• Tidak ada hasil yang ditemukan

Papain pada Tanaman Pepaya Carica papaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Papain pada Tanaman Pepaya Carica papaya"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PAPAIN PADA TANAMAN PEPAYA (Carica papaya L) MENGGANGGU SISTEM INTEGUMEN SERANGGA

Merujuk pada sistem bercocok tanam di masa lalu, dimana para petani hanya mengandalkan keseimbangan alami dalam mengusahakan sistem pertaniannya. Kekurangan-kekurangan dalam sarana produksi termasuk benih, pupuk dan pestisida tidak menjadi masalah karena mereka mengembalikan semuanya pada proses alami yang berkembang di alam. Hasilnya pun tidak pernah berkurang, bahkan melimpah dan merata di setiap tempat. Konsep pertanian tersebut dikenal dengan Low External Input Agriculture (LEIA). Konsep pertanian modern mengarahkan pada peningkatan produksi dengan penggunaan input tinggi yang dikenal dengan istilah High External Input Technology (HEIT) yang diawali dengan penemuan varietas unggul yang responsif dengan pupuk tetapi peka terhadap serangan hama dan penyakit sehingga memaksakan penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan melemahnya keseimbangan alami.

(2)

pada penggunaan pestisida kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Selain yang harganya mahal, pestisida kimia juga banyak memiliki dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia adalah resistensi hama, resurjensi, penumpukan residu bahan kimia pada hasil panen, terbunuhnya musuh alami, pencemaran lingkungan oleh residu bahan kimia dan kecelakaan bagi pengguna.

Low External Input Agricultural Sustainability (LEIAS) mengarahkan pada pengelolaan pertanian secara berkelanjutan dengan mengedepankan keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan. Isu pelestarian lingkungan kini begitu kuat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, sehingga segala usaha atau tindakan yang berkaitan dengan pembangunan perlu memasukkan unsur pelestarian lingkungan di dalamnya. Berkaitan dengan itu, teknologi pertanian yang banyak menimbulkan efek negatif terhadap keseimbangan ekosistem perlu ditinjau kembali untuk dicarikan jalan keluar atau penggantinya. Pertanian organik, Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dan Biopestisida merupakan cara alternatif menuju pertanian berwawasan lingkungan. Pestisida merupakan bahan pencemar paling potensial dalam budidaya tanaman. Oleh karena itu peranannya perlu digantikan dengan teknologi lain yang berwawasan lingkungan seperti pestisida nabati.

Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan, melindungi, dan menginformasikan hewan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem ini seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang mencakup kulit, rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir). Kata ini berasal dari bahasa Latin integumentum yang berarti penutup. Integumen merupakan suatu system yang sangat bervariasi; padanya terdapat sejumlah organ ataupun struktur tertentu dengan fungsi yang bermacam-macam. Sistem integumen dapat dianggap terdiri dari kulit yang sebenarnya dan derivat-derivatnya.

(3)

sudah diketahui efek positifnya dalam membasmi hama tertentu. Pestisida nabati mulai diminati oleh petani, mengingat semakin tingginya harga pestisida kimiawi. Selain itu, gerakan go-organic yang terus digaungkan menarik minat petani, praktisi dan akademisi pestisida nabati bisa dibuat sendiri oleh petani dengan teknologi yang sangat sederhana. Sangat memungkinkan untuk dikerjakan secara perorangan, kelompok ataupun dalam skala usaha tertentu. Cukup tingginya dampak negatif dari penggunaan pestisida kimiawi, mendorong berbagai usaha untuk menekuni pemberdayaan atau pemanfaatan pestisida alami sebagai alternatif pengganti pestisida kimiawi. Dalam aplikasi pestisida nabati dapat memanfaatkan musuh alami hama yang dimiliki oleh berbagai bahan alami yang tersedia. Beberapa teknik yang umum digunakan untuk mengolah pestisida nabati diantaranya dengan teknik merendam, mengekstrak dan ataupun merebus bagian tertentu dari tanaman yang memiliki efek mengusir hama.

Salah satunya adalah ekstrak daun pepaya. Dari berbagai aspek ekonomis, kemudahan, serta rendahnya bahaya keracunan dan residu pestisida yang menjadikan daun pepaya sebagai teknologi sederhana alternatif untuk digunakan sebagai pestisida. Tanaman Pepaya (Carica papaya L.), adalah tumbuhan yang berasal dari Meksiko bagian selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan dan kini menyebar luas dan banyak ditanam di seluruh daerah tropis untuk diambil buahnya. C. papaya adalah satu-satunya jenis dalam genus Carica. Carica papaya mengandung berbagai macam zat antara lain papayotin, kautsyuk, karpain, karposit dan enzim aktif papain.

(4)

Bahkan, getah pepaya yang terdapat di seluruh bagian tanaman, mulai dari buah, daun, batang, sampai akarnya. Dengan adanya enzim papain pada daun Carica papaya menjadikannya efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap. Hal ini dikarenakan enzim papain juga pada getah secara alami membuat Organisme Penggaggu Tanaman (OPT) menjauh.

Daun Pepaya

Populasi tanaman pepaya (Carica papaya) di Indonesia cukup tinggi, pembudidayaan tanaman ini juga sangat mudah karena tidak membutuhkan banyak air untuk hidup. Daun pepaya mengandung zat aktif enzim papain, alkaloid dan glikosid sehingga efektif untuk mengendalikan ulat dan hama penghisap (Maggy T. Suhartono,. “Protease”. ITB Press, Bandung, 1992).

(5)

Papain

Papain adalah enzim hidrolase sistem protease yang ada pada getah tanaman papaya, baik di daun, batang maupun buahnya. Getah pepaya mengandung sedikitnya tiga jenis enzim yaitu papain (10%), khimopapain (45%), dan lisozim (20%).

Gambar 2. Struktur Enzim Papain

Papain sebagai Racun Kontak

Racun kontak adalah insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui kulit, celah/lubang alami pada tubuh. Senyawa papain merupakan racun kontak dimana serangga akan mati apabila bersinggungan langsung (kontak) dengan senyawa papain dalam bagian tanaman pepaya. Senyawa papain merupakan racun kontak yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami dari tubuh serangga yang bisa memecah protein, lipid dan kitin yang terkandung dalam tubuh serangga. Sebagai senyawa utama sklerotisasi, protein sangat diperlukan dalam proses pembentukan kulit. Sehingga dengan rusaknya protein dalam tubuh serangga, maka akan menghambat proses sklerotisasi pada serangga sehingga serangga akan mengalami penghambatan dalam perkembangan integumennya dimana proses pergantian kulit tidak akan sempurna.

(6)

masih lemah dan lunak sehingga memudahkan senyawa papain untuk melakukan penetrasi untuk memecah protein dalam tubuh serangga.

Struktur protein dan enzim pada kutikula berpartisipasi dalam proses tanning yang disebut sklerotisasi. Proses ini melibatkan hidroksilasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin (DOPA) yang didekarboksilasi menjadi dopamine dengan perantara dopa-dekarboksilase. Dopamin kembali diasetilasi membentuk N-asetildopamin. Melalui system fenolase N-asetildopamin dioksidasi menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan kelompok amino di dalam protein kutikula.

Peranan hormon dalam metamorfosis meliputi proses pengelupasan kulit larva dan pembentukan pupa pada serangga holometabola dan pengelupasan kulit nimfa pada serangga hemimetabola. Hormon yang berperan dalam metamorfosis terdiri dari atas tiga macam yaitu, hormon otak, hormon molting (ekdison), dan hormon juvenil (Spratt, 1971). Hormon otak disebut juga ecdysiotropin, disimpan didalam corpora cardiace, sedangkan hormon molting (Ekdison) dihasilkan oleh kelenjar protoraks, yaitu suatu segmen pada tubuh serangga yang mempunyai pasangan kaki terdepan dari ketiga pasangan kaki terdepan serangga, oleh karena itu maka hormon ini juga dinamakan hormon protoracic gland atau disingkat menjadi PGH, hormon juvenil (JH) dihasilkan oleh corpora allata, yaitu sepasang kelenjar endokrin yang terletak di dekat otak (Spratt, 1971, Saunders, 1980, Balinsky, 1981). Kemungkinan hormon otak mengandung kolesterol yaitu suatu senyawa steroid, atau juga berupa protein yang merupakan rangkaian senyawa polipeptida (Lukman, 1991).

Proses ganti kulit serangga (molting)

(7)

kulit sebenarnya terdiri dari proses apolisis dan proses ekdisis yang berakhir dengan terbentuknya instar pasca ekdisis (Gambar 3).

Gambar 3. Proses Pertumbuhan Serangga

Proses apolisis melibatkan terjadinya pemisahan lapisan epidermis dari kutikula secara bertahap mulai dari bagian anterior menuju posterior. Proses ini dimediasi oleh molekul 20-hidroksi ekdison. Proses ini terjadi mulai saat instar melepaskan kutikula pada stadium pharate. Saat lepas dari kutikula epidermis mulai melakukan pembelahan mitosis, sehingga permukaan epidermis menjadi luas yang akan menjadi cetakan kutikula yang lebih meluas/besar.

Proses ekdisis adalah kejadian pelepasan kutikula tua (eksuvia) yang sebenarnya dan dimediasi oleh hormon eksklosi. Proses pergantian kulit terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut :

1. Awal apolisis sepanjang anteroposterior secara bertahap.

Proses apolisis ini dimulai segera setelah terjadinya pengerasan kutikula. Pada periode aktif makan setelah terjadinya ekdisis, kerapatan sel menurun, kutikula di atas sel epidermis meregang dan sel epidermis menjadi bentuk squamose (pipih).

(8)

Pembelahan mitosis mulai terjadi, jumlah sel bertambah dan meningkat tajam serta diikuti dengan bentuk sel menjadi kolumner. Karena sel bentuknya berubah, mengakibatkan terjadinya tegangan permukaan epidermis sehingga sel epidermis mulai terpisah dari kutikula. Mitosis epidermal ini mendahului selesainya apolisis. Pemisahan kutikula diatasnya epidermis ini disebut proses apolisis. Ruang apolisis yang dibentuk antara epidermis dan kutikula disebut rongga eksuvial atau rongga subkutikuler.

3. Sekresi Cairan Molting

Droplet tersebut diduga prekursor enzim moulting yang masih tidak aktif. Pada beberapa spesies enzim moulting disekresikan ke dalam ruang eksuvial setelah selesai proses apolisis. Enzim ini ada yang disekresikan dalam bentuk granule dan pada beberapa Lepidoptera dikeluarkan dalam bentuk gel. Ruang apolisis berangsur angsur menjadi besar karena adanya akumulasi enzim atau cairan moulting. Enzim pencerna kutikula ini terdiri dari enzim khitinase, protease menyerupai tripsin dan aminopeptidase. Enzim ini masih tetap belum aktif sebelum selesainya pembentukan lapisan luar epikutikula dari kutikula baru.

4. Formasi epikutikula luar pharate pada permukaan epidermis yang telah mengalami apolisis dan crenulat, yang akan menghasilkan patokan pola permukaan kutikula pharate.

5. Sekresi epikutikula saat serangga dalam keadaan pharate.

6. Aktivasi enzim cairan molting, terjadi proses lisis endokutikula dan terjadi penyerapan (resorpsi) endokutikula lama.

(9)

berhubungan dengan kutikula lama. Produk kutikula yang tercerna ini diabsorbsi melalui mulut atau anus dan mungkin juga secara langsung melalui integumen itu sendiri.

7. Deposisi calon eksokutikula pharate

Deposisi kutikula baru berangsur-angsur bertambah seiring dengan pencernaan dan penyerapan kembali kutikula lama. Keadaan ini dapat mengkonservasi 90% kutikula lama.

8. Ekdisis

Saat cairan molting dan hasil cernaannya diresorbsi, kutikula lama makin menipis dan lama kelamaan habis dan meninggalkan epikutikula dan eksokutikula lama yang terpisah dari prokutikula baru. Rongga apolisis jelas terpisah dan serangga mulai melakukan aktivitas ekdisis. Ekdisi diawali dengan pecahnya garis ekdisis yang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada Schistocerca atau serangga lainnya, terjadi peningkatan volume darah. Persiapan ekdisis diawali dengan menelan udara atau air, kemudian ditelan ke dalam usus sehingga tekanan hemolimf meningkat. Darah dipompa ke bagian toraks atau kepala dan memecahkan bagian integumen yang tipis atau lemah. Ekdisis biasanya dimulai dari kepala atau toraks dahulu kemudian diikuti oleh abdomen dan embelannya.

9. Ekspansi kutikula baru

(10)

tanning dan akan terhenti hingga kutikula mengeras dan segera akan melakukan moulting berikutnya.

10. Permulaan tanning

Enzim fenol oksidase terlibat dalam proses tanning kutikula. Enzim ini pada awalnya berada di dalam hemolimf dalam bentuk proenzim tidak aktif, kemudian diaktivasi oleh enzim yang berasal dari ekstrak kutikula. Ada tiga jenis enzim profenol oksidase. Dua enzim yang mengoksidasi L-dopa yaitu dopa oksidase dan satu enzim yang mengoksidasi dihidroksifenilalanin (dopa) maupun tirosin (tirosin adalah substrat awal dalam tanifikasi). Struktur protein dan enzim pada kutikula berpartisipasi dalam proses tanning yang disebut sklerotisasi. Proses ini melibatkan hidroksilasi tirosin menjadi dihidroksifenilalanin (DOPA) yang didekarboksilasi menjadi dopamine dengan perantara dopa-dekarboksilase. Dopamin kembali diasetilasi membentuk asetildopamin. Melalui system fenolase N-asetildopamin dioksidasi menjadi o-Quinon yang bereaksi dengan kelompok amino di dalam protein kutikula.

11. Sekresi endokutikula

12. Sekresi lilin

13. Lanjutan deposisi dan tanifikasi endokutikula

(11)

Gambar 4. Proses Pergantian Kulit

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qodar, F. 2008. Pengaruh Air Perasan Daun Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Hama Tanaman Bayam Cabut

(Amaranthus tricolor).

(12)

Lukman, 2009. Peran Hormon Dalam Metamorfosis Serangga.

http://www.online-journal.unja.ac.id/index.php/biospecies/article/view/692. Diakses pada 01 Oktober 2014.

Prijono, D. 2007. Modul Praktikum Toksikologi Insektisida Pengujian Toksisitas Insektisida. Departemen Proteksi Tanaman. IPB. Bogor. https://www.google.com/url? sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8& ved=0CCYQFjAB&url=https%3A%2F

%2Fikma10fkmua.files.wordpress.com%2F2013%2F05%2F5b-isi-

proposal-daun-pepaya.docx&ei=WvZOVNXbF9Dk8AX3xoCwDQ&usg=AFQjCNEI UQScyAGR4cYQVjc0jB5fcg0R6A&sig2=ZGx_nvzz4lHWl7asuQ1gU g&bvm=bv.77880786,d.dGc. Diakses pada 22 September 2014.

Syamsuddin, 2008. Mengenal hormon ganti kulit pada serangga

(ecdysone hormone).

Gambar

Gambar 2. Struktur Enzim Papain

Referensi

Dokumen terkait

mcningkatkan aktivitas proteolitik cnzim papain dalam getah yang dihasilkan. Salah satu caranya adalah dengan menambahkan. senyawa antioksidan atau

Penentuan Aktivitas Enzim Papain Sebelum Dan Sesudah Mikrokapsul Dari Hasil Isolasi Getah Pepaya Muda (Carica papaya L) telah dilakukan dengan cara mengambil getah kemudian

Pada penelitian ini digunakan larva instar 3 dan 4 karena pada tahap ini larva nyamuk sudah dalam ukuran tubuh yang besar dan toleransi terhadap daya racun ekstrak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan frekuensi pengambilan getah pada kedua kelompok sampel tidak mempengaruhi bobot protein dan aktivitas papain

Penentuan Aktivitas Enzim Papain Sebelum Dan Sesudah Mikrokapsul Dari Hasil Isolasi Getah Pepaya Muda (Carica papaya L) telah dilakukan dengan cara mengambil getah kemudian

Penentuan Aktivitas Enzim Papain Sebelum Dan Sesudah Mikrokapsul Dari Hasil Isolasi Getah Pepaya Muda (Carica papaya L) telah dilakukan dengan cara mengambil getah kemudian

Isolasi Enzim Papain Dari Getah Pepaya Muda (Carica papaya) Serta Aplikasinya Sebagai Penggumpal Dalam Pembuatan.. Keju Dari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian enzim papain dari getah buah pepaya dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap