• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan pada Anak (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1202 K/PID.SUS/2009)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang

memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya1

Anak dan dewasa adalah dua kondisi manusia yang saling membutuhkan.

Sebuah siklus kehidupan yang tetap berlangsung dan bergerak, saling menopang dan

berkontribusi sesuai kodrati masing-masing. Peran strategis anak dapat menyentuh

sisi-sisi kehidupan berbangsa dan bernegara dan lebih jauh dari itu ialah dimensi

ukhrawi bagi yang mempercayainya sesuai agamanya yaitu keberlangsungan kita

setelah mati.

dengan sedikit perbedaan

kondisi khusus yang secara manusiawi mesti ada (condisio sine qua non). Perbedaan

itu sesungguhnya hanyalah sebatas beban kewajiban, tetapi prinsip-prinsip

kemanusian lainnya tetap sama, anak sama manusiawinya dengan dewasa. All men

are created equal, semua orang tercipta secara sama.

2

Secara lebih tegas Hadi Supeno3

1

Lihat bagian menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2

Pemilihan kata “mati” dalam tulisan ini sengaja dibuat untuk menghilangkan persepsi masyarakat luas akan makna yang kasar dari kata “mati” tersebut. Kata “mati” adalah kata yang mengandung makna terhormat terbukti kata “mati” tersebut dipergunakan didalam kalimat-kalimat kitab suci Al-Qur’an dan didalam do’a-do’a yang sering dipanjatkan umat Muslim kepada Allah menandakan bahwa kata “mati” tersebut adalah sebuah kata terhormat kalau tidak tentu kata “mati” tidak pantas tertulis di dalam sebuah kitab suci dan tidak pantas diucapkan kepada Tuhan di dalam berdo’a.

3

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 19-22.

menyebutkan bahwa nilai anak sangat

(2)

ekonomi dan anak sebagai nilai transenden. Perspektif anak sebagai nilai sejarah

berarti anak harus meneruskan sejarah dinasti atau sejarah garis keturunan sedangkan

sebagai nilai ekonomi yaitu kerena anak dipandang sebagai pembantu dalam

menopang/ menyangga kehidupan ekonomi keluarga.

Teori Charles Darwin4 tentang species manusia merupakan evolusi dari hewan kera purba menjadi manusia hewan (homoerectus) kemudian menjadi manusia

ternyata sebatas mitos berdasarkan realitas. Kontinuitas manusia akan terjamin hanya

dengan kehadiran anak, tanpanya berarti kepunahan. Pelestarian kontinuitas itu

karenanya syarat mutlak yang sangat diperlukan (sine qua non), patutlah kemudian

jika Hadi Supeno5

Upaya yang dilakukan oleh negara dalam melindungi anak diantaranya adalah

dengan membuat berbagai peraturan perundang-undangan. Anak dengan demikian

yang dimaksud disini adalah bukan dalam pengertian anak keturunan berdasarkan

hubungan anak dengan orang tuanya (karena jika itu yang dimaksud maka setiap

orang dapat disebut sebagai anak berapapun usianya bagi ayahnya) tetapi anak dalam menyatakan bahwa “berbicara soal perlindungan anak bukan

sekedar bicara anak dalam kajian psikologis, pedagogis atau sosiologis, lebih dari itu

semua, bicara soal perlindungan anak berarti bicara soal kelangsungan hidup sebuah

komunitas, berbicara tentang rancang bangun sosial masa depan”.

4

Teori ini tertuang dalam buku karangan Charles Darwin berjudul The Origin of Species

terbit tahun 1859 dan The Origin of Men terbit tahun 1871. Lihat Muhammad Qutub, Evolusi Moral, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 26.

5

(3)

artian yuridis secara umum yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun termasuk anak dalam kandungan.6

Sebagai puncak upaya perlindungan anak, secara responsif dan progressif

pemerintah menetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Perlindungan Anak (untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan disingkat

Undang-Undang Perlindungan Anak) ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 22

Oktober 2002 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 109

sebagai payung hukum yang secara positif berlaku sejak tahun 2003 yang pada

pokoknya juga bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak Mewujudkan upaya negara dalam melindungi anak sesungguhnya telah

dimulai sejak tahun 1979 bertepatan sebagai tahun yang ditetapkan sebagai ”Tahun

Anak Internasional” dimana pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk

meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang pada

pokoknya bertujuan menjamin kesejahteraan anak. Langkah pemerintah selanjutnya

adalah menetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

yang diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap

terjamin dan terlindungi untuk mendapatkan hak-haknya.

6

(4)

sebagai penerus generasi bangsa yang harus dijamin hak-haknya dan

perlindungannya dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.

Merujuk kepada kata-kata “perlindungan” berdasarkan adagium titulus est lex

(judul perundang-undanganlah yang menentukan) maka kebijakan aplikasi dan

eksekusi undang-undangnya haruslah dibaca, dimaknai dan dipahami sebagai sebuah

undang-undang yang berpihak pada semangat perlindungan anak.7

Melindungi anak dalam segala bentuknya pada hakikatnya berarti melindungi

diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negara bahkan manusia secara universal.

Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Anak bagian Umum alinea

kedua sampai keenam dinyatakan bahwa pembentukan undang-undang ini didasarkan

pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan

bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan

berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara

bertanggung jawab untuk menjaga dan memeliharanya sebagai sebuah rangkaian Instrumen regulasi di atas tidak saja berhenti ditingkat undang-undang tetapi

komitmen perlindungan anak yang lebih tegas bahkan diletakkan setingkat konstitusi

yaitu tepatnya Amandemen UUD RI 1945 pada Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi:

”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak

atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

7

Asas-asas penting dalam upaya perlindungan anak adalah: a) non diskriminasi; b)

kepentingan terbaik bagi anak; c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; d)

(5)

kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus yang dimulai sedini mungkin sejak

dari janin.

Sejak lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak maka sejak saat itu

segala bentuk perlindungan terhadap anak dan pelanggaran terhadapnya telah

terformulasikan secara baik dalam undang-undang tersebut dan karenanya menjadi

domain8 hukum yang pengaturannya dan penerapannya harus berdasarkan undang-undang tersebut. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta

mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.9 Perlindungan anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dapat dikatakan sebagai

perlindungan yang diberikan dan dijamin oleh hukum sehingga dapat dikatakan juga

sebagai perlindungan hukum terhadap anak. Maidin Gultom10 menyatakan, perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencipakan kondisi

agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan

pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Arif Gosita11

8

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 324. Domain bermakna wilayah.

9

Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

10

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm. 33.

11

(6)

tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan

kewajibannya.

Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan

bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin

kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.12 Perlindungan kearah yang konstruktif semakna dengan perlindungan tunas, potensi dan upaya perwujudan

cita-cita generasi muda untuk perjuangan bangsa dan negara tetapi sebaliknya

“pemanfaatan” secara menyimpang terhadap anak apapun itu termasuk eksploitasi

seksual adalah semakna dengan destruksi terhadap tunas, tindakan impotensi,

mematikan cita-cita perjuangan generasi muda dan ancaman kontinuitas eksistensi13

Meskipun perlindungan anak telah diletakkan dalam sebuah tataran yuridis

normatif positif (fakta yuridis), tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan-tindakan

negatif terhadap anak masih saja marak terjadi jika tidak dapat dikatakan makin

memanas (fakta empiris). Tindakan-tindakan negatif dimaksud seperti penelantaran,

penyiksaan, diskriminasi, pencabulan, persetubuhan hingga pemerkosaan terhadap

anak setiap hari menempati arus utama berita disamping tindakan korupsi dan

penyalahgunaan psikotropika dan narkotika. Statistik secara realistik menunjukkan masa depan bangsa dan negara.

12

Lihat bagian menimbang huruf c Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

13

(7)

fakta itu. Penjatuhan hukuman bagi pelaku tindakan-tindakan dimaksud bahkan telah

menyesakkan lembaga pemasyarakatan namun tindakan-tindakan negatif serupa

selalu terulang kembali. Efektifitas hukum kembali dipertanyakan, teori-teori

penjatuhan hukuman-pun kembali terkoreksi. Regulasi yang ada dengan berbagai

harapannya ibarat panggang jauh dari api, persetubuhan terhadap anak tidak

tereliminasi bahkan meminimalisasinya seperti terlalu utopis untuk jadi realis.

Intensitasnya semakin tinggi. Anak terkesan barang produksi layak konsumsi.

Eskalasi tindakan persetubuhan terhadap anak disinyalir karena pengaruh

jejaring sosial, situs-situs porno lewat internet, pornografi, pornoaksi dan gaya hidup

hippis dan serba permisif, tetapi ada satu pendapat yang paling tidak terbantahkan

tingkat kebenarannya adalah bahwa korban sendirilah yang merupakan faktor

kriminogen (turut menjadi penyebab terjadinya kejahatan berupa persetubuhan) atau

dalam perspektif viktimologi14 sering disebut victim precipitation. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Cianjur, Jakarta Barat, telah

merekam kasus kekerasan terhadap anak meningkat bahkan tendensius dari tahun ke

tahun dan sepanjang tahun 2012 tercatat kasus pencabulan dan persetubuhan terhadap

anak sebanyak 52 kasus.15

14

Viktimologi dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa Latin victim

(korban) dan logos (ilmu pengetahuan). secara sederhana viktimologi/ victimology artinya ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan. Lihat Bambang Walyuo, Viktimologi: Perlindungan Korban & Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.

Statistik yang sama juga terjadi di Bali yang bahkan salah

15

(8)

satu pelakunya anggota Polri,16 di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur juga tidak berbeda yang justeru salah satu pelakunya adalah ayah kandung,17 di Samarinda berdasarkan rekapitulasi data Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta

Samarinda, pada periode Januari hingga November 2012 kekerasan terhadap anak

tercatat 78 kasus dan terbanyak adalah kasus persetubuhan, yakni 21 kasus yang salah

satu kasusnya adalah persetubuhan oleh ayah tiri terhadap anak tirinya 13 tahun

dengan repetisi 3 (tiga) kali perminggu selama 5 bulan,18di Kabupaten Tuban ditemukan data bahwa sejak awal tahun 2012 kasus persetubuhan di kalangan remaja

jumlahnya terus mengalami peningkatan,19 di Depok menurut data Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Depok, rata-rata terdapat 10 kasus persetubuhan

remaja di bawah umur setiap bulan bahkan jumlah itu terus meningkat, dimana pihak

perempuan masih berusia 12 hingga 17 tahun, sementara pihak pria berumur sama

atau bahkan sudah usia dewasa. Uniknya perbuatan itu rata-rata karena pergaulan

bebas, usianya SMP bahkan ada yang SD, umumnya suka sama suka tanpa kekerasan

hanya bermodus bujuk rayu dan janji rasa sayang.20

Provinsi Sumatera Utara sendiri lewat Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan

terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah menyatakan bahwa

16

17

18

diakses tanggal 15-02-2013.

19

20

(9)

di Indonesia selama 10 tahun hingga 2010, tercatat ada 295.836 total kasus kekerasan

terhadap perempuan dan dari jumlah itu, sebanyak 91.311 kasus kekerasan seksual

terhadap perempuan, dan “Sumatera Utara merupakan daerah 10 besar yang kasus

kekerasan terhadap perempuannya tertinggi,” ucapnya.21 Secara umum Provinsi Sumatera Utara sebagai peringkat pertama dalam kasus kekerasan terhadap anak

sepanjang 2012 karena tercatat 38 % kekerasan anak di Indonesia terjadi di Sumut

menyusul di bawahnya Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menyumbang 28 %

kemudian provinsi lain termasuk Jabodetabek.22 Indonesia sendiri menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan banyak aduan kekerasan pada anak pada

tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen terkait

dengan kasus kekerasan diantaranya adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar

45,7 persen (53 kasus).23

Gejala tindakan-tindakan negatif di atas tidak saja regional tetapi juga

universal. Afrika Selatan misalnya adalah tempat kasus pemerkosaan terbesar di

dunia, pelecehan seksual terhadap anak di Amerika Serikat diperkirakan menembus

angka 8 % hingga 71 % dan menurut Departemen Pendikan Amerika Serikat hampir

9,6 % dari siswa menjadi target tindak kejahatan seksual oleh pendidik kadang

selama masa sekolah mereka, di Inggris pelecehan seksual terhadap anak mencapai

21

22

23

(10)

12 %, Finlandia berdasarkan survey tahun 1992 mengungkap kasus insestual24 yang sangat menyolok, di Taiwan berdasarkan satu survei, 2,5% dari remaja Taiwan

melaporkan telah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, di India

pelecehan seksual terhadap anak mencapai 53,22 %.25

Keseluruhan data di atas diasumsikan lebih kecil dari fakta yang sebenarnya

yang diduga mancapai 10 kali lipat karena tidak semua kasus dapat diketahui atau

dilaporkan sehingga data yang sebenarnya tetap menjadi terra incognita (wilayah

gelap yang tidak diketahui pastinya). Artinya angka-angka di atas adalah kalkulasi

batas prediksi bukan presisi sehingga masih merupakan posisi dark number crime.26

Persetubuhan merupakan istilah yuridis yang dalam ilmu biologi lebih umum

dikenal dengan istilah senggama. Persetubuhan adalah peraduan antara anggota

kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak,

jadi anggota (kemaluan) laki-laki harus masuk kedalam anggota (kemaluan) Merujuk angka di atas tidaklah berlebihan jika sementara pemerhati menyatakan

bahwa kekerasan terhadap anak dalam segala bentuknya benar-benar berada pada

level kode merah (code red) termasuk diantaranya persetubuhan terhadap anak.

24

Insestual berasal dari kata inses yang berarti hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 539. Kata inses sehari-hari lebih dikenal dengan sebutan sumbang.

25

2013.

26

(11)

perempuan, sehingga mengeluarkan air mani sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5

Pebruari 1912 (W.9292).27

Persetubuhan yang dimaksud dalam penelitian ini umumnya dimaknai sebagai

perbuatan suka sama suka dan tanpa paksaan/ kekerasan sebagai lawan dari

persetubuhan dengan paksaan/ ancaman dan tanpa kerelaan yang lebih dikenal

sebagai pemerkosaan. Adanya unsur suka-sama suka, tanpa paksaan dan kekerasan

sebagai dasar persetubuhan, jika merujuk pendapat Haskel dan Yablonsky

28

itu tidak

termasuk kategori kejahatan kekerasan, sebab yang menjadi dasar kategori kejahatan

kekerasan menurut keduanya adalah pembunuhan (murder), perkosaan dengan

penganiayaan (forcible rape), perampokan (robbery) dan penganiayaan berat

(aggravated assault). Hal senada juga dianut oleh Clinard dan Quinney29

Salah satu isu paling destruktif diantara isu-isu lainnya yang terkait dengan

anak adalah perbuatan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh pelaku yang

umumnya telah berumur dewasa ataupun dalam kasus-kasus tertentu juga dilakukan

oleh sesama anak. Ajaran agama Islam memandang persetubuhan atas dasar suka yang

menyatakan bahwa kejahatan kekerasan meliputi perbuatan yang berakibat luka-luka

secara fisik seperti pembunuhan (homicide), penganiayaan berat (aggravated

assault), perkosaan dengan kekerasan (forcible rape).

27

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 209.

28

Martin R. Haskel & Lewis Yablonsky, dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 34.

29

(12)

sama suka diluar pernikahan adalah perzinahan terlepas apakah salah satu pelakunya

atau keduanya terikat perkawinan atau tidak dengan orang lain.30

Persetubuhan pada dasarnya bukanlah perbuatan yang berkonotasi negatif

tetapi perbuatan yang produktif positif bagi manusia bahkan hewan untuk

kelangsungan eksistensi hidup. Persetubuhan adalah perbuatan biologis yang dapat

bernilai positif dan juga negatif. Positifnya adalah ketika perbuatan itu dilakukan

sesuai dengan ketentuan hukum, budaya ataupun agama tetapi negatifnya adalah

ketika perbuatan itu terjadi secara menyimpang dari koridor hukum, budaya dan

agama. Persetubuhan dengan demikian menjadi tindakan yang tergolong profan31

Terminologi persetubuhan adalah terminologi yang secara tegas dipakai

dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 81 sehingga persetubuhan

adalah telah menjadi terminologi hukum dalam Undang-Undang dimaksud.

Persetubuhan adalah delik (tindak pidana) yang tergolong kedalam delik kesusilaan.

Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. dan

ilegal ketika di dalamnya ada motivasi dan deviasi yang kontra dengan hukum,

budaya dan agama.

32

30

Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 119.

31

Profan berarti tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan ; lawan sakral, tidak kudus karena tercemar, kotor atau tidak suci. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1104.

32

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 265.

Persetubuhan dengan demikian dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas nilai-nilai

(13)

dikatakan, tulis Barda Nawasi Arief33 bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht ist das ethische minimum)

sedangkan hukum pidana beranjak dari suatu “batas etik minimum”.34

Persetubuhan terhadap anak potensial mengancam hak-hak anak secara

keseluruhan yang pada akhirnya mengancam kepentingan psycologis, ekonomis,

sosial, moralitas, agama dan kultur (budaya) tidak saja anak an sich tetapi dalam

skala yang lebih massif yaitu bangsa dan negara bahkan lintas negara (internasional).

Mengingat alasan inilah kemudian dalam Undang-Undang Perlindungan Anak

persetubuhan terhadap anak diancam dengan sanksi berat yaitu diancam dengan

hukuman35 penjara minimal 3 (tiga) tahun, maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Persetubuhan terhadap anak dengan demikian

telah menjadi perbuatan yang dapat dipidana/ tindak pidana. Tindak pidana adalah

perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat

ditolelir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan

oleh hukum pidana. Perilaku atau perbuatan tersebut dapat berupa gangguan atau

menimbulkan bahaya terhadap kepentingan atau objek hukum tertentu.36

33

Ibid. 34

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Penerapannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 25.

35

Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 12.

36

(14)

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009 tanggal 22 Juni

2009 adalah sebuah perkara yang berkaitan dengan perbuatan persetubuhan yang

dilakukan seorang laki-laki bernama BHZ berumur 21 (dua puluh satu) tahun

terhadap anak perempuan bernama VP yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun, atas

dasar hubungan pacaran, suka-sama suka tanpa paksaan. Pengadilan Negeri Medan

menyatakan perbuatan BHZ (terdakwa) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan

persetubuhan sehingga menjatuhkan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan

denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 6 (enam bulan) kurungan

sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn tanggal 18

Desember 2008, hukuman mana kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan

dalam Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN tanggal 5 Pebruari 2009 dan ditingkat

kasasi hukuman itu dikurangi menjadi pidana pejara selama 4 (empat) tahun dan

denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 6 (enam bulan) kurungan.

Sewaktu pemeriksaan ditingkat Pengadilan Negeri Medan BHZ tidak

didampingi penasihat hukum padahal ancaman hukuman atas perbuatan yang

didakwakan yaitu Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak

dengan ancaman penjara minimal 3 (tiga) tahun maksimal 15 (lima belas) tahun dan

denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juga rupiah) dan paling banyak

Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) serta Pasal 293 ayat (1) KUHP ancaman

(15)

Level ancaman hukuman yang didakwakan telah memenuhi ketentuan Pasal

56 ayat (1) KUHAP yang menegaskan :

Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Merujuk ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP di atas, Pengadilan Negeri

Medan yang memeriksa dan mengadili perkara dimaksud tanpa penasihat hukum

adalah melanggar ketentuan hukum acara (undue process) yang terklasifikasi sebagai

pelanggaran hak asasi terdakwa untuk diperiksa secara adil dan simbang di depan

pengadilan disamping pembelaan diri secara maksimal sulit untuk terwujud.

Penjatuhan pidana penjara selama 12 tahun dalam penilaian terdakwa tidak

mencerminkan keadilan sehingga kemudian menjadi alasan tersendiri bagi

keluarganya mendatangi kantor advokat dan meminta agar perkara tersebut dilakukan

pembelaan melalui upaya hukum yang tersisa.37

Penasehat hukum terdakwa kemudian melakukan upaya hukum banding dan

kasasi.

38

37

Kantor dimaksud adalah Lembaga Bantuan Hukum dan Perlindungan Konsumen (LBH-PK) “PERSADA”, tempat peneliti waktu itu bekerja sebagai advokat yang beralamat di Jalan Mesjid Raya Baru No. 5 Medan.

38

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang dapat berupa banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam hal-hal serta menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang. Lihat Redaksi Asa Mandiri, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, (Jakarta: Penerbit Asa Mandiri, 2007), hlm. 17. Bandingkan dengan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Keberatan penasehat hukum dalam upaya hukum dimaksud adalah seputar

(16)

ringannya penjatuhan hukuman (strafmaat) yang dianggap kurang

mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan diantaranya

fakta seputar kematangan kognitif/ berfikir korban untuk dibujuk melakukan

persetubuhan tanpa paksaan, berkali-kali dan atas dasar hubungan asmara serta

adanya upaya damai dari pihak keluarga terdakwa. Terdakwa menilai bahwa

sesungguhnya korban merupakan faktor kriminogen, berkontribusi dan

memprovokasi sehingga turut menimbulkan tindakan persetubuhan yang seharusnya

dinilai sama salahnya dengan terdakwa. Keberatan ini pada akhirnya mendapat

pertimbangan dari Mahkamah Agung sehingga pada akhirnya terdakwa dijatuhi

pidana penjara selama 4 (empat) tahun.

Putusan Mahkamah Agung ini menarik karena terkandung di dalamnya

pertimbangan hukum (motivering) yang mengandung ekstra juridis karena

mempertimbangkan fakta-fakta sebagai alasan yang kemudian memperingan

hukuman terdakwa, yang lazimnya pertimbangan fakta-fakta itu adalah domain judex

factie.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik dan terdorong untuk

membahas persoalan ini menjadi sebuah penelitian tesis dengan judul “Penegakan

Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak (Analisis Terhadap

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009”.

(17)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah :

1. Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana persetubuhan terhadap anak

menurut hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh hakim judex factie terhadap kasus

persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn

juncto Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN ?

3. Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh hakim judex juris terhadap kasus

persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan menelaah

hal-hal berikut yaitu untuk :

1. Mengetahui pengaturan tindak pidana persetubuhan terhadap anak menurut

hukum pidana di Indonesia.

2. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum oleh hakim judex factie

terhadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor:

(18)

3. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum oleh hakim judex juris

terahadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 1202

K/Pid.Sus/2009.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat kepada

semua pihak baik secara teoritis, akademis, terlebih secara praktis, setidaknya

manfaat tersebut adalah :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbang sedikit masukan bagi para

pembentuk undang-undang (legislatif), pemerintah (eksekutif), dan bagi akademisi

untuk pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum pidana dan peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan hal ihwal anak demi mencapai

perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.

2. Secara Praktis

Penelitian ini sesungguhnya lebih diharapkan memberikan manfaat kepada

para penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan advokat39

39

Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.

sebagai

aparat yang secara langsung potensial berhadapan dengan kasus-kasus serupa, tetapi

tanpa mengurangi nilai manfaatnya bagi pemerhati/ pemangku kepentingan seperti

(19)

sebagai pilar pertama dan utama untuk lebih memberikan atensi, pengawasan dan

perlindungan terhadap segala aktifitas anak.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang

sama, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas

Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil penelusuran dimaksud tidak menemukan

judul penelitian/ tesis yang memiliki kesamaan atau kemiripan judul dan

permasalahan yang sama sebagaimana penelitian ini.

Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu

Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ditemukan bebarapa Judul

Thesis terdahulu yang membahas seputar tindak pidana kesusilaan terhadap anak

yaitu :

1. Rosmarlina Sembiring, dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak

Akibat Kejahatan Kesusilaan (Studi Kasus di Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri

Tarutung di Tapanuli Utara)”.

2. Nanci Yosepin Simbolon, dengan Judul “Penanggulangan dan Perlindungan

Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak”.

3. Hanan, dengan Judul “Penanggulangan Kejahatan Eksploitasi Seksual Secara

(20)

4. Melita Berliana Br Meliala, dengan Judul “Penanggulangan Tindak Pidana

Perbuatan Cabul Terhadap Anak Dalam Sudut Kebijakan Hukum Pidana (Studi di

Kota Medan)”.

5. Erwin Erizal, dengan Judul “Kebijaksanaan Hakim Dalam Perlindungan Korban

Pada Kejahatan Pencabulan Anak di Pengadilan Negeri Medan”.

6. Bob Sadiwijaya, dengan Judul “ Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana

Pencabulan Terhadap Anak (Studi Putusan No. 396/Pid.B/2012/PN-LP di

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”.

Meskipun demikian, substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini

memiliki perbedaan dengan tesis-tesis tersebut di atas. Hal ini sangat logis mengingat

objek penelitian tesis ini adalah spesifik Putusan Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009. Oleh karena itu, judul dan substansi

pembahasan permasalahan penelitian ini, otentikasinya tergaransi dan jauh dari unsur

plagiat.

F. Kerangkan Teori Dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka secara etimologis bermakna garis besar atau rancangan.40 Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan,

didukung oleh data dan argumentasi.41

40

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 675.

41

Ibid, hlm. 1444.

(21)

ilmiah yang digunakan dalam penelitian sebagai dasar analisis data.42 Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan.43 Theoria juga dapat bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian terbaik.44 Pada umumnya, teori diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan

dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.45 Teori adalah keseluruhan pernyataan (klaim, beweringen) yang saling berkaitan.46 Menurut Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi

bahan perbandingan atau pegangan toritis.47

Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil.

48

Hukum

dapat terdiri dari hukum tertulis49 dan tidak tertulis50

42

Ibid, hlm. 675.

43

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yokyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 4.

44

Bernad L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 41.

45

Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit. 46

J.J. H. Bruggink alih bahasa oleh Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2.

47

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 27.

48

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001), hlm. 16.

49

Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada pasal 7 ayat (1) disebutkan: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

. Proses untuk mewujudkan

50

(22)

keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut sebagai penegakan

hukum.51 Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan

sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup

bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat

penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan

undang-undang.52

Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006), hlm. 127.

51

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24.

52

Frans H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi, dimuat dalam Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No. 10, Edisi November-Desember, 2011, hlm. 17.

Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakan hukum pidana terhadap

pelanggaran norma-norma hukum pidana khususnya persetubuhan terhadap anak atas

dasar suka sama suka dan tanpa paksaan. Tidak ada hukuman tanpa kesalahan

merupakan asas penting dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan

hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana. Kesalahan tidaklah

otomatis selalu harus dianggap ada dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi

haruslah dibuktikan terlebih dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan

maka pembuktian terhadap kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan.

Mengingat itu maka teori pembuktian beserta teori kesalahan dan teori kesalahan

(23)

M. Yahya Harahap53 menulis bahwa “pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksanaan sidang pengadilan. Melalui

pembuktian ditentukan nasib terdakwa”. Secara lebih umum, tulis R. Subekti,54

Pembuktian (proof) dapat diartikan sebagai penetapan kesalahan terdakwa

berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang, maupun diluar

undang-undang sedangkan bukti (bewijs: evidence) yaitu hal yang menunjukkan

kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan

pemeriksaan di sidang pengadilan.

fungsi pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi

persengketaan atau perkara di pengadilan.

55

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,56

53

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), hlm. 273.

54

R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm. 7.

55

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), hlm. 27.

56

Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 217-218.

pembuktian diartikan sebagai: 1)

proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan; 2) usaha menunjukkan benar atau

salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan, sedangkan membuktikan diartikan

sebagai: 1) memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti; 2) mendandakan,

menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti; 3) menyaksikan dan bukti adalah

sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Arti alat bukti

dengan demikian adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu

(24)

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan dan merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa dan juga ketentuan yang mengatur alat-alat bukti

yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan

kesalahan yang didakwakan.57 Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu

sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.58 Pengertian pembuktian dalam ilmu hukum59 secara lebih luas sebagaimana yang dinyatakan oleh Munir Fuady60

Merujuk uraian diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan prinsipil antara

bukti, membuktikan dan pembuktian yaitu bahwa bukti merujuk pada alat bukti adalah :

Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang dianjukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.

57

M. Yahya Harahap I , Loc.Cit. 58

Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), hlm. 47.

59

Ilmu hukum atau disebut juga ajaran hukum (rechtsleer) atau disebut juga dogmatic hukum yaitu mempelajari hukum positif (jus constitutum) atau hukum yang berlaku disuatu tempat dan pada waktu sekarang. Ilmu hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik hukum. Ilmu hukum bersifat normatif dan mengandung nilai serta bersifat praktis-konkrit. Sedangkan Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, atau dengan kata lain Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 3.

60

(25)

termasuk barang bukti61 yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa sementara pembuktian dan membuktikan merujuk pada suatu proses atau cara untuk

mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut

di sidang pengadilan.62

Hukum yang mengatur perihal alat bukti, pembuktian dan membuktikan

disebut sebagai hukum pembuktian. Hukum pembuktian merupakan terminologi

universal sehingga merupakan pengertian dan penggunaannya sifatnya umum dalam

seluruh lapangan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum

administrasi. Menurut Munir Fuady

63

61

Pengertian barang bukti dalam praktek berbeda dengan pengertian alat bukti. Alat bukti adalah alat yang secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk menyatakan keterbuktian suatu perbuatan yang dituduhkan atau sebagai penyangkalan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, pentunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah barang-barang apapun jenisnya yang umumnya dijadikan oleh seseorang sebagai alat/ sarana melakukan kejahatan misalnya pisau atau senjata api yang dipergunakan untuk melakukan pembunuhan atau kenderaan untuk mengangkut ganja, atau sesuatu sebagai hasil kejahatan, maka pisau, senjata api, kenderaan dan ganja kesemuanya merupakan barang bukti.

62

Eddy O.S. Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hlm. 4.

63

Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 9.

, hukum pembuktian merupakan salah satu

bidang hukum yang cukup tua umurnya, dan karena alasan rasa keadilan serta

motivasi mencari kebenaran yang dimiliki manusia betapapun primitifnya kemudian

menimbulkan hukum pembuktian guna menghindari putusan yang keliru dan atau

tidak adil. Hukum pembuktian sebagaimana hukum pada umumnya tidak kedap

terhadap segala dinamisasi (perobahan, pergerakan dan perkembangan) kehidupan

manusia, maka itulah sebabnya salah satu karakter hukum pembuktian adalah bahwa

(26)

oriented sehingga perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung terhadap

perkembangan pembuktian di pengadilan.64 Pembuktian saintifik dengan mempergunakan tes DNA, mesin polygraph (lie detector), microscope, sidik jari dan

data optic misalnya merupakan bagian tehnologi yang sekarang diterima dalam

pembuktian di pengadilan. Munir Fuady,65 menulis bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Eddy O.S. Hiariej66 mendefinisikan hukum pembuktian sebagai “ketentuan-ketentuan mengenai

pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan

memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan

pembuktian dan beban pembuktian”. Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh

Eddy O.S. Hiarej mendefinisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan

hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu

kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan

persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan

pengesahan setiap barang bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk

kepentingan peradilaan dalam perkara pidana.67

64

Ibid, hlm. 8.

65

Ibid, hlm. 1.

66

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 5.

67

Ibid.

R. Wiyono menyatakan bahwa yang

(27)

untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam

menjatuhkan suatu putusan.68

Menurut teori hukum pembuktian agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai

alat bukti di persidangan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu: 69

1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.

2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu).

3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang dipelukan untuk membuktikan suatu fakta.

4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

Hukum pembuktian bergerak untuk membuktikan kebenaran sesuatu yang

dalam bidang hukum pidana berarti untuk membuktikan kebenaran sesuatu atau

menyangkal peristiwa yang didakwakan. Ketika kebenaran yang ingin dicari telah

ditemukan berdasarkan alat bukti dan pembuktian (misalnya peristiwa pidana yang

didakwakan terbukti telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya) maka tahapan

selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah perihal pertanggungjawaban pidana.

Kesalahan diperlukan sebagai indikator guna menentukan dapat tidaknya

seorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sehingga kesalahan ini akan selalu

terkait dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Chairul Huda menyatakan

bahwa pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari

68

R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 148.

69

(28)

pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara.70 Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.71 Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus

pidana.72 Menurut M.v.T alasan penghapus pidana dibagai menjadi: a) alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa yaitu Pasal 44 KUHP; dan b)

alasan-alasan yang diluar yaitu pasal-pasal 48-51 KUHP.73

Setelah suatu tindak pidana terbukti telah terjadi dan terdakwalah pelakunya

kemudian ternyata terbukti pula bahwa pelaku dapat dipersalahkan atas perbuatannya

maka pemidanaan dapat dijatuhkan. Pemidanaan sebagaimana yang ditulis oleh Roni

Wiyanto, adalah pemberian sanksi yang berupa suatu penderitaan yang istimewa

kepada seseorang yang nyata-nyata telah melakukan suatu perbuatan yang secara

tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang-undang.74

70

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011), hlm. 7.

71

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 250.

72

Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Title ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana yang dibedakan menjadi: 1) alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan misalnya Pasal 49 ayat (1) KUHP mengenai pembelaan terpaksa/ noodweer, Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang, Pasal 51 ayat (1) KUHP tentang melaksanakan perintah dari pihak atasan; 2) alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa misalnya Pasal 49 ayat (2) KUHP mengenai pembelaan melampaui batas, Pasal 51 ayat (2) KUHP mengenai melaksanakan perintah jabatan tanpa wenang; dan 3) alasan penghapus penuntutan yaitu karena pemerintah atas dasar utilitas atau kemanfaatan kepada masyarakat, kemudian tidak mengadakan penuntutan. Tentang ketentuan Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa/ overmacht tidak ada kesatuan pendapat para ahli apakah termasuk kategori alasan pemaaf atau pembenar. Lihat Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm.137-138.

73

Ibid, hlm. 138.

74

Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 110.

(29)

Berdasarkan uraian di atas, maka karena penelitian ini adalah berkaitan

dengan penegakan hukum pidana atas perbuatan persetubuhan terhadap anak

ditingkat pengadilan sebagai benteng terakhir (last bastion) yang bertugas dan

berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka peneliti akan

menganalisa penelitian ini berdasarkan teori hukum pembuktian pidana, teori

kesalahan dan teori kesalahan korban yang akan digunakan sebagai pisau analisis

untuk memandu dalam mengungkap, manganalisis serta memberikan penilaian

yuridis terhadap fakta-fakta dan aturan hukum yang ingin dibahas.

a. Teori Pembuktian

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pembuktian termasuk salah satu

pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal

pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara khusus diatur dalam

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal

dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah

menemukan kebenaran materil.75 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah

kebenaran sejati atau materil waarheid atau ultimate truth atau disebut juga absolute

truth.76

75

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hlm. 228.

76

M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 275.

Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana

(30)

M.01.PW.07.03 Tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditetapkan di

Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 1982, pada Bidang Umum Bab I Pendahuluan yang

berbunyi:

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Beberapa ajaran atau teori penting terkait dengan pembuktian77

1) Conviction in Time

adalah

sebagai berikut :

Teori ini mengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya atas

dasar keyakinan hakim semata yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya

tanpa terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan hakim dalam teori ini sangat absolut

dan independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi.

Sistem pembuktian conviction in time adalah suatu sistem yang untuk

menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian

77

Beberapa literature/ buku saling mempertukarkan istilah teori pembuktian atau sistem pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia

mempergunakan kata-kata “Sistem atau Teori Pembuktian”, M. Yahya Harahap dalam bukunya

(31)

“keyakinan” hakim.78 Andi Hamzah79 menyebut sistem pembuktian conviction in time ini dengan sebutan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu,

sedangkan Oddy O.S. Hiariej menyebutnya sebagai keyakinan semata.80

2) Conviction Raisonnee

Berbeda dengan sistem conviction in time yang mengandalkan keyakinan

hakim semata, absolut dan independen tanpa terikat oleh alat-alat bukti atau

alasan-alasan apapun, dalam conviction raisonnee keyakinan hakim dalam memberikan

putusan tetap dominan tetapi harus dilandasi oleh alasan-alasan yang logis atau

diterima akal kenapa hakim sampai pada pengambilan putusan dimaksud. Jadi tetap

memprioritaskan keyakinan tetapi terbatas oleh alasan-alasan logis.

Menurut teori ini, tulis Andi Hamzah, 81

Eddy H.S Hiariej menulis bahwa conviction raisonee berarti dasar

pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang

logis dimana hakim diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti tapi harus hakim dapat memutuskan seseorang

bersalah berdasar keyakinannya yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian

disertai dengan suatu kesimpulan (conclusi) yang berlandaskan pada

peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan dengan suatu motivasi. Sistem ini juga

disebut sebagai pembuktian bebas karena hakim bebas menyebut alasan-alasan

keyakinannya (vrije bewijstheorie).

78

M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 277.

79

Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 230.

80

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 16.

81

(32)

disertai dengan alasan yang logis.82 Tegasnya tulis M. Yahya Harahap, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee harus dilandasi reasoning atau

alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat

diterima.83

Sistem pembuktian ini dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia hanya

sebatas dalam persidangan tindak pidana ringan, acara pemeriksaan cepat dan

termasuk perkara lalu lintas.84

3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie)

Teori ini mengajarkan bahwa membuktikan sesuatu didasarkan semata-mata

atas alat-alat pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang tanpa membuka

ruang bagi keyakinan hakim. Alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh

undang-undang dalam teori ini bersifat mengikat dan menentukan secara absolut serta

independen dalam membuktikan kebenaran sesuatu.

Pembuktian jenis ini dikatakan positif karena hanya didasarkan kepada

undang-undang melulu. Keyakinan hakim disini tidak diperlukan sama sekali. Sistem

pembuktian ini juga disebut sebagai pembuktian formal (formeel bewijstheorie).85

82

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 17.

83

M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 277.

84

Eddy O.S. Hariej, Loc.Cit.

85

Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 229.

(33)

ditentukan undang-undang, untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata

digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah.86

Menurut Eddy O.S. Hiariej pembuktian ini hanya dapat digunakan dalam

pemeriksaan perkara perdata yang hanya mencari kebenaran formal (formeel

waarheid) dalam arti kebenaran yang hanya didasarkan pada alat bukti

87

semata

sebagaimana disebutkan dalam undang-undang.88 Sistem pembuktian ini pernah dianut di Eropah sewaktu berlakunya asas inkisitor (inquisitor)89 dalam acara pidana, dan dewasa ini telah ditinggalkan.90

4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)

Sistem pembuktian undang-undang secara negatif ini adalah sebuah sistem

pembuktian yang mengajarkan bahwa pembuktian harus didasarkan atas alat-alat

bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang diikuti oleh keyakinan hakim. Jadi

86

M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 278.

87

Alat-alat bukti dalam hukum perdata adalah: bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Lihat Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

88

Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 16.

89

Inkisitor (inquisitor) adalah sebuah sistem pemeriksaan yang menempatkan seorang

tersangka atau terdakwa sebagai pihak yang lebih rendah kedudukannya dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana. Intinya adalah tersangka atau terdakwa dipandang sebagai objek

pemeriksaan yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang (arbitrary/ willikeur). Prinsip ini dahulu dipergunakan di Indonesia sewaktu berlakunya acara pidana berdasarkan HIR. Setelah berlakunya KUHAP maka sistem inkisitor ini ditinggalkan dan diganti dengan sistem akusator (accusatory procedure/ accusatorial system). Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subjek bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka/ terdakwa harus dipandang dan diperlakukan sebagai manusia yang berharkat martabat dan harga diri. Objek pemeriksaan dalam sistem akusator diarahkan kepada kesalahan/ tindak pidana yang diduga dilakuan tersangka/ terdakwa. Prinsip akusator dilihat dari segi teknis yuridis maupun teknis penyidikan adalah sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah (presumption of innoncence). Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II), hlm. 40.

90

(34)

alat buktilah yang harus terlebih dahulu ada (didepan) baru memunculkan keyakinan

hakim bukan sebaliknya (dibelakang). Keyakinan hakim yang dimaksud disini adalah

keyakinan yang timbul berdasarkan alat-alat bukti yang ada, jadi keyakinan itu

haruslah berkorelasi dengan alat-alat bukti. Sistem pembuktian ini dengan demikian

merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara

positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim (conviction in time).

Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana di Indonesia

berdasaran ketentuan KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang

negatif, hal ini dapat diketahui dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu

tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukannya”. Senada dengan itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman pada pasal 6 ayat (2) dinyatakan: “Tidak seorang pun dapat

dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut

undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat

bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”

Ketentuan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman di atas selain sebagai penegasan sistem pembuktian

berdasarkan undang-undang secara negatif sekaligus sebagai pedoman dalam

(35)

KUHAP dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya

kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang.

b. Teori Kesalahan

Salah satu pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam

mempelajari hukum pidana adalah tentang pengertian kesalahan.91 Penting karena menjadi penentu dapat tidaknya seseorang dipidana dan bila dapat dipidana menjadi

penentu pula dalam masalah berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan.92 Demikian eratnya kaitan antara kesalahan dengan pemidanaan terwujud dalam satu

asas yang sangat “suci” yaitu tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan (Belanda: geen

straf zonder schuld/ Jerman: keine strafe ohne schuld/ Latin: actus non facit reum,

nisi mens sit rea/ Inggris: an act does’t make a person guilty, unless the mind is

guilty), sehingga sangat tepat apa yang ditulis Jan Remmelink,93 “kita tidak rela membebankan derita pada orang lain, sekedar karena orang itu melakukan tindak

pidana, kecuali jika kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena

tindakannya itu”. Laksana sebuah gedung, tulis D. Schaffmeister dkk,94

Simon berpendapat bahwa untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku

harus tercapai beberapa hal yaitu: ada kemampuan bertanggungjawab, ada hubungan bertumpu

pada fundamennya, demikian pula pidana bertumpu pada kesalahan, karena

kesalahan, pidana menjadi sah.

91

E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 160.

92

Ibid. 93

Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 142.

94

(36)

kejiwaan antara pelaku, kelakuannya dan akibat yang ditimbulkan serta ada

kesengajaan atau kelalaian.95 Pompe baru menganggap sesorang mempunyai kesalahan jika terpenuhi tiga syarat yaitu: perbuatan itu bersifat melawan hukum, ada

kesengajaan atau kelalaian serta ada kemampuan bertanggungjawab.96 Kesalahan, tulis Jan Remmelink,97 adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat-yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu-terhadap manusia yang

melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya. Sudarto

menyatakan sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno98

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat.

, untuk adanya

kesalahan maka harus ada pencelaan ethics, betapapun kecilnya. Kesalahan dianggap

ada jika terpenuhi beberapa unsur yaitu:

2. Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berupa kesengajaan

(dolus) atau kelapaan (culpa).

3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.99

Moeljatno secara lebih jelas mencontohkan bahwa, kesalahan tidak ada pada

anak kecil yang belum mengerti dan menginsyafi arti perbuatannya yang telah

membakar sebuah rumah, atau orang gila yang menyerang dan memukuli seseorang

lain tidak juga ada kesalahan pada dirinya karena jiwanya sakit, dan kesalahan juga

tidak ada pada seseorang yang berada dibawah ancaman telah dipaksa melakukan

95

E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 162.

96

Roni Wiyanto, Op.Cit, hlm. 183.

97

Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 142.

98

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 74.

99

(37)

tindakan pidana diluar kendalinya sehingga bathinnya tertekan oleh keadaan dari luar

dirinya. Intinya adalah dikatakan ada kesalahan jika waktu berbuat pidana, dilihat

dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa berbuat demikian padahal

mampu menilai makna jelek perbuatan itu, dan ada kemampuan untuk

menghindarinya.100

Kesalahan ada jika pelaku kejahatan dapat mengetahui nilai buruknya suatu

perbuatan dan ada kemampuan bathin secara bebas untuk berbuat atau tidak berbuat

tindakan pidana itu, tetapi tetap dilakukannya perbuatan pidana itu. Inti kesalahan

jika dihubungkan dengan pelaku tulis D. Schaffmeister dkk

101

Roeslan Saleh menyatakan untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan

dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah: a) melakukan perbuatan pidana; b)

mampu bertanggung jawab; c) dengan sengaja atau kealpaan; dan d) tidak adanya

alasan pemaaf.

adalah pelakunya

berbuat yang tidak patut secara objektif dan dapat dicelakan kepadanya.

102

Adanya kemampuan bertanggung jawab jika: 1) ada kemampuan

untuk membedakan antara perbuatan baik dan buruk (faktor akal/ intelektual faktor) ;

dan 2) ada kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan itu (faktor kehendak/ volitional factor).103

100

Moeljatno, Op.Cit, hlm. 156-157.

101

D. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, Loc.Cit.

102

Ibid, hlm. 77.

103

Moeljatno, Op.Cit, hlm. 165-166.

(38)

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menulis bahwa:104

a. Keadaan jiwanya:

Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), bila mana pada umumnya:

1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);

2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) ;

3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflece beweging, melindur/ slap wandel, mengigau kerena demam/ koorts dan sebagainya;

b. Kemampuan jiwanya:

1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;

2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;

3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian dasar dari hukum pidana

adalah: 1) perbuatan pidana; dan 2) pertanggungjawaban pidana. Unsur perbuatan

pidana adalah: 1) formil yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan

sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana; dan 2) materil yaitu

bersifat melawan hukum. Unsur pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan,

sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah: mampu bertanggungjawab, sengaja atau

alpa, dan tidak ada alasan pemaaf.105

Keseluruhan pendapat-pendapat para ahli di atas menggambarkan satu hal

yang sangat terang bahwa wujud kesalahan selalu terikat dengan sikap bathin pelaku

dalam hubungannya dengan perbuatannya beserta akibat perbuatannya itu, kondisi

104

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 249.

105

(39)

mana oleh pandangan-pandangan dan harapan-harapan masyarakat terhadap pelaku

masih dapat berbuat lain.

Jika dilihat rumusan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) UU Kekuasaan

Kehakiman di atas secara terang dinyatakan bahwa hakim baru dapat menjatuhkan

pidana kepada seseorang jika ditemukan (minimal dua) alat bukti disertai keyakinan

hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

melakukannya. Itu artinya bahwa jika benar sekalipun berdasarkan minimal 2 (dua)

alat bukti dan didukung keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar

terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya, tetapi untuk sampai kepada penjatuhan

pidana masih diperlukan syarat penting yaitu apakah terdakwa memiliki kesalahan.

c. Teori Kesalahan Korban

Teori kesalahan korban ini dikembangkan oleh Angkasa dan kawan-kawan

yang mengajarkan bahwa pemidanaan harus mempertimbangkan aspek korban dan

pelaku secara adil agar mendukung putusan dan memenuhi rasa keadilan. Ia

bependapat sebagaimana dikutip oleh H. Salim sebagai berikut:106

106

H. Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 160-161.

Model penjatuhan pidana harus mempertimbangkan aspek korban dan pelaku secara adil agar mendukung putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan. Model dimaksud adalah:

Pertama, untuk penjatuhan pidana harus memenuhi syarat pemidanaan yang meliputi unsur perbuatan dan orang.

(40)

Ketiga, setelah semua syarat tersebut di atas terpenuhi, maka pemidanaan dapat diputuskan. Jenis dan lamanya pidana yang dijatuhkan dikorelasikan dengan terpenuhinya syarat-syarat pemidanaan serta aspek korban dan pelaku.

Angkasa berpendapat bahwa, dalam hal pertanggungjawaban pidana, korban

mempunyai tanggung jawab fungsional, yakni harus bertindak secara aktif

menghindar untuk menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan

kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana. Provokasi atau kontribusi korban

terhadap terjadinya victimisasi dalam perspektif viktimologi disebut victim

precipitation yang berkaitan dengan pertanggungjawaban korban atas viktimisasi.107 Bila ternyata korban memiliki andil terhadap terjadinya tindak pidana, maka

selayaknya demi alasan keadilan korbanpun dapat dipertanggungjawabkan dan

dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana.108

Hubungan korban dengan pelaku dapat dilihat dari tingkat kesalahannya.

Benjamin Mandelsohn sebagaimana yang dikutip Bambang Waluyo

109

dan Lilik

Mulyadi110

a. Yang sama sekali tidak bersalah;

berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 (lima)

macam yaitu:

b. Yang jadi korban karena kelalaiannya; c. Yang sama salahnya dengan pelaku; d. Yang lebih bersalah dari pelaku;

e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).

(41)

Secara viktimologi, korban dibedakan antara korban murni dengan korban

tidak murni, dimana yang jenis korban yang pertama benar-benar merupakan korban

yang sebenar-benarnya/ senyatanya yang tidak tahu menahu dan tidak memiliki andil

terhadap terjadinya tindak pidana yang merugikan dirinya sebagai korban, sedangkan

yang terakhir adalah korban sendiri sebagai pemicu dan stimulator terjadinya tindak

pidana, yang dalam tulisan Bambang Waluyo,111

Lilik Mulyadi

“bukan saja ikut andil, sering terjadi

korban sama salahnya dengan pelaku”.

112

menyebutkan bahwa tipologi korban kejahatan dapat ditinjau

dari dua perspektif yaitu: pertama, ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam

terjadinya kejahatan; dan kedua, ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu

sendiri. Stephen Scafer113

2. Landasan Konsepsional

mengemukakan salah satu tipologi korban adalah

provocative victims yaitu korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu

terjadinya kejahatan, karena itu aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan

pelaku secara bersama-sama.

Dalam penelitian ini, digunakan beberapa istilah sebagai landasan

konsepsional untuk menghindari kesalahpahaman mengenai definisi atau pengertian

sebuah istilah sebagai berikut:

111

Bambang Waluyo, Op.Cit, hlm. 21.

112

Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 16.

113

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur karakteristikkinerja sensor serat optik pada konsentrasi larutan gula yang berbeda, menentukan hubungan indeks bias larutan

PEMERINTAHAN INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG MINERAL BATUBARA DIKAITKAN DENGAN ASAS HUKUM KONTRAK INDONESIA. Penulisan Hukum

[r]

adsorpsi ion Al dan Fe oleh karbon aktif Dalam Gambar juga terlihat waktu kontak yang relatif singkat dapat menyebabkan proses adsorpsi belum optimal hal ini disebabkan

Dismenorea pada responden setelah dilakukan teknik relaksasi 100% mengalami penurunan tingkat dismenorea setelah melakukan teknik relaksasi yaitu 81 (98,78%)

Akan tetapi, hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Yeh (2009) yang menunjukkan bahwa bagi negara berkembang pertumbuhan ekonomi tidak menyebabkan inflasi. Hasil

Daun yang sudah halus kemudian ditambahkan buffer sebanyak 800 µL, lalu disimpan dalam lemari es dengan suhu -20°C.. Kemudian sampel ditambahkan larutan chisam yang berisi kloroform