• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengolah Keheningan Batin dalam Keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengolah Keheningan Batin dalam Keluarga"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Mengolah Keheningan Batin dalam Keluarga

bersumber pada Kerahiman Ilahi

1

I. Keheningan sejak dari kandungan

Ketika saya mulai merenungkan apa yang akan saya tulis tentang “Mengolah Keheningan Batin dalam Keluarga bersumber pada Kerahiman Ilahi”, ingatan saya tertuju pada tema Hari Komunikasi Sedunia 2015, dimana Paus Fransiskus memberi tema “Komunikasi dalam keluarga: tempat istimewa menemukan keindahan cinta”2. Dalam tulisannya, Paus Fransiskus mengatakan

bahwa keluarga adalah tempat pertama dimana setiap individu berkomunikasi dengan orang lain dan belajar berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan sebelum seseorang lahir, dia telah mengalami komunikasi di dalam rahim dengan sang ibu yang mengandungnya. Sang ibu yang mengandung berbicara dengan dengan sang bayi dalam Rahim melalui sapaan dan belaian seolah-olah sang anak sudah lahir. Sapaan dan belaian sang ibu memberi pesan sang anak yang dalam kandungan. Pesan kasih disampaikan. Perasaan gembira diekspresikan. Perlindungan ditunjukkan.

Semua yang dirasakan dan diharapkan oleh keluarga, khususnya sang ibu, sudah dikomunikasikan sejak seseorang dalam kandungan sekalipun tidak mendapatkan respon secara verbal dari sang janin. Ada kalanya ketika sang ibu atau anggota keluarga menyapa sang janin, sang janin menunjukkan respon lewat gerakan tertentu dalam kandungan. Komunikasi dengan sang janin diharapkan membuat sang janin merasa nyaman, tumbuh sehat, tidak merasa sendiri, kehadirannya adalah rahmat, komunitas yang hangat telah tersedia untuknya, dll. Seluruh proses belajar berkomunikasi dengan sang janin yang membuat ikatan batin yang erat ini bertumbuh dalam suasana keheningan. Keheningan yang dimaksud bukan semata-mata diam tanpa kata tetapi lebih berarti memuat iman yang hidup, harapan yang teguh kepada Allah dan cinta yang ikhlas.

Ikatan batin akan bertumbuh semakin kuat ketika sang janin mulai mendiami rahim sampai ia dilahirkan. Kata rahim memang merujuk pada kaum perempuan lebih khusus lagi rahim ibu. Dari rahim ini sebenarnya mencul hubungan cinta yang searah. Sifat rahim seorang ibu, yang “melindungi, menghidupi, menghangatkan, memberi pertumbuhan, menjaga, menerima tanpa syarat, membawa kemana-mana”. Ibu mencintai anaknya yang lahir dari rahimnya bukan karena anaknya berbuat baik tetapi karena itu merupakan suatu dorongan hati yang tak terelakkan. Bahkan setelah datang ke dunia, bisa juga berarti kita masih di dalam “rahim”, yakni keluarga. Rahim terdiri dari beberapa orang yang saling terkait: keluarga adalah “tempat kita belajar untuk hidup dengan orang lain meskipun berbeda” (Evangelii Gaudium, 66). Tanpa melihat perbedaan jenis kelamin dan usia di antara mereka, anggota-anggota keluarga saling menerima karena ada ikatan di antara mereka.

Dalam kehadirannya di tengah keluarga, sang anak akan mengalami komunikasi yang lebih langsung, tanpa batas. Ia tidak lagi pasif, tapi ikut berpartisipasi langsung. Melalui

1 Oleh B. Cahyo Christanto, SJ disampaikan pada acara Temu Kebatinan Katolik XXX, Kerep, Ambarawa, 15-16 Oktober 2016.

(2)

kehadiran dan keterlibatan langsung dalam keluarga, setiap orang mengkomunikasikan keberadaannya dalam keluarga. Dalam situasi demikian, maka setiap orang dalam keluarga belajar dan mengalami supaya bisa saling memahami, saling berbagi, saling memperhatikan. Tentu hal-hal tersebut tidak didapatkan begitu saja. Ada proses belajar yang harus diikuti. Orang belajar memaknai ekspressi wajah orang lain, belajar membaca kata hati orang lain, sekalipun tak terungkap lewat kata. Belajar merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.

Situasi konkrit ini kita hidupi dan kita hadapi dalam keluarga. Menurut Paus Fransiskus, realitas ini tentu saja sangat membantu kita untuk memahami makna komunikasi sebagai kedekatan pertalian batin yang saling meneguhkan dan mempertautkan. Sebagai keluarga hal utama yang mengikat kita adalah pertautan batin, bukan materi. Batiniah, bukan badaniah.Yang batiniah terwujud dalam badaniah. Keheningan batin yang kuat menjadi dasar komunikasi yang melahirkan kasih satu sama lain, rasa hormat satu sama lain, kesediaan berkorban satu sama lain. Maka hidup setiap pribadi terarah kepada yang lain.

Ketika masih dalam kandungan, ibu menyapa kita lewat kata dan tindakan. Namun ada tindakan rohani juga dilakukan, yaitu mendoakan sang janin. Paus Fransiskus menyebut tindakan mendoakan ini sebagai “relasi yang mendahului”. Tindakan mendoakan ini terus berlanjut dalam perjalanan kita sebagai keluarga kandung dan dalam keluarga besar. Pada permulaan kita didoakan. Pada waktu berikutnya kita mendoakan. Doa bukan sekedar permohonan, tetapi juga berisi ucapan syukur. Syukur atas kehidupan, syukur atas kehadiran, dan pengorbanan banyak orang dalam hidup kita.

Lebih lanjut Paus Fransiskus menuliskan:”Pengalaman tentang relasi yang ‘mendahului’ kita memungkinkan keluarga untuk menjadi latar di mana bentuk komunikasi yang paling dasar, yaitu doa, diwariskan. Ketika para orangtua menidurkan anak-anak mereka yang baru lahir, mereka sering kali mempercayakan anak-anak itu kepada Tuhan, seraya memohon agar Ia menjaga mereka. Ketika anak-anak itu bertambah usia, para orangtua membantu mereka untuk mendaraskan beberapa doa sederhana, seraya mengenang kasih sayang orang-orang lain, seperti kakek-nenek, para kerabat, orang-orang sakit dan menderita, dan semua orang yang membutuhkan pertolongan Tuhan”.

Di dalam keluarga itulah sebagian besar kita mempelajari dimensi “kerahiman Allah”, yang di dalam Kekristenan diresapi dengan kasih, yaitu kasih yang Allah anugerahkan kepada kita dan yang kemudian kita bagikan kepada orang-orang lain.”

II. Doa dan keheningan dalam Keluarga

Bercermin kepada keluarga kudus Nazareth, Bunda Maria dan Bapa Yusuf adalah teladan pertama yang berdoa secara sempurna tetapi sederhana. Sempurna karena tumbuh dari iman dan harapan yang dalam dan kasih yang besar. Mereka siap sedia berkorban untuk melindungi, merawat dan membesarkan Kanak-kanak Yesus. Benar juga. Mereka lari ke Mesir tanpa persiapan apa pun untuk menyelamatkan Kanak-kanak Yesus dari usaha Raja Herodes untuk membunuh-Nya (Bdk. Mt 2;13-15).

(3)

dengan hati yang mencinta; dan kalau dengan kata-kata sangat sederhana, menyapa dengan kasih. Ketika makin dewasa tentu dengan banyak kata, tetapi tetap sederhana, apa adanya dan tidak ada kata-kata klise, karena begi mereka wawan hati dan wawan sabda dengan Tuhan Yesus itulah doa mereka. Mereka sungguh contoh keluarga yang berdoa kepada Tuhan Yesus dan menjadikan Tuhan Yesus pusat dari keluarga mereka. Pasti mereka juga sering berdoa kepada Yahwe, Allah yang disembah umat Yahudi. Kelak Tuhan Yesus sendiri ketika memberitahu bagaimana berdoa yang baik, kata-kata yang muncul adalah “jangan bertele-tele”, jangan mencari pujian, bahkan sebaiknya menutup diri dalam kamar.

Yesus menegaskan bahwa Allah Bapa kita telah mengetahui apa yang kita perlukan sebelum kita berdoa. (Bdk. Mt 6:5-9). Selanjutnya Keluarga Kudus memberi contoh suatu doa keluarga, ketika bersama-sama pergi ke Kenisah Yerusalem untuk merayakan Paskah, ketika Tuhan Yesus telah berumur 12 tahun (Bdk Lk 2:41 dst.)

Amat menarik bagi kita untuk menyelami lebih dalam, untuk menemukan mutiara indah dari Keluarga Kudus Nasaret, ketika sekitar tiga puluh tahun hidup dalam kesederhanaan dan tersembunyi. Sederhana dan tersembunyi, bukan berarti tidak bergaul dengan orang lain, menyembunyikan diri dan menarik diri dari kehidupan bersama dalam masyarakat. Sederhana dan tersembunyi dalam arti hening. Hening di hadapan Allah. Dari rumah Nasaret yang tersembunyi, memancar sinar kasih keutamaan ilahi yang mengalir tiada henti karena ketaatan pada kehendak Ilahi.

Patut kita ingat juga bahwa sejak masa muda Yesus membiasakan diri dengan renungan dan doa. Dalam diriNya telah tertanam dan berkembang kebiasaan dan pendalaman doa pribadi selama puluhan tahun di Nasaret. Dan doa Yesus mengungkapkan hubungan mesra dengan Allah Bapa-Nya. Bagaimana kita memahami hal ini lebih dalam, yang mana peran Maria dan Yusuf yang dalam kesederhanaan dan nampak tersembunyi mendidik dan mendampingi Yesus dalam berdoa dan bersama Yesus Putera Ilahi, mereka berdoa dalam keheningan di tengah kesibukan kerja.

Kita dapat membayangkan, betapa indahnya hidup dalam ketenangan dan kedamaian dalam keluarga. Yosep bersama Yesus muda melakukan pekerjaan sehari-hari yang sederhana sebagai tukang kayu. Maria sebagai ibu rumah tangga, hadir sebagai sosok yang dengan cinta keibuannya merawat dan mengasuh keluarga dalam ketenangan. Ketenangan, keheningan yang mengiringi kehidupan Keluarga Kudus Nasaret ini, memuat cinta yang besar dalam relasi yang mesra kepada Allah dan kasih yang tulus dan penuh kepada sesama, kepada keluarga-keluarga sekitar dan kepada seluruh bangsa manusia termasuk kita.

Ketenangan dan keheningan ini bukan hanya berlangsung satu dua hari atau satu dua bulan, namun puluhan tahun. Maka bisa dikatakan bahwa keheningan merupakan pola hidup keluarga Kudus Nasaret. Dari ketenangan dan keheningan itu, terlahir segala keutamaan hidup mereka antara lain: kesabaran, ketekunan, kebaikan dan cinta, kemurahan hati dan semangat mengampuni, kepekaan, ketabahan dalam menderita, kesetiaan, harapan dan masih banyak yang lainnya.

(4)

dan Maria hanya mengatakan, “ Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami. BapaMu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” ( Lukas 2 : 48). Ini merupakan ungkapan seorang ibu yang sangat sabar, tanpa kemarahan seperti umumnya terjadi pada kita bila berhadapan dengan situasi demikian, akan sangat emosional. Ketenangan dan kesabaran Maria, nampaknya terlahir dari keheningan batinnya.

Demikian juga, bagaimana Maria begitu peka dan prihatin dengan tuan pesta dalam pesta perkawinan di Kana, ketika mereka kehabisan anggur. ( Yohanes 2 :1 – 11). Maria menyampaikan kepada Yesus,“Mereka kehabisan anggur”. Tidak cuma itu, dengan penuh keyakinan pada Puteranya, Maria memberitahukan kepada pelayan-pelayan,”Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu”. Nampak jelas, bahwa hanya dalam ketenangan dan keheningan batin, Maria melakukan semua itu, sekaligus Maria mengenal dengan baik, Puteranya yang pasti tidak akan menolak permintaannya. Tentu saja, ketabahan dan kesetiaan Maria, sampai di kaki Salib terwujud sampai tuntas, juga berawal dari keheningan yang dalam.

Keheningan selama puluhan tahun di Nasaret, sebagai tukang kayu, juga telah membentuk dan memperkembangkan hidup Yesus sebagai seorang manusia yang siap menjalankan tugas perutusan. “ Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Lukas 2 : 52). Bagaimana bisa bertambah besar dan bertambah hikmat? Semuanya tidak terjadi tiba-tiba tetapi melalui proses yakni kebiasaan mendalami keheningan dan doa, dalam hubungan mesra dengan Allah. Keheningan batin Yesus yang terpupuk dengan subur selama masa tersembunyi di Nasaret, menumbuhkan kemampuan berdiskresi dalam diri Yesus. Maka ketika dicobai iblis di padang gurun, Yesus tidak tergoda oleh tawaran iblis. Tentu saja, seluruh masa kehadiranNya di hadapan umum, pewartaan-Nya sampai sengsara dan wafat-Nya, mengalir kuat dari kenyataan keheningan yang telah terbina selama puluhan tahun hidup di Nasaret.

Keheningan memuat kegembiraan besar dan sukacita yang tak terkatakan. Keheningan memungkinkan adanya inspirasi baru. Keheningan juga membuat budi jadi bening, raga jadi tenang dan sehat. Keheningan melahirkan semua yang baik, yang indah, yang luhur, yang adil, yang mulia, yang suci. Karena selain keheningan adalah bahasa Allah, keheningan adalah tanda kehadiran Allah sendiri. Keheningan adalah Allah sendiri. Dan Allah hanya dapat ditemui, dijumpai, disembah dalam keheningan.

Maria dan Yosep juga tentu sangat nyaman dan tentram, setiap kali dengan hening mereka memandang Yesus. Memperhatikan dan mengikuti perkembangan hidup Yesus, sejak bayi sampai dewasa dalam keheningan tanpa kata. Memandang saja, menampakkan kebahagiaan dan sukacita besar bagi Maria dan Yosep. Karena Yesus adalah fokus hidup Keluarga Kudus, maka seluruh gerak laku dan pola hidup mereka, terarah kepada Yesus. Mereka mencintaiNya secara nyata, total, utuh, penuh dalam keheningan dengan hati yang bersahaja. Pola hidup yang terfokus pada Yesus, pada Allah yang hadir, pada kasih Ilahi Tritunggal Kudus, menjadi jalan keheningan Keluarga Kudus Nasaret.

(5)

Menurut Mgr. Ign. Suharyo yang mengikuti Sinode Luar Biasa tentang Keluarga dengan Tema: “Tantangan-tantangan Keluarga Dalam Konteks Evangelisasi”, di Roma, tanggal 5 – 20 Oktober 20143, disampaikan beberapa hal yang menjadi gambaran umun yang dihadapi oleh

keluarga-keluarga di seluruh dunia, seperti: kemiskinan, migrasi, kekerasan dalam rumah tangga, perpisahan yang berlanjut kepada “perceraian” sipil yang pada akhirnya membuat pasutri hidup dalam situasi yang tidak biasa, kekerasan terhadap perempuan beserta perlakuan tidak adil yang mendahuluinya, perkawinan homoseksual, single parent dengan hak untuk mengadopsi anak dan perkawinan beda agama.

Selain itu juga dijelaskan mengenai situasi budaya kontemporer yang semakin menegaskan dirinya sebagai budaya individualisme yang membawa dampak dan pengaruh yang kuat bagi “pembangunan” keutuhan keluarga. Manakala budaya ini sudah menguasi keluarga dan hati setiap orang, maka akan sulit untuk menemukan titik temu dan kompromi dalam hidup bersama. Hidup dalam keluarga adalah hidup yang ditandai oleh kesediaan untuk menemukan titik temu atau berkurban bagi kepentingan keluarga dan siap melakukan kompromi bagi kebaikan bersama.

Budaya individualisme, pada gilirannya mendorong kepada sikap dimana orang pada akhirnya hanya mau mencari dan memenuhi apa yang menjadi keinginan pribadinya. Dengan pola pikir semacam ini, maka sangat sulit untuk membangun dan mempertahankan suatu komitmen dalam hidup bersama. Kehidupan keluarga adalah salah satu bentuk dimana komitemn dari kedua belah pihak diperlukan. Komitmen, hanya mungkin bisa dilakukan jika orang rela dan bersedia untuk “berbagi” dan mengedepankan kepentingan bersama sebagai tujuan yang hendak dicapai secara bersama. Sayang sekali sikap individualisme telah mengikis nilai-nilai yang diperlukan untuk “pembangunan” sebuah komitmen dalam hidup perkawinan dan keluarga.

Beberapa tantangan keluarga Katolik yang menonjol dibicarakan selama sinode luar biasa ini antara lain4:

1. Kesetiaan Suami-Istri.

Tantangan besar yang dihadapi oleh keluarga dewasa ini adalah menyangkut soal kesetiaan dalam kasih antara suami-istri. Sudah bukan rahasia lagi bahwa cukup banyak pasangan Katolik pisah dan memilih hidup dengan pasangan baru. Janji kesetiaan yang diucapkan pada waktu melangsungkan perkawinan ternyata tidak mampu dipelihara dan dihayati dengan baik dalam keseharian hidup. Dan yang mengherankan bahwa kebersamaan hidup dengan pasangan baru justru memberikan kebahagiaan yang lebih dibandingkan dengan pasangan sebelumnya.

2. Iman yang semakin Lemah

Iman yang semakin lemah, sikap acuh tak acuh terhadap nilai-nilai sejati, sikap individualisme yang semakin menguat dimana segala sesuatu diukur dari sudut pandang individu, pada akhirnya mengarahkan orang kepada sikap relativisme. Pola pandang semacam ini, yang merelatifkan semua hal, termasuk kebenaran iman dan moral, pada kahirnya akan

(6)

mengarahkan orang untuk membangun tatanan moral berdasarkan pandangan pribadi semata, dengan demikian menolak semua hal atau pandangan lain yang tidak sesuai dengan pandangan pribadinya. Sikap semacam ini, tentu saja membahayakan tatanan nilai dan moralitas yang sudah diakui dan dihidupi secara bersama dalam suatu masyarakat.

Iman sebagai salah satu tatanan nilai yang ditawarkan dari luar termasuk hal yang sulit untuk diterima dan dihayati dalam hidup pribadi. Kalaupun diterima, lebih sebatas ritualitas belaka yang baik untuk dilakukan sebagai penegasan atas identitas personal dan komunal, tetapi miskin pemaknaan dan penghayatan pribadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila iman tidak membawa dampak atau pengaruh dalam kehidupan pribadi maupun komunal.

3. Kemiskinan Relasi

Relasi yang semakin miskin dan tekanan hidup yang tidak menyisakan waktu untuk masuk keheningan dan merenung, mempengaruhi juga hidup keluarga. Tidak jarang terjadi krisis perkawinan yang seringkali dihadapi dengan tergesa-gesa, tidak sabar memberi waktu untuk merenung, berkurban dan saling memaafkan. Kegagalan ini membuka pintu untuk terjadinya relasi-relasi baru, hidup dengan pasangan baru yang didasarkan pada ikatan sipil semata dan kemungkinan terjadinya perkawinan baru dengan pasangan baru. Dengan semua situasi tersebut, keluarga-keluarga dimasukkan kedalam keadaan yang semakin kompleks dan penuh masalah untuk dapat mengambil keputusan secara Kristiani dan bertanggungjawab.

4. Beban Keluarga

Diantara tantangan-tantangan tersebut diatas, juga terpikirkan mengenai beban yang ditimpakan kepada keluarga-keluarga oleh penderitaan hidup itu sendiri. Penderitaan yang dapat muncul karena adanya anak yang berkebutuhan khusus, sakit berat, melemahnya kesadaran karena usia lanjut serta kematian orang yang dikasihi. Meski demikian, patut digarisbawahi kesetiaan sekian banyak keluarga yang menghadapi cobaan-cobaan ini dengan keberanian, pengurbanan, iman dan kasih. Mereka tidak memandangnya sebagai beban yang ditimpakan ke atas mereka, tetapi sebagai sesuatu yang diberikan kepada mereka, sambil memandang Kristus yang menderita dalam kelemahan jasmani. Dalam arti ini, keluarga yang demikian telah berhasil mengatasi beban hidup itu dan bahkan telah mampu mengubahnya menjadi berkat dalam kehidupan mereka. Beban dan penderitaan yang dialami tidak membuat keluarga semakin lemah, justru sebaliknya, menguatkan dan memampukan mereka untuk mengubah penderitaan itu menjadi berkat bagi hidup mereka.

5. Pemujaan Uang

(7)

menisbikan nilai-nilai luhur manusia sebagai citra Allah dan mendegradasikannya sebatas komoditi yang laku dijual.

Dalam kaitan dengan ini, perlu digarisbawahi meluasnya praktik prostitusi yang dijalankan dalam bentuk profesional dan teroganisir oleh-oleh oknum tertentu, khususnya di kalangan negara-negara berkembang dan telah mendatangkan penderitaan dan korban untuk begitu banyak anak-anak. Senada dengan itu, human trafficking-perdagangan manusia juga marak terjadi dan melibatkan aparat pemerintahan. Perempuan-perempuan mengalami kekerasan serta eksploitasi.

Demikian halnya dengan anak-anak yang dilecehkan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi dan menjamin perkembangan mereka. Fenomen tersebut mau menegaskan dalil yang telah disampaikan oleh Bapa Suci Fransiscus bahwa pemujaan terhadap uang yang sedemikian kuat telah menisbikan dan merelativirkan nilai-nilai dasariah manusia: hormat terhadap martabat manusia dan kesucian perkawinan serta keluhuran seksualitas manusia.

6. Kesulitan Pekerjaan

Para Bapa Sinode juga memberikan perhatian khusus kepada keluarga-keluarga yang tidak mempunyai pekerjaan tetap. Konsekuensi yang muncul dari situasi itu, bahwa keluarga-keluarga semacam itu, bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk anggota keluarga-keluarga mereka. Lebih lanjut, situasi yang demikian itu tentu membawa konsekuensi yang lebih jauh. Konsekuensi logis yang muncul dari situasi itu, tidak hanya membawa dampak jangka pendek berupa tidak terpenuhinya hak-hak dan kebutuhan dasar bagi suatu keluarga: pangan, sandang dan papan; tetapi juga membawa pengaruh yang serius untuk masa depan anak-anak.

Karena ketiadaan biaya, pendidikan anak-anak akan terbengkalai. Pada gilirannya hal ini akan menciptakan suatu “lingkaran setan” bagi kesejahteraan segenap anggota keluarga. Kita selalu meyakni bahwa pendidikan adalah pintu masuk (entry point) menuju kepada suatu perubahan, termasuk didalamnya kesempatan untuk mengubah masa sekarang yang dinilai kurang baik ke arah yang lebih baik. Tidak mengherankan dalam situasi semacam itu, orang-orang muda memandang ke masa depan dengan harapan kosong dan rentan menjadi korban obat bius dan kejahatan.

7. Keluarga dan Budaya Kemakmuran

(8)

Berhadapan dengan situasi yang demikian itu, para Bapa Sinode menghimbau pemerintah-pemerintah dan organisasi-organisasi internasional untuk mempromosikan hak-hak keluarga, memberikan perlindungan dan bantuan finansial agar keluarga dapat memenuhi kebutuhan dan kewajiban dasarnya sebagaimana yang diamanatkan oleh St. Joh Paul II, yakni menjadi “komunitas cinta” (bdk. Familiaris Consortio, no. 18).

8. Keluarga mengalami Krisis Budaya

Krisis budaya terkait dengan semakin menguatnya budaya individualisme yang dihayati oleh masyarakat luas dan umat Katolik. Dalam budaya individualisme, yang mewujud dalam penguatan otonomi manusia, dimana nilai-nilai dan kebenaran individual dimutlakkan membuat orang sulit untuk menerima sistim nilai yang datang atau ditawarkan dari luar, termasuk nilai-nilai yang diajarkan oleh Gereja. Demikian juga, upaya untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran yang diyakini oleh Gereja mengalami benturan dan halangan yang kuat manakala kebenaran yang disampaikan itu berbeda dengan kebenaran yang diyakini secara individual.

Dalam perspektif ini, dengan mudah dapat dimengerti mengapa orang pada zaman ini semakin sulit untuk menerima nilai-nilai tradisional perkawinan, seperti kesetiaan dalam perkawinan, monogami dan tidak terputusnya ikatan perkawinan. Manakala otonomi manusia dimutlakkan, maka satu-satunya kebenaran yang ada adalah kebenaran yang bersifat individual, dan dalam pemahaman semacam itu, tidak dimungkinkan adanya keterbukaan sikap terhadap penerimaan nilai yang datang dari luar. Inilah krisis budaya yang dialami oleh keluarga zaman sekarang ini. Di satu sisi ada tuntutan untuk menghayati nilai-nilai dan kebenaran ajaran Gereja tentang perkawinan dan hidup keluarga, namun dari sisi lain, berkembang sikap dan pola pikir yang ingin menegasikan semua tatanan nilai yang berasal dari luar, termasuk yang disampaikan oleh Gereja.

IV. Keheningan adalah memaknai peristiwa sehari-hari dengan kehadiran Allah.

Allah itu sangat dekat dengan kita, menjadi dasar ada dan hidup kita, tetapi Allah tampak jauh karena ulah kita dan cara hidup kita. Dengan memberi gelar maharahim pada Allah, berarti kita mengakui ada kasih yang lebih dari kasih sayang ibu yang ada pada Allah. Nabi Yesaya dengan bagus memberikan sebuah perbandingan hubungan ibu-anak dengan Allah-manusia yang menggambarkan Allah yang maharahim itu (Yes.49:15): “Mungkinkah seorang ibu melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun ia melupakannya, Aku (Allah) tidak akan melupakan engkau”.

(9)

Kita sulit untuk hening, karena telah membiasakan diri untuk “tidak hening”. Dalam keluarga, misalnya, kalau sampai di rumah dan tak ada suara, kita merasa gelisah, lalu menghidupkan radio, TV, browsing internet, atau membaca koran dan majalah yang menarik indera kita. Waktu yang sebenarnya dapat dipakai untuk hening, malah diisi dengan suara atau kesibukan macam-macam.

Sebenarnya hening yang dimaksud, adalah heningnya diri kita sebagai pribadi. Dengan tiadanya suara yang menggangu, keheningan pribadi lebih mudah dicapai, lebih-lebih bagi kita yang sedang melatih diri untuk hening. Diri kita hening kalau budi kita tidak dikacaukan oleh segala macam pikiran dan hati kita tidak diombang-ambingkan oleh segala macam kecemasan dan perasaan. Keheningan budi dan hati mempermudah kita untuk memusatkan perhatian kita kepada Allah dalam doa, mendengarkan SabdaNya dalam hati-nurani, dan melihat peristiwa yang sedang terjadi dengan mata iman.

Suatu peristiwa kecelakaan lalu-lintas, umpamanya dapat membuat mereka yang ada dalam peristiwa itu menjadi hening. Meski yang dialami sama, dalam satu kendaraan yang sama, luka yang diderita dapat berbeda, demikian pula pengalamannya dengan Tuhan dapat berbeda. Ada yang biasa-biasa saja; ada yang bersyukur kepada Tuhan yang masih melindungi dia sehingga masih hidup, sehingga menumbuhkan niat ingin berbakti kepada Tuhan lebih banyak lewat perbuatan kasih kepada orang miskin; ada yang sibuk dengan kesadarannya bahwa ia dalam keadaan berdosa, dan Allah masih memberi waktu untuk bertobat. Peristiwa kecelakaan membuat orang tidak memikirkan apa-apa (hening budi dan hatinya) kecuali berpikir tentang TuhanNya lalu bersyukur atau bertobat. Orang yang menderita sakit, apalagi kalau harus menjalani operasi, situasi demikian menimbulkan situasi hening dalam budi dan hati, karena perhatian hanya tertuju kepada Tuhan yang dimohon untuk menyembuhkan atau mendampingi saat operasi, supaya berhasil baik.

Tetapi kita tidak perlu menunggu kecelakaan atau sakit. Kita dapat membuat situasi hening bagi diri kita, agar dapat berdoa dengan baik, dan dengan demikian pasti makin peka terhadap kehadiran Allah yang sangat dekat bagi kita. Setelah rekoleksi atau retret, semangat kita untuk mau berdoa dengan baik bisa berkobar. Kita dapat melihat banyak hal bahwa yang kita hidupi sehari-hari perlu diperbaiki. Tetapi setelah sampai di rumah, dan melaksanakan hidup sehari-hari seperti biasanya, kurang waktu untuk berdoa karena sangat sibuk, lama-lama keadaannya kembali sama seperti sebelum rekoleksi. Hidup asal hidup. Penghayatan iman kembali dangkal, karena tak ada keheningan budi dan hati yang menjadi dasar untuk memnghayati hidup secara lebih mendalam.

(10)

Kalau ini masalahnya, maka kita perlu melatih diri untuk hening, dengan menyediakan waktu hening barang empat atau lima menit setiap mau tidur dalam doa malam. Waktu hening dapat dipakai untuk mengingat-ingat apa yang telah kita kerjakan, bagaimana kita kerjakan, dipersembahkan juga kepada Allah atau tidak. Memberi waktu sejenak untuk mengagumi indahnya bunga anggrek, mawar dan bunga lainnya, memberi perhatian sejenak pada pemandangan indah, apalagi waktu matahari terbit atau terbenam, itu semua memudahkan kita membawa lebih lanjut sampai pada Allah yang mengadakan, menciptakan, menopang dan menumbuhkannya. Kebiasaan seperti ini perlu dibangun dan akan berguna banyak, untuk mengembangkan hubungan pribadi kita dengan Allah yang semakin personal.

Salah satu musuh besar kita ialah rutinitas. Hal yang berkali-kali dibuat menjadi makin kurang bermakna menuju tak bermakna sama sekali. Kebiasaan memang mempermudah pelaksanaan tugas, tetapi juga dapat membuat kurang bermakna. Maka kita perlu menentukan waktu untuk sesekali tidak rutin. Umpama hari Minggu atau hari libur selalu kita jadikan hari istimewa, dimana sebagai keluarga kita akan berdoa secara istimewa (bukan panjangnya, melainkan intensitas hati dengan penuh perhatian); kita akan menikmati makanan dan minuman secara istimewa, lebih-lebih karena sambil mengingat Allah yang telah menciptakan kita dan makanan serta minuman yang ada. Allah yang membimbing bangsa Israel telah menetapkan hari Sabat menjadi hari Tuhan, dimana orang tidak bekerja seperti hati-hari biasa. Sehingga menjadi hari istimewa dan dapat menyegarkan iman.

Ada doa sederhana tetapi bagus dan memberi inspirasi bagaimana kita dapat dekat dengan Allah Pencipta kita:

“Tuhan, perlambatlah langkah hidup kami, yang selalu tergesa-gesa. Kami memandang, mendengarkan, merasakan, menangkap segalanya serba cepat, sepintas saja di permukaan. Tumbuhkan dalam lubuk hati kami, keinginan untuk berhenti sejenak. Agar kami mampu melihat, mendengar, merasa dan menangkap dengan cara yang lebih mendalam, menerobos permukaan, menukik sampai ke jati diri, mampu menemukan keindahan dan kebenaran di dalamnya, yang ditopang oleh daya cipta dan kebijaksanaanMu sendiri. Ajarilah kami, menikmati hidup ini dengan segala kemampuannya. Buatlah kami mampu hadir dan menyaksikan dengan penuh syukur karunia-karunia yang telah menjadi milik kami sebagai keluarga, sehingga kami mampu menemukan Dikau, Allah Tuhan kami dalam segala yang ada, pada peristiwa yang kami jumpai. Sehingga kami dapat menikmati, berbahagia, menghayati dan merayakan hidup ini dalam kedalaman misterinya, yaitu dalam kuasa, dan kesatuan hidup dengan Dirimu, ya Tuhan. Kini dan Sepanjang masa. Amin.”

V. Latihan-latihan praktis untuk memasuki keheningan5

1. Latihan “titik nol”.

2. Latihan “kotak/laci penyimpanan”. 3. Latihan “tarian keheningan”.

(11)

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini berdasarkan hasil deteksi gen Coa dengan teknik PCR dari 3 isolat sampel susu sapi murni menunjukkan positif gen Coa sebesar 100% (Gambar 3.)... Berdasarkan

Program utama pengembangan agribisnis komoditas unggas sangat terkait dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Guna menjamin penyediaan pasokan d.o.c. ayam ras yang

Kecepatan pertumbuhan tergantung dari spesies, jenis kelamin, umur dan keseimbangan zat-zat nutrisi dalam pakan, kualitas pakan yang semakin baik juga diikuti dengan pertambahan

Bervariasinya nilai faktor kondisi pada ikan-ikan terkoleksi, selain faktor ketersediaan makanan dan jenis kelamin, juga diduga disebabkan oleh perbedaan umur ikan terkoleksi,

1. Keputusan Gubernur tentang Penetapan Status Siaga Darurat Penanganan Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan/Atau Lahan di Kalimantan Selatan. Penetapan Status Siaga

Dalam pelaksanaan pembelajaran Tematik Kurikulum 2013 Subtema Pengalaman Masa Kecilku di SDN 1 Tirem Kecamatan Brati Kabupaten Grobogan para guru menggunakan media

Hasil wawancara langsung dengan Ibu Andi Lily Wulandari, selaku Guru bidang Studi Seni Budaya, dalam berkarya seni lukis menggunakan sepatu sebagai media ini sangat bagus untuk

Pada sampul dicetak: judul PKN (huruf kapital, dianjurkan 12-15 kata); di bawahnya diikuti dengan nama prodi, lambang ITN Malang; nama lengkap penulis, nomor