• Tidak ada hasil yang ditemukan

They (can also) Corrupt

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "They (can also) Corrupt"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Edi si Sept ember 20 0 5

ejak awal, SBY sudah men-dengungkan gerakan anti-korupsi sebagai fokus

perha-S

tian pemerintahannya. Langkah ini menaburkan harapan terbangunnya sebuah bangsa yang berfondamen pada kejujuran setiap pribadi yang terlibat di dalamnya. Namun demi-kian hal ini juga membangkitkan kembali sikap skeptis dan pesimis apakah mungkin gerakan ini men-jadi gerakan bersama, apalagi ka-lau bertanya apakah mungkin ko-rupsi diberantas di bumi Nusantara ini?

Beberapa minggu terakhir ini kita melihat dan membaca be-rita yang semakin meningkatkan pesimisitas masyarakat akan ke-mungkinan di atas. Sebuah depar-temen yang mengurusi “tata du-nia suci” sedang digoncang de-ngan penyelidikan kasus korupsi atas dana abadi umat. Ternyata tu-turan tidak berhenti di sana. Ada banyak lembaga agama lain yang tidak terlepas dari penyakit ko-rupsi. Pertanyaan spontan yang muncul, adakah lembaga agama yang tidak korupsi?

Di beberapa tempat, para pejabat yang disangka terlibat da-lam korupsi mendekati para to-koh agama untuk menenangkan umat yang mengusik jabatan dan diri mereka. Dan parahnya lagi dengan landasan “teologi maaf” para pemuka agama meminta umatnya memaafkan para pejabat yang dicurigai dan mengajak un-tuk memulai babak baru. Perasa-an tidak tega, “pekewuh” umat pun akhirnya menghancurkan

ke-E di t or i al

n his early period of governan-ce, SBY spoke out loud of anti-corruption movement as the

I

focus of his government. This step embedded an expectation for the construction of a nation founded by honesty of each individual in-volved. Nevertheless, it also eleva-ted skeptical attitude and pessi-mism of the possibility for this vement to be a collective one, mo-reover if we ask whether corrup-tion could be eradicated from this homeland.

In the last few weeks, we have seen and read news raising pessimism of the society of the above possibility. A department coping with the “sacred world order” is being shaken by the em-bezzlement case of public money. Apparently the talks did not just stop right there; there are nume-rous other religion institutions unable to release themselves from the virus of corruption. The ques-tion then raised spontaneously was “Is there any religious institution free from corruption?”

(2)

hendak baik mereka untuk membersihkan Nusantara dari “budaya” korupsi.

Bila pemuka agama sudah menjadi payung para koruptor di mana lagi masyarakat mengadukan kejahilan dan kerakusan manusia ini? Apakah kepa-da para penegak hukum? Bukankah mereka juga rapuh dan mudah patah? Mungkinkah ditegakkan kembali penegakan hukum pada penegak hukum? Sejauh mana agama, sebagai fenomena budaya men-jamin perilaku manusia menuju pada kesejahteraan bersama bisa berperan? Sejauh mana agama mampu dan berusaha mendengungkan wacana dan gerakan antikorupsi pada masyarakat/ umatnya?[]

M er ek a ( bi s a j u g a)

K or u ps i

Suhadi

yahdan, teka-teki banyak orang terjawab bulan Juni yang lalu. Meski telah lama

ba-nyak orang tahu ada ketidakberesan dalam

S

pengelolaan dana haji Depag, tapi hasil audit men-jadikan anggapan itu bukan lagi tebakan. Ada yang terkejut, ada juga yang biasa saja. Mereka yang

terkejut rata-rata bergumam apa benar

orang-orang yang acapkali menyerukan moralitas itu ju-ga melakukan korupsi. Sementara mereka yang bersikap biasa saja menganggap Depag bukanlah “tahta suci”, tapi “hanya” sebuah birokrasi negara yang tidak jarang sulit menghindari budaya

biro-krasi pada umumnya, mark-up dana proyek.

Bahkan mereka yakin, jangan-jangan penyele-wengan dana ummat tidak hanya Rp 216 milliar, sebagaimana audit atas beaya penyelenggaraan haji 2002-2005. Siapa yang bisa menjamin kalau proyek pengadaan buku, proyek tempat ibadah, proyek per-nikahan dan proyek kerukunan bebas dari korupsi. Lebih dari itu, kalau sementara ini baru ditemukan korupsi atas dana ummat Islam, apakah benar dana yang menyangkut umat Kristen, Katholik, Hindu dan Buddha juga tidak dikorupsi oleh para birokrat yang mewakilinya. Kalau demikian keadaannya, ti-daklah perlu masghul, para penganut agama yang tidak ”terwakili” di Depag. Pada kenyataannya para penganut Sapta Dharma, Parmalin, Subud, Kajang,

Fokus interfidei newsletter

this land from the “culture” of corruption is then marred.

If religious leaders have become the shields for corruptors, where else should people notify the ma-lice and greed of others? Are they to come to law enforcers? Are not these law enforcers also tenuous and breakable? Could we re-enforce the law to law enforcers? How far could religions, as a cultural phe-nomenon, play their role in assuring the decency of human behavior for a common welfare? How far are religions able to and moving in the efforts of ver-balizing anti-corruption discourses and movements to the society / their congregations?[]

T hey ( can al s o) Cor r u pt

Suhadi

he question of many was answered last June. Although the lot has identified for quite some

mayhem in the management of the

T

time the

Ministry of Religious Affairs' haj fund, the audit output made their thought no longer a speculation. Some were shocked; in the mean time, some others reacted normal-ly. Those who were quite shocked by the auditing output in average asked themselves if it is true that those people who very often yell of morality also commit corruption. Meanwhile, those who gave quite a normal reaction did not consider the Ministry of Religious Affairs as a “sa-cred throne”, instead “merely” as a state bureaucracy which at times find difficulties eluding the culture of bu-reaucracy in general: the marking-up of project funds.

(3)

Edisi September 2005 Opinion

Khonghucu, Kaharingan adalah ummat yang terhin-dar terhin-dari bobroknya birokrasi agama di negeri ini.

Ke mana dana korupsi itu mengalir? Mung-kin sebagian besar kita tidak kaget membaca berita bahwa dana itu dialirkan untuk biaya haji sejumlah menteri, tunjangan pejabat Depag, perjalanan dinas ke luar negeri, atau bagi-bagi THR untuk anggota Parlemen. Tapi pasti kita tidak terima membaca la-poran audit bahwa juga terjadi mark-up atas peng-adaan mushaf al-Quran sebesar Rp 700 juta. Subha-nallah…, kitab suci saja dikorupsi, apalagi… ???

Seorang teman, aktivis corruption watch di se-buah kabupaten, mengeluh dalam sese-buah acara. Me-ngapa dia tidak mendapatkan pembelaan dan duku-ngan dari kelompok agamawan. Lalu dia menyadari melalui acara itu, ternyata sudah terjadi pergeseran peran agamawan. Sebagian dari mereka tidak lagi ba-nyak peduli dengan urusan ummat atau publik. Kemu-dian dia urung berharap. Di sisi lain organisasi-organi-sasi besar keagamaan menjalankan program kampa-nye anti-korupsi dengan warna yang kering. Harapan-nya agama bisa menyelesaikan masalah yang sangat rumit dan pelik di negeri ini. Tapi, apakah mungkin organisasi-organsasi itu menyuarakan perang terha-dap korupsi, sementara banyak elitnya menjadi bagian dari masalah di dalamnya. Alih-alih (orang ber-)aga-ma menjadi jalan keluar ber-)aga-masalah, namun menjadi bagian dari masalah itu. Beberapa pekan lalu, sebuah stasiun televisi menayangkan drama orasi keagama-an. Dengan lantang perang terhadap korupsi diteriak-kan bersanding pekik asma keagungan Tuhan serta dzikir. Seperti biasa acara kolosal keagamaan seperti itu dihadiri, atau bahkan disupport, pejabat teras ne-gara. Nama-nama pejabat negara yang telah berjasa ikut disebut dengan lantang juga oleh sang tokoh. Berarti di situ ada tiga rangkaian ujaran atau semantik: pekik anti-korupsi, asthma keagungan Tuhan, dan na-ma-nama pejabat. Padahal semangat atau sikap mela-wan korupsi, misalnya yang dilakukan almarhum Ba-haruddin Lopa, tidak dari pekik apapun, termasuk atas nama Tuhan. Tapi dari kesadaran religi yang men-dalam.[]

K or u ps i S ebag ai M u s u h

B er s ama U mat B er i man

Abidin W akano

Where does this corrupted fund flow? Perhaps most of us were not shocked when we read the fund was channeled for the haj funds of numerous ministers, allowance for Ministry of Religious Affairs' employees, official travel abroad, or holiday bonus for Parliament members. Yet, for sure we do not read any audit report that there has been a mark-up on the provisioning of Koran mushaf amounting Rp 700 millions. Subhanal-lah…, even the holy book is corrupted, moreover … ???

A friend, an activist at a corruption watch in a regency, complained in one occasion: why he did not gain any justification and support from religionists. Then, he realized during our program in which he participated that there had been a shift in the role of religionists. Some of them no longer care about cong-regational or public matters. Thus, he did not put his expectation on them anymore. On the other side, ma-jor religious institutions implement anti-corruption programs with dry paints. His hope is that religions are able to solve the intricate and complicated pro-blems this country is facing. However, are those insti-tutions able to wage a war to corruption while many of their elites are taking parts in the corruption? Instead of becoming the egress from the problem, religions and religious people are becoming parts of the pro-blem. Several weeks ago, a TV station broadcast a religious oration drama.Loudly, a war against corrup-tion was yelled along with the cry of the name of God's majesty, as well as dzikir. As usual, such a reli-gious colosal occasion was attended, even supported by the country's government officials. The names of the officials contributing to the success were menti-oned loud by the organizer. It means that there are three series of statements or semantics: the cry of anti-corruption, the name of God's majesty, and the name of the officials. Whereas the spirit or attitude against corruption, comparable to what the late Baharuddin Lopa did, was not from any exclamation, including God's name, but from deep religious consciousness.[]

Cor r u pt i on as an E nemy

of Rel i g i ou s P eopl e

Abidin W akano

niversal human tithe always incline to hanif

(right and good) values, and religions are the

U

paths of righteousness and goodness (hanif).

(4)

itrah kemanusiaan universal senantiasa con-dong kepada nilai-nilai yang hanif (benar dan baik), dan agama-agama adalah jalan-jalan

ke-F

benaran dan kebaikan (hanif). Maka ketundukan dan kepatuhan manusia terhadap hukum-hukum Tuhan di da-lam agama-agama adalah suatu keniscayaan. Sebaliknya pelanggaran dan ketidak-patuhan terhadap-Nya merupa-kan sikap yang tidak sejati karena sikap ini merupamerupa-kan sikap yang menentang dan mengingkari eksistensi diri sendiri.

Mission sacre semua agama adalah emansipasi dan transformasi kemanusiaan universal. Konsekwensi logis-nya, ketundukan dan kepatuhan secara total kepada hukum atau norma di dalam agama-agama secara konsisten akan mendatangkan kemaslahatan dan kebahagiaan kepada kehi-dupan manusia itu sendiri, sebaliknya pengingkaran dan pe-langgaran terhadap hukum dan norma tersebut akan merusak kemanusiaan itu sendiri dan mendatangkan kemudharatan serta kesengsaraan di dalam kehidupannya.

Sebagai Khalifatullah di muka bumi, manusia mem-punyai free will (kebebasan) untuk menentukan pilihan, baik atau buruk. Perbuatan baik mempunyai efek baik dan per-buatan tidak baik juga punya efek tidak baik. Untuk itu sudah menjadi sunnatullah bahwa apapun yang menimpa kehidup-an mkehidup-anusia dkehidup-an lingkungkehidup-annya adalah karena ulah mkehidup-anusia itu sendiri. Kerusakan-kerusakan yang terjadi di darat dan laut, baik yang dilakukan secara pribadi atau secara kolektif, efeknya bukan hanya menimpa pelakunya sendiri tetapi juga menimpa orang lain. Karena kerusakan-kerusakan terhadap alam akan mengganggu keseimbangan kosmis, yang meru-pakan sumber hidup bagi sesama, atau menyangkut hajat hidup orang banyak. Pada konteks yang sama pengrusakan terhadap sistem sosial, seperti politik, budaya, dan ekonomi oleh seseorang atau kelompok tertentu pasti akan merusak pula tatanan kehidupan orang lain.

Korupsi sebagai sebuah penyakit sosial yang sedang melanda hampir seluruh segmen masyarakat kita. Korupsi telah merusak sistem sosial serta menimbulkan sejumlah permasalahan yang sangat pelik dan kompleks. Misalnya meningkatnya angka kemiskinan, terputusnya pendidikan anak usia sekolah, serta meluasnya tingkat kriminalitas dan kekerasan, telah membentuk lingkaran kekerasan (spiral of violence) di tengah-tengah kehidupan kita. Bukan hanya itu, korupsi pun telah merusak tatanan hukum dan budaya kita. Misalnya seorang koruptor dengan kemampuan uang dan kekuasaannya untuk menyuap aparat penegak hukum, telah memaksa para penegak hukum agar berbohong, efeknya hu-kum pun dimanipulasi. Sedangkan orang kecil/ rakyat kecil yang tidak punya kemampuan membayar aparat penegak hukum susah mendapatkan keadilan hukum. Untuk itu, bu-kan hal yang unik lagi di negara ini ketika rakyat kecil yang tak berdaya sering sekali memperoleh perlakuan hukum secara tidak adil, baik sebagai pelaku maupun korban.

Kebohongan publik untuk melindungi para k o-ruptor bukan merupakan pemandangan yang asing lagi dalam keseharian kita. Lebih tragis lagi korupsi telah menjadi lahan bisnis bagi kelompok-kelompok terten-tu. Bahkan upaya-upaya perlindungan para koruptor ini

God's laws in their religions are a certainty. On the contrary, violation and disobedience to God's laws are impure attitudes for these attitudes are against and denying self-existence.

Sacred missions of all religions are the eman-cipation and transformation of universal humanity. As the consequence, total subordination and obedi-ence to laws or norms in religions are consistently going to bring happiness and benefit to the lives of the humans themselves, meanwhile denial and violation to those laws and norms are going to ruin humanity and bring apostasy as well as misery to their lives.

As caliph on the earth, humans have free will

(freedom) to choose goodness or badness. Good deeds have good effects and bad deeds have bad effects as well. For that, it is a common thing that whatever happens to humans' lives and their surro-undings is the consequence to what they have done. The devastations of land and sea, done solitarily or collectively, affect not only the perpetrators them-selves but also other people. This is due to the fact that devastations are going to disturb cosmic balance, which is the source of life for others, regarding the life of many people. Within the same context, the ruining of social systems, such as that of politic, culture, and economy by someone or a particular group is going to ruin other's life order.

Corruption as a social illness attacking almost all the segments in our society has ruined social order as well as incurred some intricate and complex pro-blems. For example, the increasing in poverty, the dropping out of schools, as well as the increasing in crime and violence rate. It has formed a spin of vio-lence in our lives. Moreover, corruption has also ruined our law and culture order. For example, a corruptor with his ability to bribe law enforcers with his power and money has forced them to lie; the mes-sage is that law can be manipulated as well. Mean-while, ordinary civilians who do not have the ability to pay the law enforcers cannot gain any justice. Thus, it is no longer peculiar to see powerless people being treated unfairly in this country, as perpetrators or victims.

Public lying to protect corruptors is no longer outlandish in our daily routine. More tragically, cor-ruption has become business field to particular groups. Even the protection efforts for these corrup-tors do not only bring business to mafia at the judicial system, but also become business for privates as well as give birth to private communalism in our society. In such a condition, a question of what essentially the

(5)

Opinion Edisi September 2005

bukan saja melahirkan bisnis bagi mafia-mafia persi-dangan, tetapi juga menjadi bisnis bagi para preman se-kaligus melahirkan komunalisme-komunalisme pre-man di dalam masyarakat kita. Dalam kondisi seperti ini, maka muncul pertanyaan, di manakah peranan agama-agama? Di mana penyuap dan disuap dalam konteks ini ada-lah orang-orang yang mengaku beragama dan beriman, bah-kan dalam kasus-kasus tertentu secara formal pelaku-pelaku korupsi ini kelihatan sangat religius atau memiliki kesalehan individual yang cukup tinggi.

Jika kita mengamati dan merenungkan secara men-dalam pelbagai efek dari tindakan korupsi di atas, sesung-guhnya merupakan salah satu faktor utama di negara ini yang mengakibatkan bangkrut dan hancurnya bangsa ini.

Semua efek negatif di atas telah menghancurkan ke-maslahatan, kebahagiaan dan masa depan bersama. Maka dapat dikatakan tindak korupsi adalah dosa sosial yang sa-ngat berat. Terkait dengan efek negatif korupsi sebagai tin-dakan pengkhianatan, penghinaan dan penghancuran kepa-da kemanusiaan, maka tinkepa-dak korupsi kepa-dapat dikategorikan sebagai kekerasan kemanusiaan terbesar di negara ini. Se-bagai dosa sosial yang menghancurkan pelSe-bagai tatanan ke-hidupan masyarakat, tindak korupsi juga juga akan mem-buat pelakunya terasing dan terhina dalam pandangan Tu-han dan manusia.

Kekuatan etik-spiritual yang dimiliki oleh agama-agama pada dasarnya mempunyai peran yang sangat stra-tegis untuk mengajak umat beriman berserah diri secara elegan dan sejati menuju ampunan Tuhan, dengan menya-dari bahwa tindak korupsi yang dilakukan sebagai keke-rasan sosial telah merusak kebahagiaan bersama.

Namun proses pertobatan sejati sebagai seorang koruptor tidaklah cukup dengan memohon ampun kepa-da Tuhan, melainkan harus disertai dengan kesediaan moral secara tulus dan ikhlas untuk mengembalikan se-gala yang diambil secara tidak halal dan legal kepada negara atau pemiliknya (masyarakat), serta sikap ber-tanggung jawab atas perbuatannya dengan mematuhi hukum yang berlaku. Karena korupsi seperti yang telah dikemukakan di atas adalah dosa sosial, di mana peng-ampunan dari Tuhan sangat terkait dengan pengpeng-ampunan dari manusia (korban) dengan cara melakukan rekonsili-asi sesama dan recovery/ rehabilitrekonsili-asi terhadap dampak-dampak negatif korupsi terhadap korban atau masyara-kat.

Peran strategis agama-agama dalam hal ini yaitu membangun dialog secara intensif dalam aliansi bersama antarumat beriman untuk melawan korupsi. Karena ko-rupsi adalah musuh bersama semua agama, dan menjadi sumber dari pelbagai bentuk keresahan dan kekerasan di dalam masyarakat. Maka upaya-upaya perlawanan terha-dap korupsi di negara ini menjadi suatu kewajiban secara kolektif dari seluruh komponen bangsa. Dengan kesadar-an dkesadar-an tkesadar-anggung jawab ykesadar-ang tinggi korupsi harus dilawkesadar-an dan diberantas dari kehidupan kita sehari-hari.

Karena korupsi di negara ini sudah mewabah

role of religions is occurs. The ones bribing and being bribed in this context are people saying that they are religious people, that they embrace a religion, even in some particular cases the perpetrators look so religi-ous, having high individual piety.

If we observe and muse deeply about the im-pacts from the aforementioned corruption action, it is actually one of the main factors making this country bankrupt and ruined.

All those negative impacts have ruined the hap-piness, benefit, and lives of the people. Thus, we can say that corruption is an enormous sin. In regard to the negative impacts of corruption as actions of betrayal, abuse, and destruction to humanity, we can categorize corruption as the biggest violation to humanity in this country. As a social sin destructing diverse social life orders, corruption is going to degrade and segregate the perpetrators from God and others.

Ethic-spiritual authority owned by religions basically has a strategic role in bringing about re-ligious people to subordinate themselves gracefully and purely to God's forgiveness, with consciousness that the corruption committed as a social violence has ruined the happiness of people.

However, a pure repentance process from a corruptor does not only concern his relation with God, but also has to be followed by an action to return what he has taken illegally to the country or to the owner (society), sincerely with all his heart and soul. He also has to be responsible for what he has done, recognizing his punishment in proportion to the law. This is due to the fact that corruption, as mentioned above, is a social sin, whereas the forgiveness from God is very much related to the forgiveness from the victims by means of reconciliation with others and recovery/ rehabilitation of the negative impacts of corruption to the victims or society.

The strategic role of religions in this context is to build a dialogue intensively in alliance with religi-ous people to fight corruption. As corruption is an enemy to all religions and is a source of various kinds of violence and restlessness in the society, efforts to fight corruption serve as a collective obligation of all components in the nation. With high consciousness and responsibility, we have to fight corruption and do away with it from our daily lives.

(6)

Opini interfidei new sletter

dan menjadi bencana kemanusiaan yang implikasi-nya sangat kompleks yaitu meliputi semua dimensi kehidupan masyarakat, maka upaya-upaya perlawa-nan terhadap korupsi harus lebih operasional dan fungsional dalam bentuk komitmen bersama untuk mendukung korporasi dalam kebajikan, dan meno-lak pelbagai bentuk korporasi untuk kejahatan. Da-lam konteks ini gerakan bersama antar umat beri-man hendaklah didasarkan pada iberi-man dan panggilan hati nurani secara sejati. Komitmen seperti inilah yang mampu membuat korporasi anti korupsi antar umat beriman ini mampu memproteksi diri dari ke-pentingan kelompok dan keke-pentingan politik lain-nya.

Sikap moral untuk secara kooperatif dalam kebajik-an akkebajik-an mendatkebajik-angkkebajik-an kemakmurkebajik-an, kebahagiakebajik-an dkebajik-an ke-damaian, sedangkan korporasi di dalam kejahatan akan mendatangkan kekerasan dan kehancuran bagi kemanusia-an.

Apabila tidak ada sikap moral yang tinggi untuk me-merangi korupsi ini, maka realitas korupsi ini akan sema-kin mewabah dan memakan korban yang lebih banyak lagi. Efek yang ditimbulkannya pun sangat kompleks. Hal ini mengindikasikan bahwa kemiskinan dan kekufuran memi-liki hubungan sebab akibat. Secara sosiologis, orang/ ke-lompok yang korup adalah subyek kejahatan kemanusiaan. Mereka adalah penyebab timbulnya korban-korban di da-lam masyarakat.

“Kelaparan seorang anak manusia di bawah kolom jembatan, bukanlah karena bumi ibu pertiwi ini miskin, kematian anak/bayi dan ibu yang semakin meningkat bu-kanlah semata karena Sang ayah yang malas, penderitaan banyak warga kecil di gubuk-gubuk reot bukanlah karena mereka tidak berusaha dan bekerja, terputusnya pendidikan anak usia sekolah dari kalangan masyarakat yang tak mam-pu, bukanlah karena mereka lebih bodoh dari anak-anak orang kaya, melainkan semua itu karena korupsi yang me-renggut harapan, kebahagiaan dan masa depan mereka”.

Pelbagai problem sosial lainnya, tak dapat dipan-dang secara hitam putih dengan menyalahkan sang kor-ban. Melainkan dalam konteks ini, semua problem ke-manusiaan tersebut adalah harus dilihat sebagai akibat penindasan terhadap kemanusiaan oleh orang yang kuat atau orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan ter-hadap orang-orang yang lemah atau dilemahkan.

Dengan demikian, sebagai khalifah di muka bumi (Wakil Tuhan di bumi), kita memiliki fungsi dan peran untuk memakmurkan bumi ini secara bersama-sama ka-rena dengan demikian akan membuat rumah ke-Indo-nesia-an kita diliputi suasana masyarakat saling menya-yangi, mengasihi dan hidup damai, dimana keadilan dan kesejahteraan terbagi secara merata. Gerakan bersama antar umat beriman secara jujur dan adil di dalam mela-wan tindak korupsi merupakan prasyarat untuk mewu-judkan kemakmuran bersama. Karena di dalam

ke-operational and functional nature in the form of a collective commitment to support cooperation in righteousness, and resisting diverse forms of coope-ration for wickedness. Within this context, move-ments of religious congregation should be based on faith and pure call of consciousness. Such a commit-ment is what is able to make anti-corruption corpora-tion among religious congregacorpora-tion capable of protec-ting itself from group interests and other vested poli-tical interests.

Moral attitude for cooperative work in righte-ousness will bring prosperity, happiness, and peace, while corporation in wickedness is going to bring violence and destruction to humanity.

Should there be no high morality in the striving against corruption, this fraud is going to expand even more and victimize many more; the impacts it will cause will be extremely complex as well. This indica-tes that poverty and atheism has a causal link. Socio-logically, a corrupted person or group is a subject to humanitarian crime. They are the factors of victimi-zation in the society.

“The hunger of a child under the bridge is not due to poverty in our homeland; the increasing ma-ternal and infant mortality rate is not caused by lazi-ness of the fathers; misery of a lot of people in dilapi-dated shack is not because they do not try and work; dropping outs of kids from poor families are not be-cause they are more stupid compared to rich people's children; those are all because of corruption which takes away their hopes, happiness, and futures”.

Other social problems cannot be perceived me-rely in black and white by putting the holding the victims responsible. On the contrary, within this con-text all those humanitarian problems have to be seen as a consequence of oppression to humanity by influ-ential people or people having power and authority to commoners or emasculated people.

(7)

submit-ting only to the true goodness and righteousness, from and to whomever.[]

I N T E R F A I T H

I N S T I T U T I ON F OR

H U M A N I T A R I A N I N I

M A L U K U

B ack g r ou nd

he social conflict that raged for about four years in Maluku has brought about tragic

des-T

truction of the society on a massive scale. The conflict did not only destroy physical buildings, in-cluding public facilities and sttlements, but also social structures, moral values, and social relationship. As a result, communities are conditioned to experience prolonged trauma, and proceed in their daily lives in a segregated environment. Ironically, communities are segregated by religion, i.e. Islam and Christianity, as the conflict was triggered and sustained by religious issues, which are perceived as a sensitive aspect in Maluku.

Based on this reality, all efforts to support the development of a permanent and measured interfaith interaction process in Maluku becomes imperative. Starting out from this fact, since a year ago the ku Protestant Church (GPM, Gereja Protestan Malu-ku), the Maluku chapter of the Indonesian Ulama Council (MUI, Majelis Ulama Indonesia), and the Diocese of Amboina have taken the initiative in buil-ding a permanent and measured relationship, oriented towards a joint effort to cope with the impacts of the Maluku conflict.

W hat i s E L . A i . E m?

The implementing agency, which in this the Maluku Interfaith Agency for Humanity, was initi-ated and established by the three major religious agencies in post-Malino Maluku. They are GPM, the Maluku chapter of MUI, and the Diocese of Amboi-na. The three then formed a forum/ coordinating body to implement cross-religion coordination functions, and took the established agency under their wings and their joint authority. Directed by the forum/

cross-makmuran ke-Indonesia-an kita, martabat kemanu-siaan akan dijunjung tinggi, yaitu setiap orang tahu akan hak-haknya dan hak orang lain. Itulah pengeja-wantahan dari nurani yang hanif (benar dan baik), yang senantiasa eksis serta hanya tunduk dan patuh

kepada kebenaran dan kebajikan sejati, dari mana dan kepada siapapun.[]

L E M BA GA A N T A R I M A N

U N T U K K E M A N U S I A A N

M A L U K U ( E

L

. A

I

. E

M

)

L at ar bel ak ang

onflik sosial yang terjadi selama kurang lebih empat tahun di Maluku mengakibatkan kehan-curan yang tragis secara massif di masyarakat.

K

Konflik tersebut tidak saja merusak bangunan-bangunan fisik, fasilitas publik dan pemukiman, tetapi juga struktur sosial, nilai-nilai moral serta hubungan-hubungan sosial. Akibatnya, komunitas-komunitas di masyarakat meng-alami trauma berkepanjangan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka hidup dalam lingkungan yang terse-gregasi. Ironisnya,mereka tersegregasi menurut agama, khususnya Islam dan Kristen. Keadaan ini terjadi karena konflik tersebut dipicu dan diperpanjang oleh isu-isu agama, hal mana merupakan salah satu aspek yang sangat sensitif di Maluku.

Berangkat dari realitas tersebut, maka segala usaha untuk mendukung pengembangan sebuah proses interaksi antariman yang baik dan teratur di Maluku menjadi sebuah keharusan. Karena itu, se-jak tahun 2004, Gereja Protestan Maluku (GPM), Majelis Ulama Indonesia, cabang Maluku, Diosis Ambon mengambil inisiatif untuk membangun se-buah hubungan kerjasama yang berorientasi pada usaha-usaha bersama untuk mengatasi dan meng-hadapi situasi yang diakibatkan oleh konflik di Maluku.

A pa i t u E l . A i . E m?

Sesudah pertemuan “Malino” (= Malino, nama daerah di Sulawesi Selatan di sana pernah diadakan per-temuan yang diupayakan oleh pemerintah untuk memperte-mukan kelompok-kelompok yang bertikai bersama dengan tokoh masyarakat, pimpinan agama-agama dari Maluku), Gereja Protestan Maluku, Majelis Ulama Indonesia di Ma-luku dan Diosis Ambon mendirikan Lembaga Antariman

(8)

untuk Kemanusiaan Maluku. Lembaga ini adalah forum atau badan koordinasi yang berfungsi mengimplementasi kegiatan-kegiatan yang dirancang bersama. Mereka me-nempatkan forum ini di bawah “sayap” lembaga keagamaan masing-masing dalam kerjasama dengan kepengurusan yang tergabung antarlembaga tersebut. Lembaga ini memi-liki struktur sebagai berikut : a) Anggota Yayasan, 9 orang (masing-masing lembaga agama 3 orang); 1 direktur de-ngan fungsi rangkap sebagai anggota Yayasan; 4 orang ma-nager dan 4 orang staf (program, perkantoran, keuangan dan bidang informasi/dokumentasi). Menyadari bahwa lembaga ini masih baru, staf untuk ke-4 manager tersebut akan dileng-kapi kemudian. Saat ini ada rencana untuk memperluas lem-baga ini dengan melibatkan agama Hindu, Buddha, Konghu-cu dan denominasi-denominasi yang lain.

V i s i

Meningkatan kualitas kehidupan sosial, buda-ya dan ekonomi masbuda-yarakat sebagai manifestasi ketahanan komunitas agama-agama di Maluku.

M i s i

1. Mengorganize, membantu, memberdayakan dan

membangun ketahanan iman, ekonomi, sosial,

budaya komunitas agama-agama untuk

mengam-bil bagian secara indipenden dalam membangun Maluku dalam kaitan dengan konteks nasional.

2. Memperjuangkan dan membangun pembentukan

manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas dalam perspektif nilai-nilai kemanusiaan.

3. Mendinamiskan fungsi positif, kreatif, konstruktif interaksi antara berbagai komunitas agama.

S t r at eg i

1. Meminimalisir potensi konflik di Maluku melalui usaha-usaha manajemen dan resolusi konflik pada tingkat komunitas agama-agama yang ada di Maluku.

2. Membangun proses interaksi sosial, ekonomi dan budaya antara komunitas agama-agama yang ada di Maluku.

3. Membangun proses pemberdayaan komunitas yang produktif dan inovatif di Maluku dalam perspektif ekonomi, Hak Asasi Manusia, Gender dan persaudaraan.

4. Rehabilitasi psikhis, mental masyarakat akibat trauma konflik yang terjadi di Maluku.

5. Melakukan reorientasi dan revitalisasi dari system nilai yang adaptif serta dinamis dalam komunitas agama di Maluku.

A k t i v i t as

interfidei new sletter Potret

religion joint agency, an interfaith agency was esta-blished with the following structure: 9 board mem-bers (three memmem-bers from each founding agency); 1 director that doubles as board member; 4 managers, and 4 staff members (programme, office, finance, infodoc). Considering that the agency is in its infancy, staffing for the four managers will be done in future processes. Meanwhile, according to plans, the forum/ coordinating body will be extended to include Hindu-ism, BuddhHindu-ism, Konghucu and other denominations.

V i s i on

Increasement in the quality of community social, culture and economy life as the manifestation of Maluku religious community resistance.

M i s s i on

1. Organize, Assist, empower and develop faith, eco-nomy, social and culture resistance of religious community, thus religious community may parti-cipate independently in building Maluku in accord with national ideal.

2. To fight and to develop the establishment of the Indonesian quality as whole in the perspective of humanitarian value.

3. Dynamicize the establishment of functional, posi-tive, creative and constructive interactive between various religious comunities.

S t r at eg y

1. Reducing conflict potentials in Maluku through management and conflict resolution efforts in Ma-luku religious community level.

2. Build social, economy and culture interaction pro-cess between religious communities in Maluku. 3. Buld Community empowerment process in

Malu-ku through productive, innovative community economy and with Human rights, gender and neighborhood perspective.

4. Physic and mental rehabilitation in a conflict trau-matized society in Maluku.

5. Re-orientation and revitalization of adaptive and dynamic value system in religious community in Maluku.

A ct i v i t i es

I . I N S T I T U T I ON A L CA P A CI T Y B U I L DI N G

(9)

Snapshot Edisi September 2005

I . M eng embang k an k apas i t as I ns t i t u s i

- Clearing house

- Data base pluralism di Maluku - Perpustakaan

- Pengembangan studi melalui produksi multimedia, khusus dalam soal kampanye perdamaian dan pluralism

- Peningkatan staff (melakukan pelatihan, seminar dan magang)

I I . A . M e mb a n g u n P e r s e p s i B er s ama t ent ang i s s u -i s s u pu bl i k pas ca k onf l i k

- melakukan diskusi publik setiap minggu - diskusi terbatas tentang issu-issu pluralisme - mensosialisasikan informasi-informasi tentang

issu-issue pluralisme melalui media (cetak dan elektronik)

- mengembangkan pendidikan komunitas pluralism

B . M e m b a n g u n J a r i n g a n P l u r al i s me u nt u k A dv ok as i P er damai an

- Membangun kapasitas lembaga local untuk pe-layanan masyarakat yang lebih baik.

- Memperluas dukungan nasional dan internasi-onal.

I I I . P s i k ho-s os i al

Melakukan upaya penyembuhan trauma, stress yang di-akibatkan sesudah trauma serta menyampaikan kotbah-kotbah perdamaian.

R encana k e depan

Membangun Pusat Perdamaian dan Pluralism Indone-sia Timur

S t r u k t u r or g ani s as i P endi r i :

Dr. I. W.J. Hendriks (Ketua Sinode GPM)

Mgr. P.C. Mandagi, Msc (Uskup Ambon)

Idrus Effendi Toekan (Ketua MUI-Maluku)

P eng u r u s H ar i an

Direktur : Jacky Manuputty Manajer Perkantoran : Oliva Lasol Manajer Keuangan : Oliva Lasol Informasi/dokumentasi : Sven Loupatty

: Helena Rijoly

Manager Program : Abidin Wakano

- Data Base pluralisme in Maluku - Library

- Study development with multimedia production (Pluralism and peace campaign packages)

- Staff development/ In-house Training (Appren-tice, seminar, training).

I I . A . COM M ON P E R CE P T I ON B U I L D I N G O N P O S T -CON F L I CT P U B L I C I S S U E S

- Series of public discussion (weekly) - Limited studies in pluralism issues

- Distribution of information in mass media-prin-ted and electronic (essay and article publicati-on, newsletter etc.)

- Establish pluralism community college

B . B U I L D I N G P L U R A L I S M CA R E N E T WOR K F OR P E A CE A DVOCA CY

- Capacity building of Local institutions for a bet-ter public service

- Enlarging support from national and internati-onal level.

I I I . P S Y CH OS OCI A L

Trauma healing, post trauma stress, peace sermon

P l ans F or T he F u t u r e

Eastern Indonesia Peace And Pluralism Center

Or g ani z at i on S t r u ct u r e F ou nder :

DR. I.W.J. Hendriks (Moderator of GPM Synod), Mgr.P.C. Mandagi MSC (Amboina Bishop), Idrus EffendiToekan (Head of MUI Maluku)

Or g ani z at i onal S t af f i ng

(10)

B ank A ccou nt

Yayasan Lembaga Antar Iman untuk Kemanusiaan Maluku Bank Danamon ambon Diponegoro. Ac-count Number. 0040448011

A ddr es s

Jl. Ch. M. Tiahahu No. 17, Rt 003 - Rw 01

Kelurahan Amantelu Kecamatan Sirimau, Ambon Phone/fax: (0911) 342 643

Email:el-ai-em@yahoo.com

1. P A DA N G : P U T T I N G O F F P R E J U D I C E , H A R V E S T I N G R E F I N E -M E N T

n the last few years, various questions on the meaning and function of religions in context of

I

Indonesia have been raised. Religions, inclining to be 'a factor for conflict', also support and hope for the solving of the problem, e.g. the problems of mis-understanding, reticence, placing religion institution as a primary concern instead of its value, substance and meaning in societal life. In addition, righteous-ness claims are arising between one religion and others. This worsens plurality context within society. Such a reality impels religionists in particular and society in general to reconsider and examine what their religions teach them. Besides that, they would also like to be on familiar terms with and to compre-hend other religions. Within that frame of thoughts, Interfidei designed a Study of Religions program. This program provides an opportunity and accommo-dation for the society to understand themselves and others better.

Dian/ Interfidei institute Yogyakarta in coope-ration with PUSAKA Padang, held a Study of Reli-gions under the t h e m e “ P U T T I N G O F F PREJUDI-CE, HARVESTING REFINEMENT” which has been held on 15-17 July 2005 at Pangeran City Hotel, Padang. The study was preceded by a Studium Gene-rale, attended by some 100 participants from diverse backgrounds, and was carried out in one session. Ac-ting as sources are: Mr. Budhy Munawar-Rachman (Lecturer of Driyarkara and Paramadina Philosophy College, Jakarta), Mr. Qasim Mathar (Lecturer of Ushuluddin Faculty of

interfidei new sletter Kronik

Ketua Eksternal Program : Zakiyah Zamal Ketua Internal Program : Daniel Watti

Manella

Rek eni ng B ank

Yayasan Lembaga Antariman untuk Kemanusiaan Maluku Bank Danamon Ambon Diponegoro Nomor Account, 0040448011

A l amat

Jl. Ch. M. Tiahahu, no. 17/RT 003, RW 01

Kelurahan Amantelu Kecamatan Sirimau, Ambon Phone/fax. 62-911-342 643

Email : <el_ai_em@yahoo.com>

1. P A DA N G : M E N A N G GA L K A N P R A S A N G K A M E N U A I K E -A D-A B-A N

alam beberapa tahun terakhir ini, muncul ber-bagai pertanyaan tentang makna dan fungsi

D

kehadiran agama-agama dalam konteks Indo-nesia. Agama cenderung menjadi 'pokok persoalan' sekaligus tumpuan dan harapan bagi penyelesaian per-soalan tersebut. Misalnya soal kesalahpahaman, keter-tutupan, sangat mementingkan hal-hal yang sifatnya dogmatis doktriner, mementingkan institusi agama bu-kan subtansi nilai dan maknanya dalam kehidupan ber-masyarakat. Selain itu muncul klaim-klaim kebenaran an-tara satu agama terhadap agama lain. Keadaan ini sema-kin memperburuk konteks Pluralitas di masyarakat. Ke-nyataan tersebut mendorong para agamawan khususnya dan masyarakat pada umumnya

untuk melihat kembali dan mengkaji lebih jauh tentang ajaran agamanya. Di samping itu mereka pun ingin mengenal dan memahami agama-agama yang lain. Dalam kerangka berpikir s e p e r t i i t u l a h , I n t e r f i d e i merancang program Studi Agama-aga-ma. Program yang memberi kesempatan serta fasilitas ke-pada masyarakat untuk memahami 'diri sendiri' dan 'orang lain' secara lebih baik.

Institut Dian/ Interfidei Yogyakarta bekerjasa-ma dengan PUSAKA Padang, mengadakan Studi Agama-Agama dengan tema “MENANGGALKAN PRASANGKA MENUAI KEADABAN“ yang te-lah dilaksanakan pada tanggal 15-17 Juli 2005 di Ho-tel Pangeran City Padang. Didahului dengan acara Studium Generale, yang dihadiri kurang lebih 100

(11)

peserta dengan latar belakang yang berbeda-beda. Studium Generale dilakukan dalam satu sesi. Sebagai Narasumber adalah: Bapak Budhy Muna-war-Rachman (Dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Paramadina Jakarta), Bapak Qasim Mathar (Dosen Fak. Ushuluddin IAIN/UIN Ma-kassar), Bapak Maidir Harun (Dosen Fak. Adab IAIN Imam Bonjol Padang) dan sebagai moderator Bapak Darto (PU-SAKA Padang), semua pembicara memaparkan maka-lah mereka secara singkat, dilanjutkan dengan tanya jawab. Studium Generale tersebut dimaksudkan supa-ya tema program ini secara mendasar dapat dikaji dan dipahami bersama, sehingga ketika masuk kelas mate-ri bisa semakin terfokus pada pengalaman dan refleksi dari masing-masing agama. Hari berikutnya dilanjutkan dengan studi kelas dengan jumlah peserta 45 orang, yang terdiri dari berbagai elemen antara lain: LSM, Aktivis Kampus, Tokoh Agama, Tokoh Masya-rakat, dan Dosen. Sebagai pembicara hari pertama Ba-pak Zakaria Ngelow (Kristen), Tri Widiyanto (Bud-dha), Bapak DR. H Saifullah (Islam) dan sebagai Mo-derator Ibu Elga Sarapung (Interfidei). Hari kedua se-bagai pembicara bapak I Nyoman Sadra (Hindu), Pas-tor Carlos Melgares S.X (Katholik) sebagai moderator Bapak Windy Subanto (PUSAKA).

Kegiatan ini diakhiri dengan diskusi dan eva-luasi bersama. Adapun tindak lanjut dari kegiatan tersebut, akan diadakan pertemuan tanggal 17 agus-tus 2005, dan akan menggalang dana untuk pendi-dikan, sebagai koordinator Bapak Ma'rufin Ihsan, S.Ag. dan akan diadakan Advokasi jilbab ke waliko-ta dan sekolah-sekolah yang dipimpin oleh bapak Drs. Basrial Aidil. (X'tie)

2 . J ar i ng an K u l t u r al

ada awalnya gagasan adanya jaringan kul-tural ini muncul di kalangan kawan-kawan

P

Interfidei atas kerinduan semacam gerakan kultural di tengah rutinitas yang berlangsung. Ke-betulan pula beberapa kawan yang dulu aktif di Tikar Pandan sekarang secara formal terlibat dalam kegiat-an-kegiatan di Interfidei.

Pertemuan pertama pada awalnya dimaksudkan untuk merencanakan sebuah refleksi kultural bersama Zawawi Imron. Zawawi Imron, seorang sastrawan pe-santren dari Madura yang akan datang untuk sebuah acara refleksi kultural (sebuah kegiatan diprogramkan Interfi-dei). Untuk memperkaya eksplorasi dan refleksi, Inter-fidei kemudian menghubungi kawan-kawan, yang saat ini sebagian besar menjadi bagian dari Jaringan

Kul-Edisi September 2005 Chronicle

IAIN/ UIN, Makassar), Mr. Maidir Harun (Lecturer of Adab Facul-ty of IAIN Imam Bonjol, Pa-dang) and as moderator, Mr. Darto (PUSAKA, Padang). All the speakers presented their pa-pers concisely, subsequently followed by s discussion session. The Studium Ge-nerale was to elucidate the theme of the program able to be examined and understood by the participants, in order for the material to be focused in experience and reflection from each religion when they enter the class. The next day, the class study took place with 45 participants, comprising of diverse elements such as NGOs, campus activists, religious leaders, society figures, and lecturers. The speakers for the first day were Mr. Zakaria Ngelow (Christian), Tri Widiyanto (Buddhism), Mr. DR. H Saifullah (Islam), and Mrs. Elga Sarapung (Interfidei) as the moderator. The speakers for the second day were Mr. I Nyoman sadra (Hinduism), Pastor Carlos Melgares S.X (Catholic), with Mr. Windy Subanto (PUSAKA) as the mode-rator.

The study ended with discussion and evalua-tion with the participants. A meeting was arranged on August 17 2005 as a followup of the program. The meeting would serve as a means of fundraising for education, where Mr. Ma'rufin Ihsan, S.Ag. would act as the coordinator and a Jilbab Advocacy to the city mayor and to schools, coordinated by Mr. Drs. Basrial Aidil. ( X'tie )

2 . Cu l t u r al N et w or k

n the beginning, the thought of having this cul-tural network arose among friends in Interfidei as

I

there was a longing for a sort of cultural move-ment in the middle of their routine. It was also a coincidence that there were some friends active at Tikar Pandan who had been formally involved in Interfidei's programs.

(12)

tural ini. Dalam persiapan sebagian besar merasa terlalu dini untuk berbicara dan menampilkan diri sebagai bagian dari refleksi kultural. Pertemuan pertama akhirnya me-rekomendasikan proses saling mengenal terlebih dahu-lu untuk lahirnya sebuah kebersamaan dan kerjasama kultural. Rencana mengundang Zawawi, ditangguh-kan.

Sampai saat ini telah dilakukan sebanyak em-pat kali pertemuan. Penamaan 'Jaringan Kultural' bersifat sementara, 'meminjam' spirit yang menga-wali pertemuan ini. Peserta pertemuan bertambah dari berbagai komunitas maupun personal yang se-bagian besar berlatar belakang aktivitas seni maupun yang mempunyai concern terhadap budaya. Saat ini tercatat beberapa komunitas, seperti Komunitas Ti-kar Pandan, Teater Sangkal Pesantren Nurul Um-mah, Ashram Gandhi, Taize UKDW, Taize Seminari Kentungan, Gita Savana UIN Sunan Kalijaga, Sapta Dharma, Open Circuit Community. Setiap kali perte-muan ditentukan tema-tema pembicaraan berikutnya.

Pertemuan keempat, rencananya, akan membi-carakan konsep kolaborasi antar komunitas dan meng-eksplorasi kontekstualisasi musik dalam pengalaman ke-indonesia-an. Namun dalam diskusi sebagian besar peserta merasa perlu untuk mencari konteks

pergumu-lan bersama dengan mencari isu apa yang akan ditang-gapi baru kemudian membicarakan bentuk. Memfo-kuskan isu, akan membantu menemukan bentuk-ben-tuk kolaborasi potensi-potensi yang dimiliki masing-masing komunitas maupun personal dan tidak terjebak pada bentuk musik saja. Disepakati bahwa isu yang akan dibicarakan dalam pertemuan selanjutnya adalah “klaim-klaim kebenaran” dari berbagai golongan. Isu ini muncul berdasarkan pertimbangan sekaligus kepri-hatinan bahwa sebuah klaim kebenaran yang diwaca-nakan telah mempengaruhi bahkan menentukan kehi-dupan manusia. Bahkan seringkali, klaim-klaim kebe-naran ini telah mendiskreditkan/ diskriminasikan hidup manusia yang lain. Untuk pertemuan kelima nanti, di-sepakati melanjutkan seri diskusi tentang “klaim-klaim kebenaran”. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut di-selingi dengan ekspresi spontan dari peserta diskusi da-lam bentuk seni musik, puisi atau teater. Diharapkan pertemuan-pertemuan ini bisa membantu menghadirkan wacana kultural yang membebaskan. (Lian Gogali)

3 . Tamu dar i H ong k ong

erbagai fenomena keagamaan di Indonesia te-lah menarik perhatian Kelompok Kerja Kristen

B

dari Hongkong untuk mengunjungi Indonesia

interfidei new sletter Kronik

cultural cooperation. The plan to invite Zawawi was then postponed.

To date, there have been four meetings held. The naming of 'Cultural Network' is just temporary, 'bringing into play' the spirit that began this meeting. The number of participants of the meeting is incre-asing, they come from various communities or people from art activity background and those with cultural concerns. Currently, some communities are on our list, such as Tikar Pandan Community, Nurul Ummah Sangkal Pesantren Theatre, Ashram Gandhi, Taize UKDW, Taize Kentungan Seminary, Gita Savana UIN Sunan Kalijaga, Sapta Dharma, and Open Cir-cuit Community. For every meeting we would deter-mine the next discussion's theme.

The fourth meeting was planned to discuss intercommunity collaboration concept and explore contextualization of music in Indonesian experience. However, in the discussion most of the participants felt that they needed to first seek the context of what they face together by looking for what issues to res-pond, and only then start talking about the form. Focusing issue is going to help find the shapes of collaboration of potentials owned by each community or each person in order not to be entrapped only in the form of music. We then came to an agreement that the issue to be discussed in the next meeting is “Righte-ousness claims” from diverse groups. This issue arose based on the consideration as well as a concern that a written claim of righteousness has affected and even determined human life. Even these claims of righte-ousness have discredited / discriminated the lives of other people. For the fifth meeting, the discussion on “righteousness claims” was resumed. Those meeting were also alternated by the spontaneous expression of the participants in form of music, poems, or theatre performance. It is expected that these meetings are able to bring liberating cultural scriptures (Lian Gogali)

3 . G u es t s f r om H ong k ong

arious religious phenomenon in Indonesia has attracted the attention of a Christian work

V

group from Hongkong to visit Indonesia in an

(13)

Edisi September 2005 Cronicle

dalam kegiatan yang mereka beri label Cultural Expo-sure Trip to Indonesia. Kunjungan ini diikuti oleh dela-pan orang mahasiswa part-time Diploma di Sekolah Teology China dan tergabung dalam Graduates Chris-tian Fellowship of Hongkong. Kunjungan ini bertujuan untuk mengetahui pergesekan dalam kebudayaan, aga-ma, dan masyarakat Indonesia serta merefleksikan perspektif kekristenan dalam mentransformasi kehi-dupan kebersamaan.

Dalam kunjungannya ke Interfidei pada tanggal 4 Juli 2005, kelompok kerja ini terlihat sangat antusias menanyakan bagaimana hubungan antar agama di In-donesia, termasuk bagaimana Negara mengatur hubu-ngan antar agama ini dalam bentuk undang-undang, serta bagaimana posisi Interfidei sebagai lembaga dia-log merespon fenomena antar agama serta antara Ne-gara dan agama. Selain Interfidei dan pihak-pihak yang concern terhadap pluralisme, terdapat juga Komunitas Tikar Pandan, Ashram Gandhi, Interfaith Forum for Peace in Asia (IFPA), dan Komunitas Kong Hu Cu dari Solo. Terhadap berbagai komunitas tersebut, Kelom-pok Kerja Kristen mendiskusikan bagaimana masing-masing komunitas mengelola kepelbagaian yang ada dalam kelompok mereka sehubungan dengan identitas keagamaan pribadi mereka.

Diskusi yang diikuti sekitar 35 orang ini sangat menarik dan hampir 'lupa berhenti' kalau tidak meng-ingat waktu sudah larut malam. Antusianisme ini terli-hat dari kenyataan bahwa diskusi yang dimulai sejak pukul 19.00 wib dan direncanakan berakhir pukul 21.00 baru diakhiri pada pukul 23.00 WIB. Pada akhir-nya diskusi ini menyepakati bahwa kehidupan berdia-log yang melintasi batas budaya, agama, dan sebagai-nya akan membantu manusia

untuk memiliki imajinasi tentang kehidupan masa depan bersama. (Lian Gogali)

4 . S OR ON G

ada tanggal 15-18 Juni

2005 Interfidei beker-jasama dengan Yayasa

P

OYO Papua mengadakan kembali semiloka tentang “Pluralisme, Konflik dan Perdamaian” di Sorong, Papua. Kegiatan ini diikuti oleh 24 peserta dari berbagai daerah di seputar Sorong.

Setelah acara pembukaan para peserta menyam-paikan pengalaman mereka saat hidup di dunia mas-yarakat yang plural. Setelah menyampaikan aneka

friction in culture, religions, and Indonesian people as well as to reflect the perspective of Christianity in collective transformation of life.

During their visit to Interfidei on July 4 2005, this work group seemed very enthusiastic in asking what the interfaith relationships in Indonesia really are, including how Indonesia manages this inter-faith relationship in law, as well as the position of Interfidei as a dialog institution responding to inter-faith pheno-menon, and the relationship between state and reli-gions. Besides Interfidei and some organizations con-cerning pluralism, there are also communities like Ti-kar Pandan Community, Ashram Gandhi, Interfaith Forum for Peace in Asia (IFPA), and Confucianism Community from Solo. The Christian Working Group discussed how each community managed pluralism in their groups regarding their personal religious identity.

This discussion which was followed by some 35 people was extremely interesting and we almost forgot to end if not due to the fact that it was already late at night. This enthusiasm was demonstrated by the reality that the discussion commenced at 19.00 WIB and planned to end at 21.00; in reality it was wrapped up at 23.00 WIB. In the end this discussion concluded that a dialog of life, surpassing cultural, religion, and other boundaries is going to help people have imagination about collective life in the future (Lian Gogali)

4 . S OR ON G

n June 15-18 2005, I n t e r f i d e i i n

O

c o o p e r a t i o n w i t h OYO Foundation, Papua, reorganized a workshop on “Pluralism, Conflict and Peace” in Sorong, Papua. This activity was followed by 24 participants from the regions around Sorong.

After the opening ceremony, the participants shared their experience in living in a world of plural society. After sharing their experience, they attempted to bring forth their assumptions about pluralism, conflict, and peace. Their assumptions were sharpened by a roleplay and expanded by a range of understandings from the seminar. The

(14)

m a c a m p e n g a l a m a n m e r e k a m e n c o b a menyampaikan asumsi mereka tentang pluralisme, konflik dan perdamaian. Asumsi mereka dipertajam dengan role-play dan diperdalam dengan aneka pengertian dalam semi-nar. Adapun pembicara dalam seminar ini adalah Dr. Ismar-tana, SJ dari Konferensi Wali Gereja Indonesia, Samuel Asse Bless Direktur Yayasan “OYO PAPUA”, Dr. P.M. Laksono, MA. Kepala Pusat Studi Asia Pasifik, UGM, Muhammad Rida, SE., M.Si Pembantu Dekan I Fakultas Hukum UNAMIN SORONG, Pater Drs. Paul Titit, OSA., M.SC Komisi Pendidikan Keuskupan Manokwari Sorong. Di hari terakhir mereka bersepakat melanjutkan pertemuan ini dengan memilih Bp. John Russel sebagai koordi-natornya.

Langkah demi langkah pertemuan ini diwarnai oleh suasana yang hidup. Setiap peserta mempunyai semangat untuk mengajukan pertanyaan dan gaga-san untuk memperdalam materi yang sedang ber-langsung. Tidak jarang mereka berebut untuk minta waktu. Tiap titik waktu menjadi semakin berisi dan penuh makna. Gairah dan semangat ini sampai mem-buat Sam menitikkan air mata di akhir acara. Selamat melanjutkan perjuangan Anda kawan-kawan di Papua. (RA)

5 . S E M I L OK A : P l u r a l i s m e , K on f l i k , d a n P er damai an Di G or ont al o

ebijakan Otonomi Daerah disertai

K

pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung

(Pilkada) di Indonesia merupakan dua agenda yang dapat berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Un-tuk itu, dibutuhkan upaya unUn-tuk mengkaji secara menda-lam dampak-dampak yang akan dirasakan secara lang-sung bagi masyarakat yang majemuk.

Menjawab kebutuhan di atas, Interfidei bekerja-sama dengan lembaga Komite Mahasiswa dan Pemuda untuk Demokrasi (KOMPOS) Kota Gorontalo, meng-adakan seminar dan lokakarya yang dilaksanakan tanggal 6-9 Juni 2005. Bertempat di hotel Mega Zanur, Gorontalo. Seminar dan semiloka dengan tema “Plu-ralisme, Konflik, dan Perdamaian” diikuti oleh para peserta yang merupakan wakil dari berbagai

komu-speakers in the seminar are Dr. Ismartana, SJ from The Bishop Drs. Paul Titit, OSA., M.SC Education Commission of Manokwari Diocese Sorong. On the last day, wes Council of Indone-sia, Samuel Asse Bless as Director of “OYO PAPUA” Foundation, Dr. P.M. Laksono, MA., Head of Asia and the Pacific Study Centre, UGM, Muhammad Rida, SE., M.Si Deputy Dean I of the Law Faculty, UNAMIN SORONG, Pater approved of prolonged the dialog by electing Mr. John Russel as the coordinator.

In each step taken, this meeting was colored by lively situations. Each and very participant was very enthusiastic in asking questions and expressing ideas to expand the material discussed. They even often struggle for more time to speak, and thus, making each second more comprehensive and momentous. Such passion and spirit even brought about tears in Sam's eyes in the end of the program. Our friends in Papua, best of luck for your struggle! (RA)

5 . W O R K S H O P : P l u r a l i s m , Conf l i ct and P eace at G or on-t al o

he policy of Regional A u t o n o m y ,

T

s u b s e q u e n - t l y followed by the Local Chief Elections in Indonesia are two agendas having the poten-tials to bring about conflicts in m i d s t o f t h e s o c i e t y. Therefore, an effort to study the impacts experienced by pluralistic society profoundly is urgently required.

In answering the afore-mentioned need, Inter-fidei in cooperation with the Committee for Youth and Students for Democracy (KOMPOS) of Goron-talo, organized a seminar and workshop held June 6-9, 2005. The venue for this program was Mega Zanur Hotel, Gorontalo. These seminar and workshop under the theme “Pluralism, Conflict, and Peace” was fol-lowed by participants representing diverse religious communities, tribes, educati-onal institutions, journalists, and NGO activists in the city of Gorontalo.

The seminar was carri-ed out on June 6, presenting five speakers, i.e. Prof. Dr. Moch.

interfidei new sletter Kronik

(15)

nitas agama, suku, lemba-ga pendidikan, wartawan, dan aktifis LSM yang ada di kota Gorontalo.

Seminar yang dia-dakan pada tanggal 6 Ju-ni, menghadirkan lima orang pembicara: Prof. Dr. Moch. Machasin (Yogyakarta), Dr. Qasim Mathar (Makasar), Agus Subono (Jakarta). Sedang-kan kegiatan semiloka diikuti oleh 35 peserta dengan didampingi oleh 3 fasilitator yaitu Elga Sarapung (Yogyakarta), Noorhalis Madjid (Banjarmasin) dan Fadli Al’amri (Gorontalo).

Selama proses semiloka berlangsung, para pe-serta mengungkapkan kegembiraannya, karena ke-giatan ini baru pertama kalinya diselenggarakan di kota Gorontalo. Mereka berpendapat bahwa perjum-paan dan sharing dengan orang-orang dari latar bela-kang yang beragam seperti ini sangat dibutuhkan un-tuk agar dapat lebih saling memahami realitas perbe-daan dan kemajemukan yang ada dalam masyarakat di sekitar mereka. (Tri)

K OR U P S I

emua orang memiliki potensi untuk

mela-S

kukan tindak korupsi dalam bentuk apa pun juga. Selain karena ada kemungkinan, juga memiliki “bakat'. Artinya, pada diri setiap orang selalu ada dorongan untuk “mau mencoba” mela-kukan sesuatu, baik atau buruk, berisiko atau tidak berisiko, termasuk korupsi.

Persoalannya adalah, mengapa korupsi terja-di? Berikutnya, bagaimana bisa meminimalisir ke-mungkinan terjadi korupsi dan insya Allah meng-hentikannya?

Banyak orang melihat pada agama. Agama apa pun dianggap sebagai “filter” sekaligus “tem-pat” penampungan kesalahan karena korupsi. Aga-ma dianggap memiliki “kekuatan” khusus untuk me-nolong manusia agar tidak korupsi atau memaafkan mereka yang sudah terlanjur melakukan korupsi. Lalu, apakah agama juga “terlibat” korupsi?

Secara kelembagaan, Aga-ma terlibat korupsi. Paling tidak melalui orang-orang yang meng-aku beragama sebuah agama ter-tentu atau pun yang bekerja di lembaga-lembaga keagamaan: gereja,

Edisi September 2005 Reflection

Machasin (Yogyakar-ta), Dr. Qasim Mathar (Ma-kassar), Agus Subono (Jakar-ta). In the mean time, 35 parti-cipants were present in the work-shop, accompanied by 3 facilitators, i.e. Elga Sarapung (Yogyakarta), Noorhalis Madjid (Banjar-masin) and Fadli (Gorontalo).

During process of the workshop, participants revealed their happiness as it was the very first time such a program was ever carried out at the city of Go-rontalo. They believe that the meeting and sharing with people of diverse background, as what took pla-ce at that point of time, is significant for mutual un-derstanding of the existing divergence and pluralism reality in the society where they live. (Tri)

COR R U P T I ON

e, all human beings, have the

W

p o t e n t i a l t o commit corruption in any genre. In additi-on to the presence of opportunity, we all have the “aptitude” as well. It means that in every human being, there is always an encouragement to “attempt” doing an a c t i o n : g o o d o r b a d , treacherous or not; and it comprises corruption as well.

The problem then is why corruption takes pla-ce. How could we minimize the likelihood of the taking place of corruption, and by God's will, put a halt to it?

A lot of people look at religions. Religions any religion are regarded as the “filter” also the “bin” to contain mistakes as the impacts of corruption. Religi-ons are regarded as having an exceptional “strength” to help people not to corrupt or forgive those having corrupted. Therefore, are religions also “involved” in corruption?

Institutionally, religi-ons are involved in corrup-tion. At least, through peo-ple declaring their embra-cing a particular religion or those working in religious institutions: churches, mos-ques,

(16)

interfidei new sletter Agenda

Yayasan Dian/Interfidei

Dian/Interfidei Foundation

Ketua/Chairman : Eka Darmaputra, Ph.D, W akil Ketua/Vice Chairman : Dr. Djohan Effendi, Daniel Dhakidae

Ph.D, Sekretaris/Secretary : Elga Sarapung, Bendahara/Treasure : Zulkifli Lubis, Pelaksana Harian/Executive : Elga Sarapung (Direktur); Abidin Wakano (Diskusi/ seminar) ; Noegroho Agoeng, Tri Widiyanto, Suhadi, Lian Gogali, Sarnuji (Penerbitan/ Dokumentasi/ Perpustakaan); Syafa’atun Elmirzanah, Listia, Lian Gogali (Penelitian); Elga Sarapung, Suryanto (Pendidikan/ Pelatihan/ Lokakarya); Eko Putro Mardiyanto (Keuangan); Octavia Christiani, Sarnuji, Supriyanto, (Kesekretariatan/ Umum). Alamat/Address : Jl. Banteng Utama 59, Perum. Banteng Baru Yogyakarta, 55581-Indonesia Ph./ Fax.: 0274-880149, E-mail : dianinterfidei@yahoo.com. No. Rek: Yayasan DIAN-Interfidei, Bank BNI Cabang UGM, Capem Pasar Colombo, No.228.000601034.001

Demi Pengembangan Newsletter ini, kami terbuka terhadap saran dan kritik anda.

For the development of this New sletter, w e open to y our suggestions and critics.

masjid, departemen aga-ma, dan lain sebagainya.

Secara individu untuk kepentingan in-dividu, secara kelompok untuk kepentingan kelompok atau un-tuk kepentingan lembaga. Iro-nisnya justru yang melakukan adalah para pemuka atau pemimpin agama, yang bukan saja kaum awam tetapi juga pendeta, majelis jemaat, kyai, ustad. Me-reka yang oleh “kamus” umum tradisi sosial-budaya masyarakat Indonesia seharusnya menjadi teladan, panutan bagi warganya.

Pertanyaannya, apakah ada hubungan antara “korupsi dan agama”? Mengapa kalau orang mela-kukan tindak korupsi, secara spontan orang lain langsung menghubungkannya dengan agama? “Wah, sayang padahal kelihatannya dia sangat taat beraga-ma, rajin ke gereja, ke masjid, rajin shalat, berdoa, selalu bersedia membantu orang lain”, dan masih banyak seakan-akan memberi gambaran kuat betapa terkaitnya antara agama dan korupsi. Apa bentuk kaitan itu? Dimana fungsi agama untuk menjernih-kan keterkaitan itu?

Ada gurauan di antara teman-teman seperti ini…. “ya, kalau berniat korupsi, lepaskan agama dan jalani korupsi, kalau berniat beragama jangan korupsi jalani beragama”. Tetapi sekali lagi, beraga-ma yang bagaiberaga-mana? *Es*

A G E N DA

1. P er ay aan H U T k e-13 I ns t i t u t DI A N / I nt er f i dei :

- “Donor Darah untuk Kemanusiaan” tanggal

25 Agustus 2005

- Orasi Budaya dengan tema: “Takut Be-bas..?” tanggal 26 Agustus 2005

Department of Religi-ous Affairs, etc., whether individually for individual interests, or in groups for group or institutional ones. Ironically, those doing it are religious leaders, who are not just commoners, but also priests, vestries, kyais, and ustadz. Those by general “dictionary” of socio-culture tradition of Indonesian should be the examples for Indonesian people.

Now the question remains: is there no link between “corruption and religions”? Why do people always spontaneously link someone doing corruption to the religion s/he embraces? “Wow, it is a shame that he looks so religious, he goes to church, to mos-que really often, prays, always has the willingness to help others…”, and many other expressions as if it gives us illustration just how closely related religions and corruption are. What is the form of that link, then? What happens to religions' function to straighten this link?

There is a joke among my friends …. “If you mean to commit corruption, just let go of your reli-gion, but if you mean to be religious, do not commit corruption, embrace your religion well”. Yet, once more, what kind of religion embracing are we talking about? *Es*

A G E N DA

t h

1. 13 A nni v er s ar y of I ns t i t u t DI A N / I nt er f i dei :

- “Blood Donor for Humanity”, August 25, 2005

- Cultural Oration under the theme: “Fear of Freedom..?”, August 26, 2005

Referensi

Dokumen terkait

Dari kebijakan PT Senntosa Plastik Medan biaya yang diperlukan untuk mendistribusikan produk bijih plastik dan polybag sebesar 35.488.750,- sedangkan hasil analisis dengan

Jika biaya perolehan lebih rendah dari bagian Perusahaan atas nilai wajar aset dan kewajiban yang dapat diidentifikasi yang diakui pada tanggal akuisisi (diskon

Dari Tabel 4.9 di atas dapat dipaparkan bahwa dari 100 konsumen sebagai responden yang diambil sebagai sampel, sebanyak 2 orang atau 2% yang menyatakan sangat tidak setuju, sebanyak

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: (1) Buku ajar yang dikembangkan dapat menjadi salah satu referensi yang dapat digunakan

Seluruh gedung sekolah dibuat dari bambu (pasti lebih mirip kandang di Betlehem daripada Gereja Sathora!). Karena masih sore, kami duduk ngobrol dengan umat setempat,

Fahrudin Shofi , Pengaruh Kompetensi Kepribadian Guru Pendidikan Agama Islam Terhadap Prestasi Belajar Peserta Didik Kelas X pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama. Islam Di SMA

Pada prinsipnya tanggung jawab organ atau yayasan yang jatuh pailit sama saja seperti tanggung jawab pada yayasan dalam keadaan normal, Pertanggungjawaban organ

Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah teknik untuk mendukung proses pengambilan keputusan yang bertujuan untuk menentukan pilihan terbaik dari beberapa