• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIFITAS KOMBINASI PERASAN DAUN SIRIH (Piper betle L.) DENGAN PERANGKAP NYAMUK TERHADAP KEMATIAN LARVA Aedes aegypti, UPAYA PENURUNAN PENDERITA DBD DI DESA JOGOROTO KABUPATEN JOMBANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EFEKTIFITAS KOMBINASI PERASAN DAUN SIRIH (Piper betle L.) DENGAN PERANGKAP NYAMUK TERHADAP KEMATIAN LARVA Aedes aegypti, UPAYA PENURUNAN PENDERITA DBD DI DESA JOGOROTO KABUPATEN JOMBANG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS KOMBINASI PERASAN DAUN SIRIH

(Piper betle L.)

DENGAN PERANGKAP NYAMUK TERHADAP KEMATIAN

LARVA

Aedes aegypti

, UPAYA PENURUNAN PENDERITA DBD

DI DESA JOGOROTO KABUPATEN JOMBANG

Awaluddin Susanto1), Erni Setiyorini2). 1Prodi Analis Kesehatan, STIKES ICME Jombang

Email: awwaluddins@yahoo.com

2Prodi Analis Kesehatan, STIKES ICME Jombang Email: setiyorinierni@gmail.com

Abstract

Dengue is a serious infectious disease in Indonesia that is transmitted by Aedes Aegypti as a vector. The dengue vector can be eradicated by insecticide such as bio-insectiside. Bio-insectiside is natural insecticide that developed from plant extract, for example bio-insecticide from Betel leaf (Piper betle L). The aim of this research is to know the effectiveness of Betel leaf extract in 100% concentration to kill larvae of Aedes Aegypti, which compared with water. From this research, the morphology of Aedes Aegypti larvae which stucked in mosquito traps observed with microscope. There are 47 larvae that stucked in water and 27 larvae which stucked in extract. The mortality percentage of 62.9%. It means that extract of Betel leaf can make mortality of larvae more than 50% of sampel. The conclusion of this research are, the extract of Betel leaf (100%) effective to kill Aedes Aegypti larvae. This extract is recommended to developed as bio-insectiside aedes aegypti larvae.

Keywords: Betel Leaf; dengue; bio-insecticide

1. PENDAHULUAN

Demam berdarah masih menjadi penyakit infeksi serius di Indonesia. Penyakit ini ditularkan oleh suatu vektor yaitu nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk bersifat ”antropofilik” artinya lebih menyenangi menghisap darah manusia dibandingkan dengan menghisap darah hewan. Nyamuk yang menghisap darah adalah nyamuk betina, karena darah diperlukan dalam proses pematangan telur (Gunandini, 2006).

Penderita demam berdarah di Indonesia menempati tingkat ketiga dengan 110.043 kasus. Angka kematian menempati tingkat pertama dengan 2.861 kasus untuk Negara di kepulauan pasifik (susanto, 2007). Penyebab semakin meluasnya daerah DBD ini karena dampak globalisasi dan mobilisasi yang semakin tinggi (Hindra, 2005).

World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus demam berdarah tertinggi di Asia Tenggara. Dari jumlah keseluruhan kasus tersebut, sekitar 95% terjadi pada anak di bawah 15 tahun (Sembel,2009). Jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang terjangkit DBD pada tahun 2008 sekitar 355 kabupaten/kota (71,72%), tahun 2009 sekitar

384 kabupaten/kota (77,28%), tahun 2010 sekitar 400 kabupaten/kota (80,48%) dan tahun 2011 sekitar 374 kabupaten/kota (76,25%) dengan jumlah penderita DBD mencapai 65.432 kasus, sekitar 596 orang diantaranya meninggal dunia (Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2011).

(2)

Berbagai upaya pemberantasan demam berdarah melalui pencegahan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan metode 3 M (menguras, mengubur, menutup dan mengubur) dirasa masih belum efektif. Pemberian obat abate untuk memutus rantai perkembangbiakan nyamuk telah dilakukan tetapi prevalensinya masih tetap tinggi. Hal ini disebabkan adanya berbagai hambatan dalam pemberantasan demam berdarah diantaranya resistensi vector terhadap insektisida, berbagai cara telah dilakukan dalam pengendaliannya. Sampai saat ini hasilnya masih belum memuaskan.

Salah satu program pemberantasan vektor DBD adalah dengan menggunakan insektisida. Penggunaan insektisida sintetik (kimia) dikenal sangat efektif, relatif murah, mudah dan praktis tetapi berdampak negatif terhadap lingkungan hidup (Sudrajat, 2010). Dampak negatif tersebut diantaranya, kematian musuh alami dari organisme pengganggu, kematian organisme yang menguntungkan, mengganggu kualitas dan keseimbangan lingkungan hidup akibat adanya residu serta timbulnya resistensi pada hewan sasaran (Novizan, 2002). Pengendalian menggunakan insektisida nabati (bioinsektisida) dari ekstrak tumbuhan merupakan salah satunya. Famili tumbuhan yang dianggap merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah meliacea, annonaceae, astraceae, piperaceae dan rutaceae (Kardinan, 2002).

Sirih (Piper betle L.) merupakan tanaman obat yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Tanaman ini mudah didapat, dan sering ditanam di pekarangan rumah sebagai tanaman hias. Daun sirih hijau (Piper betle L.) termasuk dalam family piperaceae (sirih-sirihan) yang mengandung minyak atsiri dan senyawa alkaloid (Nugroho, 2003). Senyawa-senyawa seperti sianida, saponin, tanin, flavonoid, steroid, alkanoid dan minyak atsiri diduga dapat berfungsi sebagai insektisida (Aminah, 1995).

Beberapa hasil penelitian-penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk membuktikan penggunaan ekstrak daun sirih sebagai insektisida. Salah satunya oleh Widajat, dkk (2008) tentang Dosis Insektisida Ekstrak Daun Sirih (Piper batle) terhadap Culex sp dengan potensi 50% menunjukkan bahwa dari ekstrak daun sirih (Piper batle)

memiliki efek insektisida terhadap nyamuk Culex sp. Dengan potensi 50% dicapai pada dosis 5.104 ppm dengan waktu 15 menit.

Keberhasilan perkembangan nyamuk Aedes aegypti ditentukan oleh tempat perindukan yang dibatasi oleh temperatur tiap tahunnya dan perubahan musim. Tempat yang disukai sebagai tempat perindukannya di genangan air yang terdapat dalam wadah (kontainer) tempat penampungan air artifisial misalnya drum, bak mandi, gentong, ember, dan sebagainya: tempat penampungan air alamiah misalnya lubang pohon, daun pisang, pelepah daun keladi, lubang batu ataupun bukan tempat penampungan air misalnya vas bunga, ban bekas, botol bekas, tempat minum burung dan sebagainya (Fathi dkk, 2005). Beberapa tempat yang disukai nyamuk untuk perindukannya adalah botol bekas, sehingga limbah botol dapat dimanfaatkan sebagai perangkap nyamuk.

Berdasarkan uraian di atas dapat dilakukan upaya pencegahan dengan jalan memotong siklus hidup nyamuk pada stadium larva dengan insektisida alami menggunakan perasan daun sirih dengan menggunakan perangkap botol bekas karena merupakan salah satu tempat yang disukai nyamuk untuk meletakkan telur pada air bersih dan di tempat gelap. Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui apakah perasan daun sirih (Piper betle L.) efektif terhadap kematian larva Aedes aegypti dengan perangkap nyamuk.

2. KAJIAN LITERATUR DAN

HIPOTESA

Nyamuk Aedes aegypti secara umum mempunyai klasifikasi (Womack,1993), sebagai berikut: Domain Eukaryota, Kingdom Animalia, Filum Arthropoda, Kelas Insect, Ordo Dipteral, Family Culicidae, Subfamily Culicinae, Tribus Culicini, Genus Aedes (Sudarto, 1972).

(3)

Corak ini merupakan sisi yang menempel di luar tubuh nyamuk. Corak putih pada dorsal dada (punggung) nyamuk berbentuk seperti siku yang berhadapan (Daniel, 2008).

Nyamuk termasuk serangga yang mengalami metamorfosis sempurna (holometabola) karena mengalami empat tahap dalam masa pertumbuhan dan perkembangan. Tahapan yang dialami oleh nyamuk yaitu telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa. Telur nyamuk akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari pada suhu 20-40°C. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva dipengaruhi oleh suhu, tempat, keadaan air dan kandungan zat makanan yang ada di tempat perindukan. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari dan pada kondisi ini nyamuk tidak makan tapi tetap membutuhkan oksigen melalui tabung pernafasan (breathing trumpet), kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari sehingga waktu yang dibutuhkan dari telur hingga dewasa yaitu 7-14 hari (Lestari, 2010).

Setelah kawin nyamuk dewasa betina memerlukan darah untuk bertelur. Nyamuk dewasa betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Nyamuk betina memerlukan 2-3 kali hinggap dan menghisap darah manusia (multiple biters). Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (pukul 08.00-12.00) dan sebelum matahari terbenam (pukul 15.00-17.00). Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang (Depkes RI, 2006; Natadisastra dan Agoes, 2009).

Nyamuk menyukai tempat yang lembab dan kurang terang, tempat istirahat Aedes aegypti. Dapat di dalam maupun di luar rumah berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat di halaman, kebun dan pekarangan rumah, benda-benda di dalam rumah seperti baju yang digantung, kelambu, tirai dan sebagainya. Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari, sedangkan di laboratorium mencapai 2 bulan. Nyamuk Aedes aegypti mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbangnya adalah pendek

yaitu kurang lebih 40 meter (Depkes RI, 2006; Natadisastra dan Agoes, 2009).

Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis), larva yang terbentuk berturut- turut disebut larva instar I, II, II dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernafasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax), perut (abdomen). Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-duri dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas yang disebut corong pernafasaan. Corong pernafasan tanpa duri-duri, berwarna hitam dan ada seberkas bulu-bulu (tuif). Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam satu baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air (Wibowo, 2007).

Nyamuk betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (08.00-10.00) dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00). Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari, sedangkan di laboratorium mencapai 2 bulan. Aedes aegypti mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun umumnya jarak terbangnya pendek yaitu kurang lebih 40 meter (Ridad, 2008, hal . 266).

(4)

sudah bergerak, nyamuk terbang menggigit orang lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan telurnya. Pada nyamuk perkotaan lebih suka menggigit pada waktu siang hari (90%) dan waktu malam (10%). Nyamuk desa hanya menggigit siang saja. Kejadian tersebut kemungkinan juga sinar lampu di perkotaan ikut mempengaruhi kebiasaan menggigit (Hasan, 2006).

Aedes aegypti suka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar kecil, maupun di dapur. Tempat istirahat Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat di halaman/kebun/pekarangan rumah. Juga berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah dan lain sebagainya (Natadisastra & Ridad Agoes, 2008, hal. 266).

Kebiasaan hinggap istirahat, lebih banyak di dalam rumah, yaitu benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap, dan tempat-tempat lain yang terlindung, juga di dalam sepatu. Keadaan inilah yang menyebabkan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi (Ditjen PPM & PL. 2001).

Secara bioekologis spesies nyamuk Aedes aegypti mempunyai dua habitat yaitu aquatic (perairan) untuk fase pradewasanya (telur, larva dan pupa), dan daratan atau udara untuk nyamuk dewasa. Walaupun habitat imago di daratan atau udara, namun juga mencari tempat di dekat permukaan air untuk meletakkan telurnya. Bila telur yang diletakkan itu tidak mendapat sentuhan air atau kering masih mampu bertahan hidup antara 3 bulan sampai satu tahun. Masa hibernasi telur-telur itu akan berakhir atau menetas bila sudah mendapatkan lingkungan yang cocok pada musim hujan untuk menetas. Telur itu akan menetas antara 3–4 jam setelah mendapat genangan air menjadi larva. Habitat larva yang keluar dari telur tersebut hidup mengapung di bawah permukaan air (Supartha, 2008).

Daun sirih (Piper betle L.) termasuk jenis tumbuhan merambat dan bersandar pada batang pohon lain. Tanaman ini panjangnya bisa mencapai puluhan meter. Bentuk daunnya pipih menyerupai jantung dan tangkainya agak panjang. Permukaan daun berwarna hijau dan licin, sedangkan batang pohonnya berwarna hijau tembelek (hijau agak kecoklatan) dan

permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut. Daun sirih hijau merupakan salah satu jenis tumbuhan terna memanjat yang termasuk famili piperaceae. Asal usul tumbuhan ini tidak diketahui pasti. Tanaman sirih tumbuh subur di sepanjang Asia tropis hingga Afrika Timur. Menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, Malaysia, Thailand, Srilanka, India, hingga Madagaskar (Rini, 2003).

Daun sirih mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri 1−4,2%, air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, B, C, yodium, gula dan pati. Dari berbagai kandungan tersebut, dalam minyak atsiri terdapat fenol alam yang mempunyai daya antiseptik 5 kali lebih kuat dibandingkan fenol biasa (Bakterisid dan Fungisid) tetapi tidak sporasid. Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap dan mengandung aroma atau wangi yang khas. Minyak atsiri dari daun sirih mengandung 30% fenol dan beberapa derivatnya. Minyak atsiri terdiri dari hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karbakrol, terpen, seskuiterpen, fenilpropan, dan tannin. Kavikol merupakan komponen paling banyak dalam minyak atsiri yang memberi bau khas pada sirih. Kavikol bersifat mudah teroksidasi dan dapat menyebabkan perubahan warna.

Minyak atsiri berperan sebagai anti bakteri dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna. Dalam kadar yang rendah maka akan terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis.

Beberapa penelitian ilmiah menyatakan bahwa daun sirih juga mengandung gula dan tanin. Biasanya daun sirih muda mengandung gula dan minyak atsiri lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua. Sementara itu, kandungan taninnya relatif sama. Selain itu sirih juga mengandung terpena, flavonoid dan saponin (Mulyono, 2003).

(5)

Eykman seorang ahli kimia pada masa penjajahan Belanda, melakukan upaya pemisahan minyak atsiri dari daun sirih (Piper betle L.). Usaha tersebut dilakukan di Kebun Raya Bogor pada tahun 1889. Setelah dipisahkan, ternyata sepertiga dari minyak atsiri tersebut terdiri dari phenol dan sebagian besar yaitu kavikol. Kavikol inilah yang memberi bau khas daun sirih dan memiliki daya pembunuh bakteri lima kali lipat dari phenol biasa. (Rini, 2003, hal. 12). Sedangkan phenol berfungsi untuk menanggulangi bau tidak sedap alias antiseptik. Senyawa pada alkaloid dapat digunakan untuk membasmi jentik nyamuk yang cara kerjanya mirip bubuk abate. Senyawa alkaloid ini bertindak sebagai stomach poison atau racun perut. Oleh karena itu, bila senyawa alkaloid dan flavonoid tersebut masuk ke dalam tubuh larva maka alat pencernaannya akan terganggu. Selain itu, senyawa tersebut menghambat reseptor perasa pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva tidak mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya sehingga larva mati kelaparan. Racun ini akan mempengaruhi metabolisme larva yang ada di dalam tubuh. Racun yang menyebar di aliran darah akan mempengaruhi sistem saraf larva dan menimbulkan kematian. Namun menurut penelitian Fahmi keefektifan daun sirih masih terdapat banyak kekurangan dibandikan temephos (abate), yaitu air masih berwarna, berbau dan berasa pahit.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di desa Jogoroto kecamatan Jogoroto kabupaten Jombang dan Laboratorium Mikrobiologi dan Parasitologi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah larva Aedes aegypti. Sampel dalam penelitian ini adalah larva Aedes aegypti yang terperangkap dalam alat perangkap nyamuk. Teknik sampling dengan incidental sampling.

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan data. Pada penelitian ini instrumen yang digunakan antara lain: Alat yang akan digunakan : Botol plastic bekas, Beaker gelas 250 ml, Saringan, Pinset, Mikroskop, Kresek berwarna hitam, Jam,

Gelas ukur. Bahan yang digunakan: Air, Daun sirih

Perangkap larva nyamuk diletakkan di rumah-rumah warga dusun jogoroto desa jogoroto kecamatan jogoroto dengan perangkap nyamuk yang berisi perasan daun sirih. Pemeriksaan ini dilakukan di laboratorium mikrobiologi dan parasitologi Prodi D-III Analis Kesehatan STIKes ICMe. Cara kerja:

1. Pembuatan perangkap nyamuk a. Memotong botol plastic bekas b. Menutup bagian samping botol

plastik bekas dengan perekat hitam. c. Meletakkan botol akua di tempat

yang gelap, agar nyamuk bertelur di botol plastik, telur menetas menjadi larva membutuhkan waktu antara 1-2 hari.

2. Perasan daun sirih

a. Daun sirih hijau diambil secara acak kemudian disortasi dan dicuci dengan air mengalir untuk membersihkan kotoran dan daun yang rusak, selanjutnya ditiriskan dan ditimbang 100 gram.

b. Menumbuk daun sirih menggunakan mortal dan ditambahkan 100 ml air. c. Menyaring perasan daun sirih tadi. d. Menyiapkan perangkap botol plastik

sebanyak 10 botol

e. Pada botol plastik ke 1-5 diisi dengan 100 ml air yang ditambahkan dengan 100 ml dari hasil perasan 100 gram daun sirih hijau atau sebanding dengan 100%. Sedangkan botol 6-10 hanya berisi air.

f. Identifikasi Angka kematian larva dihitung setelah 3x24 jam.

Pengumpulan data dilakukan dengan jalan identifikasi larva nyamuk dan perhitungan jumlah kematian nyamuk yang berada didalam alat perangkap nyamuk. Pengolahan data dilakukan setelah memasukkan data pada tebel yang sudah dipersiapkan, kemudian dilakukan analisa data. Analisa data menggunakan angka prosentase kematian larva nyamuk.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

(6)

morfologi dari larva Aedes aegypti mengamati dengan mikroskop. Data yang didapat setiap kelompok uji.

Tabel 1. Distribusi frekuensi Kematian Larva Aedes aegypti pada perangkap nyamuk dalam 3 x 24 jam

No./ rumah

Frekuensi kematian larva (Aedes aegypti)

Air Konsentrasi 100 %

Jumlah larva

Hidup Mati Jumlah

larva

Hidup Mati

1. 21 20 1 14 5 9

2. - - - -

3. - - - -

4. 14 14 - 13 5 8

5. 12 12 - - - -

Jumlah 47 46 1 27 10 17

Dari data yang diperoleh, terdapat 73 nyamuk Aedes aegypti yang terbagi atas 47 nyamuk terperangkap didalam perangkap nyamuk yang berisi air, dengan larva yang mengalami kematian sebanyak 1 larva. Sedangkan pada perangkap yang berisi ekstrak daun sirih sebanyak 27 larva dengan angka kematian sebanyak 17 larva. Dilihat kematian larva Aedes aegypti dalam 3x24 jam, pada perangkap berisi air setelah 3x24 jam terdapat larva yang mati sebanyak sebanyak 1 dari 47 larva dengan presentase 2,1% dan larva yang hidup sebanyak 46 dari 47 larva dengan presentase 97,8%. Sedangkan pada perangkap yang berisi ekstrak daun sirih larva yang mati sebanyak 17 larva dengan presentase sebesar 62.9%, sedangkan yang hidup sebanyak 10 larva dengan presentase sebesar 37.1%. Berdasarkan hasil dari penelitian ini daun sirih hijau dapat membunuh larva Aedes aegypti sebanyak 17 dari 27 larva. Merujuk dari hasil yang telah didapat, bahwa perasan daun sirih hijau dapat membunuh hampir setengah sampel larva Aedesaegypti.

Menurut peneliti, adanya kandungan zat kimia yang terdapat pada daun sirih seperti Alkaloid berfungsi menghambat metamorphosis, karena alkaloid ini bersifat asam. Saponin merusak membran sel dan mengganggu proses metabolisme, Kavikol memberi bau khas, sehingga zat-zat tersebut bisa menyebabkan kematian larva Aedes aegypti. Daun sirih memiliki kandungan senyawa tanin, steroid/terpenoid, flavonoid dan kuinon. Kandungan kimia minyak atsiri pada daun sirih yang terdiri dari fenol, hidroksi

kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karbakrol, terpen, seskuiterpen, fenilpropan, dan tannin.

Kavikol yang memberi bau khas pada sirih. Kavikol bersifat mudah teroksidasi dan dapat menyebabkan perubahan warna. Minyak atsiri berperan sebagai anti bakteri dengan cara mengganggu proses terbentuknya membran atau dinding sel sehingga tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna. Mekanisme fenol sebagai agen anti bakteri berperan sebagai toksin dalam protoplasma, merusak dan menembus dinding serta mengendapkan protein sel bakteri. flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat menyebabkan denaturasi protein maka proses metabolisme bakteri akan terganggu dan terjadi lisis yang akan menyebabkan kematian bakteri tersebut. Dilihat dari jumlah larva yang mati. Hal ini menurut peneliti dalam proses pengeluaran zat kimia pada daun sirih hanya menggunakan pelarut air sehingga belum mampu mengeluarkan kandungan kimia seperti kadar minyak atsiri, steroid, tannin, flavonoid, triterpenoid/saponin, alkaloid, dan kadar kandungan kimia tertentu. Senyawa-senyawa yang terkandung dalam daun sirih diantaranya adalah senyawa alkaloid, minyak atsiri dan tannin. Selain itu juga daun sirih mengandung senyawa fenolik glikosida, saponin dan terpenoida. Senyawa alkaloid merupakan senyawa yang dalam bentuk bebas merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut kimia.

(7)

Sirih (Piper betle L) terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti yang dilakukan didapatkan hasil rata-rata persentase mortalitas larva terendah terjadi pada konsentrasi 0,05% yaitu 58%, sedangkan yang tertinggi terjadi pada konsentrasi 0,2% dan 0,4% yaitu 100%. Mortalitas larva 100% pada konsentrasi 0,2% terjadi pada jam ke-16 waktu pengamatan, sedangkan pada konsentrasi 0,4% terjadi pada jam ke-4 waktu pengamatan. Ada perbedaan konsentrasi yang besar antara konsentrasi 0,2% dengan 0,4%, sehingga ekstrak daun sirih pada konsentrasi 0,4% dapat membunuh larva lebih cepat dibandingkan pada konsentrasi 0,2%.

Menurut teori nyamuk Aedes aegypti dikatakan dapat bertahan hidup apabila dapat mengalami perkembangan hingga tahap tertentu, beberapa faktor turut mempengaruhi ketahanan hidup nyamuk ini di antaranya suhu, pH air, perindukan, ketersediaan makanan, cahaya, kepadatan larva, lingkungan hidup, serta adanya predator. Menurut (Sayono. dkk, 2010) pH optimum dimana telur Aedes aegypti dapat menetas yakni 6,5-7, kalau terlalu asam atau basa pertumbuhan terhambat atau mati. Faktor suhu sangat mempengaruhi nyamuk Aedes aegypti dimana nyamuk dapat bertahan hidup pada suhu rendah (10ºC) tetapi proses metabolismenya menurun atau bahkan berhenti bila suhu sampai di bawah suhu (4,5ºC) pada suhu yang lebih tinggi dari 35ºC mengalami keterbatasan proses fisiologis. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk berkisar antara 25– 27ºC. Menurut (Cahyati & Suharyo, 2006) nyamuk dapat hidup dengan baik pada suhu 29ºC, serta akan mati pada suhu 6ºC selama 24 jam.

Menurut teori kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang dinyatakan dalam (%). Jika udara kekurangan uap air yang besar maka daya penguapannya juga besar. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa udara (trachea) dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk (spiracle). Adanya spiracle yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya. Pada saat kelembaban rendah menyebabkan penguapan air dalam tubuh sehingga menyebabkan keringnya cairan tubuh. Salah satu musuh nyamuk adalah penguapan, kelembaban mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat dan

lain-lain. Berdasarkan standar efikasi insektisida terhadap nyamuk dan serangga lainnya di dalam ruangan kelembaban harus berkisar antara 60%-80%.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa data yang telah dikemukakan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa perasan daun sirih hijau (Piper betle L.) efektif terhadap kematian larva Aedesaegypti.

REFERENSI

1. Agoes, Azwar, 2010, Tanaman Obat Indonesia, Buku 2. Jakarta Selatan: Salemba Medika.

2. Agus Aulung, dkk. 2010. ‘Daya Larvasida Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L) Terhadap Mortalitas Larva Aedes aegypti L. Majalah Kedokteran FK UKI, vol. XXVII, no. 1, h. 7-14.

3. Aminah, Sudrajat, 2010, Novizan, 2002, Kardinan, 2002, Nugroho, 2003 dalam Handayani, dkk, h.1-9. ‘Efektivitas Daun Sirih (Piper betle L) Sebagai Bioinsektida Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti

4. Damayanti Rini & Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab Dari Masa Ke Masa. Depok: PT Agro Media Pustaka.

5. Daniel, 2008,”Ketika Larva dan Nyamuk Menjadi Dewasa Sudah Kebal Terhadap

Insektida”, FARMACIA vol. 7, no. 7.

6. Derektorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehat Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia . Jakarta: Departemen Kesehatan Republik; 2006. Hal 2-15.

7. Gunandini, 2006 dan Cheng,1973; Christopher,1960 dalam Kardinan Agus, 2007, Potensi Selasih Sebagai Repellent Terhadap Nyamuk Aedes aegypti’. Jurnal littri, vol. 13, no. 2, h. 39.

8. Hadidjaja Pinardi & Gandahusada Srisasi. 2008. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(8)

L.) Sebagai Pengawet Alami (Kaian Suhu Dan Lama Waktu Ekstraksi).

10. Jacob Aprianto, dkk; Ketahanan Hidup Dan Pertumbuhan Nyamuk Aedes aegypti Pada Berbagai Jenis Air Perindukan; Jurnal e-Biomedik (eBM), vol 2, no 3. 11. Lela, dkk, 2010, ‘Efektifitas Biolarvasida

Ekstrak Etanol Limbah Penyulingan Minyak Akar Wangi Terhadap Larva Nyamuk Aedes aegypti, Culex sp, Dan

Anopheles’. Jurnal Sains Dan Teknologi

Kimia, vol. 1, no. 1, h. 59-69.

12. Lestari, 2010 dalam Emantis R. 2007.

‘Studi Tempat Perindukan Nyamuk Vector

Demam Berdarah Dengue Di Dalam Dan Di Luar Rumah Di Rajabasa Bandar

Lampung’. J. Sains MIPA, vol. 13, no. 1,

h. 57-60.

Gambar

Tabel 1. Distribusi frekuensi Kematian Larva Aedes aegypti pada perangkap nyamuk dalam 3

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah penderita Diabetes Mellitus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan keterlambatan diagnosa penyakit. Dan Indonesia sendiri menempati

Untuk mengetahui data dalam penelitian ini maka penulis menggunakan rumus statistik, untuk mengetahui bagaimana bakat dengan prestasi belajar santri digunakan rumus TSR

Dari survey yang telah kami lakukan, dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan analisis gap, dapat mempermudah General Manager dalam pengambilan keputusan untuk promosi jabatan

HUBUNGAN PENGETAHAN GIZI DENGAN ASUPAN ENERGI, PROTEIN, PHOSPHOR, DAN KALIUM PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DENGAN HEMODIALISIS RUTIN DI.. RSUD TUGUREJO SEMARANG Tika Yeni

Faktor-faktor yang menyebabkan siswa keliru dalam menyelesaikan soal-soal high order thinking diantaranya adalah kurang teliti dalam proses pengerjaan soal, kemampuan

Ambarwati, Denny Ramdhany, Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, Rajawati Pers, Jakarta,2009.. Effendi, Masjur, Moh Ridwan, Muslich

Hasil penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan Wilson (2010) yang memperoleh total populasi bakteri oligotrof di lahan gambut Cagar Biosfer GSK-BB yang

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan terdapat pengaruh model pembelajaran Learning Cycle 7E pada materi larutan penyangga terhadap hasil belajar siswa Kelas XI SMA N