• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP PEMALSUAN IDENTITAS JENIS KELAMIN MENURUT NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI. (Analisis Putusan 192/Pdt.P/2012/PA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP PEMALSUAN IDENTITAS JENIS KELAMIN MENURUT NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI. (Analisis Putusan 192/Pdt.P/2012/PA."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP PEMALSUAN IDENTITAS JENIS KELAMIN MENURUT NO. 1 TAHUN 1974 DAN KHI

(Analisis Putusan 192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm)

Adresau Sipayung

Fakultas Hukum Universitas Indonesia E-mail : Adresau@yahoo.com

Abstrak: Dalam artikel ini membahas permasalahan tentang pemalsuan identitas jenis kelamin perkawinan yang dilakukan oleh perempuan yang mengaku dirinya laki-laki dalam data-data identitanya. Hal ini tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam. Melalui metode penelitian yuridis normatif dengan mengolah data sekunder diperoleh kesimpulan skripsi ini bahwa perkawinan melalui pemalsuan identitas jenis kelamin merupakan nikah fasid yang harus dilakukan pembatalan perkawinan. Kata Kunci: hukum perkawinan, Pembatalan Perkawinan dan Pemalsuan Identitas

Abstract:  In this article discusses about the issue of gender identity marriage fraud committed by a woman who claimed to be the identity data. This case does not meet the pillar and requirements of legal marriage in the regulations of Law No. 1 of 1974 and the Islamic Law. Through normative juridical research method by processing the data available this essay conclusion that marriage through gender identity fraud is annulment of marriage and marriage was null and void by a court decision religion local area.

Keywords : Marriage Law, annulment of marriage and identity fraud

Pendahuluan

Berbicara tentang perkawinan maka tidak akan terlepas dengan hubungan privat atau pribadi antar individu. Hal ini disebabkan bahwa dalam perkawinan akan terdapat perbuatan hukum antar individu baik itu sebelum dan sesudah perkawinan itu terlaksanakan yang akan menimbulkan akibat hukum.1 Akibat hukum tersebut dapat berupa sengketa antar individu yang melakukan

                                                                                                                         

1 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, cet.3, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005), hal 271.

(2)

perkawinan menimbulkan benturan dan kerugian bagi setiap kepentingan secara pribadi kepada pihak-pihak yang berinteraksi satu dengan yang lainnya. Sehingga Negara yang menyatakan dirinya merupakan negara hukum haruslah memiliki tindakan untuk melindungi masyarakatnya dengan dengan payung hukum.2 Hukum privat merupakan hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan. Misalnya; hukum perdata, hukum adat, hukum Islam dan sebagainya.3 Sehingga permasalah berkaitan dengan perkawinan di atur dalam hukum privat. Sumber dari hukum perdata dalam ranah perkawinan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan juga pengaturan yang lebih khususnya yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.4 Terhadap hukum Islam sendiri sumber yang mengatur perbuatan hukum dalam ranah perkawinan tersebut, selain dari ajaran-ajaran agama Islam sendiri biasanya digunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI).5

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 1 memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 2 menyebutkan bahwa “ pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan gholiidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah kepada Allah SWT ”. Dalam bahasa Arab perkawinan disebut dengan al-Nikah, yang artinya al-wath’i dan al-dammu wa al-jam’u wa al-tadakhul yang

                                                                                                                         

2  Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo S.H, “ Mengenal Hukum”, cet. 2, ( Yogyakarta:

Liberty, 2005 ), hal 12 – 13.

 

3 C.S.T. Kansil, “ Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia “, cet.7, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1986 ), hal 75.

4 Rachmadi Usman, “ Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia, cet. 1, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006 ), hal 244.

5 Ibid, hal 255.

6 Hilman Hadikusuma, “ Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum adat, Hukum Agama, cet 2, ( Bandung: Mandar Maju , 2003 ), hal 7.

(3)

mana arti tersebut terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ‘ibarat ‘an al-wath’ al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul, dan akad.7

Dari beberapa pengertian mengenai perkawinan itu sendiri maka dapat dilihat bahwa unsur laki-laki dan perempuan sebagai pihak yang akan melaksanakan perkawinan merupakan syarat utama perkawinan yang sah. Hal tersebut sejalan dengan tujuan perkawinan tersebut yang menyatakan perkawinan bertujuan membentuk keluarga dimana adanya anak yang dihasilkan dalam perkawinan dari seorang laki-laki dan perempuan yang melakukan hubungan biologis suami istri.8 Berkaitan terhadap unsur laki-laki dan perempuan dalam melangsungkan perkawinan, hal tersebut juga diatur dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 14 KHI yang mengatur syarat dari perkawinan yang sah. Dengan adanya pengaturan tentang syarat keabsahaan perkawinan ini, diharapkan agar setiap pihak dapat mematuhi dan melaksanakan segala aturan yang telah ditentukan. Namun tetap saja selalu ada penyimpangan dari ketentuan perkawinan tersebut baik itu dari kedua pihak yang akan melaksanakan perkawinan dan atau dari salah satu pihak saja yang melanggar ketentuan keabsahaan perkawinan. Peyimpanagan tersebut salah satunya mengenai pemalsuan identitas jenis kelamin. Setidaknya di indonesia ini ada beberapa kasus yang terjadi terkait pemalsuan identitas jenis kelamin untuk melangsungkan perkawinan yakni :9 kasus perkawinan di jatiasih di bekasi, jawa barat antara umar dan icha dimana icha calon istri memalsukan identitas jenis kelaminnya, kasus berikutnya terjadi di Gowa, Sulawesi Selatan. Dimana NS melaporkan pasangannya JN atas tuduhan penipuan dimana setelah beberapa tahun menjalani hubungan baru diketahui bahwa pasangannya adalah perempuan dan kasus terakhir dalam Putusan 0192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm.

                                                                                                                         

7 Wahbah al-zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), Juz VII, hal. 29.

8  Abdul Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. RINEKA

CIPTA, 1996), hal. 1.

 

9 http://news.okezone.com/read/2011/07/29/340/485655/soal-penipuan-jenis-kelamin-patuhi-prosedur-nikah.html

(4)

Dari permasalahan diatas terlihat adanya penyimpangan dari ketentuan perkawinan yang sah. Sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebuah alasan melakukan permohonan pembatalan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974. Namun dari ketentuan pembatalan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan itu sendiri dapat dilihat tidak secara terperinci dan spesifik diatur ketentuan apa saja yang menjadi sebab-sebab dapatnya melakukan pembatalan perkawinan dari peristiwa pemalsuan identitas jenis kelamin. Untuk pengaturan hukum Islam, berkaitan pembatalan perkawinan maka dikenal dua macam pembatalan yaitu pembatalan fasid dan fasakh. Hal yang menarik dari kedua macam pembatalan perkawinan menurut hukum Islam tersebut ialah adanya perbedaan dari sebab pembatalan yang menjadikan adanya perbedaan dari akibat dari pembatalan perkawinan tersebut. Sehingga akan mempengaruhi dari pengaturan terhadap pembatalan perkawinan yang terjadi terhadap peristiwa pemalsuan identitas jenis kelamin dalam pelangsungan perkawinan yang sah.

Terhadap permasalahan tersebutlah yang melatar belakangi penulis akan kemas dalam bentuk penulisan artikel dengan judul “Pembatalan Perkawinan Tehadap Pemalsuan Identitas Jenis Kelamin Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Analisa Putusan Nomor : 0192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm)

Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan pembatalan perkawinan yang diakibatkan pemalsuan identitas jenis kelamin menurut Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ?

2. Apakah pembatalan perkawinan terhadap pemalsuan identitas jenis kelamin termasuk Fasakh atau fasid dalam Hukum Islam dan bagaimana akibat hukumnya ?

(5)

Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan metode yuridis normatif dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dengan alat pengumpulan data studi dokumen. Untuk metode pengelolahan dan analisis data digunakan metode kualitatif.

Pembahasan

Penyimpangan dari Pemalsuan Identitas Jenis Kelamin dalam Perkawinan

Pemalsuan/manipulasi identitas terdiri dari dua suku kata yakni pemalsuan/manipulasi dan identitas. Manipulasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu manipulation yang berarti “penyalahgunaan atau penyelewengan”.10 Kemudian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manipulasi diartikan “sebagai upaya kelompok atau perseorangan untuk mempengaruhi perilaku sikap dan pendapat orang lain tanpa orang lain itu menyadarinya”.11 Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran norma yaitu kebenaran atau kepercayaan dan ketertiban masyarakat. Untuk pengertian “Identitasnya” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung makna ciri-ciri, keadaan khusus seseosrang, dan jati diri seseorang. Jadi, dari beberapa pengertian tersebut maka dapatlah ditarik suatu pemahaman bahwa manipulasi/pemalsuan identitas dalam perkawinan adalah suatu upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang untuk memalsukan data-data baik berupa status, tanda-tanda, ciri-ciri maupun keadaan khusus seseorang atau jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa kebohongan kepada pejabat negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan perkawinan.

Dalam peristiwa perkawinan dengan adanya Pemalsuan identitas jenis kelamin, yang menjadi titik penyimpangan atau cacat hukumnya ialah seperti yang dimaksud pada isi Pasal 58 ayat (2) UU No. 24 tahun 2013 tentang

                                                                                                                         

10 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2000 ), hal. 372.

11 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989 ), hal. 712.

(6)

Administrasi Kependudukan yakni Data Perseorangan seperti Jenis Kelamin, yang mana umumnya terdapat pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran dan seterusnya. Pengertian dari jenis kelamin itu sendiri yakni suatu bentuk gender yang membedakan seoarang laki-laki dan perempuan. Pemalsuan identitas jenis kelamin/bilogis ini dapat terjadi dalam suatu pelangsungan perkawinan. Dimana saat akan melangsungkan perkawinan salah satu calon mempelai membuat suatu dokumen palsu terhadap identitas jenis kelamin aslinya untuk menghindari syarat materi dari perkawinan yang sah. Sehingga dapat ditarik suatu pemahaman dari dilakukannya pemalsuan identitas jenis kelamin/biologis dalam suatu perkawinan itu adalah kenyataan dari salah satu mempelai sebagai penyandang jenis kelamin yang berbeda dengan jenis kelamin sesungguhnya.12 Peristiwa pemalsuan Identitas jenis kelamin ini biasanya terdapat pada saat memenuhi persyarat formil seperti melakukan pendaftaran pencatatan kehendak melangsungkan perkawinan dari Perkawinan yang sah berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974. Dimana pada tahapan ini, para calon yang menyatakan kehendak akan melangsungkan perkawinan di catatan sipil atau KUA (bagi beragama Islam) menyerahkan dokumen dan data-data dirinya untuk dilakukan pemeriksaan kelengkapannya dan pemeriksaan terhadap pemenuhan syarat perkawianan yang sah baik syarat materil umum maupun khusus.

Adapun faktor dari tindakan ataupun perbuatan manipulasi/pemalsuan identitas jenis kelamin dalam terjadinya suatu perkawinan tersebut yaitu :

a. Sikap mental buruk pelaku yang pada dasarnya ingin mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya hanya untuk kepentingan diri sendiri.

b. Masih kurangnya pengetahuan sebagian anggota masyarakat tentang perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku serta hukum munakahat.

                                                                                                                         

12 Alimin Mesra, Artikel Verifikasi Identitas Biologi, Jurnal Ilmu Pendidikan, Vol. XII. Juli 2012, hal 25.

(7)

c. Masih kurangnya tertib pelaksanaan administrasi pencatatan perkawinan, akibat kurangnya pengetahuan dan kemampuan teknis para petugas atau Pegawai Pencatat Nikah ( PPN ) dan walinya.

d. Ketidakteraturan dan kelemahan sistem administrasi kependudukan pintu utama untuk melakukan pemalsuan identitas.

e. Modusnya, tahu sama tahu, komitmen untuk merahasiakan ditambah dengan iming-iming sejumlah uang, selembar KTP palsu dapat diperoleh.

f. Perangkat aparat yang negotiable atau modus konspirasi

(persengkokolan), masih tetap eksis sampai sekarang.

g. Kurang bagusnya koordinasi antara pejabat/petugas pencatatan perkawinan yang berwenang menanganinya.

h. Belum sepenuhnya diterapkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, termasuk hukum munakahat belum merata dikalangan masyarakat dan instansi-instansi yang mengakibatkan kurangnya hukum.13

Dari peristiwa Pemalsuan Identitas dapat dilihat adanya penyimpangan dari syarat perkawinan yang sah sehingga adanya cacat hukum dari terlaksananya perkawinan dari pemalsuan identitas jenis kelamin. Jika ditinjau dari ketentuan yang dinyatakan pada Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 maka akan terdapat unsur yang menyimpang dari peristiwa pemalusan identitas jenis kelamin dalam melangsungkan perkawinan yakni terhadap unsur yang menyatakan bahwa adanya ikatan perkawinan itu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Hal ini menandakan perkawinan itu hanya dapat dilakukan oleh jenis kelamin yang berbeda. Dalam hukum Islam, terdapat juga ketentuan yang senada seperti itu dimana dapat dilihat dalam Al-Qur’an disebutkan dalam surat an-Nuur ayat 32 yang artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan”. Kemudian perkawinan yang mengharuskan dilakukan oleh laki-laki

                                                                                                                         

13 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. Ke-6, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 ), hal. 111.

(8)

dan perempuan juga diatur dalam ketentuan syarat-syarat perkawinan sah baik berasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan14 mengenai kehendak untuk melangsungkan perkawinan hanya di nyatakan oleh calon mempelai laki-laki dan perempuan. Ketentuan keharusan laki-laki dan perempuan yang menjadi calon yang mengukatkan diri dalam perkawinan diatur juga pada Pasal 14 dan Pasal 16 KHI yang menentukan bahwa syarat utama15 dari perkawinan yang sah ialah adanya laki-laki dan perempuan yang menjadi kedua calon mempelai dalam menyatakan kehendaknya melangsungkan perkawinan. Sehingga dari syarat ini menggambarkan dalam perkawinan itu tidak diperbolehkan adanya pernikahan yang sesama jenis baik itu dari kehendak bersama ataupun dari salah satu calon mempelai tanpa diketahui calon mempelai lainnya yang menggunakan perbuatan pemalsuan identitas jenis kelamin tersebut.

Terhadap tidak terpenuhinya syarat perkawinan yang sah berupa calon mempelai perkawinan ialah laki-laki dan perempuan dengan terjadinya perkawinan yang dilangsungkan dengan adanya salah satu calon yang memalsukan identitas jenis kelaminnya mengakibatkan tujuan dari suatu perkawinan yang sah dan sakral itu tidak terpenuhi dan rusak. Dimana tujuan dari perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan seperti yang termuat dalam Pasal 1 adalah membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.16 Dalam tujuan tersebut maksudnya ialah membentuk kesatuan masyarkat kecil yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak. Keluarga yang dapat mencapai kebahagiaan sangat erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan bagian dari tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan yang menjadikan semua itu hak dan kewajiban kedua orangtua.17 Tujuan perkawinan tersebut juga senada dengan

                                                                                                                         

14  Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia, ( Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004 ), cet. 2, hal. 22.

15  Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, Farida Prihatini, Hukum perkawinan Islam di

Indonesia,( Jakarta: Hecca Pub, 2005 ), hal. 62.

 

16 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Ghalia Indonesia: Jakarta, 1980, hal. 14.

(9)

hukum Islam, dimana Firman Allah dalam al-Qur’aan menyatakan: “Dan Allah menciptakan dari dirimu untukmu jodoh-jodoh dan menciptakan dari jodohmu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rejeki yang baik” (Q.S. an-Nahl : 72). Dari tujuan perakwinan tersebut disimpulkan salah satunya adalah adanya keturunan dalam perkawinan. Dimana Keturunan tersebut hanya dapat dicapai dengan perkawinan sah yang dilangsungkan oleh laki-laki dengan perempuan yang dapat melakukan hubungan biologis ataupu melakukan persetubuhan. Sehingga dengan terjadinya pemalsuan identitas jenis kelamin dalam perkawinan tersebut akan menimbulkan suatu akibat perkawinan yang sejenis yang mana dalam hal ini sudah pastinya tidak akan dapat memperoleh suatu keturunan dari perkawinannya.

Jadi dari beberapa penjelasan pemalsuan identitas jenis kelamin yang dikaitkan dengan ketentuan syarat serta tujuan dari perkawinan sah tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa peyimpangan yang terjadi terhadap peristiwa perkawinan dengan adanya pemalsuan identitas jenis kelamin adalah “tidak terpenuhinya syarat utama dari perkawinan yang sah yaitu hanya seorang laki-laki dan perempuan sajalah yang dapat melangsungkan perkawinan”. Sehingga dengan salah satu calon mempelai memalsukan identitas jenis kelaminnya seperti contoh salah satu calon mempelai yang seharusnya dalam data identitasnya adalah jenis kelamin perempuan dengan memalsukan dokumen identitas jenis kelamin tersebut berubah menjadi identitas jenis kelamin laki-laki dapat menimbulkan suatu perkawinan yang sejenis yang mana dari perkawinan tersebut tidak akan mencapai suatu tujuan perkawianan yang mulia yaitu memperoleh keturunan (anak) dalam suatu perkawinan tersebut.

Pembatalan Perkawinan Terhadap Pemalsuan Identitas Jenis Kelamin

Dari penyimpangan yang terjadi pada perkawinan yang disebabkan adanya pemalsuan identitas jenis kelamin ini membuat suatu perkawinan yang telah selesai berlangsung dapat dimohonkan suatu pembatalan perkawinan. Pembatalan perkawinan adalah suatu upaya hukum yang dilakukan terhadap perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              17 Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Bengkulu: Dina Utama Semarang (DIMAS), 1993, hal. 4.

(10)

namun perkawinannya sudah terlaksana dengan putusan hakim tentang tidak sahnya suatu perkawinan.18 Sesuatu yg dinyatakan tidak sah itu dianggap tidak pernah ada. Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No.l Tahun 1974 pengaturannya termuat dalam Bab VI, pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dalam Bab VI Pasal 37 dan 38. Untuk pengertian pembatalan perkawinan menurut Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan ini berarti bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana, maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Di dalam penjalan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974, kata “dapat” bisa diartikan bisa batal demi hukum dan bisa dibatalkan apabila cacat hukum dalam pelaksanaannya, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak lain. Dalam penjelasan mengenai pembatalan perkawinan itu ditentukan juga dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Batalnya suatu perkawinan dimuilai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”.

Adapun perbuatan-perbuatan yang menyangkut permohonan akan pembatalan suatu perkawinan diatur dengan lengkap dalam pasal berikutnya yang pada prinsipnya ditentukan beberapa langkah penting, yaitu :19

a. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri.

b. Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.

                                                                                                                         

18 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, jilid II, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1993 ), hal. 62.

(11)

c. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan, pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan taracara tersbut dalam Pasal 20 sampai Pasal 36 Peraturan Pemerintah.

Berkaitan dengan hukum Islam, pelaksanaan akad perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam adalah perbuatan sia-sia, bahkan dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hukum yang wajib dicegah oleh siapa pun yang mengetahuinya atau dengan cara pembatalan apabila perkawinan itu telah dilaksanakan.20 Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam dikenal istilah fasid. Fasid berasal dari kata ar-Fasid yang berarti rusak, hilangnya bentuk dari suatu meteri setelah bentuk itu terwujud. Dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah menyatakan : Artinya: “Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syaratnya, sedangkan nikah bathil ialah apabila tidak memenuhi rukunnya , hukum nikah fasid dan bathil adalah sama yaitu tidak sah”. Menurut al-Jaziry21, nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat-syaratnya. Sedangkan menurut al-Jaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seseorang tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut perlu dibatalkan dan jika telah terjadi persetubuhan maka itu dipandang sebagai Wathi’syubhat, tidak dipandang sebagai perzinahan.

Jadi dari ketentuan-ketentuan dari sebab dapat dilakukannya pembatalan perkawinan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan dan hukum Islam dalam Kompilasi Islam haruslah tetap kembali merujuk kepada pasal yang mengatur dari syarat-syarat sahnya perkawinan, hal ini karena dalam bab yang membahas tentang pembatalan perkawinan baik dari ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak secara terperinci menyebutkan dalam pasal bahwa pembatalan perkawinan tersebut dapat

                                                                                                                         

20 Amir Nuruddin dan A.A. Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2006), hal. 113.

21 Abdurrahman Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, ( Lentera Basretama, 1999 ), hal. 351.

(12)

disebabkan karena perkawinan yang dengan sesama jenis yang mana diawali dengan salah satu calon mempelai melakukan pemalsuan identitas jenis kelamin. Hal tersebut dikarenakan, pada bab pembatalan perkawinan baik dari ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam hanya menyatakan perkawinan yang dapat dimohonkan pembatalan apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan yang diketahui setelah berlangsungnya perkawinan. Namun pada dasarnya, meskpun tidak secara spesifik ditentukan dalam bab pembatalan perkawinan, tetap saja perkawinan yang dilakukan dengan adanya salah satu pihak memalsukan identitas jenis kelamin itu dapat dilakukan pembatatan perkawinan yang akibatnya “batal demi hukum”. Karena perbuatan pemalsuan itu merupakan cacat hukum dari perkawinan dari awalnya.

Analisa Putusan Nomor : 0192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm

1. Terhadap Fakta dalam Kasus Posisi

Dalam uraian kasus posisi atas Putusan 192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm

terdapat dua fakta yang harus dicermati terhadap analisis putusan ini. Fakta-fakta tersebut yakni fakta saat akan melangsungsungkan perkawinan dan fakta setelah terjadinya perkawinan.

Pada uraian yang temukan dalam fakta yang pertama, terdapat suatu keterkaitan dengan syarat dari sahnya untuk melangsungkan perkawinan yang sah secara materil. Dalam melangsungkan perkawinan, berdasarkan Pasal 1, Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 serta Pasal 14 dan Pasal 16 KHI bahwa ditentukan dalam melangsungkan perkawinan harus ada calon mempelai yakni seorang laki-laki dan perempuan yang merupakan calon suami dan calon isteri dimana calon mempelai ini yang memutuskan secara bebas kehendaknya untuk melangsungkan perkawinan. Apabila kita memperhatikan pada fakta pertama yang diuraikan dalam kasus posisi dimana saat akan melangsungkan perkawinan antara Tergugat II dan Tergugat III tepatnya pada saat pendaftaran pencatatan perkawinan bahwa berdasarkan pemeriksaan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga maupun Surat Keterangan dari Desa Kembang Tanjung tempat tinggal

(13)

Tergugat II dinyatakan adalah seorang laki-laki dan secara fisik Tergugat II terlihat selayaknya laki-laki, dimana bentuk fisiknya berambut cepak, bercelana panjang dan memakai kemeja atau kaos begitu juga sebaliknya Tergugat III dinyatakan seorang perempuan dari data-data dokumen perkawinannya. Sehingga pada saat proses pemeriksaan di KUA Kabupaten Lampung Utara, Tergugat II dan Tergugat III dinyatakan dapat melangsungkan perkawinan. Untuk syarat materil lainnya seperti batas usia menikah, tidak dalam status pernikahan dan tidak dalam masa iddah, hal tersebut telah dipenuhi dari pemeriksaan dokumen Tergugat II dan Tergugat III seperti KTP, Kartu Keluarga maupun Surat Keterangan dari Desa Kembang Tanjung tempat tinggal. Dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga maupun Surat Keterangan dari Desa Kembang Tanjung tempat tinggal yang diserahkan ke KUA tersebut berisikan semua identitas tentang diri si calon pengantin baik itu nama para pihak, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, status perkawinan dan sebagainya. Dalam dokumen tersebut lengkap dan terperinci dituliskan identitas diri dari si calon pengantin tersebut. Dari kasus posisi tersebut dinyatakan data-data dari dokumen tersebut benar dan lengkap sehingga dapat dipahami bahwa syarat-syarat dari materil perkawinan terpenuhi sehingga dapat melaksanakan perkawinan.

Kemudian dari fakta kedua, dapat diketemukam beberapa pelanggaran dari ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam setalah berlangsungnya perkawinan dan hal tersebut dilakukan dengan Pemalsuan Identitas Jenis Kelamin. Terlaksananya perkawinan antara Tergugat II dan Tergugat III terjadi dikarenakan adanya data-data ataupun dokumen yang dipalsukan dimana sebenarnya dokumen tersebut tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan yang diberikan ke pegawai pencatat pendaftaran perkawinan saat pemeriksaan administratif. Dalam kasus posisi tersebut, yang melakukan pemalsuan identitas ialah Tergugat II yang menggantikan identitas jenis kelaminnya menjadi laki-laki dalam dokumennya saat pemeriksaan di KUA. Sehingga ditemukan fakta bahwa seolah-olah Tergugat II dalam hal pemenuhan syarat-syarat melangsungkan perkawinan dalam hal ini syarat materil dari perkawinan yang sah sudah terpenuhi oleh sebab itu dia dapat menikah dengan Tergugat III. Fakta kedua tersebut, sangat berkaitan dengan pembatalan

(14)

perkawinan. Dimana tindakan pemalsuan identitas jenis kelamin tersebut dapat dimintakan untuk pembatalan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 22 UU No.1 Tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Tidak memenuhi syarat maksudnya disini bahwa salah satu pihak ataupun kedua-duanya tidak memenuhi syarat materil berupa syarat-syarat yang berhubungan dengan rukun perkawinan sehingga apabila perkawinan tersebut telah terlaksana maka perkawinan tersebut tidak sah sehingga dapat dilakukan pembatalan perkawinan. Terhadap ketentuan Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 ini, bahwa syarat yang tidak dipenuhi itu yakni syarat yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1, Pasal 6 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 dan Pasal 14 dan 16 KHI sehingga dalam hal ini tujuan dari pelaksanaan perkawinan yang menurut Hukum Islam dan peraturan perkawinan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia agar tercipta ketenangan dan ketenteraman keluarga tidak terpenuhi oleh perkawinan tersebut. Dimana Tergugat II yang melakukan pemalsuan Identitas dalam dokumen mengubah identitasnya dari seorang perempuan menjadi seorang laki-laki yang mana secara fisik tergugat II masihlah seorang perempuan. Dalam perkawinan yang dilangsungkan salah satu calon dengan pemalsuan identitas jenis kelamin mengakibatkan terjadinya perkawinan yang sejenis dimana menurut UU perkawinan sangat ditentang. Secara jelas juga telah dipaparkan pada Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan harus berdasarkan hukum agamanya masing-masing. Hal ini sangat jelas apabila mengacu ke pada hukum agama masing yang diakui di Indonesia tidak satu pun agama yang memperbolehkan adanya perkawianan yang sejenis baik itu laki-laki dengan laki-laki ataupun perempuan dengan perempuan.

Terhadap fakta kedua tersebut, bahwa terjadinya perkawinan yang terdapat cacat hukum dengan adanya pemalsuan identitas jenis kelamin yang dilakukan oleh Tergugat II sebenarnya tidaklah diketahui oleh pihak Tergugat III dan Penggugat yang merupakan orang tuanya. Sehingga terjadi kekeliruan dari ister terhadap diri suami. Dimana hal tersebut diatur dalam Pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974 ayat (2) yang mana terhadap keadaan adanya salah sangka mengenai

(15)

diri suami atau isteri maka dapat diajukan pembatalan oleh seorang suami atau istri. Dalam kasus posisi, jelas terjadinya salah sangka atau keliru terhadap diri si suami, diaman dengan adanya pemalsuan identitas jenis kelamin oleh tergugat II membuat Tergugat III menyangka bahwa si Tergugat II ialah seorang laki-laki yang mana secara fisik dan kenyataan adalah seorang wanita. Sehingga hal tersebut membuat perkawinan tersebut rusak ataupun cacat hukum dan sebenarnya perkawinannya tidak sah dari awalnya. Apabila ditinjau dari syarat formil dari pelaksanaan perkawinan yang dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 12 UU No. 1 Tahun 1974, yang diatur lebih lanjut di dalam Pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, selain dengan terjadinya tindakan pemalsuan identitas jenis kelamin oleh salah satu pihak calon mempelai tanpa diketahui calon mempelai lain merupakan tindakan kejahatan yang terdapat dalam Putusan 192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm, hal lain juga memperlihatkan terdapat kelalaian dan kurang ketelitian dari pejabat Pendaftaran pencatatan nikah (P3N) pada saat pemeriksaam administrasi data serta dokumen para pihak calon yang akan melangsungkan perkawinan di KUA dan kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam. Melihat secara singkat tata cara pelaksanaan perkawinan secara formil seperti Pemberitahuan, Penelitian, Pencatatan, pemberitahuan, pelaksanaan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan. Berasarkan uraian pada tata cara pelaksanaan perkawinan, maka diantara tahapan dari penelitian sampai pencatatan pendaftaran perkawinan inilah sering terjadi adanya kekurang hati-hatian dan kurang telitinya pejabat P3N dalam melaksanakan tugasnya dalam memeriksa setiap data dan dokumen yang menunjukkan keterangan identitas setiap calon yang akan memberitahukan kehendaknya untuk melangsungkan perkawinan. Pada kasus posisi tersebut diperjelaskan dimana Tergugat II memalsukan identitas jenis kelaminnya dari yang mana pada nyatanya Tergugat tersebut adalah perempuan menjadi identitas jenis kelamin laki-laki pada dokumen dan data-data yang diperiksa oleh petugas P3N pada saat pendaftaran kehendak untuk melangsungkan perkawinan

Selain karena kekurang hati-hatian dan kurang ketelitian P3N dalam menjalankan kewenangannya dalam pemeriksan yang hanya sebatas melakukan

(16)

pemeriksaan administrasi data-data dan dokumen yang berupa KTP, Kartu Keluarga,Surat Keterangan dari wilayah tempat tinggalnya sehingga terjadinya perkawinan yang dengan adanya pemalsuan identitas jenis kelamin ini seperti

Putusan 192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm, menurut penulis seharusnya ada kewenangan untuk melakukan verifikasi biologis bagi petugas yang memeriksa kedua calon mempelai pada tahapan awal sebelum pelangsungan perkawinan. Verifikasi yang dimaksud adalah proses untuk memastikan kesamaan antara identitas biologis formal dengan identitas biologis yang tertera pada KTP dan dokumen lainnya dengan identitas biologis faktual seakurat mungkin. Dasar dari verifikasi biologis ini ialah

Terhadap ketentuan Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam, mengenai pembatalan perkawinan dikenal istilah pembatalan fasid. Fasid berasal dari kata ar-Fasid yang berarti rusak, hilangnya bentuk dari suatu materi setelah bentuk itu terwujud. Dalam kitab dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah menyatakan : Artinya: “Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syaratnya”. Dikalangan Mazhab Syafi’iyyah, disebut bahwa nikah fasid adalah akad nikah yang di lakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi kurang salah satu syarat yang ditentukan oleh syara’. Dari pengertian dari fasid tersebut maka syarat yang dimaksud tersebut yang berkaitan pada fakta kedua terhadap pemalsuan identitas jenis kelamin yaitu syarat-syarat perkawinan dan larangannya yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dimana yang dapat menjadi batalnya suatu perkawinan. Sebab-sebab yang menimbulkan fasid yang dimaksud yakni tidak terpenuhinya syarat terhadap adanya calon mempelai yaitu seorang laki-laki dan perempuan yang menyatakan kehendak bebasnya untuk melangsungkan pernikahan. Melihat dari sebab-sebab yang dapat mengakibatkan pembatalan perkawinan maka yang pembatalan yang dimaksud dalam kasus posisi dalam Putusan 192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm yaitu pembatalan Fasid yang mana akibatnya perkawinan tersebut “batal demi hukum” yang artinya dari awal perkawinan tersebut tidak dianggap sama sekali ada.

(17)

Dasar hukum yang digunakan yang digunakan oleh Hakim yang memeriksa dan memutus perkara dalam Putusan 192/Pdt.P/2012/PA.Ktbm yakni Pasal 23 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 73 KHI untuk pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan, Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 4 dan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam terhadap ketentuan yang menyatakan perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat II dapat dimohonkan Pembatalan Perkawinan. Terhadap dasar hukum yang diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara ini sudah tepat. Hal ini dikarenakan melihat tindakan yang dilakukan oleh Tergugat II yang dalam hal ini melakukan penyimpangan dalam melaksanakan perkawinan yang sah.

Kemudian dari isi putusan hakim, hal yang menurut saya harus ditambahkan didalam pertimbangan hukumnya yakni mengenai Pasal 27 UU No.1 Tahun 1974 dan Pasal 72 KHI. Dimana Pasal tersebut menerangkan terhadap adanya kekeliruan atau kesalahpahaman terhadap calon suami atau isteri dari salah satu calon dikarenakan adanya tindakan penipuan. Hal tersebut menurut saya sangat penting dijadikan pertimbangan hakim karena dari tindakan yang dilakukan Tergugat II adalah manipulasi ataupun pemalsuan identitas dokumen perkawinannya diamana pihak calon Isteri dan keluarganya tidak mengetahuinya.

Penutup

Kesimpulan dari penjelasan dan penjabaran mengenai permasalah pembatalan pemalsuan identitas jenis kelamin yaitu :

1. Bahwa dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang tercermin dari ajaran-ajaran Islam telah diatur mengenai hukum pembatalan perkawinan karena adanya unsur penipuan ataupun kekeliruan dalam hal calon suami ataupun istri melakukan pemalsuan identitas jenis kelaminnya yaitu pada Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat 2 KHI. Dan juga pada Pasal 22 UU Perkawinan tersebut dapat dijadikan dasar pembatalan perkawinan dimana dinyatakan apabila perkawinan yang telah terlaksana diketahui terdapat syarat rukun perkawinan yang tidak dipenuhi. Pembatalan tersebut didasari

(18)

dari sebab-sebab yang tercantum dalam Pasal 2, Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dan ketentuan dari hukum Islam dalam konsep fasid. Tindakan pemalsuan identitas jenis kelamin dari salah satu pihak dalam perkawinan dilakukan dengan mengubah identitas yang sebenarnya perempuan menjadi laki-laki atau sebaliknya laki-laki menjadi perempuan membuktikan adanya syarat dari perkawinan yang dilanggar yaitu pihak yang dapat melangsungkan perkawianan haruslah laki-laki dan perempuan. Yang mana pada intinya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengenal adanya perkawinan sesama jenis baik itu dilakukan dengan pemalsuan identitas jenis kelamin oleh salah satu calon ataupun secara bersama-sama. Sehingga dari hal tersebut, dapatlah dimintakan permohonan untuk melakukan pembatalan perkawianan. Sehingga dengan adanya putusan dari pengadilan atas pembatalan tersebut adanya kepastian hukum atas kejelasan perkawinan yang sebenarnya dari awal perkawinan tersebut sudah rusak dan batal demi hukum. Terhadap ketentuan tata cara pengajuan dan pemeriksaan pembatalan perkawinan tersebut telah diatur didalam pasal 20 sampai 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 2. Perkawianan yang dilangkungkan dengan adanya pemalsuan identitas

adalah merupakan pembatalan perkawinan berupa fasakh yang disebabkan oleh perkawinan fasid. Hal ini dikarenakan sebab-sebab yang diatur dari terjadinya perkawinan Fasid tersebut. Yang mana sebab-sebab tersebut yaitu karena tidak memenuhi syarat-syarat dari pelaksanaan perkawinan yang sah dan melanggar dari larangan pekawinan. Melihat peristiwa pemalsuan identitas jenis kelamin maka dalam hal ini adanya pengubahan data dalam dokumen perkawinan yang mana salah satu calon pengantin secara fisik sebenarnya laki-laki ataupun sebaliknya. Setelah perkawinan terlaksana, ditemukan adanya perkawinan sejenis yang mana ini bertentangan dengan syarat dari materil perkawinan yakni yang dapat mengikatkan diri dalam suatu perkawinan ialah seorang laki-laki dan perempuan. Sehingga perkawinan dengan pemalsuan identitas jenis kelamin itu “batal demi hukum” dan dianggap tidak ada perkawinan yang

(19)

terjadi sebelumnya dengan dimohonkan pembatalan dari Pengadilan Agama untuk umat muslim supaya adanya kepastian hukumnya.

3. Dasar hukum yang digunakan oleh hakim dengan menggunakan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 4 dan Pasal 14 KHI dalam memutus perkara pembatalan perkawinan dikarenakan adanya pemalsuan identitas jenis kelamin sudahlah tepat. Karena akar dari permasalahan pernikahan dengan pemalsuan identitas jenis kelamin ini pada intinya melanggar pada syarat materil dari perkawinan yang sah yaitu syarat yang menharuskan harus laki-laki dan perempuan yang dapat melangsungkan perkawinan. Namun yang menjadi kurang lengkap atas dasar hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan perkara ini ialah tidak digunakannya dasar hukum pada pasal 27 UU Perkawinan dan Pasal 72 KHI yang mana hal ini berkaitan pada permasalahan pemalsuannya atau tindakan penipuannya yang menjadikan salah satu calon penggantin salah sangka ataupun keliru terhadap diri calon pasangannya. Sehingga dengan menambahakan atau menggunakan dasar hukum terdebut tmaka pendapat hakim dala pertimbangan hukumnya menjadi semakin kuat untuk memberikan putusan pembatan perkawinan.

Daftar Pustaka Buku

al-zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu. Damsyiq: Dar al-Fikr. 1989. Juz VII.

C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1986.

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2004.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka. 1989.

(20)

Echols, V dan Hasan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta : PT. Gramedia. 2000.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum adat, Hukum Agama. cet 2. Bandung: Mandar Maju. 2003.

Jawad Mughniyyah, Abdurrahman. Fiqih Lima Madzhab. Lentera Basretama. 1999.

Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, Farida Prihatini. Hukum perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Hecca Pub. 2005.

Nur, Djamaan. Fiqih Munakahat. Bengkulu: Dina Utama Semarang (DIMAS). 1993.

Nuruddin, Amir dan A.A. Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana Pernada Media Group. 2006.

Rahman, Abdul I Do. Perkawinan dalam Syariat Islam. Jakarta: PT. RINEKA CIPTA. 1996.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. cet. Ke-6. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta: 1980.

Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. cet.3. Jakarta: PT Rineka Cipta. 2005. hal 271.

Usman, Rachmadi. Aspek Hukum Perorangan dan Keluarga di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2006

Artikel dan Website

Mesra, Alimin. Vol. XII. Juli 2012. Artikel Verifikasi Identitas Biologis. Jurnal Ilmu Pendidikan.

http://news.okezone.com/read/2011/07/29/340/485655/soal-penipuan-jenis kelamin-patuhi-prosedur-nikah.html

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilakukan pewarnaan Gram dari koloni bakteri 20 sampel yang diduga Streptococcus yang diuji kemu- dian dilakukan pengamatan dengan menggunakan

2) digunakan bagi petani dalam membiayai proses penananam lahan dan juga bagi pabrikan dapat digunakan untuk membiayai persediaan bahan baku. Apabila terjadi cedera

kompetensi diri yang baik merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout. yaitu low personal accomplishment (Maslach, Leiter &

skripsi dengan judul ” Upaya Peningkatan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Melalui Penerapan Model Pembelajaran Talking Stick Pada Siswa Kelas 3 SD Mangunsari 5 Salatiga Semester 2

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan berbagai budaya sekolah yang berhubungan erat dalam pembinaan akhlak siswa di SMA Negeri 1 dan

Hasil penelitian perhitungan uji Analisis Variansi Dua Jalan Sel Tak Sama diperoleh (1), Fa 0,00 < 0,05 terdapat perbedaan keterampilan proses sains antara

Sehingga dalam hal ini lebih baik menggunakan metode mapping area dalam perlindungan korosi pada pipa, karena penggunaan perlindungan katodik akan lebih

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi saya yang berjudul “PENGARUH OLAHRAGA JALAN KAKI