• Tidak ada hasil yang ditemukan

Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tent

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tent"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri Dalam Kaitannya Dengan Keterlibatan TNI Dalam Bidang Keamanan

Dan Ketertiban

Sulaiman Sujono, S.H., M.Si (Han)1

Pendahuluan

Terhitung sejak 28 Januari 2013, Indonesia kembali memiliki sebuah peraturan baru yang mengatur TNI. Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri sejak saat itu disahkan dan disaat yang sama menambah rangkaian peraturan perundang-undangan yang mengatur TNI selaku aktor keamanan di Indonesia.

Sebagian besar peraturan perundang-undangan yang mengatur TNI pada masa ini dihasilkan pasca reformasi. Diawali dengan adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. TAP MPR ini menandakan pemisahan dengan tegas fungsi TNI dan Polri serta dihapuskannya ABRI.

Setelah TAP MPR tersebut muncul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Selain itu terdapat pula Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan yang terbaru, Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial, yang mengatur keterlibatan TNI dalam bidang keamanan dan ketertiban.

(2)

atas adalah pertanyaan mengenai keterlibatan TNI dalam bidang keamanan dan ketertiban.

Urgensi Pengaturan

Pemikiran dimana institusi militer harus terpisah dari institusi sipil dengan pengaturan yang tegas bukanlah merupakan hal baru. Sejak masa akhir perang dingin pemikiran seperti ini telah berkembang. Era perang dingin memiliki ciri dimana pelibatan militer dalam fungsi-fungsi pemerintahan sulit untuk dibedakan, bahkan terdapat negara dimana pemimpin militer adalah pemimpin negara. Pada berakhirnya masa tersebut terjadi transisi yang signifikan pada negara-negara di dunia, banyak negara-negara yang memiliki kepala negara atau pemerintahan yang dijalankan oleh militer mengalami transisi kepada pemerintahan sipil yang cenderung mengadopsi demokrasi (Goodman, 1997, hal. 20).

Pada masa ini salah satu pemikiran yang berkembang pesat adalah bahwa institusi militer harus terpisah secara fisik dan ideologis dengan institusi politik (Schiff, 1995, hal. 7). Perkembangan pemikiran seperti ini dapat dimaklumi mengingat pola hubungan sipil-militer di dunia pada abad ke-20. Sipil yang dimaksudkan dalam wacana ini adalah institusi sipil dalam konstruksi negara atau dengan kata lain pemerintahan. Pada kondisi tertentu, seperti pada masa konflik atau pada masa ini dimana reformasi melibatkan banyak aktor, termasuk juga di dalamnya masyarakat sipil.

Dalam kondisi ini pula lahir istilah reformasi sektor keamanan (security sector reform). Reformasi sektor keamanan ini diawali dengan hipotesa yang menyatakan bahwa penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang keamanan yang tidak dikelola dengan baik dan efektif akan menjadi salah satu penghalang bagi terciptanya perdamaian, stabilitas, penegakan hukum dan penghargaan terhadap hak asasi manusia (Wibisono, Wardoyo, & Kasim, 2009, hal. 3).

(3)

baiknya aktor sektor keamanan dan efek negatifnya terhadap pembangunan dan perdamaian yang berkelanjutan (Bleiker & Krupanski, 2012, hal. 37).

Pada intinya, reformasi sektor keamanan didasarkan pada ide bahwa rekonstruksi dan atau reformasi pada sektor keamanan dalam rangka meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan legitimasi terciptanya keamanan tidak hanya untuk negara tetapi juga untuk rakyatnya, dan menciptakan keadaan yang aman untuk pembangunan yang berkelanjutan (Bleiker & Krupanski, 2012, hal. 37). Pada konteks ini reformasi sektor keamanan juga diarahkan pada terciptanya pengaturan sektor keamanan yang tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga sejalan dengan prinsip – prinsip demokrasi.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kebutuhan dalam bidang-bidang reformasi sektor keamanan berbeda antar negara di dunia terkait kondisinya masing-masing. Diantara kondisi-kondisi tersebut adalah pembangunan pasca konflik, transisi kekuasaan dari pemerintahan militer ke partisipasi politik terbuka, kemerdekaan yang baru tercapai, transparansi dan akuntabilitas lembaga urusan publik, pengabaian kekuasaan hukum, permasalahan pada mediasi konflik akibat dari tindakan aktor sektor keamanan, kesulitan dalam pengelolaan sumberdaya langka, dan juga ketidakmampuan aktor sipil dalam pengaturan dan pengawasan kekuatan keamanan negara (Wulf, 2004, hal. 2).

Dalam bahasan besar dari reformasi sektor keamanan tersebut dapat terlihat adanya tujuan pembangunan hubungan antara sipil dan militer. Hubungan tersebut merupakan fokus dari perbaikan kondisi-kondisi tersebut diatas. Johanna Mendelson Forman menyatakan (Forman, 2000, hal. 3) bahwa secara umum, hubungan sipil-militer terfokus pada distribusi relatif kekuasaan antara pemerintah dan angkatan bersenjata sebuah negara. Lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa mereka terlibat di dalam proses dimana kontrol sipil diukur dan dievaluasi dengan menimbang ‘pengaruh relatif dari perwira militer dan pejabat sipil dalam pengambilan keputusan terkait tentang keamanan internal, pertahanan eksternal, dan kebijakan militer (yaitu bentuk, ukuran, dan prosedur operasi dari organisasi militer)’.

(4)

bentuk kerjasama yang kooperatif yang dapat melibatkan pemisahan institusi ataupun tidak (Schiff, 1995, hal. 7).

Dalam membahas mengenai hubungan antara sipil – militer terdapat beberapa istilah yang dapat digunakan untuk mengkategorisasikan mengenai keterlibatan militer pada urusan sipil. Michael Head dan Scott Mann (Head & Mann, 2009) menyimpulkan beberapa definisi dalam bukunya yang dapat digunakan, antara lain:2

1. Keamanan domestik: sebuah terminologi yang kabur dan masih militer, perlengkapan dan fasilitas untuk melaksanakan tugas-tugas yang utamanya merupakan tugas otoritas sipil, tetapi lembaga tersebut mengalami kekurangan sumber daya. Termasuk di dalamnya pengerahan dalam bencana alam, kepentingan operasi pencarian dan penyelamatan, penjinakan bahan peledak, operasi pembubaran mogok, perbantuan penegakan hukum, dan kegiatan seremonial, dimana penggunaan kekuatan tidak diperlukan.

3. Perbantuan militer kepada kekuasaan sipil: penggunaan kemampuan sumber daya tempur militer untuk membantu atau menggantikan lembaga penegakan hukum, dimana penggunaan kekuatan akan diperlukan.

2 1.Domestic security A vague and expanding term, not generally ofcially defned,that refers to any perceived concern relating to public safety, critical infrastructure,

environmental problems, vital economic interests and political stability.

2.Military aid to the civil community The provision of military personnel, equipment and facilities to perform tasks that are primarily the responsibility of civil authorities, but for which the civilian agencies may lack resources. This includes deployment during natural disasters, and for search and rescue operations, disarming explosives, strike-breaking operations, other law enforcement assistance and ceremonial services, where the use of force is not anticipated.

(5)

Berdasarkan uraian di atas, Indonesia memiliki urgensi yang tersendiri atas pengaturan ini dimana tugas perbantuan di Indonesia ini bukanlah merupakan hal yang khas mengingat hal yang sama terjadi di negara-negara lain seperti Amerika Serikat dengan civil support (Joint Task Force Civil Support). Sebagai gambaran, pengerahan tugas perbantuan ini merupakan bagian dari dinamika hubungan sipil militer di Indonesia. Sebuah isu yang berkembang dalam usaha reformasi sektor keamanan pasca mundurnya mantan Presiden Soeharto di tahun 1998. Salah satu dasar pemicunya adalah keterlibatan unsur militer yang terlalu besar pada tata kelola negara pada era pra reformasi.

Salah satu contohnya di masa lalu adalah pencampuran peran KOPKAMTIB dalam fungsi tertib hukum. Kasus ini merupakan sebuah tantangan terhadap diterapkannya penghormatan terhadap demokrasi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Secara prinsip hukum, pencampuran peran dan intervensi ABRI (pada banyak kasus TNI) merupakan sebuah tindakan yang merendahkan prinsip due process of law (proses hukum yang adil). Lebih lanjut lagi, praktek terlibatnya TNI dalam ranah sipil diatas menimbulkan akibat tidak dijunjungnya kehendak bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum bukan berdasarkan kekuasaan. Albert Venn Dicey mengemukakan prinsip rule of law bahwa dalam sebuah negara, setiap pejabat negara dalam sebuah negara harus memiliki dasar hukum dalam pelaksanaan tugasnya. Selain itu dan yang menjadi dasar yang penting adalah, semua orang tidak ada yang diatas hukum dan dipandang sama dihadapan hukum (Palekar, 2009, hal. 65).

(6)

Aturan Keterlibatan TNI Dalam Keamanan dan Ketertiban

Pengaturan tugas perbantuan di Indonesia terletak utamanya dalam Peraturan Perundang-Undangan. Bagi TNI sendiri, aturan utama yang mengatur adanya keterlibatan perannya dalam bidang keamanan dan ketertiban adalah berdasarkan Undang-Undang TNI. Istilah keterlibatan ini kemudian dikenal dengan istilah tugas perbantuan TNI. Akan tetapi, terdapat pula peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai tugas perbantuan ini.

Pengaturan tersebut misalnya terletak pada Undang Polri dan Undang Pertahanan Negara. Undang TNI, Undang Polri, dan Undang-Undang Pertahanan Negara sendiri mengatur hal yang berbeda untuk masalah perbantuan ini. Undang-Undang Pertahanan Negara hanya menyebutkan bahwa TNI dapat membantu Polri, dan Undang-Undang Polri selain menyebutkan dapat dilakukannya hal tersebut menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah. Sedangkan Undang-Undang TNI sendiri mengamanahkan pengaturan perbantuan ini melalui Undang-Undang.

Ketiga undang-undang ini mengatur hal yang sama untuk institusi yang berbeda, terutama Undang-Undang TNI dan Undang-Undang Polri (Anwar, Karakter TNI-Polri Pada Masa Transisi, 2004: 37). Faktanya Undang-Undang TNI mengatur perilaku dan norma-norma TNI dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut sementara Undang-Undang-Undang-Undang Polri mengatur perilaku dan norma Polri dalam melaksanakan tugasnya. Agar keduanya dapat bersinergi seharusnya terdapat sebuah ketentuan legal yang mengatur perilaku dan norma hubungan antar TNI dan Polri dalam konstruksi tugas perbantuan di bidang keamanan dan ketertiban.

(7)

Nomor 16 Tahun 1960 tentang Permintaan Dan Pelaksanaan Bantuan Militer (PP Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer).

Peraturan Pemerintah (PP) tersebut mengatur mengenai kondisi-kondisi dimana sebuah bantuan militer dapat dilaksanakan mengenai dibolehkannya pemerintah daerah untuk meminta bantuan kepada militer dalam kondisi tertentu. Akan tetapi PP ini dapat dipertanyakan efektivitasnya mengingat banyak dari ketentuan yang terkait PP tersebut sudah mengalami banyak perubahan, walaupun keberlakuan Undang-Undang yang menjadi dasar pembentukannya masih berlaku. Salah satu contoh undang-undang yang terbit kemudian dan bertentangan muatannya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang TNI, khususnya pada pengaturan tentang pengerahan kekuatan TNI.

Secara keberlakuan, PP Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer tersebut masih berlaku mengingat tidak adanya aturan yang secara tegas menyatakan bahwa PP ini tidak berlaku. Akan tetapi, walaupun PP ini secara legal masih berlaku, norma-norma di dalam PP ini tidak sepenuhnya sesuai dan secara kepatutan legal formal tidak dapat diterapkan secara efektif. Hal ini merupakan fenomena hukum dimana aturan-aturan Hindia Belanda yang secara legal masih berlaku tidak lagi dapat diterapkan.

Pada perkembangan berikutnya, disahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (Undang-Undang PKS). Undang-undang ini menambah dasar hukum mengenai pengerahan kekuatan TNI dalam bidang keamanan dan ketertiba, dalam hal ini penanganan konflik. Pengaturan tersebut dapat terlihat pada Pasal 33 hingga Pasal 35 yang menyebutkan bahwa:

Pasal 33

(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah. (2) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah.

(8)

(4) Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34

(1) Pelaksanaan bantuan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikoordinasikan oleh Polri.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35

Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 berakhir apabila:

a. telah dilakukan pencabutan penetapan Status Keadaan Konflik; atau b. berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.

Ketentuan tersebut di atas menambah perintah undang-undang yang menghendaki adanya pola hubungan yang jelas dalam pengerahan kekuatan TNI. Berbeda dengan Undang TNI dan Undang Polri, pada Undang-Undang PKS ini ditegaskan bahwa dalam pelaksanaan perintah undang-undang TNI dibawah koordinasi Polri. Akan tetapi, undang-undang ini seperti Undang-Undang TNI dan Polri mensyaratkan adanya aturan tambahan untuk mengatur hubungan tersebut. Dengan demikian pada dasarnya tidak ada aturan yang sesuai dengan kondisi saat ini yang mengatur mekanisme pengerahan kekuatan TNI dan bagaimana pola hubungannya dengan institusi sipil.

Terbitnya Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2013 Tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri

(9)

bahwa tujuan utama dari Inpres ini adalah untuk mencapai stabilitas kondisi dalam negeri yang kondusif untuk pembangunan. Tujuan tersebut, selain tesurat dengan jelas, dapat terlihat juga terkait kepada siapa Inpres ini ditujukan. Mulai dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan hingga Bupati/Walikota.

Upaya yang dikehendaki untuk mencapai tujuan tersebut adalah kepaduan usaha penanganan gangguan keamanan dalam negeri secara terpadu. Dalam pelaksanaan penanganan gangguan yang terpadu tersebut ditegaskan harus sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan. Karena salah satu yang disebutkan sebagai pelaksana Inpres ini adalah Panglima TNI, maka secara logis dapat dikatakan bahwa TNI akan merujuk kepada UU TNI sebagai dasar hukum dari beberapa dasar hukum lain yang dapat digunakan (seperti UU PKS, UU Pertahanan Negara, dan lainnya).

Inpres ini kemudian menjelaskan bahwa perlu dibentuknya tim terpadu baik pusat maupun daerah untuk menjamin adanya kesatuan komando. Selain itu disebutkan pula mengenai upaya pemulihan pasca konflik dan penegasan bahwa TNI dapat dikerahkan untuk membantu Polri dalam rangka penghentian tindak kekerasan. Bahkan hingga sejauh mempersiapkan pos komando dengan menggunakan instansi pemerintah yang ada dan mengikutsertakan unsur masyarakat selain pemerintahan.

Memperhaikan isi dari Inpres ini dari yang Pertama hingga Kedelapan beberapa permasalahan dapat terlihat. Permasalahan tersebut antara lain:

(10)

Mekanisme ini harus tercantum jelas dalam peraturan perundang-undangan dan menghindari bentuk tafsiran maupun diskresi lapangan.

2. Kewenangan pengerahan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI serta pelibatan pemerintah daerah. Berkaitan dengan poin pertama, pada Inpres ini disebutkan bahwa Menkopolhukam ditugaskan selaku Ketua Tim Terpadu Tingkat Pusat dimana salah satu tugasnya adalah menyusun rencana aksi terpadu nasional dan mengkoordinasikan, mengarahkan, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan efektivitas penanganan gangguan keamanan dalam negeri. Dalam peran ini kemudian dapat dipertanyakan apakah Menkopolhukam memiliki kewenangan atau diberikan kewenangan oleh Presiden untuk berkoordinasi dengan Panglima TNI agar dapat mengerahkan kekuatan TNI untuk menangani gangguan keamanan dalam negeri.

Pengerahan kekuatan TNI berdasarkan UU TNI ditetapkan pada Pasal 17 UU TNI yang menyatakan:

Pengerahan

Pasal 17

(1) Kewenangan dan tanggung jawab pengerahan kekuatan TNI berada pada Presiden.

(2) Dalam hal pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 18 (1) Dalam keadaan memaksa untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI. (2) Dalam hal pengerahan langsung kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

(11)

Presiden harus menghentikan pengerahan kekuatan TNI tersebut.

Panglima TNI bertanggung jawab kepada Presiden terkait penggunaan kekuatan TNI terkait dengan pengerahan tersebut. Kejelasan atas kewenangan ini penting mengingat dalam Inpres ini juga diatur mengenai kewenangan Gubernur, Bupati, dan Walikota sebagai Ketua Tim Terpadu Tingkat Daerah dalam mengkoordinasikan penanganan gangguan keamanan di daerahnya. Maka kemudian pertanyaan mengenai komando dan pertanggungjawaban baik anggaran maupun pelanggaran kembali muncul.

3. Pelibatan institusi pemerintahan dan masyarakat sipil. Terkait pelibatan masyarakat sipil, maka Inpres ini akan mengacu kepada UU Penanganan Konflik Sosial dimana dalam proses penyelesaian konflik melibatkan masyarakat. Pasal yang harus dirujuk terutama Pasal 41 dan Pasal 42 dimana harus diperhatikan bahwa pada kedua pasal tersebut posisi pemerintah adalah fasilitator atas pranata adat atau sosial penyelesaian konflik, dan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial yang dibentuk oleh pemerintah pun dibentuk dalam rangka memfasilitasi penanganan konflik dalam kondisi pranata adat/sosial tidak tersedia.

Ketentuan Ketiga pada Inpres ini menegaskan harus diikutsertakannya masyarakat sipil (tokoh agama, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat) dalam konteks penghentian tindak kekerasan. Walaupun dapat dimengerti bahwa metode tersebut, patut juga dijelaskan mengenai keikutsertaan ini dimana pada UU Penanganan Konflik Sosial menegaskan pemerintah adalah fasilitator, akan tetapi pada Inpres ini menimbulkan kesan kewajiban keikutsertaan.

(12)

APBD berkaitan langsung dengan kegiatan pembangunan daerah dan perkembangan ekonomi daerah tersebut yang berkaitan dengan pembangunan nasional secara umum.

Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Inpres ini sesungguhnya tidak memiliki banyak pengaruh kepada upaya harmonisasi pengaturan tentang keterlibatan TNI dalam bidang keamanan dan ketertiban. Sebagaimana diuraikan di atas pula, permasalahan yang ada saat ini adalah dibolehkannya TNI untuk terlibat dalam bidang keamanan dan ketertiban tidak disertai dengan aturan pelaksanaan yang cukup jelas. UU Polri dan UU TNI sebagai contoh menghendaki adanya PP dan kemudian UU yang hingga saat ini tidak ada satupun aturan yang terbentuk.

Aturan-aturan yang berlaku saat ini cenderung tumpang tindih dan tidak sinkron. Aturan-aturan lama, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya (Perpu Nomor 23 Tahun 1959) dan aturan pelaksananya Peraturan Pemerintah tentang Permintaan Dan Pelaksanaan Bantuan Militer (PP Nomor 16 Tahun 1960) masih berlaku hingga saat ini dan dipergunakan walaupun berbenturan dengan aturan terbaru.

Inpres ini justru membentuk sebuah ruang baru terkait pelibatan TNI dalam bidang keamanan dan ketertiban. Walaupun lebih teknis, akan tetapi pertanyaan penting seperti kondisi atau perameter dimana TNI dapat terlibat, anggaran, alur komando, mekanisme pertanggung jawaban, dan mengenai kewenangan pengerahan tidak terjawab. Kecenderungan yang terlihat adalah adanya pelimpahan wewenang pengerahan Presiden kepada Menkopolhukam atau pejabat daerah, yang sejatinya sudah diatur dalam UU Penanganan Konflik Sosial.

(13)

menjamin kepastian hukum dan efisiensi sumber daya negara di Indonesia. Adanya aturan akan menjamin bahwa setiap pengerahan sumber daya negara, kekuatan TNI, Polri, APBD, maupun APBN dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anwar, D. F. (2004). Karakter TNI-Polri Pada Masa Transisi. Dalam I. N. Bhakti

(Ed.), Relasi TNI dan Polri dalam Penanganan Keamanan Dalam Negeri

(2000-2004) (pp. 36-37). Jakarta: Pusat Penelitian Politik - LIPI (P2P-LIPI).

Bleiker, C., & Krupanski, M. (2012). The Rule of Law and Security Sector Reform Conceptualising a Complex Relationship. (A. Bryden, & H. Hänggi, Eds.) Geneva, Switzerland: The Geneva Centre for the Democratic Control of Armed Forces.

Head, M., & Mann, S. (2009). Domestic Deployment of the Armed Forces; Military Powers, Law, and Human Rights. Farnham, Surrey, England: Ashgate Publishing Limited.

Palekar, S. (2009). Comparative Politics And Government. New Delhi, India: PHI Learning Pvt. Ltd.

Wibisono, A. A., Wardoyo, B., & Kasim, Y. K. (2009). Satu Dekade Reformasi Militer Indonesia (Vol. 2). (A. R. Wulan, Ed.) Jakarta, Indonesia: PACIVIS, Center for Global Civil Society Studies, University of Indonesia, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) Indonesia Ofce.

(14)

http://www.berghof-handbook.net/documents/publications/dialogue2_wu lf.pdf

Jurnal dan Tulisan Ilmiah

Schiff, R. L. (199)). Civil-Military Relations Reconsidered: A Theory of Concordance. Armed Forces and Society , 22 (1), 7 - 24.

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Keadaan Bahaya, Perpu Nomor 23 Tahun 19)9

Peraturan Pemerintah tentang Permintaan Dan Pelaksanaan Bantuan Militer, PP Nomor 16 Tahun 1960

Undang-Undang Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 2 tahun 2002, LN No. 2 tahun 2002, TLN No. 4168

Undang-Undang Tentang Pertahanan Negara, UU No. 3 tahun 2002, LN No. 4169 tahun 2002, TLN No. 4169

Undang-Undang Tentang Tentara Nasional Indonesa, UU No. 34 tahun 2004, LN No. 127 tahun 2004, TLN No. 4439

Sumber Elektronik

(15)

The Latin American Studies Association:

http://lasa.international.pitt.edu/Lasa2000/MendelsonForman.PDF

Goodman, L. W. (1997). Civil - Military Relations In The Post - Cold War Era. USIA Electronic Journals , 2 (3), 19 - 22. From http://www.hsdl.org/? view&did3)70

Referensi

Dokumen terkait

This chapter discussed the result of the study which consist of some problems of using subject-verb agreement in writing in students‟ descriptive text, the solutions of the

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) aktivitas guru pada pembelajaran fisika menggunakan model pembelajaran problem solving termasuk dalam kategori sangat baik

Menurut peneliti dengan adanya rumusan Pasal 7 Ayat (2) UU Perkawinan yang ada sekarang, alasan untuk mendapatkan dispensasi nampaknya tidak menjadi sesuatu yang

Auxiliary verb juga disebut special verb or anomalous verb (kata kerja penyimpang) karena fungsi atau penggunaan dari kata-kata kerja bantu tersebut khusus dan sangat

Penelitian ini berlatar belakang adanya hasil belajar siswa kelas X IPA 6 SMAN 2 Pamekasan yang belum mencapai KKM hususnya dalam bidang studi fisika. Oleh karena itu,

penerimaan pesan antara 2 individu/ lebih dengan cara yang efektif sehingga pesan yang dimaksud..

Sehubungan dengan telah selesainya masa evaluasi penawaran administrasi, teknis dan harga untuk pemilihan langsung pekerjaan Rehabilitasi / Perbaikan Saluran Alur 1A maka

Pengamatan terhadap guru yang dilakukan pada perencanaan siklus ke satu pertemuan ke satu ini: (1) Merumuskan bahan pelajaran dan merumuskan tujuan dalam hal