• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PENENTUAN DAN JENIS KELAMIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PENENTUAN DAN JENIS KELAMIN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN JENIS KELAMIN

Diusun Oleh : K E L O M P O K 7

1. Umi Fhatonah (09320086)

2. Dayu Zain (09320053)

3. Maediyana Sari (09320068) 4. Johan Tri Bayuntoro (09320062) 5. Vina Kartika Sari (09320087)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

F P M I P A

(2)

DAFTAR ISI

Halaman Judul Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

B. Rumusan masalah C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN A. Gen Rangkai Kelamin

B. Penentuan Jenis Kelamin Organisme a. Tipe XY

b. Tipe XO c. Tipe ZW d. Tipe ZO e. Tipe gen Sk-Ts f. Tipe Haploid-Diploid

C. Kromatin Kelamin dan Hipotesis Lyon

D. Pengaruh Hormon Kelamin Penentuan Jenis Kelamin

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Apabila kita berbicara tentang jenis kelamin / seks dari suatu makhluk hidup, tentu perhatian kita akan tertuju pada adanya makhluk berjenis kelamin jantan dan betina. Perbedaan jenis kelamin pada umunya dipengaruhi oleh dua faktor :

 Faktor Lingkungan. Biasanya yang mengambil peranan disini adalah keadaan fisiologis. Jika kadar hormon kelamin dalam tubuh tidak seimbang penghasilan atau peredaranya, maka pernyataan fenotip pada suatu makhluk mengenai kelaminya dapat berubah. Akibatnya watak kelaminnya mengalami perubahan.

 Faktor Genetik. Pada umunya dapat dikatakan bahwa faktor genetiklah yang menentukan jenis kelamin suatu makhluk hidup. Oleh karena bahan genetik terdapat di dalam kromosom, maka perbedaan jenis kelamin terdapat dalam komposisi kromosom.

Penyelidikan pertama tentang adanya hubungan antara kromosom dengan perbedaan jenis kelamin telah dilakukan oleh seorang Biologiwan berkebangsaan Jerman bernama H. Henking pada tahun 1891. Ia dapat menemukan adanya struktur tertentu dalam nucleus beberapa serangga melalui spermatogenesis. Dikatakan bahwa separuh dari jumah spermatozoa pada serangga itu memiliki struktur tersebut, sedangkan yang separuh lainya tidak. Henking tidak mengatakan tentang pentingnya struktur tersebut, melainkan hanya menamakanya “badan X”. Ia membedakan spermatozoa atas yang memiliki dan tidak memiliki badan X.

(4)

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Gen Rangkai Kelamin ? 2. Apa saja Tipe Penentuan Jenis Kelamin Organisme?

3. Apa yang dimaksud Kromatin Kelamin dan bagaimana Hipotesis Lyon? 4. Bagaimana Pengaruh Hormon Kelamin dalam Penentuan Jenis Kelamin?

5. Apa saja kelainan Kromosom pada Manusia?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah : 1. Dapat memahami tentang Gen Rangkai Kelamin

2. Mengetahui berbagai tipe penentuan jenis kelamin organisme 3. Dapat memahami kromatin kelamin dan hipotesis Lyon

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Gen Rangkai Kelamin

Keberadaan gen berangkai pada suatu spesies organisme, yang meliputi urutan dan jaraknya satu sama lain, menghasilkan peta kromosom untuk spesies tersebut, misalnya peta kromosom pada lalat Drosophila melanogaster yang terdiri atas empat kelompok gen berangkai.

(6)

Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen rangkai kelamin (sex-linked genes) sementara fenomena yang melibatkan pewarisan gen-gen ini disebut peristiwa rangkai kelamin (linkage). Adapun gen-gen yang terletak pada kromosom selain kromosom kelamin, yaitu kromosom yang pada individu jantan dan betina sama strukturnya sehingga tidak dapat digunakan untuk membedakan jenis kelamin. Kromosom semacam ini dinamakan autosom.

Seperti halnya gen berangkai (autosomal), gen-gen rangkai kelamin tidak mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang terbentuk. Akibatnya, individu-individu yang dihasilkan melalui kombinasi gamet tersebut memperlihatkan nisbah fenotipe dan genotipe yang menyimpang dari hukum Mendel.

Gen rangkai kelamin dapat dikelompok-kelompokkan berdasarkan atas macam kromosom kelamin tempatnya berada. Oleh karena kromosom kelamin pada umumnya dapat dibedakan menjadi kromosom X dan Y, maka gen rangkai kelamin dapat menjadi gen rangkai X (X-linked genes) dan gen rangkai Y (Y-linked genes). Di samping itu, ada pula beberapa gen yang terletak pada kromosom X tetapi memiliki pasangan pada kromosom Y. Gen semacam ini dinamakan gen rangkai kelamin tak sempurna (incompletely sex-linked genes).

Pewarisan Rangkai X

Percobaan yang pertama kali mengungkapkan adanya peristiwa rangkai kelamin dilakukan oleh T.H Morgan pada tahun 1910. Dia menyilangkan lalat D. melanogaster jantan bermata putih dengan betina bermata merah. Lalat bermata merah lazim dianggap sebagai lalat normal atau tipe alami (wild type), sedang gen pengatur tipe alami, misalnya pengatur warna mata merah ini, dapat dilambangkan dengan tanda +. Biasanya, meskipun tidak selalu, gen tipe alami bersifat dominan terhadap alel mutannya.

Hasil persilangan Morgan tersebut, khususnya pada generasi F1, ternyata

(7)

memberikan petunjuk bahwa pewarisan warna mata pada Drosophila ada hubungannya dengan jenis kelamin, dan ternyata kemudian memang diketahui bahwa gen yang mengatur warna mata pada Drosophila terletak pada kromosom kelamin, dalam hal ini kromosom X. Oleh karena itu, gen pengatur warna mata ini dikatakan sebagai gen rangkai X.

Secara skema pewarisan warna mata pada Drosophila dapat dilihat pada Gambar 6.1. Kromosom X dan Y masing-masing lazim dilambangkan dengan tanda dan .

P : + + w P : w w + x x

betina normal jantan mata putih betina mata putih jantan normal

F1 : + w + F1: + w w

betina normal jantan normal betina normal jantan mata putih

a) b) Diagram persilangan rangkai X pada Drosophila

Jika kita perhatikan Gambar 6.1.b, akan nampak bahwa lalat F1 betina

mempunyai mata seperti tetua jantannya, yaitu normal/merah. Sebaliknya, lalat F1

jantan warna matanya seperti tetua betinanya, yaitu putih. Pewarisan sifat semacam ini disebut sebagai criss cross inheritance.

(8)

karena itu, individu betina ini dikatakan bersifat homogametik. Sebaliknya, individu jantan yang hanya membawa sebuah kromosom X akan menghasilkan dua macam gamet yang berbeda, yaitu gamet yang membawa kromosom X dan gamet yang membawa kromosom Y. Individu jantan ini dikatakan bersifat heterogametik.

Rangkai X pada kucing

Warna bulu pada kucing ditentukan oleh suatu gen rangkai X. Dalam keadaan heterozigot gen ini menyebabkan warna bulu yang dikenal dengan istilah tortoise

shell. Oleh karena genotipe heterozigot untuk gen rangkai X hanya dapat dijumpai

pada individu betina, maka kucing berbulu tortoise shell hanya terdapat pada jenis kelamin betina. Sementara itu, individu homozigot dominan (betina) dan hemizigot dominan (jantan) mempunyai bulu berwarna hitam. Individu homozigot resesif (betina) dan hemizigot resesif (jantan) akan berbulu kuning.

Istilah hemizigot digunakan untuk menyebutkan genotipe individu dengan sebuah kromosom X. Individu dengan gen dominan yang terdapat pada satu-satunya kromosom X dikatakan hemizigot dominan. Sebaliknya, jika gen tersebut resesif, individu yang memilikinya disebut hemizigot resesif.

Rangkai X pada manusia

Salah satu contoh gen rangkai X pada manusia adalah gen resesif yang menyebabkan penyakit hemofilia, yaitu gangguan dalam proses pembekuan darah. Sebenarnya, kasus hemofilia telah dijumpai sejak lama di negara-negara Arab ketika beberapa anak laki-laki meninggal akibat perdarahan hebat setelah dikhitan. Namun, waktu itu kematian akibat perdarahan ini hanya dianggap sebagai takdir semata.

(9)

Inggris saat ini yang merupakan keturunan putra/putri normal Ratu Victoria bebas dari penyakit hemofilia.

Rangkai Z pada ayam

Pada dasarnya pola pewarisan sifat rangkai Z sama dengan pewarisan sifat rangkai X. Hanya saja, kalau pada rangkai X individu homogametik berjenis kelamin pria/jantan sementara individu heterogametik berjenis kelamin wanita/betina, pada rangkai Z justru terjadi sebaliknya. Individu homogametik (ZZ) adalah jantan, sedang individu heterogametik (ZW) adalah betina.

Contoh gen rangkai Z yang lazim dikemukakan adalah gen resesif br yang menyebabkan pemerataan pigmentasi bulu secara normal pada ayam. Alelnya, Br, menyebabkan bulu ayam menjadi burik. Jadi, pada kasus ini alel resesif justru dianggap sebagai tipe alami atau normal (dilambangkan dengan +), sedang alel dominannya merupakan alel mutan.

Pewarisan Rangkai Y

Pada umumnya kromosom Y hanya sedikit sekali mengandung gen yang aktif. Jumlah yang sangat sedikit ini mungkin disebabkan oleh sulitnya menemukan alel mutan bagi gen rangkai Y yang dapat menghasilkan fenotipe abnormal. Biasanya suatu gen/alel dapat dideteksi keberadaannya apabila fenotipe yang dihasilkannya adalah abnormal. Oleh karena fenotipe abnormal yang disebabkan oleh gen rangkai Y jumlahnya sangat sedikit, maka gen rangkai Y diduga merupakan gen yang sangat stabil.

(10)

Pewarisan Rangkai Kelamin Tak Sempurna

Meskipun dari uraian di atas secara tersirat dapat ditafsirkan bahwa kromosom X tidak homolog dengan kromosom Y, ternyata ada bagian atau segmen tertentu pada kedua kromosom tersebut yang homolog satu sama lain. Dengan perkataan lain, ada beberapa gen pada kromosom X yang mempunyai alel pada kromosom Y. Pewarisan sifat yang diatur oleh gen semacam ini dapat dikatakan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, dan berlangsung seperti halnya pewarisan gen autosomal. Oleh karena itu, gen-gen pada segmen kromosom X dan Y yang homolog ini disebut juga gen rangkai kelamin tak sempurna.

Pada D. melanogaster terdapat gen rangkai kelamin tak sempurna yang menyebabkan pertumbuhan bulu pendek. Pewarisan gen yang bersifat resesif ini dapat dilihat pada Gambar 6.2.

P : P :

+ + x b b b b x + +

betina normal jantan bulu pendek betina bulu pendek jantan normal

F1 : F1:

+ b + b + b + b

betina normal jantan normal betina normal jantan normal

(11)

Diagram pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna

Dapat dilihat pada Gambar bahwa perkawinan resiprok untuk gen rangkai kelamin tak sempurna akan memberikan hasil yang sama seperti halnya hasil yang diperoleh dari perkawinan resiprok untuk gen-gen autosomal. Jadi, pewarisan gen rangkai kelamin tak sempurna mempunyai pola seperti pewarisan gen autosomal.

B. Sistem Penentuan Jenis Kelamin

Telah disebutkan di atas bahwa pada manusia dan mamalia, dalam hal ini kucing, individu pria / jantan adalah heterogametik (XY) sementara wanita / betina adalah homogametik (XX). Sebaliknya, pada ayam individu jantan justru homogametik (ZZ) sementara individu betinanya heterogametik (ZW). Penentuan jenis kelamin pada manusia / mamalia dikatakan mengikuti sistem XY, sedang pada ayam, dan unggas lainnya serta ikan tertentu, mengikuti sistem ZW.

Selain kedua sistem tersebut, masih banyak sistem penentuan jenis kelamin lainnya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa di antaranya.

a) Sistem XY

Sistem ini ditemukan pada tumbuhan, hewan dan manusia. ~ Genosom X berukuran lebih besar dibandingkan genosom Y. XX merupakan betina, XY merupakan jantan.

(12)

Kromosom manusia dibedakan atas autosom dan kromosom kelamin. Sel tubuh manusia mengandung 46 kromosom yang terdiri dari 44 (22 pasang autosom) dan (2 atau 1 pasang kromosom kelamin). Pada wanita kromosom kelamin berupa 2 buah kromosom –X bersifat homogametik, sedang pada pria berupa sebuah kromosom –X dan kromosom –Y bersifat heterogametik.

Perbandingan seks pada Manusia

Kemungkinan lahir anak perempuan atau laki-laki secara teoritis mengikuti perbandingan seks 1 perempuan : 1 laki-laki, tetapi terkadang tampak bahawa salah satui seks kerap kali melebihi jumlahnya dibanding dengan seks yang lain. Beberapa motivasi yang

Drosophila banyak digunakan untuk penelitian Genetika, karena :

 Mudah dipelihara pada media makanan yang sederhana, pada suhu kamar dan didalam botol susu ukuran sedang.

 Mempunyai siklus hidup pendek, kira-kira 2 minggu.

 Mempunyai tanda-tanda kelamin sekunder yang mudah dibedakan.

(13)

b) Sistem XO

Sistem XO dijumpai pada beberapa jenis serangga, misalnya belalang. Di dalam sel somatisnya, individu betina memiliki dua buah kromosom X sementara individu jantan hanya mempunyai sebuah kromosom X. Jadi, hal ini mirip dengan sistem XY. Bedanya, pada sistem XO individu jantan tidak mempunyai kromosom Y. Dengan demikian, jumlah kromosom sel somatis individu betina lebih banyak daripada jumlah pada individu jantan. Sebagai contoh, E.B. Wilson menemukan bahwa sel somatis serangga Protenor betina mempunyai 14 kromosom, sedang pada individu jantannya hanya ada 13 kromosom.

Sistem nisbah X/A

(14)

kromosom Y hanya berperan mengatur fertilitas jantan. Secara ringkas penentuan jenis kelamin dengan sistem X/A pada lalat Drosophila dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila

(15)

Pada Drosophila terjadinya gagal pisah dapat menyebabkan terbentuknya beberapa individu abnormal seperti nampak pada diagram.

P : E AAXX x AAXY G

gagal pisah

gamet : AXX AO AX AY

F1 : AAXXX AAXXY AAXO AAOY

betina super betina jantan steril letal

Diagram munculnya beberapa individu abnormal pada

(16)

Di samping kelainan-kelainan tersebut pernah pula dilaporkan adanya lalat

Drosophila yang sebagian tubuhnya memperlihatkan sifat-sifat sebagai jenis kelamin

jantan sementara sebagian lainnya betina. Lalat ini dikatakan mengalami mozaik seksual atau biasa disebut dengan istilah ginandromorfi. Penyebabnya adalah ketidakteraturan distribusi kromosom X pada masa-masa awal pembelahan mitosis zigot. Dalam hal ini ada sel yang menerima dua kromosom X tetapi ada pula yang hanya menerima satu kromosom X.

Andaikan terjadi nondisjunction selama oogenese (pebentukan sel telur) akan terbentuk 2 macam sel telur, yaitu sel telur yang membawa 2 kromosom X (3AXX) dan sebuah kromosom sel telur tanpa X (3AO). Jika dalam keadaan ini terjadi pembuahan, sudah tentu keturunan akan menyimpang dari keadaan normal, yaitu sebagai berikut :

a) Sel telur yang memiliki 2 kromosom X apabila dibuahi oleh spermatozoon yang membawa kromosom X akan menghasilkan lalat betina super (3AAXXX) yang memiliki 3 kromosom X. Lalat ini tidak lama hidupnya, karena mengalami kelainan dan kemunduran pada beberapa alat tubuhnya. b) Sel telur yang memiliki 2 kromosom X apabila dibuahi oleh spermatozoon

(17)

Gambar perkawinan pada lalat Drosophila melanogaster yang menunjukan adanya nondisjunction selama Oogenesis. Ada kemungkinan dihsilkan lalat betina super 3AAXXX, Lalat betina 3AAXXY, lalat jantan 3AAXO. Lalat YO tidak pernah dikenal karena letal.

c) Sel telur yang tidak memiliki kromosom X apabila dibuahi oleh spermatozoon yang membawa kromosom X akan menghasilkan lalat jantan (3AAXO). Lalat ini steril.

d) Sel telur tidak memiliki kromosom X apabila dibuahi oleh spermatozoon yang membawa kromosom Y tidak menghasilkan keturunan, sebab letal. Jadi lalat (3AAYO) tidak dikenal.

Partenogenesis

(18)

Oleh karena itu, individu jantan ini hanya memiliki sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid.

Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja, khususnya pada lebah, berkembang dari telur yang dibuahi sehingga perangkat kromosomnya adalah diploid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem penentuan jenis kelamin yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada jumlah genom (perangkat kromosom).

a. Sistem gen Sk-Ts

Di atas disebutkan bahwa sistem penentuan jenis kelamin pada lebah tidak berhubungan dengan kromosom kelamin. Meskipun demikian, sistem tersebut masih ada kaitannya dengan jumlah perangkat kromosom.

Pada jagung dikenal sistem penentuan jenis kelamin yang tidak bergantung, baik kepada kromosom kelamin maupun jumlah genom, tetapi didasarkan atas keberadaan gen tertentu. Jagung normal monosius (berumah satu) mempunyai gen Sk, yang mengatur pembentukan bunga betina, dan gen Ts, yang mengatur pembentukan bunga jantan. Jagung monosius ini mempunyai fenotipe Sk_Ts_.

Sementara itu, alel-alel resesif sk dan ts masing-masing menghalangi pembentukan bunga betina dan mensterilkan bunga jantan. Oleh karena itu, jagung dengan fenotipe Sk_tsts adalah betina diosius (berumah dua), sedang jagung skskTs_ adalah jantan diosius. Jagung sksktsts berjenis kelamin betina karena ts dapat mengatasi pengaruh sk, atau dengan perkataan lain, bunga betina tetap terbentuk seakan-akan tidak ada alel sk.

e) System ZW

(19)

sedangkan satunya lagi sangat lain bentuknya. Jadi keadaan ini kebalikan dengan manusia, sebab pada manusia, yang laki-laki adalah heterogametik (XY) sedangkan yang perempuan homogametik (XX). Untuk menghindari kekeliruan, maka kromosom kelamin pada hewan-hewan tersebut di atas disebut ZZ dan ZW. Hewan jantan adalah ZZ, sedang yang betina ZW. Jadi, semua spermatozoa mengandung kromosom kelamin Z, sedangkan sel telurnya ada kemungkinan mengandung kromosom dan kelamin Z dan ada kemungkinan mengandung kromosom kelamin W.

System ZO

Pada uggas (ayam, itik dan sebagainya) susunan kromosomnya lain lagi. Yang betina hanya memiliki sebuah kromosom kelamin saja, tetapai bentuknya lain dengan yang dijumpai pada belalang. Karena itu ayam betina adalah ZO (heterogametik). Ayam jantan memiliki sepasang kromosom kelamin yang sama bentuknya, maka menjadi ZZ (homogametik). Jadi spermatozoa ayam hanya satu macam saja, yaitu membawa kromosom kelamin Z, sedang sel telurnya ada dua macam, mungkin membawa kromosom Z dan mungkin juga tidak memiliki kromosom kelamin sama sekali.

System Haploid-Diploid

Pada beberapa spesies Hymenoptera seperti semut, lebah, dan tawon, individu jantan berkembang dengan cara partenogenesis, yaitu terbentuknya makhluk dari sel telur tanpa didahului oleh pembuahan. Oleh karena itu, individu jantan ini hanya memiliki sebuah genom atau perangkat kromosomnya haploid.

(20)

Sementara itu, individu betina dan golongan pekerja, khususnya pada lebah, berkembang dari telur yang dibuahi sehingga perangkat kromosomnya adalah diploid. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partenogenesis merupakan sistem penentuan jenis kelamin yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kromosom kelamin tetapi hanya bergantung kepada jumlah genom (perangkat kromosom).

Pengaruh lingkungan

Sistem penentuan jenis kelamin bahkan ada pula yang bersifat nongenetik. Hal ini misalnya dijumpai pada cacing laut Bonellia, yang jenis kelaminnya semata-mata ditentukan oleh faktor lingkungan.. F. Baltzer menemukan bahwa cacing Bonellia yang berasal dari sebuah telur yang diisolasi akan berkembang menjadi individu betina. Sebaliknya, cacing yang hidup di lingkungan betina dewasa akan mendekati dan memasuki saluran reproduksi cacing betina dewasa tersebut untuk kemudian berkembang menjadi individu jantan yang parasitik.

1. Kromatin Kelamin dan Hipotesis Lyon

Seorang ahli genetika dari Kanada, M.L. Barr, pada tahun 1949 menemukan adanya struktur tertentu yang dapat memperlihatkan reaksi pewarnaan di dalam nukleus sel syaraf kucing betina. Struktur semacam ini ternyata tidak dijumpai pada sel-sel kucing jantan. Pada manusia dilaporkan pula bahwa sel-sel somatis pria, misalnya sel epitel selaput lendir mulut, dapat dibedakan dengan sel somatis wanita atas dasar ada tidaknya struktur tertentu yang kemudian dikenal dengan nama

kromatin kelamin atau badan Barr.

Pada sel somatis wanita terdapat sebuah kromatin kelamin sementara sel somatis pria tidak memilikinya. Selanjutnya diketahui bahwa banyaknya kromatin kelamin ternyata sama dengan banyaknya kromosom X dikurangi satu. Jadi, wanita normal mempunyai sebuah kromatin kelamin karena kromosom X-nya ada dua. Demikian pula, pria normal tidak mempunyai kromatin kelamin karena kromosom X-nya haX-nya satu.

(21)

pada janin melalui pengambilan cairan amnion embrio (amniosentesis). Pria dengan kelainan kromosom kelamin, misalnya penderita sindrom Klinefelter (XXY), mempunyai sebuah kromatin kelamin yang seharusnya tidak dimiliki oleh seorang pria normal. Sebaliknya, wanita penderita sindrom Turner (XO) tidak mempunyai kromatin kelamin yang seharusnya ada pada wanita normal.

Mary F. Lyon, seorang ahli genetika dari Inggris mengajukan hipotesis bahwa kromatin kelamin merupakan kromosom X yang mengalami kondensasi atau heterokromatinisasi sehingga secara genetik menjadi inaktif. Hipotesis ini dilandasi hasil pengamatannya atas ekspresi gen rangkai X yang mengatur warna bulu pada mencit. Individu betina heterozigot memperlihatkan fenotipe mozaik yang jelas berbeda dengan ekspresi gen semidominan (warna antara yang seragam). Hal ini menunjukkan bahwa hanya ada satu kromosom X yang aktif di antara kedua kromosom X pada individu betina. Kromosom X yang aktif pada suatu sel mungkin membawa gen dominan sementara pada sel yang lain mungkin justru membawa gen resesif.

Hipotesis Lyon juga menjelaskan adanya mekanisme kompensasi dosis pada mamalia. Mekanisme kompensasi dosis diusulkan karena adanya fenomena bahwa suatu gen rangkai X akan mempunyai dosis efektif yang sama pada kedua jenis kelamin. Dengan perkataan lain, gen rangkai X pada individu homozigot akan diekspesikan sama kuat dengan gen rangkai X pada individu hemizigot.

2. Hormon dan Diferensiasi Kelamin

Dari penjelasan mengenai berbagai sistem penentuan jenis kelamin organisme diketahui bahwa faktor genetis memegang peranan utama dalam ekspresi sifat kelamin primer. Selanjutnya, sistem hormon akan mengatur kondisi fisiologi dalam tubuh individu sehingga mempengaruhi perkembangan sifat kelamin sekunder.

(22)

Gen terpengaruh kelamin

Gen terpengaruh kelamin (sex influenced genes) ialah gen yang memperlihatkan perbedaan ekspresi antara individu jantan dan betina akibat pengaruh hormon kelamin. Sebagai contoh, gen autosomal H yang mengatur pembentukan tanduk pada domba akan bersifat dominan pada individu jantan tetapi resesif pada individu betina. Sebaliknya, alelnya h, bersifat dominan pada domba betina tetapi resesif pada domba jantan. Oleh karena itu, untuk dapat bertanduk domba betina harus mempunyai dua gen H (homozigot) sementara domba jantan cukup dengan satu gen H (heterozigot).

Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba

Genotipe Domba jantan Domba betina HH Bertanduk Bertanduk Hh Bertanduk tidak bertanduk Hh tidak bertanduk tidak bertanduk

Contoh lain gen terpengaruh kelamin adalah gen autosomal B yang mengatur kebotakan pada manusia. Gen B dominan pada pria tetapi resesif pada wanita. Sebaliknya, gen b dominan pada wanita tetapi resesif pada pria. Akibatnya, pria heterozigot akan mengalami kebotakan, sedang wanita heterozigot akan normal. Untuk dapat mengalami kebotakan seorang wanita harus mempunyai gen B dalam keadaan homozigot.

Gen terbatasi kelamin

(23)

C. Kelainan Kromosom pada Manusia

Kelainan kromosom pada manusia dapat dibedakan atas : a. Kelainan Pada Kromosom Kelamin

1) Sindrom Turner

Orang yang mengalami pengurangan pada kromosom Y, sehingga mempunyai kariotip 22AA+XO. Orang yang emnalami sindrom Turner berkelamin wanita, tetapi ovariumnya tidak tumbuh. Peristiwa ini disebut ovaricular disgenesis.

Sifat-sifat penderita antara lain :

* Tubuhnya pendek, tidak sesuai dengan umurnya * Dada bidang dan pinggul lebih sempit

* Tidak memiliki kromatin kelamin * Individunya perempuan

* Mandul

* Gonad ovari asas (struktur gonadal kurang berkembang) * Tidak datang haid

(24)

* Kemungkinan terjadi karena ada nondisjunction selama orang tuanya membentuk gamet

2) Sindrom Klinefelter

Pada sindrom Klinefelter, bayi laki-laki terlahir dengan kelebihan 1 kromosom X, sehingga mempunyai kariotip 22AA+XXY. Penderita penyakit ini ada yang disebut testicular disgenesis karenatestis tidak tumbuh, sehingga tidak dapat menghasilkan sperma yang mengakibatkan kemandulan, ada juga yang disebut gynaecomatis karena payudara tumbuh, tetapi kelaminya dikenal sebagai pria.

(25)

Pria dengan sindrom Klinefelter biasanya memiliki kelebihan kromosom X sehingga mereka memiliki 3 kromosom seks, yaitu 2 kromosom X dan 1 kromosom Y. Sindrom ini ditemukan pada 1 diantara 700 bayi baru lahir. Sifat-sifat penderita :

* Kaki dan lengan kelihatan panjang, sehingga keseluruhan tubuhnya nampak panjang

* Memiliki satu kromatin kelamin * Individunya laki-laki

* Dada sempit, pinggul lebar, suatu keadaan yang biasanya terdapat pada wanita normal

* Setelah mencapai masa akil-baliq, payudara membesar tetapi testis mengecil

* Mandul

* Mempunyai keinginan untuk kawin

* Kemungkinan terjadi karena ada nondisjunction selama orang tuanya membentuk gamet

3) Wanita Super

(26)

waktu masih kanak-kanak, karena banyak alat-alat tubuhnya tidak sempurna perkembanganya.

Kemungkinan terjadinya karena ada nondisjunction pada waku ibunya membentuk sel telur.

4) Pria XYY

Pada sindrom XYY, seorang bayi laki-laki terlahir dengan kelebihan kromosom Y.

Pria biasanya hanya memiliki 1 kromosom X dan 1 kromosom Y, digambarkan sebagai 46, XY.

(27)
(28)

BAB III

PENUTUP

Gen-gen yang terletak pada kromosom kelamin dinamakan gen rangkai kelamin (sex-linked genes). gen-gen rangkai kelamin tidak mengalami segregasi dan penggabungan secara acak di dalam gamet-gamet yang terbentuk.

Tipe – tipe penentuan jenis kelamin diantaranhya:

 Tipe XO

Penentuan jenis kelamin tidak ditentukan oleh kromosom kelamin

 Tipe gen Sk-Ts

Didasarkan atas keberadaan gen tertentu yaitu gen Sk pada betina dan Ts pada jantan

Hipotesis Lyon

Mary F. Lyon berpendapat bahwa kromatin kelamin merupakan kromosom X yang mengalami kondensasi atau heterokromatinisasi sehingga secara genetik menjadi inaktif.

(29)

Kelainan pada kromosom diantaranya:

 Sindrom turner (wanita XO) yaitu wanita yang kekurangan sebuah kromosom X

 Sindrom klinefter (laki-laki XXY) yaitu laki-laki yang kelebuhan sebuah kromosom X

 Wanita super yaitu wanita kelebihan sebuah kromosom X

 Pria XYY

(30)

Suryo,2008.GENETIKA Strata 1.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Kimball, John W.1983.Biologi Edisi Kelima Jilid 1.Jakarta : PT Erlangga

Suryo, 2003. Genetika Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press Penentuan Jenis Kelamin. (Online). (dikutip 3 juni 2010). Diperoleh dari

http://books.google.co.id/books?

id=2bPXe2S4gxoC&pg=PT175&lpg=PT175&dq=type+penentuan+jenis+kelam in&source=bl&ots=gdlLqD43Fd&sig=6QNk41wfD6GNYFE80gu6l3U1x7E&h

Gambar

Gambar 6.1.  Kromosom X dan Y masing-masing lazim  dilambangkan  dengan
Tabel Penentuan jenis kelamin pada lalat Drosophila
Gambar perkawinan pada lalat  Drosophila melanogaster yang menunjukan
Tabel 6.2. Ekspresi gen terpengaruh kelamin pada domba

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk hubungan antara konsep diri dengan kenakalan remaja, dan perbedaan kanakalan remaja ditinjau dari jenis kelamin,.. Peneliti memilih metode

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat viabilitas embrio sapi Pesisir yang dibiopsi dalam pelaksanaan sexing embrio (penentuan jenis kelamin embrio),

Berdasarkan penelitian identifikasi jenis kelamin burung Jalak Bali dengan cara membandingkan metode secara molekuler dengan metode identifikasi secara morfologi hasilnya

PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi)..

Berdasarkan hasil penelitian Penentuan Jenis Kelamin Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) dengan Metode Molekuler, maka hasil identifikasi dari 30 sampel

Sehingga dengan salah satu calon mempelai memalsukan identitas jenis kelaminnya seperti contoh salah satu calon mempelai yang seharusnya dalam data identitasnya adalah jenis

Berdasarkan hasil penentuan jenis kelamin molekuler dapat diketahui jenis ke- lamin L.lory jantan sebanyak 2 ekor dan betina 4 ekor dan dilanjutkan dengan metode

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan jenis kelamin pada beberapa jenis Aves seperti ayam Kampung, puyuh jepang, itik, merpati, beo nias, kakatua maluku