• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU. (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365K/PID/2012) SKRIPSI. Disusun Oleh : AMRI HIDAYAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU. (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365K/PID/2012) SKRIPSI. Disusun Oleh : AMRI HIDAYAT"

Copied!
178
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365K/PID/2012)

SKRIPSI

Diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum paada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Disusun Oleh : AMRI HIDAYAT

NIM. E1A010212

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365 K/Pid/2012)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas.

Purwokerto, 24 November 2014

AMRI HIDAYAT NIM. E1A010212

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor 365K/Pid/2012).

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menghadapi tantangan dan hambatan. Akan tetapi dengan rahmat Allah SWT dan bantuan dari berbagai pihak, maka tantangan dan hambatan tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan puji syukur kepada Allah SWT kepada semua pihak khususnya kepada :

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, serta selaku Pembimbing Akademik dari penulis yang telah memberikan semangat dan doanya yang tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;

2. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing I/ dosen penguji I, yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis;

(5)

3. Ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku dosen pembimbing II/ dosen penguji II, yang telah membimbing skripsi penulis dari awal sampai selesainya skripsi penulis;

4. Bapak Dr. Hibnu Nugroho,S.H.,M.H., selaku dosen penguji III yang telah memberikan saran-saran yang membantu penulis dalam menyempurnakan skripsi penulis;

5. Sutambah dan Kobsah, orang tua dari penulis yang telah memberikan semangat dan doanya yang tulus untuk penulis agar selesainya skripsi ini dan lulus dari Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;

6. Jajaran dewan guru Bapak H. Abdul Madjid Malik, Bapak Chamid, Bapak H. Gunawan Afiranto, Bapak Khoeron, yang telah banyak memberikan ilmu dan bimbingannya dari awal sampai dengan akhir penulis menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

7. Sahabat penggiat budaya Dwanda Julisa Sistyawan, S.H., dan, Hendi Yudha Putra serta rekan yang lain, yang telah memberikan dukungan dan berbagi ilmu dan pengalaman selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

8. Semua teman-teman angkatan 2010 khususnya Kelas C tercinta yang selalu memberikan dorongan dan semangat bagi penulis selama kuliah;

9. Akang-akang serta Mba-mba di Himpunan Mahasiswa Pecinta Alam Yudhistira Fakultas Hukum Unsoed Angkatan Tirta Bhaskara, Angkatan Tebing Putih,

(6)

Angkatan Sangga Purnama, Angkatan Cahaya Senja, Angkatan Akar Kelana, Angkatan Bintang Fajar, Angkatan Surya Kusuma, Rekan-rekan Angkatan Tunas Bumi, Angkatan Wadas Sumerep serta Angkatan Sinar Bulan, yang telah memberikan dukungan dan ilmunya serta pengalaman selama penulis kuliah dan berproses di HMPA Yudhistira Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman;

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi penyusunan, penulisan maupun materi di dalamnya, namun dengan segala kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif yang sifatnya membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk memacu semangat penulis dalam menulis.

Akhir kata semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi semua pihak, khususnya bagi penulis sendiri sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.

Wassalamua’alaikum Wr. Wb

Purwokerto, 24 November 2014

Amri Hidayat NIM. E1A010212

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i HALAMAN PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ... ii ABSTRAK ABSTRACT BAB I : PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 5 C. Tujuan Penelitian ... 5 D. Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Pengertian, Tujuan dan Asas Hukum Acara Pidana ... 7

B. Putusan Dalam Tindak Pidana ... 21

(8)

2. Macam-Macam Putusan Dalam KUHAP ... 23

C. Upaya Hukum ... 34

1. Pengertian Upaya Hukum ... 34

2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum ... 35

3. Upaya Hukum Kasasi ... 41

D. Kesalahan Menurut Hukum Pidana... 47

1. Pengertian Kesalahan ... 47

2. Kealpaan Menyebabkan Matinya Orang ... 48

E. Kejahatan pemalsuan Surat ... 51

F. Kriminal Malpraktik ... 53

1. Pengertian Kriminal Malpraktik ... 53

2. Dokter dalam Melaksanakan Profesi Medik ... 55

BAB III : METODE PENELITIAN ... 59

A. Metode Pendekatan ... 59

B. Spesifikasi Penelitian ... 60

C. Sumber Data ... 60

D. Metode Pengumpulan Data ... 62

E. Metode Penyajian Data ... 63

F. Metode Analisa Data ... 63

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 64

A. Hasil Penelitian ... 64

(9)

BAB V : PENUTUP ... 162 A. Kesimpulan ... 162 B. Saran ... 163 DAFTAR PUSTAKA

(10)
(11)

ABSTRAK

Mahkamah Agung (MA) dalam Putusan No.365 K/Pid/2012, memvonis dr. Dewa Ayu dkk. selama 10 bulan penjara, menganulir vonis bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Manado dalam Putusan No.90/Pid.B/2011/PN.Mdo. Rumusan masalah yang diangkat adalah pertimbangan hakim dalam kedua putusan tersebut. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan spesifikasi perskriptif analitis. Pengadilan Negeri Manado berpendapat Pasal 359 KUHP mengandung unsur karena kesalahannya (unsur subjektif) dan menyebabkan orang mati (unsur objektif). Berdasarkan fakta-fakta di persidangan, keterangan saksi-saksi dan keterangan Para Terdakwa bahwa dakwaan kelalaian ini unsur kelalaian dalam menjalankan tugas profesi medik adalah tidak terbukti menurut hukum. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya para Terdakwa lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Para Terdakwa telah melakukan penyimpangan kewajiban. Pengaturan mengenai Tindak Pidana malpraktek belum diatur secara terperinci oleh undang-undang, maka saran dari peneliti adalah majelis hakim dalam memberikan putusan terhadap perkara malpraktek diharapkan kedepan selain mempertimbangkan adanya alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP, juga mempertimbangkan sumber hukum tak tertulis dan azas-azas umum berdasarkan kepatutan masyarakat, selain itu juga melihat Yurisprudensi yang telah ada dan dipakai sebagai sember hukum.

Kata Kunci: pertimbangan hakim, karena kesalahannya menyebabkan orang mati, melakukan tindakan atau tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu.

(12)

ABSTRACK

The Supreme Court ( MA ) in Decision 365 K/Pid/2012, convicted dr. Dewa Ayu et al. for 10 months in prison, annulled acquittal rendered by the District Court of Manado in Decision 90/Pid.B/2011/PN.Mdo. The both consideration in the decision of judges was the formulation of the issues. This research was a normative juridical with perskriptif analytical specifications. Manado District Court argued Article 359 of the Criminal Code because it contains elements of the guilt (subjective element) and caused the dead (objective element). Based on the facts in the trial, witnesses and testimony that the defendant's negligence charges of negligence of duty medical profession is not legally proven. The Supreme Court in consideration of the defendant fails to perform any act or not do something specific action to certain patients in certain circumstances. The defendant has made a deviation obligation. Setting of the crime of malpractice has not been regulated by law, so the advice of researcher is the judges in giving judgment to next malpractice cases are expected in addition to consider the evidence which set in the Criminal Code, also consider the source of the unwritten laws and the general principles based on the propriety of the community, but it also saw the existing jurisprudence and used as legal cracked .

Keywords: consideration of judge, because mistakes cause people die, act or not do something certain action

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dokter adalah seorang yang ahli di bidang medik, namun sebagai manusia dokter pun tidak terhindar dari kesalahan. Berbuat kesalahan itu manusiawi (to err is human). Pada umumnya adanya dugaan malpraktik medik (alegal medical malpractice) adalah akibat dari suatu tindakan medik yang dilakukan oleh seorang dokter, ternyata keadaan pasien bahkan menjadi tambah buruk, menderita kesakitan, menjadi lumpuh, jatuh ke dalam koma, ataupun sampai meninggal.

Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.

Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional

(14)

yang bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP), kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat.

Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, salah satunya adalah kasus dr. Dewa Ayu, dr. Hendy Siagian, dan dr. Hendri Simanjuntak di Manado yang kasusnya telah bergulir sampai ke Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung (MA) memvonis dr. Dewa Ayu dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaan dr. Ayu dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska Makatey. Dalam Putusan Nomor 365 K/Pid/2012, majelis kasasi yang dalam pertimbangannya menyatakan para terdakwa karena kelalaiannya mengakibatkan kematian pasien. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara. Dasar dakwaan MA dalam memvonis tersebut adalah menilai salah dan benarnya dokter Ayu dalam melakukan tindakan medis dan prosedur medis.

Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan baik pada tingkat pertama maupun tingkat kasasi dalam kasus ini memang sangat menarik, karena akan muncul 2 (dua) pendapat yakni bahwa putusan pada tingkat pertama adalah sudah benar karena memang ini bukanlah criminal malpractice, karena itu maka dr. Dewa Ayu dan kedua rekannya dijatuhi putusan bebas.

(15)

Dalam sistem peradilan pidana, hakim dalam memberikan putusan berdasarkan Pasal 1 angka (11) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa:

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan selama persidangan, kesalahan terdakwa sebagaimana didakwakan oleh jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

“Tidak terbuktinya secara sah dan meyakinkan karena1

Ketiadaan bukti minimum yang ditetapkan oleh undang-undang (sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah), misalnya hanya ada keterangan seorang saksi saja atau satu petunjuk atau keterangan terdakwa saja, dan tidak dikuatkan oleh alat bukti lain; atau bukti minimum tersebut telah dipenuhi, akan tetapi pengadilan tidak yakin atas kesalahan terdakwa.”

Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO, yang mana dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa para terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primair dan Subidair, dakwaan Kedua, dan dakwaan Ketiga Primair dan Subsidair, serta membebaskan para terdakwa dari semua dakwaan (vrijspraak). Dalam hal hakim menjatuhkan putusan bebas, berdasar ketentuan Pasal 191 ayat (3) KUHAP jika terdakwa ada dalam status tahanan, diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena adanya alasan yang sah untuk terdakwa perlu tetap ditahan.

1 Soedirjo, Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana, Akademika Pressindo, Jakarta,

(16)

Terhadap putusan bebas ini, berdasarkan ketentuan Pasal 67 KUHAP tidak dapat dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 244 KUHAP.

Atas putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Manado tersebut, jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum di tingkat Kasasi dan permohonan Kasasi tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung beralasan bahwa sebagai peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil, dan Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor 365 K/Pid/2012 telah menganulir putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 90/Pid.B/2011 dan menjatuhkan putusan Pidana kepada para terdakwa masing-masing 10 (sepuluh) bulan penjara.

Berdasarkan pada Yurisprudensi, bahwa putusan bebas dapat dimintakan Kasasi apabila dianggap putusan bebas yang dijatuhkan adalah putusan bebas tidak murni, karena dalam perkara besar dan penting, atau perkara-perkara yang ramai diperbincangkan dan menyita perhatian publik adanya putusan bebas kadang tidak bisa diterima oleh jaksa penuntut umum dan juga sulit diterima oleh masyarakat.

Hal inilah yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tentang suatu putusan bebas yang dianggap sebagai putusan bebas tidak murni dan apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim kasasi sehingga memberikan vonis pemidanaan terhadap kasus yang sebelumnya telah diberikan putusan bebas,

(17)

dengan judul: UPAYA HUKUM KASASI DALAM KASUS dr. DEWA AYU (Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Agung Nomor. 365 K/Pid/2012)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO sehingga menjatuhkan putusan bebas terhadap dr. Dewa Ayu?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 365 K/Pid/2012 sehingga menjatuhkan putusan pidana terhadap dr. Dewa Ayu?

C. Tujuan

Bertitik tolak dari permasalahan tersebut di atas, tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah :

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 90/Pid.B/2011/PN.MDO sehingga menjatuhkan putusan bebas terhadap dr. Dewa Ayu

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam putusan Nomor 365K/Pid/2012 sehingga menjatuhkan putusan pidana terhadap dr. Dewa Ayu.

D. Manfaat Penelitian

Dengan melihat tujuan dari penelitian ini, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat :

(18)

1. Manfaat teoritis

Sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam penyelesaian sengketa hukum kesehatan. Karena memang masihlah sangat dibutuhkan masukan yang jelas mengenai bagaimanakah penyelsaian sengketa kesehatan yang terkait dokter dengan pasien.

Pihak Ikatan Dokter Indonesia menyatakan bahwa setiap sengketa dokter dengan pasien diselesaikan melalui Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), namun ada pendapat bahwa penyelesaian semacam ini tidaklah transparan dan memenuhi rasa keadilan karena adanya spirit the corps antara sesama dokter.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah masukan bagi aparat penegak hukum, salah satunya bagi hakim agar dalam memperhatikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, karena meskipun si terdakwa melakukan kelalaian walaupun itu dalam hal menjalankan tugasnya harus diperhatikan sudah sesuai prosedurkah tindakan yang dilakukan oleh terdakwa ketika menjalankan tugasnya.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian, Tujuan, dan Asas Hukum Acara Pidana

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Untuk mewujudkan pernyataan tersebut di atas, melalui TAP MPR Nomor: IV/MPR/1978, pemerintahan mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata dari Wawasan Nusantara.

Pembangunan hukum nasional salah satu diantaranya adalah di bidang Hukum Acara Pidana dengan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD 1945.2

2

Lihat konsideran Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(20)

1. Pengertian Hukum Acara Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) lahir setelah hampir 36 tahun Negara Republik Indonesia merdeka. Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formil, hal ini untuk membedakan dengan hukum pidana materiil.3

Hukum Pidana materiil atau Hukum Pidana sendiri berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat dipidananya suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan, mengatur tentang kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formil mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana, jadi berisi acara pidana.4

“Menurut Poernomo5

, hukum pidana tidak dapat dilakukan apabila tidak ada aturan beracara yaitu untuk proses perkara pidana dan menentukan suatu keputusan menjatuhkan sanksi pidana atau keputusan lain kepada seseorang yang terbukti atau tidak terbukti melakukan perbuatan pidana dengan kesalahannya. Secara singkat dapat dilaksanakan melalui hukum acara pidana. Hukum acara pidana sendiri secara esensial dalam perkara pidana dapat dibedakan menjadi hukum acara pidana formil dalam arti hukum beracara pidana dan dalam arti hukum acara pidana materiil dalam arti pembuktian dari perkara pidana.”

“Menurut Wirjono Projodikoro6

bahwa hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatau rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan

3

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996, hlm 7.

4 Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm 1.

5

Endang Sri Lestari, “Pembuktian Tindak Pidana Korporasi Pada Kasus Kabut Asap di Pekanbaru (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan M.A.R.I No. 275TU/811K/Pid/2002)”, (Skripsi Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2007), hlm. 10

6

(21)

pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.”

Dalam pembagian hukum pidana antara publik dan hukum privat, maka hukum acara pidana digolongkan dalam hukum publik. Sebagai bagian dari hukum publik, hukum acara pidana sering diartikan secara sempit dan secara luas. Arti sempit dari hukum acara pidana adalah berjalan apabila terjadi dugaan adanya pelanggaran terhadap undang-undang pidana materiil, sedangkan dalam arti luas apabila dipandang dari segi tugas, wewenang, kewajiban, dan hal-hal dari orang yang bersangutan dengan penyidikan, penuntutan dan mengadili delik, maka ia termasuk dalam hukum tata negara dan hukum administraasi negara.7

Menurut R. Soesilo8, hukum acara pidana itu erat kaitannya dengan hukum pidana, bahkan hukum acara pidana itu pada hakekatnya termasuk dalam pengertian hukum pidana. Kumpulan dari seluruh tindak-tindak pidana dinamakan hukum pidana, yaitu hukum pidana yang berupa materi atau materiil dan dinamakan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil lawannya hukum pidana formil. Hukum pidan formil adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan mengatur soal sebagai berikut:

a. Cara bagaimana harus mengambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran-kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan;

b. Setelah ternyata, bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik atau menyelidiki orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu;

c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksa, menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu, untuk membuktikan kesalahan tersangka;

d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana;

e. Oleh siapa dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa yang mengatur tentang cara bagaimana

7

Ibid, hlm 20.

8

(22)

mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu dapat dilaksanakan.

“Menurut Van Bemmelen9

, ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana. Hukum acara pidana dilukiskan sebagai berikut:

a. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;

c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya;

d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut;

e. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidan atau tindakan tata tertib;

f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut;

g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib itu.”

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981) tidak menjelaskan apakah hukum acara pidana itu. Hanya diberikan devinisi-devinisi dari beberapa bagian hukum acara pidan seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledan, penangkapan, penahanan dan lain-lain sebagaiman disebutkan di dalam Pasal 1 KUHAP.

2. Tujuan Hukum Acara Pidana

Setiap peraturan yang dibuat pasti mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai, begitu pula hukum acara pidana dibuat juga mempunyai tujuan yang hendak dicapai yaitu suatu keadilan. Sedangkan baik dan buruknya suatu tujuan akan mempengaruhi kualitas suatu peraturan atau undang-undang, oleh

9

(23)

karena itu realisasi pelaksanaan akan menjadi tolak ukur keberhasilan suatu tujuan, semakin baik tujuan yang hendak dicapai maka semakin baik pula keadilan yang diperoleh masyarakat.

Pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan tentang tujuan hukum acara pidana sebagai berikut:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”.10

Menurut van Bemmelen11 mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana, yaitu sebagai berikut:

a. Mencari dan menemukan kebenaran b. Pemberian keputusan oleh hakim c. Pelaksanaan keputusan.

3. Asas Hukum Acara Pidana

Pengertian asas dalam hukum acara pidana adalah dasar patokan hukum yang mendasari KUHAP dalam menjalankan hukum. Asas ini akan menjadi pedoman bagi semua orang termasuk penegak hukum, serta orang-orang yang berkepentingan dengan hukum acara pidana.

KUHAP dilandasi oleh asas atau prinsip hukum tersebut diartikan sebagai dasar patokan hukum sekaligus merupakan tonggak pedoman bagi instansi jajaran aparat penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP.

10

Ibid, hlm. 18.

11

(24)

Mengenai hal tersebut, bukan hanya kepada aparat hukum saja, asas atau prinsip yang dimaksud menjadi patokan dan landasan, tetapi juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP.12

Makna asas-asas hukum adalah merupakan ungkapan hukum yang bersifat umum, pada sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau etis kelompok manusia dan pada sebagian yang lain berasal dari dasar pemikiran dibalik peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi.13

Asas-asas penting yang terdapat dalam hukum acara pidana yaitu: 1. Peradilan Cepat, Sederhana, Dan Biaya Ringan

Asas ini telah dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menghendaki agar pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas: cepat, sederhana, dan biaya ringan. Tidak bertele-tele dan berbelit-belit. Apabila jika keterlambatan penyelesaian kasus terhadap hukum dan martabat manusia.

Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia sekalipun orang tersebut berada dalam kedudukan sebagai tersangka atau terdakwa. Walaupun dalam kondisi dibatasi kemerdekaannya karena ditangkap kemudian ditahan, namun orang tersebut tetep memperoleh kepastian bahwa

12

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan

Dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 35.

13

Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana Dan

(25)

tahapan-tahapan pemeriksaan yang dilaluinya memiliki batas waktu dan dijamin undang-undang.

Asas ini menghendaki adanya peradilan yang efektif dan efesien, sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada tersangka atau terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini juga terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf e KUHAP yang merumuskan:

“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus ditetapkan secara konsekuen dalam seruluh tingkat peradilan”.

Beberapa ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan antara lain tersangka atau terdakwa berhak:

1). Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik;

2). Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;

3). Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum;

4). Berhak segera diadili oleh pengadilan.

Menurut Andi Hamzah,14 Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang dianut didalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian hak-hak manusia. Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.

2. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumtion of innocence)

Asas ini disebut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

14

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 10-11.

(26)

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP, yang merumuskan:15

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, Wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Asas praduga tak bersalah menjadi salah satu bukti penghargaan KUHAP pada hak asasi manusia. Cara-cara pemeriksaan tersangka atau terdakwa yang semula bersifat inquisitoir menjadi aqusatoir.

Menurut M. Yahya Harahap, sebagaimana dikutip oleh Taufik Makarao dan Suhasril, mengemukakan:16

Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “Prinsip Akusator”. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah subyek bukan sebagai objek pemeriksaan karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri, yang mejadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa, karena itulah pemeriksaan ditujukan.

3. Asas Oportunitas

Dalam hukum acara pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana kepengadilan yang disebut penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum disebut juga jaksa (Pasal 1 butir a dan b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP).

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum. Asas oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk menuntut atau tidak

15

Ibid., hlm. 34.

16

Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan

(27)

menuntut seseorang kepengadilan. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan kepada kejaksaan.

A.Z. Abidin Farid,17memberikan perumusan asas oportunitas adalah Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau koperasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.

Andi Hamzah18 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

“Menurut asas oportunitas penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut.”

Mengenai kriteria kepentingan umum dalam pedoman pelaksanaan KUHAP dijelaskan adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan kepentingan pribadi.

4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum

Pemeriksaan pengadilan yang terbuka untuk umum dapat dilihat dalam Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP sebagai berikut:

“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.

Pasal 153 ayat (4) KUHAP menyebutkan:

“Tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”.

Mengenai asas pemeriksaan persidangan terbuka untuk umum, M. Yahya Harahap19 berpendapat:

17 Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 17. 18

(28)

“Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menetapkan pemeriksaan perkara yang terdakwanya anak-anak dilakukan dengan pintu tertutup. Sebab jika dilakukan terbuka untuk umum akan membawa akibat psikologis yang lebih parah kepada jiwa dan batin si anak.”

Asas ini memberikan makna bahwa tindakan penegakan hukum di Indonesia harus dilandasi oleh jiwa persamaan dan keterbukaan serta adanya penerapan sistem musyawarah dan mufakat.

I. Sumantri20 menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

“Asas terbuka untuk umum ini memang tepat karena persidangan dapat dihadiri oleh umum, sehingga dapat menjamin obyektifitas peradilan dan tujuannya memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi terdakwa. Di lain pihak juga ditentukan pengecualian apabila kesusilaan dan terdakwanya anak-anak.”

Hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagian tertutup untuk umum yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang melakukan hal itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya.

5. Semua Orang Diperlakukan Sama Di Depan Hukum (Equality Before the Law)

Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum butir 3 a KUHAP.

Penjelasan Umum butir 3 a KUHAP merumuskan:

19 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 56. 20

I. Sumantri, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Nasional Tentang Hukum

(29)

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak mengadakan perbedaan perlakuan”.

Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

Ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga tidak ada satu pasal pun yang mengarah pada pemberian hak-hak istimewa pada suatu kelompok dan memberikan ketidakistimewaan kepada kelompok lain.

Menurut Andi Hamzah,21Asas ini menegaskan bahwa sebagai Negara Hukum maka dihadapan hukum semua orang sama dan sederajat. Bagaimanapun kedudukan manusia itu sama di mata hukum yang dijunjung tinggi oleh negara Indonesia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

6. Tersangka atau Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Asas tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum terdapat pada Pasal 54 KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.

Ketentuan asas ini berkaitan dengan hak dari seseorang yang tersangkut dalam suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi

21

(30)

pembelaannya maupun untuk mendapatkan nasehat atau penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa. Bantuan hukum dalam KUHAP tidak terdapat penjelasan atau definisi mengenai pengertian bantuan hukum.

M. Yahya Harahap,22 menjelaskan mengenai bantuan hukum diatur dalam Pasal 74 KUHAP, dimana didalamnya diatur tentang kebebasan yang sangat luas yang didapat oleh tersangka atau terdakwa. Kebebasan tersebut antara lain:

a) Bantuan hukum dapat diberikan saat tersangka ditangkap atau ditahan; b) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan; c) Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada

tingkat pemeriksaan pada setiap waktu;

d) Pembicaraan antara penasehat hukum dan tersangka atau terdakwa tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara;

e) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasehat hukum guna kepentingan pembelaan;

f) Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka atau terdakwa.

The Internasional Convenant on Civil and Political Rights article 14 sub 3d kepada tersangka atau terdakwa diberikan jaminan sebagai berikut:

“to be tried in his presence and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have legal assistance, of his right, and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interests justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it.” (Diadili dengan kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasehat hukum menurut pilihannya sendiri, diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasehat hukum dan ditunjuk penasehat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasehat hukum ia dibebaskan dari pembayarannya).”23

22

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Jilid 1

dan Jilid II), Pustaka Kartini, Jakarta, 1998, hlm. 21.

23

(31)

7. Asas Akusatoir Dan Inkisitoir (Accusatoir dan Inquisitoir)

Asas akusatoir dalam KUHAP tidak menjadikan pengakuan tersangka sebagai salah satu dari jenis alat bukti. Pengakuan yang digariskan dalam KUHAP yang demikian menunjukan bahwa KUHAP menganut asas akusatoir yaitu menempatkan kedudukan tersangka sebagai subyek pemeriksaan.

Asas inkisitoir yaitu kedudukan tersangka atau terdakwa merupakan obyek pemeriksaan sehingga pengakuan tersangka atau terdakwa menjadi hal yang sangat penting untuk diperoleh penegak hukum. dalam hal ini kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak menguntungkan karena tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang harus diperiksa. Pada asas inkisitoir pemeriksaan bersifat rahasia atau tertutup.

Asas akusatoir memperlakukan tersangka atau terdakwa yang manusiawi bukan berarti menghilangkan ketegasan yang menyebabkan tersangka atau terdakwa tidak menghormati proses penegakan hukum. Dengan menggunakan ilmu bantu penyidikan seperti psikologis, kriminalistik, psikiatri dan kriminologi maka penyidik tetap akan dapat memperoleh hasil penyidikan yang memadai.

“Menurut Andi Hamzah,24

Asas inkisitoir berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan pendahuluan. Sama halnya dengan Ned. Sv. yang lama yaitu tahun 1828 yang direvisi tahun 1885. Sejak tahun 1926 yaitu berlakunya Ned. Sv. yang baru di negeri Belanda telah dianut asas gematigd accusatoir yang berarti asas bahwa tersangka dipandang sebagai pihak pada pemeriksaan pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu pada pemeriksaan perkara-perkara politik berlaku asas inkisitoir.”

24

(32)

8. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung Dan Lisan

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sidang pengadilan melakukan pemeriksaan secara langsung kepada terdakwa atau orang lain yang terlibat, dengan mengadakan pembicaraan secara lisan, berupa tanya jawab dengan majelis hakim. Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam persidangan harus dilakukan dengan berbicara satu sama lain secara lisan agar dapat diperoleh keterangan yang benar dan yang bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun.

Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan diatur dalam Pasal 154 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas. (2) Jika dalam pemeriksaan perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak

hadir pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah.

(3) Jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang rnenunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang berikutnya.

(4) Jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi.

(5) Jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.

(6) Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. (7) Panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.

(33)

Mengenai asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan, M. Yahya Harahap25 berpendapat:

“Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP menegaskan ketua sidang dalam memimpin sidang pengadilan, dilakukan secara langsung dan lisan. Tidak boleh pemeriksaan dengan perantara tulisan baik terhadap terdakwa maupun saksi-saksi. Kecuali bagi mereka yang bisu atau tuli, pernyataan dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Prinsip pemeriksaan dalam persidangan dilakukan secara langsung berhadap-hadapan dalam ruang sidang. Semua pernyataan dilakukan dengan lisan dan jawaban atau keteranganpun disampaikan dengan lisan, tiada lain untuk memenuhi tujuan agar persidangan benar-benar menemukan kebenaran yang hakiki. Sebab dari pemeriksaan secara langsung dan lisan, tidak hanya keterangan terdakwa atau saksi saja yang dapat didengar dan diteliti, tetapi sikap dan cara mereka memberikan keterangan dapat menentukan isi dan nilai keterangan.”

Pengecualian dari asas langsung dan lisan adalah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa (in absentia), yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 213 KUHAP, yang merumuskan:

“Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang”.

B. Putusan Dalam Tindak Pidana 1. Pengertian Putusan

Muara dari seluruh proses persidangan perkara pidana adalah pengambilan keputusan hakim atau sering disebut juga dengan istilah “Putusan Pengadilan” atau “Putusan Akhir” atau lebih sering disebut juga dengan istilah “Putusan” saja.26

25

M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 113.

26

Al. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana: Proses Penanganan Perkara Pidana, Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, hlm. 119.

(34)

Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.27

Berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (1) KUHAP, apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai, tahap proses selanjutnya adalah penuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan. Ketika proses ini telah selesai, maka hakim ketua menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”.

Apabila pemeriksaan dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan. Bentuk putusan yang akan dijatuhkan tergantung dari hasil musyawarah berdasarkan surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan di sidang pengadilan.

Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan banwa :

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Proses atau cara pengambilan putusan diawali setelah hakim ketua sidang dinyatakan pemeriksaan ditutup, dan seterusnya hakim akan mengadakan musyawarah. Berdasarkan ketentuan Pasal 182 KUHAP untuk menentukan putusan, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan mulai dari hakim yang paling muda sampai hakim yang paling tua, sedangkan yang terakhir hakim ketua akan menyatakan pendapatnya.

27

Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan

(35)

Hasil musyawarah majelis hakim merupakan permufakatan bulat, namun jika telah benar-benar diupayakan tetapi tetap tidak dapat mencapai suatu permufakatan bulat maka akan ditempuh dua cara yaitu:

1. Putusan diambil dengan suara terbanyak (Voting)

2. Putusan yang dipilih adalah hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Proses penyusunan materi muatan perlu mencermati ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa musyawarah majelis hakim dalam menyusun putusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.

Proses pengambilan keputusan tersebut dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk itu yang sifatnya rahasia. Putusan Pengadilan Negeri dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau pada hari yang lain, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukum terdakwa. Berdasarkan ketentuan Pasal 195 KUHAP, semua putusan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.

2. Macam-Macam Putusan Dalam KUHAP

Pasal 1 angka 11 KUHAP menyatakan banwa :

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP diatas, Putusan Pengadilan Negeri yang dijatuhkan terhadap suatu perkara pidana bisa terbentuk sebagai berikut:

(36)

1) Putusan pemidanaan

Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang dikemukakan dalam pasal pidana yang didakwakan kepada terdakwa.28

Pasal 193 ayat (1) KUHAP:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”

Berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP, penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa. Atau dengan kata lain bahwa apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.

Menurut M. Yahya Harahap,29 Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seseorang terdakwa tidak lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang sisebut dalam pasal yang didakwakan.

28

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika,

Jakarta, 2002, hlm. 354.

29

(37)

Hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana yang dijatuhkan kepada teerdakwa adalah bebas, artinya memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum sesuai dengan pasal pidana yang didakwakan. Namun, titik tolak hakim dalam menjatuhkan pidana harus didasarkan kepada ancaman pidana yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan dan seberapa besar kesalahan terdakwa dalam perbuatan tindak pidana yang dilakukannya.

Hakim dalam hal menjatuhkan putusan pemidanaan, dapat menentukan salah satu dari macam-macam hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP yaitu salah satu dari hukuman pokok dalam Pasal 10 KUHP yakni:

Pidana terdiri atas: a. Pidana pokok 1. Pidana mati; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan hakim.

Hakim dalam menjatuhkan putusan juga harus melihat status terdakwa dalam tahanan atau tidak, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 193 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa:

a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP terdapat alasan cukup untuk itu. b. Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan

putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alasan cukup untuk itu.

(38)

2) Putusan yang membebaskan terdakwa

Putusan pembebasan atau sering juga disebut putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat buti yang sah.

Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Berdasarkan dengan Pasal 183 KUHAP diatas, pembentuk undang-undang mencantumkan macam-macam alat bukti yang sah sebagaimana tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan bahwa:

Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat;

(39)

e. Keterangan terdakwa; 3) Putusan lepas dari segala tuntutan

Putusan lepas dari segala tuntutan diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyatakan:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

M. Yahya Harahap,30 berpendapat banwa Putusan lepas dari segala tuntutan, terdakwa bukan dibebaskan dari ancaman pidana tetapi dilepaskan dari penuntutan.

Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum harus segera dibebaskan dari tahanan, sesuai dengan Pasal 191 ayat (3) KUHAP yang menyatakan:

“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan” Terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum harus segera dibebaskan dari tahanan, kecuali ada alasan lain. perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan dilakukan oleh jaksa setelah putusan diucapkan dan laporan tertulis mengenai perintah tersebut dilampiri surat penglepasan yang diserahkan kepada Ketua Pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam.31 30 Ibid., hlm. 352. 31 Ibid., hlm. 353-354.

(40)

4) Putusan Bebas

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang merumuskan bahwa:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. M. Yahya Harahap,32 berpendapat mengenai putusan bebas bahwa: “Putusan bebas, berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas dari tuntutan hukum (vrijspraak)”.

Vrijspraak adalah salah satu dari beberapa putusan hakim yang berisi pembebasan terdakwa dari segala tuduhan, manakala perbuatan terdakwa dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.33 Jadi putusan hakim yang mengandung suatu pembebasan terdakwa karena peristiwa-peristika yang disebutkan dalam surat dakwaan, setelah diadakan perubahan atau penambahan selama persidanagan, bila ada sebagian atau seluruh dinyatakan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dianggap tidak terbukti.34

Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seseorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.

32

Ibid., hlm. 347.

33

Djoko Prakoso, Kedudukan Justisiabel dalam KUHAP, Ghalia Indonesi, Jakarta, 1986, hlm. 270.

34

(41)

Putusan bebas ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP merumuskan sebagai berikut:35

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”

Menurut Martiman Prodjohamidjojo,36 Pasal 183 KUHAP mengandung; 1. Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah

2. Dasar-dasar alat bukti yang sah itu keyakinan hakim, yakni bahwa : a. Tidak terjadi;

b. Terdakwa telah bersalah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, terkandung dua asas mengenai pembuktian yaitu:

1) Asas minimum pembuktian yaitu asas bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

2) Asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif yang mengajarkan suatu prinsip hukum pembuktian bahwa disamping kesalahan terdakwa cukup terbukti harus pula diikuti keyakinan hakim akan kebenaran kesalahan terdakwa;

Ditinjau dari asas pembuktian Pasal 183 KUHAP, pembentuk undang-undang telah menentukan macam alat bukti secara limitatif sebagaimana tercantum pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Jadi agar dapat menjadi alat bukti yang sempurna yang dapat menjatuhkan suatu hukuman harus ada kesesuaian

35

Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 254.

36

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem pembuktian dan Alat-Alat bukti, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 12.

(42)

antara alat bukti dengan alat bukti yang lain sehingga mampu menciptakan keyakinan hakim terhadap kesalahan terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

Penjelasan putusan bebas selain diatur dalam Pasal 191 KUHAP, juga dapat diperluas dengan syarat-syarat putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum yang diatur dalam KUHP. Didalam KUHP, Buku Kesatu Bab III terdapat beberapa pasal yang menghapuskan pemidanaan terhadap seorang terdakwa.

Jika pada diri seseorang terdakwa terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dalam pasal-pasal KUHP yang bersangkutan, hal-hal atau keadaan itu merupakan alasan yang membebaskan terdakwa dari pemidanaan,37 antara lain Pasal 44 KUHP, Pasal 45 KUHP, Pasal 48 KUHP, Pasal 49 KUHP dan Pasal 50 KUHP.

Terdakwa yang diputus bebas harus segera dibebaskan dari tahanan sesuai Pasal 191 ayat (3) yang menyatakan bahwa:

“Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah terdakwa perlu ditahan”. Majelis hakim dalam amar putusannya menyebutkan “memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan”. Hal ini telah sesuai dengan Pasal 191 ayat (3) KUHAP.

Perintah untuk membebaskan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (3) KUHAP segera dilaksanakan oleh Jaksa setelah putusan

37

(43)

diucapkan. Laporan tertulis mengenai pelaksanaan perintah tersebut yang dilampiri surat pelepasan disampaikan kepada ketua pengadilan yang bersangkutan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam (Pasal 192 ayat (1) dan (2) KUHAP).

Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2001 tentang Pembuatan Ringkasan Putusan Terhadap Perkara Pidana yang Terdakwannya Diputus Bebas atau Dilepas Dari Segala Tuntutan, menyatakan bahwa:

“Terhadap perkara pidana yang terdakwanya ditahan dan diputus dengan amar putusan yang menyatakan terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan (vrijspraak) atau dilepas dari segala tuntutan (ontslag van alle rechtsvervolging) dengan perintah agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan pada saat putusan diucapkan didepan sidang terbuka untuk umum harus sudah ada setidak-tidaknya ringkasan putusan (extract vonis) atau setidak-tidaknya segera setelah putusan tersebut diucapkan agar segera dibuat ringkasan putusan (extrack vonis) guna dapat segera dieksekusi oleh Jaksa dalam kedudukannya selaku eksekutor dari putusan Hakim”.

Putusan hakim yang menjatuhkan putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum biasa, dalam hal ini yaitu upaya hukum banding dan kasasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 67 KUHAP dan Pasal 244 KUHAP.

Pasal 67 KUHAP:

“Terdakwa atau Penuntut Umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hakim dan putusan pengadilan dalam acara cepat”. Pasal 244 KUHAP:

“Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”.

(44)

Berdasarkan ketentuan kedua pasal diatas, dapat diketahui bahwa untuk putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya hukum banding maupun kasasi sebagai upaya hukum biasa.

Djoko prakoso,38 berpendapat:

“Mengenai putusan bebas/Vrijspraak tidak dapat diajukan permohonan kasasi, hal ini diatur secara tegas dalam undang-undang (Pasal 244 KUHAP), tetapi pasal ini dapat diterobos dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI: M 14-P.W, 07, 03 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang terdapat dalam Pasal 19 yang menyatakan: “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding tetapi demi situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi”.

Pendapat diatas sesuai dengan ketentuan Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang menyatkan bahwa:

“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”.

Kasasi adalah suatu alat hukum yang merupakan wewenang dari Mahkamah Agung untuk memeriksa kembali putusan-putusan dari pengadilan-pengadilan terdahlu, dan ini merupakan peradilan terakhir. Tujuan dari kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan peneraan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam penerapan hukum.

38

(45)

M. Yahya Harahap berpendapat,39 ada beberapa tujuan utama upaya hukum kasasi yaitu:

1. Koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum bener-benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakan cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang.

2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi.

3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum, tujuan lain dari pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindar kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.

Kasasi demi kepentingan hukum adalah upaya hukum luar biasa.40 Hal ini dikarenakan kasasi demi kepentingan hukum diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan hanya terbatas pada putusan Pengadilan Negeri dan Putusan Pengadilan Tinggi.

M. Yahya Harahap,41 berpendapat bahwa:

“Pada hakikatnya kasasi demi kepentingan hukum tidak berbeda tujuannya dengan permohonan kasasi biasa, sama-sama bertujuan untuk memperbaiki kesalahan penerapan hukum, keteledoran cara pelaksanaan peradilan menurut ketentuan undang-undang, serta mencegah terjadinya tindakan pengadilan yang melampaui batas wewenangnya. Bertitik tolak dari tujuan koreksi ini, alasan kasasi demi kepentingan hukum pun sama dan sejajar dengan kasasi biasa seperti yang telah dirinci dalam Pasal 252 ayat (1). Akan tetapi, kalau bertitik tolak dari perkataan demi kepentingan hukum, berarti tidak hanya terbatas kepada kesalahan yang disebut Pasal 253 ayat (1). Bahkan meliputi segala segi yang menyangkut

39

M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 539-542.

40

Ibid., hlm. 608.

41

(46)

kepentingan hukum. Baik yang menyangkut pemidanaan, barang bukti, biaya perkara, penilaian pembuktian, dan sebagainya.

Penjabat yang berwenang mengajukan kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa:

“Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetep dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan kasasi oleh Jaksa Agung”

Berdasarkan ketentuan Pasal 259 ayat (2) KUHAP, putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan terdakwa. Selain itu kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan satu kali saja.

C. Upaya Hukum

1. Pengertian Upaya Hukum

Mengenai pengertian upaya hukum, secara normatif diatur di dalam Bab I Pasal 1 angka 12 KUHAP, yang mana menyebutkan:

“Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Undang-undang menyediakan upaya hukum bagi terdakwa maupun penuntut umum, yakni apabila pihak-pihak tersebut merasa tidak puas akan kualitas putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan atau putusan tersebut dirasakan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan.

Terkait dengan upaya hukum tersebut, maka keadilan yang relevan dalam hal ini yakni terwujudnya keadilan sosial yang secara inheren disebut dengan

(47)

keadilan Pancasiila, yakni dengan berpijak pada keadilan distributif sebagai landasannya dengan melalui sarana keadilan korektif.

2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum

KUHAP membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa merupakan Bab XVII sedangkan upaya hukum luar biasa Bab XVIII.

Upaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. Upaya hukum biasa yang terbagi atas:

a. Banding; b. Kasasi.

2. Upaya hukum luar biasa yang terbagi atas: a. Kasasi demi kepentingan hukum;

b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Perbedaan antara upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa adalah terletak pada:

a. Upaya hukum biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan upaya hukum luar biasa diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

b. Upaya hukum biasa tidak memerlukan syarat-syarat yang bersifat khusus atau syarat-syarat tertentu, dalam hal upaya hukum luar biasa hanya dapat diajukan apabila terpenuhi syarat-syarat tertentu;

c. Upaya hukum biasa tidak selamanya diajukan ke Mahkamah Agung, sedangkan upaya hukum luar biasa diajukan ke Mahkamah Agung dan

(48)

diperiksa serta diputus oleh Mahkamah Agung sebagai instansi pertama dan terakhir.42

a. Upaya Hukum biasa

Upaya hukum biasa merupakan upaya hukum yang dimintakan terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu tentang Pemeriksaan Banding dan bagian kedua tentang Pemeriksaan Kasasi.

1. Pemeriksaan Tingkat Banding

Banding merupakan upaya yang dapat diminta oleh pihak yang berkepentingan, supaya putusan pengadilan tingkat pertama diperiksa lagi dalam peradilan tingkat banding. Disamping itu, banding merupakan upaya hukum yang dibenarkan oleh undang-undang dan sifat dari upaya hukum banding adalah upaya hukum biasa, ditinjau dari segi yuridis, upaya hukum banding adalah hak yang diberikan undang-undang kepada pihak-pihak yang berkepentingan.43

Hal tersebut dapat dilihat di dalam perumusan Pasal 67 KUHAP yang menyatakan:

“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama”

Adapun putusan pengadilan yang bisa diajukan banding adalah putusan pengadilan tingkat pertama, yakni44:

a. Putusan yang bersifat pemidanaan dalam acara biasa;

42

Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, Op,Cit., hlm 190.

43 M. Yahya Harahap, Op, Cit., hlm 451. 44

Referensi

Dokumen terkait

Dismenorea pada responden setelah dilakukan teknik relaksasi 100% mengalami penurunan tingkat dismenorea setelah melakukan teknik relaksasi yaitu 81 (98,78%)

Tabel ( tables ) adalahangka yang disusun sedemikian rupa menurut kategori tertentu sehingga memudahkan pembahasan dan analisisnya, sedangkan grafik (

PEMERINTAHAN INDONESIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG MINERAL BATUBARA DIKAITKAN DENGAN ASAS HUKUM KONTRAK INDONESIA. Penulisan Hukum

adsorpsi ion Al dan Fe oleh karbon aktif Dalam Gambar juga terlihat waktu kontak yang relatif singkat dapat menyebabkan proses adsorpsi belum optimal hal ini disebabkan

Akan tetapi, hasil penelitian ini tidak mendukung penelitian Yeh (2009) yang menunjukkan bahwa bagi negara berkembang pertumbuhan ekonomi tidak menyebabkan inflasi. Hasil

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur karakteristikkinerja sensor serat optik pada konsentrasi larutan gula yang berbeda, menentukan hubungan indeks bias larutan

Daun yang sudah halus kemudian ditambahkan buffer sebanyak 800 µL, lalu disimpan dalam lemari es dengan suhu -20°C.. Kemudian sampel ditambahkan larutan chisam yang berisi kloroform