• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Pencemaran Udara akibat Kebakara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Pencemaran Udara akibat Kebakara"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Kabut Asap terhadap Pencemaran Udara dan Kesehatan Lingkungan Kerja di Km 12 Gambut, Kabupaten Banjar

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Kesehatan Lingkungan Kerja

Dosen Pembimbing :

Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah Amd. Hyp., S.T., M.Kes Rd.

Indah Nirtha Nilawati NPS, ST., M.Si

Nip. 19780420 20050 1 002 Nip. 19730507 199802 1 001

Disusun Oleh: Kelompok 9

Tri Wardani H1E113002

Aulia Rahma H1E113007

Amalia Enggar Pratiwi H1E113209

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN BANJARBARU

(2)

Ucapan Terimakasih Kepada :

ii

(3)

DAFTAR ISI

2.1.2 Aktivitas Pembakaran dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam...3

2.1.3 Pembakaran Lahan Tidur dan Penguasaan Lahan...3

2.1.4 pengguna api yang bersifat insidentil...4

2.2 Kebakaran Lahan Gambut...4

2.2.1 Penyebab Kebakaran Hutan Dan Lahan Gambut...5

2.2.2 Faktor Yang mempengaruhi kebakaran Lahan Gambut...5

2.2.3 Faktor pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut 6 2.3 Karateristik Asap Kebakaran...6

2.4 Komposisi Asap Kebakaran...7

2.5 Dampak Kebakaran Hutan Dan Lahan...8

2.5.1 Terdegradasinya kondisi lingkungan...8

2.5.2 Aspek sosial ekonomi...9

2.5.3 Pengaruh Kebakaran Hutan Dan Lahan Terhadap Indeks Pencemaran Udara 9 2.5.4 Pengaruh Kebakaran Lahan Terhadap Kesehatan...11

2.6 Penggunaan Alat Pelindung diri terhadap Polusi Asap Kebakaran...14

2.7 Upaya Yang Harus Dilakukan Untuk Mencegah Kebakaran Lahan...14

2.7.1 Pengelolaan Kebakaran Yang Dapat Dilakukan...15

(4)

2.7.2 Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dan lahan...17

BAB III METODOLOGI...20

3.1 Kerangka Konsep...20

3.2 Jenis Penelitian...20

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian...21

3.4 Teknik Pengambilan Sampel...21

3.5 Sumber Data...21

3.5.1 Sumber Data Primer...21

3.5.2 Sumber Data Sekunder...21

3.6 Metode Pengumpulan Data...21

3.6.1 Uji Laboratorium...21

3.6.2 Wawancara...21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...23

4.1 Data Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2014...23

4.2 Hasil Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2015...24

4.3 Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Lahan Gambut...26

4.4 Pengendalian, Pencegahan dan K3 Pencemaran Udara Akibat Kebakaran hutan...27

4.4.1 Pencegahan kebakaran hutan dan pelindung diri akibat asap kebakaran 27 4.4.2 Pengendalian kebakaran hutan...28

BAB V PENUTUP...29

5.1 Kesimpulan...29

5.2 Saran...29

SOAL LATIHAN...30

DAFTAR PUSTAKA...33

LAMPIRAN...35

INDEKS...39

(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indeks Standar Pencemaran Udara di Indonesia...7

Tabel 2. Pengaruh polutan asap kebakaran pada sistem pernapasan dan organ lain ...9

Tabel 3. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I...15

Tabel 4. Hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I...15

Tabel 5. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II...15

Tabel 6. Hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II...16

Tabel 7. Laporan hasil uji pemantauan kualitas udara tahun 2015...16

Tabel 8. Hasil laboratorium kualitas udara di Jl A. Yani Km 12 tahun 2015...16

Tabel 9. Standar baku mutu udara ambient...17

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas taufik dan hidayah-Nya maka usaha–usaha dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Kesehatan Lingkungan Kerja, penulis dapat terselesaikan sesuai harapan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Qomariyatus S, Amd. Hyp., ST., Mkes. selaku dosen mata kuliah Kesehatan Lingkungan Kerja.

Saran dan kritik yang konstruktif tetap diharapkan serta akan dijadikan sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan Makalah “Pengaruh Kabut Asap terhadap Pencemaran Udara dan Kesehatan Lingkungan Kerja di Km12 Gambut Kab. Banjar” penulis mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyusunannya. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Banjarbaru, November 2015

Penulis

(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udara merupakan faktor yang penting dalam hidup dan kehidupan. Namun pada era modern ini, pencemaran udara merupakan salah satu kerusakan lingkungan yang menyebabkan turunnya kualitas udara karena masuknya unsur-unsur berbahaya ke atmosfer bumi. Unsur-unsur-unsur berbahaya yang masuk ke dalam atmosfer tersebut bisa berupa karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), Chloro Fluoro Carbon (CFC), sulfur dioksida (SO2), hidrokarbon (HC), benda partikulat, timah (Pb), dan karbon dioksida (CO2). Unsur-unsur tersebut bisa disebut juga sebagai polutan atau jenis-jenis bahan pencemar udara. Masuknya polutan ke dalam atmosfer yang menjadikan terjadinya pencemaran udara. Pada Musim kemarau pencemaran udara paling sering ditimbulkan oleh kebakaran hutan atau lahan.

Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia secara umum disebabkan oleh dua faktor. Pertama, karena faktor kelalaian manusia yang sedang melaksanakan aktivitasnya di dalam hutan. Kedua, karena faktor kesengajaan, yaitu kesengajaan manusia yang membuka lahan dan perkebunan dengan cara membakar. Kebakaran hutan terjadi karena faktor kelalaian manusia dan faktor kesengajaan membakar hutan. Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan terutama di daerah sekitar Banjarmasin, Gambut, Banjarbaru dan Martapura dimana pembukaan lahan dengan cara membakar dilakukan pada saat pembukaan lahan baru atau untuk peremajaan tanaman industri pada wilayah hutan. Pembukaan lahan dengan cara membakar dilakukan karena biayanya murah, tapi jelas cara ini tidak bertanggung jawab dan menimbulkan dampak yang sangat luas. Kerugian yang ditimbulkannya juga sangat besar. Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan, kabut asap dapat menyebabkan ganguan terhadap kesehatan.

(8)

partikel tersebut dapat menyebabkan gangguan pernapasan bagi manusia. Diperlukan suatu perilaku agar dapat menjamin Kesehatan dan Keselamatan dalam lingkup transportasi jalan raya. Maka dari itu, kami mengambil judul Pengaruh Kabut Asap terhadap Pencemaran Udara dan Kesehatan Lingkungan Kerja di Km12 Gambut Kab. Banjar.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan Masalah dari peneulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Apa dampak yang ditimbulkan dari Pencemaran Udara akibat kebakaran hutan bagaimana ?.

2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran udara akibat kebakaran hutan ?.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari Penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari Pencemaran Udara akibat kebakaran hutan.

2. Dapat mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran udara akibat kebakaran hutan.

1.4Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini adalah :

1. Dapat Mengetahui suatu masalah di lingkungan dan dapat Memecahkan masalah yang ditimbulkan akibat Pencemaran udara.

2. Diharapkan dapat mencegah penyakit akibat dari pencemaran udaran akibat kebakaran hutan.

(9)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Faktor Penyebab Kebakaran

Penyulut awal api (trigger) yang selama ini telah diketahui di hutan hutan rawa gambut Indonesia umumnya adalah :

2.1.1 Pembakaran Vegetasi

Sudah menjadi tradisi kebanyakan masyarakat petani tradisional terutama di luar Jawa, baik masyarakat tingkat petani penggarap maupun tingkat pelaku usaha, pada saat persiapan lahan pertaniannya dilakukan dengan cara membakar vegetasi gulma semak belukar. Akibat tidak dikendalikan, maka api menyebar sangat luas. Peristiwa tersebut dapat ditemukan pada ladangladang masyarakat, dalam pembukaan areal HTI yang melanggar peraturan, dan perkebunan yang melanggar ketentuan.

2.1.2 Aktivitas Pembakaran dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam

Kebakaran juga sering diakibatkan oleh api yang berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya pembakaran semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam serta pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan didalam hutan. Aktivitas pembakaran semak belukar untuk memasang perangkap ikan, dan pembakaran untuk berburu hewan liar. Kelalaian mereka dalam memadamkan api sering berakibat pada terjadinya kebakaran hutan.

2.1.3 Pembakaran Lahan Tidur dan Penguasaan Lahan

(10)

masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan yang telah digunakan perusahaan perkebunan kelapa sawit.

2.1.4 pengguna api yang bersifat insidentil

Seperti perilaku merokok saat melakukan perjalanan dengan kendaraan bermotor dan saat melakukan suatu kegiatan di dalam hutan yang kemudian membuang sembarang puntung rokok yang masih menyala. Ketiga pengguna api pertama tersebut biasanya berada di desa-desa sekitar hutan (Akbar, 2014).

2.2 Kebakaran Lahan Gambut

Kebakaran lahan gambut lebih berbahaya dibandingkan kebakaran pada lahan kering (tanah mineral). Selain kebakaran vegetasi di permukaan, lapisan gambut juga terbakar dan bertahan lama, sehingga menghasilkan asap tebal akibat terjadi pembakaran tak-sempurna. Limin et al. (2003) menyatakan bahwa kedalaman lapisan gambut terbakar rata-rata 22.03 cm (variasi antara 0 – 42.3 cm) namun pada titik tertentu lapisan dapat terbakar mencapai 100 cm. Oleh karena itu pemadaman kebakaran pada lahan gambut sangat sulit dan memerlukan banyak air. Pengalaman TSA sejak 1997, Limin et al. (2003) melaporkan bahwa untuk memadam total seluas 1m2 lahan gambut diperlukan air sebanyak 200 – 400 liter sebagai pengaruh dari kerapatan limbak gambut. Dilaporkan pula bahwa ada 9 ciri kebakaran pada lahan gambut berlangsung cepat dan mudah dipadamkan, yaitu : 1. kebakaran vegetasi di atas lapisan gambut

2. lapisan gambut terbakar tergantung kedalaman air tanah

3. kebakaran pada lapisan gambut sulit dipadamkan dan bertahan lama

4. kebakaran menghasilkan asap tebal karena terjadi pembakaran tak sempurna, 5. api dapat merambat melalui lapisan bawah, walaupun vegetasi di atasnya

belum terbakar atau masih segar,

6. banyak pohon tumbang dan pohon mati tapi masih berdiri tegak 7. terdapat jenis vegetasi mudah terbakar

8. bekas kebakaran gambut ditutupi arang, dan

9. penyemprotan air pada gambut yang sedang terbakar tidak hingga padam total, akan menyebabkan produk asap semakin tebal (Limin, 2006)

(11)

(misalnya metana dan amonia). Senyawa ini ditemukan dalam asap yang terdiri dari partikel terhirup iritan dan gas serta dalam beberapa kasus mungkin karsinogenik. Asap sendiri adalah kompleks campuran dengan komponen yang bergantung pada jenis bahan bakar, kadar air, bahan bakar aditif seperti pestisida yang disemprot pada dedaunan atau pohon.

2.2.1 Penyebab Kebakaran Hutan Dan Lahan Gambut

Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti gejala El Nino, kondisi fisik gambut yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirincikan sebagai berikut:

1. Pembakaran vegetasi Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat kegiatan, misalnya dalam pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat.

2. Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembakaran semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan. Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.

3. Penguasaan lahan Api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan (Tacconi, 2003).

2.2.2 Faktor Yang mempengaruhi kebakaran Lahan Gambut

(12)

dalam (>3m), dan keanekaragaman hayati yang berbeda dengan hutan hujan tropis di lahan kering mineral. Tanah gambut dan vegetasi yang tumbuh di atasnya merupakan bahan bakar potensial yang apabila mengalami kekeringan akan mudah terbakar. Tanah gambut bersifat kering tak balik (ireversible drying) yang apabila kekeringan dalam waktu lama akan sulit mengikat air kembali sehingga rawan terbakar. Hutan rawa gambut yang telah terdegradasi juga sangat sulit untuk dipulihkan. Sebagian kalangan pengamat kebakaran hutan dan lahan menganggap bahwa terjadinya kebakaran hutan yang berulang merupakan gejala pengelolaan hutan tidak bijaksana. Pada dasarnya anggapan ini berhubungan dengan adanya faktor-faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Adanya bahan-bakar berlimpah pada lantai hutan dan lahan dan gejala alam El-Nino telah menjadi pendukung utama terjadinya kebakaran. Faktor faktor pendukung lainnya meliputi penguasaan lahan yang terlalu luas oleh masyarakat, alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat atau lemahnya kebijakan tataguna hutan, degradasi hutan dan lahan yang terus berlangsung, pertimbangan ekonomi lahan, dan dampak perubahan karakteristik kependudukan.

2.2.3 Faktor pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini pada umumnya terjadi antara bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi jika ditemukan adanya gejala El Nino, Pembuatan kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar, Areal rawa gambut merupakan lahan yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya, sehingga kurang layak untuk pertanian (Adinugroho,2008).

2.3 Karateristik Asap Kebakaran

(13)

awal kebakaran akan membawa asap ke udara dan menetap, kemudian turun jika suhu menurun. Asap kebakaran pertama biasanya langsung dibawa angin sehingga menjadi prediksi area yang terbakar. Beberapa produk pembakaran dikategorikan sebagai berikut :

6. Semivolatile dan senyawa organik yang mudah menguap 7. Radikal bebas

8. Ozon

9. Fraksi partikel anorganik. 2.4 Komposisi Asap Kebakaran

Asap merupakan perpaduan atau campuran karbon dioksida, air, zat yang terdifusi di udara, zat partikulat, hidrokarbon, zat kimia organik, nitrogen oksida dan mineral. Ribuan komponen lainnya dapat ditemukan tersendiri dalam asap. Komposisi asap tergantung dari banyak faktor, yaitu jenis bahan pembakar, kelembaban, temperatur api, kondisi angin dan hal lain yang mempengaruhi cuaca, baik asap tersebut baru atau lama. Jenis kayu dan tumbuhan lain yang terdiri dari selulosa, lignin, tanin, polifenol, minyak, lemak, resin, lilin dan tepung, akan membentuk campuran yang berbeda saat terbakar. Materi partikulat atau Particulate Matter (PM) merupakan bagian penting dalam asap kebakaran untuk pajanan jangka pendek (jam atau mingguan). Materi partikulat adalah partikel tersuspensi, yang merupakan campuran partikel solid

dan droplet cair. Karakteristik dan pengaruh potensial materi partikulat terhadap kesehatan tergantung pada sumber, musim, dan keadaan cuaca. Materi partikulat dibagi menjadi:

1. Ukuran lebih dari 10 mm biasanya tidak sampai ke paru; dapat mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan.

(14)

4. Partikel halus (fine particles) berdiameter kurang dari 2,5 mm.

Partikel debu atau materi partikulat melayang (suspended particulate matter) merupakan campuran sangat rumit berbagai senyawa organik dan anorganik di udara dengan diameter <1 μm sampai maksimal 500 μm. Materi partikulat akan berada di udara dalam waktu relatif lama dalam keadaan melayang dan masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan. Karena komposisi materi partikulat yang rumit dan pentingnya ukuran partikulat dalam menentukan pajanan, banyak istilah digunakan untuk menyatakan materi partikulat di udara. Beberapa istilah mengacu pada metode pengambilan sampel udara seperti

suspended particulate matter (SPM), total suspended particulate (TSP) atau

ballack smoke. Polutan lain yang berbahaya adalah karbon monoksida yang tidak berwarna, tidak berbau, yang dihasilkan dari pembakaran kayu atau material organik yang tidak sempurna. Kadar tertinggi karbon monoksida adalah saat

smoldering, khususnya dekat api.

2.5 Dampak Kebakaran Hutan Dan Lahan

Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut Kebakaran hutan/lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan, aspek sosial ekonomi bagi masyarakat, indeks pencemaran udara dan kesehatan manusia.

2.5.1 Terdegradasinya kondisi lingkungan

Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak). Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik). Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran, suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar) sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati.

(15)

demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat. Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida berdampak pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997 menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.

2.5.2 Aspek sosial ekonomi

1. Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak, berburu/menangkap ikan)

2. Penurunan produksi kayu

3. Terganggunya kegiatan transportasi

4. Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran

5. Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman

2.5.3 Pengaruh Kebakaran Hutan Dan Lahan Terhadap Indeks Pencemaran Udara Beberapa negara seperti Singapura dan Brunei Darusalam menggunakan

pollutant standard index (PSI) yang dikeluarkan oleh United States Evironmental Protection Agency (USEPA) untuk melaporkan konsentrasi populasi udara sehari-hari. Indonesia menggunakan istilah Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) atau PSI dengan pembagian sebagai berikut :

Tabel 1. Indeks Standar Pencemaran Udara di Indonesia

No. Kadar Kategori

1. PSI 0 – 50 Sehat

2. PSI 51- 100 Sedang

3. PSI 101 – 199 Tidak Begitu Baik 4. PSI 200 - 299 Tidak Sehat

5. PSI 300 – 399 Berbahaya

(16)

Udara tercemar akan masuk ke dalam tubuh manusia dan mungkin mempengaruhi paru dan saluran napas. Komponennya juga diedarkan ke seluruh tubuh; artinya selain terhisap langsung, manusia dapat menerima akibat buruk polusi ini dan secara tidak langsung dapat mengkonsumsi zat makanan atau air yang terkontaminasi. Polusi udara lain yang berdampak buruk pada kesehatan adalah Ozon (O3), radiasi pengion. Penilaian polusi udara

perlu memperhatikan beberapa hal meliputi : 1. Partikel: TSP, PM 10, PM 2,5, PM 1,0 2. Gas: CO, NOx , SO2

3. Variasi geografis 4. Variasi cuaca 5. Faktor meteorologi.

Asap biomassa yang keluar pada kebakaran hutan mengandung beberapa komponen yang dapat merugikan kesehatan baik dalam bentuk gas maupun partikel. Komponen gas dalam biomassa besar yang mengganggu kesehatan adalah karbon monoksida (CO), sulfurdioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2),

dan aldehid. Beberapa senyawa lain seperti ozon (O3), karbon dioksida (CO2) dan

hidrokarbon juga mempunyai dampak buruk terhadap paru. Bebagai jenis gas golongan nitrit dan nitrogen organik bisa terbang jauh dan dapat dikonversi menjadi gas lain seperti ozon atau menjadi partikel dan nitrit organik. Partikel akibat asap kayu yang terbakar hampir seluruhnya berukuran <1 μm, sebagian besar antara 0,15 sampai 0,4 μm. Polusi di dalam rumah mempunyai dampak lebih besar karena penghuni rumah akan terpajan asap dalam konsentrasi tinggi selama bertahun-tahun. Pajanan kebakaran hutan biasanya berlangsung selama 4 – 5 bulan dalam setahun dan intensitasnya tergantung pada luas kebakaran hutan. 2.5.4 Pengaruh Kebakaran Lahan Terhadap Kesehatan

(17)

(sekitar < 10 %). Sedangkan kematian karena menghirup asap dengan luka bakar lebih sering yaitu sekitar (30-50%)

Penurunan kualitas udara sampai taraf membahayakan kesehatan dapat menimbulkan dan meningkatkan penyakit saluran napas seperti infeksi saluran napas akut (ISPA). Penderita ISPA di daerah bencana asap meningkat 1,8 – 3,8 kali. Pada saat kebakaran hutan tahun, kualitas udara pada tahap membahayakan kesehatan dengan kadar debu >1.490 μg/m3 (batas yang diperkenankan 230 μg/m3. Istilah lain lebih mengacu pada tempat di saluran napas, tempat materi partikulat mengendap yaitu inhalable thoracic particulate yang terutama mengendap pada saluran napas bagian bawah.8,12 Partikel asap cenderung sangat kecil dengan ukuran hampir sama dengan panjang gelombang cahaya yang terlihat atau 0,4- 0,7 mm. Partikel asap tersebut hampir sama dengan fraksi partikel PM 2,5 sehingga dapat menyebar dalam cahaya dan mengganggu jarak pandang. Partikel halus dapat terinhalasi ke dalam paru sehingga lebih berisiko mengganggu kesehatan dibandingkan partikel lebih besar. Polutan udara lain yang dapat mengiritasi saluran pernapasan yaitu akrolein, formaldehid, dan benzena -karsinogen dalam jumlah lebih rendah dibandingkan materi partikulat dan karbon monoksida. Secara umum, peningkatan kadar PM 10 μm di udara dihubungkan dengan :

1. Peningkatan berbagai keluhan pernapasan.

2. Peningkatan kunjungan ke instansi gawat darurat. 3. Peningkatan rawat inap dan risiko kematian.

4. Eksaserbasi akut asma bronkial dan penyakit paru obstruktif kronik.

(18)

1. Karbon monoksida (CO) beredar melalui aliran darah dan paru, mengurangi pengiriman oksigen ke jaringan tubuh (anoksia) menimbulkan gejala sesak napas, kebingungan, dan dada terasa berat.7 Konsentrasi CO pada penduduk tertentu yang terpajan asap api tidak menimbulkan bahaya bermakna kecuali pada individu yang sensitif; mereka yang memiliki penyakit jantung mengalami nyeri dada dan aritmia. Pada tingkat pajanan lebih tinggi CO dapat menyebabkan sakit kepala, lemah, pusing kebingungan, disorientasi, gangguan penglihatan, koma dan kematian.

2. Sulfurdioksida (SO2), gas pedas yang bisa menimbulkan sesak napas, mengi karena bronkokonstriksi selanjutnya mengiritasi mukosa pernapasan.

3. Nitrogendioksida (NO2) dikeluarkan selama kebakaran suhu tinggi seperti saat kebakaran badai.

4. Ozon (O3) dapat mengiritasi tenggorokan.

5. Sianida (CN- ) dihasilkan oleh pembakaran bahan-bahan alami dan sintetik bila kadar laktat tinggi; dapat berguna sebagai indikator di rumah sakit.

6. Hidrokarbon, contohnya gas benzene hasil pembakaran bahan organik yang tidak sempurna.

7. Aldehid (akrolin, formaldehid/HCHO) hasil pembakaran bahan organik yang tidak sempurna.

(19)

Tabel 2. Pengaruh polutan asap kebakaran pada sistem pernapasan dan organ lain

Polutan Mekanisme Efek Potensial pada

Kesehatan

Kanker mulut, nasofaring dan laring

(20)

reaktivitas bronkus

Pajanan kronik sulit untuk memisahkan efek partikel

 Penyakit kardiovaskuler

2.6 Penggunaan Alat Pelindung diri terhadap Polusi Asap Kebakaran

Saat ini cara pencegahan yang banyak digunakan adalah pemakaian masker karena relatif murah dan dapat disebarluaskan tetapi efektivitasnya masih dipertanyakan. National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH) telah melakukan pengujian di Amerika Serikat dan menetapkan beberapa jenis masker yang mampu menyaring lebih dari 99% partikel silika berukuran 0,5 μm. Beberapa badan kesehatan lain merekomendasikan masker yang baik yaitu mampu menyaring lebih dari 95% partikel > 0,3 μm dan biasanya diberi kode R95, N95, atau P95. Masker ini harus dipasang dengan cukup rapat sehingga udara tidak dapat masuk di selasela pinggiran masker dan kulit wajah; hal yang tidak mudah dilakukan. Alat bantu napas bisa digunakan setelah penata laksanaan lain yang lebih efektif, antara lain dengan mengurangi pajanan, termasuk tinggal di dalam rumah, dan mengurangi aktivitas, terutama pada individu yang sensitif (Faisal,2012).

2.7 Upaya Yang Harus Dilakukan Untuk Mencegah Kebakaran Lahan

(21)

2.7.1 Pengelolaan Kebakaran Yang Dapat Dilakukan

Pencegahan kebakaran hutan dapat dimulai dari para pengguna api lahan. Para pengguna api baik masyarakat maupun perusahaan dapat diperankan sebagai pencegah api liar (wild fire) awal sebelum api menyebar ke lokasi-lokasi lain yang tidak diinginkan. Apabila api liar telah menyebar secara luas ke seluruh arah, ia akan menjadi bencana kebakaran yang sangat sulit untuk dipadamkan sekalipun menggunakan alat teknologi tinggi. Beberapa kali peristiwa kebakaran besar di rawa gambut telah menjadi pelajaran bagi pelaksana pengendali kebakaran untuk menentukan strategi pengendalian melalui kegiatan pencegahan dan pemadaman dini kebakaran. Untuk mengantisipasi bahaya kebakaran dapat dilakukan dengan membangun hutan 6 tanaman atau kebun yang berisiko kecil kebakaran dan memberdayakan masyarakat sekitar hutan.

(22)

(Shorea teysmaniana), nyatoh (Palaquium cochlearia), dan ramin (Gonystilus bancanus). Pada lapisan gambut yang tipis (hutan kerangas) dan tanah bergambut, galam (Malaleuca leucodendron) telah banyak dikenal masyarakat dan diregenerasi secara alami. Dari sekian jenis pohon hutan yang secara ekologis dianggap cocok di rawa gambut, jenis yang secara sosial telah banyak dikembangkan dan secara ekonomi telah banyak menguntungkan masyarakat adalah jenis jelutung atau pantung. Jenis jelutung di Indonesia hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Pengembangan jelutung rawa berdasarkan yang berjangka panjang dan mencegah terjadinya kebakaran. Pembuatan Sekat Bakar Peranan sekar bakar kebun di lahan gambut pada prinsipnya sama dengan di lahan kering. Perbedaannya adalah pada lahan gambut, api dapat menyebar lewat bawah permukaan tanah, tetapi ini terjadi jika kebakaran berlangsung lama misalnya lebih dari 2 hari. Pembuatan parit selebar 1 meter akan berperan ganda didalam kebun. Parit dapat berfungsi sebagai sekat bakar bagi api bawah permukaan dan juga sebagai simpanan air pada saat kemarau.

3. Pembuatan Sumur Air Sumur sebagai persediaan air pada saat musim kemarau perlu di bangun. Pengalaman pembuatan sumur di Tumbang Nusa menunjukan bahwa pada bulan Agustus, air masih ditemukan pada kedalaman 1 meter dari permukaan tanah, sedangkan pada bulan September kedalaman air tanah menurun menjadi 1,5 meter. Dengan demikian kedalaman sumur yang mesti dibuat minimal 2,5- 3 meter. Bentuk sumur dapat persegi empat dengan diameter 1 meter. Stok air tersebut cukup efektif untuk pemadaman api kecil.

4. Pengadaan Alat Pemadam Sederhana Peralatan pemadam sederhana seperti Kepyok pemukul api permukaan dan Semprot Punggung (Jufa, Indian, Jetshooter dll) perlu dipunyai oleh kelompok Tani.

(23)

mematikan api sedang. ( > 3 meter). Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru telah merekayasa alat-alat yang dapat dioperasikan dalam pemadaman kebakaran. Alat-alat pemadam tersebut adalah pompa pemadam jinjing tekanan tinggi dilengkapi selang 5 rol (100 m), selang isap 4 m, Saringan (filter), alat gendong mesin, dan nozzle, kantong air portable 1000 liter, pompa jufa, kepyok, stik jarum, cangkul garu mata panjang, cangkul garu, cangkul api, dan kapak mata dua, parang dan gergaji tangan. Alat lain yang diperlukan dalam pemadaman adalah alat komunikasi HT (handy transmiter), ember, dan papan 2 meter. Berkembangnya teknologi HP (hand phone) dapat menjadi pendukung komunikasi antar personil pemadam selama signal masih ada. Personil yang diperlukan dalam mengoperasikan alat-alat tersebut minimal 15 orang.

6. Pembuatan Tower Pengamat Asap Kebakaran Pada perkebunan berskala luas, suatu rencana pegelolaan kebakaran (fire management plan) sangat diperlukan diantaranya memuat keberadaan tower pengamat kebakaran. Di dalam tower pengamat ditempatkan personil yang setiap saat mengamati asap yang muncul di musim kemarau. Jika ditemukan asap maka staf jaga dapat segera menginformasikan adanya api, lokasi api dan besar kecilnya api. Untuk lahan datar, satu tower pengamat asap kebakaran dapat mengawasi luasan lahan sekitar 6.000 ha. Pada saat kemarau, staf jaga harus bertugas setiap saat yang dilengkapi dengan peralatan radio komunikasi, teropong binokuler dan peta lokasi. Tetapi pada perkebunan rakyat bersekala kecil, pembangunan tower pengamat kebakaran tidak perlu dilakukan karena memakan biaya cukup mahal.

2.7.2 Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dan lahan

(24)

timbul adalah berasal dari api kecil yang disulut manusia pengguna api di lahan. Sedangkan lahan yang telah terbukti mengalami pembakaran setiap tahun adalah lahan-lahan pertanian dan perladangan. Mungkin sebagian kecil saja adanya kebakaran akibat kelalaian buang puntung 11 rokok, akibat asap mesin alat berat dan penyebab kelalaian lainnya. Demikian pula adanya kebakaran akibat gesekan alami, petir dan batubara sangat sulit dibuktikan di daerah tropis. Dengan dasar api awal dari luasan-luasan kecil di desa-desa maka upaya pemberdayaan masyarakat desa bahkan kampung menjadi penentu keberhasilan pencegahan terjadinya kebakaran. Pertimbangan lain yang mendasari perlunya pengendalian kebakaran berbasis masyarakat desa adalah sebagai berikut : (Marbyanto, 2003) a. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya disebabkan oleh faktor

manusia. Oleh karenanya peran serta masyarakat dalam pencegahan kebakaran akan mengurangi munculnya kebakaran hutan dan lahan.

b. Kelompok yang paling dirugikan oleh adanya kebakaran hutan dan lahan umumnya adalah masyarakat yang tinggal di lokasi kebakaran, Oleh karenanya sudah sewajarnya bila mereka terlibat secara aktif dalam upaya pengelolaan kebakaran hutan dan lahan.

c. Masyarakat mempunyai potensi sumberdaya (tenaga, natura/barang) yang sangat besar untuk menunjang kegiatan pengelolaan kebakaran sebagai pelengkap dari sumberdaya pemerintah yang masih terbatas.

d. Masyarakat biasanya banyak berdomisili di daerah-daerah yang berdekatan dengan areal rawan kebakaran sehingga mereka sangat potensial untuk melakukan serangan dini (initial attack) dalam pengendalian kebakaran. Initial attack tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya kebakaran besar dan luas.

(25)

BAB III METODOLOGI

3.1 Kerangka Konsep

(26)

Gambar 1. Skema kerangka konsep penelitian

Observasi Lapangan

Observasi Lapangan

Uji Laboratorium

Uji Laboratorium

Baku mutu TSP

melebihi ambang batas

(27)

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriprif. Pada penelitian ini menggunakan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif dengan bantuan BLHD Kab. Banjar. Penelitian kualitatif dilakukan bertujuan untuk mengetahui kualitas udara ambien dengan parameter debu (TSP), SO2, NO2, CO, dan O3 apakah terjadi pencemaran udara atau tidak.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Jl. A.Yani Km 12 Gambut Kab. Banjar oleh Petugas Pengambil Contoh (PPC) Balai Riset dan Standarisasi Industri pada tanggal 4 September 2015.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel menggunakan metode pasif oleh petugas pengambil contoh (PPC) Balai Riset dan Standardisasi Industri. Metode pasif yaitu pengukuran kualitas udara amien dengan parameter gas (CO, Sox, NOx, dsb) dan parameter partikulat.

3.5 Sumber Data

3.5.1 Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang memberi informasi langsung kepada pengumpul data (Andi, 2011). Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari data uji laboratorium dengan bantuan BLHD Kab. Banjar.

3.5.2 Sumber Data Sekunder

(28)

3.6 Metode Pengumpulan Data 3.6.1 Uji Laboratorium

Uji laboratorium atau riset laboratorium adalah melakukan eksperimen melalui percobaan tertentu dengan menggunakan alat-alat atau fasilitas yang tersedia di laboratorium penelitian (Rosady, 2004). Uji laboratorium pada penelitian ini digunakan untuk memperoleh data kualitas udara ambien di Gambut Km12 Kab. Banjar apakah terjadi pencemaran udara atau tidak. 3.6.2 Wawancara

(29)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengukuran kualitas udara oleh BLHD Kab. Banjar dilakukan di halaman Jl. A. Yani Km. 12 Kab. Banjar. Pemilihan lokasi Jl. A. Yani Km. 12 mewakili kawasan hutan dengan pemukiman penduduk yang relatif tidak padat. Km. 12 Gambut juga merupakan ruas jalan kota yang sering di lalui banyak kendaraan bermotor.

4.1 Data Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2014

BLHD Kabupaten Banjar melakukan kegiatan pemantauan kualitas udara secara rutin setiap tahunnya. Data pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I

No. PARAMETER SATUAN HASIL PENGUJIAN

(Jl. A. Yani km. 12)

1 Suhu ᵒC 33

2 Kelembaban ᵒ0 74

3 Arah Angin - Timur Laut

4 Kecepatan Angin m s 0.82 - 1.93

Tabel 4. Hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I

Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I pada Tabel 4, terlihat bahwa konsentrasi polutan TSP, SO2, NO2, CO dan O3 masih dalam batas normal, tidak melebihi standar baku mutu kualitas udara ambien. Data pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6 sebagai berikut:

Tabel 5. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II

No. PARAMETER SATUAN HASIL PENGUJIAN

(Jl. A. Yani km. 12)

(30)

2 Kelembaban ᵒ0 77

3 Arah Angin - Timur

4 Kecepatan Angin m s 0.30 - 1.30

Tabel 6. Hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II

Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap II pada Tabel 6, terlihat bahwa konsentrasi polutan TSP, SO2, NO2, CO dan O3 masih dalam batas normal, tidak melebihi standar baku mutu kualitas udara ambien. Hasil perbandingan antara pemantauan kualitas udara di Jl. A. Yani Km 12 tahun 2014 tahap I dan II yaitu beberapa parameter polutan yang diuji mengalami penurunan konsentrasi dari tahap sebelumnnya.

4.2 Hasil Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2015

Berdasarkan hasil uji laboratorium pemantauan kualitas udara tahun 2015 pada 4 September 2015, maka diperoleh kandungan parameter debu (TSP), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), karbon monoksida (CO), dan ozon (O3) di udara ambien sebagai berikut:

Tabel 7. Laporan hasil uji pemantauan kualitas udara tahun 2015

No. PARAMETER SATUAN HASIL PENGUJIAN

(Jl. A. Yani km. 12)

1 Suhu ᵒC 29 – 33

2 Kelembaban ᵒ0 37 – 55

3 Arah Angin - U – S

4 Kecepatan Angin m s 0.82 - 1.93

(31)

Berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara tahun 2015 pada Tabel 8, terlihat bahwa konsentrasi beberapa parameter yang diuji terjadi peningkatan yang signifikan dibandingakan dengan data tahun 2014.

Parameter CO, O3 dan SO2 merupakan polutan yang konsentrasinya meningkat meskipun masih dalam batas normal standar baku mutu udara ambien. Peningkatan konsentrasi CO, O3 dan SO2 di Km. 12 Gambut disebabkan karena lokasi tersebut merupakan jalan raya yang sering di lalui kendaraan bermotor. Sebuah hasil penelitian yang dilakukan Rusdian Lubis dan Widodo Sambodo (1994), dalam jurnal Sigit dan Jamyamah (2012) menyatakan bahwa kendaraan bermotor menyumbang lebih dari 50% pencemaran udara di atas bumi ini. Menurut Soedomo (1990), trasportasi darat memberikan konstribusi yang signifikan terhadap setengah dari total emisi SPM10, untuk sebagian besar timbal, CO, HC, dan NOx di daerah perkotaan, dengan konsentrasi utama terdapat di daerah lalu lintas yang padat. Selain itu berdasarkan hasil observasi di lapangan, ditemukan ± 5 kilometer dari titik pengujian terdapat kebakaran hutan. Menurut Faisal, dkk (2012), sejumlah besar bahan kimia asap kebakaran hutan meliputi partikel dan komponen gas seperti sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelein, benzen, nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3) yang juga berpengaruh terhadap peningkatan parameter CO, O3 dan SO2 seperti di km. 12 Gambut.

Saat pengambilan sampel oleh petugas pengambil contoh (PPC) Balai Ristek Standardisasi Industri cuacanya berkabut akibat dari kebakaran hutan di lahan gambut. Peningkatan TSP di Km. 12 Gambut menyebabkan pencemaran udara. Konsentrasi debu (TSP) di Km. 12 Gambut tahun 2015 sebesar 356,67 µg/m3 telah melebihi standar baku mutu yang diperbolehkan berdasarkan PP No 41 tahun 1999 yaitu 230 µg/m3, seperti ditunjukan pada Tabel 9.

Tabel 9. Standar baku mutu udara ambient

(32)

Data menunjukkan bahwa akibat kebakaran hutan di Indonesia, ambang batas total suspended particulate (TSP) sebesar 230 telah terlampaui di beberapa provinsi (Faisal. dkk, 2012).

4.3 Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Lahan Gambut Dampak dari kebakaran hutan dan pencemaran udara akibat kabut asap yang berkepanjangan sangat berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan, aspek sosial ekonomi masyarakat, indeks pencemaran udara dan kesehatan manusia.

Ekosistem hutan rawa di Jl. Gubernur Syarkawi dekat rumah sakit jiwa Sambang Lihum telah rusak. Berdasarkan laporan dari pihak rumah sakit yang mengeluh akan banyaknya hewan liar seperti monyet yang mengganggu dan merusak fasilitas rumah sakit, hal ini terjadi karna habitatnya yang telah rusak terbakar.

Menurut analisa Greenpeace (2015), terdapat kaitan antara kebakaran hutan dengan deforestasi lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera. Banyak dari lahan gambut ini akan dibuka untuk sektor perkebunan. Lahan gambut Indonesia merupakan salah satu tempat penyimpanan karbon terbesar di dunia. Pembukaan dan pengeringan lahan gambut, terutama untuk sektor perkebunan menciptakan kondisi dimana api akan membara, melepaskan banyak CO2 sehingga dapat mencemari udara dan merusak iklim global.

Dampak lain juga dirasakan pada aspek sosial ekonomi yaitu, seperti terganggunya aktivitas masyarakat karna kabut asap, meningkatnya pengeluaran pemerintah akibat biaya untuk pemadaman dan tidak luput juga bidang kesehatan.

(33)

tergantung dari individu seperti umur, penyakit pernapasan sebelumnya, infeksi dan kardiovaskuler dan ukuran partikel (Schwela, 2001).

Penurunan kualitas udara sampai taraf membahayakan kesehatan dapat menimbulkan dan meningkatkan penyakit saluran napas seperti infeksi saluran napas akut (ISPA). Penderita ISPA di daerah bencana asap meningkat 1,8 – 3,8 kali. Pada saat kebakaran hutan tahun, kualitas udara pada tahap membahayakan kesehatan dengan kadar debu >1.490 μg/m3 (batas yang diperkenankan 230 μg/m3. Udara tercemar akan masuk ke dalam tubuh manusia dan mungkin mempengaruhi paru dan saluran pernafasan bahkan berdampak kematian.

4.4 Pengendalian, Pencegahan dan K3 Pencemaran Udara Akibat Kebakaran hutan

4.4.1 Pencegahan kebakaran hutan dan pelindung diri akibat asap kebakaran Upaya terbaik tentu mencegah kebakaran hutan, ini perlu jadi prioritas utama. Karena keterbatasan saranan kesehatan dalam menangani bahaya kebakaran hutan maka pencegahan paling utama yaitu mengatasi sumbernya dengan memadamkan kebakaran itu sendiri. Perlu dibina kerjasama lintas sektoral kesehatan, lingkungan hidup dan pihak meteorologi yang baik untuk memantau polusi akibat kebakaran hutan. Kalau asapnya telah menyebar, perlu dilakukan berbagai tindakan untuk melindungi masyarakat luas dari pajanan asap (Aditama, 1999). Masyarakat sedapat mungkin melindungi dirinya sendiri dari pajanan asap dan pemerintah setempat memberikan penyuluhan tentang bahaya dan cara pencegahan kebakaran hutan (Brauer, 2007).

(34)

lebih efektif, antara lain dengan mengurangi pajanan, termasuk tinggal di dalam rumah, dan mengurangi aktivitas, terutama pada individu yang sensitif (Englert, 2004).

4.4.2 Pengendalian kebakaran hutan

Salah satu pengendalian kebakaran hutan yaitu dengan pemandaman titik api. Pelaksanaan pemadaman dapat dilakukan secara bergotong royong atau secara perorangan. Strategi pemadaman api dini harus disiplin dilakukan dan tidak membiarkan api terlanjur besar. Jika memungkinkan, Pembentukan Regu Pengendali Kebakaran (RPK) di wilayah kebakaran yang dibentuk melalui musyawarah warga dapat dilakukan disertai pengadaan alat Pompa Statis untuk mematikan api sedang ( > 3 meter).

(35)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Berdasarkan hasil observasi lapangan pemantauan kualitas udara di Km. 12 Gambut Kab. Banjar tahun 2015 polutan gas CO, O3 dan SO2 di udara ambient meningkat namun masih dalam batas normal. Hasil untuk parameter debu (TSP) sebesar 356,67 µg/m3 telah melebihi ambang batas yang ditentukan (PP No 41 tahun 1999) yaitu 230 µg/m3. Dampak yang ditimbulkan dari pencemaran udara akibat kebakaran hutan, yaitu :

a. Terdegradasinya kondisi lingkungan

b. Berpengaruh pada aspek sosial ekonomi masyarakat c. Berpengaruh pada indeks standar pencemaran udara d. Menurunnya kesehatan manusia.

2. Upaya pencegahan kebakaran hutan yang menjadi prioritas utama yaitu dengan mengatasi sumber kebakaran, melakukan pembinaan kerjasama antara sektoral kesehatan, lingkungan hidup dan pihak meteorologi yang baik untuk memantau polusi akibat kebakaran hutan, penyuluhan oleh pemerintah daerah setempat tentang bahaya dan cara pencegahan kebakaran hutan kepada masyarakat. Salah satu cara pencegahan penyakit yang ditimbulkan dari asap kebakaran yang banyak digunakan adalah pemakaian masker karena relatif murah. Masker yang baik yaitu mampu menyaring lebih dari 95% partikel > 0,3µ dan biasanya diberi kode R95, N95, atau P95 dengan pemasangan yang tepat agar lebih efektif.

5.2 Saran

Adapun saran dari penelitian ini ialah :

a. Untuk hasil penelitian yang lebih akurat dan efektif diperlukannya data dan referensi pendukung yang lebih banyak lagi agar peneliti mendapatkan hasil perbandingan data yang lebih sempurna.

(36)

SOAL LATIHAN

PERTANYAAN

1. Sebutkan dan jelaskan faktor – faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan !.

2. Sebutkan apa saja dampak kebakaran hutan dan lahan gambut terutama bagi lingkungan !.

3. Sebutkan apa saja karakteristik asap kebakaran hutan yang sangat membahayakan kesehatan !.

4. Jelaskan pengaruh kadar debu (TSP) terhadap lingkungan dan kesehatan !. 5. Sebutkan upaya yang harus dilakukan untuk mencegah bahaya

b. Aktivitas pembakaran dalam pemanfaatan SDA : pembakaran semak belukar yang menghalangi akses dalam pemanfaatan SDA dan pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di hutan.

c. Pembakaran lahan tidur dan penguasaan lahan : Pemilik lahan tidur membakar lahannya pada saat musim kering agar lahannya tidak menjadi hutan dan untuk menunjukkan kepemilikan saat ada pembeli . biasanya pembukaan lahan tidur sering terjadi di kiri dan kanan jalan raya.

d. Pengguna api yang bersifat insidentil : Seperti perilaku merokok saat melakukan perjalanan dengan kendaraan bermotor dan saat melakukan suatu kegiatan di dalam hutan yang kemudian membuang sembarang puntung rokok yang masih menyala.

(37)

a. Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak).

b. Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik).

c. Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off).

3. Beberapa faktor yang mempengaruhi asap kebakaran adalah cuaca, fase kebakaran dan struktur tanah dapat mempengaruhi sifat api dan efek asap kebakaran. Secara umum cuaca berangin membuat konsentrasi asap lebih rendah karena asap akan bercampur dengan udara. Karakteristik dan pengaruh potensial materi partikulat terhadap kesehatan tergantung pada sumber, musim, dan keadaan cuaca.

Materi partikulat dibagi menjadi:

a. Ukuran lebih dari 10 mm biasanya tidak sampai ke paru; dapat mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan

b. Partikel kurang atau sama dengan 10 mm; dapat terinhalasi sampai ke paru.

c. Partikel kasar (coarse particles) berukuran 2,5 – 10 mm. d. Partikel halus (fine particles) berdiameter kurang dari 2,5 mm.

(38)

terpajan polusi udara beracun dengan konsentrasi tinggi sedikit meningkatkan risiko kanker.

(39)

DAFTAR PUSTAKA

Adinugroho, C.W. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan. Wethleand internasional indonesia. Bogor.

Aditama TY. 1999. Dampak asap kebakaran hutan terhadap kesehatan paru. YP IDO & IDKI. Jakarta.

Akbar, C. 2014. Kebakaran Hutan dan Lahan Rawa Gambut: Penyebab Faktor Pendukung dan Alternatif Pengelolaannya. Balai Penelitian Kehutanan. Banjarbaru

Brauer M. 2007. Health Impact of Biomass Air Pollution. WHO. http//www.firesmokeheealth.org

D Schwela. 2001. The WHO-unepwrno Health Guidelines for Vegetation Fire Events. Department of Protection of the Human Environtment, Occupational and Environmental.

Departemen Kesehatan. 2011. Parameter pencemar udara dan dampaknya terhadap kesehatan. www.depkes.go.id/downloads/udara.pdf 14.

Englert N. 2004. Fine particle and human health – a review of epidemiological studies. Toxicol Letters.

Faisal, F, Yunus F, Harahap F. 2012. Dampak Asap Kebakaran Hutan pada Pernapasan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Limin S.H, 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan pemanfaatannya. UNPAR. Palangkaraya.

(40)

Pramono H. Sigit dan Jamyamah S. 2012. Alat Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Jurnal Penelitian Vol. 7. Yogyakarta.

R. Rosady. 2004. Metodologi Penelitian Public Relations dan Komunikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Rumajomi HB, 2006. Kebakaran hutan di Indonesia dan dampaknya terhadap kesehatan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Seodomo M., Usman K, Djajadiningrat, Darwin. 1990. Model Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara, Studi Kasus di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Penelitian KLH – Jurusan Teknik Lingkungan ITB. Bandung.

(41)

LAMPIRAN

1. Dokumentasi Observasi Lapangan

Dilakukan di daerah sekitar Lingkar utara pada Kamis, 22 Oktober 2015 pukul 06.30 WITA.

(42)

Wawancara dengan pihak TNI yang sedang memadamkan api

Proses pemadaman api oleh Anggota TNI

Kondisi Drainase di lahan gambut pasca kebakaran/pembakaran

(43)
(44)

Pemantauan Kualitas Udara Tahun 2014 Tahap I

(45)
(46)

INDEKS

A

Agroforestry: salah satu sistem pengelolaan lahan hutan dengan tujuan untuk mengurangi kegiatan perusakan/perambahan hutan sekaligus meningkatkan penghasilan petani secara berkelanjutan.

Asma Eksaserbasi: dikenal dengan serangan asma akut / kronis yang mana dapat membahayakan nyawa.

B

Ballack Smoke: termasuk kedalam jenis TSP (Total Suspended Solid)

Benzo-A-pyrene: Komponen asap dari kelompok senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik yang bersifat karsinogenik.

C

Chloro Fluoro Carbon: senyawa-senyawa yang mengandung atom karbon dengan klorin dan fluorin terikat pada atom C, tidak mudah terbakar dan tidak terlalu toksik.

Coarse Particles: partikel kasar yang berukuran 2,5 – 10 µm.

Combretocarpus imbricatus: termasuk kedalam jenis pohon tanah yang dapat tumbuh di lahan kering dan dapat tumbuh kembali di lahan yang telah terbakar. Cratoxylon arborescens atau Bl: dikenal dengan nama geronggang dengan sebaran habitat di huutan hujan tropis terutama tanah rawa atau zona peralihan antara tanah rawa dan tanah kering.

D

Droplet: partikel air kecil atau hujan rintik.

Dyera polyphylla Miq: dikenal dengan nama jelutung rawa yang tahan tumbuh di gambut yang tergenang dan digunakan sebagai tanaman rehabilitasi karena pertumbuhannya cepat.

E

El Nino: suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai Peru).

Eucalyptus alba: F

Fine Particles: partikel halus berdiameter kurang dari 2,5 µm. Fire Management Plan: rencana pegelolaan kebakaran

(47)

Gliricidia sepium: sejenis leguminosa yang berumur panjang, dapat beradaptasi di lingkungan bertemperatur 20 – 30 °C.

Gmelina arborea atau jati putih: tumbuh optimal pada ketinggian 0-800 dpl dengan curah hujan 1778-2286 mm/tahun dan pH tanah 4-7 (asam).

Gonystilus bancanus: dikenal dengan ramin, dapat tumbuh di daerah rawa gambut dalam hutan alam.

Ground fire: kebakaran pada lapisan bawah tanah gambut atau tanah yang banyak mengandung mineral (karena adanya bahan organik) di bawah lapisan serasah yang mudah terbakar.

H

Handy Transmiter (HT): berfungsi sebagai pengirim sinyal I

Inhalable Thoracic Particulate: saluran napas, tempat materi partikulat mengendap Initial Attack: serangan dini / pencegahan

Ireversible drying:sifat kering tak balik pada tanah gambut sehingga kesulitan mengikat air dan menjadi rawan terbakar.

M

Malaleuca leucadendron: pohon galam N

National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH): organisasi yang bergerak pada bidang keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan orang di tempat kerja.

Nozzle: bagian vital komponen pada mesin diesel yg berfungsi sebagai penyemprot dan mengkabutkan bahanbakar di dalam ruang bakar serta mengatur jumlah solar yg masuk sesuai spesifikasi.

O

Obstruktif Kronik: penyakit paru-paru yang memblokir aliran udara napas Anda dan membuat Anda semakin sulit untuk bernapas. Emifisema dan asma bronkitis kronis termasuk di dalamnya.

P

Palaquium cochlearia: dikenal dengan sebutan tampang gagas atau nyatoh.

Particulate Matter (PM): partikel padat atau cair yang ditemukan di udara. Partikel dengan ukuran besar atau cukup gelap dapat dilihat sebagai jelaga atau asap. Polifenol: kelompok zat kimia yang terdapat pada tumbuhan.

(48)

Polynuclear Aromatic Hydrocarbon (PAH): poli-aromatik hidrokarbon atau hidrokarbon aromatik polynuclear dan merupakan polutan atmosfer kuat yang terdiri dari cincin aromatik menyatu dan tidak mengandung heteroatom atau membawa substituen.

Pterocarpus indicus: dikenal dengan nama angsana yang tumbuh liar di rawa-rawa pantai, di sepanjang aliran sungai pasang surut

S

Semi volatile:

Shorea belangeran: pohon tengkawang Shorea teysmaniana: meranti jawa. Smoldering:

Solid: padatan

Surface Run Off: suatu aliran yang mengalir di atas permukaan menuju sungai, danau, atau laut yang disebabkan curah hujan melebihi laju infiltrasi.

Suspended Particulate Matter (SPM): merupakan campuran dari debu dan terdiri dari Kalium, Cadmium, Air Raksa dan logam berat lainnya. Apabila terhisap dalam jumlah besar dapat menyebabkan batuk, pusing, mual dan iritasi pada saluran pernafasan. SPM bisa diemisikan ke udara karena pemakaian energi. T

Tetramerista glabra: punak

Total Suspended Particulate (TSP): Trigger:

U

United States Evironmental Protection Agency (US-EPA): sebuah lembaga pemerintah Amerika Serikat yang bertugas melestarikan lingkungan hidup.

W

Gambar

Tabel 1. Indeks Standar Pencemaran Udara di Indonesia
Tabel 2. Pengaruh polutan asap kebakaran pada sistem pernapasan dan organ lain
Gambar 1. Skema kerangka konsep penelitian
Tabel 3. Laporan pemantauan kualitas udara tahun 2014 tahap I
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga berdampak pada selisih temperatur menjadi meningkat maka laju pembuangan panas mesin pada radiator dengan kondisi pembebanan Air Conditioner lebih tinggi

Konsep inilah yang sebenarnya melahirkan fikir dan dzikir menjadi satu arah, dan menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabat manusia, baik

Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan sejarah. 1) penelitian dengan pendekatan sejarah lebih banyak

Pada penelitian ini penulis menggunakan metode dokumentasi untuk memperoleh data dan nama-nama mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri angkatan

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd) pada Program Studi Pendidikan Olahraga..

Teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut dipandang sebagai bagian yang langsung

Gambar 2 memperlihatkan beberapa bentuk sistem EBF yang umum digunakan (AISC, 2005). Sistem EBF dapat menggabungkan masing-masing keuntungan dari kedua sistem struktur

[r]