BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan amanah dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya1
Anak dan dewasa adalah dua kondisi manusia yang saling membutuhkan.
Sebuah siklus kehidupan yang tetap berlangsung dan bergerak, saling menopang dan
berkontribusi sesuai kodrati masing-masing. Peran strategis anak dapat menyentuh
sisi-sisi kehidupan berbangsa dan bernegara dan lebih jauh dari itu ialah dimensi
ukhrawi bagi yang mempercayainya sesuai agamanya yaitu keberlangsungan kita
setelah mati.
dengan sedikit perbedaan
kondisi khusus yang secara manusiawi mesti ada (condisio sine qua non). Perbedaan
itu sesungguhnya hanyalah sebatas beban kewajiban, tetapi prinsip-prinsip
kemanusian lainnya tetap sama, anak sama manusiawinya dengan dewasa. All men
are created equal, semua orang tercipta secara sama.
2
Secara lebih tegas Hadi Supeno3
1
Lihat bagian menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2
Pemilihan kata “mati” dalam tulisan ini sengaja dibuat untuk menghilangkan persepsi masyarakat luas akan makna yang kasar dari kata “mati” tersebut. Kata “mati” adalah kata yang mengandung makna terhormat terbukti kata “mati” tersebut dipergunakan didalam kalimat-kalimat kitab suci Al-Qur’an dan didalam do’a-do’a yang sering dipanjatkan umat Muslim kepada Allah menandakan bahwa kata “mati” tersebut adalah sebuah kata terhormat kalau tidak tentu kata “mati” tidak pantas tertulis di dalam sebuah kitab suci dan tidak pantas diucapkan kepada Tuhan di dalam berdo’a.
3
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 19-22.
menyebutkan bahwa nilai anak sangat
ekonomi dan anak sebagai nilai transenden. Perspektif anak sebagai nilai sejarah
berarti anak harus meneruskan sejarah dinasti atau sejarah garis keturunan sedangkan
sebagai nilai ekonomi yaitu kerena anak dipandang sebagai pembantu dalam
menopang/ menyangga kehidupan ekonomi keluarga.
Teori Charles Darwin4 tentang species manusia merupakan evolusi dari hewan kera purba menjadi manusia hewan (homoerectus) kemudian menjadi manusia
ternyata sebatas mitos berdasarkan realitas. Kontinuitas manusia akan terjamin hanya
dengan kehadiran anak, tanpanya berarti kepunahan. Pelestarian kontinuitas itu
karenanya syarat mutlak yang sangat diperlukan (sine qua non), patutlah kemudian
jika Hadi Supeno5
Upaya yang dilakukan oleh negara dalam melindungi anak diantaranya adalah
dengan membuat berbagai peraturan perundang-undangan. Anak dengan demikian
yang dimaksud disini adalah bukan dalam pengertian anak keturunan berdasarkan
hubungan anak dengan orang tuanya (karena jika itu yang dimaksud maka setiap
orang dapat disebut sebagai anak berapapun usianya bagi ayahnya) tetapi anak dalam menyatakan bahwa “berbicara soal perlindungan anak bukan
sekedar bicara anak dalam kajian psikologis, pedagogis atau sosiologis, lebih dari itu
semua, bicara soal perlindungan anak berarti bicara soal kelangsungan hidup sebuah
komunitas, berbicara tentang rancang bangun sosial masa depan”.
4
Teori ini tertuang dalam buku karangan Charles Darwin berjudul The Origin of Species
terbit tahun 1859 dan The Origin of Men terbit tahun 1871. Lihat Muhammad Qutub, Evolusi Moral, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 26.
5
artian yuridis secara umum yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun termasuk anak dalam kandungan.6
Sebagai puncak upaya perlindungan anak, secara responsif dan progressif
pemerintah menetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak (untuk selanjutnya dalam penelitian ini akan disingkat
Undang-Undang Perlindungan Anak) ditetapkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 22
Oktober 2002 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2002 Nomor 109
sebagai payung hukum yang secara positif berlaku sejak tahun 2003 yang pada
pokoknya juga bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak Mewujudkan upaya negara dalam melindungi anak sesungguhnya telah
dimulai sejak tahun 1979 bertepatan sebagai tahun yang ditetapkan sebagai ”Tahun
Anak Internasional” dimana pemerintah telah menetapkan sebuah peraturan untuk
meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang cukup aman, yaitu
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang pada
pokoknya bertujuan menjamin kesejahteraan anak. Langkah pemerintah selanjutnya
adalah menetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
yang diharapkan dapat membantu anak yang berada dalam proses hukum tetap
terjamin dan terlindungi untuk mendapatkan hak-haknya.
6
sebagai penerus generasi bangsa yang harus dijamin hak-haknya dan
perlindungannya dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Merujuk kepada kata-kata “perlindungan” berdasarkan adagium titulus est lex
(judul perundang-undanganlah yang menentukan) maka kebijakan aplikasi dan
eksekusi undang-undangnya haruslah dibaca, dimaknai dan dipahami sebagai sebuah
undang-undang yang berpihak pada semangat perlindungan anak.7
Melindungi anak dalam segala bentuknya pada hakikatnya berarti melindungi
diri sendiri, keluarga, masyarakat dan negara bahkan manusia secara universal.
Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Anak bagian Umum alinea
kedua sampai keenam dinyatakan bahwa pembentukan undang-undang ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan
bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara
bertanggung jawab untuk menjaga dan memeliharanya sebagai sebuah rangkaian Instrumen regulasi di atas tidak saja berhenti ditingkat undang-undang tetapi
komitmen perlindungan anak yang lebih tegas bahkan diletakkan setingkat konstitusi
yaitu tepatnya Amandemen UUD RI 1945 pada Pasal 28B ayat (2) yang berbunyi:
”Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
7
Asas-asas penting dalam upaya perlindungan anak adalah: a) non diskriminasi; b)
kepentingan terbaik bagi anak; c) hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; d)
kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus yang dimulai sedini mungkin sejak
dari janin.
Sejak lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak maka sejak saat itu
segala bentuk perlindungan terhadap anak dan pelanggaran terhadapnya telah
terformulasikan secara baik dalam undang-undang tersebut dan karenanya menjadi
domain8 hukum yang pengaturannya dan penerapannya harus berdasarkan undang-undang tersebut. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.9 Perlindungan anak yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dapat dikatakan sebagai
perlindungan yang diberikan dan dijamin oleh hukum sehingga dapat dikatakan juga
sebagai perlindungan hukum terhadap anak. Maidin Gultom10 menyatakan, perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk mencipakan kondisi
agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan
pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Arif Gosita11
8
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), hlm. 324. Domain bermakna wilayah.
9
Pasal 1 angka 2 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
10
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hlm. 33.
11
tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.
Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan
bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin
kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.12 Perlindungan kearah yang konstruktif semakna dengan perlindungan tunas, potensi dan upaya perwujudan
cita-cita generasi muda untuk perjuangan bangsa dan negara tetapi sebaliknya
“pemanfaatan” secara menyimpang terhadap anak apapun itu termasuk eksploitasi
seksual adalah semakna dengan destruksi terhadap tunas, tindakan impotensi,
mematikan cita-cita perjuangan generasi muda dan ancaman kontinuitas eksistensi13
Meskipun perlindungan anak telah diletakkan dalam sebuah tataran yuridis
normatif positif (fakta yuridis), tidak dapat dipungkiri bahwa tindakan-tindakan
negatif terhadap anak masih saja marak terjadi jika tidak dapat dikatakan makin
memanas (fakta empiris). Tindakan-tindakan negatif dimaksud seperti penelantaran,
penyiksaan, diskriminasi, pencabulan, persetubuhan hingga pemerkosaan terhadap
anak setiap hari menempati arus utama berita disamping tindakan korupsi dan
penyalahgunaan psikotropika dan narkotika. Statistik secara realistik menunjukkan masa depan bangsa dan negara.
12
Lihat bagian menimbang huruf c Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
13
fakta itu. Penjatuhan hukuman bagi pelaku tindakan-tindakan dimaksud bahkan telah
menyesakkan lembaga pemasyarakatan namun tindakan-tindakan negatif serupa
selalu terulang kembali. Efektifitas hukum kembali dipertanyakan, teori-teori
penjatuhan hukuman-pun kembali terkoreksi. Regulasi yang ada dengan berbagai
harapannya ibarat panggang jauh dari api, persetubuhan terhadap anak tidak
tereliminasi bahkan meminimalisasinya seperti terlalu utopis untuk jadi realis.
Intensitasnya semakin tinggi. Anak terkesan barang produksi layak konsumsi.
Eskalasi tindakan persetubuhan terhadap anak disinyalir karena pengaruh
jejaring sosial, situs-situs porno lewat internet, pornografi, pornoaksi dan gaya hidup
hippis dan serba permisif, tetapi ada satu pendapat yang paling tidak terbantahkan
tingkat kebenarannya adalah bahwa korban sendirilah yang merupakan faktor
kriminogen (turut menjadi penyebab terjadinya kejahatan berupa persetubuhan) atau
dalam perspektif viktimologi14 sering disebut victim precipitation. Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Cianjur, Jakarta Barat, telah
merekam kasus kekerasan terhadap anak meningkat bahkan tendensius dari tahun ke
tahun dan sepanjang tahun 2012 tercatat kasus pencabulan dan persetubuhan terhadap
anak sebanyak 52 kasus.15
14
Viktimologi dari kata victim (korban) dan logi (ilmu pengetahuan), bahasa Latin victim
(korban) dan logos (ilmu pengetahuan). secara sederhana viktimologi/ victimology artinya ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan. Lihat Bambang Walyuo, Viktimologi: Perlindungan Korban & Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 9.
Statistik yang sama juga terjadi di Bali yang bahkan salah
15
satu pelakunya anggota Polri,16 di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur juga tidak berbeda yang justeru salah satu pelakunya adalah ayah kandung,17 di Samarinda berdasarkan rekapitulasi data Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta
Samarinda, pada periode Januari hingga November 2012 kekerasan terhadap anak
tercatat 78 kasus dan terbanyak adalah kasus persetubuhan, yakni 21 kasus yang salah
satu kasusnya adalah persetubuhan oleh ayah tiri terhadap anak tirinya 13 tahun
dengan repetisi 3 (tiga) kali perminggu selama 5 bulan,18di Kabupaten Tuban ditemukan data bahwa sejak awal tahun 2012 kasus persetubuhan di kalangan remaja
jumlahnya terus mengalami peningkatan,19 di Depok menurut data Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Depok, rata-rata terdapat 10 kasus persetubuhan
remaja di bawah umur setiap bulan bahkan jumlah itu terus meningkat, dimana pihak
perempuan masih berusia 12 hingga 17 tahun, sementara pihak pria berumur sama
atau bahkan sudah usia dewasa. Uniknya perbuatan itu rata-rata karena pergaulan
bebas, usianya SMP bahkan ada yang SD, umumnya suka sama suka tanpa kekerasan
hanya bermodus bujuk rayu dan janji rasa sayang.20
Provinsi Sumatera Utara sendiri lewat Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah menyatakan bahwa
16
17
18
diakses tanggal 15-02-2013.
19
20
di Indonesia selama 10 tahun hingga 2010, tercatat ada 295.836 total kasus kekerasan
terhadap perempuan dan dari jumlah itu, sebanyak 91.311 kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan, dan “Sumatera Utara merupakan daerah 10 besar yang kasus
kekerasan terhadap perempuannya tertinggi,” ucapnya.21 Secara umum Provinsi Sumatera Utara sebagai peringkat pertama dalam kasus kekerasan terhadap anak
sepanjang 2012 karena tercatat 38 % kekerasan anak di Indonesia terjadi di Sumut
menyusul di bawahnya Provinsi Nusa Tenggara Timur yang menyumbang 28 %
kemudian provinsi lain termasuk Jabodetabek.22 Indonesia sendiri menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia menemukan banyak aduan kekerasan pada anak pada
tahun 2010. Dari 171 kasus pengaduan yang masuk, sebanyak 67,8 persen terkait
dengan kasus kekerasan diantaranya adalah kasus kekerasan seksual yaitu sebesar
45,7 persen (53 kasus).23
Gejala tindakan-tindakan negatif di atas tidak saja regional tetapi juga
universal. Afrika Selatan misalnya adalah tempat kasus pemerkosaan terbesar di
dunia, pelecehan seksual terhadap anak di Amerika Serikat diperkirakan menembus
angka 8 % hingga 71 % dan menurut Departemen Pendikan Amerika Serikat hampir
9,6 % dari siswa menjadi target tindak kejahatan seksual oleh pendidik kadang
selama masa sekolah mereka, di Inggris pelecehan seksual terhadap anak mencapai
21
22
23
12 %, Finlandia berdasarkan survey tahun 1992 mengungkap kasus insestual24 yang sangat menyolok, di Taiwan berdasarkan satu survei, 2,5% dari remaja Taiwan
melaporkan telah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanak, di India
pelecehan seksual terhadap anak mencapai 53,22 %.25
Keseluruhan data di atas diasumsikan lebih kecil dari fakta yang sebenarnya
yang diduga mancapai 10 kali lipat karena tidak semua kasus dapat diketahui atau
dilaporkan sehingga data yang sebenarnya tetap menjadi terra incognita (wilayah
gelap yang tidak diketahui pastinya). Artinya angka-angka di atas adalah kalkulasi
batas prediksi bukan presisi sehingga masih merupakan posisi dark number crime.26
Persetubuhan merupakan istilah yuridis yang dalam ilmu biologi lebih umum
dikenal dengan istilah senggama. Persetubuhan adalah peraduan antara anggota
kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak,
jadi anggota (kemaluan) laki-laki harus masuk kedalam anggota (kemaluan) Merujuk angka di atas tidaklah berlebihan jika sementara pemerhati menyatakan
bahwa kekerasan terhadap anak dalam segala bentuknya benar-benar berada pada
level kode merah (code red) termasuk diantaranya persetubuhan terhadap anak.
24
Insestual berasal dari kata inses yang berarti hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum atau agama. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 539. Kata inses sehari-hari lebih dikenal dengan sebutan sumbang.
25
2013.
26
perempuan, sehingga mengeluarkan air mani sesuai dengan Arrest Hooge Raad 5
Pebruari 1912 (W.9292).27
Persetubuhan yang dimaksud dalam penelitian ini umumnya dimaknai sebagai
perbuatan suka sama suka dan tanpa paksaan/ kekerasan sebagai lawan dari
persetubuhan dengan paksaan/ ancaman dan tanpa kerelaan yang lebih dikenal
sebagai pemerkosaan. Adanya unsur suka-sama suka, tanpa paksaan dan kekerasan
sebagai dasar persetubuhan, jika merujuk pendapat Haskel dan Yablonsky
28
itu tidak
termasuk kategori kejahatan kekerasan, sebab yang menjadi dasar kategori kejahatan
kekerasan menurut keduanya adalah pembunuhan (murder), perkosaan dengan
penganiayaan (forcible rape), perampokan (robbery) dan penganiayaan berat
(aggravated assault). Hal senada juga dianut oleh Clinard dan Quinney29
Salah satu isu paling destruktif diantara isu-isu lainnya yang terkait dengan
anak adalah perbuatan persetubuhan terhadap anak yang dilakukan oleh pelaku yang
umumnya telah berumur dewasa ataupun dalam kasus-kasus tertentu juga dilakukan
oleh sesama anak. Ajaran agama Islam memandang persetubuhan atas dasar suka yang
menyatakan bahwa kejahatan kekerasan meliputi perbuatan yang berakibat luka-luka
secara fisik seperti pembunuhan (homicide), penganiayaan berat (aggravated
assault), perkosaan dengan kekerasan (forcible rape).
27
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1994), hlm. 209.
28
Martin R. Haskel & Lewis Yablonsky, dalam Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 34.
29
sama suka diluar pernikahan adalah perzinahan terlepas apakah salah satu pelakunya
atau keduanya terikat perkawinan atau tidak dengan orang lain.30
Persetubuhan pada dasarnya bukanlah perbuatan yang berkonotasi negatif
tetapi perbuatan yang produktif positif bagi manusia bahkan hewan untuk
kelangsungan eksistensi hidup. Persetubuhan adalah perbuatan biologis yang dapat
bernilai positif dan juga negatif. Positifnya adalah ketika perbuatan itu dilakukan
sesuai dengan ketentuan hukum, budaya ataupun agama tetapi negatifnya adalah
ketika perbuatan itu terjadi secara menyimpang dari koridor hukum, budaya dan
agama. Persetubuhan dengan demikian menjadi tindakan yang tergolong profan31
Terminologi persetubuhan adalah terminologi yang secara tegas dipakai
dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 81 sehingga persetubuhan
adalah telah menjadi terminologi hukum dalam Undang-Undang dimaksud.
Persetubuhan adalah delik (tindak pidana) yang tergolong kedalam delik kesusilaan.
Delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. dan
ilegal ketika di dalamnya ada motivasi dan deviasi yang kontra dengan hukum,
budaya dan agama.
32
30
Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 119.
31
Profan berarti tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan ; lawan sakral, tidak kudus karena tercemar, kotor atau tidak suci. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 1104.
32
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 265.
Persetubuhan dengan demikian dapat dikatakan sebagai pelanggaran atas nilai-nilai
dikatakan, tulis Barda Nawasi Arief33 bahwa hukum itu sendiri pada hakikatnya merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht ist das ethische minimum)
sedangkan hukum pidana beranjak dari suatu “batas etik minimum”.34
Persetubuhan terhadap anak potensial mengancam hak-hak anak secara
keseluruhan yang pada akhirnya mengancam kepentingan psycologis, ekonomis,
sosial, moralitas, agama dan kultur (budaya) tidak saja anak an sich tetapi dalam
skala yang lebih massif yaitu bangsa dan negara bahkan lintas negara (internasional).
Mengingat alasan inilah kemudian dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
persetubuhan terhadap anak diancam dengan sanksi berat yaitu diancam dengan
hukuman35 penjara minimal 3 (tiga) tahun, maksimal 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah). Persetubuhan terhadap anak dengan demikian
telah menjadi perbuatan yang dapat dipidana/ tindak pidana. Tindak pidana adalah
perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat
ditolelir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan
oleh hukum pidana. Perilaku atau perbuatan tersebut dapat berupa gangguan atau
menimbulkan bahaya terhadap kepentingan atau objek hukum tertentu.36
33
Ibid. 34
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Penerapannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 25.
35
Hukuman adalah penamaan umum bagi semua akibat hukum karena melanggar suatu norma hukum. Lihat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm. 12.
36
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009 tanggal 22 Juni
2009 adalah sebuah perkara yang berkaitan dengan perbuatan persetubuhan yang
dilakukan seorang laki-laki bernama BHZ berumur 21 (dua puluh satu) tahun
terhadap anak perempuan bernama VP yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun, atas
dasar hubungan pacaran, suka-sama suka tanpa paksaan. Pengadilan Negeri Medan
menyatakan perbuatan BHZ (terdakwa) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak untuk melakukan
persetubuhan sehingga menjatuhkan pidana penjara selama 12 (dua belas) tahun dan
denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 6 (enam bulan) kurungan
sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn tanggal 18
Desember 2008, hukuman mana kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan
dalam Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN tanggal 5 Pebruari 2009 dan ditingkat
kasasi hukuman itu dikurangi menjadi pidana pejara selama 4 (empat) tahun dan
denda Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) subsider 6 (enam bulan) kurungan.
Sewaktu pemeriksaan ditingkat Pengadilan Negeri Medan BHZ tidak
didampingi penasihat hukum padahal ancaman hukuman atas perbuatan yang
didakwakan yaitu Pasal 81 ayat (2) dan Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak
dengan ancaman penjara minimal 3 (tiga) tahun maksimal 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juga rupiah) dan paling banyak
Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) serta Pasal 293 ayat (1) KUHP ancaman
Level ancaman hukuman yang didakwakan telah memenuhi ketentuan Pasal
56 ayat (1) KUHAP yang menegaskan :
Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
Merujuk ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP di atas, Pengadilan Negeri
Medan yang memeriksa dan mengadili perkara dimaksud tanpa penasihat hukum
adalah melanggar ketentuan hukum acara (undue process) yang terklasifikasi sebagai
pelanggaran hak asasi terdakwa untuk diperiksa secara adil dan simbang di depan
pengadilan disamping pembelaan diri secara maksimal sulit untuk terwujud.
Penjatuhan pidana penjara selama 12 tahun dalam penilaian terdakwa tidak
mencerminkan keadilan sehingga kemudian menjadi alasan tersendiri bagi
keluarganya mendatangi kantor advokat dan meminta agar perkara tersebut dilakukan
pembelaan melalui upaya hukum yang tersisa.37
Penasehat hukum terdakwa kemudian melakukan upaya hukum banding dan
kasasi.
38
37
Kantor dimaksud adalah Lembaga Bantuan Hukum dan Perlindungan Konsumen (LBH-PK) “PERSADA”, tempat peneliti waktu itu bekerja sebagai advokat yang beralamat di Jalan Mesjid Raya Baru No. 5 Medan.
38
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang dapat berupa banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan dalam hal-hal serta menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang. Lihat Redaksi Asa Mandiri, Pedoman Pelaksanaan KUHAP, (Jakarta: Penerbit Asa Mandiri, 2007), hlm. 17. Bandingkan dengan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keberatan penasehat hukum dalam upaya hukum dimaksud adalah seputar
ringannya penjatuhan hukuman (strafmaat) yang dianggap kurang
mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di depan persidangan diantaranya
fakta seputar kematangan kognitif/ berfikir korban untuk dibujuk melakukan
persetubuhan tanpa paksaan, berkali-kali dan atas dasar hubungan asmara serta
adanya upaya damai dari pihak keluarga terdakwa. Terdakwa menilai bahwa
sesungguhnya korban merupakan faktor kriminogen, berkontribusi dan
memprovokasi sehingga turut menimbulkan tindakan persetubuhan yang seharusnya
dinilai sama salahnya dengan terdakwa. Keberatan ini pada akhirnya mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Agung sehingga pada akhirnya terdakwa dijatuhi
pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
Putusan Mahkamah Agung ini menarik karena terkandung di dalamnya
pertimbangan hukum (motivering) yang mengandung ekstra juridis karena
mempertimbangkan fakta-fakta sebagai alasan yang kemudian memperingan
hukuman terdakwa, yang lazimnya pertimbangan fakta-fakta itu adalah domain judex
factie.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik dan terdorong untuk
membahas persoalan ini menjadi sebuah penelitian tesis dengan judul “Penegakan
Hukum Pidana Terhadap Pelaku Persetubuhan Pada Anak (Analisis Terhadap
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1202 K/PID.SUS/2009”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah :
1. Bagaimanakah pengaturan tentang tindak pidana persetubuhan terhadap anak
menurut hukum pidana di Indonesia?
2. Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh hakim judex factie terhadap kasus
persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 2417/Pid.B/2008/PN-Mdn
juncto Putusan Nomor: 38/Pid/2009/PT.MDN ?
3. Bagaimanakah penegakan hukum pidana oleh hakim judex juris terhadap kasus
persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan menelaah
hal-hal berikut yaitu untuk :
1. Mengetahui pengaturan tindak pidana persetubuhan terhadap anak menurut
hukum pidana di Indonesia.
2. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum oleh hakim judex factie
terhadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor:
3. Mengetahui dan menganalisis proses penegakan hukum oleh hakim judex juris
terahadap kasus persetubuhan kepada anak dalam Putusan Nomor: 1202
K/Pid.Sus/2009.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat kepada
semua pihak baik secara teoritis, akademis, terlebih secara praktis, setidaknya
manfaat tersebut adalah :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbang sedikit masukan bagi para
pembentuk undang-undang (legislatif), pemerintah (eksekutif), dan bagi akademisi
untuk pengembangan teori ilmu hukum khususnya hukum pidana dan peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan hal ihwal anak demi mencapai
perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.
2. Secara Praktis
Penelitian ini sesungguhnya lebih diharapkan memberikan manfaat kepada
para penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan advokat39
39
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menyatakan: Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
sebagai
aparat yang secara langsung potensial berhadapan dengan kasus-kasus serupa, tetapi
tanpa mengurangi nilai manfaatnya bagi pemerhati/ pemangku kepentingan seperti
sebagai pilar pertama dan utama untuk lebih memberikan atensi, pengawasan dan
perlindungan terhadap segala aktifitas anak.
E. Keaslian Penulisan
Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang
sama, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas
Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Hasil penelusuran dimaksud tidak menemukan
judul penelitian/ tesis yang memiliki kesamaan atau kemiripan judul dan
permasalahan yang sama sebagaimana penelitian ini.
Berdasarkan penelusuran di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ditemukan bebarapa Judul
Thesis terdahulu yang membahas seputar tindak pidana kesusilaan terhadap anak
yaitu :
1. Rosmarlina Sembiring, dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Akibat Kejahatan Kesusilaan (Studi Kasus di Wilayah Hukum Kejaksaan Negeri
Tarutung di Tapanuli Utara)”.
2. Nanci Yosepin Simbolon, dengan Judul “Penanggulangan dan Perlindungan
Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Eksploitasi Seks Komersial Anak”.
3. Hanan, dengan Judul “Penanggulangan Kejahatan Eksploitasi Seksual Secara
4. Melita Berliana Br Meliala, dengan Judul “Penanggulangan Tindak Pidana
Perbuatan Cabul Terhadap Anak Dalam Sudut Kebijakan Hukum Pidana (Studi di
Kota Medan)”.
5. Erwin Erizal, dengan Judul “Kebijaksanaan Hakim Dalam Perlindungan Korban
Pada Kejahatan Pencabulan Anak di Pengadilan Negeri Medan”.
6. Bob Sadiwijaya, dengan Judul “ Penegakan Hukum Pidana Dalam Tindak Pidana
Pencabulan Terhadap Anak (Studi Putusan No. 396/Pid.B/2012/PN-LP di
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)”.
Meskipun demikian, substansi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini
memiliki perbedaan dengan tesis-tesis tersebut di atas. Hal ini sangat logis mengingat
objek penelitian tesis ini adalah spesifik Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: 1202 K/Pid.Sus/2009. Oleh karena itu, judul dan substansi
pembahasan permasalahan penelitian ini, otentikasinya tergaransi dan jauh dari unsur
plagiat.
F. Kerangkan Teori Dan Landasan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Kerangka secara etimologis bermakna garis besar atau rancangan.40 Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan,
didukung oleh data dan argumentasi.41
40
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 675.
41
Ibid, hlm. 1444.
ilmiah yang digunakan dalam penelitian sebagai dasar analisis data.42 Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan.43 Theoria juga dapat bermakna sebagai pengetahuan dan pengertian terbaik.44 Pada umumnya, teori diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan
dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis untuk melakukan sesuatu.45 Teori adalah keseluruhan pernyataan (klaim, beweringen) yang saling berkaitan.46 Menurut Solly Lubis, kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi
bahan perbandingan atau pegangan toritis.47
Tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil.
48
Hukum
dapat terdiri dari hukum tertulis49 dan tidak tertulis50
42
Ibid, hlm. 675.
43
Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yokyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 4.
44
Bernad L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang Dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 41.
45
Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit. 46
J.J. H. Bruggink alih bahasa oleh Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 2.
47
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 27.
48
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2001), hlm. 16.
49
Umumnya hukum tertulis itu tertuang dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada pasal 7 ayat (1) disebutkan: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
. Proses untuk mewujudkan
50
keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan disebut sebagai penegakan
hukum.51 Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan
sebagai pedoman perilaku dalam hubungan-hubungan hukum dalam hidup
bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat
penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan
undang-undang.52
Pustaka, 1986), hlm. 70. Bandingkan dengan Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan: CV. Cahaya Ilmu, 2006), hlm. 127.
51
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 24.
52
Frans H. Winarta, Evaluasi Peranan Profesi Advokat Dalam Pemberantasan Korupsi, dimuat dalam Majalah Desain Hukum, Vol. 11 No. 10, Edisi November-Desember, 2011, hlm. 17.
Penelitian ini berkaitan dengan proses penegakan hukum pidana terhadap
pelanggaran norma-norma hukum pidana khususnya persetubuhan terhadap anak atas
dasar suka sama suka dan tanpa paksaan. Tidak ada hukuman tanpa kesalahan
merupakan asas penting dalam hukum pidana untuk sampai kepada penjatuhan
hukuman bagi seorang yang didakwa melakukan tindak pidana. Kesalahan tidaklah
otomatis selalu harus dianggap ada dalam setiap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi
haruslah dibuktikan terlebih dahulu, karena itu untuk sampai kepada pemidanaan
maka pembuktian terhadap kesalahan itu haruslah terlebih dahulu dilakukan.
Mengingat itu maka teori pembuktian beserta teori kesalahan dan teori kesalahan
M. Yahya Harahap53 menulis bahwa “pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksanaan sidang pengadilan. Melalui
pembuktian ditentukan nasib terdakwa”. Secara lebih umum, tulis R. Subekti,54
Pembuktian (proof) dapat diartikan sebagai penetapan kesalahan terdakwa
berdasarkan alat bukti, baik yang ditentukan oleh undang-undang, maupun diluar
undang-undang sedangkan bukti (bewijs: evidence) yaitu hal yang menunjukkan
kebenaran, yang diajukan oleh penuntut umum, atau terdakwa, untuk kepentingan
pemeriksaan di sidang pengadilan.
fungsi pembuktian memiliki arti penting atau hanya diperlukan jika terjadi
persengketaan atau perkara di pengadilan.
55
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,56
53
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap I), hlm. 273.
54
R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), hlm. 7.
55
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah I), hlm. 27.
56
Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hlm. 217-218.
pembuktian diartikan sebagai: 1)
proses, cara, perbuatan atau cara membuktikan; 2) usaha menunjukkan benar atau
salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan, sedangkan membuktikan diartikan
sebagai: 1) memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti; 2) mendandakan,
menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti; 3) menyaksikan dan bukti adalah
sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, keterangan nyata. Arti alat bukti
dengan demikian adalah alat yang berguna untuk menyatakan kebenaran suatu
Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan dan merupakan ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa dan juga ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan
kesalahan yang didakwakan.57 Pembuktian merupakan perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu
sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.58 Pengertian pembuktian dalam ilmu hukum59 secara lebih luas sebagaimana yang dinyatakan oleh Munir Fuady60
Merujuk uraian diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan prinsipil antara
bukti, membuktikan dan pembuktian yaitu bahwa bukti merujuk pada alat bukti adalah :
Suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan yang dianjukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.
57
M. Yahya Harahap I , Loc.Cit. 58
Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 1985), hlm. 47.
59
Ilmu hukum atau disebut juga ajaran hukum (rechtsleer) atau disebut juga dogmatic hukum yaitu mempelajari hukum positif (jus constitutum) atau hukum yang berlaku disuatu tempat dan pada waktu sekarang. Ilmu hukum adalah teorinya hukum positif atau teorinya praktik hukum. Ilmu hukum bersifat normatif dan mengandung nilai serta bersifat praktis-konkrit. Sedangkan Teori Hukum adalah teorinya Ilmu Hukum, atau dengan kata lain Ilmu Hukum adalah objek Teori Hukum. Lihat Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 3.
60
termasuk barang bukti61 yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa sementara pembuktian dan membuktikan merujuk pada suatu proses atau cara untuk
mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut
di sidang pengadilan.62
Hukum yang mengatur perihal alat bukti, pembuktian dan membuktikan
disebut sebagai hukum pembuktian. Hukum pembuktian merupakan terminologi
universal sehingga merupakan pengertian dan penggunaannya sifatnya umum dalam
seluruh lapangan hukum baik hukum pidana, hukum perdata maupun hukum
administrasi. Menurut Munir Fuady
63
61
Pengertian barang bukti dalam praktek berbeda dengan pengertian alat bukti. Alat bukti adalah alat yang secara tegas diatur dalam undang-undang sebagai alat yang dapat dipergunakan untuk menyatakan keterbuktian suatu perbuatan yang dituduhkan atau sebagai penyangkalan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, pentunjuk dan keterangan terdakwa. Sedangkan barang bukti adalah barang-barang apapun jenisnya yang umumnya dijadikan oleh seseorang sebagai alat/ sarana melakukan kejahatan misalnya pisau atau senjata api yang dipergunakan untuk melakukan pembunuhan atau kenderaan untuk mengangkut ganja, atau sesuatu sebagai hasil kejahatan, maka pisau, senjata api, kenderaan dan ganja kesemuanya merupakan barang bukti.
62
Eddy O.S. Hariej, Teori & Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012), hlm. 4.
63
Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 9.
, hukum pembuktian merupakan salah satu
bidang hukum yang cukup tua umurnya, dan karena alasan rasa keadilan serta
motivasi mencari kebenaran yang dimiliki manusia betapapun primitifnya kemudian
menimbulkan hukum pembuktian guna menghindari putusan yang keliru dan atau
tidak adil. Hukum pembuktian sebagaimana hukum pada umumnya tidak kedap
terhadap segala dinamisasi (perobahan, pergerakan dan perkembangan) kehidupan
manusia, maka itulah sebabnya salah satu karakter hukum pembuktian adalah bahwa
oriented sehingga perkembangan tehnologi memberikan dampak langsung terhadap
perkembangan pembuktian di pengadilan.64 Pembuktian saintifik dengan mempergunakan tes DNA, mesin polygraph (lie detector), microscope, sidik jari dan
data optic misalnya merupakan bagian tehnologi yang sekarang diterima dalam
pembuktian di pengadilan. Munir Fuady,65 menulis bahwa hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian. Eddy O.S. Hiariej66 mendefinisikan hukum pembuktian sebagai “ketentuan-ketentuan mengenai
pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan
memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan
pembuktian dan beban pembuktian”. Bambang Purnomo sebagaimana dikutip oleh
Eddy O.S. Hiarej mendefinisikan hukum pembuktian sebagai keseluruhan aturan
hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu
kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan
persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan
pengesahan setiap barang bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk
kepentingan peradilaan dalam perkara pidana.67
64
Ibid, hlm. 8.
65
Ibid, hlm. 1.
66
Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 5.
67
Ibid.
R. Wiyono menyatakan bahwa yang
untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam
menjatuhkan suatu putusan.68
Menurut teori hukum pembuktian agar suatu alat bukti dapat dipakai sebagai
alat bukti di persidangan harus dipenuhi beberapa syarat yaitu: 69
1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
2. Reliability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya (misalnya tidak palsu).
3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang dipelukan untuk membuktikan suatu fakta.
4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
Hukum pembuktian bergerak untuk membuktikan kebenaran sesuatu yang
dalam bidang hukum pidana berarti untuk membuktikan kebenaran sesuatu atau
menyangkal peristiwa yang didakwakan. Ketika kebenaran yang ingin dicari telah
ditemukan berdasarkan alat bukti dan pembuktian (misalnya peristiwa pidana yang
didakwakan terbukti telah terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya) maka tahapan
selanjutnya yang harus dipertimbangkan adalah perihal pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan diperlukan sebagai indikator guna menentukan dapat tidaknya
seorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana sehingga kesalahan ini akan selalu
terkait dengan masalah pertanggungjawaban pidana. Chairul Huda menyatakan
bahwa pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari
68
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 148.
69
pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara.70 Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak.71 Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus
pidana.72 Menurut M.v.T alasan penghapus pidana dibagai menjadi: a) alasan yang terdapat dalam bathin terdakwa yaitu Pasal 44 KUHP; dan b)
alasan-alasan yang diluar yaitu pasal-pasal 48-51 KUHP.73
Setelah suatu tindak pidana terbukti telah terjadi dan terdakwalah pelakunya
kemudian ternyata terbukti pula bahwa pelaku dapat dipersalahkan atas perbuatannya
maka pemidanaan dapat dijatuhkan. Pemidanaan sebagaimana yang ditulis oleh Roni
Wiyanto, adalah pemberian sanksi yang berupa suatu penderitaan yang istimewa
kepada seseorang yang nyata-nyata telah melakukan suatu perbuatan yang secara
tegas dirumuskan dan diancam pidana oleh undang-undang.74
70
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2011), hlm. 7.
71
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 250.
72
Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Title ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya menyebutkan alasan-alasan yang menghapuskan pidana yang dibedakan menjadi: 1) alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan misalnya Pasal 49 ayat (1) KUHP mengenai pembelaan terpaksa/ noodweer, Pasal 50 KUHP mengenai melaksanakan ketentuan undang-undang, Pasal 51 ayat (1) KUHP tentang melaksanakan perintah dari pihak atasan; 2) alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa misalnya Pasal 49 ayat (2) KUHP mengenai pembelaan melampaui batas, Pasal 51 ayat (2) KUHP mengenai melaksanakan perintah jabatan tanpa wenang; dan 3) alasan penghapus penuntutan yaitu karena pemerintah atas dasar utilitas atau kemanfaatan kepada masyarakat, kemudian tidak mengadakan penuntutan. Tentang ketentuan Pasal 48 KUHP mengenai daya paksa/ overmacht tidak ada kesatuan pendapat para ahli apakah termasuk kategori alasan pemaaf atau pembenar. Lihat Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm.137-138.
73
Ibid, hlm. 138.
74
Roni Wiyanto, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 110.
Berdasarkan uraian di atas, maka karena penelitian ini adalah berkaitan
dengan penegakan hukum pidana atas perbuatan persetubuhan terhadap anak
ditingkat pengadilan sebagai benteng terakhir (last bastion) yang bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka peneliti akan
menganalisa penelitian ini berdasarkan teori hukum pembuktian pidana, teori
kesalahan dan teori kesalahan korban yang akan digunakan sebagai pisau analisis
untuk memandu dalam mengungkap, manganalisis serta memberikan penilaian
yuridis terhadap fakta-fakta dan aturan hukum yang ingin dibahas.
a. Teori Pembuktian
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pembuktian termasuk salah satu
pokok bahasan penting dalam hukum apapun termasuk hukum pidana. Perihal
pembuktian dalam bidang hukum pidana Indonesia secara khusus diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau lebih dikenal
dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Andi Hamzah menyatakan bahwa tujuan hukum acara pidana adalah
menemukan kebenaran materil.75 M. Yahya Harahap menyatakan bahwa kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan dalam pemeriksaan perkara pidana adalah
kebenaran sejati atau materil waarheid atau ultimate truth atau disebut juga absolute
truth.76
75
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), (selanjutnya disingkat Andi Hamzah II) hlm. 228.
76
M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 275.
Secara lebih tegas dan lengkap formulasi tujuan hukum acara pidana
M.01.PW.07.03 Tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 4 Pebruari 1982, pada Bidang Umum Bab I Pendahuluan yang
berbunyi:
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Beberapa ajaran atau teori penting terkait dengan pembuktian77
1) Conviction in Time
adalah
sebagai berikut :
Teori ini mengajarkan bahwa suatu hal dapat dinyatakan terbukti hanya atas
dasar keyakinan hakim semata yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksananya
tanpa terikat dengan alat-alat bukti. Keyakinan hakim dalam teori ini sangat absolut
dan independen sehingga sangat sulit untuk diprediksi dan diawasi.
Sistem pembuktian conviction in time adalah suatu sistem yang untuk
menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian
77
Beberapa literature/ buku saling mempertukarkan istilah teori pembuktian atau sistem pembuktian. Andi Hamzah misalnya dalam bukunya Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia
mempergunakan kata-kata “Sistem atau Teori Pembuktian”, M. Yahya Harahap dalam bukunya
“keyakinan” hakim.78 Andi Hamzah79 menyebut sistem pembuktian conviction in time ini dengan sebutan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu,
sedangkan Oddy O.S. Hiariej menyebutnya sebagai keyakinan semata.80
2) Conviction Raisonnee
Berbeda dengan sistem conviction in time yang mengandalkan keyakinan
hakim semata, absolut dan independen tanpa terikat oleh alat-alat bukti atau
alasan-alasan apapun, dalam conviction raisonnee keyakinan hakim dalam memberikan
putusan tetap dominan tetapi harus dilandasi oleh alasan-alasan yang logis atau
diterima akal kenapa hakim sampai pada pengambilan putusan dimaksud. Jadi tetap
memprioritaskan keyakinan tetapi terbatas oleh alasan-alasan logis.
Menurut teori ini, tulis Andi Hamzah, 81
Eddy H.S Hiariej menulis bahwa conviction raisonee berarti dasar
pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang
logis dimana hakim diberi kebebasan untuk memakai alat-alat bukti tapi harus hakim dapat memutuskan seseorang
bersalah berdasar keyakinannya yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian
disertai dengan suatu kesimpulan (conclusi) yang berlandaskan pada
peraturan-peraturan pembuktian tertentu, jadi putusan dengan suatu motivasi. Sistem ini juga
disebut sebagai pembuktian bebas karena hakim bebas menyebut alasan-alasan
keyakinannya (vrije bewijstheorie).
78
M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 277.
79
Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 230.
80
Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 16.
81
disertai dengan alasan yang logis.82 Tegasnya tulis M. Yahya Harahap, keyakinan hakim dalam sistem conviction-raisonee harus dilandasi reasoning atau
alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable yakni berdasar alasan yang dapat
diterima.83
Sistem pembuktian ini dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia hanya
sebatas dalam persidangan tindak pidana ringan, acara pemeriksaan cepat dan
termasuk perkara lalu lintas.84
3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie)
Teori ini mengajarkan bahwa membuktikan sesuatu didasarkan semata-mata
atas alat-alat pembuktian yang telah ditentukan oleh undang-undang tanpa membuka
ruang bagi keyakinan hakim. Alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang-undang dalam teori ini bersifat mengikat dan menentukan secara absolut serta
independen dalam membuktikan kebenaran sesuatu.
Pembuktian jenis ini dikatakan positif karena hanya didasarkan kepada
undang-undang melulu. Keyakinan hakim disini tidak diperlukan sama sekali. Sistem
pembuktian ini juga disebut sebagai pembuktian formal (formeel bewijstheorie).85
82
Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 17.
83
M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 277.
84
Eddy O.S. Hariej, Loc.Cit.
85
Andi Hamzah II, Op.Cit, hlm. 229.
ditentukan undang-undang, untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata
digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah.86
Menurut Eddy O.S. Hiariej pembuktian ini hanya dapat digunakan dalam
pemeriksaan perkara perdata yang hanya mencari kebenaran formal (formeel
waarheid) dalam arti kebenaran yang hanya didasarkan pada alat bukti
87
semata
sebagaimana disebutkan dalam undang-undang.88 Sistem pembuktian ini pernah dianut di Eropah sewaktu berlakunya asas inkisitor (inquisitor)89 dalam acara pidana, dan dewasa ini telah ditinggalkan.90
4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijke Bewijstheorie)
Sistem pembuktian undang-undang secara negatif ini adalah sebuah sistem
pembuktian yang mengajarkan bahwa pembuktian harus didasarkan atas alat-alat
bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang diikuti oleh keyakinan hakim. Jadi
86
M. Yahya Harahap I, Op.Cit, hlm. 278.
87
Alat-alat bukti dalam hukum perdata adalah: bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Lihat Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
88
Eddy O.S. Hariej, Op.Cit, hlm. 16.
89
Inkisitor (inquisitor) adalah sebuah sistem pemeriksaan yang menempatkan seorang
tersangka atau terdakwa sebagai pihak yang lebih rendah kedudukannya dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara pidana. Intinya adalah tersangka atau terdakwa dipandang sebagai objek
pemeriksaan yang dapat diperlakukan secara sewenang-wenang (arbitrary/ willikeur). Prinsip ini dahulu dipergunakan di Indonesia sewaktu berlakunya acara pidana berdasarkan HIR. Setelah berlakunya KUHAP maka sistem inkisitor ini ditinggalkan dan diganti dengan sistem akusator (accusatory procedure/ accusatorial system). Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/ terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan sebagai subjek bukan objek pemeriksaan, karena itu tersangka/ terdakwa harus dipandang dan diperlakukan sebagai manusia yang berharkat martabat dan harga diri. Objek pemeriksaan dalam sistem akusator diarahkan kepada kesalahan/ tindak pidana yang diduga dilakuan tersangka/ terdakwa. Prinsip akusator dilihat dari segi teknis yuridis maupun teknis penyidikan adalah sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah (presumption of innoncence). Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II), hlm. 40.
90
alat buktilah yang harus terlebih dahulu ada (didepan) baru memunculkan keyakinan
hakim bukan sebaliknya (dibelakang). Keyakinan hakim yang dimaksud disini adalah
keyakinan yang timbul berdasarkan alat-alat bukti yang ada, jadi keyakinan itu
haruslah berkorelasi dengan alat-alat bukti. Sistem pembuktian ini dengan demikian
merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dengan sistem pembuktian keyakinan hakim (conviction in time).
Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara pidana di Indonesia
berdasaran ketentuan KUHAP adalah sistem pembuktian berdasarkan undang-undang
negatif, hal ini dapat diketahui dari rumusan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Senada dengan itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman pada pasal 6 ayat (2) dinyatakan: “Tidak seorang pun dapat
dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Ketentuan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman di atas selain sebagai penegasan sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif sekaligus sebagai pedoman dalam
KUHAP dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang.
b. Teori Kesalahan
Salah satu pokok persoalan yang sangat penting tetapi sangat rumit dalam
mempelajari hukum pidana adalah tentang pengertian kesalahan.91 Penting karena menjadi penentu dapat tidaknya seseorang dipidana dan bila dapat dipidana menjadi
penentu pula dalam masalah berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan.92 Demikian eratnya kaitan antara kesalahan dengan pemidanaan terwujud dalam satu
asas yang sangat “suci” yaitu tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan (Belanda: geen
straf zonder schuld/ Jerman: keine strafe ohne schuld/ Latin: actus non facit reum,
nisi mens sit rea/ Inggris: an act does’t make a person guilty, unless the mind is
guilty), sehingga sangat tepat apa yang ditulis Jan Remmelink,93 “kita tidak rela membebankan derita pada orang lain, sekedar karena orang itu melakukan tindak
pidana, kecuali jika kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena
tindakannya itu”. Laksana sebuah gedung, tulis D. Schaffmeister dkk,94
Simon berpendapat bahwa untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku
harus tercapai beberapa hal yaitu: ada kemampuan bertanggungjawab, ada hubungan bertumpu
pada fundamennya, demikian pula pidana bertumpu pada kesalahan, karena
kesalahan, pidana menjadi sah.
91
E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 160.
92
Ibid. 93
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 142.
94
kejiwaan antara pelaku, kelakuannya dan akibat yang ditimbulkan serta ada
kesengajaan atau kelalaian.95 Pompe baru menganggap sesorang mempunyai kesalahan jika terpenuhi tiga syarat yaitu: perbuatan itu bersifat melawan hukum, ada
kesengajaan atau kelalaian serta ada kemampuan bertanggungjawab.96 Kesalahan, tulis Jan Remmelink,97 adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat-yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu-terhadap manusia yang
melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya. Sudarto
menyatakan sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno98
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat.
, untuk adanya
kesalahan maka harus ada pencelaan ethics, betapapun kecilnya. Kesalahan dianggap
ada jika terpenuhi beberapa unsur yaitu:
2. Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang berupa kesengajaan
(dolus) atau kelapaan (culpa).
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.99
Moeljatno secara lebih jelas mencontohkan bahwa, kesalahan tidak ada pada
anak kecil yang belum mengerti dan menginsyafi arti perbuatannya yang telah
membakar sebuah rumah, atau orang gila yang menyerang dan memukuli seseorang
lain tidak juga ada kesalahan pada dirinya karena jiwanya sakit, dan kesalahan juga
tidak ada pada seseorang yang berada dibawah ancaman telah dipaksa melakukan
95
E.Y. Kanter & S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 162.
96
Roni Wiyanto, Op.Cit, hlm. 183.
97
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm. 142.
98
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 74.
99
tindakan pidana diluar kendalinya sehingga bathinnya tertekan oleh keadaan dari luar
dirinya. Intinya adalah dikatakan ada kesalahan jika waktu berbuat pidana, dilihat
dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa berbuat demikian padahal
mampu menilai makna jelek perbuatan itu, dan ada kemampuan untuk
menghindarinya.100
Kesalahan ada jika pelaku kejahatan dapat mengetahui nilai buruknya suatu
perbuatan dan ada kemampuan bathin secara bebas untuk berbuat atau tidak berbuat
tindakan pidana itu, tetapi tetap dilakukannya perbuatan pidana itu. Inti kesalahan
jika dihubungkan dengan pelaku tulis D. Schaffmeister dkk
101
Roeslan Saleh menyatakan untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan
dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah: a) melakukan perbuatan pidana; b)
mampu bertanggung jawab; c) dengan sengaja atau kealpaan; dan d) tidak adanya
alasan pemaaf.
adalah pelakunya
berbuat yang tidak patut secara objektif dan dapat dicelakan kepadanya.
102
Adanya kemampuan bertanggung jawab jika: 1) ada kemampuan
untuk membedakan antara perbuatan baik dan buruk (faktor akal/ intelektual faktor) ;
dan 2) ada kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang
baik dan buruknya perbuatan itu (faktor kehendak/ volitional factor).103
100
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 156-157.
101
D. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, Loc.Cit.
102
Ibid, hlm. 77.
103
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 165-166.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi menulis bahwa:104
a. Keadaan jiwanya:
Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar), bila mana pada umumnya:
1) Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);
2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) ;
3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflece beweging, melindur/ slap wandel, mengigau kerena demam/ koorts dan sebagainya;
b. Kemampuan jiwanya:
1) Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya;
2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak;
3) Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian dasar dari hukum pidana
adalah: 1) perbuatan pidana; dan 2) pertanggungjawaban pidana. Unsur perbuatan
pidana adalah: 1) formil yaitu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan
sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana; dan 2) materil yaitu
bersifat melawan hukum. Unsur pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan,
sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah: mampu bertanggungjawab, sengaja atau
alpa, dan tidak ada alasan pemaaf.105
Keseluruhan pendapat-pendapat para ahli di atas menggambarkan satu hal
yang sangat terang bahwa wujud kesalahan selalu terikat dengan sikap bathin pelaku
dalam hubungannya dengan perbuatannya beserta akibat perbuatannya itu, kondisi
104
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 249.
105
mana oleh pandangan-pandangan dan harapan-harapan masyarakat terhadap pelaku
masih dapat berbuat lain.
Jika dilihat rumusan Pasal 183 KUHAP dan Pasal 6 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman di atas secara terang dinyatakan bahwa hakim baru dapat menjatuhkan
pidana kepada seseorang jika ditemukan (minimal dua) alat bukti disertai keyakinan
hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Itu artinya bahwa jika benar sekalipun berdasarkan minimal 2 (dua)
alat bukti dan didukung keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah sebagai pelakunya, tetapi untuk sampai kepada penjatuhan
pidana masih diperlukan syarat penting yaitu apakah terdakwa memiliki kesalahan.
c. Teori Kesalahan Korban
Teori kesalahan korban ini dikembangkan oleh Angkasa dan kawan-kawan
yang mengajarkan bahwa pemidanaan harus mempertimbangkan aspek korban dan
pelaku secara adil agar mendukung putusan dan memenuhi rasa keadilan. Ia
bependapat sebagaimana dikutip oleh H. Salim sebagai berikut:106
106
H. Salim, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 160-161.
Model penjatuhan pidana harus mempertimbangkan aspek korban dan pelaku secara adil agar mendukung putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan. Model dimaksud adalah:
Pertama, untuk penjatuhan pidana harus memenuhi syarat pemidanaan yang meliputi unsur perbuatan dan orang.
Ketiga, setelah semua syarat tersebut di atas terpenuhi, maka pemidanaan dapat diputuskan. Jenis dan lamanya pidana yang dijatuhkan dikorelasikan dengan terpenuhinya syarat-syarat pemidanaan serta aspek korban dan pelaku.
Angkasa berpendapat bahwa, dalam hal pertanggungjawaban pidana, korban
mempunyai tanggung jawab fungsional, yakni harus bertindak secara aktif
menghindar untuk menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan
kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana. Provokasi atau kontribusi korban
terhadap terjadinya victimisasi dalam perspektif viktimologi disebut victim
precipitation yang berkaitan dengan pertanggungjawaban korban atas viktimisasi.107 Bila ternyata korban memiliki andil terhadap terjadinya tindak pidana, maka
selayaknya demi alasan keadilan korbanpun dapat dipertanggungjawabkan dan
dipertimbangkan oleh hakim dalam penjatuhan pidana.108
Hubungan korban dengan pelaku dapat dilihat dari tingkat kesalahannya.
Benjamin Mandelsohn sebagaimana yang dikutip Bambang Waluyo
109
dan Lilik
Mulyadi110
a. Yang sama sekali tidak bersalah;
berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi 5 (lima)
macam yaitu:
b. Yang jadi korban karena kelalaiannya; c. Yang sama salahnya dengan pelaku; d. Yang lebih bersalah dari pelaku;
e. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan).
Secara viktimologi, korban dibedakan antara korban murni dengan korban
tidak murni, dimana yang jenis korban yang pertama benar-benar merupakan korban
yang sebenar-benarnya/ senyatanya yang tidak tahu menahu dan tidak memiliki andil
terhadap terjadinya tindak pidana yang merugikan dirinya sebagai korban, sedangkan
yang terakhir adalah korban sendiri sebagai pemicu dan stimulator terjadinya tindak
pidana, yang dalam tulisan Bambang Waluyo,111
Lilik Mulyadi
“bukan saja ikut andil, sering terjadi
korban sama salahnya dengan pelaku”.
112
menyebutkan bahwa tipologi korban kejahatan dapat ditinjau
dari dua perspektif yaitu: pertama, ditinjau dari perspektif keterlibatan korban dalam
terjadinya kejahatan; dan kedua, ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu
sendiri. Stephen Scafer113
2. Landasan Konsepsional
mengemukakan salah satu tipologi korban adalah
provocative victims yaitu korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu
terjadinya kejahatan, karena itu aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan
pelaku secara bersama-sama.
Dalam penelitian ini, digunakan beberapa istilah sebagai landasan
konsepsional untuk menghindari kesalahpahaman mengenai definisi atau pengertian
sebuah istilah sebagai berikut:
111
Bambang Waluyo, Op.Cit, hlm. 21.
112
Lilik Mulyadi, Op.Cit, hlm. 16.
113