BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Hukum internasional telah mengatur bahwa setiap negara berkewajiban
untuk memastikan bahwa aktivitas dalam batas jurisdiksi atau kontrol negaranya
tidak menyebabkan kerusakan pada area di luar jurisdiksi nasionalnya.1 Namun, negara-negara maju tidak henti-hentinya menjadi penyumbang terbesar emisi dan
gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim secara drastis maupun
memperparah kondisi alam seluruh dunia ini. Perubahan iklim ini menyebabkan
desertifikasi lahan, hilangnya kesuburan tanah, bencana alam seperti angin topan
dan banjir dalam skala yang semakin besar dan sering.2
Negara-negara kepulauan kecil (small low-lying states) yang tergabung
dalam ‘The Alliance of Small Island States (AOSIS) merupakan negara – negara
terkecil di dunia.
3
Akan tetapi, justru negara – negara tersebut adalah pihak yang
paling merasakan dampak perubahan iklim. Maladewa, Tuvalu dan negara-negara
lain menghadapi prospek nyata dari banjir, bencana alam hingga hilangnya
wilayah (territory) secara permanen.4
Pada kenyataannya, masalah perubahan iklim adalah masalah yang telah
diprediksikan sejak lama. Pada tahun 2007, the Intergovernmental Panel on
1
United Nations Framework Convention on Climate Change (1992), Pembukaan para. 8; Rio Declaration on Environment and Development (1992), Prinsip 2
2
A. Barrie Pittock, Climate Change: The Science, Impacts and Solutions, 2nd ed., (Australia: Csiro Publishers, 2009), hal. 298
3
United Nations Demographic Yearbook (2008), Table 3: Population by Sex, Rate of Population Increase, Surface Area and Density, hal. 59-67
4
Climate Change (“IPCC”) memaparkan bahwa suhu rata - rata udara dan laut
sedang meningkat di seluruh dunia, dan bahwa es dan salju mencair dengan
pesat.5 Bumi memanas, pola cuaca berubah menjadi ekstrem, termasuk menyebabkan terjadinya angin siklon yang kuat.6 Bahkan, yang lebih mengkhawatirkan adalah konsekuensi dari hal ini: kenaikan permukaan air laut di
seluruh dunia. 7 Peningkatan suhu dari satu sampai empat derajat Celsius (relatif pada tahun 1990-2000) akan berkontribusi terhadap kenaikan permukaan laut
minimal 4-6 meter.8
Perubahan iklim global tidak hanya merupakan masalah hukum
lingkungan internasional; isu yang harus dihadapi telah bergeser menjadi
keamanan global. Ada negara – negara yang direbut secara paksa.
9
Ada negara –
negara yang berakhir eksistensinya disebabkan pergolakan dalam negeri.10
5
IPCC, Climate Change 2007: The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Susan Solomon et al. ed., (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007), hal. 5
Namun
tak pernah sekalipun dalam sejarah manusia ada negara yang lenyap keseluruhan
teritorinya. Sehubungan dengan hal ini, IPCC menyimpulkan dengan "keyakinan
sangat tinggi" bahwa "negara kepulauan kecil, baik yang terletak di daerah tropis
maupun lintang yang lebih tinggi, memiliki karakteristik yang membuat mereka
sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, kenaikan permukaan laut, dan
6
IPCC, Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability: Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Nobuo Mimura et al. ed., (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007), hal. 695
7
IPCC, Climate Change 2007: The Physical Science Basis, loc. cit
8
IPCC, Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability: Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Summary for Policy Makers, (United Kingdom, Cambridge University Press, 2007), hal. 17
9
John G. Stoessinger, Why Nations Go to War, 8th ed., (New York: Bedford St. Martin's, 2000), hal. 29
10
kejadian-kejadian ekstrim”.11 Ini merupakan akibat dari ketinggian wilayah mereka yang hanya berkisar beberapa meter dari permukaan laut ke titik tertinggi
di atas permukaan laut.12 Oleh karena itu, kenaikan permukaan air laut akan memiliki dampak yang parah pada negara-negara kepulauan kecil.13 Beberapa negara, seperti Samoa Barat dan Tahiti, akan membutuhkan dana yang besar demi
membangun daerah yang lebih tinggi.14 Akan tetapi, beberapa negara lain seperti Maladewa dan Tuvalu, kemungkinan akan terendam air laut sepenuhnya dan
memerlukan lebih dari sekedar pembangunan daerah yang lebih tinggi.15
Dalam hal Kepulauan Maladewa contohnya, kenaikan 0,49 meter pada
permukaan laut akan berarti bahwa sebagian yang signifikan dari negara
kepulauan tersebut akan tergenang pada tahun 2100.
16
Selain itu, pada tingkat
kenaikan permukaan laut demikian, lima belas persen dari ibukota Maladewa,
Malé, akan tenggelam pada tahun 2025, dimana setengahnya akan terendam pada
tahun 2100.17
11
IPCC, Climate Change: Impacts, Adaptation and Vulnerability, op. cit, hal. 687
Pada akhirnya, kenaikan satu meter permukaan air laut pada abad
12
Central Intelligence Agency, The World Factbook, (Washington DC: United States Government Printing Office, 2008), hal. 367. Dipaparkan bahwa: Kepulauan Maladewa merupakan suatu negara yang terdiri dari pulau – pulau berdataran rendah dengan ketinggian yang berkisar dari 0 meter hingga 2.4 meter pada titik tertingginya. Di lain pihak, Tuvalu memiliki titik paling rendah pada 0 meter dan titik tertinggi pada 5 meter di atas permukaan laut.
13
United Nations Secretary General, Report of the Secretary General on Climate Change and Its Possible Security Implications, U.N. DOC. A/64/350 (2009), para. 20
14
David Freestone, International Law and Global Climate Change, Robin Churchill dan David Freestone ed., (London: Martinus Nijhoff Publishers, 1991), hal. 117; Alexander Gillespie, Climate Change, Ozone Depletion and Air Pollution: Legal Commentaries with Policy and Science Considerations (Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2006), hal. 286
15
World Meteorological Organization, Saving Paradise: Ensuring Sustainable Development (2005), dapat diakses pada:
[diakses tanggal 14 Januari 2014]; David Freestone, op. cit, hal. 109
16
Submission of the Maldives to the Office of the U.N. High Commissioner for Human Rights under Human Rights Council Res. 7/23 (2008), dapat diakses pada: [diakses tanggal 14 Januari 2014]
17
mendatang akan berarti Maladewa, sebagai suatu negara, benar-benar akan
lenyap.18
Meskipun terendamnya seluruh wilayah negara kepulauan kecil akibat
naiknya permukaan air laut belum terjadi sampai sekarang ini, kemungkinan
terjadinya peristiwa demikian menimbulkan pertanyaan yang kompleks dalam
hukum internasional. Salah satunya yakni, apakah dalam hal terendamnya
keseluruhan wilayah suatu negara kepulauan, negara tersebut kehilangan status
kenegaraannya, mengingat gagasan kenegaraan meliputi persyaratan adanya
wilayah tertentu.19
Media dan para akademisi sangat menaruh fokus pada isu perubahan
iklim, namun bidang hukum tampaknya tidak memiliki perhatian dan tekad untuk
mengatasi masalah status kenegaraan.
20
Status kenegaraan sebenarnya menempati
posisi sentral dalam struktur hukum dan hubungan internasional21 dikarenakan negara merupakan aktor terpenting dalam arena hukum internasional.22 Namun anehnya, literatur mengenai kriteria – kriteria kenegaraan malah relatif lebih
sedikit.23
18
Secretariat of the United Nations Framework Convention on Climate Change, Vulnerability and Adaptation to Climate Change in Small Island Developing States (2007), dapat diakses pada:
19
Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (1933), pasal 1
20
Christopher Flavin dan Odil Tunali, Climate of Hope: New Strategies for Stabilizing the Worlds Atmosphere, (Washington: Worldwatch Institute, 1996), hal. 7-8
21
James Crawford, The Criteria for Statehood in International Law (1976), 48 BRIT. Y.B. INT’L L. 93, hal. 93
22
Oriol Casanovas, Unity and Pluralism in Public International Law, (The Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers, 2001), hal. 110
23
Ketidaksempurnaan sistem hukum sebenarnya merupakan suatu hal yang
wajar karena instrumen hukum merupakan hasil pemikiran manusia dan seringkali
tertinggal oleh fenomena dan perkembangan yang terjadi. Akan tetapi, karena isu
ini menyentuh semua bangsa di dunia, sudah sepatutnyalah masyarakat
internasional memberi perhatian dan berusaha menangani aspek-aspek perubahan
iklim yang berbahaya bagi negara kepulauan kecil ini. 24
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, penulis
merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas di dalam penelitian ini,
antara lain:
1. Bagaimana pengertian dan fungsi status kenegaraan (statehood)
berdasarkan hukum internasional?
2. Bagaimana kriteria status kenegaraan (statehood) berdasarkan hukum
internasional?
3. Bagaimana status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan
berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya
terendam air laut?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain adalah:
24
1. Untuk mengetahui pengertian dan fungsi status kenegaraan (statehood)
berdasarkan hukum internasional.
2. Untuk mengetahui kriteria – kriteria status kenegaraan (statehood)
berdasarkan hukum internasional.
3. Untuk mengetahui status kenegaraan (statehood) negara – negara
kepulauan berdataran rendah (low-lying island nations) yang seluruh
wilayahnya terendam air laut.
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama
bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perkembangan
ilmu pengetahuan secara umum dan ilmu hukum secara khusus. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan
perangkat hukum internasional maupun perangkat hukum nasional dalam kaitan
dengan status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran
rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut.
2. Secara praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan
pemahaman yang lebih mendalam bagi pemegang otoritas di dunia serta
aparat-aparat hukum yang terkait di tiap-tiap negara mengenai isu status kenegaraan
(statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying island
D. Keaslian Penulisan
Karya tulis ini merupakan karya tulis asli, sebagai refleksi dan pemahaman
dari apa yang telah penulis pelajari selama mengikuti kompetisi The Philip C.
Jessup International Law Moot Court Competition 2013. Penulis berupaya untuk
menuangkan seluruh gagasan dengan sudut pandang yang netral dengan menguji
isu status kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah
(low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut dengan
instrumen hukum internasional yang mengaturnya, khususnya pro kontra yang
ditinjau dari Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara.
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang “Status Kenegaraan
(Statehood) Negara – Negara Kepulauan Berdataran Rendah (Low-Lying Island
Nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut” belum pernah ditulis
sebelumnya.
Khusus untuk yang terdapat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukkan dengan adanya penegasan dari
pihak administrator bagian/jurusan hukum internasional.
E. Tinjauan Kepustakaan
Hukum Internasional dalam pembahasan sebenarnya adalah hukum
internasional publik. Menurut Rebecca M.M Wallace, hukum internasional adalah
peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan negara-negara dan
internasional,seperti misalnya organisasi internasional dan individu,dalam hal
hubungan satu dengan yang lainnya.25 Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan
asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas
negara-negara antara negara-negara dengan negara-negara; negara-negara dengan subjek hukum lain bukan
negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain. 26
Dalam pembahasan isu hukum internasional tidak terlepas dari
sumber-sumber hukum internasional yang termaktub dalam pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yaitu:27
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states (Perjanjian-Perjanjian
Internasional);
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law
(Hukum kebiasaan internasional);
c. the general principles of law recognized by civilized nations
(Prinsip-prinsip umum hukum internasional);
d. subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings
of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary
means for the determination of rules of law. (Putusan-putusan pengadilan
internasional dan ajaran-ajaran para sarjana terkemuka).
25
Rebecca M.M. Wallace, Pengantar Hukum International, diterjemahkan oleh Bambang Arumanadi, SH, Msc, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1993), hal. 1
26
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Binacipta, 1990), hal. 3
27
Menurut Pasal 1 of the 1933 Montevideo Convention on the Rights and
Duties of States, negara memiliki kriteria sebagai berikut:
“The state as a person of international law should possess the following qualifications: a ) a permanent population; b ) a defined territory; c ) government; and d) capacity to enter into relations with the other states’..28
Beberapa ahli juga turut memberi pengertian negara. J. G. Starke
mendefinisikan negara sebagai:
“Suatu sistem yang ditetapkan oleh dan diantara manusia itu sendiri, sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan; yang paling penting diantaranya ialah: suatu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatannya’..29
Disamping memberikan defenisi, ada pula ahli yang memberi pengertian
negara dengan memaparkan kriterianya. Fenwick mendeskripsian kriteria negara
sebagai:
“Suatu masyarakat politik yang diorganisasi secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut bebas dari pengawasan negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di muka bumi’..30
F. Metode Penelitian
Untuk melengkapi penelitian ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat
dipertanggungjawabakan secara ilmiah, maka metode penelitian yang digunakan
sebagai berikut:
28
Montevideo Convention on the Rights and Duties of States (1933), pasal 1
29
J.G. Starke, Introduction to International Law, 9th ed., (United Kingdom: Butterworths, 1984), hal. 137
30
1. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum dikenal dua jenis pendekatan dalam penelitian, yaitu
pendekatan yuridis sosiologis dan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan
yuridis sosiologis merupakan pendekatan dengan mengambil data primer atau data
yang diambil langsung dari lapangan, sedangkan pendekatan yuridis normatif
merupakan pendekatan dengan data sekunder atau data yang berasal dari
kepustakaan (dokumen). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
karena yang hendak diteliti dan dianalisa melalui penelitian ini adalah status
kenegaraan (statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah (low-lying
island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut.
2. Data Penelitian
Sumber data dari penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan (library
research). Penelitian kepustakaan dilakukan terhadap berbagai macam sumber
bahan hukum yang dapat diklasifikasikan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:31
a. Bahan hukum primer (primary resource atau authoritative records), yaitu:
Berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, sifatnya mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini antara lain adalah
berbagai konvensi dan perjanjian internasional seperti 1933 Montevideo
Convention on Rights and Duties of States serta berbagai putusan internasional
maupun nasional dan resolusi lainnya.
31
b. Bahan Hukum Sekunder (secondary resource atau not authoritative
records) yaitu:
Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan
hukum primer. Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
tentang isu pengungsi serta perdebatan status hukum dan perlindungan bagi
orang-orang yang terpaksa mengungsi karena bencana alam yang ditinjau dari
sudut pandang hukum internasional seperti literatur, hasil-hasil penelitian,
makalah-makalah dalam seminar, dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier (tertiary resource), yaitu:
Bahan-bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk dan penjelasan
terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, mencakup kamus
bahasa untuk pembenahan bahasa Indonesia serta untuk menerjemahkan beberapa
literatur asing.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengna cara penelitian kepustakaan
(library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik
koleksi pribadi maupun dari perpustakaan serta jurnal-jurnal hukum.
Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai
berikut :
a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya
b. Melakukan penulusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak
maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan
perundang-undangan.
c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengaan permasalahan.
d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah
yang menjadi objek penelitian
4. Analisis Data
Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, termasuk pula bahan
tersier yang telah disusun secara sistematis sebelumnya, akan dianalisis dengan
menggunakan metode-metode sebagai berikut:32
a. Metode induktif, dimana proses berawal dari proposisi-proposisi khusus
(sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan
(pengetahuan baru) yang berkebenaran empiris. Dalam hal ini, adapun
data-data yang telah diperoleh akan dibaca, ditafsirkan, dibandingkan dan
diteliti sedemikian rupa sebelum dituangkan dalam satu kesimpulan akhir.
b. Metode deduktif, yang bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahui (diyakini) yang merupakan kebenaran ideal
yang bersifat aksiomatik (self evident) yang esensi kebenarannya tidak
perlu diragukan lagi dan berakhir pada kesimpulan (pengetahuan baru)
yang bersifat lebih khusus.
c. Metode komparatif, yaitu dengan melakukan perbandingan (komparasi)
antara satu sumber bahan hukum dengan bahan hukum lainnya.
32
G. Sistematika Pembahasan
Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab
yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I Bab I adalah Bab Pendahuluan. Bab ini meliputi latar belakang
pemilihan judul, dimana penulis melihat adanya kekosongan
hukum dalam dunia internasional mengenai status kenegaraan
(statehood) negara – negara kepulauan berdataran rendah
(low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya terendam air laut.
Selanjutnya, bab ini diikuti dengan perumusan masalah, tujuan
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.
Bab II Di dalam bab ini, status kenegaraan (statehood) berdasarkan
hukum internasional dibahas secara komprehensif dan mendalam.
Bab ini memaparkan tentang definisi serta fungsi statehood dalam
hubungan internasional demi memberi gambaran umum tentang
pentingnya statehood. Kemudian, dilanjutkan dengan bagaimana
statehood memberi status kepada negara sebagai subjek hukum
internasional yang utama.
Bab III Bab III membahas segala kriteria statehood yang belaku dalam
hukum internasional. Bab ini dimulai dengan pemaparan terhadap
kriteria statehood berdasarkan Konvensi Montevideo 1933. Tidak
di luar Konvensi Montevideo yang berlaku dalam masyarakat
internasional. Pertama – tama, yaitu praktek negara – negara dalam
menentukan statehood yang tampak dari pengakuan. Pembahasan
ini menjadi penting karena pembahasan isu hukum internasional
tidak terlepas dari praktek – praktek negara yang merupakan
bagian dari masyarakat internasional. Adapun praktek – praktek
negara terbagi menjadi dua teori yang dikenal sebagai teori
deklaratif dan teori konstitutif. Dijabarkan pula praktek negara
sehubungan dengan kasus – kasus nyata yang telah terjadi, yaitu
Malta, Kosovo dan Somalia. Pembahasan terakhir dijabarkan
dengan mengacu pada kriteria – kriteria statehood lain yang
berlaku dalam hukum internasional.
Bab IV Bab ini membahas statehood negara – negara kepulauan berdataran
rendah (low-lying island nations) yang seluruh wilayahnya
terendam air laut. Pertama – tama, bab ini menjelaskan lebih lanjut
implikasi kenaikan permukaan air laut terhadap negara – negara
tersebut. Kemudian, bab ini juga menggambarkan hubungan
Konvensi Montevideo dengan punahnya keberadaan suatu negara.
Dalam pembahasan terakhir dalam bab ini, juga dijabarkan solusi
dan kendala yang dapat timbul dalam mempertahankan statehood
serta situasi sui generis dalam hukum internasional yang
Bab V Bab ini adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan
saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua
pembahasan ada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran mencakup
gagasan dan usulan dari penulis terhadap permasalahan yang
dibahas pada skripsi ini berdasarkan fakta-fakta yang telah