• Tidak ada hasil yang ditemukan

karya ilmiah Dan DEWI CAHYANI.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "karya ilmiah Dan DEWI CAHYANI.pdf"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I. PENDAHULUAN

Degradasi kualitas air terjadi akibat adanya perubahan pada parameter yang mendukung suatu ekosistem perairan. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh adanya aktivitas pembuangan limbah, baik limbah pabrik, pertanian maupun limbah domestik ke dalam badan perairan. Perairan merupakan satu kesatuan (perpaduan) antara komponen fisika, kimia, dan biologi dalam suatu media air pada wilayah tertentu. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi, jika terjadi perubahan pada salah satu komponen maka akan berpengaruh pula terhadap komponen lainnya (Basmi, 2000). Contoh pengaruhnya adalah masuknya berbagai limbah yang dapat dikatakan sebagai sampah yang memiliki potensi mencemari lingkungan perairan, salah satunya yaitu sungai (Rusdiyanti, 2009)

Sungai merupakan suatu ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam siklus hidrologi yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment water) bagi daerah sekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sanga dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan dan sekitarnya. Sebagai suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai komponen abiotic dan bioik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang saling mempengaruhi (Setiawan, 2009).

Organisme yang memiliki nilai toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya, organisme yang memiliki nilai toleransi yang rendah, maka penyebarannya juga sempit. Sebagai contoh, makrozoobentos yang memiliki toleransi yang lebih tinggi, maka tingkat kelangsungan hidupnya akan semakin tinggi. Oleh karena itu, tingkat pencemaran suatu perairan dapat dilihat dari keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos yang terdapat di suatu perairan sungai (Purnomo, 2013).

(2)

2

dalam bioassasement atau biomonitoring. Keanekaragaman jenis bangsa ini diwakili oleh lebih dari 42 suku, 400 marga dan kurang lebih 3000 spesies (Barber-James et al., 2008). Suku Baetidae merupakan satu dari sekian suku dalam bangsa Ephemeroptera yang menjadi salah satu fokus bahasan ilmiah dalam 10 tahun terakhir di Amerika (Buffagni et al., 2004).

(3)

3

BAB II. BIOLOGI LARVA SERANGGA SUKU BAETIDAE

A. Morfologi

Pada umumnya, morfologi serangga terdiri dari 3 bagian yaitu caput (kepala), toraks (dada), abdomen (perut) dan 3 pasang kaki (Gulland & Craston, 2005). Suku Baetidae tubuhnya memiliki 2 antena; toraks yang terdiri dari protoraks, mesotoraks dan metatoraks; beberapa suku darinya memiliki wing-bud; abdomen yang bersegmen; insang dan ekor (Gambar 1).

Gambar 1. Larva Ephemeroptera: Baetidae (Kriska, 2013)

Bagian kepala larva serangga suku Baetidae terdapat sepasang antena, sepasang mata majemuk, mulut, dan setae. Serangga ini memiliki tipe kepala Hypognathus, yaitu bentuk kepala dengan posisi organ mulut menghadap ke bawah. Antenna pada hewan ini memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan panjang dan lebar kepalanya denagn kedudukan berada di marjin distolateral kepalanya. Selain itu, hewan ini memiliki tipe mulut menggigit dan mengunyah yang terdiri dari labrum atau bibir atas yang berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam mulut, epifaring atau lidah yang berfungsi sebagai alat pengecap, mandibulla atau rahang bagian atas untuk mengunyah, memotong dan melunakkan makanan, maksilla atau rahang bagian bawah untuk mengambil makanan, hipofaring atau hampir sama dengan epifaring, dan labium atau bibir bawah yang berfungsi untuk membuka dan menutup mulut. Sebagian besar bagian kepala seranga ini terdapat setae atau bulu halus (Nieto, 2010)

(4)

4

Sama seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada bagian toraks terdiri dari 3 segmen yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks yang dimana masing-masing bagian tersebut terdapat sepasang tungkai (Borror e al, 1996). Tungkai serangga pada umumnya terdiri dari coxa (pangkal paha), femur (paha), tibia (betis), dan tarsal (ruas-ruas jari). Pada larva suku Baetidae, femur terdapat 6 setae di bagian punggung femur yang berbentuk runcing, berjarak dan panjang di bagian distal (Ohio EPA, 2013).

Gambar 2. Morfologi Baetidae (http://www.entomology.umn.edu/midge /VSMIVP%20Key/English/VSMIVP.htm)

Pada abdomen berwarna coklat terang dengan terbagi menjadi 11-12 segmen dengan setiap segmennya terdapat sepasang gills (insang) yang berbentuk seperti helaian daun (Gambar 3).

(5)

5

B. Klasifikasi

Klasifikasi Baetidae menurut Kluge (1992) dalam Mc. Cafferty & Edmunds (2008) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animal Phylum : Arthropode Class : Insect

Order : Ephemeroptera Superfamily : Baetoidae Family : Baetidae

C. Siklus Hidup

Suku Baetidae merupakan serangga yang memiliki siklus hidup tipe Hemimetabola. Dimana, seluruh individu pada saat fase larva berada di dalam dasar perairan kemudian pada fase dewasa bermetamorfosis memiliki sayap sehingga hidupnya berada di atas permukaan perairan dan terbang. Saat kawin, suku Baetidae melakukannya saat terbang. Setelah siap untuk bertelur, individu betina dewasa memerlukan media air untuk mengeluarkan telurnya dengan membenamkan sebagian posteriornya.

Gambar 4. Siklus Hidup Ephemeroptera (Martynov, 2013)

(6)

6

hidup serangga Baetidae. Dari hasil yang ia dapat dinyatakan bahwa populasi serangga tersebut tidak mampu bertahan di musim dingin. Larva tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam suhu di musim dingin. Pada saat bertelur, individu betina berjalan mencari persinggahan seperti bebatuan atau benda lain di sekitarnya untuk membantu saat betina membenamkan sebagian tubuhnya dan mengeluarkan telur. Dalam sekali bertelur, individu betina dapat menghasilkan sekitar 3000 hingga 3500 telur. Setelah bertelur individu tersebut mati (Martynov, 2013).

Menurut Raddum dan Fjellheim (1993); Brittain (1991), informasi mengenai siklus hidup dicatat untuk berbagai jenis studi ekologi invertebrata air tawar. Perubahan dalam deskripsi siklus hidup (kelangsungan hidup atau kematian, fekunditas, tingkat pertumbuhan, tahap perkembangan, ukuran dan umur) dari berbagai jenis semakin digunakan dalam penilaian ekologi sebagai indikator terhadap stress lingkungan. Informasi mengenai siklus hidup dapat sangat berguna untuk menilai dampak perubahan terhadap suhu air dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan (Buffagni et al., 2002). Kedua komponen tersebut dianggap sebagai faktor penting terhadap siklus hidup invertebrate air (Vannote dan Sweeny, 1980).

(7)

7

BAB III. EKOLOGI LARVA SERANGGA SUKU BAETIDAE

A. Makanan

Pada umumnya, larva serangga yang tergolong di dalam bangsa Ephemeroptera merupakan tipe kolektif, grazer, yang memakan berbagai macam alga (macrophyta) serta hewan (Nieto, 2010). Menurut sebuah penelitian oleh Hadisusanto dan Kristanto (2009), terdapat tiga perilaku makan pada bangsa Ephemeroptera yaitu Detritivore, Gatherer, dan Scrapper (Table 1). Pada penelitian tersebut mereka mengklaim bahwa Suku Baetidae masuk ke dalam kelompok makan detritivor atau pemakan detritus, yaitu bahan organik bebas dari sisa-sisa makhluk hidup. Sedangkan menurut Hart dan fuller (1974), Suku Baetidae memiliki sifat makan yang tergolong scaper atau tipe hewan pemakan organisme yang menempel pada substrat perairan, berada wilayah perifiton. Biasanya pada golongan ini akan mengalami penurunan kelimpahan jika terdapat sedimen serta polusi organik.

Tabel 1. Kelompok makan semua anggota Ephemeroptera berdasarkan penelitian (ICBS 2009 BIO-UGM Hadisusanto dan Kristanto, 2009)

Feeding Group Family Genera

Detritivore 1. Baetidae a. Centropilum

b. Baetis

2. Tricorythidae c. Leptohyphea

Gatherer 3. Leptophlebidae d. Atalophlebia

e. Genus A 4. Siplonuridae f. Siplonurus

Scrapper 5. Heptagenidae g. Heptagenia

Detritivore, Gatherer and Scrapper 6. Caenidae h. Caenis

(8)

8

parameter lingkungannya adalah suhu air, kecepatan arus, pH air, kandungan C-organik, substrat Nitrat (N) dan Fosfat (P), serta kandungan Kalsium (Ca) pada badan air.

Menurut Brittain (1990), suhu air merupakan faktor yang membatasi keberadaan keberadaan organisme serangga akuatik karena suhu adalah faktor utama yang berpengaruh terhadap perkembangan dari siklus hidupnya. Kulkula (1997) menyatakan bahwa Baetidae merupakan hewan yang sensitif terhadap suhu.

B. Distribusi dan Habitat

Karakteristik lingkungan tempat hidup suku Baetidae, menurut Nieto (2010) yaitu memiliki pH berkisar antara 5,6 sampai 8,5 ; memiliki kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen) antara 4-14 ppm ; kandungan ammonium sekitar 0,01 – 5,00 ppm ; kandungan Nitrat antara 0,03-15,4 ppm serta Fosfat kurang dari 0,01-0,62 ppm ; nilai BOD antara 0,3 – 15,4 ppm dan nilai kekeruhan air antara 3-lebih dari 72.000 ppm. Tipe substrat pun juga menjadi bahasan dalam ekologi organisme larva serangga tersebut, karena substrat masuk ke dalam faktor yang mempengaruhi keberadaan suatu organisme.

Substrat merupakan bagian dasar perairan yang terdiri dari batuan besar, kerikil lumpur, dan tanah liat berpasir. Substrat dasar perairan berupa batuan besar atau kerikil yang ditempati oleh banyak organisme, sedangkan substrat berupa lumpur dan tanah liat berpasir ditempati sedikit organisme. Tipe substrat dasar suatu perairan dipengaruhi oleh letak geografik dan dari partikel organik dan non-organik yang dapat tersebar oleh arus air. Partikel-partikel dapat berpindah tempat atau terikat kuat di dasar, akibatnya penyebaran sedimen terjadi pada daerah yang mengalir. Dasar perairan yang menggenang (lentic) bersifat lunak seperti pasir atau lumpur, sedangkan pada perairan yang mengalir (lotic) bersifat keras seperti bebatuan. Tipe substrat perairan akan mempengaruhi keanekaragaman komposisi hewan bentos (Dordevic at al., 2015). Menurut Merrit dan Communis (2002), larva serangga suku Baetidae senang berada atau hidup di bebatuan sungai dasar perairan.

(9)

9

yang optimal bagi kelangsungan hidup banyak spesies dari suku Baetidae. Kombinasi jenis yang berbeda biasanya direpresentasikan dalam aliran daerah pegunungan dan dataran rendah menciptakan berbagai mikro dan mesohabitat, sehingga memberikan kontribusi untuk kekayaan taksa. Selain itu, karakteristik fisik dan kimia air sungai pegunungan yang pada umumnya menguntukan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan larva serangga Baetidae (Bauerfeind dan Solda, 2012).

C. Peran Dalam Ekosistem

Serangga pada umumnya mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekosistem, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tanpa kehadiran suatu serangga, maka kehidupan suatu ekosistem akan terganggu dan tidak akan mencapai suatu keseimbangan. Peranan serangga dalam ekosistem diantaranya adalah sebagai polinator, dekomposer, predator (pengendali hayati), parasitoid (pengendali hayati), hingga sebagai bioindikator bagi suatu ekosisitem (Williams I.H, 2002).

Serangga bioindikator merupakan hewan yang sangat sensitif/responsif terhadap perubahan atau tekanan pada suatu ekosisitem dimana ia hidup. Penggunaan serangga sebagai indikator kondisi lingkungan atau ekosistem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga ini mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari bangsa Ephemeroptera. Tidak adanya serangga Ephemeroptera menandakan lingkungan tersebut telah tercemar, karena serangga ini tidak bersifat toleran terhadap polusi organik sekalipun. (Shahabuddin, 2003).

Ephemeroptera merupakan exopterigotes dan hemimetabolous. Bangsa ini seluruhnya adalah serangga air seperti nimfa. Nimfa hidup sampai dengan satu tahun di bawah air, tetapi ketika dewasa biasanya hanya hidup selama satu hari atau beberapa hari saja. Ephemeroptera adalah satu-satunya bangsa serangga yang mengalami molting setelah sayapnya tumbuh. Fase ini disebut subimago. Kebanyakan nimfa hidup dengan memakan vegetasi yang telah membusuk dan detritus (Popoola dan Otalekor, 2011).

(10)

10

tersebut memiliki peranan sebagai sumber makanan bagi hewan air seperti ikan, amfibi, burung-burung air, dan sebagainya. Maka dari itu, organisme ini merupakan salah satu penghubung utama dalam jaring makanan dalam suatu perairan. Selain itu, seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa suku ini masuk ke dalam kelompok makan Detritivor, dimana kelompok ini memakan sisa-sisa bahan organik. Namun ada pula yang mengklaim bahwa kelompok ini memakan sisa-sisa makhluk hidup, maka kelompok tersebut dapat dianggap sebagai pengurai (Kluge, 1996).

(11)

11

BAB IV. BIOINDIKATOR

A. Suku Baetidae Dalam Indeks EPT (Ephemeroptera-Plecoptera-Trichoptera)

Dalam menentukan indeks kualitas air, suatu perairan dibutuhkan beberapa faktor pendukung yang dapat menggambarkan kondisi perairan tersebut secara keseluruhan. Indeks penentuan kualitas air secara fisik dan kimia merupakan indeks yang paling banyak digunakan oleh para peneliti. Namun, untuk menentukan kualitas secara keseluruhan diperlukan pula indeks biologi yang ada di perairan.

Di Kanada telah diterapkan metode Survey Invertebrata Sungai (SIS) yang digunakan untuk memantau kondisi sungai yang ada di Negara tersebut. Metode ini merupakan monitoring yang mencakup hewan makrozoobentos dari golongan intoleran, fakultatif, dan toleran terhadap polusi (Departemen Perikanan dan Kelautan Kanada, 2000).

Berbeda dengan Negara Kanada, Indonesia juga memiliki cara dalam menentukan kualitas dari suatu perairan berdasarkan keberadaan benthos yang disebut dengan BIOTILIK. Biotilik berasal dari kata bio atau makhluk hidup dan tilik atau menilik/memantau, yang berarti pemanfaatan makhluk hidup untuk memantau suatu kondisi lingkungan yang menjadi dua golongan indeks yaitu EPT dan non EPT (Kemen LH, 2013). EPT merupakan bangsa dari hewan bentos yang intoleran atau tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan air tercemar sedangkan Non EPT merupakan golongan hewan bentos yang toleran atau mampu menerima kondisi tercemar sekalipun.

(12)

12

dimasukkan ke dalam kolom indeks EPT guna membantu dalam perhitungan menentukan kualitas air di sungai tersebut.

Tabel 2 Kriteria kualitas air berdasarkan jumlah EPT (NCDEHNR, 1997)

Rating Amat Baik Baik Cukup Baik Cukup Buruk

Jumlah EPT > 27 21-27 14-20 7-14 0-6

Berdasarkan ketentuan yang digunakan oleh North Carolina Department of Environment, Health, and Natural Resources (NCDEHNR, 1997), mengenai cara untuk mengetahui kualitas suatu perairan sungai, ditentukan berdasarkan total dari jumlah individu EPT dalam sekian kali melakukan pengambilan sampel, Sebagai contoh, dalam 5 kali pengambilan sampel benthos di beberapa titik badan sungai, didapatkan sampel sebanyak 11 individu Ephemeroptera, 5 individu Plecoptera, dan 8 individu Trichoptera. Jika dijumlah, total dari keseluruhan sampel yang didapat sebesar 24 individu. Lalu, jumlah tersebut disesuaikan dengan tabel kriteria kualitas air berdasarkan jumlah EPT (Tabel 2) untuk menentukan kualitasnya. Angka 24 berdasarkan tabel tersebut menunjukkan kriteria kualitas perairan di titik tersebut adalah baik, yang menandakan bahwa kondisi lingkungan ekosistem sungai yang ada masih terjaga.

Gambar 5. Suku Baetidae dalam Lembar Panduan Identifikasi Biotilik

(13)

13

Sesuai pada Lembar Panduan Identifikasi Biotilik (terlampir), terdapat gambar organisme-organisme makrozoobentos yang digunakan sebagai alat bantu mengidentifikasi sampel. Dalam lembar tersebut gambar yang menunjukkan jenis suku Baetidae lebih banyak dibandingkan gambar suku organisme lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan organisme suku tersebut dalam suatu perairan sungai lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan suku lainnya dan memiliki kontribusi terhadap kelangsungan hidup di ekosistem perairan sungai tersebut. Adapun cara perhitungan yang digunakan dalam uji Biotilik seperti yang tertera pada Gambar 6, menggunakan tabel pemeriksaan .

Gambar 6. Tabel Pemeriksaan Biotilik (Vincent H. Resh, 2010)

(14)

14

Gambar 7. Tabel Penilaian Kualitas Air Sungai dengan BIOTILIK (Vincent H. Resh, 2010)

B. Perbandingan Kuantitas Keberadaan Larva Serangga Suku Baetidae Antara Hulu Dengan Hilir Sungai

Menurut Asdak (2007), ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih besar, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil, pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didomansi hutan gambut/bakau.

(15)

15

Dari perbedaan kedua bagian sungai di atas, dapat dibedakan kualitas pada masing-masing bagian tersebut dengan melakukan Biotilik atau metode biomonitoring lainnya. Pada hal ini, Baetidae memiliki kontribusi dalam membantu menentukan kualitas perairan yang ada dengan memasukan total individu pada sampel yang didapat ke dalam tabel indeks EPT yang kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan kuaalitas perairan tersebut.

Selain menggunakan Indeks EPT, dengan mengukur parameter fisika dan kimia perairan yang ada dapat membantu dalam studi ekologi larva serangga akuatik suku Baetidae. Menurut Thani dan Phalaraksh (2008), parameter tersebut yang perlu diukur terdiri dari:

1. Suhu

Suhu menjadi faktor pembatas dalam ekosistem perairan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Suhu perairan berasal dari radiasi matahari yang mengalami perubahan transformasi energi cahaya dari matahari berubah menjadi energi panas sehingga mempengaruhi suhu di perairan (Gufhran, 2007).

2. Arus

Kecepatan arus air akan mempengaruhi substrat dasar dari suatu perairan, sumber makanan melalui perpindahan nutrien dan adaptasi organisme yang hidup di badan air atau di dasar perairan. Menurut Allan (1995), organisme yang hidup di perairan yang berarus deras akan memiliki adaptasi dari segi ukuran, bentuk, dan kebiasaan hidup yang khusus. Biasanya insekta akuatik yang hidup di daerah berarus deras akan memiliki tubuh pipih dorsoventral dan merayap di substrat dasar perairan, contohnya pada bangsa Ephemeroptera (Asdak, 2007).

3. Oksigen Terlarut (DO)

(16)

16

terlarut. Semakin dalam kedalam suatu semakin kecil pula oksigen terlarutnya. (Salmin, 2005)

Tingkat kelarutan oksigen dalam perairan alami dan air limbah tergantung dari aktivitas fisik, biologi dan biokimia dalam badan air (APHA, 1989). Konsentrasi dari oksigen terlarut merupakan salah satu parameter penting sebagai indikator pencemaran pada sungai dan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan mahluk hidup. Oksigen dari udara diserap dengan cara difusi langsung atau agitasi permukaan air oleh angin dan arus. Oksigen yang terlarut dalam air dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas yang ada di udara maupun di dalam air, kadar garam serta senyawa atau unsur yang mudah teroksidasi air (Salmin, 2000).

4. Derajat Keasaman (pH)

Salah satu faktor yang mempengaruhi sifat kimia air sungai adalah pH. Air yang dianggap jernih misalnya air yang masih bersih dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang cenderung netral (pH = 7). Semakin ke arah hilir nilai pH akan semakin berfluktuasi. Hal ini disebabkan karena adanya pertambahan bahan-bahan organik yang dapat membebaskan karbondioksida (CO2) sehingga terjadi peningkatan dan penurunan

bilangan pH akibat terbentuknya garam karbonat dari ikatan antara CO2 dengan molekul

air (Barus, 2003).

5. Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD)

Uji BOD merupakan uji biokimia yang bertujuan mengukur jumlah zat organik yang mungkin dioksidasi oleh bakteri-bakteri aerobik, yang biasanya diukur pada jangka waktu lima hari pada suhu 20˚C. Hasil uji BOD dapat diterjemahkan sebagai jumlah oksigen yang digunakan selama oksidasinya karena terdapat hubungan kuantitatif di antara jumlah oksigen yang perlu untuk mengubah sejumlah campuran organik menjadi karbondioksida dan air (Ghazali, 2013).

(17)

17

Penurunan oksigen terlarut yang terukur membantu untuk menduga penurunan tingkat oksigen terlarut di air alam (Michael, 1996).

6. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD)

Uji COD digunakan secara luas sebagai suatu ukuran kekuatan pencemaran dari air limbah domestik maupun industri. Uji ini digunakan untuk mengukur oksigen yang dibutuhkan pada saat mengoksidasi bahan-bahan organik. Bahan oksidasi yang digunakan adalah kalium dikromat (K2Cr2O7) yang dapat diperoleh dalam keadaan yang

sangat murni. Kondisi sampel yang diuji harus dalam keadaan asam yang sangat kuat sehingga kalium dikromat dapat mengoksidasi berbagai macam bahan organik secara hampir keseluruhan menjadi karbondioksida dan air (Azizah dan Rahmawati, 2005).

Uji ini cocok digunakan dalam analisis tentang air limbah, selokan-selokan serta air yang tercemar. Uji ini secara khusus bernilai apabila BOD tidak dapat ditentukan karena terdapat bahan-bahan beracun (Michael, 1996).

7. Senyawa Amonium, Nitrit dan Nitrat

(18)

18

oksidasi antara ammonium dan nitrat yang dapat terjadi pada badan-badan perairan (Purnomo, 2013).

8. Senyawa Fosfat

(19)

19

BAB V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Larva serangga suku Baetidae merupakan hewan yang hidup dan banyak ditemukan di perairan air tawar dengan arus yang cukup deras.

2. Kriteria habitat suku Baetidae mendeskripsikan bahwa kelompok organisme tersebut hidup pada perairan yang memiliki kualitas yang baik.

3. Suku Baetidae memiliki peran dalam indeks EPT sebagai bagian dari alat ukur (parameter biologi) untuk menentukan kualitas perairan sungai.

(20)
(21)

21

DAFTAR PUSTAKA

Allan, JD. 1995. Stream Ecology: Structure and Function of Running Waters. Chapman and Hall. London. Hlm: 12-281.

American Public Health Association (APHA). 1989. Standar Methods For The Examination of Water an Waste Water. L-S. Clesceri, A.E. Greenberg, R.R Trussel (Eds): 17th Edition. Washington D.C.

Armitage PD., Pardo I., 1995. Impact assesment of regulation at the reach level using macroinvertebrate information from mesohabitats. Reguler. Rivers: Res. Mgmt., 10: 147-158.

Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Azizah R, Rahmawati RAA. 2005. Perbedaan Kadar BOD, COD, TSS dan MPN Coliform pada Air Limbah, Sbelum dan Sesudah Pengolahan di RSUD Nganjuk. Vol 2, No. 1: 97-100

Baptista DF, Buss DF, Dias LG, Nessimian JL, Da Silva ER, De Moraes Neto AHA., et al. 2006. Functional feeding groups of Brazilian Ephemeroptera nymphs: Ultrastructure of mouthparts. Annales de Limnologie. International Journal of Limnology, 42(2), 87–96.

Barber-James HM, Gattolliat JL, Sartori M. & Hubbard MD. 2008. Global diversity of mayflies (Ephemeroptera, Insecta) in freshwater. Hydrobiologia 595: 339–350. Barus, T. A, 2003. Pengantar Limnologi. Jurusan Biologi FMIPA USU. Medan

Basmi, J. 2000. Planktonologi : Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Makalah Fakultas Perikanan Institusi Pertanian Bogor. Bogor.

Bauernfeind E dan T, Soldán . 2012. The Mayflies of Europe (Ephemeroptera). Ollerup, Denmark: Apollo Books.

Borror DJ, Triplehorn CA dan Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Soetiono Porto Soejono. Gajah mada university Press. Yogyakarta. Brittain JE. 1991. Life History Characteristics As A Determinant Of The Response Of

(22)

22

Buffagni A., Erba S., Melissano L., 2004. Life cycles of Baetidae (Insecta: Ephemeroptera) in a North Italian Prealpine stream. CNR - IRSA National Research Council, Water Research Institute (Istituto di Ricerca Sulle Acque) 177-185

Buss DF, Baptista DF, Nessimian JL., dan Egler, M. 2004. Substrate Specificity, Environmental Degradation and Disturbance Structuring Macroinvertebrate Assemblages in Neotropical Streams. Hydrobiologia, 518: 179–188.

CORINE Land Cover (CLC). 2000. Serbia and Montenegro 2006. Belgrad: EvroGeomatika d.o.o; Podgorica: Geological Survey of Montenegro.

Dordevic N, Milosevic D, Paunosevic M, Petrovic A dan Simic V. 2015. New Data on The Distribution and Ecology of The Mayfly Larvae (Insecta: Ephemeroptera) of Serbia (Central Part of The Balkan Peninsula). Turkish Journal of Zoology. 39: 195-209

Imam Gazali, dkk, “Evaluasi Dampak Pembuangan Limbah Cair Pabrik Kertas Terhadap

Kualitas Air Sungai Klinter Kabupaten Nganjuk”, Jurnal Keteknikan Pertanian

Tropis dan Biosistem Vol. 1 No. 2:1-8.

Gufhran dkk. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta: Jakarta

Gulland PJ & PS Cranston. 2005. The Insect. An Outline of Entomology. Malden. Blackwell Publishing.

Hadisusanto, S dan Kristanto, A. 2009. Feeding Group Zonation of Ephemeroptera (Insecta) at Plarar-Gunung Sewu River, Gunung Kidul, Yogyakarta. ICBS 2009 BIO-UGM: 290-294..

Humpesch UH. 1984. Egg Development of Nondiapausing Exopterygote Aquatic Insects Occurring in Europe. In Kommission bei Springer-Verlag, Wien / New York: 329-341.

International Commission for the Protection of the Danube River (ICPDR) WFD Roof Report. 2004. The Danube River Basin. Part A – Basin-wide overview in Cooperation with The Countries of The Danube River Basin District.

Jana et al. 2007. Diversity and community structure of aquatic insects in a pond in Midnapore town, West Bengal, India. 30(2), hlm. 283-287.

(23)

23

Kementrian Lingkungan Hidup RI. 2013. Pelatihan Pemantauan Kesehatan DAS CILIWUNG dengan Metode Biotilik. http://www.menlh.go.id/pelatihan-pemantauan-kesehatan-das-ciliwung-dengan-metode-biotilik/. 2016; 12 Januari. Kluge NJ, novikova EA. 1992. Revision of The Palaearctic Genera and Sub Genera of

Mayflies of The Subfamily Cleoninae (Ephemeroptera; Baetidae) With Description of New Species from The USSR. Entomologi, Obozr. 71(1): 38-55. (English Translation in Entomol. Rev. 71(9): 29-54)

Kriska. 2009. Freshwater Invertebrate in Central Europe : Field Guide. https://books.google.co.id/books?id=baetidae.+Freshwater+invertebrate+in+cent ral+Europe&hl=onepage&q=baetidae.%20Freshwater%20invertebrate%20in%2 0central%20Europe&f=false. 2016; 27 Januari.

Kukula, K. 1997. The life cycles of three species of Ephemeroptera in two stream in Poland. Hydrobiologia 353: 193 - 198.

Lenat DR 1988. Water Quality Assessment Of Streams Using A Qualitative Collection Method For Benthic Macroinvertebrates. J N AM Benthol Soc 12: 222–233. Martynov AV. 2013. THE LIFE CYCLES OF MAYFLIES OF THE EASTERN

UKRAINE SUBFAMILY BAETINAE (EPHEMEROPTERA, BAETIDAE). Schmalhausen Institute of Zoology, NAS of Ukraine. Vol. 1: 36-44

McCafferty, W.P and G.F Edmunds, Jr. 1979. The Higher Classification of The Ephemeroptera and Its Evolutionary Basis. Ann. Entomol. Soc. Amer. 72 : 5-12. Merritt, R.W., Cummins, K.W. & Berg, M.B. 2002. An Introduction To The Aquatic

Insects of North America. Dubuque, Kendall/Hunt Publishing Company, 1214 p. Metcalfe JL .1989. Biological Water Quality Assessment Of Running Waters Based on Macroinvertebrate Communities: History and Present Status in Europe. Environ Pollut 60: 101–139.

Michael, P. 1995. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium. Diterjemahkan Oleh : Sahati Suharto, Penerbit Universitas Indonesia.

North Carolina Department of Environment, Health, and Natural Resources (NCDEHNR). 1997. Standard Operating Procedures For Biological Monitoring. Environmental Sciences Branch Biological Assessment Group. Division of Water. Water Quality Section.

(24)

24

Ohio EPA. 2013. Larval Key for the “two-tailed” Baetidae of Ohio. www.epa.ohio.gov/Portals/35/documents/Baetid_key_2013.pdf. 2016; Februari

Popoola and A. Otalekor. 2011. Analysis of Aquatic Insects’ Communities of Awba

Reservoir and its Physico-Chemical Properties. Department of Zoology, University of Ibadan, Oyo State, Nigeria

Purnomo, Tarzan, 2013. Kualitas Perairan Estuari Porong Sidoarjo Jawa Timur Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos. LenteraBio. 2(1). 81–85. LIPI, Bogor.

Riadi, M. 2012. Suhu dan Kekeruhan. http://www.kajianpustaka.com/2012/11/suhu-dan-kekeruhan-air.html. 2016; Maret

Rudiyanti SE, Ekasari DA. 2009. Pertumbuhan dan Survival Rate Ikan Mas (Cyprinus carpio) Pada Berbagai Konsentrasi Pestisida Regent 0,3 G. Jurnal Saintek Perikanan. Vol. 5, No. 1: 39-42.

Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas Makrozoobentos di perairan Hilir Sungai Lematang Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat Dalam Mushtofa, A. Muskananfola, MR. 2014. Analisis Struktur Komunitas Makrozoobentos Kualitas Perairan Sungai Wedung Kabupaten Demak. Diponegoro Journal Of Maques. Vol. 2, No. 1: 81-88.

Shahabuddin. 2003. Pemanfaatan Serangga Sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan. Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor. Oktober 2003

Simić, S. 2003. Macroalgae and Macrozoobenthos Of The Pčinja River. Arch Biol Sci 55: 121–132.

Thani, I., Phalaraksh, C., 2008. A Preliminary Study of Aquatic Insect Diversity and Water Quality of Mekong River, Thailand. KKU Science Journal Vol. 36. Thailand.

USDA-NRCS. Features of an EPT index Collecting samples to construct an EPT Index EPT index score development : Exploring the value of the EPT Index to NRCS. http://www.wcc.nrcs.usda.gov/ftpref/wntsc/strmRest/wshedCondition/EPTIndex .pdf. 2016; 26 Februari.

US.EPA (U.S. Environmental Protection Agency). 1998. Condition of the Mid-Atlantic Estuaries. EPA/600/R-98/147. Office of Research and Development, U.S. Environmental Protection Agency, Washington, DC, USA.

(25)

25

Waltz, R.D. & Burian, S.K. 2008. Ephemeroptera, p. 181–236. In: Merritt, R.W., Cummins, K.W. & Berg, M.B. (eds.). An introduction to the aquatic insects of North America. Dubuque, Kendall/Hunt Publishing Company, 1214 p.

Wang, T-Q and McCafferty, W.P. 1996. Redescription and Reclassification of The South America Mayfly Melanemerella brasiliana (Ephemeroptera : Leptophlebidae). Entomological News 107 : 99-107.

Wang, T-Q and W.P, McCafferty. 1996. New Diagnostic Characters For The Mayfly Family Baetidae (Ephemeroptera). Entomological News 107 : 207-211.

Williams, I.H. 2002. Insect Pollination and Crop Production: A European Perspective. IN: Kevan P & Imperatriz Fonseca VL (eds) – Pollinating Bees – The Conservation Link Between Agriculture and Nature – Ministry of Environment / Brasília.p.59-65

(26)
(27)

27

(28)
(29)

29

GAMBAR LAMPIRAN

Gambar

Gambar 1. Larva Ephemeroptera: Baetidae (Kriska, 2013)
Gambar 2. Morfologi Baetidae (http://www.entomology.umn.edu/midge /VSMIVP%20Key/English/VSMIVP.htm)
Gambar 4. Siklus Hidup Ephemeroptera (Martynov, 2013)
Tabel 1. Kelompok makan semua anggota Ephemeroptera berdasarkan penelitian (ICBS 2009 BIO-UGM Hadisusanto dan Kristanto, 2009)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Pracaya (1998) perempelan, bertujuan: 1) pertumbuhan tanaman tomat cepat tinggi dan tanaman tomat cepat berbunga, 2) buahnya lebih cepat besar dan lebih cepat

pertumbuhan umbi dan hasil bawang merah pada Percobaan I dan II menunjukkan bahwa perlakuan yang dicobakan tidak memberikan pengaruh yang nyata pada bobot kering angin

Partai Persatuan Pembangunan sama kedudukannya dengan partai politik lainnya yang ada di Indonesia yang mana setiap partai politik mempunyai visi misi yang tertuang

Menurut Rahmawaty (2004), pada permukaan tanah di lahan hutan, terdapat cukup banyak serasah yang berasal dari vegetasi sekitarnya, mesofauna tanah akan melakukan kegiatan

T ot al kapasitas dari seluruh unit PKS milik PT Perkebunan Nusantara II (Persero), PT Perkebunan Nusantara III (P ersero) dan PT Perkebunan Nusantara IV (P ersero)

Melihat hasil yang diperoleh dari percobaan ini, ternyata bahwa semua mencit hibrid hasil persilangan antara mencit betina C3H yang herfrekwensi tumor mamma tinggi

Sistem struktur yang akan digunakan untuk bangunan, tower dan penyangga wahana waterpark adalah pondasi tiang pancang.. Sistem struktur vertikal menggunakan struktur