• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA. pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA. pdf"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA

1 oleh Djuni Pristiyanto2

Pencapaian PRB dengan Landasan HFA

Bangsa-bangsa di dunia memandang bangsa Indonesia unggul dalam upaya penyelenggaraan penanggulangan bencana (PB), khususnya di bidang pengurangan risiko bencana (PRB). Maka dari itu tidak heran apabila Sekretaris Jenderal Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki Moon mengumumkan pemberian ―Penghargaan Tokoh Dunia Bidang

Pengurangan Risiko Bencana (Global Champion for Disaster Risk Reduction)‖ kepada Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (Presiden SBY) di Jenewa dalam acara Global

Platform for Disaster Risk Reduction Third Session di Jenewa, Swiss pada tanggal 10 Mei

2011. Di bawah kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia dinilai oleh PBB telah mencapai kemajuan yang luar biasa dalam PRB. Penghargaan tersebut diharapkan juga akan memacu percepatan upaya pengurangan bencana di dunia.

Pencapaian penting dalam PRB ini menurut Presiden SBY sangat erat berkaitan dengan ―Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005 – 1015: Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadap Bencana (Hyogo Framework for Action 2005 – 2015: Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters / HFA)‖. Hal itu khususnya diutarakan oleh Presiden

SBY dalam pembukaan ―Konferensi Tingkat Menteri se-Asia untuk Pengurangan Risiko Bencana Ke-5 (Fifth Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction) – AMCDRR Ke-5 di Yogyakarta pada tanggal 22 – 25 Oktober 2012 dengan dihadiri oleh 2600 peserta dari 72 negara, yang termasuk di dalamnya dua kepala negara dan 25 menteri. Pre siden SBY menyampaikan dalam kata sambutannya, ―Sungguh merupakan suatu kehormatan bagi Indonesia dipilih sebagai tuan rumah bagi penyelenggaraan Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction kali ini. Penyelenggaraan konferensi ini mempunyai arti penting bagi Indonesia yang sedang membangun kemampuan nasional di bidang penanggulangan bencana, sekaligus merupakan tantangan untuk bekerja lebih keras dalam pengurangan risiko bencana.‖

Presiden menyampaikan, ―Bersama dengan banyaknya bencana alam yang menimpa banyak negara, pengurangan risiko bencana menjadi semakin penting. Saya mengikut-sertakan kepentingan yang besar dalam upaya-upaya meningkatkan kapasitas PRB untuk meminimalisir kerentanan dan risiko bencana. Dalam kasus Indonesia, ini juga sangat penting untuk membantu memastikan keberlanjutan upaya-upaya pengembangan.‖

Menurut Presiden sebagai titik referensi utama dalam pelaksanaan agenda PRB adalah HFA 2005-2015. Lewat implementasi kerangka kerja tersebut Indonesia telah mengambil beberapa langkah-langkah untuk mempromosikan PRB, yaitu membuat PRB sebagai prioritas nasional dari strategi penanggulangan bencana, dan mengikutsertakan dalam strategi ini skema-skema untuk miningkatkan ketangguhan dan kemitraan di tingkat nasional, regional, dan global.

Indonesia berada di wilayah yang sangat rentan bencana, oleh karena itu sangat penting ke upaya-upaya dalam merealisasikan visi: ―Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana‖. Bahkan menurut Laporan Kebencanaan Dunia 2012, lebih dari seratus wilayah di

1

Sebagai masukan kepada Riset Target dan Indikator PRB dalam SDGs yang dilakukan oleh SCDRR II UNDP pada awal April 2015.

2

(2)

2 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Asia rentan akan bencana alam. Ketika bencana alam menghantam, penduduk lokal yang pertama dan paling menderita. Pemerintah daerah yang pertama harus turun-tangan menghadapi masalah-masalah yang timbul akibat bencana. Benarlah bahwa sebelum pemerintah pusat dapat mengulurkan bantuan, pemerintah daerah yang harus menanggapi terlebih dahulu. Maka dari itu, penting untuk memperkuat kapasitas PRB mereka.

Dalam pidato kuncinya Presiden SBY memaparkan enam (6) buah kiat untuk melaksanakan PRB sehingga bangsa Indonesia mendapatkan penghargaan tingkat internasional tersebut antara lain:

1. Ketangguhan lokal dapat diperoleh melalui pengembangan desa tangguh.

2. Partisipasi dari beragam pemangku kepentingan adalah penting untuk kapasitas daerah untuk PRB.

3. Kapasitas manusia dan teknis di tingkat daerah harus dikembangkan. 4. Keuangan adalah penting dalam mencapai kapasitas daerah untuk PRB.

5. Harus ada perpaduan antara kapasitas nasional dan lokal. Rencana aksi nasional harus memperkuat rencana aksi lokal. Ini harus membantu aktor lokal mengembangkan program-program daerah PRB.

6. Mengintegrasi PRB skala-kecil dan inisiatif adaptasi perubahan iklim (climate change adaptation—CCA) ke dalam proses pengembangan daerah. Penting juga untuk mengintegrasikan PRB lokal dan inisiatif CCA ke dalam perencanaan pengembangan nasional.

Regulasi Pendukung Implementasi HFA

Dasar hukum paling kuat impelemtansi HFA di Indonesia adalah keikutsertaan Indonesia dalam ―Konferensi Sedunia tentang Pengurangan Risiko Bencana (World Conference on Disaster Reduction / WCDRR) yang diselenggarakan pada bulan Januari 2005 di Kobe, Hyogo, Jepang. Pemerintah Indonesia terlibat aktif dan ikut meratifikasi hasil Konferensi ini, yaitu HFA 2005-2015 bersama dengan 168 negara dan aktor-aktor lainnya. Dalam jangka 2005-2015 diharapkan akan dicapai adanya penurunan secara berarti hilangnya nyawa dan aset-aset sosial, ekonomi dan lingkungan karena bencana yang harus dialami oleh komunitas dan negara.

Secara khusus tidak ada regulasi mengenai HFA di Indonesia. Hal-hal yang menjadi substansi dalam HFA sudah masuk dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU No. 24/2007) dan semua turunannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (PP No. 21/2008), Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (PP No. 22/2008), Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana (PP No. 23/2008) dan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perpres No. 8/2008). Pada tataran operasional telah diterbitkan peraturan pelaksanaannya oleh kementerian/lembaga terkait, seperti oleh Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Perikanan dan Kelautan, dan lain-lain.

(3)

3 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Geospasial (UU No. 4/2011), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (UU No. 7/2012), dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU No. 6/2014).

Perencanaan Pembangunan Berprespektif PRB

Optimalisasi pencapaian implementasi PRBdalam pembangunan nasional sangat tekait dengan terakomodasinya elemen-elemen PRB dalam perencanaan pembangunan nasional itu sendiri. Oleh karena itu, tersedianya berbagai program dan kegiatan pembangunan nasional yang mencerminkan implementasi PRB dalam rencana pembangunan nasional bisa menjadi indikator upaya pencapaian tujuan penanggulangan bencana di Indonesia. Adanya berbagai program dan kegiatan tersebut bisa memberikan kejelasan anggaran dan pelaksanaan pembangunan dalam mendorong pencapaian implementasi PRBdalam pembangunan nasional.

Dari 11 (sebelas) Prioritas Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, upaya penanggulangan bencana masuk pada Prioritas No. 9, yaitu Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana. Konservasi dan pemanfaatan lingkungan hidup mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang keberlanjutan, disertai penguasaan dan pengelolaan risiko bencana untuk mengantisipasi perubahan iklim. Dalam RPJMN 2015-2019 arah kebijakan nasional bidang penanggulangan bencana ditujukan kepada penguatan tata kelola penanggulangan bencana di pusat dan daerah pada seluruh tingkatan pemerintahan dan masyarakat termasuk perguruan tinggi, lembaga masyarakat dan lembaga usaha guna meningkatkan ketangguhan dalam menghadapi bencana.

Impelementasi pengintegrasian PRB ke dalam perencanaan pembangunan nasional mewujud dalam Renas PB. Renas PB merupakan komitmen dari pemerintah yang memuat upaya-upaya pengurangan risiko bencana yang efektif, penanganan kondisi tanggap darurat yang efisien dan upaya pemulihan yang tepat sasaran. Program -program kegiatan dalam Renas PB disusun berdasarkan visi dan misi penanggulangan bencana serta rencana tindakan yang harus diambil sesuai dengan manajemen risiko bencana. Selanjutnya turunan Renas PB adalah Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB).

Untuk memastikan terlaksananya perencanaan dan tindakan penanggulangan bencana, maka Renas PB diintegrasikan ke dalam RPJMN. Masing-masing Kementerian/Lembaga (K/L) memformulasikan isu penanggulangan bencana ke dalam Rencana Strategis (Renstra) dengan mengacu kepada program-program penanggulangan bencana dalam Renas PB. Selanjutnya perencanaan ini dijabarkan ke dalam implementasi tahunan K/L melalui Rencana Kerja (Renja). Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, Renas PB menjadi panduan dan referensi dalam perencanaan penanggulangan bencana yang terintegrasi dengan perencanaan pembangunan di daerahnya.

(4)

4 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Pada tanggal 19 Februari 2010 di Museum Nasional, Jakarta dalam acara ―Peluncuran

Renas PB 2010-2014 dan RAN PRB 2010-2012: Pengurangan Risiko Bencana sebagai

Investasi Pembangunan Berkelanjutan‖, Kepala Bappenas, Prof. Dr. Armida Salfiah Alisjahbana, SE, ME., mengatakan dalam kata sambutannya, ―Dokumen Renas PB dan RAN

PRB disusun sebagai bentuk komitmen pemerintah dan seluruh stakeholders terhadap upaya terpadu di dalam penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana di Indonesia dalam konteks jangka menengah. Keseriusan pemerintah yang berdimensi pengurangan risiko bencana adalah dengan dimasukkannya PRB dalam RPJMN 2010-2014 dimana penanggulangan bencana telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas

pembangunan nasional, khususnya Prioritas Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana.‖

Namun, pekerjaan menyusun Renas PB dan RPB tidak akan pernah selesai, karena dokumen-dokumen tersebut harus selalu diperbarui setiap 5 tahun. Mekanisme pembaharuan setiap 5 tahun dinilai cukup efektif karena selaras dengan pola RPJP, RPJM dan RKP sehingga pengurangan risiko bencana dapat diarusutamakan ke dalam rencana kerja pembangunan, baik di tingkat tahunan, menengah dan panjang di tingkat nasional maupun di provinsi dan kabupaten/kota.

Sebagai salah satu prasyarat penyusunan dokumen Renas PB adalah adanya analisis risiko bencana. Untuk mengetahui secara rinci tingkat kerawanan daerah di wilayah Indonesia, BNPB telah melakukan penilaian tentang Indeks Kerawanan Bencana Indonesia pada 2009 yang diperbaharui dengan Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI) pada 2011. Pada tahun 2013 BNPB meningkatkan analisis dari Indeks Rawan Bencana Indonesia menjadi Indeks Risiko Bencana Indonesia. Risiko bencana merupakan penilaian kemungkinan dari dampak yang diperkirakan apabila bahaya (hazard) itu menjadi bencana. Dengan demikian perhitungan ini ditekankan pada potensi kemungkinan dan besarnya dampak yang diukur dari keterpaparan (exposure) dari setiap bahaya dan gabungan dari beberapa bahaya yang ada (multi hazards). Jadi apabila kerawanan yang lalu dihitung dari data korban/kerusakan yang tercatat (existing data) untuk setiap bencana, saat ini indeks risiko ini dihitung dari potensi kemungkinan korban dan dampak yang akan ditimbulkan dari suatu bencana. Dalam penilaian Indeks Risiko Bencana Indonesia ini telah menggunakan parameter-parameter bahaya, kerentanan dan kapasitas sebagai penghitungan risiko bencana.

Tujuan Indeks Risiko Bencana Indonesia antara lain untuk (1) Memberikan informasi tingkat risiko bencana tiap-tiap kabupaten/kota di Indonesia sesuai dengan bahaya yang dimiliki dan gabungan dari bahaya tersebut, (2) Memberikan gambaran perbandingan tingkat risiko dari suatu daerah dibandingkan dengan daerah yang lain, dan (3) Melakukan analisis sebagai dasar dari kebijakan kelembagaan, pendanaan, perencanaan, statistik, dan operasionalisasi penanggulangan bencana.

Berdasarkan IRBI 2013, dari 33 provinsi di Indonesia ada 30 provinsi dengan risiko bencana tinggi (Sulawesi Barat, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan,Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Bengkulu, Gorontalo, Kalimantan Timur, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jambi, Jawa Timur, Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, D.I. Yogyakarta, Banten, Sumatera Barat, Papua Barat, dan Bali) dan ada 3 provinsi dengan risiko bencana sedang (Papua, Kalimantan Selatan, dan DKI Jakarta). Sementara itu dari 497 kabupaten/kota di Indonesia ada 388 kabupaten/kota (78%) memiliki indeks risiko bencana tinggi.

Kelembagaan Penanggulangan Bencana

(5)

5 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Daerah (BPBD). Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota). Pembentukan BNPB mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perpres No. 8/2008). Sedangkan pembentukan BPBD secara operasional mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Permendagri No. 46/2008) dan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Perka BNPB No. 3/2008).

Belum dibentuknya BPBD di tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia karena disebabkan adanya perbedaan antara Permendagri No. 46/2008 dengan Perka BNPB No. 3/2008. BNPB mewajibkan pada semua kabupaten/kota untuk membentuk BPBD, sedangkan menurut

Mendagri pada kabupaten/kota ―dapat‖ membentuk BPBD. Kata ―dapat‖ ini berarti bahwa kabupaten/kota bisa membentuk BPBD atau tidak membentuk BPBD. Pembentukan BPBD di kabupaten/kota menurut Mendagri disesuaikan dengan kemampuan yang khas dari masing-masing kabupaten/kota tersebut. Bagi kabupten/kota yang tidak membentuk BPBD maka fungsi-fungsi PB akan dijalankan oleh satuan kerja yang ada, misalnya pada Dinas Kesbanglinmas.

Di samping BNPB dan BPBD dibentuk pula Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC PB) di tingkat nasional. SRC PB ini terdiri dari SRC Wilayah Barat yang berkedudukan di Jakarta dan SRC Wilayah Timur yang berkedudukan di Malang JawaTimur. SRC PB merupakan stand by force yang dibentuk atas arahan Presiden RI yang disampaikan pada Sidang Kabinet Indonesia Bersatu II tanggal 5 November 2009. Stand by force ini beranggotakan tim medis, tim penanganan listrik, tim komunikasi, tim gerak cepat. Satuan yang melibatkan personil TNI dan Polri ini didukung pesawat jenis Hercules C-130, Be-200, dan CN 235 sehingga mobilitas ke lokasi bencana dapat dilakukan dengan sangat cepat atau dalam hitungan jam.

Kecepatan menjadi prinsip utama karena penyelamatan dini memberikan harapan lebih banyak nyawa manusia tertolong. Profesional dimaksudkan bahwa setiap personel SRC PB yang diterjunkan ke lokasi bencana telah memiliki standar kompetensi yang berlaku dengan mengutamakan keselamatan, sedangkan fleksibilitas mengacu pada pelayanan yang konsisten dan disesuaikan dengan kondisi yang ada dalam mengelola kejadian bencana di lokasi, tanpa memandang faktor penyebab, ukuran, lokasi, dan kompleksitas bencana. Dan terakhir, akuntabilitas menunjukkan bahwa operasi lapangan dilakukan dengan transparan, tindakan yang dilaksanakan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.

Selain itu UU No. 24/2007 juga mengamanatkan untuk membentuk sebuah mekanisme forum PRB. Forum PRB merupakan forum multi-pihak yang melibatkan pemerintah, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, para dan pemangku kepentingan lainnya. Ini menjadi wadah sosialisasi dan peningkatan kesadaran akan isu PRB, memfasilitasi pengarusutamaan PRB ke dalam pembangunan, serta berfungsi sebagai forum koordinasi dan berbagi data/informasi antar pihak dalam melaksanakan kegiatan PRB. Forum PRB ini dapat juga berfungsi sebagai pengawas kegiatan-kegiatan PRB.

(6)

6 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Di Indonesia Forum PRB dibentuk di tingkat nasional (disebut Platform Nasional PRB atau Planas PRB), provinsi, kabupaten/kota dan forum tematik. Forum PRB tematik dibentuk sesuai dengan kebutuhan dasar para pendukungnya atau berbasis bahaya bencana yang sama, seperti Forum Perguruan Tinggi untuk PRB (FPT PRB), Forum Gunung Merapi, Forum Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo (Forum Bengawan Solo), dan lain-lain. Hingga pertengahan bulan Mei 2014 sudah terbentuk satu forum di tingkat nasional, 17 forum di tingkat provinsi, 25 forum di tingkat kabupaten/kota, dan 17 forum tematik.

Forum PRB di tingkat provinsi antara lain di DIY, Sumbar, NTT, Bengkulu, Aceh, Sumut, Sulteng, Sulut, Sulsel, Sultra, Bali, Jateng, Papua, Kaltim, Jabar, Jatim, dan DKI Jakarta. Forum PRB di tingkat kabupaten/kota antara lain di Kab. Lombok Timur, Kota Banda Aceh, Kab. Manggarai, Kab. Aceh Utara, Kota Tomohon, Kab. Cilacap, Kepulauan Sumbawa, Kota Bima, Kab. Bima, Kab. Dompu, Kab. Cianjur, Kab. Sukabumi, Kab. Nabire, Kota Jayapura, Kab. Bantul, Flores Raya, Kab. Pesisir Selatan, Pasuruhan, Lumajang, Malang, Mojokerto, Lamongan, Bojonegoro, Trenggalek, dan Tulungagung. Sedangkan Forum PRB tematik antara lain Forum Guru PRB Kabupaten Simeulue, Forum Multipihak DAS Ciliwung-Cisadane "Save Our Jakarta", Forum Pengelolaan DAS Multi Pihak Provinsi Sumatera Barat, Forum Gunung Merapi, Forum Gunung Slamet, jAnGkAr KeLuD - Jangkane Kawula Redi Kelud, Forum Perguruan Tinggi untuk PRB, Forum DAS Bengawan Solo di Jateng dan Jatim, Forum Gunung Kelud, Forum DAS Benanain, Jaringan Kemitraan Penanggulangan Bencana atau Disaster Resource Partnership National Network for Indonesia, PASAG Merapi, Forum DAS Brantas di Jawa Timur, Forum Mahasiswa Penanggulangan Bencana IPB, Forum Mahasiswa Penanggulangan Bencana ITS, Forum Mahasiswa Penanggualngan Bencana UNILA, dan Forum Mahasiswa Penanggualngan Bencana UNAND.

Pendanaan Penanggulangan Bencana

Pasal 6 huruf e dan huruf f UU No. 24/2007 menjelaskan tentang tanggung jawab pemerintah pada bidang pendanaan penanggulangan bencana, yaitu pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memadai serta pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai. Sementara itu di tingkat pemda diatur dalam Pasal 8 huruf d, yaitu pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang memadai.

Di bidang pendanaan PB diatur secara khusus melalui PP No. 22/2008. Pada Pasal 4 PP No. 22/2008 menyebutkan bahwa (1) Dana PB menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah (budget sharing), (2) Dana PB berasal dari APBN, APBD, masyarakat. Dalam pendanaan PB ini dikenal adanya dana kontijensi, dana siap pakai (on call), dan dana bantuan sosial berpola hibah.

Dana kontinjensi bencana disediakan dalam APBN untuk kegiatan kesiapsiagaan pada tahap prabencana. Dana siap pakai disediakan dalam APBN yang ditempatkan dalam anggaran BNPB untuk kegiatan pada saat tanggap darurat. Pemerintah daerah dapat menyediakan dana siap pakai dalam anggaran PB yang berasal dari APBD yang ditempatkan dalam anggaran BPBD. Dana siap pakai harus selalu tersedia sesuai dengan kebutuhan pada saat tanggap darurat. Dana bantuan sosial berpola hibah disediakan dalam APBN untuk kegiatan pada tahap pascabencana (rehabilitasi dan rekontruksi).

(7)

7 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

melalui BNPB menjadi Rp1.045 milyar di tahun 2013. Dana APBN itu tersebar di 37 K/L yang mempunyai program-program PB. Untuk upaya tanggap darurat disediakan dana siap pakai (on call) sebesar Rp4 triliun yang disimpan di Kementerian Keuangan tapi apabila sewaktu-waktu dibutuhkan maka BNPB dengan persetujuan DPR dapat mencairkannya.

Kekurangan utama dari pendanan PB di atas adalah masih berasal dari APBN sedangkan pendanaan dari APBD masih sangat kecil. Secara nasional, rata-rata setahun terdapat Rp12,5 triliun anggaran yang tersebar di 37 K/L untuk PB, sedangkan di BNPB hanya Rp1,34 triliun per tahunnnya. Di sisi lain, kebutuhan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di seluruh Indonesia memerlukan biaya sekitar Rp30 triliun, sedangkan ketersediaan dana cadangan PB hanya Rp4 triliun. Sementara itu rata-rata anggaran di BPBD provinsi hanya 0,38% dari APBD setempat, bahkan di APBD kabupaten/kota kurang dari 0,1% dari jumlah APBD.

Hal ini pada umumnya disebabkan oleh para pemangku kepentingan utama di daerah, misalnya para eksekutif, dan legislatif yang baru terbentuk, dan para penyedia pelayanan publik lainnya termasuk lembaga usaha belum mempunyai kepedulian dan komitmen yang memadai sehingga perlu upaya untuk meningkatkan kepedulian dan komitmen tersebut. Kondisi ini, akan menjadi tantangan berat karena untuk beberapa tahun ke depan ancaman bencana menunjukkan tren peningkatan.

Proses Pengukuran Kemajuan Pencapaian HFA

Pemerintah Indonesia, melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) rajin mengirimkan laporan implementasi HFA, antara lain:

1. Laporan perkembangan nasional implementasi HFA 2007-2009. 2. Laporan perkembangan nasional implementasi HFA 2009-2011. 3. Laporan perkembangan nasional implementasi HFA 2011-2013. 4. Laporan perkembangan nasional implementasi HFA 2013-2015.

Laporan perkembangan itu disampaikan kepada United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR). Dasar analisis untuk penyusunan laporan perkembangan tersebut adalah menggunakan perangkat ‗monitoring tools‘ yang akan mempermudah kegiatan peninjauan ini. Tujuan peninjauan itu antara lain untuk (1) Upaya sosialisasi HFA dan kebijakan turunannya baik dalam sistem maupun dalam Renas PB dan RAN PRB; (2) Untuk pengkajian atas kemajuan ‗mid term‘ pelaksanaan HFA; (3) Melihat hambatan dan peluang dalam pelaksanaan pengurangan risiko di Indonesia sebagai hasil implementasi pelaksanaan HFA; (4) mendapatkan gambaran atas pelaksanaan awal dari RENAS dan RAN PRB sebagai dokumen PB dan PRB yang telah disyahkan oleh pemerintah; dan (5) Menyusun laporan perkembangan periode yang bersangkutan untuk disampaikan kepada Sekretariat UNISDR.

(8)

8 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

Alur dan mekanisme pembahasan kajian HFA ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Sumber: Planas PRB, 2010, Kerangka acuan penilaian pelaksanaan HFA.

Contoh pembahasan adalah sebuah acara yang bertajuk ―Focus Group Discussion (FGD) Pengkajian Kemajuan PRB: Pelaksanaan PRB 2007-2009‖ pada tanggal 8 Mei 2009 di Jakarta. Peserta FGD ini mencapai 45 orang yang berasal dari unsur pemerintah, LSM nasional, LSM internasional, badan PBB, sektor swasta, perguruan tinggi dan media massa. Ir. Sugeng Triutomo, DESS., Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Periode 2008-2014 dalam kata sambutannya mengutarakan, ―Pada bulan Agustus 2008 telah dilakukan evaluasi pelaksanaan PRB. Berdasarkan hasil-hasil evaluasi itu digunakan sebagai dasar untuk evaluasi pertemuan hari ini, yaitu untuk memperbarui informasi mengenai pelaksanaan PRB dan melihat/menilai tahun 2009 apakah ada kemajuan serta pandangan ke depan. Hasil-hasil evaluasi pelaksanaan PRB secara keseluruhan akan disampaikan dalam acara Global Platform for Disaster Risk Reduction pada 16-19 Juni 2009 di Jenewa, Swiss.‖

Sugeng Triutomo menekankan, ―Kita akan melaporkan secara apa adanya pelaksanaan PRB di Indonesia. PRB yang dijalankan oleh semua pemangku kepentingan. Dalam pertemuan di UNISDR, ada negara-negara yang melaporkan pelaksanaan PRB-nya dengan nilai 5 dari skor 1-5. Nilai 5 adalah nilai sempurna, lalu setelah nilai 5 terus apa lagi?‖

Kajian ini dilakukan dengan diskusi-diskusi terfokus. Peserta FGD dibagi menjadi 5 kelompok untuk melakukan diskusi terfokus dengan topik dari lima prioritas PRB sesuai HFA. Kelompok diskusi itu antara lain:

1. Kelompok 1: Prioritas-1: Menjadikan PRB sebagai prioritas nasional maupun daerah yang penerapannya dilaksanakan oleh institusi yang kuat.

2. Kelompok 2: Prioritas-2: Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta menerapkan sistem peringatan dini.

3. Kelompok 3: Prioritas-3: Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan.

(9)

9 IMPLEMENTASI HFA DI INDONESIA oleh Djuni Pristiyanto

5. Kelompok 5: Prioritas-5: Memperkuat kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana pada semua tingkatan masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif.

Sebagai dasar evaluasi pelaksanaan PRB di Indonesia menggunakan format dari UNISDR yang sudah baku. Dalam pelaksanaan diskusi kelompok ada kesulitan-kesulitan seperti nasional-daerah, kedalaman, indikator pengukuran dan lain-lain. Hal itu disebabkan karena template yang sudah standar UNISDR dan berlaku internasional, sedangkan untuk evaluasi tersebut berlaku secara spesifik di Indonesia. Untuk evaluasi ke depan diharapkan ada masukan-masukan dari Indonesia mengenai template evaluasi PRB itu agar lebih sesuai dengan kondisi Indonesia.

Tantangan dalam Mengimplementasikan HFA

Ada tantangan-tantangan dalam mengimplementasikan HFA, seperti:

 Kesepakatan sinergi pendanaan implementasi Renas PB dan RAN-PRB yang akan ditindaklanjuti dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahunan.

 Sistem pendanaan terobosan untuk implementasi PRB, seperti melalui DAK-PRB dan Asuransi Risiko Bencana perlu diupayakan.

 Alokasi dana untuk PRB dalam APBN baru sekitar 0,17%, komitmen global untuk sedikitnya 1% APBN dialokasikan untuk PRB memerlukan komitmen penuh pemerintah.

 Sifat implementasi PRB yang multi-pihak dan multi-sumberdaya, perlu dipantau implementasinya, untuk mengawal implementasi komitmen dari Pemerintah, Pemda, dan para pemangku kepentingan lainnya.

 Meningkatkan peran koordinasi BNPB dalam mengawal implementasi RAN PRB yang melibatkan K/L terkait, dengan Pemda, serta donor/LSM terkait.

 Implementasi HFA masih terkesan elitis pada kalangan pemerintah pusat (khususnya di BNPB dan Bappenas), kalangan pemerintah daerah tertentu yang sering terpapar dengan kegiatan-kegiatan PRB (misalkan di Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Aceh), lembaga-lembaga non pemerintah internasional, lembaga PBB, lembaga non pemerintah tingkat nasional dan provinsi. Di tingkat pejabat pemerintah daerah masih balum banyak tahu tentang apa itu HFA.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengananlisis dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh kegiatan wisata terhadap pendapatan masyarakat di Pulau Tidung dengan sasaran yang

Sasaran 11.b: sampai dengan tahun 2020, meningkatkan sampai x% jumlah kota dan permukiman manusia yang mengadopsi dan mengimplementasikan kebijakan dan rencana terpadu menuju

Dikarenakan proses penyeleksian yang masih manual, sehingga kurang optimal dan memerlukan waktu yang cukup lama baik dalam menyusun laporan dan memutuskan calon

Kombinasi antara verba dengan preposisi dalam linguistik disebut dengan istilah kolokasi frasa verbal. Kolokasi ialah asosiasi yang tetap antara kata dengan kata lain yang

Bagi pembaca, sebagai informasi data secara tidak langsung mengenai kesenian Surak Ibra, sekaligus sebagai motivasi awal untuk menindak lanjuti penelitian ini

Dalam paper ini dikaji model VaR Cotribution yang dapat dipergunakan untuk memperlihatkan kontribusi VaR untuk faktor-faktor risiko berbeda, dan juga untuk menghitung

Diantara urusan-urusan kesedjahteraan buruh jang diserahkan itu jang perlu men­ dapat prioritet untuk diatur lebih landjut ialah soal pemberian bantuan kepada badan-badan

untuk membuktikan bahwa alat dapat bekerja dengan maksimal maka di perlukan pengujian terhadap berapa banyak katub yang berputar selama 1 menit pada jadwal makan pagi, makan