• Tidak ada hasil yang ditemukan

wanprestasi akibat pemutusan DI perjanjian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "wanprestasi akibat pemutusan DI perjanjian"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN

PENGIKATAN JUAL BELI SECARA SEPIHAK

Oleh

:

BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA

NIM. 030911017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

SECARA SEPIHAK

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

BAGUS GEDE MAS WIDIPRADNYANA ARJAYA NIM. 030911017

DOSEN PEMBIMBING PENYUSUN

PROF. Dr. AGUS YUDHA HERNOKO, S.H., M.H. BAGUS GEDE M. W. A NIP.196504191990021001 NIM. 030911017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA

(3)

di hadapan Tim Penguji pada tanggal 9 Juli 2013

Tim Penguji Skripsi :

Ketua : Bambang Sugeng Ariadi Subagyo, S.H., M.H. ……… NIP. 196812291993031004

Anggota : 1. Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H. ……… NIP. 196504191990021001

2. Erni Agustin, S.H., LL.M. ………

NIP. 198308102006042001

3. Faizal Kurniawan, S.H., M.H., LL.M. ………

(4)

iv Om Swastyastu.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala anugrah dan restu-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul “WANPRESTASI AKIBAT PEMUTUSAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Sarjana (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak, Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua Orang tua yang penulis cintai dan hormati, Ayah I Made Arjaya, S.H., M.H dan ibu Ni Wayan Arniti, S.E., M.Kes., yang tak henti-hentinya memberi dukungan , doa dan semangat kepada penulis dari seberang pulau selama menuntut ilmu di Surabaya.

2. Bapak Prof. Dr Muchammad Zaidun, S.H., M.Si. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya.

3. Bapak Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing yang sudi meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi di tengah kesibukan beliau sebagai Ketua Program Studi Magister Hukum Universitas Airlangga.

(5)

v

pengetahuan yang merupakan bekal bagi penulis menjalani kehidupan setelah menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum.

6. Adik satu-satunya Bendesa Gede Mas I.A., semoga suatu hari nanti dapat mengukir prestasi melebihi penulis.

7. I Gusti Ayu Vedadhyanti W.R, tempat penulis bercerita, berkeluh kesah dan sumber motivasi penulis selama masa penulisan skripsi.

8. Keluarga Besar I Gusti Ganda Kusuma, Bu Man, serta kedua saudari saya yang cantik ning Prasavita, S.H., dan Gek Ria, terima kasih telah memberikan perhatian dan bantuan selama penulis menjalani perkuliahan. Terutama saudari Prasavita yang melalui kata pengantar skripsinya menyadarkan penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban penulisan skripsi.

9. Saudara-saudara satu atap Asrama Mahasiswa Bali Tirtha Gangga, baik senior, satu angkatan maupun adik-adik angkatan yang mengisi dinamika kehidupan penulis selama empat tahun di Surabaya.

10.Kawan-kawan keluarga besar UKMKHD Unair yang mengisi waktu luang penulis di luar jam perkuliahan dengan kegiatan yang positif baik keagamaan maupun minat bakat. 11.Saudara-saudari satu kelompok KKN-BBM Tematik Kelurahan Jagir 2011-2012, dari

satu bulan yang singkat penulis mendapat kenangan dan pelajaran yang tak terhitung jumlahnya.

(6)

vi

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi kebaikan pada masa yang akan datang. Akhirnya, penulis berhadap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Om Shanti Shanti Shanti Om.

Surabaya, Juni 2013

Penulis

(7)

viii

Halaman

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN………... ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

KATA PENGANTAR………... iv

MOTTO………. vii

DAFTAR ISI……….. viii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang………. 1

2. Rumusan Masalah……… 9

3. Tujuan Penelitian………. 10

4. Metode Penelitian………. 10

BAB II KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI YANG MENCANTUMKAN KLAUSUL PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK 1. Hubungan Hukum Para Pihak………. 13

(8)

ix

Memberlakukan Syarat Putus……….. 39

BAB III GUGATAN WANPRESTASI OLEH PEMBELI AKIBAT

PENJUAL MEMUTUSKAN PERJANJIAN BERDASARKAN SYARAT

PUTUS

1. Akibat Hukum Pemberlakuan Suatu Syarat Putus Terhadap

Perjanjian……... 43 2. Keberadaan Pernyataan Lalai dalam Pemberlakuan Syarat Putus 50 3. Gugatan Wanprestasi akibat Pemutusan Perjanjian yang

Dilakukan oleh Para Tergugat ………... 53 4. Keberadaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Setelah Penjual

Dinyatakan Wanprestasi dalam Putusan Pengadilan………. 66

BAB IV PENUTUP

1. Kesimpulan……… 71

2. Saran……….. 72

DAFTAR BACAAN

LAMPIRAN

Salinan Akta Pengikatan Jual Beli Tanggal 10 Mei Nomor 15

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Perjanjian atau dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan nama kontrak merupakan salah satu aspek penting dalam hukum, terutama hukum perdata. Terhadap penggunaan istilah perjanjian atau kontrak terdapat perbedaan pendapat dari para sarjana yang membedakan atau menyamakan kedua peristilahan ini. salah satu pendapat sarjana yang menyamakan peristilahan perjanjian dan kontrak adalah Agus Yudha Hernoko yang dalam bukunya menyatakan :

Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian saya sependapat dengan beberapa sarjana yang memberikan pengertian sama antara kontrak dan perjanjian. Hal ini disebabkan fokus kajiannya saya berlandaskan pada perspektif Burgerlijk Wetboek (BW), dimana antara perjanjian atau persetujuan (overeenkomst) mempunyai pengertian yang sama dengan kontrak (contract).1

Salah seorang sarjana yang berpendapat bahwa kontrak dan perjanjian memiliki pengertian yang berbeda adalah Subekti. Menurut Subekti suatu perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana

1

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana,

(10)

dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dan dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.”2

Sedangkan perkataan kontrak lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.”3 Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.4 Dalam kehidupan sehari-hari beragam jenis perjanjian yang melahirkan suatu perikatan antara para pihak yang membuatnya sebagai suatu hubungan hukum terjadi di sekitar kita. Keberadaan perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temukan pengaturannya pada pasal 1233 BW yang menyatakan bahwa : “ Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang.” Selain pasal 1233 BW tersebut terdapat pula pasal 1313 BW yang menegaskan ketentuan pasal 1233 yang rumusan ketentuannya menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang

atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.”

Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam perjanjian yaitu unsur esenselia, unsur naturalia dan unsur accidentalia. Pada hakikatnya ketiga macam unsur dalam perjanjian tersebut merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1320 BW dan pasal 1339 BW.5 Unsur esensialia adalah unsur yang menjadi

2

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002 (selanjutnya disebut Subekti I), h. 1.

3 Ibid.

4

Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 4.

5

Lihat Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada,

(11)

pembeda antara satu perjanjian dengan perjanjian lainnya, tanpa adanya unsur esensialia maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda, dan karenanya menjadi tidak sejalan sesuai dengan kehendak para pihak. Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur esensialianya diketahui secara pasti. Dan unsur accidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak, sesuai dengan kehendak para pihak, yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.

Suatu perjanjian bermula dari persamaan kehendak para pihak yang membuatnya dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1320 BW. Syarat ini adalah dasar dari segara perjanjian sebagai suatu hubungan hukum antara para pihak yang membuatnya. BW telah mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan dasar hukum suatu perjanjian sebagai pegangan atas keabsahan perjanjian-perjanjian yang dibuat masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Jenis-jenis perjanjian yang pengaturannya telah terdapat di dalam peraturan perundang-undangan ini kemudian dikenal sebagai perjanjian bernama. Dikatakan perjanjian bernama karena perjanjian-perjanjian ini diatur secara khusus dalam suatu perundang-undangan contohnya antara lain perjanjian jual-beli, sewa menyewa dan tukar menukar, yang pengaturan mengenai nama bentuk dan penyelenggaraannya telah diatur dalam BW.

(12)

Salah satu perjanjian tak bernama yang kini kerap dijumpai adalah perjanjian pengikatan jual beli, perjanjian ini biasanya muncul pada rezim hukum agraria terutama dalam kasus jual beli tanah atau rumah. Pengikatan jual beli menurut R. Subekti6 adalah “perjanjian antar para pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga”, dan menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas7. Dari pendapat kedua sarjana ini dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah suatu perjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum perjanjian pokok atau perjanjian utamanya dilaksanakan.

Perjanjian ini pada mulanya muncul akibat rumitnya pemenuhan atas persyaratan- persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian jual beli di hadapan notaris, utamanya praktik jual beli tanah atau jual beli rumah. Maka mengingat asas kebebasan berkontrak dari buku III BW yang membebaskan subjek hukum untuk seluas-luasnya mengadakan perjanjian yang isi dan bentuknya merupakan kesepakatan para pihak yang menyusunnya, selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan ketertiban umum dan kesusilaan para pihak yang berkepentingan ini kemudian membentuk suatu perjanjian yang kini kita kenal sebagai perjanjian pengikatan jual beli. Karena perjanjian ini lahir karena kebutuhan dan tidak diatur tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli ini tidak memiliki bentuk tertentu. Sejalan dengan pendapat Herlien Budiono bahwa perjanjian pengikatan jual beli

6

Subekti I, Op. Cit., h.75.

7

Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti,

(13)

adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas. Akan tetapi dalam dalam praktik sehari-hari biasanya oleh para pihak perjanjian ini dituangkan dalam suatu akta otentik yang dibuat di hadapan notaris sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang membuatnya.8

Dalam praktiknya di masyarakat perjanjian pengikatan jual beli biasanya dipilih oleh para pihak yang mengikatkan diri kepadanya karena :

a. Harga yang telah disepakati untuk pembayaran belum dibayar lunas oleh pembeli atau pembayaran dilakukan secara angsuran.

b. Penjual membutuhkan uang hasil penjualan untuk keperluan mendesak dan tidak dapat menunggu proses balik nama menjadi atas nama pembeli selesai.

c. Permohonan sertipikat tanah atas nama pembeli sedang diproses di Badan Pertanahan Nasional tetapi pembeli tersebut memiliki kebutuhan yang mendesak sehingga terpaksa menjual tanah tersebut tanpa menunggu sertipikat tanahnya selesai.

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini terjadi antara I Made Mudra dan I Wayan Sandi sebagai pihak pertama, dan I Nyoman Mirna sebagai pihak kedua. Pihak Pertama adalah pemilik dari tiga bidang tanah hak milik terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang akan dijual kepada pihak kedua. Akan tetapi karena harga jual beli dari tanah belum dilunasi, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayar maka para pihak sepakat untuk membuat suatu perjanjian pendahuluan yang dituangkan dalam suatu Akta Pengikatan Jual Beli pada

8

R. Soeroso, Perjanjian di Bawah Tangan : Pedoman praktis pembuatan dan Aplikasi Hukum, Sinar

(14)

Notaris I Made Pria Dharsana pada hari Jumat tanggal sepuluh Mei tahun dua ribu dua, dengan Nomor akta 15. Berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli tersebut disepakati beberapa poin yang dituangkan dalam pasal demi pasal dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, antara lain poin pembayaran sebagaimana berikut :

- Harga penjualan atau pembelian dari tanah adalah sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah).

- Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayar oleh Pihak Kedua pada Pihak Pertama pada saat akta ditandatangani, dan akta ini dinyatakan sebagai kwitansi pembayaran yang sah.

- Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah akan dibayar oleh pihak kedua kepada pihak pertama selambat-lambatnya setelah hak atas tanah tersebut bersertipikat.

Perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana perjanjian pada umumnya mengandung hak dan kewajiban dari para pihak yang tunduk kepada perjanjian tersebut. Dengan keberadaan hak dan kewajiban ini seringkali muncul perselisihan-perselisihan yang timbul karena salah satu pihak mengingkari janji atau wanprestasi dengan tidak melakukan pemenuhan kewajiban atau prestasi dari perjanjian yang telah mereka sepakati sebelumnya. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) dapat berupa empat macam yaitu tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan, melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.9 Untuk mengantisipasi terjadinya wanprestasi ini para pihak telah

9

(15)

merumuskan suatu syarat batal yang dituangkan dalam pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli antara para pihak yang telah disebutkan diatas :

Pasal 6

- Dalam hal PIHAK KEDUA oleh karena sebab apapun juga tidak dapat melakukan kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa harga jual beli atas TANAH tersebut diatas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan diberikan kepastian lokasi.

- Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA.

Untuk mengantisipasi wanprestasi yang mungkin terjadi setelah disepakatinya perjanjian, dalam praktiknya suatu perjanjian pengikatan jual beli menyertakan klausula pembatalan perjanjian secara sepihak atau atas kesepakatan kedua belah pihak. Walaupun dalam kontrak terdapat syarat batal, akan tetapi istilah yang lebih tepat untuk digunakan adalah pemutusan kontrak. Mengenai penggunaan istilah hukum ini Agus Yudha Hernoko10 berpendapat :

10

(16)

Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan kontrak dengan pemutusan kontrak, adalah terletak pada fase hubungan kontraktualnya. Pada pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase pembentukan kontrak), sedangkan pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan kontrak).

Setelah akta pengikatan jual beli dinyatakan sah dan mengikat para pihak yang membuatnya, dalam pelaksanaanya pihak kedua mendalilkan bahwa pihak pertama wanprestasi karena pihak pertama tidak pernah memberitahukan kepada pihak kedua bahwa tanah obyek pengikatan telah bersertipikat, dan ketika pihak kedua mendatangi pihak pertama untuk melanjutkan pembayaran pihak pertama menyatakan tidak jadi menjual tanahnya. Atas dalil wanprestasi ini kemudian pihak kedua mendaftarkan gugatan kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Denpasar dengan nomor register perkara 787/ Pdt. G/ 2011/ PN. Dps pada tanggal dua puluh delapan Desember dua ribu sebelas.

(17)

hukum tetap sebesar Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dengan perincian kerugian materiil sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan kerugian immaterial sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan menghukum Para Tergugat membayar uang paksa kepada penggugat sebesae 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari lalai melaksanakan isi putusan terhitung sejak putusan diucapkan sampai dilaksanakan oleh Tergugat.

Pihak pertama selaku para tergugat dalam jawaban atas gugatan dalam salah satu poin konpensi menolak dalil wanprestasi dari pihak kedua selaku penggugat, karena para tergugat menyatakan tindakan para tergugat masih dalam koridor Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 15 khususnya pasal enam paragraf kedua, dan dalil Penggugat untuk menuntut ganti kerugian sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) merupakan dalil tanpa dasar hukum dan bertentangan dengan Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 15 khususnya pasal enam paragraf kedua.

Gugatan wanprestasi ini diputus oleh majelis hakim pada tanggal lima belas Oktober dua ribu dua belas yang dalam pokok perkaranya antara lain menyatakan mengabulkan sebagian gugatan penggugat, menyatakan bahwa pihak pertama selaku tergugat telah melakukan wanprestasi dan menghukum para tergugat untuk melanjutkan proses jual beli tanah dihadapan PPAT atau pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dan diatur dalam Akta Pengikatan Jual Beli tanggal 10 Mei 2002 Nomor 15. dan juga menghukum Para Tergugat untuk membayar uang paksa kepada Penggugat sebesar 1.000.000,00 (satu juta rupiah) setiap hari, setiap Para Tergugat lalai melaksanakan putusan terhitung sejak putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap.

2. Rumusan Masalah

(18)

a. Apakah Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang berisi klausula pemutusan sepihak memiliki kekuatan mengikat?

b. Apakah pemutusan pengikatan jual beli tanpa persetujuan pihak lain dapat dijadikan dasar gugatan wanprestasi?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat hukum yang ditimbulkan oleh pemutusan perjanjian pengikatan jual beli oleh salah satu pihak.

2.

Untuk mengetahui Apakah akta pengikatan jual beli mempunyai nilai akta jual beli.

3.

Untuk mengetahui Apakah pemutusan akta pengikatan jual beli oleh penjual yang klausula pemutusannya telah diatur dalam akta pengikatan jual beli dapat dikategorikan wanprestasi.

4.

Untuk mengetahui Apakah Hakim yang menyatakan pihak penjual/Tergugat Wanprestasi dapat menyimpangi ketentuan dalam akta pengikatan jual beli yang telah disepakati oleh para pihak atau Hakim semestinya memutuskan memerintahkan kepada para pihak untuk mengikuti ketentuan dalam akta pengikatan.

4. Metode Penelitian

a. Tipe penelitian

(19)

b. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan undang-undang (statute approach) 11 adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Pendekatan konseptual menurut Peter Mahmud Marzuki adalah pendekatan yang “... beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.”12

Pendekatan kasus (case approach) merupakan suatu pendekatan dengan cara menelaah kasus-kasus yang memiliki keterkaitan dengan isu yang dihadapi melalui suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.13

c. Sumber Bahan Hukum

1. Bahan Hukum Primer yang digunakan sebagai sumber penulisan skripsi ini adalah Burgerlijk Wetboek Staatsblad 1847 Nomor 23, Herzien Inlandsch Reglement /

11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, h. 93.

12

Ibid, h. 95. 13

(20)

Reglemen Indonesia Yang Dibaharui Staatsblad 1848 No. 16 jo. 57 dan Staatsblad 1941 No. 31, 32 dan 44, Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Denpasar No 787/Pdt.G/2011/PN.DPS, dan Akta Notaris Nomor 15 tanggal 10 Mei 2002.

(21)

13

KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI

YANG MENCANTUMKAN KLAUSUL PEMUTUSAN PERJANJIAN

SECARA SEPIHAK

1. Hubungan Hukum Para Pihak dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli

Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian pendahuluan yang berbentuk bebas, fungsi dan tujuan dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah untuk mempersiapkan, menegaskan memperkuat, mengatur, mengubah, atau menyelesaikan suatu hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian pokoknya, perjanjian pokok dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian jual beli14. Perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo)15 merupakan suatu perjanjian bantuan yang memiliki pengertian suatu perjanjian di mana para pihak saling mengikatkan diri untuk terjadinya suatu perjanjian baru/pokok yang merupakan tujuan dari para pihak. Perjanjian bantuan yang dibuat untuk memperkuat perjanjian pokok dapat dilihat pada perjanjian pembebanan hak tanggungan, gadai, borgtoch, dan fidusia.

Suatu perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian jual beli maka syarat-syarat perjanjian pengikatan jual beli hampir serupa dengan perjanjian jual beli. Persamaan syarat ini dapat dilihat dari subyek dalam perjanjian pengikatan jual beli. dalam perjanjian pengikatan jual beli subyeknya sama dengan dengan subyek perjanjian jual beli yang diatur dalam pasal 1457 BW yaitu adanya pembeli yang menyerahkan suatu kebendaan dan

14

Lihat Herlien Budiono I, Op.Cit., h.269. 15

(22)

penjual yang membayar harga yang telah dijanjikan. Dalam tulisan ini I Made Mudra sebagai salah seorang ahli waris dari almarhum I Sanek; dan juga berdasarkan surat kuasa di bawah tangan tertanggal dua puluh dua april tahun dua ribu dua bertindak untuk dan atas nama I Made Sanik, I Ketut Kanti, Ni Nyoman Samprug, I Ketut Gendra, I Wayan Merta dan Ni Made Sugiani; serta I Wayan Sandi bersepakat dengan I Nyoman Mirna untuk mengikatkan diri kepada suatu perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak yang aktanya dibuat di hadapan Notaris I Made Pria Dharsana pada hari jumat, tanggal sepuluh mei tahun dua ribu dua (10-05-2002). Dalam perjanjian pengikatan jual beli ini I Made Mudra dan I Wayan Sandi bertindak sebagai penjual atau pihak pertama dan I Nyoman Mirna selaku pembeli atau pihak kedua.

Selain para pihak atau subyek hukum dalam perjanjian pengikatan jual beli yang memiliki kesamaan dengan subyek hukum dalam perjanjian jual beli, barang dan harga sebagai unsur esensialia dari perjanjian jual beli yang pengaturannya dapat ditemukan dalam pasal 1458 BW juga ditemukan dalam perjanjian pengikatan jual beli, akan tetapi dalam perjanjian pengikatan jual beli juga terdapat suatu syarat-syarat yang belum terpenuhi yang menjembatani keberadaan perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok.

Adapun yang menjadi obyek dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah 3 (tiga) bidang tanah dengan rincian sebagai berikut :

(23)

2) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 600 (enam ratus) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-004.0, Kelas A36;

3) Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 21.150 (dua puluh satu ribu seratus lima puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.048-002.0, Kelas A36;

4) Ketiga obyek tanah tersebut diatas terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Mengenai harga yang merupakan salah satu unsur esensialia disepakati oleh para pihak bahwa harga dari obyek disepakati oleh pihak penjual dan pembeli sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah) yang pembayarannya disepakati sebagai berikut :

a) Sebesar Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) akan dibayarkan oleh pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama pada saat Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ditandatangani, sehingga akta ini oleh pihak pertama dan pihak kedua dinyatakan sebagai kwitansi yang sah.

(24)

Syarat-syarat yang belum terpenuhi yang menjelaskan kedudukan dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo)16 yang mempersiapkan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok dapat dilihat pada rumusan pasal 1 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang garis besarnya menerangkan bahwa perjanjian jual beli antara para pihak baru akan terjadi atau bergantung pada peristiwa yang masih akan datang, yaitu pelunasan harga jual tanah oleh pembeli kepada penjual, dan juga pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayarkan oleh penjual.

Para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli, tidak langsung melaksanakan perjanjian jual beli atas tanah diantara para pihak dikarenakan beberapa alasan, yaitu antara lain karena harga jual beli yang telah disepakati antara penjual dan pembeli belum dibayar lunas oleh pembeli, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga belum dibayarkan. Mengenai hubungan hukum berupa perjanjian pengikatan jual beli ini Herlien Budiono mendefinisikan bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah “Perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan

bentuknya bebas.”17

. Suatu perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan memperkuat, mengatur, mengubah, atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.

Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak memiliki perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III BW yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek

16

Herlien Budiono I, Op.Cit., h.269. 17

(25)

hukum untuk mengadakan perjanjian dengan bentuk dan isi berdasarkan persetujuan para pihak, asal tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.

Sifat terbuka suatu perjanjian yang mengandung asas kebebasan berkontrak dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (1) BW bahwa „semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya‟. Dengan penekanan pada perkataan semua, maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa diperbolehkan untuk membuat suatu perjanjian dengan isi dan bentuk yang disetujui para pihak pembuat, dan perjanjian tersebut mengikat mereka yang membuatnya selayaknya undang-undang. Atau dengan kata lain kita diperbolehkan untuk membuat undang-undang bagi kita sendiri, Pasal-Pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku apabila kita tidak membuat aturan-aturan tersendiri yang ada dalam suatu hukum perjanjian namun tidak tercantum dalam perjanjian yang disepakati.18

Asas terbuka (open system) memberi kebebasan kepada setiap orang dalam mengadakan perjanjian, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Kebebasan berkontrak itu dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan atau kepentingan umum. Para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli diberi kebebasan dalam membuat perjanjian asalkan tidak dilarang oleh undang-undang, bertentangan dengan ketertiban umum maupun kesusilaan.

Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perjanjian timbal balik (bilateral contract), perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban

18

(26)

kepada kedua belah pihak19. Mengenai hak dan kewajiban dari para pihak dapat dilihat dalam rumusan akta pengikatan jual beli nomor 15 tanggal 10 Mei 2002.

Perjanjian pengikatan jual beli juga merupakan suatu perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst) yaitu suatu perjanjian yang tidak diatur dalam BW, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan, dan juga perjanjian pengikatan jual beli seperti dalam tulisan ini. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi.20

Pada dasarnya Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan hasil inisiatif dari kalangan Notaris untuk dibuatkan akta notariil-nya, walaupun ada kemungkinan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dibuat dengan akta di bawah tangan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak ada yang mengatur secara spesifik mengenai Perjanjian Pengikatan Jual Beli, akan tetapi para Notaris berinisiatif untuk membuatnya dengan maksud untuk memecahkan permasalahan yang muncul dalam transaksi jual beli hak atas tanah yang tidak dilakukan secara tunai. Pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan oleh Notaris merupakan upaya untuk memecahkan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual beli hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu oleh para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah

19

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h.86.

20

Mariam Darus Badrulzaman, et al.,Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011,

(27)

Para pihak dalam tulisan ini sepakat untuk membuat suatu pengikatan jual dengan beberapa alasan, yaitu antara lain harga jual beli dari tanah belum dilunasi oleh pihak kedua atau pembeli, dan Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayar. Maka daripada itu pihak pertama dan pihak kedua sepakat untuk membuat suatu perjanjian pendahuluan berupa suatu perjanjian pengikatan jual beli sebelum dilangsungkannya perjanjian jual beli dari tanah tersebut di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPHAT) yang berwenang.

Kesepakatan para pihak untuk menghadap Notaris guna menuangkan isi perjanjian pengikatan jual beli dalam bentuk tertulis melahirkan suatu akta pengikatan jual beli yang berbentuk akta otentik. Akta otentik21 merupakan salah satu alat bukti tulisan di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat atau pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya. Dikenal adanya dua macam akta, yang pertama bentuk akta yang dibuat untuk bukti yang memuat keterangan yang diberikan oleh (para) penghadap kepada Notaris dinamakan akta pihak (partij-akten) dengan (para) penghadap menandatangani akta itu. Akta berikutnya ialah akta berita acara (relaas-akten), yaitu suatu bentuk akta yang dibuat untuk bukti oleh (para) penghadap dari perbuatan atau kenyataan yang terjadi di hadapan Notaris. Akta yang disebut belakangan tidak memberikan bukti mengenai keterangan yang diberikan oleh (para) penghadap dengan menandatangani akta tersebut, tetapi untuk bukti mengenai perbuatan dan kenyataan yang disaksikan oleh Notaris di dalam menjalankan tugasnya di hadapan para saksi. Akta berita acara (relaas-akten) tidak perlu ditandatangani oleh para penghadap.

21

Lihat Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Citra

(28)

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dituangkan ke dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh Notaris I Made Pria Dharsana pada tanggal 10 Mei 2002 dengan nomor akta 15. Akta Notaris ini merupakan suatu akta pihak (partij-akten) dapat dilihat pada penutup akta yang menyatakan bahwa akta ini ditandatangani oleh para pihak, yang merupakan syarat dari suatu akta pihak, yang dapat dilihat pada bagian “…. maka akta ini ditandatangani oleh para

penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris.”

Dituangkannya perjanjian antara para pihak dalam akta pengikatan jual beli Nomor 15 tanggal 10 Mei 2002 menimbulkan akibat perjanjian tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang lebih tinggi daripada perjanjian tersebut dituangkan hanya ke dalam suatu akta di bawah tangan. Perbedaan kekuatan pembuktian tersebut antara lain suatu akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah (uit wendige bewijskracht), sebab yang mendasari adalah bahwa tanda tangan dalam akta dibawah tangan tersebut kemungkinan masih dapat dipungkiri. Ketentuan Pasal 1876 BW menyatakan bahwa “Barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri

tanda tangannya…”, ketentuan Pasal 1877 BW lebih lanjut menerangkan apabila tanda tangan

tersebut di pungkiri maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut di periksa di muka pengadilan.

Selain yang telah disebutkan diatas, adapun kekuatan pembuktian dari akta pengikatan jual beli yang dituangkan dalam suatu akta otentik ialah22 :

1. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)

22

(29)

Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkalkan keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan Akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta.

Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik adalah bukan akta otentik memerlukan pmbuktian yang didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi obyek gugatan bukan merupakan suatu akta Notaris.

2. Formal (Formele Bewijskracht)

(30)

saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf, dan tanda tangan para pihak/ penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/ berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/ penghadap (pada akta pihak).

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan,tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.

(31)

tangan dirinya. Jika hal ini terjadi maka yang bersangkutan atau penghadap tersebut diperbolehkan untuk menggugat Notaris, dan penggugat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut.

3. Materiil (Materiele Bewijskracht)

Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan atau disampaikan di hadapan Notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan atau dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian keterangannya dimuat atau dituangkan dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata pernyataan atau keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri, Notaris terlepas dari hal semacam itu.dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk atau di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

(32)

Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

2. Klausul-Klausul dalam Akta Pengikatan Jual Beli

Terkait isi kontrak, kepustakaan hukum kontrak membaginya ke dalam beberapa unsur23, yaitu unsur esensialia, unsur naturalia dan unsur accidentia.

a. Unsur esensialia, merupakan unsur yang mutlak harus ada dalam suatu kontrak. Unsur esensialia dari suatu pengikatan jual beli hampir serupa dengan unsur esensialia

perjanjian jual beli yaitu barang dan harga24. Namun dalam perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan dari perjanjian jual beli disertakan suatu syarat yang belum terpenuhi yang menjembatani keberadaan perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan dan perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok. b. Unsur naturalia, merupakan unsur yang ditentukan oleh undang-undang sebagai

peraturan-peraturan yang bersifat mengatur, namun demikian dapat disimpangi para pihak. Unsur naturalia adalah perwujudan dari ketentuan Pasal 1339 BW yang menjabarkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,

23

Lihat Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.,h.225,226 dikutip dari Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan,

Binacipta, Jakarta,1987, h. 50.

24

(33)

kebiasaan atau undang-undang. Secara tertulis salah satu unsur naturalia yang termuat dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 yang memuat syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang lazim dibuat untuk perjanjian yang serupa.

c. Unsur accidentalia, merupakan unsur yang ditambahkan oleh para pihak dalam hal undang-undang tidak mengaturnya. Dalam perjanjian pengikatan jual beli ini unsur accidentalia dapat dilihat antara lain dalam klausul mengenai cara pembayaran, klausul pemberlakuan syarat putus, klausul ganti rugi akibat pembatalan secara sepihak, dan klausul domisili.

Perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dibuat oleh para pihak berdasarkan kesepakatan antar mereka yang membuatnya dan juga menurut kebiasaaan, kepatutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang dituangkan ke dalam suatu akta Notaris nomor 15 tanggal 10 Mei 2002 ini secara garis besar dimuat dalam klausul-klausul berikut :

1. Klausul Barang atau Obyek Perjanjian

Obyek dari perjanjian pengikatan jual beli ini ialah 3 (tiga) bidang tanah yang terletak di Banjar Kauh, Desa Ungasan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali dengan rincian sebagai berikut :

(34)

- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 600 (enam ratus) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.049-004.0, Kelas A36;

- Sebidang tanah milik seluas lebih kurang 21.150 (dua puluh satu ribu seratus lima puluh) meter persegi, sebagaimana ternyata dari Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan tertanggal satu Pebruari tahun dua ribu (01-02-2000), Nomor 51.03.010.002.048-002.0, Kelas A36.

Klausul obyek merupakan unsur esensialia dari perjanjian, yang menunjukkan benda yang harus diserahkan dari penjual kepada pembeli di kemudian hari sebagai tanda telah terjadinya jual-beli sebagai perjanjian pokok. Obyek dalam perjanjian pengikatan jual beli ini baru beralih apabila harga jual beli yang diperjanjikan telah dibayar lunas oleh pihak kedua, dan biaya-biaya lainnya sebagai syarat dapat dikeluarkannya akta jual beli telah dibayarkan oleh para pihak.

2. Klausul Harga Dan Biaya

Harga dari obyek tersebut diatas disepakati oleh pihak penjual dan pembeli sebesar Rp 4.884.000.000,00 (empat milyar delapan ratus delapan puluh empat juta rupiah) yang pembayarannya disepakati sebagai berikut :

(35)

d) Sisanya sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah) akan dibayar oleh pembeli atau pihak kedua kepada penjual atau pihak pertama selambat-lambatnya setelah tanah tersebut bersertipikat.

Klausul harga merupakan klausul yang memuat harga dari obyek perjanjian yang besarnya telah disepakati para pihak pada saat perumusan kontrak, klausul harga ini menerangkan berapa pembayaran yang harus dilakukan oleh pihak kedua sebagai kewajibannya agar mendapatkan hak memperoleh tanah yang merupakan obyek perjanjian. Pembayaran dari harga jual beli atas obyek perjanjian yang tidak serta merta dilakukan pelunasannya adalah salah satu alasan perjanjian ini dituangkan dalam suatu perjanjian pengikatan jual beli. Selain harga dari obyek perjanjian yang telah disepakati nilainya oleh para pihak, pihak pertama dan pihak kedua juga merumuskan kesepakatan mengenai biaya-biaya lainnya yang dapat dilihat dalam redaksi Pasal 9 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, yaitu :

a) Biaya akta pengikatan jual beli yang dibayar oleh pihak kedua.

b) Biaya akta jual beli serta biaya pendaftaran hak atas tanah (balik nama) ke atas nama pihak kedua dibayar oleh pihak kedua.

c) Biaya Pajak Bumi Bangunan hingga tahun 2002 (dua ribu dua) yang dibayar oleh pihak pertama.

d) Pajak-pajak yang timbul sehubungan dengan dibuatnya Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli termasuk Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dibayar oleh pihak kedua.

(36)

mengenai biaya-biaya seperti biaya Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu klausul penting dalam perjanjian pengikatan jual beli antara para pihak, karena pembayaran biaya-biaya tersebut adalah syarat agar dapat diterbitkannya akta jual beli oleh PPAT sehingga hak atas tanah yang menjadi obyek perjanjian dapat beralih kepada pihak kedua.

Dengan dilunasinya harga jual beli atas tanah dan biaya-biaya yang tersebut di atas, maka tujuan dari perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan telah terpenuhi, sehingga para pihak dapat melanjutkan pada perjanjian pokok, yaitu perjanjian jual beli atas tanah yang menjadi obyek perikatan.

3. Klausul Syarat-Syarat yang Belum Terpenuhi

Keberadaan klausul syarat-syarat yang belum terpenuhi ini berpangkal pada sistem terbuka buku III BW, mengenai sistem terbuka buku III BW ini Agus Yudha Hernoko25 berpendapat :

Buku III BW menganut sistem terbuka, artinya hukum (i.c. Buku III BW) memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku III BW sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht - aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II BW yang menganut sistem tertutup

atau bersifat memaksa (dwingend recht), di mana para pihak dilarang menyimpangi atauran-aturan yang ada di dalam Buku III BW tersebut.

25

(37)

Keleluasaan yang dimiliki pihak yang membuat suatu perjanjian untuk mengatur sendiri pola hukumnya menimbulkan suatu asas kebebasan berkontrak yang dapat dilihat pengaturannya pada pasal 1338 ayat (1) BW. Menurut Sutan Remy Sjahdeini26 asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :

a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya. d. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian.

e. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

f. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).

Kebebasan berkontrak, terutama kebebasa untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuat membuat para pihak dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dapat mencantumkan klausul syarat-syarat yang belum terpenuhi dalam akta perjanjian pengikatan jual beli. Subekti27 berpendapat “yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri”, jadi para pihak memiliki keleluasaan untuk

menentukan isi dari perjanjian, termasuk untuk memasukkan klausul syarat-syarat yang belum terpenuhi tersebut.

Syarat-syarat yang belum terpenuhi dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dapat dilihat pada Pasal 1 yang merumuskan bahwa :

26

Ibid., h. 110, dikutip dari Sutan Remi Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h. 47

27

(38)

- pihak pertama berjanji dan mengikatkan diri sekarang ini untuk pada waktunya di kemudian hari segera setelah :

a. harga jual dari tanah tersebut di atas dilunasi

b. pajak penghasilan (PPh) dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) tersebut di atas dibayar

- untuk menjual kepada pihak kedua yang dengan ini berjanji dan mengikatkan diri untuk membeli tanah tersebut dari pihak pertama.

Dari rumusan Pasal 1 di atas dapat dilihat bahwa perjanjian jual beli antara para pihak baru akan terjadi atau bergantung pada peristiwa yang masih akan datang, yaitu pelunasan harga jual tanah oleh pembeli kepada penjual, dan juga pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum dibayarkan oleh penjual.

Keberadaan kedua peristiwa yang masih akan datang ini menyebabkan para pihak tidak dapat melakukan jual beli atas tanah dikarenakan masih terdapat syarat-syarat yang belum dilakukan pemenuhannya oleh para pihak. Keberadaan syarat-syarat yang belum terpenuhi ini memiliki pengaruh pada pemenuhan jual-beli tanah sebagai perjanjian pokoknya, dan mengenai perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan tetap memiliki kekuatan mengikat sejak perjanjian pengikatan jual beli tersebut disepakati para pihak sebagaimana salah satu syarat sahnya perjanjian dalam pasal 1320 BW.

(39)

Dalam perjanjian ini dapat dilihat dalam rumusan Pasal 4 klausul yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan yang lazim dibuat untuk perjanjian yang serupa, antara lain :

a) Pihak pertama menjamin pihak kedua bahwa pihak kedua tidak akan mendapat tuntutan dari pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut mempunyai hak atas tanah tersebut.

b) Pihak pertama menjamin pihak kedua bahwa tanah tersebut tidak dikenakan suatu sitaan, bebas dari sengketa dan beban-beban yang bersifat apapun.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas pihak pertama membebaskan pihak kedua dari segala tuntutan dan atau tagihan dari pihak lain yang didasarkan atas hal-hal tersebut.

Klausul ini merupakan pencerminan dari Pasal 1339 BW bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat mengenai perjanjian-perjanjian yang serupa dengan perjanjian pengikatan jual beli dalam tulisan ini dituangkan oleh para pihak dalam suatu ketentuan yang termuat dalam redaksi Pasal 4 perjanjian pengikatan jual beli.

5. Klausul Syarat Putus

(40)

ada pula yang menyebutnya dengan syarat putus, walaupun secara terminologi para ahli menggunakan penamaan yang berbeda, secara substansial isi dari syarat tersebut adalah sama.

Menurut Agus Yudha Hernoko28 penggunaan istilah syarat batal dalam Pasal 1266 BW sebagai terjemahan istilah ontbindende voorwaarde tidak tepat. Istilah „ontbindende voorwaarde‟ lebih tepat diterjemahkan „syarat putus‟ dengan argumentasi :

a. Apabila konsisten dengan makna „verbintenis‟ atau perikatan, berarti dengan dipenuhinya

syarat-syarat sahnya kontrak maka akan melahirkan perikatan yang mempunyai daya mengikat (binden-binding) bagi para pihak;

b. „ontbinding‟ (berasal dari kata „binden‟ – mengikat) berarti „tidak mengikat‟ atau lebih

tepat diartikan „putus-pemutusan‟, artinya memutuskan daya mengikatnya kontrak yang

telah disepakati para pihak. Putusnya ikatan ini terkait dengan pelanggaran pelaksanaan kewajiban kontraktual yang telah disepakati. Bukankah apabila perikatan tersebut telah diputus, berarti kehilangan daya mengikatnya;

c. Istilah „pembatalan‟ lebih relevan digunakan dalam hubungannya dengan batal demi

hukum (nietig van rechswenge) dan dapat dibatalkan (vernietigbaar) yang terkait dengan proses lahirnya kontrak (fase pembentukan kontrak), yaitu dalam hal tidak dipenuhinya syarat-syarat sahnya kontrak;

d. Istilah „pemutusan‟ lebih tepat digunakan apabila terkait dengan pelaksanaan kontrak yang

karena sesuatu hal harus diputuskan daya mengikatnya (fase pelaksanaan kontrak);

28

(41)

e. Pengadilan telah beberapa kali memutuskan perkara dengan substansi pengesampingan Pasal 1266 BW (antara lain Putusan Hoge Raad tanggal 7 Februari 1902 W. 7720, Hoetink, No. 70)29;

f. Oleh karena itu, istilah „syarat batal‟ dalam terjemahan Pasal 1266 BW, seyogianya dibaca

„syarat putus‟.

Syarat putus dalam perjanjian pengikatan jual beli dalam kasus ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 yang redaksinya menyatakan :

Dalam hal PIHAK KEDUA karena sebab apapun juga tiadak dapat melakukan kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam Pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa harga jual beli atas TANAH tersebut diatas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan diberikan kepastian lokasi.

Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA.

29

Ibid, h 300 dikutip dari Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata- Hukum Perutangan Bagian

(42)

Pencantuman syarat putus dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ini bertujuan untuk memberikan perlindungan apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi dalam pemenuhan perjanjian. Apabila wanprestasi dilakukan oleh pihak kedua dalam hal pembayaran yang tidak tepat waktu atau tidak dilakukan pembayaran sama sekali sampai lewat tenggat waktu yang diperjanjikan maka pihak pertama berhak untuk memutus perjanjian dengan tidak mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh pihak kedua, sebagai kompensasi pihak kedua akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan diberikan kepastian lokasi. Di lain pihak apabila pihak pertama yang melakukan wanprestasi dalam hal memutuskan perjanjian secara sepihak maka pihak pertama memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua.

Menurut Abdulkadir Muhammad30 perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak. Perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau diputuskan secara sepihak saja. Jika ingin menarik kembali atau memutus itu harus memperoleh persetujuan pihak lainnya, jadi diperjanjikan lagi. Hal ini sejalan dengan redaksi pasal 1338 ayat (2) BW yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Pemutusan secara sepihak dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli jika merujuk kepada rumusan pasal 1338 ayat (2) BW yang menyatakan “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali

…karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Berdasarkan

ketentuan pasal ini pemutusan secara sepihak oleh pihak pertama diperbolehkan, karena mengingat ketentuan pasal 1338 ayat (1) BW semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

30

(43)

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, jadi ketentuan dapat diputuskannya secara sepihak dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dapat diterapkan karena Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dan pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah alasan yang oleh undang-undang dianggap cukup untuk memutus perjanjian sebagaimana rumusan Pasal 1338 ayat (2) BW.

Pemutusan secara sepihak dapat dilakukan oleh pihak pertama, namun dengan konsekuensi yuridis berupa ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Ganti rugi ini merupakan bentuk tanggung gugat pihak pertama yang telah memutus perjanjian secara sepihak dimana jika diteliti rumusan pemutusan sepihak dalam pasal 6 ayat (2) ini adalah suatu bentuk wanprestasi yang dalam pembagian wanprestasi menurut Subekti31 adalah wanprestasi untuk tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

Keberadaan konsekuensi yuridis berupa ganti rugi yang diberikan dengan berlakunya pemutusan kontrak merupakan suatu bentuk dari adanya persetujuan timbal balik antara para pihak yang mana menurut ketentuan pasal 1266 BW persetujuan timbal balik para pihak merupakan salah satu syarat32 untuk berhasilnya pemenuhan pemutusan kontrak disamping keberadaan wanprestasi dalam pemenuhan perjanjian, dan adanya putusan hakim.

6. Klausul Ganti Rugi Akibat Pemutusan Secara Sepihak

Mengenai klausul ganti rugi akibat Pemutusan secara sepihak oleh pihak pertama atau penjual dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang rumusannya : “Apabila PIHAK

31

Subekti I, Op.Cit., h 45 32

(44)

PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA”

Klausul ganti rugi akibat pemutusan secara sepihak ini merupakan bagian dari syarat putus yang disepakati oleh para pihak. Pihak pertama memiliki kewajiban untuk memberikan pihak kedua ganti rugi apabila dirinya memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak kedua. Klausul ini dalam pembagian jenis-jenis wanprestasi menurut Subekti33 merupakan wanprestasi atau kelalaian debitur yang wanprestasi untuk tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Berdasarkan ketentuan dalam perjanjian pengikatan jual beli yang disepakati para pihak pemutusan sepihak oleh pihak penjual atau pihak pertama bertentangan dengan apa yang disanggupi akan dilakukan oleh pihak pertama yaitu untuk menjual kepada pihak kedua tanah yang menjadi obyek perjanjian setelah syarat-syarat yang dituangkan oleh para pihak dalam pasal 1 akta perjanjian pengikata jual beli terpenuh. Wanprestasi dari pihak pertama ini memiliki konsekuensi pihak pertama wajib untuk pemberian ganti kerugian dua kali dari uang muka kepada pihak kedua.

Menurut Agus Yudha Hernoko34 :

Ganti rugi merupakan upaya untuk memulihkan kerugian yang prestasinya bersifat subsidair. Artinya apabila pemenuhan prestasi tidak lagi dimungkinkan atau sudah tidak diharapkan lagi maka ganti rugi merupakan alternative yang dapat dipilih oleh kreditor. Sesuai dengan ketentuan pasal 1243 BW, ganti rugi meliputi : biaya (konsten) yaitu

33

Subekti I, Op.Cit., h.45.

34

(45)

pengeluaran nyata yang telah dikeluarkan sebagai akibat wanprestasinya debitur, rugi (schaden) adalah berkurangnya harta benda kreditor sebagai akibat wanprestasinya debitor, dan bunga (interessen) adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditor seandainya tidak terjadi wanprestasi.

Selain ganti rugi yang diperjanjikan secara tegas dalam Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, hukuman dari debitur yang lalai lainnya antara lain dapat berupa pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian, peralihan resiko, membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan di depan hakim.35

7. Klausul Pewarisan Perjanjian Karena Kematian

Klausul ini menjabarkan bahwa perjanjian tidak akan berakhir karena meninggalnya salah satu pihak, tetapi akan berlaku dan mengikat para ahli waris/ pengganti haknya yang sah menurut hukum. Klausul ini terkandung dalam redaksi Pasal 8 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang

rumusannya sebagai berikut “Perjanjian ini tidak akan berakhir karena meninggalnya salah satu

pihak, tetapi akan berlaku dan mengikat para ahli waris/pengganti haknya yang sah menurut

hukum”.

Perumusan klausul pewarisan ini merupakan perwujudan ketentuan pasal 1261 ayat 2 BW

yang menyatakan “jika si berpiutang meninggal sebelum terpenuhinya syarat, maka hak-haknya

karena itu berpindah kepada ahli waris-ahli warisnya.” Pewarisan terhadap perjanjian apabila salah satu pihak meninggal merupakan suatu bentuk jaminan bagi salah satu pihak apabila pihak

35

(46)

lawan di kemudian hari meninggal sebelum prestasi terpenuh, maka pemenuhan prestasi dari pihak yang meninggal tersebut dialihkan kepada ahli warisnya, begitu pula dalam hal pemenuhan hak. Pihak yang terlebih dahulu meninggal sebelum perjanjian terpenuhi oleh Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dijamin pemenuhan haknya yang diterima oleh ahli waris demi hukum berhak mewaris atau yang ditunjuk sebelumnya oleh pihak yang meninggal tersebut.

8. Klausul Penyerahan Tanah

Klausul penyerahan tanah mengatur mengenai kapan hak atas tanah beralih dari pihak pertama kepada pihak kedua, klausul ini terkandung dalam redaksi Pasal 10 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang menyatakan bahwa pihak pertama akan menyerahkan tanah kepada pihak kedua pada saat harga tanah tersebut telah dilunasi. Klausul penyerahan tanah ini merupakan bentuk peralihan dari perjanjian pengikatan jual beli sebagai perjanjian pendahuluan kepada perjanjian jual beli sebagai perjanjian pokok yang dapat dilihat dari telah terjadinya penyerahan (levering) sebagai penanda telah terjadi perpindahan kepemilikan sebagaimana terumus dalam pengertian jual beli menurut Pasal 1457 BW.

Klausul ini baru dapat terlaksana apabila klausul mengenai harga dan biaya-biaya serta klausul syarat tangguh telah terpenuhi, yang menandakan telah terpenuhinya perjanjian

9. Klausul Domisili

(47)

Klausul domisili ini sebagaimana diatur dalam redaksi pasal 118 ayat (4) HIR memiliki tujuan menentukan pengadilan mana yang memiliki kompetensi relatif apabila terjadi sengketa di kemudian hari antara para pihak yang berujung pada gugatan keperdataan, dan juga menjadi alamat bagi salah satu pihak dalam kegiatan surat menyurat apabila alamat dalam identitas tidak ditemukan.

3. Pemutusan Perjanjian Pengikatan Jual Beli oleh Penjual dengan Memberlakukan Syarat Putus

Terdapat perbedaan penting terhadap pemahaman antara terminologi pembatalan kontrak dengan pemutusan kontrak, perbedaan tersebut terletak pada fase hubungan kontraktualnya, pada pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase pembentukan kontrak), sedang pemutusan kontrak pada dasarnya mengakui keabsahan kontrak yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan kontrak tersebut diputus (fase pelaksanaan kontrak)36.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, mengenai syarat putus dari perjanjian pengikatan jual beli ini dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 6 Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang redaksinya sebagai berikut :

- Dalam hal PIHAK KEDUA oleh karena sebab apapun juga tidak dapat melakukan

kewajibannya untuk membayar sisa harga jual beli atas TANAH seperti tersebut dalam

36

(48)

Pasal 3 akta ini, maka PIHAK KEDUA diberikan tenggang waktu 6 (enam) bulan dan jika selama tenggang waktu 6 (enam) bulan PIHAK KEDUA belum juga membayar sisa harga jual beli atas TANAH tersebut di atas, maka jumlah uang yang telah dibayarkan oleh PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA tidak akan dikembalikan kepada PIHAK KEDUA, tetapi PIHAK KEDUA akan memperoleh tanah sesuai dengan jumlah uang yang telah dibayarkan atau maksimal seluas 10.000 (sepuluh ribu) meter persegi dengan diberikan kepastian lokasi.

- Apabila PIHAK PERTAMA membatalkan perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada PIHAK KEDUA

Berdasarkan kutipan Pasal 6 ayat (1) di atas, Syarat putus akibat lalainya pembeli baru berlaku apabila setelah tenggang waktu 6 (enam) bulan yang disepakati untuk pihak kedua memenuhi kewajibannya terlewati. pihak kedua belum juga memenuhi kewajibannya membayar sisa tanah sebesar Rp 4.434.000.000,00 (empat milyar empat ratus tiga puluh empat juta rupiah). Tidak sanggupnya pembeli untuk melunasi sisa kewajiban pembayarannya setelah tenggang waktu yang ditentukan usai termasuk dalam kriteria kelalaian atau wanprestasi, maka perjanjian memberikan hak kepada pihak pertama untuk memutus perjanjian atau melakukan pemecahan perjanjian sebagai hukuman terhadap wanprestasi pihak kedua.

Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak pembeli atau pihak kedua yang dapat mengaktifkan syarat putus ini termasuk golongan wanprestasi untuk tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya37. Pihak kedua telah menyanggupi atas biaya dan cara pembayaran yang

37

(49)

diperjanjikan, akan tetapi karena sebab tertentu pihak kedua belum juga melunasi sisa pembayaran hingga berlalunya tenggang waktu 6 (enam) bulan berakhir.

Pemberlakuan syarat putus akibat pemutusan sepihak dari pihak pertama yang dirumuskan dalam pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli terjadi apabila pihak pertama membatalkan perjanjian secara sepihak, dan atas perbuatannya pihak pertama harus membayar ganti rugi dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Wanprestasi oleh pihak pertama ini dalam pembagian jenis-jenis wanprestasi menurut Subekti38 merupakan wanprestasi atau kelalaian debitur dalam hal tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

Jika dicermati baik ketentuan pasal 6 ayat (1) maupun pasal 6 ayat (2) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli pemberlakuan syarat putus lebih dominan dilakukan oleh pihak pertama atau penjual. Dalam pasal 6 ayat (1) pihak pertama dapat mengaktifkan syarat putus apabila pihak kedua tidak melanjutkan pembayaran sampai lewat tenggang waktu 6 bulan yang telah disepakati, dan ketentuan pasal 6 ayat (2) dapat memutuskan perjanjian dengan konsekuensi yuridis harus membayar ganti rugi sebesar dua kali dari uang muka kepada pihak kedua. Namun jika dilihat substansinya walaupun kedua syarat putus ini lebih dominan dilakukan oleh pihak pertama, alasan pemutusan perjanjian pengikatan jual beli tersebut memiliki substansi yang berbeda. Dalam Pasal 6 ayat (1) Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli alasan diputuskannya perjanjian ialah pihak kedua tidak beritikad baik untuk melanjutkan pembayaran setelah lewat tenggang waktu yang diperjanjikan. Itikad baik39 disini adalah itikad baik menurut pasal 1338 ayat (3) BW yang menjelaskan bahwa pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Kepatutan yang dilanggar di sini adalah

38 Ibid.

39

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam proses tersebut tidak menuntut kemungkinan bahwa yang bakal terjadi ialah kekuatan social politik dominant akan lebih kuat menentukan isi sebuah produk Undang-Undang dari

Yang bertanda tangan dibawah ini saya, Rafdan Rahinnaya, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : ANALISIS PENGARUH PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN, KOMPENSASI SERTA

It also investigates the relationship between three constituent abilities of language aptitude, such as Rote Memory, Phonetic Coding, and Grammatical Sensitivity,

[r]

Wiratanuningrat adalah membuka rawa-rawa menjadi areal pesawahan, yang dikenal dengan istilah ngabukbak Lakbok (Membuka lahan di daerah Lakbok, saat ini menjadi

Dari hasil pemodelan untuk kelima kondisi, yaitu kondisi eksisting, rencana 1, 2, 3 dan 4 diketahui bahwa dengan adanya normalisasi saluran di lokasi premier dengan

Lingkungan kerja mempengaruhi variabel kinerja pegawai sebesar 2,2%, dikarenakan pegawai tidak bekerja diiringi dengan musik yang merdu, sesuai dengan pernyataan