COMPASSION FATIGUE BERKORELASI DENGAN MUTU PELAYANAN
KEPERAWATAN DITINJAU DARI SEGI KEPUASAN PELANGGAN
Anndy Prastya1), Ike Prafitasari 2), Hani Riska3), Suherman4) 1,2 Dosen Stikes Majapahit Mojokerto
3,4Perawat RSUD Sidoarjo email : 1anndyprastya@gmail.com
Abstract
Quality of health services is determined by the quality of nursing service. Need attention on nursing services in the Hospital. When the nurse experiences excessive physical and psychological problems, there is fatigue that can interfere with the performance of the nurse. Objective of this study was to analyze the level compassion fatique nurse with quality nursing service at emergency departement (ED) Sidoarjo Regional Hospital.This research used descriptive observational design with Cross Sectional approach. Compassion Fatique ED nurses as independent variables were studied with ProQoL questionnaire and nursing service quality as dependent variable were studied with nursing care quality questionnaire (RATER). This research used simple random sampling technique with total sample of 41 respondents nurses ED and 41 respondents patients. The data obtained were analyzed using spearman certification test.The results obtained almost all respondents had a low compassion fatigue that is 34 respondents (82.9%). While 23 (56,1%) respondents judge a good level quality of nursing service. The test result used spearman test obtained p value 0,028 (p> 0,05) and with result (r) = 0,861. This means that there was a significant and positive influence between compassion fatigue with the quality of nursing service in the ED Sidoarjo Regional Hospital.Stressors and job stress was some barriers to achieving a professional quality of life that will ultimately affected each other's performance.
Keywords : Compassion fatigue, quality of nursing service
1. PENDAHULUAN
Salah satu indikator keberhasilan dalam pelayanan Rumah Sakit yakni dengan rendahnya angka keterlambatan pelayanan pertama gawat darurat dan angka kematian di IGD masih dalam batas normal yaitu kurang dari 5%. Perawat merupakan komponen terbesar dalam unit pelayanan kesehatan, sehingga perubahan kualitas pelayanan dan proses keperawatan akan sangat dirasakan oleh konsumen. Ketidakpuasan yang dialami pasien akan menjadi pengalaman negatif, membekas, dan bukan tidak mungkin akan disebarluaskan dari mulut ke mulut. Citra Rumah Sakit menjadi buruk, pelayanan yang diberikan akan dianggap sebelah mata dan dipandang tidak profesional. Kepercayaan masyarakat akan menurun dan Rumah Sakit berpotensi kehilangan pelanggan (Nursalam, 2014). Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, kualitas pelayanan kesehatan sangat
ditentukan oleh kualitas pelayanan
keperawatan sehingga perlu adanya perhatian mutu pelayanan keperawatan di Rumah Sakit.
Mutu pelayanan keperawatan dapat merupakan
suatu pelayanan keperawatan yang
komprehensif meliputi
bio-psiko-sosio-spiritual yang diberikan oleh perawat profesional kepada pasien (individu, keluarga maupun masyarakat) baik sakit maupun sehat, dimana perawatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan standar pelayanan. Namun pada dasarnya, definisi mutu pelayanan keperawatan itu dapat berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana mutu tersebut dilihat. (Rakhmawati, 2009). Salah satu indikator mutu pelayanan keperawatan adalah tercapainya tingkat kepuasan pasien sebagai pelanggan (Nursalam, 2014).
Bagi konsumen yang datang pertama kali melalui IGD, pelayanan yang diberikan oleh perawat Instalasi Gawat Darurat (IGD) akan menjadi prediktor pertama kepuasan pengguna jasa terhadap keseluruhan proses perawatan di rumah sakit tersebut. Penelitian yang dilakukan di Jamaica menyebutkan bahwa dari
142 responden, 59,9% diantaranya
kesehatan yang diberikan oleh perawat IGD. Mereka menyatakan puas karena perawat IGD mampu menampilkan empati, sehingga mereka tidak enggan untuk berkunjung ulang ke rumah sakit jika memerlukan bantuan kesehatan (Buchanan, Dawkins, & Lindo, 2015). Empati sangat penting untuk ditampilkan, namun berakibat fatal jika melibatkan terlalu banyak emosi dan empati. Melibatkan emosi dan empati secara berlebihan akan menimbulkan stresor berlebih bagi perawat, terutama perawat IGD (Hoskins, 2011; Wentzel & Brysiewicz, 2014; Wolf et al.)
Stresor yang dialami oleh perawat akan memunculkan mekanisme koping yang berbeda pada setiap individu. Sistem koping yang baik akan memunculkan respon adaptasi
yang positif, demikian pula sebaliknya (Lu et
al., 2015). Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa perawat IGD mengalami tingkat stres yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perawat di unit perawatan lain. Penelitian yang dilakukan di RSUD Semarang menunjukkan bahwa dari 29 orang responden perawat IGD, 24 orang diantaranya (82,8%) mengalami stres sedang (Aini & Purwaningsih, 2013).
Saat perawat mengalami kelelahan fisik dan psikologis yang berlebih, muncullah compassion fatigue. Compassion fatigue akan mempengaruhi kinerja dan kualitas pelayanan
perawat emergensi. Compassion fatigue tidak
hanya terjadi pada perawat yang baru saja bekerja di IGD, tetapi potensinya juga akan meningkat pada perawat yang sudah dinas menetap di IGD dalam waktu yang relatif lama (Hooper et al., 2010). Perasaan depresi, rasa takut saat akan melakukan tindakan
keperawatan merupakan tanda dari
compassion fatigue yang dapat mengganggu kinerja perawat (Duffy, Avalos, & Dowling, 2015).
Salah satu alat ukur yang digunakan untuk mengukur profesionalisme kerja individu
adalah Professional Quality of Life (ProQOL).
Pengukuran dengan penggunakan ProQOL tidak hanya mengukur hasil mekanisme koping individu yang negatif, tetapi juga hasil mekanisme koping positif. Ada dua komponen besar yang diukur dengan menggunakan
ProQOL yaitu compassion satisfaction, dan
compassion fatigue. Compassion satisfaction merupakan hasil mekanisme koping individu
yang positif, sedangkan compassion fatigue
adalah hasil mekanisme koping negatif individu terhadap stres yang dialami di dunia kerja (Stamm, 2010).
Dari studi pendahuluan didapatkan angka kunjungan IGD RSUD Sidoarjo dalam trimester pertama tahun 2017 didapatkan sebanyak 4857 pasien pada bulan Januari, 4284 pasien dalam bulan februari dan 4792 pasien selama bulan maret. Sedangkan dalam penelusuran kepada tim penjamin mutu diketahui bahwa ada beberapa keluhan yang disampaikan oleh pasien dan keluarga terhadap mutu pelayanan di IGD RSUD Sidoarjo. Keluhan yang disampaikan oleh pelanggan
terutama tentang response time. Pelanggan
menjadi takut penyakitnya bertambah parah
dengan response time yang lambat. Data
keluhan yang lain seperti lamanya stagnasi pasien di IGD juga disampaikan oleh pelanggan. Situasi IGD secara psikologis akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien maupun keluarga untuk berlama-lama ada didalamnya. Sehingga semakin cepat pasien dipindahkan ke ruang perawatan akan mendukung proses penyembuhan maupun dukungan keluarga yang lebih baik. Keluhan pelanggan merupakan bentuk ketidakpuasan yang harus segera dicari penyebab serta solusinya. Jika tidak, maka kredibilitas dari penyedia layanan akan menurun dimata pelanggan.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan tingkat Compassion
Fatique Perawat IGD dengan mutu pelayanan keperawatan di IGD RSUD Sidoarjo.
2. METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif observasional
dengan pendekatan Cross Sectional karena
penelitian ini bertujuan mendeteksi korelasi yang muncul antara faktor yang berhubungan
dengan efek yang ditimbulkan. Compassion
Fatique Perawat IGD sebagai variabel
independen dikaji dengan kuisioner ProQoL
sebagai sampel. Jumlah sample yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 41 responden perawat IGD RSUD Sidoarjo dan 41 responden pengguna jasa layanan keperawatan
di IGD (Pasien). Compassion Fatique
dikatakan rendah apabila skor ProQoL ≤ 43,
skor 44-57 dikatakan compassion Fatique
rata-rata dan ≥ 58 dikatakan compassion Fatique
tinggi. Sedangkan mutu pelayanan keperawatan dikatakan kurang apabila nilainya <56%, cukup jika nilainya 56-75% dan puas apabila nilainya 76-100%. Selanjutnya data yang didapat akan dianalisis dengan menggunakan uji korelasi spearman.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Karakterisitik Responden
Berdasarkan Usia
Sumber: Data primer penelitian, 2017
Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa rata-rata usia responden adalah 34,85 tahun. Usia ini termasuk dalam kategori usia dewasa pertengahan. Usia termuda responden adalah 23 tahun, sedangkan usia tertua adalah 57 tahun.
Tabel 2. Karakterisitik Responden
No. Karakteristik Frek. Persentase
1 Jenis Kelamin
3 Status Kepegawaian PNS
BLUD 19 22 46,3% 53,7%
4 Pendidikan Terakhir SPK 5 Status Pernikahan
Menikah
Lebih dari dua anak
10 7 Kepemilikan sertifikat pelatihan
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan data bahwa mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki. Dari total 41 responden, sebanyak 26 (63,4%) responden berjenis kelamin laki-laki. Sebanyak 23 responden (56,1%) telah memiliki pengalaman bekerja sebagai perawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Sidoarjo selama lebih dari atau sama dengan lima tahun. 19 responden (46,3%) sudah berstatus sebagai PNS sedangkan 22 responden (53,7%) berstatus sebagai pegawai BLUD. Sebanyak 30 responden (73,2%) yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD
Sidoarjo berpendidikan terakhir DIII
Keperawatan. Dari 41 perawat, 34 orang (82,9%) diantaranya memiliki status sudah menikah. Dari 34 responden yang sudah menikah, 14 responden (45,1 %) memiliki dua anak, 10 responden (32,2%) memiliki lebih dari 2 anak dan 7 responden (22,5%) memiliki satu anak. Sedangkan dari 10 responden yang belum memiliki anak, ada 3 responden yang statusnya sudah menikah.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.
856/Menkes/SK/IX/2009, menyatakan bahwa seorang perawat IGD harus memiliki sertifikat dasar kegawatdaruratan, yaitu sertifikat BCLS, BTLS, dan sertifikat kegawatdaruratan lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan standar yang ditetapkan oleh Kementrian Kesehatan RI. Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 41 responden,
seluruhnya sudah memiliki sertifikat Basic Life
Support (BLS). Sertifikat lain yang harus dimiliki oleh perawat IGD adalah sertifikat BTLS. Dari 41 responden, 15 responden (36,6 %) diantaranya sudah memiliki sertifikat BTLS. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa dari 41 responden, 29 responden (70,7 %) memiliki sertifikat Pertolongan Pertama Gawat Darurat (PPGD). Sertifikat penunjang lain diantaranya adalah ALS sudah dimiliki oleh 3 responden (7,3 %) dan ATLS sudah dimiliki oleh 2 responden (4,9 %).
Tabel 3. Karakterisitik Responden
Berdasarkan Compassion Fatigue
Karakteristik Frek. Presentase Sumber: Data primer penelitian, 2017
Tabel 3 menggambarkan kondisi Professional Quality of Life perawat di IGD RSUD Sidorjo. Dari gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa hanya 7 responden (17,1 %)
mengalami compassion fatigue rata- rata,
sedangkan hampir seluruh responden memiliki compassion fatigue rendah yaitu 34 responden (82,9 %).
Tabel 4. Mutu pelayanan keperawatan di
IGD RSUD Sidoarjo
Sumber: Data primer penelitian, 2017
Tabel 4 diatas menggambarkan penilaian mutu pelayanan keperawatan di IGD RSUD Sidoarjo oleh pengguna jasa layanan. Dari tabel tersebut disimpulkan bahwa dari 41 responden 23 (56,1%) menilai mutu pelayanan keperawatan baik, sedangkan yang menilai kurang hanya ada 2 responden (4,9%) dan sisanya memberikan penilaian cukup.
Tabel 5. Hasil Uji Korelasi Variabel
Berdasarkan tabel 5, hasil uji korelasi
menggunakan uji spearman antara compassion
fatigue dengan mutu pelayanan keperawatan
didapatkan p value 0,028 (p>0,05) dan
koefisien korelasi (r) = 0,861. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dan korelasi positif antara compassion fatigue dengan mutu pelayanan keperawatan di IGD RSUD Sidoarjo.
Dalam siklus hidupnya, perempuan lebih cenderung untuk mengalami stres dari pada laki-laki. Stresor lebih banyak berasal dari lingkungan individu selain lingkungan kerja. Stresor dapat berasal dari peran ganda sebagai ibu, istri, anak, dan perawat yang bekerja di IGD. Siklus hormonal yang dimiliki perempuan juga turut berpengaruh dalam pengalaman stres yang dimiliki. Karena memiliki pemicu hormonal yang sama setiap bulan, seorang perempuan akan lebih mudah beradaptasi dengan peran ganda dan stresor yang menumpuk. Dalam melakukan pekerjaan, perempuan lebih mengandalkan insting keibuan, sehingga emosi juga banyak terlibat pada saat melakukan pekerjaan. Oleh karena itu, stres yang dialami oleh perawat perempuan lebih bepotensi menyebabkan compassion fatigue.
Distribusi mutu pelayanan keperawatan ditinjau dari 5 Dimensi mutu yaitu dimensi tangible mutu pelayanan keperawatan hampir setengah responden menilai cukup yaitu sebanyak 18 responden (43,9%).
Tangible (bukti langsung) merupakan hal-hal yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh pasien yang meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan staf keperawatan. Sehingga dalam pelayanan keperawatan, bukti langsung dapat dijabarkan melalui : kebersihan, kerapian, dan kenyamanan ruang perawatan, penataan ruang perawatan kelengkapan, kesiapan dan kebersihan peralatan perawatan yang digunakan; dan kerapian serta kebersihan penampilan perawat (Nursalam, 2015).
Hal yang mendukung dari hasil diatas responden menyatakan bahwa mutu pelayanan keperawatan di IGD RSUD Sidoarjo cukup baik ini dibuktikan dengan lengkapnya fasilitas yang tersedia, hampir seluruhnya perawat
berpenampilan rapi. Ada responden
menyatakan bahwa sedikit kurang nyaman dengan jarak tempat tidur yang terlalu dekat antar pasien, sehingga pasien yang
disebelahnya bisa mendengar pembicaran yang dilakukan oleh dokter dan pasien.
Distribusi mutu pelayanan keperawatan
dari dimensi reliability sebagian besar menilai
mutu pelayanan keperawatan dinilai cukup oleh responden yaitu 21 responden (51,2%),
Reliability (keandalan) dalam pelayanan keperawatan merupakan kemampuan untuk memberikan pelayanan keperawatan yang tepat, memuaskan dan dapat dipercaya, dalam hal ini dapat didefinisikan sebagai pelayanan keperawatan yang konsisten. Oleh karena itu penjabaran keandalan dalam pelayanan keperawatan adalah : prosedur penerimaan pasien yang cepat dan tepat, pemberian perawatan yang cepat dan tepat, jadwal pelayanan perawatan dijalakan dengan tepat dan konsisten serta prosedur perawatan yang tidak berbelit-belit (Nursalam, 2015).
Responden menyatakan pelayanan yang diberikan sudah cepat dan tepat, walau kadangkala tidak sesuai harapan. Banyak pasien yang menginginkan proses yang instan, begitu diberikan tindakan keperawatan langsung sembuh tanpa melihat keadaan dan jenis penyakit pasien. Hal ini perlu dikomunikasikan dengan baik kepada pasien tentang penyakitnya dan prosedur pengobatan sehingga tidak menimbulkan persepsi yang negatif terhadap pelayanan keperawatan.
Distribusi mutu pelayanan keperawatan
dari dimensi responsivenes sebanyak 20
(48,8%) responden menilai bahwa mutu pelayanan keperawatan dalam kondisi yang cukup.
Responsiveness (ketanggapan) perawat yang tanggap, selalu bersedia membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat. Ketanggapan juga didasarkan pada persepsi pasien sehingga faktor komunikasi dan situasi fisik disekitar pasien merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Ketanggapan dalam memberikan pelayanan keperawatan dapat dijabarkan sebagai berikut, perawat memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti oleh pasien, kesediaan perawat membantu pasien dalam hal beribadah, kemampuan perawat untuk cepat dan tanggap menyelesaikan keluhan pasien, dan tindakan perawat cepat pada saat pasien membutuhkan (Nursalam, 2015).
dibutuhkan oleh pasien. Ada beberapa yang tidak langsung datang saat dipanggil oleh pasien salah satu penyebabnya adalah perawat masih memberikan pelayanan kepada pasien yang lain. Hal ini bisa dimengerti oleh pasien dan keluarganya. Selain itu ada beberapa pasien tidak tahu prosedur pengobatan yang akan dijalani, hal ini bisa dijadikan masukan bagi
perawat bahwa Inform Concent dan
komunikasi terapeutik sangat dibutuhkan oleh pasien mengingat saat ini masyarakat kita semakin kritis dan pintar terhadap kesehatan.
Distribusi mutu pelayanan keperawatan
dari dimensi assurance hampir setengah
responden menilai mutu pelayanan dalam kondisi baik yaitu sebanyak 20 responden (48,8%).
Assurance (jaminan kepastian) perawat dapat menjamin pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien berkualitas sehingga pasien menjadi yakin akan pelayanan keperawatan yang diterimanya. Untuk mencapai jaminan kepastian dalam pelayanan keperawatan ditentukan oleh komponen
kompetensi yang berkaitan dengan
pengetahuan dan keterampilan perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan.
Keramahan yang juga diartikan kesopanan perawat sebagai aspek dari sikap perawat. Keamanan yaitu jaminan pelayanan yang menyeluruh sampai tuntas sehingga tidak menimbulkan dampak yang negatif pada pasien dan menjamin pelayanan yang diberikan kepada pasien aman.
Sikap perawat menjadi salah satu faktor
pendukung keberhasilan dari proses
pengobatan yang dijalani. Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling disoroti dan menjadi garda depan pelayanan kesehatan. Hal ini disebabkan waktu interaksi perawat dan pasien yang lebih lama dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang lain. Dengan komunikasi yang baik, sikap yang ramah dan sopan dapat mencapai tingkat kepuasan pasien yang secara otomatis dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang diberikan.
Distribusi mutu pelayanan keperawatan dari dimensi emphaty hampir setengah reponden juga menilai mutu pelayanan keperawatan dalam kondisi baik yaitu sebanyak 20 responden (48,8%).
Emphaty (empati) merupakan perhatian perawat yang diberikan kepada pasien secara
individual sehingga dalam pelayanan
keperawatan, dimensi empati dapat
diaplikasikan melalui cara memberikan perhatian khusus kepada setiap pasien, perhatian terhadap keluhan pasien dan keluarganya, perawatan diberikan kepada semua pasien tanpa memandang status sosial (Nursalam, 2015).
Memberikan pelayanan tanpa
membedakan-bedakan status sosial sangat diharapakan oleh semua pasien dan keluarganya. Hal ini dapat membantu mengatasi masalah psikologis yang dialami oleh pasien. Pasien maupun keluarganya yang dirawat di IGD pasti akan khawatir dengan keadaannya. Dengan sikap empati perawat permasalahan tersebut dapat diminimalisir, karena perawat menunjukkan rasa peduli terhadap keadaan pasien.
Distribusi mutu pelayanan keperawatan di IGD RSUD Sidoarjo menurut responden sebagian besar baik 23 responden (56,1%), Cukup 16 (39,0 %) dan kurang sebanyak 2 responden (2%).
Mutu pelayanan keperawatan adalah hasil kinerja yang ditampilkan perawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja perawat dalam pelayanan keperawatan berupa faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin. Faktor eksternal meliputi lingkungan kerja, dan gaya kepemimpinan (Suryabrata, 2008). Jika pelayanan yang diterima pasien memenuhi harapan pasien, maka mutu pelayanan yang diberikan perawat baik. Sebaliknya jika pelayanan yang diterima pasien lebih rendah dari harapan pasien, maka mutu pelayanan yang diberikan perawat buruk. Mutu pelayanan buruk dapat menyebabkan pasien merasa tidak puas dengan apa yang diterimanya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryawati dkk(2006) yang menyatakan bahwa mutu pelayanan merupakan salah satu indikator dari kepuasan pasien. Mutu pelayanan sangat penting artinya bagi rumah sakit.
Berdasarkan hasil penelitian Agonwardi (2013) menyatakan bahwa secara keseluruhan
variabel dimensi reability, responsiveness,
assurance, emphaty, dan tangible dapat menjelaskan korelasi yang positif terhadap
tingkat kepuasan pasien. Hasil ini
masyarakat pengguna jasa IGD RSUD Sidoarjo menyatakan bahwa mutu pelayanan yang diterimanya baik. Beberapa hal yang menunjukkan mutu pelayanan di IGD dimulai dari perawat memberikan pelayanan dengan segera saat pasien datang, perawat dengan terampil dan cekatan dalam memberikan pelayanan, perawat selalu siap dan bertanggung jawab terhadap keadaan pasien, komunikasi antara perawat, pasien dan keluarga terjalin dengan baik, perawat memberikan pelayanan tanpa membedakan status sosial pasien, dan perawat selalu tampak rapi dan bersih.
Berdasarkan tabel 5, hasil uji korelasi
menggunakan uji spearman antara compassion
fatigue dengan mutu pelayanan keperawatan
didapatkan p value 0,028 (p>0,05) dan
koefisien korelasi (r) = 0,861. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif dan pengaruh yang signifikan antara compassion fatigue dengan mutu pelayanan keperawatan di IGD RSUD Sidoarjo. Stres dapat disebabkan oleh suatu peristiwa yang menyebabkan trauma psikologis pada perawat IGD. Pengalaman traumatis tersebut dapat
menyebabkan secondary traumatic stress.
Sebuah penelitian di Yunani menunjukkan bahwa perawat IGD beresiko dua kali lipat
mengalami secondary traumatic stress jika
dibandingkan dengan perawat ruangan lain
(Duffy et al., 2015). Pada penelitian ini,
peneliti tidak memiliki data tentang pengalaman traumatis yang dialami oleh perawat IGD. Meskipun demikian, hal ini perlu diwaspadai mengingat perawat IGD berpotensi
mengalami secondary traumatic stress. Untuk
mengatasi stres yang dirasakan, perawat perlu meningkatkan mekanisme koping yang positif. Mekanisme koping yang positif ini akan membantu menurunkan tingkat stres perawat dan compassion fatigue yang dirasakan.
Pengukuran dengan menggunakan
ProQOL tidak hanya mengukur hasil mekanisme koping individu yang negatif, tetapi juga hasil mekanisme koping positif. Ada dua komponen besar yang diukur dengan
menggunakan ProQOL yaitu compassion
satisfaction, dan compassion fatigue. Compassion satisfaction merupakan hasil mekanisme koping individu yang positif,
sedangkan compassion fatigue adalah hasil
mekanisme koping negatif individu terhadap
stres yang dialami di dunia kerja (Stamm, 2010).
4. KESIMPULAN
Stresor dan stres kerja merupakan beberapa penghalang untuk mencapai professional quality of life yang baik yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja dan mutu kinerja. Ada korelasi positif dan pengaruh yang
signifikan antara compassion satisfaction
dengan mutu pelayanan keperawatan di IGD RSUD Sidoarjo.
Melakukan kegiatan yang bersifat membangun team work perlu diadakan secara rutin yang melibatkan seluruh komponen IGD. Kegiatan tersebut tidak hanya bertujuan menyegarkan psikologis, tetapi juga mempererat hubungan antar-tim kerja.
Pelatihan kegawatdaruratan yang rutin dan berkesinambungan juga dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri perawat. Memberikan pelatihan yang berhubungan dengan pelayanan prima terhadap pelanggan. Hal ini terutama bertujuan untuk tetap memberikan pelayanan yang profesional meskipun harus menghadapi pasien dan keluarga yang menguras emosi perawat.
REFERENSI
1. Buchanan, Jullet, Dawkins, Pauline, &
Lindo, Jascinth L. M. (2015). Satisfaction with nursing care in the emergency department of an urban hospital in the developing world: A pilot study. International Emergency Nursing, 23(3),
218-224. doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ienj.2015.01.0 01
2. Cañadas-De la Fuente, Guillermo A.,
Vargas, Cristina, San Luis, Concepción, García, Inmaculada, Cañadas, Gustavo R., & De la Fuente, Emilia I. (2015). Risk factors and prevalence of burnout syndrome in the nursing profession. International Journal of Nursing Studies, 52(1), 240-249. doi:
3. Duffy, Emer, Avalos, Gloria, & Dowling,
Maura. (2015). Secondary traumatic stress among emergency nurses: a
cross-sectional study. International Emergency
4. Hooper, Crystal, Craig, Janet, Janvrin, David R., Wetsel, Margaret A., & Reimels, Elaine. (2010). Compassion Satisfaction, Burnout, and Compassion Fatigue Among Emergency Nurses Compared With Nurses in Other Selected
Inpatient Specialties. Journal of
Emergency Nursing, 36(5), 420-427. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.jen.2009.11.02 7
5. Hoskins, Rebecca. (2011). Evaluating
new roles within emergency care: A
literature review. International
Emergency Nursing, 19(3), 125-140. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.ienj.2010.09.0 03
6. Leiter, Michael P., Day, Arla, & Price, Lisa. (2015). Attachment styles at work: Measurement, collegial relationships, and
burnout. Burnout Research, 2(1), 25-35.
doi:
http://dx.doi.org/10.1016/j.burn.2015.02. 003
7. Maslach, Christina. (2015). Burnout,
Psychology of. In J. D. Wright (Ed.), International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Second Edition) (pp. 929-932). Oxford: Elsevier.
8. Nursalam. (2014). Manajemen
keperawatan: aplikasi dalam praktik keperawatan profesional. Jakarta: Salemba Medika.
9. Stamm, B Hudnall. (2010). The ProQOL
manual. Retrieved July, 16, 2007.
10. Utomo, Danang Prasetyo. (2009).
Hubungan Stres Kerja dengan Adaptasi pada Perawat di Instalasi Gawat Darurat RSUD Pandan Arang Boyolali.
11. Wolf, Lisa A., Delao, Altair M., & Perhats, Cydne. (2014). Nothing Changes, Nobody Cares: Understanding the Experience of Emergency Nurses Physically or Verbally
Assaulted While Providing Care. Journal
of Emergency Nursing, 40(4), 305-310. doi: