• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA TUG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA TUG"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Mata kuliah Ilmu budaya Dasar

Semester Genap Tahun Akademik

2016/2017

Disusun oleh : Riski 16020230027

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (FKIP) UNIVERSITAS ISLAM KADIRI – KEDIRI

2016 - 2017

(2)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah karena berkat kemurahan-Nya makalah “Sistem Integumen” ini dapat kami selesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.

Kami menyadari, bahwa proses penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usulan guna penyempurnaan makalah ini di kemudian hari.

Kami sadari pula, bahwa dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.

(3)

KAMIS, 8 JUNI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i DAFTAR ISI……….ii BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………

B. Rumusan Masalah………..

C. Tujuan Penulisan………

BAB II : PEMBAHASAN

A. Etika dan Estetika Berbudaya………

B. Memanusiakan Manusia………

C. Problematika Kebudayaan……….

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan………

B. Saran……….

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan menciptakan kebaikan, kebenaran, keadilan, dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk berbudaya, manusia mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat demi kesempurnaan hidupnya dengan menciptakan kebudayaan.Di samping itu, manusia mampu menciptakan, memperbaharui, memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan sesuatu yang ada untuk kepentingan hidup manusia.Tetapi, banyak juga manusia yang tidak memiliki etika dan estetika dalam berbudaya serta tidak memanusiakan manusia. Melalui makalah ini, kami akan membahas mengenai etika dan estetika berbudaya, memanusiakan manusia dan problematika kebudayaan.

B.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana etika dan estetika Manusia dalam Berbudaya?

2. Bagaimana memanusiakan manusia?

3. Bagaimana problematika kebudayaan?

C.

Manfaat Penulisan

1. Mengetahui etika dan estetika dalam berbudaya.

2. Mengetahui cara memanusiakan manusia

(5)

BAB II

PEMBAHASAN

A. ETIKA DAN ESTETIKA BERBUDAYA

Secara historis perkembangan zaman boleh saja mengalami perubahan yang dahsyatmun, peran kesenian tidak akan pernah berubah dalam tatanan kehidupan manusia. Sebab, melalui media kesenian, makna harkat menjadi citra manusia berbudaya semakin jelas dan nyata.

Bagi manusia Indonesia telanjur memiliki meterai sebagai bangsa yang berbudaya. Semua itu dikarenakan kekayaan dari keragaman kesenian daerah dari Sabang sampai Merauke yang tidak banyak dimiliki bangsa lain. Namun, dalam sekejap, pandangan terhadap bangsa kita menjadi ”aneh” di mata dunia. Apalagi dengan mencuatnya berbagai peristiwa kerusuhan, dan terjadinya pelanggaran HAM yang menonjol makin memojokkan nilai-nilai kemanusiaan dalam potret kepribadian bangsa. Padahal, secara substansial bangsa kita dikenal sangat ramah, sopan, santun dan sangat menghargai perbedaan sebagai aset kekayaan dalam dinamika hidup keseharian. Transparansi potret perilaku ini adalah cermin yang tak bisa disangkal. Bahkan, relung kehidupan terhadap nilai-nilai etika, moral dan budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun, kenyataannya kini semuanya telah tercerabut dan ”nyaris” terlupakan.

(6)

1. Etika Manusia dalam Berbudaya

Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos.Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang sikap perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral (mores dalam bahasa latin), akhlak atau kesusilaan.Etika berkaitan dengan masalah nilai, karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai susila, atau tidak susila, baik dan buruk perbuatan manusia.

Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Bertens menyebutkan ada tiga jenis makna etika sebagai berikut :

a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau

kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.

b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini adalah kode

etik)

c. Etika dalam arti ilmu ajaran tentang yang baik dan yang buruk.

Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna etika yang pertama. Nilai-nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan manusia. Nilai etik diwujudkan ke dalam norma etik, norma moral, atau norma kesusilaan.

Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi. Penduduk norma etik adalah nurani, individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Norma ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri.

Norma etik ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Membunuh, berzina, mencuri, dan sebagainya tidak hanya dilarang oleh norma kepercayaan atau keagamaan saja, tetapi dirasakan juga sebagai bertentangan dengan (norma) kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Norma etik hanya membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja.

(7)

Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap dipengaruhi oleh ideology masyarakat pendukungnya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang moral, asusila, atau tidak etis.Pandangan ini bisa diterima oleh orang mana saja atau universal.Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat penganut kebebasan kemungkinan bukan perilaku yang amoral.Etika masyarakat Timur mungkin berbeda dengan etika masyarakat Barat.

Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku. Dengan norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk berperilaku baik.Manusia yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai dengan norma-norma etik.

Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Manusia yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai-nilai etik pula. Etika berbudaya menganut tuntutan/keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia mengandung nilai-nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima sebagian besar orang.Budaya yang memiliki nilai-nilai etik adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan,bahkan mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya tidak beretika adalah kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan menghancurkan martabat kemanusiaan.

Namun demikian, menentukan apakah suatu budaya yang dihasilkan manusia itu memenuhi nilai-nilai etik ataukah menyimpang dari nilai etika adalah bergantung pada paham atau ideologi yang meyakini masyarakatpendukung kebudayaan. Hal ini dikarenakan berlakunya nilai-nilai etik bersifat universal, namun sangat dipengaruhi oleh ideologi masyarakat.

Contohnya, budaya perilaku berduaan di jalan antara sepasang pemuda mudi,bahkan bermesraan di hadapan umum. Masyarakat individual menyatakan hal demikian bukanlah perilaku tidak etis, akan tetapi ada sebagian orang atau masyarakat yang berpandangan hal tersebut merupakan penyimpangan etik.

2. Estetika Manusia Dalam Berbudaya

Estetika dapat dikatakan sebagai teori keindahan atau seni.Estetika berkaitan dengan nilai indah – jelek (tidak indah).Nilai estetika berarti nilai tentang keindahan.Keindahan dapat diberimakna secara luas, secara sempit, dan estetik murni.

(8)

yang indah,ilmu yang indah dan kebijakan yang indah. Indah dalam arti luas mencakup hampir seluruh yang ada, apakah merupakan hasil seni, alam, moral dan intelektual. b) Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan (bentuk dan

warna ).

c) Secara estetik murni, menyangkut pengalaman seseorang dalam hubungan dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui penglihatan, pendengaran, perabaan dan perasaan yang semuanya dapat menimbulkan persepsi(anggapan).

Jika estetika dibandingkan dengan etik, maka etika berkaitan dengan nilai tentang baik buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal yang baik-jelek. Sesuatu yang estetika berarti memenuhi bentuk keindahan (secara estetik murni maupun sempit, baik dalam bentuk kata, warna , garis ataupun nada).Budaya yang estetik berarti budaya itu meliputi keindahan.

Apabila nilai etik bersifat relatif universal, dalam arti bisa diterima banyak orang, namun nilai estetik sangat subjektif dan partikular. Sesuatu yang indah bagi seseorang belum tentu indah bagi orang lain. Misalnya dua orang memandang sebuah lukisan. Orang pertama akan mengakui akan keindahan dalam lukisan tersebut, namun bisa jadi orang kedua tidak menemukan keindahan dalam lukisan tersebut.

Oleh karena itu subjektif, nilai estetik tidak boleh dipaksakan pada orang lain. Kita bisa memaksa seseorang untuk mengakui sebuah keindahan lukisan sebagai pandangan kita. Nilai estetik lebih bersifat kepada perasaan ,bukan pernyataan.

Budaya merupakan hasil karya manusia sesungguhnya diupayakan untuk memanuhi unsur keindahan.Manusia sendiri memang suka dengan keindahan.Disinilah masyarakat berusaha berestetika dalam berbudaya sebudaya pasti dipandang memiliki nilai-nilai estetik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut.Hal-hal yang indah dan kesukaannya pada keindahan diwujudkan dengan menciptakan aneka ragam budaya.

Namun sekali lagi, bahwa suatu produk budaya yang dipandang indah oleh masyarakat pemiliknya belum tentu indah bagi masyarakat budaya lain. Contohnya, budaya, suku-suku bangsa Indonesia. Tarian suatu suku berikut penari dan pakaiannya mungkin dilihat tidak ada nilai estetikanya , bahkan dipandanganeh oleh masyarakat suku lain, demikian pula sebaliknya.

(9)

B.

MEMANUSIAKAN MANUSIA

Manusia tidak hanya sebatas menjadi homo,tetapi harus meningkatkan diri menjadi human. Manusia harus memiliki prinsip, nilai,dan rasa kemanusiaan,tetapi binatang tidak bisa dikatakan memiliki perikebinatangan.Hal ini karena binatang tidak memiliki akal budi,sedangkan manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau perikemanusiaan.perikemanusiaan inilah yang mendorong perilaku baik sebagai manusia.

Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantiasa menghargai dan menghormati harkat dan derajat manusia lainnya.Memanusiakan manusia adalah tidak menindas sesama,tidak menghardik,tidak bersifat kasar,tidak menyakiti, dan perilaku-perilaku lainnya.

Memanusiakan manusia berarti pula perilaku memanusiawikan antar sesama. Memanusiakan manusia memberikan keuntungan bagi diri sendiri maupun orang lain. Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia.Sedangkan bagi orang lain akan memberikan rasa percaya,rasa hormat, kedamaian dan kesejahteraan hidup.

Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya mulia. Sedangkan bagi orang lain sebagai korban yang tindakan yang tidak manusiawi akan menciptakan penderitaan, kesusahan, ketakutan, perasaan, dendam dan sebagainya.Sejarah membuktikan bahwa perseteruan, pertentangan, dan peperangan yang terjadi di berbagai belahan dunia adalah karena manusia belum mampu memanusiakan manusia lain, dan sekelompok bangsa menindas bangsa lain. Penjajahan atau kolonialisme adalah contoh perilaku suatu bangsa menindas bangsa lain. Penjajahan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan.

(10)

belakangnya, karena manusia adalah mahluk Tuhan yang sama harkat dan martabatnya. Perilaku yang manusiawi atau memanusiakan manusia adalah sesuai dengan kodrat manusia.Sebaliknya, perilaku yang tidak manusiawi bertentangan dengan hakikat kodrat manusia. Perilaku yang tidak manusiawi pasti akan mendatangkan kerusakan manusia.

C.

PROBLEMATIKA KEBUDAYAAN

Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang berbeda-beda menghasilkan keragaman kebudayaan. Tiap persekutuan hidup manusia (masyarakat, suku, atau bangsa) memiliki kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan demikian, kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia.

Dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi hubungan antar persekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula mengalami dinamika seiring dengan dinamika pergaulan hidup manusia sebagai pemilik kebudayaan.Berkaitan dengan hal tersebut kita mengenal adanya pewarisan kebudayaan, perubahan kebudayaan, dan penyebaran kebudayaan.

1. Pewarisan Kebudayaan

Pewarisan kebudayaan adalah proses pemindahan, penerus, pemilikan, dan pemakaian kebudayaan dari generasi ke generasi secara kesinambungan .Pewarisan budaya bersifat vertikal artinya budaya diwariskan dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya untuk digunakan,dan selanjutnya diteruskan kepada generasi yang akan datang.

Pewarisan kebudayaan dapat dilakukan melalui enkulturasi dan sosialisasi. Enkulturasi atau pembudayaan adalah proses mempelajari dan menyesuaikan pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat dan peraturan hidup dalam kebudayaannya. Proses enkulturasi dimulai sejak dini,yaitu masa kanak-kanak, bermula dari lingkungan keluarga,teman-teman sepermainan,dan masyarakat luas.sosialisasi atau proses pemasyarakatan adalah individu menyesuaikan diri dengan individu lain dalam masyarakat.

(11)

Dalam suatu kasus,ditemukan generasi muda menolak budaya yanng hendak diwariskan oleh generasi pendahulunya. Budaya itu dianggap tidak lagi sesuai dengan kepentingan hidup generasi tersebut,bahkan dianggap bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya baru yang diterima sekarang ini.

2. Perubahan Kebudayaan

Perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya ketidaksesuaian diantara unsur-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang fungsinya tidak serasi bagi kehidupan.Perubahan kebudayaan mencakup banyak aspek, baik bentuk, sifat perubahan, dampak perubahan, dan mekanisme yang dilaluinya.Perubahan kebudayaan didalamnya mencakup perkembangan kebudayaan.

Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa memunculkan masalah, antara lain perubahan akan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regress (kemunduran) bukan progress (kemajuan), perubahan bisa berdampak buruk atau menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi, berlangsung cepat, dan diluar kendali manusia.

Contohnya adalah pembangunan , modernisasi .

Beerapa masalah yang muncul antara lain:

a. Perubahan bersifat regress (kemunduran)

b. Perubahan melalui revolusi

3. Penyebaran kebudayaan

Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan dari suatu kelompok ke kelompok lain atau suatu masyarakat ke masyarakat lain. Kebudayaan kelompok masyarakat di suatu wilayah bisa menyebar ke masyarakat lain, Misalnya, kebudayaan dari masyarakat Barat (Negara-negara Eropa) masuk dan memengaruhi kebudayaan Timur (bangsa Asia dan Afrika). Globalisasi budaya bisa dikatakan pula sebagai penyebaran suatu kebudayaan secara meluas.

Dalam hal penyebaran kebudayaan, seorang sejarawan Arnold J. Toynbee merumuskan beberapa dalil tentang radiasi budaya sebagai berikut.

Pertama,aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan, melainkan

(12)

Kedua, kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan nilainya.Makin tinggi dan dalam aspek budayanya, makin sulit untuk diterima.Contoh religi adalah lapis dalam dari budaya. Religi orang Barat (Kristen) sulit diterima oleh orang Timur dibanding teknologinya. Alasannya, religi merupakan lapisan budaya yang paling dalam dan tinggi, sedangkan teknologi merupakan lapis luar dari budaya.

Ketiga, jika satu unsur budaya masuk maka akan menarik unsur yang lain. Unsur

teknologi asing yang diadopsi akan membawa masuk pula nilai budaya asing melalui orang-orang asing yang bekerja di industry teknologi tersebut.

Keempat, aspek atau unsur budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya, bisa

menjadi berbahaya bagi masyarakat yang didatangi.Dalam hal ini, Toynee memberikan contoh nasionalisme.Nasionalisme sebagai hasil evolusi sosial budaya dan menjadi sebab tumbuhnya negara-negara nasional di Eropa abad ke-19 justru memecah belah sistem kenegaraan di dunia Timur seperti kesultanan dan kekhalifaan di Timur Tengah.

Penyebaran kebudayaan (difusi) bisa menimbulkan masalah. Masyarakat penerima akan kehilangan nilai-nilai budaya lokal sebagai akibat kuatnya budaya asing yang masuk. Contoh globalisasi budaya yang bersumber dari kebudayaan Barat pada era sekarang ini adalah masuknya nilai-nilai budaya global yang dapat memberi dampak negatif bagi perilaku sebagian masyarakat Indonesia.Misalnya, pola hidup konsumtif, hedonisme, pragmatis, dan individualistik.Akibatnya, nilai budaya bangsa seperti rasa kebersamaan dan kekeluargaan lambat laun bisa hilang dari masyarakat Indonesia.

Pada dasarnya, difusi merupakan bentuk kontak antarkebudayaan. Selain difusi, kontak kebudayaan dapat pula berupa akulturasi dan asimilasi.Akulturasi berarti pertemuan antara dua kebudayaan atau lebih yang berbeda.Akulturasi merupakan kontak antar kebudayaan, namun masing-masing masih memperlihatkan unsur-unsur budayanya. Asimilasi berarti peleburan antar kebudayaan yang bertemu. Asimilasi terjadi karena proses yang berlangsung lama dan intensif antara mereka yang berlainan latar belakang ras, suku, bangsa, dan kebudayaan. Pada umumnya, asimilasi menghasilkan kebudayaan baru.

Apabila nilai etik bersifat relative universal, dalam arti bisa diterima banyak orang, Namun nilai estetik amat subjektif dan particular. sesuatu yang indah bagi seseorang belum tentu indah bagi orang lain. Misalkan dua orang memandang sebuah lukisan, orang pertama akan mengakui keindahan yang terkandung di dalam lukisan tersebut, namun bisa jadi orang kedua sama sekali tidak menemukan keindahan di lukisan tersebut.

(13)

sebagai hasil karya mausia sesungguhnya diupayakan untuk memenuhi unsure keindahan. manusia sendiri memang suka akan keindahan. disinilah manusia berusaha berestetika dalam berbudaya. Semua budaya pastilah dipandang memiliki nilai-nilai estetik bagi masyarakat pendukung budaya tersebut. hal-hal yang indah dan kesukaannya pada keindahan diwujudkan dengan menciptakan aneka ragam budaya.

Namun sekali lagi, bahwa suatu produk budaya yang di pandang indah oleh masyarakat pemiliknya belum tentu indah bagi masyarakat budaya lain. contohnya, budaya suku-suku bangsa di Indonesia. Tarian suatu suku berikut penari mungkin dilihat tidak ada nilai estetikanya, bahkan dipandang aneh oleh warga dari suku lain, demikian pula sebaliknya.

(14)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Budaya pastinya memiliki nilai, dalam hal ini etika. Etika pada umumnya membahas pandangan atau nilai yang bersifat tata-krama. Kesopanan, gotong-royong, cara, dan lainnya yang masih berhubungan dengan fisik, juga bersifat realistis, dan secara kasat mata terlihat. Budaya yang mengandung nilai etika ini memang sengaja dilestarikan sebab, mungkin telah diprediksikan sebelumnya, nilai “kemanusiaan” yang wajar akan lumpuh dimasa mendatang, seperti halnya pergeseran nilai yang telah terjadi saat ini. Estetika, atau pandangan nilai indah yang berasal dari objek (manusia) kepada subjek (budaya) yang ada. Estetika tidak berbeda jauh dari etika. Namun dalam hal estetika, nilai berasal dari pemberi nilai baik melalui mata, hati maupun pikirannya, bukan nilai yang berasal dari ‘paksaan’ orang lain.

Pandangan nilai yang tidak bisa dipaksakan inilah yang ingin dijadikan sebuah pandangan atas berbagai macam bentuk budaya yang ada di dunia. Yang mana yang cocok dengan dirinya, yang mana baik dipandang dalam lingkungannya, yang mana berguna agar dapat dijadikan contoh dengan tetap menjaga keberlangsungan budaya selama dunia ini masih tercipta.

Baik etika maupun estetika adalah unsur yang harus ada dalam pelestariannya. Terwujudnya budaya yang tanpa dasar etika dan estetika patutlah dipertanyakan seperti mengapa budaya tersebut harus muncul dan apa manfaat budaya tersebut.

B. Saran

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

Al-Attas, S.M, Al-Naquib. 1981. Islam dan Sukalarisme.Bandung: Pustaka.

Cohen, 1964. Social Work and Social Problem. New York: Penerbit NSW.

Herimanto, dkk.2008.Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.Jakarta Timur: PT Bumi Aksara.

Leslie, White. 1949. The Science of Culture. Strauss: Penerbit Farrar.

Rosita.2015.Manusia sebagai Mahluk Budaya.http://www.ISBD.htm. 17 September

Salim, Asbar.2014.Mata Kuliah Ilmu Sosial dan

Referensi

Dokumen terkait