• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuntut Negara Hak Azasi Manusia Konfli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Menuntut Negara Hak Azasi Manusia Konfli"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 1

Menuntut Negara:

Hak Azasi Manusia, Konflik dan Pendudukan Tanah

Hilma Safitri1

I. Menuju kepada Permasalahan:

Perebutan Hak atas Tanah dan Perjuangan Menegakan Hak Azasi Manusia

Hak atas tanah dalam konsepsi HAM harus diletakan dalam konteks hak seseorang untuk memperoleh penghidupan yang layak, yakni terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan tempat tinggal; maupun dalam konteks hak sekelompok orang (komunitas tertentu) untuk melanjutkan kehidupan budayanya. Bagi kelompok masyarakat yang sumber kehidupannya baik secara ekonomi, sosial maupun budaya bergantung kepada penguasaan terhadap tanah, maka terjamin dan terpenuhinya haknya atas tanah menjadi mutlak: semutlak hak azasi manusia itu sendiri. Tersedianya atau terjaminannya hak mereka atas tanah dalam luasan yang memadai secara berkelanjutan akan membuat mereka mendapatkan penghidupan yang layak secara berkelanjutan pula. Dalam hal ini Negara harus menjamin terjadinya keberlanjutan hak mereka atas tanah (security of tenure) yang berarti memberikan jaminan atas kesempatan bagi warga Negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah untuk berkembang dan meningkatkan kualitas hidupnya dan keturunannya baik sebagai warga Negara maupun sebagai manusia.

Banyaknya kasus-kasus konflik agraria yang didahului dengan kebijakan yang tidak adil lalu disusul dengan aksi-aksi penggusuran dan dilawan dengan aksi-aksi pendudukan kembali (reclaiming actions) menunjukan bahwa Negara tidak menjalankan fungsinya untuk memberikan jaminan bagi keberlangsungan hidup sekelompok orang yang kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya sangat bergantung kepada tanah. Perlawanan-perlawanan tersebut juga mencerminkan adanya tuntutan dari mereka sebagai warga Negara kepada Negara, khususnya pemerintah yang berkuasa, untuk memberikan jaminan yang sangat dibutuhkan tersebut.

Dalam perspektif hak azasi manusia jaminan atas penguasaan tanah sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang layak dan meningkatkan kualitas kehidupan secara tidak langsung terkandung di dalam sejumlah dokumen tentang penegakan hak azasi seperti Universal Declaration on Human Rights (UDHR), International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR), International Covenant on Civil Politic Rights (ICCPR) dan International Covenant on Indigenous People Rights (ICIPR).2 Beberapa klausul yang terkait dengan hal-hal untuk mencapai penghidupan yang layak, dimana di dalamnya diatur tentang hak pangan dan gizi yang cukup, pakaian, perumahan, hak-hak ekonomi, hak Kepemilikan, hak untuk bekerja, hak atas jaminan sosial, dan hak-hak budaya3 tercermin misalnya dalam beberapa pasal dari dokumen-dokumen tersebut. Misalnya dalam Universal Declaration on

1 Saat ini menjadi salah satu peneliti bidang agraria di Yayasan AKATIGA Bandung dan Agrarian

Resource Center (ARC) – Bandung.

2 Indonesia telah meratifikasi kovenan-kovenan internasional tersebut pada tahun 2005 dan 2006.

Undang-undang No. 11/2005 diterbitkan untuk mengesahkan ratifikasi ICESCR dan Undang-undang No. 12/2005 untuk mengesahkan ratifikasi ICCPR; sedangkan ICIPR diratifikasi pada tahun 2006. Sebagai negara yang telah meratifikasinya maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk mentaati dan menjalankan isi dari setiap kovenan tersebut.

(2)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 2

Human Rights (UDHR), khususnya pasal 25 (1), dikatakan bahwa “setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha social yang diperlukan …..”.

International Covenant on Economic, Social and Culture Rights (ICESCR) pasal 6 menyebutkan: “(1) Setiap Negara peserta kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan,

termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan yang dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin hak ini; (2) Langkah-langkah yang diambil oleh suatu Negara Peserta Kovenan ini untuk mencapai perwujudan sepenuhnya dari hak ini, harus meliputi juga pembinaan teknis dan kejuruan serta program latihan, kebijakan dan berbagai teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, social dan budaya yang mantap, dan pekerjaan yang penuh dan produktif dengan persyaratan yang menjamin kebebasan politik maupun

ekonomi yang hakiki bagi individu”. Sementara pasal 9, 10 dan 11 menegaskan tentang kewajiban Negara untuk mengakui, melindungi dan memberikan jaminan terhadap penegakan hak-hak di atas. Dalam pasal 9 ICESCR disebutkan “[N]egara-negara Peserta

Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial”; sementara pasal 10 (ayat 1) menyebutkan “[S]eharusnya diberikan perlindungan dan

bantuan seluas-luasnya kepada keluarga, sebagai satuan kelompok dasar yang alami dari masyarakat khususnya untuk membentuknya dan selama ia bertanggung jawab untuk perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih ditanggung…..” Sedangkan dalam pasal

11 (ayat 1) dari dokumen yang sama (ICESCR) dikatakan “[N]egara-negara peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang atas taraf kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal dan perbaikan yang terus menerus dari

lingkungannya. …”.

Hak seseorang untuk memperoleh kehidupan yang layak tidak mengenal diskriminasi. Artinya setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang layak dan memiliki hak yang sama untuk memperoleh jaminan atas penegakan haknya tersebut; apalagi jika ia hidup di negara yang secara tegas telah menyatakan jaminan setiap orang dihadapan umum dan berhak atas perlindungan hukum tanpa ada perbedaan karena ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik, asal usul kebangsaan atau status sosial (harta) (ICCPR pasal 26). Demikian juga bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial dan berhak atas atas pilihan-pilihan pribadinya untuk melakukan usaha seperti diuraikan dalam UDHR pasal 22, sehingga hal ini telah memberikan jaminan bagi setiap manusia untuk mengembangkan martabat pribadinya. Selanjutnya dalam pasal 23 UDHR ditegaskan bahwa “setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan baik atas perlindungan kepada pengangguran”.

Jaminan bagi keberlangsungan hidup setiap manusia juga tercantum dalam UDHR, khususnya pasal 25 (1), yang menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas tingkat hidup yang menjamin kesehatan dan keadaan baik untuk dirinya dan keluarganya, termasuk soal makanan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatannya, serta usaha-usaha sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan di waktu mengalami pengangguran, janda, lanjut usia atau mengalami kekurangan nafkah ketiadaan mata pencaharian yang lain dalam keadaan di luar pengusaannya”.

(3)

klausul-FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 3

klausul di atas (lihat juga Plant 1984: 189). Posisi Negara sebagaimana diatur di dalam sejumlah kovenan tersebut adalah pihak yang harus menjamin terselenggaranya penegakan hak-hak azasi seperti disebutkan di atas, termasuk dalam hal ini adalah memberikan jaminan bagi penegakan hak-hak sekelompok warga negara yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah; bukan sebaliknya. Dengan demikian, kelalaian Negara untuk menyediakan jaminan-jaminan bagi keberlangsungan hidup dan perbaikan kualitas kehidupan warganya sudah

merupakan bagian dari pelanggaran terhadap HAM; apalagi jika dengan ‘sengaja’ melanggar

hak, seperti hak atas tanah, yang secara nyata sudah dikuasai sebelumnya, maka jelas Negara telah mengambil posisi berlawanan dengan kerangka penegakan hak azasi manusia.

Di sisi lain, konsepsi Hak Atas Tanah dalam konsepsi HAM sangat lekat dengan Hak Atas Pangan (right to food), karena pada intinya pangan itu sendiri tidak dapat dilepaskan dari hak-hak lainnya, karena terkait dengan pancapaian hak atas pangan itu yaitu untuk mencapai penghidupan yang layak. Terkait dengan hak atas tanah, proporsi atas lahan serta aksesnya untuk menjamin ketersediaan pangan menjadi indicator utama (Muhtaj 2008: 123). Karenanya, permasalahan ketimpangan penguasaan dan akses atas tanah perlu menjadi perhatian utama, karena akan berimplikasi langsung kepada terpenuhinya hak-hak mendasar masyarakat. Demikian juga dengan yang sudah dihasilkan oleh International Conference on Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) di Porto Alegre bulan Maret 2006, bahwa kedaulatan pangan adalah hal yang sangat mendasar yang dibutuhkan dalam kebijakan pembaruan agraria dan pembangunan pedesaan guna mengurangi kemiskinan, melindungi lingkungan, sekaligus bagian dari pembangunan ekonomi. Pilar pokok dari kedaulatan pangan adalah penghormatan dan pemberdayaan rakyat hak atas pangan dan hak atas pemilikan dan penguasaan tanah (Plant 1984: 189).

Dalam konteks memerangi kelaparan dan kemiskinan khususnya yang terjadi di Negara-negara terbelakang maupun yang sedang berkembang, hal ini terkait dengan penilaian yang sudah diletakkan oleh Sekjen PBB (dokumen A/57/356/27 August 2002) yang telah meletakkan perlunya agenda Reforma Agraria dalam melawan kelaparan dan kemiskinan serta kunci hak atas pangan sebagaimana sudah tertuang dalam ICESCR pasal 11, hak atas tanah dan perjuangan hak atas tanah menjadi sesuatu yang wajar (Gunawan 2009). Komisi HAM PBB telah membentuk Special Rapporteur on The Rights to Food, dimana didalamnya berisi bahwa akses terhadap tanah adalah elemen kunci yang penting untuk membasmi kelaparan di dunia. Hal ini dapat dimaknai bahwa pilihan kebijakan Reforma Agraria atau

Land Reform harus memainkan peranan penting dalam suatu strategi Negara dalam hal ketahanan pangan, dan akses terhadap tanah adalah hal mendasar untuk mewujudkan ketahanan pangan tersebut (Gunawan 2009, Muhtaj 2008: 124-129).

(4)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 4

kata lain, UUPA 1960 sudah mencakup prinsip-prinsip pemenuhan hak-hak rakyat, khususnya kaum tani, tersebut.

Walaupun UUPA 1960 telah merumuskan dan menjamin hak-hak rakyat khususnya kaum tani untuk mencapai penghidupan yang layak, menguatnya kecenderungan untuk memberikan fasilitas yang sebesar-besarnya kepada kepentingan pengusaha untuk menguasai tanah dan sumber-sumber agraria lainnya lebih mendominasi kebijakan pemerintah di Indonesia pasca 1965. Akibatnya yang terjadi adalah ketimpangan dalam penguasaan tanah yang disusul dengan maraknya konflik pertanahan sebagai akibat dari praktek-praktek penggusuran dan

proses peningkatan ‘ketuna-kismaan’ (landlessness).

Pada kenyataannya di banyak tempat seperti di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, banyak tanah-tanah bekas hak erfpacht dalam bentuk perkebunan besar pada jaman kolonial Belanda yang telah dikukuhkan kembali keberadaannya oleh pemerintah Indonesia4 dalam bentuk HGU tidak diusahakan secara produktif oleh pemegang haknya. Sebagian atau bahkan ada juga yang seluruh lahan tersebut kemudian hanya disewakan kepada penduduk setempat untuk ditanami tanaman-tanaman pangan seperti yang terjadi di perkebunan PT Ambarawa Maju dan PT Tratak yang kemudian berkembang menjadi kasus konflik pertanahan. Ketika kesadaran para penyewa lahan perkebunan tersebut akan hak-hak mereka atas tanah yang dijamin oleh undang-undang meningkat, mereka menuntut hak atas tanah yang selama ini mereka garap yang tentu saja tidak dikehendaki oleh para pemegang HGU perkebunan tersebut. Dalam hal ini proses menyewakan tanah perkebunan kepada penduduk setempat, yang sesungguhnya merupakan praktek yang melanggar hukum, telah menjadi bom waktu yang meledak di kemudian hari khususnya ketika gerakan-gerakan sosial yang membela hak-hak rakyat dan menentang rejim Orde Baru mulai menguat sejak akhir tahun 90an dan semakin berkembang ketika kekuasaan politik rejim itu mulai melemah sejak pertengahan tahun 90an.

Konflik pertanahan yang terjadi di Kabupaten Batang di satu sisi mencerminkan berlanjutnya kebijakan yang lebih mengutamakan penguasaan tanah dalam skala besar oleh badan-badan usaha komersial dan, di sisi lain, menunjukan semakin terbatasnya akses penduduk setempat terhadap tanah untuk kepentingan keberlanjutan kehidupan ekonomi dan sosialnya. Gambaran ketimpangan penguasaan tanah tersebut dapat tergambar sebagai berikut:

1) Dalam lingkup Kabupaten Batang, dengan luas wilayah 78.895,00 ha5, terdapat 12 HGU perkebunan yang dikuasai oleh 9 perusahaan, baik perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara, dengan total luas lahan yang dikuasai sebanyak 6.308,75 ha6 (atau

sama dengan sekitar 7,9% dari luas keseluruhan wilayah kabupaten tersebut).

4 Berdasarkan UUPA Pasal 55 (1) berbunyi “Hak-hak Asing menurut ketentuan Konversi pasal I, II, III,

IV dan V dijadikan hak guna usaha dan hak guna bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa-sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun”. Hal ini berarti, dengan ditetapkannya UUPA pada tahun 1960, maka paling lama hak-hak tersebut akan berakhir pada tahun 1980.

5 Sumber: Badan Pusat Statistik, „Jawa Tengah Dalam Angka 2007“, BPS Jawa Tengah dan

Bappeda Provinsi Jawa Tengah, Tabel I.2.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006 (ha)

6 Sumber: Dokumen “Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006, Deputi Bidang

(5)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 5

2) Di Kabupaten Batang, berdasarkan data tahun 2006, terdapat wilayah yang dinyatakan sebagai wilayah “kehutanan” seluas 18.194,70 ha7 (atau sama dengan 23,06% dari luas kabupaten). Kawasan “hutan” ini merupakan kawasan yang dikuasai oleh Perum Perhutani baik yang dijadikan Hutan Suaka Alam/Hutan Wisata, Hutan Lindung maupun Hutan Produksi.

3) Dengan demikian terdapat sekitar 68% dari seluruh luas Kabupaten Batang yang merupakan lahan-lahan yang dipergunakan untuk pertanian rakyat, hutan rakyat, sarana umum, sarana transportasi, gedung-gedung pemerintahan dan perkantoran, kawasan perkotaan, desa-desa, pemukiman dan perumahan serta sarana-sarana lainnya. Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah Rumah Tangga Pertanian adalah sebanyak 91.141 rumah tangga8 atau sekitar 50.05% dari jumlah keseluruhan rumah tangga di Kabupaten Batang. Sementara menurut hasil Sensus Pertanian 2003 rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga tani adalah 0.36 ha.9 Sedangkan berdasarkan data dari sensus yang sama Gini Ratio kepemilikan lahan di Kabupaten ini adalah 0.486, yang berarti tingkat ketimpangan penguasaan lahan mendekati ketimpangan yang cukup parah.10 Ketimpangan penguasaan tanah menjadi penyebab utama terjadinya aksi-aksi pendudukan tanah di sejumpah tempat di Kabupaten Batang khususnya di areal-areal perkebunan besar. Aksi-aksi pendudukan tanah perkebunan oleh petani ini pada saatnya mendapatkan perlawanan dari pihak penguasa tanah (pemegang HGU) melalui sejumlah penggusuran, Meskipun lahan-lahan yang telah digarap oleh penduduk setempat tersebut dalam waktu yang sudah sejak lama merupakan lahan-lahan yang tidak digarap secara efektif/produktif oleh pemegang HGU tersebut.

Penggusuran-penggusuran yang terjadi misalnya terjadi dalam bentuk sebagai berikut:  Pada Kasus PT Perkebunan Pagilaran yang terletak di Desa Keteleng (Pagilaran), Bismo,

Bawang, Kalisari dan Gondang Kecamatan Blado pengusiran penduduk dari tempat tinggalnya tanpa diberikan ganti rugi telah terjadi sejak masa Hindia Belanda ketika di daerah itu hendak dibangun emplacement untuk buruh perkebunan. Penduduk setempat dihadapkan pada pilihan untuk menjadi buruh perkebunan jika mereka hendak tetap tinggal di wilayah tersebut atau jika tidak mau menjadi buruh perkebunan, mereka harus meninggalkan kampungnya. Memasuki masa perang kemerdekaan dan pada masa pendudukan Jepang di tahun 40-an, banyak perkebunan asing yang ditinggalkan oleh para pemiliknya. Penduduk setempat menjadi leluasa untuk menguasai tanah-tanah yang dulu mereka klaim sebagai miliknya. Tetapi ketika pengakuan kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1948 dimana pemerintah Indonesia harus mengakui kembali keberadaan perkebunan-perkebunan asing penggusuran kembali terjadi karena para penggarap tanah tidak dapat membuktikan surat sewa tanah pertaniannya yang pernah dikeluarkan oleh pemerintahan Jepang.

7 Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa

Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1.

8 Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”,

BPS,Jakarta, Tabel 1.C.

9 Diolah dari Tabel 4.c. “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa

Tengah”, BPS – Jakarta.

10 Angka Gini Ratio penguasaan tanah merupakan indeks atas konsentrasi penguasaan tanah. Hasil

(6)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 6

 Penggusuran kembali terjadi pada tahun 1966, dimana penduduk setempat mengalami pengusiran dari lahan garapannya dengan menggunakan stigma PKI. Di dalam surat instruksi pengosongan lahan tertera bahwa operasi yang sedang dijalankan adalah upaya untuk melakukan pembersihan atau penutupan “tanah Gestok”.11

 Dalam kasus tanah HGU PT Tratak penggusuran terjadi pada tahun 1998 dengan cara melakukan perjanjian dengan pihak lain (PT Sragi/Pabrik Gula) di atas tanah yang masih dalam status sewa dengan petani penggarap setempat. Penggusuran semacam ini juga terjadi pada kasus petani penggarap dengan PT Segayung. Perbedaannya pada kasus Segayung penggusuran terjadi secara terbuka dimana pihak perusahaan mengerahkan sejumlah alat berat untuk membersihkan tanaman palawija rakyat yang tidak lama lagi siap panen, sama halnya dengan PT Tratak, pihak PT Segayung pun bermaksud menyewakan tanah tersebut kepada salah satu pemilik pabrik tebu di daerah Batang-Pekalongan.

 Dalam kasus lain yang terjadi di atas lahan HGU Kebun Sluwok milik PTPN IX penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX dengan skema tumpangsari12 diusir begitu saja ketika pihak perusahaan tidak mau memperpanjang ‘kerja sama’ tersebut. Sejak tahun 1989 penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX dengan skema tumpangsari

secara formal dengan dikeluarkannya surat perjanjian antara penduduk setempat dan

Sinder Afdeling PTPN IX. Perjanjian terus diperbarui dalam jangka waktu tertentu dan yang terakhir adalah tahun 2002 (perjanjian sebelumnya dikeluarkan tahun 1989, 1995, dan 1998). Pada saat perjanjian tahun 2002 itu berakhir pada tahun 2005, pihak PTPN IX tidak bermaksud memperpanjang perjanjian dan penduduk yang menggarap lahan tersebut diperintahkan untuk keluar dari lahan garapannya. Alasan pihak PTPN IX untuk tidak memperpanjang kerjsama tumpangsari ini dikarenakan tanaman utama perkebunan, yakni Kapuk Randu, sudah siap ditebang. Rakyat penggarap tidak mempunyai pilihan selain tergusur karena dengan skema kerjasama tumpangsari sesungguhnya mereka tidak memiliki kekuatan untuk bertahan di atas tanah garapan tersebut.

Ketika gerakan pembelaan terhadap hak-hak petani atas tanah berkembang marak di Indonesia sejak pertengahan tahun 1980an, gelombang protes terhadap penggusuran-penggusuran yang disusul dengan aksi-aksi pendudukan tanah juga terjadi di Batang. Pada masa pasca reformasi 1998 aksi-aksi untuk mempertahankan dan merebut hak atas tanah tersebut semakin berkembang dan membesar. Di satu sisi, aksi-aksi ini menegaskan kembali bahwa petani setempat, khususnya di daerah yang struktur penguasaan tanahnya timpang,

11 Istilah ini dipergunakan dan tertera didalam Surat Instrukti tertanggal 11 April 1966 yang

ditandatangani oleh PN Pagilaran UGM, Bag. Pagilaran, judul surat tersebut adalah “Penutupan Tanah-tanah Gestok”. Tanah-tanah Gestok adalah tanah-tanah yang diindikasikan terkait dengan Gerakan Satu oktober (Gestok) dan wilayah Pagilaran termasuk salah satunya. (Wawancara dengan salah seorang warga Desa Keteleng bulan Februari 2008)

12 Sejak tahun 1989, penduduk setempat menggarap lahan PTPN IX Kebun SLuwok dengan skema

(7)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 7

sedang memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara seperti yang ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan. Di sisi lain, dalam perkembangannya kemudian, seperti akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya, terlihat nyata bahwa gerakan-gerakan pendudukan tanah atau gerakan-gerakan untuk mempertahankan tanah yang diklaim dan dikuasai sejak lama oleh penduduk setempat semakin menjurus kepada upaya-upaya mereka untuk memperoleh kepastian hukum atas penguasaan tanah sebagai Hak Milik ketimbang sekedar memperjuangkan tanah untuk basis penghidupannya. Hal yang terakhir ini tentu saja memiliki implikasi lain karena ketika tanah-tanah yang dikusai oleh seseorang berstatus Hak Milik maka yang bersangkutan memiliki kebebasan untuk memperlakukannya sesuai dengan kepentingannya melampaui dari sekedar kepentingan untuk mendukung keberlanjutan kehidupan sosial-ekonominya sebagai petani.

II. Hak atas Tanah Dalam Perspektif Hukum Indonesia

Soal Agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal sumber makanan. Soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia (Tauchid 1952: 6)

Di Indonesia, hak atas tanah bagi warga negara dan khususnya bagi kaum tani yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah telah diatur dengan sangat baik melalui UUPA 1960. Dalam konteks penegakan HAM seperti diuraikan di atas, kita dapat mengatakan bahwa dengan adanya UUPA 1960 sesungguhnya Indonesia telah cukup maju untuk memberikan ketentuan hukum formal mengenai jaminan hak atas tanah bagi warga negara yang membutuhkannya. UUPA 1960, meskipun tidak disusun dengan mengacu secara khusus kepada sejumlah ketentuan hak azasi manusia seperti yang tertuang di dalam sejumlah instrumen internasional penegakan HAM, mengandung sejumlah penekanan yang penting bagi perwujudan keadilan agraria dalam rangka menegakan keadilan dan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Ketika UUPA dirumuskan sejak tahun 1948 hingga mulai diberlakukan pada tahun 1960 konsepsi domein verklaring yang menjadi dasar dari hukum agraria kolonial dihapuskan. UUPA becita-cita menasionalkan peraturan-peraturan tentang agraria dan hak-hak atas tanah agar lebih sesuai dengan masyarakat Indonesia yang telah merdeka. Dengan semangat untuk mengembalikan seluruh kedaulatan tanah air Indonesia kepada bangsa Indonesia maka para perumus UUPA 1960 menggunakan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) yang bersumber dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sebagai pengganti dari konsepsi domein verklaring. Menurut Harsono perbedaan penting antara konsepsi domenin verklaring dengan HMN adalah target atau tujuan pengaturannya, dimana ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam konsep domein verklaring adalah semata-mata untuk kepentingan pengusaha besar, sedangkan konsep HMN tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia seperti yang sudah tertuang di dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 (Harsono 1996: 36).

(8)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 8

air dan ruang angkasa. Konsepsi HMN, didalam konteks politik pengaturan sumber-sumber agrarian pada saat itu, kemudian menjadi dasar penting dari dua konsepsi penting lainnya dalam hukum agrarian di Indonesia hingga saat ini, yakni konsep Tanah Negara dan Hutan Negara. Kedua konsepsi tersebut di dalam hukum agraria Indonesia, telah merefleksikan dominasi Negara dalam hal penguasaan tanah.

Asal muasal konsepsi Tanah Negara dan Hutan Negara serta prakteknya dapat ditelusuri sejak era kolonial ketika pada masa itu diterapkan konsep Landsdomein (tanah-tanah adalah milik Negara atau Raja) untuk mengontrol tanah di Hindia Belanda.13 Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Deandles (1808-1811) konsep Landsdomein (tanah Negara) diterapkan di Jawa untuk mengontrol produksi kayu jati dari kawasan hutan di pulau ini.14 Penerapan konsep ini diperkuat kembali pada masa pemerintahan Gubernur Letnan Inggris di Jawa, Raffles (1811-1816), yang menjalankan prinsip yang sama untuk tujuan pengumpulan pajak tanah (landrente).15 Gubernur Jenderal Belanda lainnya yakni Van den Bosch juga memperkukuh penerapan konsep landsdomein untuk menjalankan cultuurstelsel (1830-1870)16 sebelum peraturan kolonial Belanda yang berorientasi Liberal memodifikasinya menjadi prinsip domein verklaring melalui pembentukan Agrarisch Wet (Hukum Tanah) 1870 yang bertujuan untuk mengijinkan investor asing untuk menyewa tanah, baik tanah Negara maupun tanah penduduk setempat untuk kepentingan pembangunan industri perkebunan di Hindia Belanda.17 Prinsip domein verklaring juga menjadi dasar baru dalam

pembentukan Undang-undang Eksploitasi Hutan tahun 1865 (Staatsblad No. 96)18 yang berisi tentang perluasan kawasan Hutan Negara di pulau Jawa dan Madura.19

Dari sejarah kemunculannya Agrarische Wet 1870 sesungguhnya merupakan perwujudan dari gelombang revolusi liberalisme yang melanda Eropa sejak pertengahan abad ke-18 dan menerpa tanah-tanah jajahan dalam bentuk lahirnya kebijakan-kebijakan baru yang memberikan fasilitas kepada usaha-usaha swasta untuk mengeksploitasi kekayaan alam dan manusia di tanah-tanah jajahan (Wiradi 2000: 125-126). Dalam konsepsi domein verklaring

ditegaskan bahwa “semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) Negara atau Landsdomein” (Soetiknjo 1987: 34-37, Gautama 1993: 55, Harsono 1996: 41-43, Wiradi 2000: 128).20 Konsepsi landsdomein ini lah

13 Pada saat itu kebijakan ini dibuat untuk tujuan menambah pemasukan melalui pajak tanah atau

menambah peningkatan produksi untuk memenuhi permintaan pasar Eropa yang cukup tinggi atas hasil-hasil pertanian dan hutan

14 Lihat Boomgaard, 1988: 73-75; Peluso 1990 and 1992; Bachriadi and Lucas 2002

15 Lihat Wiradi 1986: 11-12 and 2000: 121-123; Boomgaard 1989: 5-7

16 Lihat Van Niel 2003 and 1992: 5-28; Boomgaard 1989: 7-9; Wiradi 2000: 124

17 Lihat Tauchid 1953, Wiradi 1986: 15-17 and 2000: 127-132, Kartodirdjo and Suryo 1991, Harsono

1999: 35-37.

18Staatsblad 1865-96: Reglement voor het beheer en de exploitative der houtbosschen van de Lande op Java en Madura.

19 Lihat Peluso 1990: 34 and 1992: 53; Bachriadi and Lucas 2002: 82

(9)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 9

yang kemudian dijadikan dasar untuk mengukuhkan konsep “Tanah Negara” dan “Hutan

Negara” pada era pasca kemerdekaan.

Konsepsi “Tanah Negara” yang diberlakukan di wilayah-wilayah non hutan dan diatur dalam PP No. 8/1953 tentang Tanah Negara yang menyatakan bahwa ‘Tanah Negara adalah tanah yang keseluruhannya dipegang dan dikuasai oleh negara’ (pasal 1).21 Di dalam peraturan pemerintah ini intinya yang dimaksud dengan Tanah Negara adalah tanah-tanah yang merujuk pada semua tanah di luar kawasan Hutan Negara yang tidak dimiliki oleh siapapun dan/atau tanah-tanah yang tidak ada kekuatan hukumnya termasuk yang tanah-tanah diperoleh berdasarkan/melalui hukum adat. Di atas Tanah Negara, yang dalam hal ini adalah tanah-tanah non kehutanan, sejumlah hak baru dapat diterbitkan oleh pemerintah termasuk HGU (Hak Guna Usaha) yang menjadi jenis hak atas tanah untuk membangun perkebunan besar. Pada kenyataannya, berdasarkan peraturan tanah di Indonesia, Tanah Negara juga menjadi objek land reform.

Sedangkan konsepsi “Hutan Negara” diberlakukan pada kawasan-kawasan yang secara arbitrer ditetapkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).22 Menurut UU Kehutanan yang dimaksud dengan Hutan

Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah (UU No. 41/1999 Pasal 1 ).23

Dalam konteks menegakan prinsip nasionalitas peraturan agraria, UUPA 1960 juga berkehendak mengganti sejumlah hak-hak atas tanah berdasarkan konsepsi hukum adat yang telah berkembang pada masyarakat dengan cara mengkonversinya menjadi bentuk hak-hak baru. Misalnya konsepsi penguasaan tanah dengan hak agrarisch eigendom, yasan,

andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand sultan, landerinjbezitrech,

altijddurende erpacht, hak usaha atas tanah partikelir, dan hak-hak lain dengan nama apapun serta hak gogolan dan pekulen akan diubah menjadi hak milik sesuai dengan ketentuan di dalam UUPA 1960. Hak eigendom berdasarkan fungsinya akan dikonversi menjadi hak milik, hak pakai dan hak guna bangunan; sementara hak postal dan hak erpacht berdasarkan fungsinya dikonversi menjadi hak guna bangunan dan hak guna usaha (UUPA Bagian II Ketentuan-ketentuan Konversi). Hak gogolan dan pekulen atau sanggan yang selama ini berkembang dalam masyarakat Jawa melalui prosedur tertentu harus/akan dikonversi menjadi Hak Milik.24

Di dalam UUPA 1960, diatur tentang bagaimana hak atas tanah di Indonesia diberlakukan, termasuk hak atas tanah untuk setiap warga Negara Indonesia, dimana tanah ditujukan untuk memberikan jaminan keberlangsungan hidup warganya. Dalam beberapa pasal UUPA 1960

21 Liat kajian Harsono (1996: 881 dan 1999: 270) yang memperlihatkan semua terminology dan

definisi yang ada didalam peraturan tersebut masih merujuk (berdasarkan) pada prinsip-prinsip

domeinverklaring. Jelas bahwa PP ini merujuk kepada Agrarisch Besluit yang terurai dalam bagian penjelasan umum (no. 1)berisi “berdasarkan prinsip Domeinverklaring, yang dinyatakan dalam

Agrarisch Besluit pasal 1, semua tanah yang tidak dihak-I oleh seseorang … Semua tanah-tanah tersebut didalam peraturan ini disebut sebagai Tanah Negara.”

22 Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah kebijakan penetapan kawasan Hutan Negara dalam

satu wilayah administratif tertentu yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah daerah dan pemegang otoritas kehutanan setempat.

23 Pada tahun 2004, Undang-undang Kehutanan ini diperbarui menjadi UU No…19/2004 yang

merupakan peraturan yang menetapkan berlakunya Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang yang diterbitkan sebelumnya.

(10)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 10

seperti yang disebutkan di bawah sudah terkandung pernyataan-pernyataan hukum yang terkait dengan isu penegakan HAM. Misalnya:

“Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat

manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” [UUPA 5/1960,

9:2]

“… dalam pada itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga negara yang

lemah terhadap sesama warga negara yang kuat kedudukan ekonominya… yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan

dengan azas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.” [Penjelasan UUPA 1960 Bagian II:6]

Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. [UUPA5/60, 17:1]

Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. [UUPA5/60, 17:3]

… perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya [Penjelasan UUPA Bagian II (7)]

Hal terpenting dalam pengaturan soal hak atas tanah ini adalah UUPA 1960 mensyaratkan peran Negara yang besar untuk mengatur soal penguasaan tanah dan pemberian hak atas tanah untuk keadilan dan kesejahteraan sosial melalui konsepsi Hak Menguasai Negara (HMN). Bukan sebaliknya, dominasi negara melalui penerapan konsepsi HMN berarti Negara memiliki seluruh sumber-sumber agraria yang ada di Indonesia, atau menjadi sewenang-wenang untuk memberikan hak atas tanah dengan mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian sesungguhnya jika dijalankan dengan baik dan konsisten UUPA 1960 sejalan dengan apa yang menjadi prinsip ICESCR, yakni dalam rangka menjamin pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya setiap warga negara maka Negara harus memegang peranan yang besar.

Di dalam UUPA 1960 jelas terkandung peraturan yang merujuk pada keadilan dalam penguasaan tanah dengan prioritas utamanya adalah petani, khususnya petani penggarap dan keluarga tani yang tidak memiliki tanah. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa UUPA hendak mengatur struktur penguasaan tanah untuk kepentingan semua pihak dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan hidup petani sebagai tulang punggung perekonomian desa dan pembangunan nasional. Meskipun demikian, UUPA 1960 juga mengatur soal pembatasan penguasaan (: bukan hanya pemilikan) tanah oleh tiap-tiap keluarga tani.25 Jadi UUPA

menentukan bahwa setiap warga Negara Indonesia baik laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama atas sumber-sumber agraria dan luas penguasaanya diatur dalam aturan

(11)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 11

tentang batas luas minimum dan maksimum bagi setiap rumah tangga.26 Untuk menegaskan pentingnya petani menguasai tanah yang cukup untuk peningkatan produktivitas mereka, bahkan UUPA mengatur soal perlunya diupayakan tiap rumah tangga tani menguasai tanah pertanian minimal seluas 2 hektar. Untuk itu, seperti ditegaskan dalam undang-undang ini, Negara berkewajiban mengusahakannya secara bertahap.27

Selain itu UUPA 1960 juga mengatur soal larangan monopoli dalam aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan agraria oleh badan-badan usaha swasta.28 Pengaturan-pengaturan ini dapat dimaknai sebagai adanya larangan penguasaan tanah dalam jumlah besar yang menjurus kepada monopoli atau konsentrasi penguasaan tanah baik oleh badan usaha maupun oleh perorangan.

Upaya-upaya untuk menata ulang struktur penguasaan tanah dengan jalan membatasi dan melakukan redistribusi penguasaan tanah-tanah yang berlebihan serta redistribusi terhadap Tanah-tanah Negara dan memberikan prioritas kepada penguatan ekonomi rakyat di pedesaan ini lah yang dikenal dengan prinsip land reform29 di dalam UUPA 1960. Dalam hal ini land reform menurut UUPA 1960 adalah satu jalan untuk mengukuhkan penguasaan tanah secara individual yang terkontrol melalui redistribusi. Dalam prakteknya program land reform yang sesuai dengan amanah UUPA 1960 hanya sempat dijalankan selama kurun waktu 4 tahun, sejak 1961 hingga 1965, sebelum terhenti akibat gonjang-gonjing perebutan kekuasaan yang mengakhiri pemerintahan Soekarno dan menjadi awal berkuasanya rejim yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru (Wiradi 2000: 136, Hutagalung 1985, Utrecht 1969, Lucas and Bachriadi 2009).

Selain mengandung banyak pasal yang memperkuat hak rakyat, khususnya hak kaum tani, atas tanah, menurut banyak ahli UUPA 1960 memiliki sejumlah kelemahan di dalam rumusan-rumusannya khususnya yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat terhadap tanah (lihat misalnya Ruwiastuti 1998 dan McAuslan 1986: 30). Di dalam UUPA tidak dijelaskan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan “Masyarakat Hukum Adat” (Ruwiastuti 1998: 130, McAuslan 1986: 31) akibatnya juga menjadi tidak jelas rumusan

“tanah adat” di dalam undang-undang ini yang dikemudian hari menjadi salah satu sumber

dari konflik akibat proses “negara-isasi” tanah-tanah adat. UUPA 1960 memang menegaskan bahwa tanah-tanah adat (yang bersumber dari hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat) diakui selama sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi (Pasal 3).

Sayangnya sejumlah pengaturan dalam UUPA 1960 yang dirumuskan dengan proses panjang sejak 1948 hingga 1960 tidak diterapkan secara konsisten oleh rejim penguasa yang berganti sejak tahun 1965.30 Seiring dengan berkuasanya rejim Orde Baru di bawah pimpinan

26 Lihat UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, UU No. 38 Prp Tahun

1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanaman Tertentu, dan Keputusan Menteri Agraria No. SK 922/Ka tanggal 28 November 1960 tentang Penetapan Minimum Luas Tanah Yang Harus Ditanami Tebu.

27 Lihat UUPA Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II nomor (8).

28 Sayangnya UUPA 1960 tidak mengatur soal pembatasan penguasaan tanah oleh badan-badan

usaha ini secara lebih tegas.

29 Lihat UUPA 1960 Pasal 10 ayat (1) dan (2) dan Bagian Penjelasan Bagian Penjelasan Umum II

nomor (7).

(12)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 12

Presiden Soeharto UUPA 1960 tidak dengan tegas dihapuskan atau diganti dengan peraturan perudang-undangan yang lain, melainkan hanya di ‘bekukan’ atau keberadaannya tidak dijalankan sebagaimana mestinya (Wiradi 2000: 137, Tjondronegoro 2007). Kemudian pemerintahan Orde Baru lebih memilih menciptakan kebijakan-kebijakan dan peraturan perundangan-undangan baru yang sifatnya sektoral dan cenderung hanya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pengusaha untuk mengekstraksi sumber daya alam di Indonesia (Bachriadi 2001; Bachriadi, Safitri, Bachrioktora 2004; Bachriadi dan Fauzi 2006).

Pada perkembangannya, walaupun UUPA 1960 masih berlaku dan dianggap relatif sangat baik sebagai sebuah produk undang-undang, di Indonesia jumlah konflik dan pelanggaran HAM banyak terjadi. Konflik-konflik tersebut, di berbagai kasus-kasus pertanahan yang ada, lebih banyak disebabkan oleh diabaikannya sejumlah ketentuan di dalam UUPA 1960 oleh rejim yang berkuasa baik melalui pelanggaran-pelanggaran terhadap sejumlah ketentuan yang secara langsung maupun pelanggaran yang dilakukan dengan cara menciptakan peraturan perundangan-undangan lainnya yang bertentangan dengan amanat UUPA 1960 (lihat misalnya Wiradi 2000: 140; Bachriadi dan Lucas 2001; dan Bachriadi, Bachrioktora dan Safitri 2005).

Prinsip Land Reform dalam rangka mencapai tujuan pemenuhan jaminan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya seluruh warga melalui pemerataan penguasaan tanah yang terkandung dalam UUPA 1960 tidak lagi dijalankan secara sistematik dan sesuai ketentuan setelah tahun 1965. Land reform yang merupakan alat/program yang efektif untuk memberikan jaminan untuk penguasaan dan pemilikan tanah oleh kaum tani yang miskin (petani pengarap dan tak bertanah) bagi peningkatan kualitas kehidupannya tidak pernah lagi dijalankan secara sistematik sejak terhenti pada tahun 1966 (lihat misalnya Hutagalung 1985, Lucas and Bachriadi 2009). Selain itu, politik agraria yang dikembangkan rejim Orde Baru hingga kini tidak lagi menempatkan tanah sebagai dasar pembangunan, melainkan hanya menempatkan aspek pengaturan hak atas tanah sebagai suatu pekerjaan administratif rutin semata (Wiradi 2000: 143). Aspek peningkatan produksi dijadikan orientasi utama dan mengabaikan soal keadilan di dalam struktur-struktur usaha produksi tersebut. Peningkatan produksi pangan kemudian disandarkan kepada program Revolusi Hijau yang dijalankan dengan mengabaikan kecenderungan-kecenderungan negatif yang ditimbulkannya khususnya dalam soal penguasaan tanah (lihat misalnya Franke 1972, Manning 1988, Husken 1998: 37-38, dan Wiradi 2000: 141-148).

Peningkatan produksi juga dilakukan melalui dikembangkannya usaha perkebunan, dengan cara merevitalisasi perkebunan-perkebunan besar peninggalan kolonial Belanda, yang kemudian disusul dengan penerbitan sejumlah HGU baru untuk perusahaan perkebunan swasta. Banyak perusahaan perkebunan swasta berkehendak mengambil alih pengelolaan sejumlah perkebunan besar peninggalan Belanda yang sudah tidak beroperasi yang dalam banyak kasus tanah-tanah eks-perkebunan tersebut sesungguhnya sudah digarap secara produktif oleh masyarakat setempat (lihat misalnya Bachriadi 1997 dan 2002; dan Bachriadi dan Lucas 2001). Akibatnya tidak sedikit kasus-kasus dimana sekelompok petani penggarap harus meninggalkan lahan pertaniannya dengan ganti rugi yang tidak memadai atau bahkan tanpa kompensasi apa pun hanya untuk alasan pembangunan perkebunan.

(13)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 13

sekelompok rakyat dari wilayah tertentu untuk proses pembangunan, maka ‘proyek-proyek

pembangunan’ tersebut akan dinilai positif. Tetapi, seringkali dan umumnya, proses ini dilakukan secara sepihak dan dampak yang terbesar adalah tergusurnya rakyat dari lahan pertaniannya. Jika ada skema ganti rugi di dalam proses alih kuasa atas lahan-lahan tersebut, biasanya ganti rugi yang diberikan tidak setara dengan nilai ekonomis dari tanah dan potensi yang dikandungnya yang dapat menyokong kehidupan kelompok masyarakat yang tergusur, tidak hanya pada saat sebelum penggusuran terjadi, tetapi juga bagi masa depan mereka.

Penggusuran dan alih kuasa atas lahan untuk beragam ‘proyek pembangunan’ yang

sesungguhnya kebanyakan adalah proyek-proyek komersial, lebih banyak mengorbankan kehidupan dan masa depan kelompok yang tergusur.

III. Tanah Perkebunan dan Perhutani versus Tanah Pertanian Rakyat di

Batang

Batang adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah terletak di jalur pantura 84 km sebelah barat kota Semarang. Terletak antara 6º 51' 46" dan 7º 11' 47" Lintang Selatan dan antara 109º 40' 19" dan 110º 03' 06" Bujur Timur. Merupakan salah satu kabupaten propinsi Jawa Tengah dikukuhkan dengan berdasarkan Undang-undang No. 9 Tahun 1965 dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 20 Tahun 1965. Tepatnya tanggal 8 April 1966, Kab. Batang resmi menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Batang.31

Dalam lingkup Kabupaten Batang, dengan luasan wilayah 78.895 Ha32, terdapat 12 HGU perkebunan yang dikuasai oleh 9 perusahaan yang menguasai 6.308,75 ha33. Artinya, sekitar 7.99% wilayah Kabupaten Batang merupakan wilayah yang dikuasai oleh perkebunan besar swasta dan Negara. Berdasarkan data yang ada didalam buku “Daftar Perkebunan -perkebunan Asing” yang disusun oleh Ismet (1970), jumlah perkebunan pada masa pemerintahan Hindia Belanda lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perkebunan yang ada pada saat ini yaitu sejumlah 8 perkebunan; 4 diantaranya masih beroperasi dengan nama dan pemilik yang tentu saja sudah berbeda, yakni perkebunan Pagilaran, Tratak, Simbangjati dan Kebun Sluwok (milik PTPN IX).

31 Mengenai sejarah pembentukan Kabupaten Batang lihat “Sejarah Pembentukan Kab. Batang”, di

http://www.batangkab.go.id/profile/sejarah.htm

32 Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa

Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 5.5.1. Luas Penggunaan Lahan dan Luas Kawasan Hutan Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006..

33Sumber: Dokumen “Data Hak Guna Usaha (HGU) Seluruh Indonesia, 1 Juni 2006, Deputi Bidang

Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat – BPN dan Dokumen “Inventarisasi Masalah Pertanahan di Kabupaten Batang”, tt.

(14)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 14

Tabel 3.1.

Daftar Perkebunan Besar di Batang

No. Perkebunan Besar Sejak Jaman Kolonial* Perkebunan Besar Pemegang HGU** Onderneming Pemilik/ex Pemilik Tanaman Nama

Perusahaan No. HGU Peruntukan Tanaman

Teh PT Pagilaran 15/HGU/DA/1983 Teh

14/HGU/DA/1977 Kakao dan Kelapa

PTPN IX 53/HGU/DA/80 Karet dan Kakao 59/HGU/DA/1976 Kopi dan Teh

Kopi Didistribusikan kepada 800 KK pada tahun 2002

5. Semugih

9. PT Segayung 49/HGU/DA/86 Randu dan Kelapa

10. PT Aneka

Usaha

08/HGU/DA/1990 Randu dan Kopi

11. PT Estu Subur 06/HGU/DA/1978 Kakao dan Kelapa

12. PT Puspita

Nicky

21/HGU/DA/1985 Cengkeh, Kopi dan Melinjo

13. PT Rehobat 116/HGU/DA/1997 Karet, Kopi dan Peternakan

*Sumber: Ismet (1970), 156-157

(15)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 15

Selain wilayah yang menjadi areal perkebunan-perkebunan besar, wilayah yang dinyatakan sebagai areal kehutanan mengambil porsi cukup luas di Kabupaten Batang. Pada tahun 2006 terdapat wilayah Hutan Negara seluas 13.299 ha34; artinya sekitar 16,86% dari seluruh luas Kabupaten Batang.

Di luar wilayah-wilayah perkebunan dan hutan adalah areal yang dipergunakan untuk lahan sawah, bangunan/pekarangan, tegal/kebun, hutan rakyat dan lahan untuk penggunaan lain-lain yang jumlah keseluruhannya adalah 73.13% dari keseluruhan luas Kabupaten Batang. Dengan memperhatikan proporsi luas lahan dan jumlah orang yang mengusahakannya serta yang mendapatkan manfaat dari lahan tersebut, maka dapat dikatakan proporsi lahan yang dipergunakan untuk perkebunan besar dan wilayah hutan cukup besar, yakni sekitar 26.87%. Tabel di bawah memperlihatkan alokasi penggunaan tanah di Kabupaten Batang pada tahun 2006.

Tabel 3.2.

Penggunaan Lahan di Kabupaten Batang, 2006.

Peruntukkan Luas (ha)

Prosentase dari keseluruhan luas

Kab. Batang (%)

Hutan Negara (dikuasai Perhutani) 13.299 16.85

Hutan Rakyat 35 0.04

Perkebunan Besar 7.910 10.02

Tegal/Kebun 19.249 24,40

Lahan Sawah 22.409 28,40

Bangunan/Pekarangan 12.127 15.37

Padang Rumput 90 0.11

Tambak, Kolam/Tebat 138 0.20

Lain-lain 3.638 4,61

Total 78.895 100.00

Sumber: “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 1.2.1. dan 1.2.4.

Jumlah populasi di Kabupaten Batang, berdasarkan Sensus Ekonomi tahun 2006, adalah 689.917 Jiwa (345.864 Laki-laki dan 330.288 Perempuan) yang membentuk 166.656 rumah tangga.35 Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, sekitar 50,05% dari jumlah keseluruhan rumah tangga di Kabupaten Batang adalah Rumah Tangga Petanian pengguna lahan,36 yang

menguasai 32.563 ha lahan pertanian dengan rata-rata kepemilikan sekitar 0,36 ha.

34Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa

Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 1.2.4. Luas Penggunaan Lahan Bukan Sawah Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 2006

35 Berdasarkan “Jawa Tengah Dalam Angka Tahun 2007”, Bappeda Propinsi Daerah Tingkat I Jawa

Tengah dan BPS Propinsi Jawa Tengah, Tabel 3.1.1. Penduduk Jawa Tengah Menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin tahun 2006 dan Tabel 3.1.5. Banyaknya Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2006.

36 Berdasarkan “Sensus Pertanian 2003: Hasil Pendaftaran Rumah Tangga Propinsi Jawa Tengah”,

(16)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 16

Tabel 3.3.

Penguasaaan Tanah Rumah Tangga Petani Pengguna Lahan di Kabupaten Batang, 2003

Kelas Penguasaan

Tanah

Rumah Tangga Petani Luas Rata-rata Jumlah % Luas Lahan %

< 0,10 14,800 16.24 539.70 1.66 0.04

0.10 - 0.19 25,119 27.56 3,717.42 11.42 0.15

0.20 - 0.49 31,008 34.02 9,220.84 28.32 0.30

0.50 - 0.99 13,225 14.51 8,667.76 26.62 0.66

1.00 - 1.99 5,702 6.26 6,383.79 19.60 1.12

2.00 - 2.99 851 0.93 1,926.69 5.92 2.26

3.00 - 3.99 299 0.33 978.91 3.01 3.27

4.00 - 4.99 - 0.00 - 0.00 0.00

≥ 5.00 152 0.17 1,128.72 3.47 7.43

Total 91,156 100.00 32,563.83 100.00 0,36

Sumber: Data Sensus Pertanian tahun 2003(diakses langsung dari Kantor BPS di Jakarta)

Sumber statistik yang lain menyebutkan bahwa di Kabupaten Batang pada tahun 2006 ada sekitar 115 ribu orang yang bekerja sebagai buruh tani.37 Sejarah perkebunan di Kabupaten Batang yang telah dimulai sejak masa kolonial hingga kini masih menerapkan pola yang relatif sama khususnya dalam hal mengeksploitasi tenaga kerja setempat tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka. Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Jateng Ir. Siswanto mengatakan““sejumlah areal perkebunan besar tidak lepas dari kesan kolonialisme,

eksploitasi tenaga kerja dan kurang memperhatikan lingkungan sosial masyarakat. Hal inilah yang melahirkan konflik sosial antara perkebunan besar dan masyarakat sekitar kebun dan perkebunan besar dengan plasmanya, terutama menyangkut keberadaan HGU

Perkebunan”.38

Upah buruh perkebunan yang besarnya rata-rata Rp. 504.000 perbulan39 jumlahnya masih di bawah Upah Minimum Propinsi/UMP atau Upah Minimum Kabupaten/UMK yang ditetapkan oleh Gubernur Jawa Tengah tahun 200740 yaitu Rp. 615.000 yang diberlakukan

sepanjang tahun 2008. Kondisi ini, pada saat ini menjadi lebih buruk karena seperti yang diuraikan oleh salah seorang buruh perkebunan di PT Pagilaran menyatakan perubahan kepemilikan perusahaan dari dibawah pemerintahan Hindia Belanda kepada pihak swasta (Yayasan Universita Gajah Mada) telah membuat mereka kehilangan beberapa kompensasi yang biasanya diperoleh. Ia mengatakan“… sekarang buruh pekerja tidak mendapatkan

jaminan sosial, kalau dulu sebelum diserahkan kepada UGM, buruh perkebunan masih

mendapatkan jatah beras dan sembako setiap bulan..”.41

37 Berdasarkan “Hasil Sensus Ekonomi 2006, Pendataan Potensi Desa/Kelurahan”, Badan Pusat

Statistik – Jakarta.

38Lihat “Sertifikat Status HGU Sering Munculkan Konflik”, Harian Suara Merdeka tanggal 1 Juni 2004

39 Dengan perhitungan mereka bekerja dalam sebulan adalah 28 hari dengan upah harian sebagai

buruh tetap adalah Rp. 18.000 perhari, akan berbeda dengan upah buruh harian lepas yang upahnya rata-rata Rp. 15.600/hari atau (jika waktu kerja dalam sebulan adalah 28 hari) Rp. 436.800. (Sumber: hasil wawancara dengan salah satu buruh perkebunan Pagilaran).

40 Berdasarkan SK Gubernur No. 561.4/51/2007

(17)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 17

Keberadaan perkebunan-perkebunan besar telah menjadi sumber utama munculnya sejumlah konflik pertanahan di Kabupaten Batang. Perusahaan-perusahaan perkebunan menguasai lahan secara luas, sementara banyak penduduk setempat yang tingkat kesejahteraannya rendah sehingga menjadikannya “lapar tanah”. Pada masa Orde Baru beberapa perkebunan besar yang dikembangkan dengan cara mengambil alih secara sepihak lahan-lahan garapan penduduk setempat telah mengubah petani penggarap lahan menjadi buruh perkebunan atau buruh bangunan dan pedagang kecil di daerah perkotaan.

Meskipun pada sejumlah lahan perkebunan penduduk setempat dapat mengolah lahan dengan cara bagi hasil, khususnya pada lahan-lahan yang tidak dikerjakan secara produktif oleh pemegang HGU-nya, hal itu tidak mengurangi potensinya menjadi sumber konflik pertanahan. Hal ini terjadi karena ada cara pandang yang berbeda diantara kedua belah pihak (petani penggarap/penduduk setempat dan pemegang HGU) seperti yang terjadi di perkebunan Tratak misalnya. Di perkebunan ini Bagi Hasil dilakukan antara penduduk setempat yang membutuhkan tanah dengan Mandor Perkebunan tanpa sepengetahuan perusahaan pemegang HGU. Pada mulanya pihak PT Tratak selaku pemegang sertifikat HGU tidak mengusahakan tanahnya, sementara penduduk setempat membutuhkan tanah untuk sumber penghidupannya, sehingga terjadilah ‘perjanjian’ antara Mandor dan penduduk setempat tentang pemanfaatan lahan perkebunan tersebut. Konflik kemudian muncul karena penduduk setempat beranggapan bahwa pihak perusahaan tidak lagi membutuhkan tanah tersebut. Sementara pada suatu waktu PT Tratak bermaksud menyewakan lahannya kepada pabrik gula sebagai upaya memanfaatkan tanah yang sudah menjadi haknya tersebut. Pada kasus Tratak ini konflik yang terjadi tidak sampai pada tindakan penggusuran petani dari lahan garapannya. Berbeda dengan kasus Segayung yang polanya kurang lebih sama dengan kasus Tratak tetapi petani penyewa lahan diusir ketika pihak perusahaan pemegang HGU hendak menyewakan lahannya kepada perusahaan lainnya

Demikian juga dengan pola tumpangsari yang diterapkan oleh pemegang HGU Kebun Sluwok, yakni PTPN IX, telah berkontribusi terhadap kemunculan aksi pendudukan tanah di

dalam kawasan “hutan” di Kabupaten Batang. Pada kasus HGU kebun Sluwok ini, penduduk setempat menggarap lahan dengan skema Tumpangsari diatas wilayah yang selama ini dianggap wilayah hutan, tetapi kemudian lahan garapan penduduk setempat tersebut diklaim sebagai bagian dari lahan HGU Kebun Sluwok PTPN IX42. Hal ini sama halnya dengan kasus Tratak dan Segayung, karena begitu lamanya skema tumpangsari yang diterapkan di atas tanah yang bersertifikat HGU membuat penduduk setempat berpikir bahwa pihak perusahaan sudah tidak membutuhkan lagi tanah tersebut. Sementara kehidupan ekonomi penduduk setempat yang menggarap lahan dengan pola tumpangsari tersebut sangat terbantu karena sebelumnya mereka tidak memiliki sumber penghasilan yang tetap.

Dalam kasus-kasus seperti di atas, di satu sisi, petani berpikir bahwa para pemegang HGU tidak lagi membutuhkan tanah karena mereka sudah menerapkan pola Bagi Hasil dan Tumpangsari dalam jangka waktu yang cukup lama. Di sisi lainnya, didorong oleh pengetahuan mereka tentang hak atas tanah, sebagai petani penggarap mereka berkeyakinan bahwa sebagian dari tanah HGU tersebut bisa diberikan haknya oleh pemerintah kepada mereka jika diusahakan. Pada saat itulah konflik muncul ke permukaan, petani-petani yang kemudian mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok tani mengajukan tuntutan hak atas

42 Berdasarkan surat perjanjian Tumpangsari yang dimiliki oleh salah seorang penduduk setempat.

(18)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 18

tanah yang sudah mereka garap selama ini sementara tentu saja para pemegang HGU hendak mempertahankan asetnya.

Hal ini menunjukkan bahwa kondisi tingkat kesejahteraan penduduk setempat baik sebagai buruh perkebunan maupun petani penggarap lahan perkebunan (dengan skema bagi hasil) yang tidak memadai, juga telah menjadi pemicu utama munculnya sengketa-sengketa tanah di Kabupaten Batang. Rendahnya tingkat kesejahteraan yang disertai dengan sejumlah penggusuran menjadi alasan utama bagi penduduk setempat yang tinggal di sekitar areal perkebunan besar dan kawasan kehutanan untuk melakukan aksi-aksi pendudukan tanah yang mulai marak pada akhir tahun 1990-an. Pada akhir era Orde Baru, yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998, aksi-aksi pendudukan tanah semakin banyak terjadi. Sejak era reformasi, petani penggarap yang mulanya terlibat dalam pola Bagi Hasil dengan pihak perkebunan atau yang terlibat Tumpangsari di wilayah hutan tidak lagi melakukan penyerahan hasil panennya sebagaimana telah menjadi kesepakatan di antara mereka dengan ‘pemilik’ lahan. Sedangkan penduduk setempat yang sebelumnya tidak mempunyai akses terhadap tanah (landless) mencoba melakukan penggarapan lahan-lahan perkebunan yang sudah dipenuhi semak belukar karena tidak dimanfaatkan secara produktif oleh perusahaan pemegang HGU. Aksi-aksi penduduk tanah yang mulai berkembang sejak 1998 di Batang ini, walau bagaimana pun, merupakan akumulasi dari gejolak-gejolak yang ada di masyarakat sejak tahun 1990-an awal atau bahkan sebelumnya. Selama ini mereka menunggu saat yang tepat untuk melakukan gerakan terbuka, dan tahun 1998 adalah waktu yang dianggap tepat untuk memulai aksi-aksi yang lebih terbuka seperti pendudukan tanah secara langsung.

IV. Gerakan untuk Mengklaim kembali Hak atas Tanah di Batang

Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya (Tauchid 1952:6)

Meskipun telah ditetapkan melalui sejumlah peraturan yang jelas, mengapa tuntutan hak atas tanah masih terus bermunculan di Indonesia? Apa yang menyebabkan tuntutan-tuntutan dan aksi-aksi untuk mengklaim tanah oleh penduduk setempat (reclaiming actions) terus terjadi? Seperti telah diungkapkan di atas, hal ini terkait dengan bagaimana UUPA 1960 diterapkan dari waktu ke waktu yang sangat terkait dengan orientasi politik dan ekonomi pemerintahan yang berkuasa pada waktu tersebut. Di sini lah letak titik krusial dalam soal pemenuhan hak atas tanah di Indonesia yang sekaligus menjadi upaya untuk pemenuhan hak dasar kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah. Sejumlah studi telah menunjukan bahwa alih-alih menjalankan amanat UUPA 1960 untuk menjamin hak-hak penduduk setempat atas tanah, rejim yang berkuasa di Indonesia khususnya pasca 1965 lebih berorientasi kepada pemberian fasilitas bagi eksploitasi kekayaan alam secara berlebihan untuk kepentingan komersial yang kemudian mengabaikan hak-hak dari penduduk setempat terhadap sumber-sumber yang sama (=tanah) untuk keberlangsungan dan peningkatan kualitas hidupnya (lihat misalnya Fauzi 1998 dan 1999; Wiradi 2000; Bachriadi 1998a, 1998b, 2002 dan 2004; Suryaalam 2003; dan Bachriadi, Bachrioktora dan Safitri 2005).

(19)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 19

perjuangannya itu adalah merebut kembali tanah yang dianggap sebagai alat produksi yang terpenting jika tidak dikatakan sebagai satu-satunya alat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Perjuangan yang ada selama ini adalah perjuangan atas sebidang tanah oleh keluarga petani agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari hari ke hari. Juga tertanam di dalam kerangka perjuangan mereka sebuah harapan bahwa dari sebidang tanah yang dikuasainya dapat memberikan manfaat yang lebih besar untuk kebutuhan anak-anaknya untuk dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik dan tabungan untuk masa mendatang. Dalam perkataan yang lain, sesungguhnya perjuangan mereka untuk menguasai sebidang tanah, jika dapat mendekati batas minimal penguasaan tanah seperti yang sudah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sejak tahun 1960, adalah pengejawantahan dari perjuangan menegakan Hak Asasi Manusia. Terlebih dari itu perjuangan-perjuangan tersebut adalah bagian dari perjuangan mereka untuk merebut hak-haknya sebagai warga negara sebagaimana telah ditentukan oleh Konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Dalam hal ini mereka sangat sadar bahwa kehidupan politik di Indonesia sangat tidak berpihak, sehingga hak atas tanah yang menjadi bagian dari hak azasi manusia tersebut harus diperjuangkan bahkan dalam banyak kasus dilakukan dengan cara direbut. Selanjutnya, jika tanah-tanah sudah berhasil dikuasai, mereka mengetahui bahwa kewenangan pemberian haknya secara formal tetap ada di tangan pemerintah. Karena itu, dalam banyak kasus perjuangan untuk mempertahankan atau merebut hak atas tanah kemudian disusul dengan upaya-upaya untuk memperoleh pengakuan secara formal; jika dapat pengakuan yang dilegitimasi melalui sebuah sertifikat.

Dalam kasus-kasus konflik pertanahan seperti yang terjadi di Kabupaten Batang, Negara, dalam hal ini pemerintah yang berkuasa di Indonesia, ternyata lebih mengambil posisi bukan sebagai pemberi jaminan akan keberlangsungan hidup dan peningkatan kualitas kehidupan sejumlah penduduk setempat yang hidupnya sangat membutuhkan/bergantung kepada tanah. Sebaliknya, pemerintah yang berkuasa telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak azasi manusia di sana, yang lebih spesifik lagi adalah hak atas tanah bagi kelompok masyarakat yang hidupnya sangat bergantung kepada tanah. Lebih ironis lagi pelanggaran tersebut dilakukan terhadap hak-hak (azasi) yang sesungguhnya telah diatur secara rinci dalam seperangkat peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Di Kabupaten Batang, banyak penduduk setempat melakukan pendudukan terhadap lahan-lahan perkebunan dan kehutanan dengan alasan tidak memiliki satu petak lahan-lahan pun, sementara keahlian mereka hanya bertani. Secara kasat mata mereka melihat banyak tanah-tanah yang dikuasai perkebunan tidak dikelola dengan baik dan tampak tidak dimanfaatkan dalam rentang waktu tertentu yang cukup panjang (bertahun-tahun). Kondisi penelantaran tanah ini kemudian dilihat sebagai peluang bagi petani-petani yang tinggal di sekitar tanah-tanah perkebunan dan kehutanan tersebut, yang umumnya adalah kelompok petani yang kerjanya selama ini hanya sebagai buruh tani dengan penghasilan yang sangat tidak memadai, Selain karena kebutuhan mendasar tersebut mereka pun menganggap bahwa wilayah-wilayah

perkebunan dan kehutanan itu adalah wilayah yang dikuasai oleh Negara yang “seharusnya”

digunakan untuk mensejahterakan rakyatnya.

(20)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 20

Mamock 1995), juga terdapat sengketa yang disebabkan karena sedimentasi laut yang

menimbulkan sengketa di atas “tanah timbul“ sebagaimana yang dialami oleh salah satu

anggota FPPB yaitu kelompok tani Paguyuban Tani Tritunggal Sejahtera (PT3S).

Dalam rangka mengkonsolidasi perjuangannya, para petani di Batang kemudian bersepakat membentuk satu wadah perjuangan bersama. Kasus-kasus atau konflik tanah yang mereka hadapi dan juga dialami oleh penduduk setempat lainnya, membuat mereka berpikir untuk membentuk satu organisasi agar perjuangannya dapat dilakukan secara bersama-sama dan mencapai hasil seperti yang diharapkan, yaitu mendapatkan hak atas tanah dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB) adalah organisasi tani di tingkat kabupaten yang dibentuk untuk mewadahi berbagai kelompok petani yang ada di Kabupaten Batang untuk memperjuangkan secara bersama-sama kepentingan tersebut. Perjuangan bersama di lingkup kabupaten juga diyakini sebagai strategi untuk mendesakkan kepentingannya kepada pemerintah daerah setempat khususnya ketika pemerintahan pasca 1998 menerapkan kebijakan otonomi daerah.

Pembentukkan wadah-wadah perjuangan seperti FPPB di Kabupaten Batang juga sangat terkait dengan perjuangan untuk menegakan HAM dari sisi kebebasan untuk berserikat seperti yang tercantum didalam klausul ICCPR pasal 22(1) yang menyatakan “[S]etiap orang berhak untuk bergabung berasosiasi dengan orang-orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan memasuki serikat sekerja untuk menjaga kepentingan-kepentingannya sendiri. Kebebasan untuk berserikat ini juga adalah hak warga Negara dan bagian dari hak azasi manusia yang dilenyapkan ketika Orde Baru berkuasa, dan baru berhasil mereka peroleh kembali setelah gerakan reformasi berhasilkan menumbangkan Soeharto di tahun 1998. Dengan kata lain, walaupun tidak pernah secara tegas dinyatakan oleh FPPB bahwa mereka sedang memperjuangkan penegakan HAM bagi kaum tani di Batang, sesungguhnya perjuangan kelompok-kelompok petani yang tergabung di dalam FPPB telah mewakili bentuk-bentuk perjuangan menegakan HAM khususnya di Kabupaten Batang.

Di sini akan dibahas 5 kasus sengketa tanah yang melibatkan penduduk setempat dengan perusahaan perkebunan, yakni (1) Kasus PT Perkebunan Pagilaran dengan Paguyuban Petani Korban Perkebunan Pagilaran (P2KPP)/Persatuan Masyarakat Gunung Kamulyaan (PMGK); (2) Kasus Perkebunan PT Tratak dengan Persatuan Petani Penggarap Perkebunan Tratak (P4T); (3) Kasus PTPN IX Kebun Sluwok dengan Persatuan Petani Brontok Sejahtera (P2BS); (4) Kasus perkebunan PT Ambarawa Maju dengan Kelompok Petani Kembang Tani; dan (5) Kasus Perkebunan PT Segayung dengan Persatuan Petani Sido Dadi (P2SD). Empat perkebunan besar yang terlibat di dalam konflik ini merupakan perkebunan-perkebunan besar yang telah ada di Kabupaten Batang sejak masa kolonial yaitu PT Pagilaran, PT Tratak, PTPN IX Kebun Sluwok dan PT Ambarawa Maju. Sementara PT Segayung adalah perkebunan yang dibentuk pada masa Orde Baru. Dari perkebunan tersebut, hanya empat perusahaan yang memiliki sertifikat HGU atas kebun-kebun yang disengketakan, yaitu PT Pagilaran, PT Tratak, PT Segayung dan PTPN IX. Perkebunan dari keempat perusahaan ini juga dinyatakan aktif yang mengusahakan tanaman yang sekarang menjadi komoditas andalan daerah Jawa Tengah seperti cengkeh, kapok, kelapa, coklat dan teh. Satu perusahaan lagi, yaitu PT Ambarawa Maju tidak mempunyai sertifikat HGU. Perkebunan ini tidak sesungguhnya sudah tidak memperpanjang haknya sejak hak erpacht-nya (RVE Verponding No.67) berakhir pada 13 Juni 1968.

(21)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 21

Ringkasan kelima konflik pertanahan yang dikaji dalam tulisan ini tersaji dalam matriks di bawah yang menggambarkan tipologi kasus konfliknya. Matriks yang memperbandingkan kelima kasus ini memungkinkan untuk melihat siapa saja lawan sengketa dari kelompok petani di Batang, siapa saja yang melakukan perjuangan dan bagaimana strategi yang mereka

(22)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 22

Tabel 4.1.

Matriks 5 Kasus Sengketa Tanah Anggota FPPB

Deskripsi

Kasus/Sengketa Tanah Perkebunan Pagilaran Perkebunan Tratak PTPN IX Kebun

Sluwok

Pemegang Hak dan Pemilik PT Pagilaran (BUMN) PT Perkebunan Tratak

(swasta)

Kebun Karet dan Kakao Kebun Karet Kebun Randu dan Kelapa

(23)

FINAL – Menuntut Negara (rev) by HS Page 23

2000 (pendiri) 2000 (pendiri) 2002 2000 (pendiri) 2000

T

Tahun mulai penggarapan (belum mulai menggarap) 1980, 1988 dan 1999 1994, 1998, 2002 1945 1995

Jumlah yg terlibat 1.200 KK 450 KK 141 KK 800 KK 1500 KK

Luas yang digarap/dituntut 450 hektar 89,64 ha 42 ha 52,5 ha 243,535 ha

Alasan utama menggarap mengambil kembali haknya. (1) Tidak mempunyai

Gambar

Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
Tabel 4.1.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan Berdasarkan penelitian pembahasan pada bab sebelumnya, analisis dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan kondisi sosial ekonomi

Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu

Di dalam perpustakaan online ini juga terdapat pencarian buku yang dapat memudahkan bagi user yang ingin mencari informasi dari suatu buku karena tidak perlu mencari satu

Eko Saputra Dkk, 2011, “Perhitungan Keausan Pada Sisitem Kontak Rolling - Sliding Menggunakan Finite Element Method ” Jurnal, Jurusan Teknik Mesin,

Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah warga yang beretnis Batak toba, Mandailing, Jawa dan sunda, tokoh adat dan tokoh agama yang

Kelayakan Terminal Bahan Baku Klaster Mebel Rotan di Desa Trangsan Kabupaten Sutoharjo | vii.. Tabel 4.17 Ringkasan Penilaian Investasi (Skenario Embrio Distribusi - Persediaan

KDRT yang terdapat di dalam novel Adam Hawa tampak pada (1) perilaku Adam kepada Maia, (2) perilaku Maia kepada Idris, (3) perilaku Adam kepada Khabil,

PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI..