• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberitaan Tindak Kriminal Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemberitaan Tindak Kriminal Dikaitkan Dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN

HAK ASASI MANUSIA PELAKU TINDAK PIDANA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

PANGERAN ANDRE NASUTION

NIM: 050200129

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN

HAK ASASI MANUSIA PELAKU TINDAK PIDANA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

PANGERAN ANDRE NASUTION

NIM: 050200129

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. Hamdan, SH. M. Hum NIP: 196603031985081001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M. Hum Liza Erwina, SH. M. Hum NIP:197302202002121001 NIP:196110241989032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRAK

Untuk mencapai perlindungan harkat dan martabat manusia, penyiaran berita kriminal haruslah memperhatikan dan disesuaikan dengan hak-hak yang terkandung dalam hukum acara pidana dan ingin ditegakkan dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Perundang-undangan Indonesia telah mengatur tentang bagaimana penyiaran berita tentang hukum harus dilaksanakan, sehingga tidak akan bertentangan dengan asas-asas dalam hukum. Dalam kode etik wartawan disebutkan bahwa, wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dan opini berimbang serta selalu meneliti kebenaran informasi.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimanakah pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidanadan bagaimanakah pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah akan kehadhirat Allah SWT karena atas rahmat dan

hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan bagi penyelesaian penulisan

skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Shalawat dan salam

kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan jalan dan

menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan yang terang yang disinari

oleh nur iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: “Pemberitaan Tindak Kriminal Dikaitkan

Dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana. Pelaksanaan

pendidikan guna memperoleh gelar sarjana ini diakui banyak mengalami kesulitan

dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari dosen

pembimbing, maka tulisan ini dapat diselesaikan dengan baik.. Penulisan skripsi

ini masih banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan, oleh karena itu

diharapkan adanya suatu masukan serta saran yang bersifat membangun di masa

yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari

berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan

(5)

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.a(K) sebagai

Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, sebagai Pembantu Dekan

I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, M.Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen

Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum sebagai Sekretaris Ketua Jurusan

Departemen Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi,SH, M. Hum sebagai Dosen Pembimbing II.

9. Bapak Eddy Ikhsan, SH, MA sebagai Dosen Penasehat Akademik selama

penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

10.Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

11.Seluruh Bapak dan Ibu staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas

(6)

12.Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang,

perhatian, dan memberi kesempatan untuk berjuang menuntut ilmu

sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

13.Ucapan terima kasih yang sangat spesial diperuntukkan bagi

kakanda-kakanda senioren dan alumni Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

14.Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian

yang sangat besar yang selalu mendukungku terima kasih kepada seluruh

keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis

selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

15.Kepada teman-teman, khusunya stambuk 2005 Fakultas Hukum USU

yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

16.Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi

ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Demikianlah yang dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 10 Oktober 2011

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PANDANGAN HAM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ... 20

A. HAM dan Pengaturannya di Indonesia ... 20

B. Pelaku Tindak Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ... 33

BAB III PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN HAM ... 40

A. Pemberitaan Tindak Kriminal dalam Perspektif Undang-undang tentang Pers ... 40

B. Pemberitaan Kriminal dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia Pelaku Tindak Pidana ... 49

(8)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

A. Kesimpulan... 65

B. Saran ... 66

(9)

ABSTRAK

Untuk mencapai perlindungan harkat dan martabat manusia, penyiaran berita kriminal haruslah memperhatikan dan disesuaikan dengan hak-hak yang terkandung dalam hukum acara pidana dan ingin ditegakkan dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Perundang-undangan Indonesia telah mengatur tentang bagaimana penyiaran berita tentang hukum harus dilaksanakan, sehingga tidak akan bertentangan dengan asas-asas dalam hukum. Dalam kode etik wartawan disebutkan bahwa, wartawan Indonesia menghormati asas praduga tidak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dan opini berimbang serta selalu meneliti kebenaran informasi.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimanakah pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidanadan bagaimanakah pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM terdakwa.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam penjelasan pembukaan Undang-undang Dasar 1945 disebutkan

“kemerdekaan adalah hak segala bangsa”.1

Sejak tahun 1998 yang dikenal dengan era reformasi dimulai, banyak

perubahan yang terjadi pada bangsa Indonesia. Perubahan terjadi di berbagai

bidang, baik yang menyangkut bidang ketatanegaraan, maupun bidang

pemerintahan yang berdampak pada bidang-bidang lainnya. Misalnya hak asasi

manusia untuk kebebasan menyampaikan pikiran dan pendapat seperti mendapat

kebebasan baru yang pada saat sebelum reformasi dibatas-batasi, sehingga timbul Pernyataan tersebut menunjukkan

bahwa bangsa Indonesia menghormati kemerdekaan tiap-tiap bangsa dan di dalam

kemerdekaan hak segala bangsa terkandung pula kemerdekaan bagi setiap warga

negaranya. Kalimat tersebut mempunyai pengertian konsep HAM di Indonesia

meletakkan penghargaan pada hak kemerdekaan seorang warga. Sejalan dengan

ketentuan itu, meskipun seseorang warga masyarakat telah melakukan suatu

perbuatan yang tercela, hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hapus atau

hilang. Bagi bangsa Indonesia, penghargaan dan penghormatan terhadap hak asasi

manusia sebagai landasan ideal konstitusi merupakan konsep yang dianuat

sebagai penjabaran sila kedua pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab

yang disemangati oleh sila-sila pancasila.

1

(11)

kebebasan masyarakat Indonesia dalam menyampaikan pendapatnya ataupun

kehendaknya serta dalam menentukan pilihannya sendiri, terbebas dari rasa takut

akan kekuatan penguasa.

Salah satu wujud dari kebebasan tersebut adalah kebebasan yang ada

dalam dunia pers. Kebebasan tersebut berdampak pada setiap bentuk

penyampaian informasi kepada masyarakat. Penyampaian informasi tersebut

dilakukan melalui berbagai mass media yang ada, baik itu media cetak seperti

koran, majalah, tabloid, maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

Dalam Undang-undang Pers, kebebasan pers diganti menjadi kemerdekaan pers,

yakni salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip

demokrais, keadilan dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers akan mendorong

penghargaan dan memberikan jaminan hak asasi manusia sehingga kemerdekaan

pers tersebut harus sejalan dengan penegakan HAM.

Pers mengandung dua pengertian, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti

luas. Dalam arti sempit, pers hanya merujuk pada media cetak berskala surat

kabar, tabloid dan majalah. Sedangkan dalam arti luas pers bukan hanya

menunjuk pada media cetak belaka, melainkan juga mencakup media media

elektronik auditif dan media elektronik audiovisual berkala, yakni radio, televisi,

film dan media on line internet. Pers dalam arti luas disebut media massa.2

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 pasal 1 ayat (1) menyebutkan pers

adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan

kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,

2

Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis

(12)

mengolah dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara dan

gambar, serta data dan grafik maupun bentuk lainnya dengan menggunakan media

cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.

Indonesia merupakan negara yang berlandaskan pancasila, dan

Undang-undang Dasar 1945. Oleh karenanya, meskipun pers bebas akan tetapi merupakan

pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai

Pancasila dan UUD 1945. Pers di Indonesia mempunyai kekhasan sesuai dengan

ideologi dan falsafah negara Indonesia (Pancasila) dan budaya masyarakat

Indonesia yang khas pula.3

Penyampaian informasi berupa penyiaran berita kriminal dapat ditinjau

dari dua sisi. Di satu sisi untuk kepentingan masyarakat memperoleh informasi,

tetapi di sisi lain penyampain informasi berita kriminalitas dapat menciptakan

suatu keadaan yang tidak adil atau penghakiman oleh pers (trial by the press) Hakikat dari pers adalah pers yang sehat, yakni pers

yang bebas dan bertanggung jawab berdasarkan pada nilai-nilai pancasila dalam

menjalankan fungsinya sebagai penyebaran informasi yang benar dan objektif,

penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.

Skripsi ini membahas mengenai penyampaian informasi melalui berita

yang ditayangkan media elektronik yaitu televisi, khususnya penyiaran berita

tentang kejahatan. Berita semacam ini sangat marak disiarkan di stasiun-stasiun

televisi swasta dengan bermacam-macam tayangan kriminal yang menarik

perhatian pemirsa untuk melihat dan mendengarkan secara langsung.

3

Elvinarno Ardianto dan Lukianti Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu

(13)

terhadap tersangka pelaku kejahatan dan tentu saja hal ini akan sangat

mempengaruhi suatu proses hukum yang adil (due process of law) bagi tersangka.

Istilah due process of law yang diartikan sebagai suatu proses hukum yang

adil menurut Tobias dan Patersen adalah berasal dari dokumen Magna Charta

Inggris (1215), yaitu merupakan:4

Pada intinya, asas ini menyatakan bahwa seseorang adalah tidak bersalah

melakukan kejahatan sampai dapat dibuktikan bahwa ia bersalah oleh pengadilan.

Ini berarti dalam suatu proses peradilan terdakwa, harus dapat dibuktikan

kesalahannya berdasarkan bukti-bukti di persidangan. Proses hukum yang adil

merupakan hak dari seorang tersangka atau terdakwa dalam negara yang

berdasarkan hukum. Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro:

Constitutional guaranty, … that no person will be deprived of life, liberty or property for reasons that are arbitrary … protects the citizens again arbitrary actions of the government”. Oleh karena itu, unsur-unsur minimal dari “due process” adalah: hearing, counsel, defense, evidence and a fair and impartial court” (mendengar tersangka dan terdakwa, penasehat hukum, pembela, pembuktian, dan pengadilan yang adil dan tidak memihak).

5

4

Mardjono Reksodiptro, Hak-hak Tersangka dan Terdakwa dalam KUHAP sebagai

Bagian dari Hak-hak Warga Negara (Civil Rights), (Jakarta: UI Press: 1990), hal. 9.

5

Ibid

(14)

Hukum acara pidana telah meletakkan dasar humanism dan merupakan era

baru dalam dunia peradilan Indonesia. Pedoman pelaksanaan hukum acara pidana

yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman berbunyi:6

Untuk mencapai perlindungan harkat dan martabat manusia, penyiaran

berita kriminal haruslah memperhatikan dan disesuaikan dengan hak-hak yang

terkandung dalam hukum acara pidana dan ingin ditegakkan dalam proses

peradilan pidana di Indonesia. Perundang-undangan Indonesia telah mengatur

tentang bagaimana penyiaran berita tentang hukum harus dilaksanakan, sehingga

tidak akan bertentangan dengan asas-asas dalam hukum. Dalam kode etik

wartawan disebutkan bahwa, wartawan Indonesia menghormati asas praduga

tidak bersalah, tidak mencampuradukkan fakta dan opini berimbang serta selalu

meneliti kebenaran informasi.

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

7

Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS)

yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 juga melakukan

pembatasan dalam penyampaian program siaran yang dianggap dapat

menimbulkan efek negatif atau dapat menyinggung nilai-nilai dasar yang dimiliki

oleh beragam kelompok atau khalayak. Terdapat pembatasan-pembatasan

6

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 8.

7

(15)

penyampaian berita, antara lain berita-berita yang mengandung kekerasan,

penggunaan gambar, penayangan gambar korban tidak boleh disorot secara close

up, big close up, medium close up, extreme close up.8

B. Permasalahan

Pedoman perilaku

penyiaran disusun dan bersumber kepada nilai agama, moral, peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan juga norma-norma lain yang berlaku dan

diterima oleh masyarakat umum.

1. Bagaimanakah pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidana?

2. Bagaimanakah pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan HAM

terdakwa?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui pandangan HAM terhadap pelaku tindak pidana

b. Untuk mengetahui pemberitaan tindak kriminal dikaitkan dengan

HAM terdakwa

2. Manfaat

a. Teoritis

Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum

pidana, khususnya yang berkaitan dengan pemberitaan kriminal

dikaitkan dengan HAM terdakwa

b. Praktis

8

Media Watch & Customer Centre, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program

(16)

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan

mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum dan pemerintah dalam

melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberitaan kriminal

dikaitkan dengan HAM terdakwa dalam perkara pidana.

D. Keaslian penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

mengenai “Pemberitaan Tindak Kriminal Dikaitkan dengan Hak Asasi

Manusia Pelaku Tindak Pidana” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh

penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini

merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga

penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila

ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab

sepenuhnya.

E. Tinjauan kepustakaan

1. Tindak Kriminal/ Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu “strafbaar feit”. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wet Boek van

Strafrecht voor Nederlands Indie, akan tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang

(17)

berusaha memberi arti dari istilah tersebut walau sampai saat ini belum ada

keseragaman pendapat.9

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan “strafbaar feit

untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam KUHP tanpa

memberikan suatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan

perkataan “strafbaar feit. Perkataan feit sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

sebahagian dari suatu kenyataan, sedangkan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan

sebagai suatu kenyataan yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat,

oleh karena kelak akan diketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya

adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.

Hazewinkel-Suringa membuat rumusan yang umum dari strabaar feit sebagai

perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak dalam sesuatu

pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus diadakan oleh

hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang

terdapat di dalamnya.10

Istilah-istilah yang pernah dipergunakan baik dalam perundang-undangan

maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar

feit adalah : tindak pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, perbuatan

yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan pidana. Nyatalah

kini setidak-tidaknya ada dikenal tujuh istilah bahasa Indonesia. Strafbaar feit

terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan

9

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum PidanaI, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67.

10

(18)

sebagai terjemahaan dari strafbaar feit, ternyata straf diterjemahkan dengan

pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.

Sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,

dan perbuatan.

Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana adalah perbuatan yang melawan

hukum. Perbuatan-perbuatan ini merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan

dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat

yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini

adalah perbuatan yang anti sosial.

Moeljatno, memakai istilah “perbuatan pidana” untuk menggambarkan isi

pengertian strafbaar feit dan beliau mendefinisikannya sebagai suatu perbuatan

yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi)

yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

Beliau tidak setuju dengan istilah “tindak pidana” karena menurut beliau “tindak”

lebih pendek daripada perbuatan, “tindak” tidak menunjukkan kepada hal yang

abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit.11

a. Perbuatan

Dari pengertian tersebut, tindak pidana tersebut mengandung unsur-unsur

sebagai berikut:

b. Yang dilarang ( oleh aturan hukum )

c. Ancaman pidana ( bagi yang melanggar )

11

(19)

Dari uraian unsur tindak pidana diatas, maka yang dilarang adalah

perbuatan manusia, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan uraian kata

perbuatan pidana, maka pokok pengertian adalah pada perbuatan itu, tetapi tidak

dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan

bahwa seseorang itu dipidana karena melakukan perbuatan yang dilarang dalam

hukum.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 KUHP seseorang yang melakukan tindak

pidana dapat dihukum apabila memenuhi hal-hal berikut:

a. Ada norma pidana tertentu

b. Norma pidana tersebut berdasarkan undang-undang

c. Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan terjadi.

Dengan perkataan lain, bahwa tidak seorangpun karena suatu perbuatan

tertentu, bagaimanapun bentuk perbuatan tersebut dapat dihukum kecuali telah

ditentukan suatu hukuman berdasarkan undang-undang terhadap perbuatan itu.

Jadi syarat utama dari adanya “perbuatan pidana” adalah kenyataan bahwa ada

aturan hukum yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang

melanggar larangan tersebut.

2. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia sering didefinisikan sebagai hak-hak yang demikian

melekat pada sifat manusia, sehingga tanpa hak-hak itu tidak mungkin

(20)

itu tidak dapat dicabut (inalienable) dan tidak boleh dilanggar (inviolable).12

Menurut H.A.W Widjaja, hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok manusia

yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan

pemberian penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar atau fundamental bagi

hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati, yang tidak bisa dari

dan dalam kehidupan manusia.13

Selanjutnya, salah satu instrumen yang mengatur tentang Administrasi

peradilan, penahanan, dan pennganiayaan adalah Resolusi PBB Nomor 663 tahun

1957 tentang Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners. Ketentuan

ini telah memberikan perlindungan bagi para narapidana agar mereka tidak

diperlakukan secara semena-mena dan memberikan jaminan agar hak-haknya

terpenuhi.14

12

Mardjono Reksodiputro, HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hal 47

13

H.A.W. Widjaja, Penerapan Nilai-nilai Pancasila dan HAM di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal.64

14

Ibid, hal. 299

Arah kebijakan di bidang hukum meliputi: Mengembangkan budaya

hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptakanya kesaran dan kepatuhan

hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. Menata

sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu, mengakui dan penghormati

Hukum Agama dan Hukum Adat serta memperbaharui perundang-undangan

warisan kolonial dan hukum nasional yang diskrimintaif, termasuk

ketidakaladilan gender dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui

(21)

Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian

hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai HAM.

Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan

HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk UU.

Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum,

termasuk kepolisian NRI, untuk menumbuhkan kepercaraan masyarakat dengan

meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan,

serta pengawasan yang efektif.

Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan

hukum harus memberikan manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Masyarakat

sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan

diperhatikan.15 Berkaitan dengan penegakan hukum ini, B. Arief Sidharta

mengatakan bahwa tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada

dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam masyarakat

yang bersangkutan ke dalam perangkat berbagai aturan hukum positif, lembaga

hukum dan proses (perilaku birokrasi pemerintahan dan warga masyarakat).16

Dalam penegakan hukum pidana ada 4 (empat) aspek dari perlindungan

masyarakat yang harus mendapat perhatian, yaitu:17

a. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap perbuatan anti sosial

yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Bertolak dari aspek

15

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.

16

B. Arief Sidharta. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum (Sebuah Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan

Ilmu Hukum Nasional Indonesia). (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 180.

17

Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

(22)

ini maka wajar apabila penegakan hukum bertujuan untuk

penang-gulangan kejahatan.

b. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap sifat berbahayanya

seseorang. Wajar pula apabila penegakan Hukum Pidana bertujuan

memperbaiki sipelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan

mempengaruhi tingkah lakunya agar kembali patuh pada hukum dan

menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna.

c. Masyarakat memerlukan pula perlindungan terhadap penyalah-gunaan

sanksi atau reaksi dari penegak hukum maupun dari warga masyarakat

pada umumnya. Wajar pula apabila penegakan hukum pidana harus

mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan yang sewenang-wenang

di luar hukum.

d. Masyarakat memerlukan perlindungan terhadap keseimbangan atau

keselarasan berbagai kepentingan dan nilai yang terganggu sebagai

akibat dari adanya kejahatan. Wajar pula apabila penegakan hukum

pidana harus dapat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode

(23)

merupakan penelitian yang dilakukan dan ditujukan pada berbagai peraturan

perundang-undangan tertulis dan berbagai literatur yang berkaitan dengan

permasalahan dalam skripsi (law in book). Penelitian yuridis normatif ini disebut

juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) atau hukum dikonsepkan

sebagai kaedah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang

dianggap pantas18

2. Jenis Data dan Sumber Data .

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data

sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil

penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Data sekunder diperoleh dari :

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang.19

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-undang Hukum

Acara Pidana), Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Yaitu dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan

dengan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi, seperti: seminar-seminar,

jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan

beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

18

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 1.

19

(24)

c. Bahan Hukum Tersier

Yaitu dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,

ensiklopedia dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik

koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari

media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk

peraturan perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai

berikut:20

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya

yang relevan degan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak

maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan

perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan

masalah yang menjadi objek penelitian.

20

(25)

4. Analisa Data

Data primer dan sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian

dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif

dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan

metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai sumber yang

berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan

yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan

Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Bab ini akan membahas tentang pandangan HAM terhadap

pelaku tindak pidana, yang mengulas tentang HAM dan

pengaturannya di Indonesia, dan pelaku tindak pidana dalam

perspektif Hak Asasi Manusia

BAB III: Bab ini akan dibahas tentang pemberitaan tindak kriminal dikaitkan

dengan HAM, yang akan mengulas tentang pemberitaan tindak

kriminal dalam perspektif Undang-undang tentang Pers,

(26)

tindak pidana, dan perlindungan HAM pelaku tindak pidana dalam

pemberitaan tindak kriminal.

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang

berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang

(27)

BAB II

PANDANGAN HAM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

A. HAM dan Pengaturannya di Indonesia

1. Pengertian HAM

Hak Asasi Manusia menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan

pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1945. Istilah

HAM menggantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena konsep hukum alam

yang berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak asasi

manusia yang dipahami sebagai Natural Rights merupakan suatu kebutuhan dari

realitas sosial yang bersifat universal. Dalam perkembangannya telah mengalami

perubahan-perubahan mendasar sejalan dengan kenyakinan dan praktik-praktik

sosial di lingkungan kehidupan masyarakat luas.21

Berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999, hak asasi manusia

adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang Praktik memanusiakan manusia itu menjadi tanggung jawab utama negara

melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Tugas negara ini sama

artinya dengan mengimplementasikan perlindungan hak asasi manusia melalui

hukum, artinya di dalam hukum itu terumus ketentuan yang memerintahkan

perlindungan hak asasi manusia.

21

Slamet Warta Wardaya, Hakekat, Konsepsi Dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi

Manusia (HAM), dalam Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep, Dan Implikasinya Dalam

(28)

wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan

Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.22

Menurut Mahfud MD, hak asasi manusia itu diartikan sebagai hak yang

melekat pada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, dan hak tersebut

dibawa manusia sejak lahir ke muka bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri

(kodrati), bukan merupakan pemberian manusia atau negara.23

2. Pengaturan HAM dalam Peraturan Perundang-Undangan

a. Dalam Pembukaan UUD 1945

Pernyataan-pernyataan yang dituangkan dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 sarat dengan pernyataan (deklarasi) dan pengakuan yang

menjunjung tinggi harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur

dan sangat asasi. Antara lain ditegaskan hak setiap bangsa (termasuk individual)

akan kemerdekaan, berkehidupan yang bebas, tertib dan damai, hak membangung

bangsa mencapai kemakmuran dan kesejahteraan, berkedaulatan, bermusyawarah/

berperwakilan, berkebangsaan, berprikemanusiaan, berkeadilan dan berkeyakinan

ke-Tuhan-nan Yang Maha Esa.24

Pernyataan-pernyataan yang padat di dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945, jelas mengandung jiwa dan semangat yang tidak jauh berbeda dengan

Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) yang diterima dalam sidang

22

Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999.

23

Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 127.

24

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

(29)

umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. kesamaan-kesamaan tersebut antara

lain terlihat dalam hal-hal sebagai berikut:25

a) Pernyataan di dalam alinea pertama Pembukaan UUD 1945 :

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh

sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak

sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Bahwa identik dengan

pernyataan di dalam alinea pertama “preambule” UDHR yang berbunyi:

Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and

inalienable rights of all members of the human family is the foundation of

freedom, justice and peace in the world”. Dan juga dengan Pasal 1 UDHR

yang berbunyi: “All human beings are born free and equal in dignity and

rights. They are endowed with reason and conscience and should act

towards one another in a spirit of brotherhood”.

b) Pernyataan pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945 yang dihubungkan

dengan pernyataan atau proklamasi “kemerdekaan” dan “keinginan luhur

untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas” di dalam alinea ketiga,

identik pula dengan pernyataan di dalam Pasal 15 (1) UDHR, bahwa

“Everyone has the right to a nationality”.

c) Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan berbagai tujuan

dibentuknya negara Indonesia, yaitu :

(1) “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Imdonesia” ;

25

(30)

(2) “untuk memajukan kesejahteraan umum” ;

(3) “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa” ;

(4) “ikut dalam ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Di dalam pernyataan tujuan-tujuan tersebut, jelas terkandung di dalamnya

juga hak sebagaimana dinyatakan di dalam UDHR sebagai berikut :

a) Pasal 22 : “Everyone as a members of society, has the right to social

security”;

b) Pasal 25 : “Everyone has the tight to a standard of living adequate for the

health and well being of himself and of his family, including food,

clothing, hausing and medical care and necessary social services, and the

right to security in the event of unemployment, sickness, disability,

widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond

his control” ;

c) Pasal 26 : “Everyone has the right to education”’ ;

d) Pasal 28 : “Everyone is entitled to a social and international order in

which the right and freedoms” ;

e) Alinea keempat “Prembule” : “Whereas it si essential to promote the

development of friendly relation between nations”.

b. Di Dalam Batang Tubuh UUD 1945

Walaupun tidak secara menyeluruh dan terperinci seperti UDHR, namun

(31)

diselaraskan dengan hak asasi yang tercantum dalam UDHR. Antara lain dapat

dikembangkan sebagai berikut:26

a) Ketentuan Pasal 1 (2), bahwa “kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan

sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”, identik dengan Pasal

21 (1) UDHR :

Everyone has the right to take part of the government of his country,

directly or throught freely chosen representative”.

b) Juga Pasal 3, bahwa MPR yang menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar

Haluan Negara, identik dengan Pasal 21 (1) UDHR di atas.

c) Pasal-pasal yang berhubungan dengan kewenangan DPR (antara lain Pasal

5 (1), Pasal 11, 20, 21, 22, dan hak warga Negara yang sama di bidang

pemerintan (Pasal 27), identik pula dengan Pasal 21 (1) UDHR di atas.

d) Ketentuan Pasal 27 (1) UUD, bahwa segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada

kecualinya, identik dengan UDHR :

(1) Pasal 6 (recognition as a person before the law) ;

(2) Pasal 7 (equal protection of the law) ;

(3) Pasal 21 ayat (2) (equal access to public service in one’s country) ;

(4) Pasal 1 (equal in dignity and rights) ;

(5) Pasal 2 (entitled to all rights and freedoms without distinction).

26

(32)

(6) Pasal 27 ayat (2) UUD, bahwa tiap warga negara “berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, identik

dengan ketentuan UDHR, antara lain :

(a) Pasal 23 (1) : the right to work and free choice of employment ;

(b) Pasal 23 (2) : the right to equal work ;

(c) Pasal 25 (1) : the right to a standard of living.

(7) Pasal 28 UUD yang menjamin “kemerdekaan berserikat, berkumpul

dan mengeluarkan pikiran, identik dengan ketentuan UDHR :

(a) Pasal 18 : the right to freedom of thought ;

(b) Pasal 19 : the right to freedom of opinion and expression.

(8) Pasal 19 ayat (2) UUD yang menjamin kemerdekaan memeluk agama

dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu, identik dengan

ketentuan UDHR Pasal 18 : the right to freedom of thought, conscience

and religion (includes freedom to manifest his religion or belief in

teaching, practice, worship and observance.

(9) Pasal 30 ayat (2) UUD, bahwa “tiap warga negara berhak dan wajib

ikut serta dalam usaha pembelaan Negara”, identik dengan Pasal 26 (1)

UDHR yaitu “the right to government of his country”.

(10) Pasal 31 (1) UUD menjamin hak warga negara untuk mendapat

pengajaran (pendidikan), identik dengan Pasal 26 (1) UDHR yaitu

the right to education”.

(11) Pasal 32 UUD, bahwa “pemerintah memajukan kebudayaan

(33)

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 (1) UDHR, yaitu “the

right to participate in the culture life of the community”.

(12) Kesejahteraan sosial yang diatur dalam Pasal 33 UUD 1945,

khususnya ayat (3) memberikan hak kepada warga negara untuk

memperoleh kemakmuran sosial yang sebesar-besarnya. Hal ini

identik dengan ketentuan-ketentuan UDHR antara lain :

(a) Pasal 22 : the right to social security ;

(b) Pasal 25 : the right to a standard of living and right to security.

(13) Pasal 34 UUD 1945 mengandung hak fakir miskin dan anak-anak

terlantar untuk dipelihara oleh negara. Hal ini pun sesuai dengan

ketentuan UDHR :

(a) Pasal 22 : the right to social security ;

(b) Pasal 25 : the right to security in the event of unemployment,

sickness, disability, widowhood, age or other circumstances

beyond one’s control ;

(c) Pasal 25 (2): motherhood and children are entitled to special care

and assistance. All children, wheather born in or out of wedlock,

(34)

c. Peraturan Perudang-Undang Lainnya

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada dasarnya setiap perundang-undangan

apakah pada level nasional atau pun internasional ada mencantumkan hak dan

kewajiban setiap kelompok atau individu. Karena hak dan kewajiban tersebut

menjadi pedoman bagi setiap kelompok atau individu itu untuk mendapatkan

sesuatu dan lainnya. Bahkan kitab suci semua agama di dunia ini ada

mencantumkan hak dan kewajiban bagi para umatnya. Begitu juga produk

undang-undang yang dikeluarkan oleh parlemen terutama di Indonesia. Artinya

undang-undang itu tidak menciderai hak dan kewajiban setiap warganya.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada pasal-pasal yang

bermaksud melindungi kehidupan, kebebasan dan keamanan seseorang (antara

lain, pasal-pasal mengenai pembunuhan, perampasan kemerdekaan, perampasan

dan pengancaman, penculikan dan sebagainya ; vide pasal-pasal 338-340,

333-334, 368-369, 328). Ketentuan-ketentuan demikian identik dengan Pasal 3

UDHR. Juga di dalam KUHP ada larangan untuk perdagangan budak (Pasal

324-327) yang identik dengan Pasal 4 UDHR, dan ada pula larangan

memeras/memaksa pengakuan atau keterangan dari seseorang dengan

menggunakan sarana paksaan (422) dan pasal-pasal penganiayaan (Pasal 351, dst)

yang dapat diselaraskan dengan Pasal 5 UDHR. Delik-delik terhadap harta benda

dan pencabutan hak hanya berdasarkan undang-undang, identik dengan Pasal 17

UDHR.27

27

(35)

Meski norma-norma hak asasi manusia (HAM) sudah sejak lama menjadi

spirit dan dasar bernegara, tetapi secara formal pengakuan dan upaya

penegakannya baru dilakukan sejak dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun 1999

tentang HAM. Undang-undang ini adalah pembuka bagi penegakan HAM yang

lebih terkonsentrasi. Meski undang-undang ini mereduksi banyak hak yang

termuat dalam Hukum Internasional HAM, kehadirannya memberi optimisme

bagi penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Indonesia. UU ini juga

memandatkan terbentuknya Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), sebagai

lembaga independen yang memiliki seperangkat kewenangan bagi penegakan

HAM. Satu tahun setelah undang-undang tentang HAM lahir, diproduksi UU

Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Undang-undang ini

dimaksudkan menjadi semacam hukum acara atau hukum formal bagi penegakan

hukum yang termuat dalam UU No 39/1999 itu. Sejak itu Komnas HAM dan

lembaga peradilan memiliki prosedur kerja yang tersistematis dan formal.

Sejak awal kelahiran, undang-undang ini menimbulkan kontroversi.

Sebab, secara substantif undang-undang Pengadilan HAM mengadopsi Statuta

Roma, suatu statuta internasional yang menjadi dasar pembentukan International

Criminal Court (ICC). Pendasaran pada Statua Roma tidak saja salah kaprah,

tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang memiliki

pengadilan HAM. Lahirnya undang-undang Pengadilan HAM merupakan

kesuksesan negara memanipulasi dan membiaskan Hukum Internasional HAM

menjadi kian absurd. Absurditas yang diidap hukum HAM Indonesia inilah yang

(36)

mengadili aneka perkara kejahatan kemanusiaan menjadi sia-sia, tidak konstruktif

bagi pemajuan HAM di Indonesia.28

Daftar kegagalan yang bisa dirujuk misalnya, dari sekian banyak pelaku

kejahatan kemanusiaan yang dalam bahasa publik Indonesia dianggap pelaku

pelanggaran HAM, tidak satu pun pelaku menerima hukuman seharusnya.

Bahkan, Abilio Soares, satu-satunya terdakwa yang masuk bui, akhirnya

dibebaskan Mahkamah Agung dalam sidang Peninjauan Kembali. Korban sama

sekali tidak ada yang menerima hak atas kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.29

3. Penegakan HAM di Indonesia

Semua proses panjang pengadilan HAM yang pernah dilakukan di

Indonesia tidak memberi implikasi apapun, baik untuk korban, publik, maupun

efek jera untuk aparat negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM. Bahkan

dunia internasional pun justru semakin kecewa dengan proses yang terjadi di

Indonesia.

Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam kajiannya

menilai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum memiliki kemampuan optimal

mengintegrasikan hak asasi manusia dalam pelaksanaan fungsi legislasi. Hal itu

diduga akibat tingginya politik transaksional antar fraksi di DPR. Akibatnya

sebagian besar produk undang-undang belum ramah terhadap pemajuan dan

penegakan HAM. Selama periode 2005-2008, dari 129 produk undang-undang

yang dihasilkan, hanya 34 undang-undang yang dinilai berelasi dengan HAM.

28

Ismail Hasani, Deviasi Hukum HAM. Diaskses dalam situs : http://ismailhasani.wordpress.com.2008.11.29.deviasi-hukum-ham-bag-2. akses terakhir pada tanggal 5 April 2011.

29

(37)

Namun, dari jumlah itu, hanya 18 undang-undang yang sejalan dengan HAM,

yang separuh diantaranya adalah undang-undang tentang ratifikasi. Sisanya

sebanyak 16 undang-undang justru tak sejalan dengan HAM.30

30

Indriaswati Dyah Saptaningrum, UU Tak Ramah HAM, Kompas, Jum’at 5 Desember 2008, hal. 3.

Pada tahun 1998 merupakan tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia

melalui kekuatan mahasiswa menumbangkan rezim orde baru yang sangat kokoh

selama tiga puluh dua tahun menggengam kekuasaan dengan otoriter. Pada zaman

orde baru, hukum dijadikan alat kontrol untuk mempertahankan kekuasaannya.

Ekses dari kebijakan itu adalah timbulnya sikap skeptis dari masyarakat. Keadilan

sangat sulit ditemukan. Kondisi menjadi bertolak belakang dari cita-cita negara

hukum yaitu cita keadilan, cita ketertiban dan cita kepastian. Tiga cita-cita ini

dikuasai oleh masyarakat umum, bukan mereka yang berkuasa. Tetapi apabila

timbul gap antara dua kutub itu, maka yang menjadi barometer adalah

kepentingan masyarakatnya.

Sejak 2000 tahun yang lalu, di dalam hukum dikenal suatu pepatah ”

sumum ius suma iuria”. Artinya adil tidaknya sesuatu akan tergantung dari pihak

yang merasakannya. Apa yang dirasakan adil oleh seseorang belum tentu

dirasakan demikian oleh orang lain. Pihak korban pemerkosaan akan merasa tidak

adil apabila tersangka dibebaskan dan kebebasan tersebut akan dirasakan adil oleh

tersangka. Dengan demikian keadilan dapat diumpamakan sebagai pedang bagi

siapapun. Keadilan akan dirasakan tajam pada saat dipergunakan namun

(38)

Isu tentang HAM di Indonesia sebenarnya bukan ”barang’ yang baru,

karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers

Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam Alinea I

Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, penghargaan terhadap HAM yang sudah

dicanangkan oleh para founding fathers di Insonesia tidak berjalan sebagaimana

mestinya, seiring dengan perjalanan panjang bangsa Insonesia dalam tiga orde,

yakni:31

a.Penegakan HAM Pada Orde Lama

Orde Lama merupakan kelanjutan pemerintahan pasca kemerdekaan 17

Agustus 1945, yang lebih menitikberatkan pada perjuangan revolusi, sehingga

banyak peraturan perundang-undangan yang dibuat atas nama revolusi yang telah

dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif, seperti UU No. 1964 yang memungkinkan

campur tangan presiden terhadap kekuasaan kehakiman dan UU No.

11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang tidak sesuai

dengan HAM.

b.Penegakan HAM Pada Orde Baru

Orde Baru yang berdiri sebagai respon terhadap gagalnya Orde Lama telah

membuat perubahan-perubahan secara tegas dengan membangun demokratisasi

dan perlindungan HAM melalui Pemilu Tahun 1971. Akan tetapi, setelah lebih

dari 1 (satu) dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM yang

selama ini dijalankan Orde Baru mulai bias, yang ditandai dengan maraknya

praktek KKN serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa.

31

(39)

Seringkali, pemerintah di masa Orde Baru melakukan tindakan-tindakan yang

dikatagorikan sebagai crimes by government atau top hat crimes, seperti

penculikan terhadap para aktivis pro demokarasi (penghilangan orang secara

paksa) yang bertentangan dengan HAM, sekalipun pada tahun 1993 Pemerintah

sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sebagai

pundaknya, pada tahun 1998, Orde Baru jatuh dengan adanya multi krisis di

Indonesia serta tuntuan adanya reformasi di segala bidang.

c.Penegakan HAM Pada Masa Orde Reformasi

Orde Reformasi yang dimulai pada tahun 1998 berusaha menegakkan

HAM dengan jalan membuat peraturan perundang-undangan yang terkait dengan

HAM sebagai rambu-rambu, seperti UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia, Ratifikasi terhadap instrumen internasional tentang HAM, UU No. 26

Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, yang memungkinkan dibukanya kembali

kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, serta pemberantasan praktek

KKN.

Pada zaman orde baru pembangunan hukum cukup bagus dan sistematis.

Ini dalam arti kuantitas fisik maupun non fisik. Melalui GBHN-nya pembangunan

fisik lembaga penegak hukum (Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepolisian) sudah

sampai ke tingkat Kabupaten/Kota bahkan tingkat Kecamatan dan Desa. Peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum sangat fantastis

hasilnya, hanya beberapa peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial

(40)

Apabila pranata hukum telah demikian banyak, tetapi tuntutan menjadi

semakin banyak, maka dapat disimpulkan permasalahan yang dihadapi sama

sekali bukan masalah pranata, produk, substansi ataupun materi hukum dalam

bentuk undang-undang, namun masalah lain. Masalah hukum yang menjadi

tuntutan tersebut adalah mengenai penegakan dan penerapannya atau law

enforcement. Jadi tanpa penegakan hukum bukan apa-apa. Yang memberi makna

kepada hukum itu adalah aparat penegak hukum serta masyarakat. Bahkan tanpa

substansi hukum pun sebenarnya hukum dapat dihasilkan, karena mengenai hal

ini menjadi tugas para hakim untuk menciptakan hukum (Pasal 14 dan 27 UU

Nomor 14 Tahun 1970).32

Sifat baik dari aparatur tersebut mencakup integritas moral serta

profesionalisme intelektual. Kualitas intelektual tanpa diimbangi integritas akan

dapat mengarah kepada rekayasa yang tidak dilandasi moral. Sementara integritas

saja tanpa profesionalisme bisa menyimpang ke luar dari jalur-jalur hukum.

Aspek lain yang perlu diperhatikan, adalah bahwa penegakan hukum merupakan

rangkaian dari suatu proses yang dilaksanakan oleh beberapa komponen sebagai

sub sistem. Rangkaian proses tersebut satu sama lain saling terkait secara erat dan Tugas penegak hukum dalam menentukan keadilan adalah menjembatani

jurang antara kepentingan korban dan pelaku, sehingga perasaan ketidakadilan

dapat diminimalisir seoptimal mungkin. Keberhasilan dalam menjembatani jurang

tersebut dapat dilihat adanya reaksi dari para pihak dan masyarakat.

32

(41)

tidak terpisahkan karena itu disebut sebagai integrated criminal justice system.

Pada umumnya, komponen sub-sistem tersebut mencakup:33

a) Penyidik (kepolisian/Penyidik Pegawai Negeri Sipil) ;

b) Kejaksaan (penuntut umum) ;

c) Penasihat hukum (korban/pelaku) ;

d) Pengadilan (hakim) ;

e) Pihak-pihak lain (saksi/ahli/pemerhati).

Masing-masing komponen tersebut memiliki kewajiban dan tanggung

jawab yang sama untuk menegakkan keadilan. Dengan demikian apabila muncul

ketidakadilan dapat ditelusuri di mana sebenarnya penyebab utamanya. Dengan

kata lain meskipun sebagian besar penyebab utama ketidakadilan umumnya

berasal dari aparat, ini bukan berarti komponen non aparat tidak bisa menyimpang

atau setidak-tidaknya memberi dorongan untuk menyimpang. Aparat penegak

hukum mengambil porsi tanggung jawab terbesar dalam penegakan hukum karena

fungsi mereka adalah menegakkan hukum.

Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan perlindungan

Hak Asasi Manusia (HAM) sudah cukup memadai apakah dalam bentuk

perundang-undangan, kuantitas aparat penegak hukum, sistem manajemen atau

pembangunan fisiknya. Persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini

adalah persoalan penegakan hukumnya. Karena instrumen hukumnya sudah

cukup memadai berarti persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini adalah

krisis moral penegak hukum dan adanya ketimpangan dalam sistem hukum.

33

(42)

Akibat dari semua itu, publik kehilangan rasa kepercayaannya terhadap lembaga

penegak hukum itu sendiri.34

B. Pelaku Tindak Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

HAM termasuk harga warga negara melekat pada manusia dan hanya

dapat dimiliki oleh warga negara. Sedangkan kewajiban yang merupakan bagian

simetri dari hak warga negara terdapat pada negara, karena hanya negaralah yang

mempunyai kekuasaan memelihara dan melindungi hak warga negara tersebut.

Karena itu apabila ingin dipergunakan istilah hak dan kewajiban manusia, maka

pengertiannya adalah adanya hak pada individu (manusia) dan adanya kewajiban

pada pemerintah (negara). HAM pada individu menimbulkan kewajiban pada

pemeirntah atau negara untuk melindungi individu tersebut terhadap setiap

kemungkinan pelanggaran, termasuk pelanggaran dari negara atau aparat

pemerintah sendiri.35

34

Ibid, hal. 48.

35

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana

Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 47-48

Meskipun rumusan pasal-pasal KUHAP tidak secara jelas merumuskan

tentang HAM untuk tersangka dan terdakwa, namun sikap batin (spirit) peraturan

perundang-undangan ini menolak pelanggaran HAM dalam setiap tahan dari

sistem peradilan pidana (criminal justice system).

Secara implisit, KUHAP telah mengatur Hak-hak tersangka/ terdakwa

(43)

1. Hak segera mendapatkan pemeriksaan.36

Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal ini adalah

untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katungnya nasib seorang yang

disangka melakukan tindak pidana terutama mereka yang dikenakan

penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan sehingga

dirasakan tidak adanya kepastian hokum, adanya perlakuan

sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan peradilan yang

dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ini berdasarkan pada

Pasal 50 KUHAP.

2. Hak diberitahukan dengan bahasa yang dimengerti.37

Pengertian atau pemahaman terhadap penggunaan bahasa menduduki

posisi yang penting terhadap proses hokum. Mulai penyelidikan hingga

penuntutan, seorang tersangka atau terdakwa berhak untuk diberitahukan

dengan bahsa yang dimengerti oleh tersangka atau terdakwa tersebut. Hal

ini diatur dalam Pasal 51 KUHAP. Dengan diketahuinya serta dimengerti

oleh orang yang disangka melakukan tindak pidana tentang perbuatan apa

yang sebenarnya disangka telah dilakukan olehnya, ia akan merasa

terjamin kepentingannya untuk mengadakan persiapan dalam usaha

pembelaan. Dengan demikian, ia akan mengetahui berat ringannya

sangkaan terhadap dirinya sehingga selanjutnya ia akan dapat

mempertimbangkan tingkat atau pembelaan yang dibutuhkan.

36

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 50.

37

(44)

3. Hak memberikan keterangan secara bebas.38

Hak ini diatur dalam Pasal 52 KUHAP, yaitu "dalam pemeriksaan pada

tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak

memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim".

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa supaya pemeriksaan dapat

mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya,

tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu

wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau

terdakwa.

4. Hak mendapatkan juru bahasa.39

Ketentuan hak untuk mendapatkan juru bahasa diatur dalam pasal 177 dan

178 KUHAP. Ketentuan yang sama terdapat dalam Pasal 53 KUHAP yang

menyatakan bahwa tidak semua tersangka terdakwa mengerti bahasa

Indonesia dengan baik, terutama orang asing, sehingga mereka tidak

mengerti apa yang sebenarnya disangkakan atau didakwakan. Oleh karena

itu mereka berhak mendapat bantuan juru bahasa.

5. Hak mendapatkan bantuan penasehat hukum.40

Hak bantuan hokum dimiliki setiap orang, khususnya orang tidak mampu

agar ia mendapatkan keadilan. Jaminan hak ini terdapat dalam standar

hokum Internasional dan Nasional sebagai bentuk pemenuhan hak dasar

yang telah diakui secara universal.

38

Ibid, Pasal 52

39

Ibid, Pasal 53, 177 & 178.

40

(45)

Hak bantuan hokum dijamin dalam Konstitusi Indonesia melalui UUD

1945, yaitu; Pasal 27 ayat (1); pasal 28D ayat(1); Pasal 28I ayat(1); dan

juga diatur dalam Pasal 17, 18, 19, dan 34 Undang-undang No39 tahun

1999 tentang HAM. Serta diatur juga oleh Pasal 54 KUHAP. Kemudian

ditegaskan dalam pasal 56 KUHAP, bantuan hokum menjadi kewajiban

khusunya terhadap tindak pidana tertentu.

6. Hak menghubungi penasihat hukum.41

Setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk menghubungi

penasihat hokum, apalagi yang bersangkutan diancam dengan hukuman di

atas 5 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 57 KUHAP sebagai berikut:

a. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak

menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan

undang-undang ini

b. Tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing yang dikenakan

penahanan berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan

negaranya dalam menghadapi proses perkaranya.

7. Hak menerima kunjungan dokter pribadi.42

Kesehatan jasmani dan rohani bagi tersangka atau terdakwa sangatlah

penting, sebab seseorang yang disangka atau didakwa melakukan

perbuatan pidana berpotensi mengalami gangguan kesehatan baik fisik dan

mental. Untuk itulah hak menerima kunjungan dokter pribadi sangatlah

manusiawi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 58 KUHAP.

41

Ibid, Pasal 57

42

(46)

8. Hak menerima kunjungan keluarga.43

Seorang tersangka atau terdakwa memerlukan motivator atau teman dalam

menghadapi kasusnya. Pada umumnya keluargalah teman terbaik sebagai

tempat curhat atau sekedar bermusyawarah dalam mencari jalan terbaik.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 60 dan 61 KUHAP

9. Hak menerima dan mengirim surat.44

Meskipun terdakwa atau tersangka dikekang kebebasannya dalam

berinterkasi dengan dunia luar, tersangka atau terdakwa masih memiliki

hak berkomunikasi dengan bebas melalui surat. Ia berhak menerima dan

mengirim surat sesuai dengan ketentuan berikut:

a. Tersangka atau terdakwa berhak mengirim surat kepada penasihat

hukumnya, dan menerima surat dari penasihat hukumnya dan sanak

keluarga setiap kali yang diperlukan olehnya, untuk keperluan itu

bagitersangka atau terdakwa disediakn alat tulis menulis.

b. Surat menyurat antara tersangka atau terdakwa dengan penasihat

hukumnya atau sanak keluarganya tidak diperiksa oleh penyidik,

penuntut umum, hakim atau pejabat rumah tahanan Negara kecali jika

terdapat cukup alasan untuk diduga bahwa surat menyurat itu

disalahgunakan

c. Dalam hal surat menyurat untuk tersangka atau terdakwa itu ditilik

atau diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim atau pejabat

rumah tahanan Negara, hal itu diberitahukan kepada tersangka atau

43

Ibid, Pasal 60 dan 61.

44

(47)

terdakwa dan surat tersebut dikirim kembali kepada pengirimnya

setelah dibubuhi cap yang berbuni "telah ditilik"

10.Hak menerima kunjungan rohaniawan dan diadili secara terbuka untuk

umum.45

Seorang tersangka atau terdakwa berpotensi mengalami gangguan secara

psikis, sebab ia dihadapkan pada persoalan yang membelenggu

kebebasannya. Oleh karena itu, ia membutuhkan terapi yang dapat

menenangkan pikirannya. Pasal 63 KUHAP memberikan kepada tersangka

atau terdakwa hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari

rohaniawan. Dan juga tersangka atau terdakwa berhak diadili secara

terbuka di Pengadilan. Ini ditujukan agar semua pihak dapat mengetahui

apakah yang disangkakan atau didakwakan kepada orang tersebut terbukti

atau tidak.

11.Hak mengajukan saksi yang menguntungkan.46

Tersangka atau terdakwa berhak mengusahakn dan mengajukan saksi dan

atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan

keterangan yang menguntungkan bagi dirinya. Pada umumnya, pihak

penyidik atau penuntut umum tidak memberikan informasi yang jelas

bahwa tersangka atau terdakwa bahwa ia memiliki hak mengajukan saksi

yang menguntungkan.

12.Hak menuntut ganti kerugian.47

45

Ibid, Pasal 63

46

Ibid, Pasal 65

47

(48)

Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 95 KUHAP. Tersangka atau terdakwa

dapat menuntut pihak kepolisian dan kejaksaan sebagai akibat kealpaan

mereka.

13.Hak memperoleh rehabilitasi.48

Rehabilitasi dalam proses perkara pidana lebih cenderung memberikan

makna pemulihan nama baik. Hak memperoleh rehabilitasi ini diatur

dalam Pasal 97 KUHAP. Menurut pengertian rehabilitasi Pasal 1 butir 22

KUHAP, rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan

haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang

diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena

ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan UU atau

karena kekeliruan mengenai orangnya atau hokum yang diterapkan

menurut cara yang diatur dalam UU.

48

(49)

BAB III

PEMBERITAAN TINDAK KRIMINAL DIKAITKAN DENGAN HAM

A. Pemberitaan Tindak Kriminal dalam Perspektif Undang-undang tentang

Pers

Pengertian pers secara umum adalah lembaga sosial (social institution)

atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem

pemerintahan negara di mana pers beroperasi, bersama-sama dengan subsistem

lainnya. Pers dalam arti sempit meliputi media massa cetak seperti surat kabar,

majalah tabloid, dan sebagainya, sedangkan dalam arti luas, pers meliputi media

massa cetak elektronik, antara lain radio siaran dan televisi siaran, sebagai media

yang menyiarkan karya jurnalistik.49

49

Ahmad Kurnia El-Qorni, Komunikasi Politik, http://www.manajemenkomunikasi. blogspot.com, Diakses Tanggal 5 Agustus 2011.

Pers di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999

Tentang Pers. Pengertian pers terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Pers, yaitu: “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang

melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,

menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,

suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk

lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis

(50)

Kemerdekaan pers adalah kebebasan yang dibarengi dengan

kewajiban-kewajiban. Tuntutan kebebasan tersebut harus pula memikul kewajiban atau

tanggung jawab tertentu sehingga kebebasan pers berlaku tanpa batas42. Maksud

dan tujuan kebebasan pers Indonesia adalah menciptakan pers yang sehat, yaitu

pers yang bebas dan bertanggung jawab guna mengembangkan suasana saling

percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dengan mekanisme

interaktif positif antara pers, pemerintah dan masyarakat.50

1. Landasan idiil

Menurut keputusan Dewan Pers Nomor 79/XIV/1974 pada tanggal 1

Desember 1974 yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan yaitu Mashuri, pers

nasional berpijak kepada enam landasan, yakni:

Landasan idiil adalah Pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak

diganti, suka atau tidak suka, pers nasional harus tetap merujuk kepada

Pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa,

sumber tata nilai, dan sumber segala hukum.

2. Landasan konstitusional

Merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan ketetapan-ketetapan

Majelis Perusyawaratan Rakyat (MPR) yang mengatur tentang kebebasan

berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pikiran, pendapat baik

lisan maupun tulisan. Pers nasional harus memiliki pijakan konstitusional

agar tidak kehilangan kendali serta jati diri dalam kompetisi era global.

50

(51)

3. Landasan yuridis formal

a. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pedoman bagi insan Pers dalam menjalankan profesinya adalah

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik

Jurnalistik. Bulan September tahun 1999, pemerintah Indonesia

mensahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun

1999 Tentang Pers.

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran

Siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak dan

bebas, memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat,

sikap, dan perilaku khalayak, maka Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2002 Tentang Penyiaran mengatur segala kegiatan siaran di dalam

media elektronik.

4. Landasan strategis operasional

Mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara

internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasioanal. Setiap

penerbitan pers harus memiliki garis haluan manajerial berkaitan erat

dengan filosofis, visi, orientasi, kebijakan dan kepentingan komersial.

5. Landasan sosio kultural

Pers Indonesia bukanlah pers liberal. Segala sikap dan perilakunya pers

Referensi

Dokumen terkait

setidak-tidaknya mendekati kebenaran, adalah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum pidana secara jujur dan tepat,

“Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari

Tujuan Dari hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap lengkapnya dari

Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu

Tujuan Dari hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap lengkapnya dari

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap- lengkapnya dari

Mencari Mencari kebenaran kebenaran materil.(kebenaran materil.(kebenaran selengkap-lengkapnya selengkap-lengkapnya dari dari suatu suatu perkara perkara pidana

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu