsi pustakwan saat ini akan

1

Peneliti Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi

(2)

cenderung bersifat edukatif dan aplikatif. Artinya, pustakawan harus menunjukkan eksistensi diri sebagai profesional – jika pustakawan ingin „dianggap‟ sebagai profesi – sehingga mampu memberikan sumbangsih untuk ilmu pengetahuan, khususnya di bidang ilmu perpustakaan dan informasi, serta mampu meningkatkan kualitas layanan perpustakaan. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan produktifitas penulisan karya ilmiah di bidang ilmu perpustakaan dan informasi.

Pada hakekatnya, penulisan ilmiah memiliki beberapa parameter untuk bisa dikatakan „ilmiah‟. Karya ilmiah dapat berupa skripsi, thesis, laporan penelitian, makalah, kertas kerja, resensi, esai, dan artikel ilmiah. Ragam bentuk karya ilmiah tersebut memiliki ciri-ciri khusus sehingga disebut karya ilmiah yang dikenal dengan ABCEL, yaitu; accurate, brief, clear, ethical, dan logical. Perbadaan tulisan ilmiah dan non-ilmiah yang paling krusial adalah adanya peer review sebelum tulisan tersebut dikonsumsi publik. Secara garis besar, anatomi tulisan ilmiah terdiri dari 10 bagian, yaitu: judul, kredit, abstrak, kata kunci, pendahuluan, metode, hasil (penyajian data dan pembahasan), simpulan, persantunan (acknowledgement), dan daftar referensi/rujukan.

Tulisan ini tidak membahas secara detail teknis penulisan ilmiah. Pembahasan pada tulisan ini hanya difokuskan pada hal-hal subtantif tentang peluang dan tantangan penulisan ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Untuk pedoman tentang teknis penulisan ilmiah, di Indonesia sudah banyak lembaga pendidikan dan lembaga pemerintahan yang mengulasnya –sebagian besar diadaptasi dari UNESCO Publications Guidelines 2010, misalnya Peraturan Dirjen Dikti No. 29/DIKTI/Kep/2011 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah.

Mengapa Harus Menulis?

Catatan mengenai publikasi ilmiah dan non-ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan informasi tidak seburuk yang dibayangkan. Sekitar satu setengah dekade yang lalu, penelitian yang dilakukan Purnomowati dan Yuliastuti (2000) menunjukkan bahwa terdapat 84 judul jurnal bidang ilmu perpustakaan dan informasi yang memiliki ISSN. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa sebanyak 39 judul majalah (46,43%) masih terbit, 32 judul (38,10%) tidak diketahui statusnya, 10 judul (11,9%) sudah tidak terbit, dan 3 majalah (3,57%) berganti judul. Sebanyak 43,59% jurnal diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, 46,15% diterbitkan oleh lembaga departemen/non-departemen, dan 10,26% diterbitkan organisasi profesi. Hingga tahun 2001, tidak ada jurnal bidang ilmu perpustakaan yang mendapatkan akreditasi oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI). Bahkan hingga pertengahan tahun 1999, belum ada satupun terbitan ilmiah di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Penulis sempat melakukan penelusuran untuk membuktikan temuan tersebut melalui SK DIKTI tahun 2011-2013 mengenai hasil akreditasi terbitan berkala ilmiah, hasilnya pun hampir sama, tidak ada satupun jurnal bidang ilmu perpustakaan dan informasi yang terakreditasi. Namun demikian, hasil temuan ini masih perlu dikoreksi dan diselidiki lebih lanjut.

(3)

Data ini merupakan penambahan dari hasil temuan Purnomowati dan Yuliastuti (2000) yang meliputi; 5 terbitan berganti judul (sebelumnya tercatat 3 judul), 12 terbitan berseri (selain majalah), dan 7 terbitan yang baru terbit (Ginting, 2003:16).

Untuk terbitan buku, selama 53 tahun (1952-2005) pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi di Indonesia, hanya terdapat 237 buku di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Jadi, selama kurun waktu tersebut, hanya terdapat 4-5 buku bidang ilmu perpustakaan dan informasi per tahun. Selain itu, Sebagian besar buku yang terbit hanya mengangkat isu-isu umum tentang perpustakaan dan bersifat pengulangan tentang manual teknis perpustakaan. Hanya ada satu buku selama periode tersebut yang membahas isu teoritis dan menggunakan perspektif multidisiplin yang ditulis Putu Laxman Pendit tahun 2003 dengan judul Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi: Suatu Pengantar Diskusi Epistemologis dan Metodologi. Baru pada tahun 2009 dua buku serupa diterbitkan (Laksmi, 2006:576). Data lain mengenai terbitan buku bidang perpustakaan dan informasi menyebutkan sebanyak 89 buku diterbitkan periode 1991-2001. Rata-rata terbitan buku pertahunnya –pada periode tersebut- berjumlah 8 sampai 9 buku. Sebanyak 8% atau 8 judul buku tersebut merupakan karya Prof. Sulistyo Basuki, 30% (27 buku) merupakan karya kolaborasi dan termasuk karya terjemahan, dan 12 pustakawan yang menulis lebih dari dua judul buku pada periode tersebut (Marzuki, 2002).

Berdasarkan data-data tentang publikasi bidang ilmu perpustakaan dan informasi di atas, setidaknya akan muncul dua pertanyaan dikalangan pustakawan; mengapa hal itu bisa terjadi? dan bagaimana upaya untuk memperbaiki hal tersebut? Jawaban tentang hal tersebut sebenarnya sudah didiskusikan oleh tokoh-tokoh kepustakawanan Indonesia sejak dahulu, misalnya; Tjitropranoto (1995) Penelitian dan Sumber Daya Manusia di Bidang Perpustakaan; Mien Rifai (1997) Peran Pustakawan Indonesia dalam Meningkatkan Nilai Tambah Hasil Penelitian di Abad ke XXI: Sebuah Harapan; Hernandono (2005) Meretas Kebuntuhan Kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan; Harmaini (2006) Fungsional Pustakawan dan Pemberdayaannya di Badan Litbang ESDM; Laksmi & Wijayanti (2012) Indonesian Library and Information Science Research as the Social Construction Process, dan tentu masih banyak pemikiran lainnya yang belum bisa Penulis cantumkan.

Tahun 2006 yang lalu, tepatnya pada Asia-Pasific Conference on Library and Information Education & Practice di Nanyang Technology University, Taemin Kim Park menyajikan sebuah makalah yang mungkin menyentak delegasi Indonesia yang hadir –diantaranya Prof. Sulistyo Basuki, Dr. Laksmi, Luki Wijayanti, SIP., dan Pungki Purnomo, MLIS. Pada kesempatan tersebut Park menyampaikan makalah berjudul Authorship from the Asia and Pasific Region in Top Library and Information Science Journals. Sebanyak 1.273 artikel yang diterbitkan di 20 jurnal terkemuka2 bidang ilmu perpustakaan dan informasi periode 1967-2005, tidak ada satupun kontributor dari Indonesia. Di kawasan ASEAN, Indonesia sejajar dengan Vietnam dan berada di bawah Filipina (9 artikel), Thailand (16 artikel), Malaysia (17 artikel), dan sebanyak 127 artikel oleh Singapore. (Park, 2006: 557). Produktifitas penulisan ilmiah bidang perpustakaan di Indonesia sejak tahun 1985 hingga 2004, berdasarkan studi Sasmita & Nugraeni (2005), hanya berjumlah 122 judul. Artinya, setiap tahun hanya ada 6 artikel yang diterbitkan. Selain itu, pada periode yang sama, tercatat 105 laporan penelitian dimana 29 penelitian bersifat kolaboratif (Hernandono, 2005:5).

2

(4)

Sampai di sini, kegiatan menulis di kalangan akademisi dan praktisi perpustakaan dan informasi harus bin wajib ditingkatkan. Penulis „tidak berani‟ menyajikan perbandingan data tulisan, terbitan, atau penulis di bidang ilmu perpustakaan dan informasi Indonesia dengan negara-negara lain di Asia, Eropa, dan Amerika. Ketidakberanian tersebut didasari rasa optimisme yang sangat tinggi bahwa lima tahun lagi data-data tersebut akan menampilkan tulisan, terbitan, dan penulis Indonesia bidang ilmu perpustakaan dan informasi.

Kebiasaan Mengulang

Kebiasaan mengulang yang dimaksud adalah kebiasaan pengulangan topik penelitian yang dilakukan oleh akademisi, baik mahasiswa dan pengajar di lingkungan perguruan tinggi penyelenggara program studi ilmu perpustakaan dan informasi. Pendapat ini, menurut hemat Penulis, tidak terlalu berlebihan dan tidak bermaksud merendahkan. Keadaan demikian juga dialami beberapa disiplin ilmu lain yang ada di Indonesia. Seringkali – bahkan hampir seluruh – topik tugas akhir mahasiswa program studi ilmu perpustakaan dan informasi hanya membahas „kulit luar‟ ilmu perpustakaan dan informasi. Misalnya; layanan perpustakaan, minat baca, pengembangan koleksi, kepuasan pengguna, dan temu-kembali informasi. Studi yang dilakukan Risha Setyowati (2012) menunjukkan bahwa kecenderungan topik skripsi mahasiswa S1 bidang ilmu perpustakaan di Indonesia kurun waktu 2009-2011 terkerucut pada tiga topik utama, yaitu; library services (11,3%), the information societies (11%), dan properties, needs, quality, and value of information3 (8,85%). Padahal, merujuk pada Taksonomi bidang ilmu informasi Hawkins (2003), terdapat 11 topik/subjek utama yang memiliki sub-subjek –jika dijumlah keseluruhan- sebanyak 55 sbujek. Selain itu, Hawkins (2001) pernah menawarkan peta ilmu informasi (information science map) dan memberikan batasan antara subjek bidang ilmu perpustakaan dengan ilmu informasi4.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kenyataan bahwa pengulangan topik dalam penulisan ilmiah di kalangan mahasiswa ilmu perpustakaan dan informasi memang masih rentan terjadi. Keadaan ini setidaknya disebabkan oleh tiga faktor; (1) terbatasnya sumber rujukan tentang topik-topik lain di bidang ilmu perpustakaan dan informasi, (2) keengganan atau kurangnya rasa percaya diri mahasiswa menulis topik-topik baru, atau (3) dorongan dan bimbingan dari pengajar atau dosen yang masih kurang. Menurut hemat Penulis, faktor terakhir harus segera mendapat perhatian ekstra keras dari seluruh pihak yang berkepentingan di bidang ilmu perpustakaan dan informasi.

Pengalaman dan catatan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sering menempatkan kepentingan administratif profesi/jabatan sebagai pondasi untuk menulis di kalangan akademisi dan praktisi bidang perpustakaan (Grafik 1). Hasil survei Laksmi & Wijayanti (2012) menyatakan bahwa 64% penelitian bidang perpustakaan dan informasi dilakukan atas dasar administratif (kelulusan, kenaikan jabatan, dan seminar). Selanjutnya 15% atas kepentingan institusi dan akademis, 14% ikut-ikutan kolega, 3% karena ada peluang dan lain-lain, 1% abstain (Laksmi & Wijayanti, 2012: 280).

3

Istilah diambil dari Information Science Taxonomy yang dikemukakan oleh Hawkins, Larson, dan Caton tahun 2003 dalam artikel yang berjudul Information Science Abstract: Tracking the Literature of Information Science. Part 2: A New Taxonomy for Information Science.

4

(5)

64%

15%

14%

3% 3%

1%

Kepentingan Administratif

Kepentinagan Institusi & Akademis

Ikut-ikutan Kolega

Ada Peluang

Lainnya

Abstain

Grafik 1. Alasan Akademisi dan Praktisi Bidang LIS Melakukan Peneltian Sumber: Laksmi & Wijayanti (2012)

Hingga saat ini, kebiasaan melakukan penelitian atau menulis untuk dengan motivasi kepentingan administratif memang masih banyak. Meskipun demikian, motivasi tersebut tidak seluruhnya salah mengingat sistem yang mengharuskan seperti itu. Pendapat Penulis di atas rasanya tidak berlebihan. Studi Maesaroh dan Genoni tahun 2009 menjelaskan perbandingan antara kecenderungan-kecenderungan pustakawan Indonesia dalam hal Continuing Professional Development (CPD) dibandingkan dengan pustakawan Australia.

Tabel 1. Continuing Professional Development (CPD) Pustakawan Indonesia (%)

Fungsi / Aktivitas Indonesia Australia

Participation in professional organisations 23.0 8.2 17.2 13.8

Attending formal conferences, workshops

and training events 30.1 7.7 21.1 9.1

Participating in informal workplace learning 34.4 10.6 29.7 14.1

Research and publishing in the field of

Librarianship 11.8 4.3 4.0 1.8

Managing training and staff development 12.7 4.6 18.0 18.1

Sumber: Maesaroh & Genoni (2009).

Data tersebut hanya mencantumkan fungsi dan aktivitas yang sesuai/mengindikasikan CPD. Analisis yang dikemukakan Maesaroh & Genoni terhadap aktivitas „Research and Publishing‟ adalah sebagai berikut;

It is worth noting in particular that Indonesian respondents indicated a

considerably higher level of participation in “Research and publishing” that did

the Australians. This may be explained by the practice of using small research projects as a promotional test in Indonesia, although they rarely result in formal publication. (Maesaroh & Genoni, 2009:17).

(6)

(107) professional reading activity, 12.7% publication or preseantation of paper, 9.7% conference attendance, dan 5.2% a personal study project yang dilakukan oleh pustakawan Indonesia. Catatan Penulis, aktivitas pengembangan profesional pustakawan –disamping motivasi administratif- juga perlu diimbangi dengan peningkatan kompetensi, inovasi, dan kreatifitas. Akan terdengar lucu jika orang mengembar-gemborkan prinsip pembelajaran sepanjang hayat (life long learning) tapi dengan „terbuka‟ menunjukkan hal tersebut tidak mampu diterapkan dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri.

Banyak Peluang Terbuang

Sub-judul di atas mungkin terkesan mendiskreditkan peluang menulis bidang perpustakaan. Namun, keadaan ini selalu dihadapi beberapa penulis ataupun peneliti bidang perpustakaan di beberapa negara. Penulis sempat berdiskusi melalui surel email dengan seorang pustakawati bernama Mara Thacker dari University of Illinois, Urbana-Champaign beberapa waktu yang lalu. Pustakawan tersebut mengaku mengalami hal yang sama, yaitu sering membuang peluang untuk menulis. Alasannya, budaya menulis di sana sudah sangat maju untuk kalangan akademisi di bidang perpustakaan dan informasi. Dengan demikian, pustakawan yang bekerja di perpustakaan seolah tidak berkesempatan menulis karena akademisi memiliki kemampuan yang lebih memadahi tentang penulisan. Ia juga mengakui bahwa profesi pustakawan di sana masih kurang mendapat perhatian. Namun demikan, Mara menyadari organisasi profesi pustakawan di Amerika sudah mapan dan kompeten di bidangnya masing. Bidang masing-masing yang dimaksud adalah divisi-divisi yang berada dibawah American Library Association (ALA). Saat ini ALA memiliki 11 divisi, 29 afiliasi profesi, dan puluhan chapter di bebeberapa negara bagian.

Kisah di atas bertolak belakang dengan kondisi organisasi profesi pustakawan di Indonesia, yaitu Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI). Sejak berdiri pada 1973 melalui Kongres Pustakawan se-Indonesia di Ciawi, IPI sebenarnya sudah memiliki 5 bidang dan tiga komisi untuk membantu melaksanakan program IPI. Terdapat dua komisi IPI yang sangat relevan dengan topik tulisan ini, yaitu Komisi Penerbitan dan Komisi Penelitian dan Pengembangan. Hingga saat ini, derap langkah kedua komisi tersebut belum menunjukkan hasil positif untuk perkembangan ilmu perpustakaan dan informasi di Indonesia. Hal ini diakui oleh beberapa akademisi di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Supriyatno (2006) menyebutkan peluang memperbaiki kepustakawanan Indonesia sering kandas setelah kongres IPI dilaksankan. Meskipun demikian, Supriyatno mensyukuri adanya penyelenggaraan kongres IPI yang rutin dan tertib dari wakt ke waktu (Supriyanto, 2006:329). Laksmi & Wijayanti (2012) menyebutkan bahwa perhatian IPI lebih banyak terfokus pada praktisi perpustakaan, termasuk fungsi, kompetensi, dan hal teknis lainnya. Sedangkan perhatian untuk penelitian bidang ilmu perpustakaan sangat kurang (Laksmi & Wijayanti, 2012: 278). Hal ini dapat menjadi salah satu sebab aktivitas penulisan ilmiah di bidang ilmu perpustakaan dan informasi masih belum maksimal.

(7)

terhadap serangan teknologi informasi dan komunikasi5, serta „kuman‟ pengulangan seperti dijelaskan di atas. Artinya, proses transfer ilmu pengetahuan mengenai perpustakaan dan informasi seperti terkurung pada hal-hal teknis semata, misalnya: pengatalogan, klasifikasi, temu-kembali, pengindeksan, dan hal teknis lainnya. Hal ini menyebabkan keluasan proses pendidikan kepustakawanan menjadi sempit dan terkesan seolah-olah untuk „memenuhi permintaan pasar‟. Akibatnya, cakupan pengetahuan dan kemampuan penelitian yang dimiliki lulusannya pun belum mampu bersaing di kancah internasional.

Kedua, faktor eksternal yang mencakup bidang ilmu lain dan pustakawan asing. Bidang ilmu lain yang dimaksud adalah ilmu-ilmu yang memiliki kedekatan dengan perpustakaan dan informasi, misalnya: ilmu komputer dan informasi, ilmu psikologi, ilmu komunikasi, ilmu antopologi, dan ilmu arsitektur. Selama kuliah, Penulis sering menemukan artikel, skripsi atau thesis tentang perpustakaan dan informasi yang ditulis oleh mahasiswa dari luar disiplin ilmu perpustakaan. Hal ini menjadi sebuah hal yang patut dibanggakan dan juga direnungkan, bukan?

Mengenai pustakawan asing, istilah ini digunakan terhadap pemikiran-pemikiran yang dibawa oleh pakar-pakar bidang perpustakaan dan informasi dari negara-negara lain. Pendidikan perpustakaan dan informasi hadir di Indonesia sejak tahun 1948. Pada tahun 1990, tercatat sebanyak 27 perguruan tinggi penyelenggara pendidikan perpustakaan dan informasi. Saat ini, Indonesia memiliki 33 perguruan tinggi penyelenggarakan pendidikan perpustakaan dan informasi, baik Diploma, Sarjana, dan Pasca-Sarjana (lima S2 dan satu S3). Berdasarkan jumlah tersebut, sebanyak 10 program studi diselenggarakann oleh perguruan tinggi Islam, baik negeri maupun swasta, yaitu:

1. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga – Yogyakarta (D3/S1/S2). 2. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah – Jakarta (S1).

3. Universitas Islam Nusantara – Bandung (S1/D3).

4. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol-Padang (D3). 5. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry – Aceh (D3/S1). 6. Universitas Lampung (UNILA) – Lampung (D3)

7. Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin – Makasar (S1) 8. Universitas Muhammadiyah Mataram (D3).

9. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Antasari – Banjarmasin (D3) 10.UIN Sunan Ampel6 – Surabaya (S1).

Berdasarkan jumlah tersebut, secara porposional dan masuk akal, seharusnya sudah banyak hasil pemikiran orisinal bidang perpustakaan yang diekstrak dari intisari lokal dan diakui di dunia internasional. Kenyataannya, akar kepustakawanan Indonesia masih belum digali lebih mendalam. Hal ini bisa dibuktikan dari beberapa kurikulum pendidikan perpustakaan dan informasi di Indonesia yang sebagian besar masih „berkiblat‟ pada Universitas Indonesia7 dengan modifikasi dan penyesuaian. Keadaan ini tentu harus menjadi catatan tersendiri bagi penyelenggara pendidikan perpustakaan dan informasi.

Khusus penyelenggara pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi dari kalangan perguruan tinggi Islam di Indonesia. Peluang yang sering terbuang lebih cenderung bersifat fundamental dan filosofis. Kenapa? Karena belum banyak akademisi yang

5

Simak ulasan Maesaroh & Genoni dalam Education and Continuing Professional Development for Indonesian Academic Librarians: A Survei tahun 2009, hal. 15-17.

6

Sedang dalam proses pendirian dan sudah membuka pendaftaran mahasiswa baru TA 2014/2015. 7

(8)

dengan tekun mendalami kepustakawanan Islam. Padahal, bibit-bibit kajian tentang hal ini sudah banyak dicanangkan oleh beberapa akademisi, misalnya: Drs. Suali Fuad, Sohibul Anshor, M.Hum., Dr. Zulfikar Zen, Nurdin Laugu, Siti Maryam, Ceria Isa Ningtyas, Pungki Purnomo, MLIS., dan lain-lain. Peluang untuk menjadi ahli di bidang kepustakawanan Islam di Indonesia sangat luas. Artinya, perlu ada sebuah kodifikasi ulang tentang sistem dan paradigma tentang kepustakawanan di lingkungan perguruan tinggi Islam untuk ilmu perpustakaan dan informasi.

Tantangan Terbesar: Lingkungan

Beberapa artikel mengenai publikasi ilmiah – bukan hanya di bidang Ilmu Perpustakaan dan informasi – menekankan perhatian terhadap dukungan pemerintah dalam hal penelitian masih kurang maksimal. Pendapat tersebut memang sangat relevan jika kita membandingkan anggaran penelitian dan pengembangan (research and development) dari negara-negara lain, khusunya negara yang sebagian penduduknya beragama Islam. Isu ini sempat di bahas oleh Prof. Zaleha Kamaruddin dalam International Conference on Islamic Leader di Kuala Lumpur Malaysia, September 2012. Jika melihat Grafik 2, Indonesia sejak tahun 1998 hingga tahun 2007 „pelit‟ dalam hal investasi untuk penelitian dan pengembangan.

Grafik 2. Anggaran Belanja Bidang Penelitian dan Pengembangan Negara-Negara Muslim Dunia Per Kapita.

Sumber: Prof. Dato’ Sri Dr. Zaleha Kamaruddin (2012)

Grafik di atas juga menjelaskan bahwa negara tetangga sudah mulai menaruh perhatian serius pada bidang Penelitian dan Riset hampir dua dekade yang lalu. Sayangnya pemerintah Indonesia belum memiliki pandangan yang sama waktu itu. Saat ini sudah banyak inisiatif-inisiatif pemerintah untuk meingkatkan produktifitas penulisan karya ilmiah, dan hal itu patut diapresiasi. Sayangnya, „khilaf‟ masa lalu pemerintah tersebut belum banyak mengubah paradigma mahasiswa, dosen, dan praktisi di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Penulis sempat mampir di kantor EFEO (École Française

(9)

Sedangkan kooperatif dapat diartikan subjektifitas pada peneliti dari luar negeri – khusunya Eropa dan Amerika- lebih tinggi dari kepercayaan dirinya. Hal ini kemudian menimbulkan prasangka yang kurang baik untuk proses penelitian dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Tantangan selanjutnya datang dari ketersediaan lembaga penelitian di Indonesia, khususnya di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Di Indonesia, lembaga yang benar-benar fokus dalam kepustakawanan Islam sudah ada, yaitu Pusat Perpustakaan Islam Indonesia. Pada mulanya Pusat Perpustakaan Islam Indonesia (PPII) dirintis oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Seminar Nasional Dakwah pada tahun 1969, bahwa di lingkungan Masjid Istiqlal perlu adanya perpustakaan Islam dalam rangka memenuhi kebutuhan sumber-sumber informasi Islam bagi para ulama dan msyarakat Islam pada umumnya. Visi PPII adalah

Mewujudkan Perpustakaan Islam modern dengan koleksi berkualitas, sistem pengolahan yang mutkhir dan sumberdaya manusia yang profesional” dengan salah satu misinya untuk “Membangun ketenagaan perpustakaan Islam”. Namun demikian, perkembangan terkini tentang visi dan misi tersebut memang kurang menggembirakan (Iswanda, 2012:324).

Beberapa negara, baik mayoritas penduduknya beragama Islam atau tidak, dewasa ini telah memiliki pusat penelitian kepustakawanan berbasis Islam8. Misalnya tetangga dekat kita, Malaysia, sudah mencanangkan perpustakaan penelitian Islam pada tahun 1974 dengan nama Perpustakaan Penyelidikan Islam (Islamic Research Library) yang terletak di Jl. Duta, Kompleks Pejabat Kerajaan, Kuala Lumpur, Malaysia. Sedangkan Singapore punya Muslim Missionary Society Singapore Library (Jamiyah Library) yang didirikan pada 1979 dan berlokasi di PKM Building, Lorong 108-Changi, Singapore. Lalu pada tahun 1980 didirikan Islamic Library Association Library di Farralone Ave, Cagona Park, California. Hal tentu akan memberikan banyak peluang bagi pustakawan-pustakawan muda Islam untuk berkiprah di dunia internasional. Jumlah mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam dan kekayaan latar belakang sejarah Islam merupakan modal besar yang tidak selayaknya dihamburkan.

Tantangan yang paling besar dalam penulisan ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan informasi, menurut hemat penulis, datang dari lingkungan institusi di mana bibit-bibit kepustakawanan lahir (perguruan tinggi, PNRI, museum, ANRI, PDII-LIPI, dan Yayasan perpustakaan). Tidak banyak institusi bidang perpustakaan dan informasi menekankan pentingnya penelitian dan penulisan, terutama institusi penyelenggara pendidikan perpustakaan dan informasi. Hal ini dialami Penulis ketika menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. Seringkali Penulis menemukan „kebuntuhan berpikir‟ ketika dihadapkan pada diskusi-diskusi kelas. Hal ini disebabkan kemutakhiran referensi yang digunakan pengajar berbeda dari apa yang sudah berkembang di masyarakat. Analoginya, akademisi bidang perpustakaan dan informasi di Indonesia tidak „berlari‟ bersama praktisinya. Laksmi & Wijayanti (2012) menempatkan change our mindset sebagai rekomendasi pertama perbaikan iklim penulisan ilmiah bidang perpustakaan dan informasi. Pertanyaannya, apakah kita menunggu ada peristiwa besar yang mengganti cara berpikir kita, atau mengganti sendiri cara berpikir kita? Jawabannya sudah jelas di dalam Al-Qur‟an surah Ar-Ra‟d ayat 11, bukan?

8

(10)

Dari Kebiasaan Mengulang ke Membuka Peluang

Kiranya perubahan pola pikir (mindset) merupakan hal dasar yang harus disadari dan dibenahi untuk bisa membuka peluang akademisi dan praktisi bidang ilmu perpustakaan dan informasi untuk move on. Masa lalu atau kebiasaan mengulang mungkin masih menjadi hal sulit dihilangkan. Namun demikian, tidak selamanya mengulang itu buruk. Pengulangan adalah cara yang baik untuk tetap menjaga konsistensi dan benang merah perkembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan fakta dan data tentang kondisi penulisan bidang ilmu perpustakaan dan informasi di atas, Penulis menawarkan konsep sederhana guna meningkatkan/mengembangkan produktifitas publikasi ilmiah bidang perpustakaan (Grafik 3). Pengembangan publikasi di bidang ilmu perpustakaan dan informasi, menurut hemat penulis, dapat dilakukan dengan inklusifisasi pandangan terhadap objek maupun subjek penelitian. Caranya adalah dengan „meminjam‟ objek atau subjek penelitian bidang ilmu lain untuk selanjutnya dikaji melalui perspektif bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Misalnya; (1) Persepsi sosial perpustakaan dan pustakawan dengan pendekatan psikologi sosial, (2) preferensi desain ruangan perpustakaan dengan pendekatan arsitektur, (3) Kajian sejarah sistem penyitiran buku-buku Islam khusus Kitab Kuning, (4) Masyarakat ekonomi modern dilihat dari perspektif kebebasan informasi, dan lain sebagainya.

(11)

Konsep ini tersinspirasi dari telur ayam, dimana kuning telur merupakan inti, putih telur sebagai perantara, dan cangkang telur adalah penampakan wujud kepada semua orang. Kita harus menyadari bahwa ilmu perpustakaan dan informasi bersifat edukatif dan aplikatif. Inti pengembangan publikasi ilmiah bidang perpustakaan di Indonesia terdiri dari empat unsur: akademisi, praktisi, institusi, dan penerbit. Namun demikian, keempat inti tersebut tidak akan mampu menembus belantara aspek kehidupan masyarakat tanpa kolaborasi yang kuat. Jika sudah berkolaborasi dengan baik, bukan tidak mungkin kajian-kajian, laporan penelitian, artikel ilmiah, dan tulisan lain bidang perpustakaan akan dikonsumsi juga oleh masyarakat luas. Tentu hal ini membutuhkan perubahan pola pikir dalam hal penulisan seperti diungkapkan pada paragraf di atas. Penjelasan lebih detail tentang konsep di atas akan diutarakan pada kesempatan lain.

Konsep pengembangan publikasi di atas akan lebih maksimal jika akademisi dan praktisi mengkaji lebih dalam akar kepustakawanan Indonesia, yaitu khazanah lokal tentang kepustakawanan yang ada di Indonesia. Kajian ini dapat memanfaatkan pendekatan studi lokal (local studies), baik dari sudut pandang kesejarahan, tradisi, antropologi, dan budaya yang di Indonesia. Alasannya, semakin dangkal pengkajian, akan berdampak pada semakin jauhnya jarak dengan perkembangan ilmu perpustakaan dan informasi dunia, dan Kepustakawanan Indonesia akan semakian jauh tertinggal. Di sisi lain, proses pengkajian akar kepustakawanan Indonesia memiliki hubungan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mewabah di bidang perpustakaan. Tentu hal ini harus mendapat perhatian, baik dari kalangan akademisi dan praktisi. Untuk menemukan akar kepustakawanan Indonesia, Penulis menawarkan kurva keseimbangan antara akademisi dan praktisi di bidang perpustakaan dan informasi.

Grafik 4. Kurva Keseimbangan Akademisi dan Praktisi Bidang Perpustakaan dan Informasi

(12)

yang akan tergali. Sedangkan jika salah satunya terhambat, akar kepustakawanan juga akan semakin sulit digali dan dipelajari.

Proses penggalian akar kepustakawanan seperti dijelaskan tersebut juga harus diimbangi dengan proses „daur ulang‟ di bidang ilmu perpustakaan dan informasi di Indonesia. Termasuk fokus keahlian yang ditawarkan oleh penyelenggara pendidikan perpustakaan dan informasi. Misalnya, program studi perpustakaan UIN Jakarta yang fokus pada kajian-kajian penulisan ilmiah perpustakaan dan informasi Islam, Universitas Padjadjaran dengan kajian komunikasi di bidang perpustakaan, Universitas Indonesia dengan fokus konstruksi sosial dan kebudayaan di bidang perpustakaan, Universitas Airlangga dengan fokus politik pemerintahan di bidang perpustakaan, dan banyak lainnya. Dengan demikian, proses transfer dan perkembangan ilmu di bidang perpustakaan dan informasi akan berkembang pesat –karena lebih komprehensif, aplikatif, dan edukatif. Sehingga pada akhirnya ilmu perpustakaan dan informasi disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain yang sudah lebih dahulu ngetop di Indonesia. Tentu hal ini juga harus diimbangi oleh praktisi-praktisi bidang perpustakaan dan informasi.

Refleksi, Rekomendasi, dan Penutup

Harus diakui dan wajib menjadi bahan rengungan bahwa iklim penulisan ilmiah bidang ilmu informasi dan perpustakaan di Indonesia masih lemah. Sudah menjadi tanggung jawab bersama di kalangan akademisi dan praktisi untuk bahu-membahu, gotong royong, dan berkolaborasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas tulisan ilmiah di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Guna mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan perubahan-perubahan berikut:

1. Perubahan pola pikir (mindset); dengan mengubah pola pikir akan kebutuhan tulisan-tulisan ilmiah sebagai salah satu penopang utama perkembangan ilmu perpustakaan dan informasi di Indonesia.

2. Pengkajian ulang/perbaikan kurikulum pendidikan kepustakawanan; hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan minat calon-calon pustakawan terhadap penulisan ilmiah.

3. Pembentukan lembaga-lembaga riset bidang perpustakaan; adanya lembaga riset akan secara langsung mendorong publikasi tulisan ilmiah bidang perpustakaan. Selain itu, lembaga riset akan memiliki peran sebagai pembina tentang penulisan ilmiah bidang perpustakaan dan informasi.

4. Penyediaan sistem pendaan riset bidang perpustakaan; hal ini akan bermanfaat untuk mendorong peneliti melakukan lebih banyak riset. Hingga saat ini keterbasan dana masih menjadi masalah klasik peneliti di Indonesia.

5. Memperbanyak kuantitas dan meningkatkan kualitas terbitan; semakin banyak wadah publikasi ilmiah bidang ilmu perpustakaan dan informasi akan memudahkan peningkatan kualitas terbitan atau tulisan.

6. Kolaborasi antar-penulis dan antar-lembaga yang memiliki kepentingan dalam bidang perpustakaan dan informasi; kolaborasi tersebut dapat menjadi modal sosial dalam pelaksanaan perubahan 1-5 di atas. Dengan kata lain, „puzzle‟ kepustakawanan di Indonesia sudah waktunya disusun dan disatukan kembali.

(13)

Daftar Referensi

Chowdhury, GG, Paul F, Burton, David McMenemy, dan Alan Poutler. (2008). Librarianship: an Introduction. London: Facet Publishing.

Farida, I. & Purnomo, P. (2006). Library and Information Education at Islamic

Universities in Indonesia: Obstacles and Opportunities. Proceedings of the Asia-Pasific Conference on Library and Information Education and Practice 2006 – A-LIEP 2006, Nanyang Technological University, Singapore (pp. 353-357).

Gorman, M. (2000). Our Enduring Values: Librarianship in the 21st Century. American Library Association

Ginting, Maria. (2003). Terbitan Berseri Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi. BACA, vol. 27, No.1 April 2003: 15-19.

Hernandono. (2005). Meretas Kebuntuhan Kepustakawanan Indonesia dilihat dari sisi Sumber Daya Tenaga Perpustakaan. Makalah Orasi Ilmiah dan Pengukuhan Pustakawan Utama. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia: Jakarta.

Hawkins, Donald T. (2001). Information Science Abstract: Tracking the Literature of Information Science. Part 1: Definition and Map. Journal of the American Society for Information Science and Technology, 52 (1): 44-53.

Hawkins, Donald T., Larson, Signe E. & Caton, Bari Q. (2003). Information Science Abstract: Tracking the Literature of Information Science. Part 2: New Taxonomy of Information Science. Journal of the American Society for Information Science and Technology, 54 (8): 771-781.

Indonesia. Peraturan Dirjen Dikti No. 29/DIKTI/Kep/2011 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah.

Iswanda-Fauzan. (2012). Center of Islamic Library: The Gateway to Increasing Islamic Literacy. Proceeding of International Conference on Islamic Leader 2012, Royal Chulan Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia.

Kamaruddin, Zaleha. (2012). Prospect for Muslim Scolars in Research, Innovation, and Creativity. Proceeding of International Conference on Islamic Leader 2012, Royal Chulan Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia.

Laksmi. (2006). The Development of the Library and Information Science Through Publication of Books, 1952-2005. Proceedings of the Asia-Pasific Conference on Library and Information Education and Practice 2006 – A-LIEP 2006, Nanyang Technological University, Singapore (pp. 574-580)

Laksmi & Luki Wijayanti. (2012). Indonesian Library and Information Science Research as the Social Construction Process dalam Library and Information Science: Trends and Research. Howard House: Emerald Pltd.

Maesaroh, Imas and Genoni, Paul. (2009). Education And Continuing Professional

Development For Indonesian Academic Librarians: A Survey. Library Management. 30 (8/9).

(14)

Park, Taemin Kim. (2006). Authorship from the Asia and Pasific Region in Top Library and Information Science Journals. Proceedings of the Asia-Pasific Conference on Library and Information Education and Practice 2006 – A-LIEP 2006, Nanyang Technological University, Singapore (pp. 555-566).

Purnomowati, Sri & Yuliastuti, Rini. (2000). Inventarisasi Majalah Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Marsela, 2 (2): 13-16.

Purnomowati, Sri. (2001). Kondisi Majalah Indonesia Bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi di Awal Abad 21. BACA. Vol. 26 (1-2): 27-31.

Setyowati, Risha. (2012). Kecenderungan Topik Skripsi Mahasiswa S1 Bidang Ilmu Perpustakaan di Indonesia Periode 2009-2011. Skripsi. Universitas Airlangga, Surabaya.

Supriyatno. (2006). Meningkatkan Eksistensi IPI dalam Pengembangan Profesionalisme Pustakawan dalam Aksentuasi Perpustakaan dan Pustakawan. Jakarta: Sagung Seto.

Gambar

Grafik 1. Alasan Akademisi dan Praktisi Bidang LIS Melakukan Peneltian
Grafik 2. Anggaran Belanja Bidang Penelitian dan Pengembangan Negara-Negara Muslim Dunia Per Kapita
Grafik 3. Konsep Pengembangan Publikasi LIS di Indonesia
Grafik 4. Kurva Keseimbangan Akademisi dan Praktisi Bidang

Referensi

Dokumen terkait

Middlebrook (dalam Azwar, 1995) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif

Untuk daerah tidak terkontrol yaitu pada titik B yang berada di depan pintu pemeriksaan pasien diperoleh selisih pengukuran laju paparan sebesar 3,13 µGy/jam,

5.5 Analisis Pengeluaran Masyarakat dengan Unit Cost yang Terjadi serta Penetapan Subsidi dari Pemerintah

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan keterampilan shooting permainan sepak bola dengan metode Komando pada siswa

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur pertumbuhan bibit kakao dengan pemberian pupuk cair Nasa pada konsentrasi yang berbeda Dari hasil penelitian diharapkan

Sehingga PT BPR Weleri Makmur pada Periode 2015-2018 dapat dikategorikan dalam kategori Sehat , karena rasio PPAP lebih dari 81% dan memiliki nilai kredit sama atau lebih

B. Media Presentasi Aplikasi Prezi ... Hasil Belajar ... Pengertian Hasil Belajar ... Hasil Belajar ... Keterkaitan antara Media Stop Motion dan Media Presentasi Prezi dengan

Makanan sehat ini seharusnya memiliki kandungan gizi yang banyak, dan kandungan tersebut antara lain adalah karbohidrat, mineral, protein, vitamin