• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGETAHUI TINGKAT PENCEMARAN TANAH DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MENGETAHUI TINGKAT PENCEMARAN TANAH DAN"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

KESEHATAN LINGKUNGAN KERJA

MENGETAHUI TINGKAT PENCEMARAN TANAH DAN PENGOLAHAN LINDI PADA TEMPAT PEMROSESAN AKHIR

GUNUNG KUPANG BANJARBARU

D o s e n : Prof. Dr. Qomariyatus S, Amd. Hyp.,

ST., Mkes.

NIP. 19780420 20050 1 002

Rd. Indah Nirtha Nilawati NPS, ST., M.Si

NIP. 19730507 1999802 1 001

D i s u s u n O l e h :

Adhe Permana H1E113221

Dwi Aprilia Fazriati H1E113211 Luthfi Nur Rahman H1E113029 Muhammad Rizkyanto H1E113217

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARBARU

(2)

ii

(3)

iii

HALAMAN PENGASAHAN Observasi Lapangan

MENGETAHUI TINGKAT PENCEMARAN TANAH DAN PENGOLAHAN LINDI PADA TEMPAT PEMROSESAN AKHIR GUNUNG KUPANG

BANJARBARU

Disusun Oleh :

Adhe Permana (H1E113221) Dwi Aprilia Fazriati (H1E113211) Luthfi Nur Rahman (H1E113029) Muhammad Rizkyanto (H1E113217)

Banjarbaru, November 2015 Telah Diperiksa dan Disetujui

Dosen Mata Kesehatan Lingkungan Kerja

Prof. Dr. Qomariyatus S. Amd., Hyp., ST., Mkes

NIP. 19780420 20050 1 002

Dosen Mata Kesehatan Lingkungan Kerja

Rd. Indah Nirtha Nilawati NPS, ST., M.Si

NIP. 19730507 1999802 1 001

Mengetahui,

Ketua Prodi Teknik Lingkungan,

(4)

iv

2.3 Pengertian Pencemaran ……….. 10

2.4 Pencemaran Tanah ………. 10

BAB III ………. 17

3.1 PendekatanPenelitian ………. 17

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……… 17

3.3 Subjek Penelitian ……… 18

3.4 TeknikPengumpulanData ………... 18

3.5 PengambilanSampel ………... 18

(5)

v

DAFTAR TABEL

(6)

vi

DAFTAR GAMBAR

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas taufik dan hidayah-Nya maka usaha–usaha dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Kesehatan Lingkungan Kerja, penulis dapat terselesaikan sesuai harapan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. Qomariyatus S, Amd. Hyp., ST., Mkes dan Rd. Indah Nirtha Nilawati NPS, ST., M.Si, selaku dosen mata kuliah Kesehatan Lingkungan Kerja.

Saran dan kritik yang konstruktif tetap diharapkan serta akan dijadikan sebagai bahan perbaikan dan penyempurnaan Makalah “Mengetahui Tingkat Pencemaran Tanah dan Pengolahan Lindi Pada Tempat Pemrosesan Akhir Gunung Kupang Banjarbaru” penulis mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyusunannya. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Banjarbaru, November 2015

(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lingkungan yang bersih serta perilaku yang sehat merupakan faktor pendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang sehat. Depkes RI Tahun 2003 dalam Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan antara lain bahwa : (1). Kesehatan lingkungan diselenggarakan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, (2). Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, angkutan umum dan lingkungan lainnya, (3). Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air, tanah dan udara, pengamanan limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan, pengendalian vektor penyakit serta penyehatan atau pengamanan lainnya. Akan tetapi, permasalahan lingkungan tetap saja terjadi seiring dengan berkembangnya waktu. (Depkes RI, 2003).

Di Indonesia permasalahan lingkungan yang terjadi sudah cukup kompleks. Salah saunya yaitu permasalahan lingkungan yang diakibatkan dari pencemaran tanah. Banyak faktor penyebab terjadinya pencemaran tanah, salah satunya diakibatkan oleh sampah. Sampah merupakan sesuatu yang dianggap sudah tidak terpakai, namun bisa dimanfaatkan kembali jika diproses dengan benar. Semakin meningkatnya aktifitas masyarakat, maka akan semakin meningkat pula jumlah sampah yang dihasilkan serta diperparah dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang persampahan. Pengelolaan sampah adalah serangkaian kegiatan dimulai dari penumpukan, pengumpulan, pemindahan dan pengangkutan sampah hingga sampai ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) (Fidiawati dan Sudarmaji, 2009).

(9)

2

biasanya terjadi secara aerobik, dilanjutkan secara fakultatif, dan secara anaerobik apabila oksigen telah habis. Dekomposisi anaerobik akan menghasilkan cairan yang disebut leachate beserta gas. Leachate atau lindi adalah cairan yang mengandung zat pada teruspensi yang sangat halus dan hasil penguraian mikroba : biasanya terdiri atas Ca, Mg, Na, K, Fe, Khlorida, Sulfat, Phosfat, Zn, Ni, CO2, H2O, N2, NH3, H2S, Asam organik, dan H2. Lindi dapat pula mengandung mikroba patogen, logam berat dan zat lainnya yang berbahaya, tergantung pada kualitas dari sampah. Zat organik seperti khlorida sulit sekali berkurang sekalipun terjadi proses atenusi di dalam tanah (Slamet, 2002).

Dikhawatirkan akan semakin mencemari tanah disekitar TPA, maka air lindi perlu dikelola dan diolah terlebih dahulu agar ketika air tersebut dilepas di lingkungan bebas tidak lagi membahayakan ekosistem.. Oleh karena itu, penulis merasa perlu melakukan penelitian yang berjudul Mengetahui Tingkat Pencemaran Tanah dan Pengolahan Lindi Pada TPA Gunung Kupang Banjarbaru.

1. 2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian Mengetahui Tingkat Pencemaran Tanah dan Pengolahan Lindi Pada TPA Gunung Kupang Banjarbaru ini adalah :

1. Bagaimana tingkat pencemaran tanah akibat rembesan lindi pada TPA Gunung Kupang?

2. Bagaimana cara pengolahan lindi TPA Gunung Kupang ?

1. 3. Batasan Penelitian

Penelitian ini lebih ditekankan pada batasan masalah sebagai berikut : 1. Kandungan yang terdapat pada lindi

2. Pengolahan lindi di TPA 1. 4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

(10)

3

2. Mengetahui cara pengolahan lindi TPA Gunung Kupang.

1. 5. Manfaat Penelitian

(11)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah

2.1.1. Pengertian Tanah

Menurut peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa, tanah adalah salah satu komponen lahan, berupa lapisan teratas kerak bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik, kimia, biologi, dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.

Menurut Notohadiprawiro (2006) Tanah adalah gejala alam yang terjadi di lapisan permukaan daratan, membentuk suatu mintakat (zone) yang disebut pedosfer, tersusun atas massa galir tersusun dari pecahan dan lapukan batuan bercampur bahan organik. Pada pedosfer terjadi tumpang tindih dan saling tindak antar litosfer, atmosfer, hidrosfer dan biosfer, dengan demikian tanah dapat disebut gejala lintas batas antar berbagai gejala alam permukaan bumi.

Tanah dapat dimaksud sebagai campuran berbagai partikel mineral dan organik dengan berbagai ukuran dan komposisi. Partikel-partikel tersebut menempati kurang lebih 50% volume, sedangkan sisanya yang berupa pori – pori diisi oleh air dan udara (Suripin, 2004).

(12)

5

Sedangkan proses pelapukan kimia terjadi akibat pengaruh oksigen, karbondioksida, air (terutama yang mengandung asam atau alkali) dan proses-proses kimia yang lain. Jika hasil pelapukan tetap berada di tempatnya asalnya, maka tanah disebut tanah residual (residual soil) dan apabila tanah berpindah dari tempat asalnya disebut tanah terangkut (tranported soil) (Hardiyatmo, 2012).

2.1.2 Ekosistem Tanah

Tanah yang gembur umumnya, terdiri atas mineral padat, zat organik (5%), air dan ruang-ruang udara. Sifat-sifat inilah yang memungkinkan terjadinya interaksi antara litosfir, atmosfir, hidrosfir, dan biosfir. Kegemburan tanah ini memungkinkan penetrasi akar tumbuhan dan bersarangnya hewan, adanya aktifitas pertukaran antara oksigen dan karbondioksida (aerasi) diperlukan untuk kelangsungan hidup hewan tumbuhan. Dengan kadar oksigen dalam tanah yang mencapai 25% dapat dimanfaatkan oleh mikroba aerob untuk menguraikan zat-zat organik, akibatnya karbondioksida di dalam tanah menjadi lebih banyak dari pada di atmosfir.

Jenis dan jumlah zat organik dalam tanah tergantung dari suhu, oksigen, dan zat organik lainnya. Jenis tanah serta kandungannya juga menentukan kapasitas pertukaran ion, yang menjadi penting dalam proses terjadinya pencemaran tanah, terutama pencemaran zat kimia dan logam-logam. Di daerah tropis, di mana temperatur cukup tinggi memungkinkan proses proses penghancuran zat organik dapat berjalan lebih cepat dan apabila garam-garam hasil penguraian dapat mudah mengalir/masuk ke lapisan yang lebih dalam, maka tanah di daerah demikian menjadi tidak subur.

2.1.3 Struktur Tanah

(13)

6

Struktur tanah dapat dibagi dalam struktur makro dan mikro. Yang dimaksud dengan struktur makro/struktur lapisan bawah tanah yaitu penyusunan agregat-agregat tanah satu dengan yang lainnya. Sedang struktur mikro ialah penyusunan butir-butir primer tanah ke dalam butir-butir majemuk/agregat-agregat yang satu sama lain dibatasi oleh bidang-bidang belah alami. Menurut tipe dan kedudukannya dapat dibedakan tiga jenis struktur mikro, yaitu :

1. Yang berkondisi remah-lepas, dapat dilihat dengan jelas (tanpa alat pembantu) keadaannya tampak cerai berai, mudah digusur atau didorong ke tempat-tempat yang dikehendaki.

2. Yang berkondisi remah-sedang, tanah yang demikian kondisinya demikian cenderung tampak agak bergumpalan, keadaan ini akan tampak jelas apabila kita mengambil dan memperhatikan profil tanahnya, sususan lapisan-lapisan tanah tampak ada yang dalam keadaan agregasi atau berkumpulan dan terdapat pula yang porus berlubang-lubang begeronggong, memudahkan aliran air menerobos menyerap ke dalam lapisan-lapisan tanah sebelah bawah.

3. Kondisi lekat-lengket, tanah yang memiliki kondisi ini umumnya sangat bila dalam bentuk gumpalan dan amat berat apabila digali serta keras apabila diolah, lebih-lebih dalam keandaan kering gumpalan-gumpalannya sangat keras dan terdapat retakan-retakan, sedang dalam keadaan basah keadaannya sangat lengket.

2.2. Kesuburan Tanah

2.2.1. Pengertian Kesuburan Tanah

Kesuburan tanah merupakan faktor penting yang dibutuhkan tanaman untuk dapat bertahan hidup dan berproduksi dengan baik. Kesuburan tanah sangat ditentukan oleh ketersediaan dan jumlah hara yang ada di dalam tanah. Di lahan pertanian, kadar hara tanah merupakan fungsi dari bahan induk, iklim, topografi, organisme, vegetasi dan waktu (Erwiyono & Prawoto, 2008 dalam Niken Puspita Sari, 2013).

(14)

7

dengan kondisi yang baik dari segala sifat tersebut maka tanah subur akan dapat menyimpan serta dapat menyediakan unsur hara yang cukup untuk tanaman yang diusahakan.

Tingkat kesuburan yang dimaksud adalah kesuburan aktual tanah di lapangan. Dalam kaitan ini maka pemberian pupuk pada tanah lebih dianggap sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kesuburan tanah karena tanah yang ada di lapangan sudah memiliki unsur hara yang cukup. Tanah yang subur akan memiliki nilai status kesuburan yang tinggi, sehingga upaya pemeliharaan kesuburan akan dapat dilakukan denga mudah, sedangkan pada tanah kurus dengan tingkat kesuburan yang rendah akan memerlukan pemeliharaan yang lebih intensif (Soepadiyo, 2007).

2.2.2. Kerusakan Kesuburan Tanah

Kerusakan tanah secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu kerusakan sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Kerusakan kimia tanah dapat terjadi karena proses pemasaman tanah, akumulasi garam-garam (salinisasi), tercemar logam berat, dan tercemar senyawa-senyawa organik dan xenobiotik seperti pestisida atau tumpahan minyak bumi (Djajakirana, 2001). Terjadinya pemasaman tanah dapat diakibatkan penggunaan pupuk nitrogen buatan secara terus menerus dalam jumlah besar (Brady, 1990). Kerusakan tanah secara fisik dapat diakibatkan karena kerusakan struktur tanah yang dapat menimbulkan pemadatan tanah. Kerusakan struktur tanah ini dapat terjadi akibat pengolahan tanah. Penggunaan alat berat akan menggemburkan tanah dan membolak-balik tanah sampai kedalaman 20 cm. Namun, pada waktu yang bersamaan roda traktor menyebabkan terjadinya pemadatan tanah dan berbagai efek negatif lainnya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengolahan tanah yang berlebihan menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan struktur tanah (Larson and osborne, 1982 dalam A. Abas Idjudin, 2011).

(15)

8

pemasaman tanah sehingga populasi cacing tanah akan turun dengan drastis (Maet al., 1990).

2.2.3. Cara Pengelolaan dan Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah atau managing soils merupakan pembinaan dalam hal pengolahan tanah, pembinaan-pembinaan ini dimaksudkan agar para petani atau mereka yang menggunakan tanah dapat melakukan pengolahan-pengolahan tanahnya dengan baik agar kesuburan tanah, produktivitas tanah, pengawetan tanah dan air dapat terjamin, sehingga memungkinkan terlaksananya usaha-usaha di bidang pertanian dalam jangka waktu yang panjang dari generasi ke generasi dengan hasil-hasilnya yang dapat memenuhi harapan.

Ir. Pribadyo Sosroatmodjo L.A., dalam karya ilmiahnya ”Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah”, menyatakan bahwa pengertian pengolahan tanah secara baik adalah mencakup banyak tindakan yang bersifat agroteknis dan sudah pasti memiliki kaitan dengan aspek agro sosio ekonomis. Tetapi bagaimanapun, tindakan yang bersifat agroteknis akan lebih nyata karena langsung berurusan dengan aspek-aspek pengawetan (konservasi) tanah, pengaturan tata air dan drainase, pengolahan tanah, pergiliran tanaman (crop rotation) maupun pola usaha tani (cropping pattern) serta usaha mempertahankan kandungan tanah.

2.2.3.1Pengolahan Tanah Dengan Usaha Pencegahan Erosi

Erosi sangat berpengaruh pada kesuburan tanah. Banyak pengaruh yang akan ditimbulkan oleh erosi yaitu: terjadinya penghanyutan partikel-partikel tanah, perubahan struktur tanah, penurunan kapasitas infiltrasi dan penampungan, dan perubahan profil tanah.

Pengolahan yang dimaksud disini adalah pengolahan lahan kering.Kita mengetahui bahwa tanah yang gembur pada umumnya sangat mudah tererosi. Sehubungan dengan hal ini, untuk mencegah terjadinya erosi, maka dalam keadaan struktur dan porositas keadaan tanah masih baik, pengolahan tanah sebaiknya dipertimbangkan hal sebagai berikut:

(16)

9

b. Pengolahan tanah yang biasanya dikaitkan dengan maksud menghilangkan gulma atau rumput pengganggu seperti: Imperata cylindrica, Axonopus compressus, Cynodon dactylon dan lain-lain tanaman pengganggu lainnya sebaiknya dilakukan dengan usah pencabutan saja atau dengan melakukan herbisida (pnyemprotan denga bahan kimia), sebab dengan dilkakukannya pengolaha kembali dalam rangka penghilanga gulma, tanah itu akan menjadi lebih gembur lagi, sehingga demikian membantu terjadinya erosi apabila curahan butir butir air hujan menimpanya dan run off mulai berdaya untuk mengkut butir-butir kecil tanah (partikel) yang ringan (Kartasapoetra, 2005).

2.2.3.2 Pengolahan Tanah Dengan Cara Mekanik dan Vegetatif

Luasnya lahan terdegradasi akibat tidak terkendalinya aliran permukaan, erosi dan kehilangan unsur hara pada lahan berlereng dengan curah hujan tahunan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi dan pengolahan lahan tanpa menerapkan teknik-teknik konservasi tanah dan air (KTA) menyebabkan tingginya aliran permukaan dan erosi dan menghanyutkan top soil yang kaya akan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Hal ini menyebabkan kesuburan tanah mengalami penurunan dari waktu ke waktu (Pratiwi, 2013).

Usaha-usaha pengolahan tanah dengan jalan yang ditempuh yaitu dengan memperlambat run off dan menampung serta selanjutnya menyalurkan run off

dengan daya pengikisan tanahnya yang kurang, pengolahan tanah dengan atau dalam cara mekanik memang du arau dalam cara mekanik memang diperlukan. Termasuk dalam pengolahan cara mekanik menurut Sitanala Arsyad dalam “Pengawetan Tanah dan Air” yaitu:

a. Pengolahan Tanah (tillage), b. Pengolahan tanah menurut kontur, c. Galengan dan saluran menurut kontur d. Teras atau penyengkedan,

e. Perbaikan drainase dan pembangunan irigasi,

(17)

10

Sebenarnya tujuan dari semua itu untuk mengurangi terjadinya erosi. Karena pengikisan tanah laisan atas sangat bepengaruh dalam menurunkan tingkat kesuburan tanah (Kartasapoetra, 2005).

2.3. Pengertian Pencemaran

Menurut KBBI, Pencemaran adalah proses, cara atau perbuatan mencemari atau mencemarkan.

Menurut UU RI, Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup : Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Dalam hal ini lingkungan hidup yang dimaksud adalah tanah.

2.4 Pencemaran Tanah

2.4.1 Sumber Pencemar tanah

Menurut Sastrawijaya ( 2009 ) pencemaran tanah dapat terjadi karena 3 faktor, yaitu :

1. Pencemaran melalui udara, udara yang tercemar sebagai pemicu dari hujan yang mengandung zat pencemar, sehingga menyebabkan tanah akan tercemar.

2. Pencemaran langsung, misalnya pemakaian pupuk secara berlebihan, pemakaian pestisida dan insektisida yang berlebihan dan pembuangan limbah yang tidak dapat dicernakan seperti plastik.

3. Pencemaran melalui air, air yang memiliki unsur polutan seperti zat kimia berbahaya dapat merusak susunan kimia tanah sehingga mengganggu jasad biologis yang hidup di dalam atau permukaan dari tanah.

(18)

11

sampah. Air lindi yang mengandung bahan-bahan organik yang membusuk dan unsur – unsur logam berat (Himmah dkk, 2009).

Logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu) dan besi (Fe) yang terdapat dalam kandungan air lindi berasal dari sampah yang telah dibuang. Sumber sampah yang menghasilkan limbah timbal (Pb) yaitu seperti cat, kaleng dan baterai. Sumber sampah yang menghasilkan limbah tembaga ( Cu ) yaitu seperti alat – alat listrik, sedangkan umber sampah yang menghasilkan limbah besi (Fe) yaitu alat – alat yang berbahan dasar besi ( Himmah dkk, 2009 ). Kejadian terserapanya cairan lindi ke dalam tanah akan menyebabkan pencemaran tanah dan air tanah secara langsung (Tchobanoglus, 1993).

2.4.2 TPA (Tempat Pemrosesan Akhir)

Dalam Undang – undang Nomor 18 Tahun 2008, Tempat Pemrosesan Akhir adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.

Menurut Standar Nasional Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN), tempat pembuangan akhir (TPA) sampah ialah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah.

(19)

12 2.4.3. Lindi

Lindi merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan pencemar khususnya zat organik yang sangat tinggi. Lindi sangat berpotensi menyebabkan pencemaran air, baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu ditangani dengan baik. Lindi akan terjadi apabila ada air eksternal yang berinfiltrasi ke dalam timbunan sampah, misalnya dari air permukaan, air hujan, air tanah atau sumber lain. Cairan tersebut kemudian mengisi rongga-rongga pada sampah, dan bila kapasitasnya telah melampaui kapasitas tekanan air dari sampah, maka cairan tersebut akan keluar dan mengekstraksi bahan organik dan anorganik hasil proses fisika, kimia dan biologis yang terjadi pada sampah (Qasim, 1994).

Pola umum dari pembentukan lindi adalah sebagai berikut:

1. Presipitasi (P) jatuh di TPA dan beberapa diantaranya akan mengalami run off (RO)

2. Beberapa dari presipitasi itu menginfiltrasi (I) permukaan

3. Sebagai yang terinfiltrasi akan menguap/evaporates (E) dari permukaan dan atau transpires (T) melalui tumbuhan

4. Sebagian proses infiltrasi akan menyebabkan penurunan kandungan kelembaban dalam tanah

5. Sisa infltrasi setelah proses E, T dan S sudah mencukupi, bergerak kebawah membentuk suatu percolate (PERC) dan pada akhirnya akan membentuk lindi yang akan ditemui di dasar TPA.

Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi lindi: 1. Tipe material sampah yang dibuang ke TPA

2. Kondisi TPA meliputi pH, temperature, kelembaban, usia TPA dan iklim 3. Karakteristik presipitasi yang memasuki TPA

(20)

13

instalasi yang ada, apakah perlu adanya lokasi baru untuk instalasi agar sistem penyaluran air lindi dapat lebih efektif dan efisien, apakah instalasi yang ada masih mampu menampung debit air lindi dan mengolah air lindi yang dihasilkan dari TPA sehingga dapat diterima oleh saluran irigasi sebagai badan air penerima atau apabila instalasi lama sudah tidak dapat digunakan, maka harus dilakukan perencanaan baru instalasi pengolah air lindi.

Tujuan perencanaan instalasi pengolahan lindi antara lain: 1. Mengidentifikasi besarnya debit air lindi yang dihasilkan dari TPA 2. Mengidentifikasi kualitas air lindi TPA

3. Mengevaluasi kondisi instalasi pengolah lindi eksisting

4. Menganalisis dan merencanakan alternatif pengolahan air lindi serta mendesain instalasi pengolahan air lindi (Qasim, 1994).

Menurut Purwanta (2007), pengelolaan lindi merupakan bagian dari pengelolaan TPA secara keseluruhan. Pada dasarnya keberhasilan penanganan lindi dimulai sejak suatu lahan dipilih dan terus menerus sampai lahan itu ditutup karena penuh. Oleh karenanya usaha penaganan masalah lindi dapat dikelompokkan dalam beberapa tahap, yaitu :

 Tahap pemilihan lokasi.

 Tahap perancangan dan penyiapan site.

 Tahap lama masa pengoperasian.

 Tahap lama jangka waktu tertentu setelah TPA tidak digunakan lagi. Langkah awal dalam pengelolaan lindi adalah memperhatikan sistem lapisan bawah TPA (liners system). Tujuan dari sistem liners ini adalah untuk mencegah dan meminimalisasi penyerapan lindi ke lapisan tanah dibawahnya sehingga mencegah kontaminasi ke air tanah.

Secara umum, lindi terbentuk maka opsi pengelolaannya adalah : - Daur ulang

- Penguapan

- Diolah dan dibuang

(21)

14 2.4.4 Baku Mutu

Setiap polutan yang masuk ke dalam bagian tanah memiliki nilai Ambang Batas zat pencemar yang dapat di tolerir oleh alam, menurut Barchia ( 2009 ), Kadar logam berat sebagai pencemar dalam tanah dan tanaman, yaitu :

Unsur Kisaran Kadar Logam Berat (ppm)

Tanah Tanaman

Tabel 1. Kadar Logam Berat sebagai Pencemar

2.4.5 Kandungan Pb, pH, Zn, Cu, Fe

Penambahan unsur logam pada tanah dapat terjadi dengan bermaacam cara yaitu melalui polusi, penggunaan sarana produksi seperti pupuk, pestisida dan fungisida, sehingga menyebabkan kontaminasi logam – logam pada tanah dan atom 82 dan memiliki berat atom 207,2 (Palar, 2004).

(22)

15

terakumulasi dalam tubuh manusia akan menyebabkan kanker pada manusia (Widyasari, 2013). Kisaran kadar unsur Pb dalam tanah yaitu berkisar pada 2 – 200 ppm ( Barchia,2009).

2.4.5.2 Zn

Seng (Zn) adalah unsur hara mikro esensial bagi manusia, hewan dan tanaman tingkat tinggi. Daerah litosfer memiliki kandungan Zn sekitar 80 mg/kg. Berbagai mineral sebagai sumber utama yang memiliki komposisi Zn dalam tanah adalah sphalerite dan wurtzite (ZnS) dan sumber yang sangat kecil dari mineral mineral smithsonites dsb. Pada batuan magmatik, Zn tersebar merata dan kandungannya berbeda pada batuan asam dan basik yaitu dari 40 mg/kg dalam batuan granit dan 100 mg/kg dalam batuan basaltik (Lahuddin, 2007).

Dampak dari pencemaran Zn pada tanah sangat jelas terlihat pada tumbuhan, tanaman membutuhkan unsur Zn hanya dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan unsur hara makro. Efek toksik Zn pada tanah menyebabkan berkurangnya pertumbuhan akar tanaman dan pelebaran daun dengan indikasi klorosis atau bercak – bercak. Kadar Zn yang tinggi mengurangi serapan unsur P dan Fe pada tanaman (Lahuddin, 2007). Kisaran kadar unsur Zn dalam tanah yaitu berkisar pada 10 – 300 ppm ( Barchia,2009).

2.4.5.3 pH

pH larutan berpengaruh terhadap keterlarutan unsur logam berat. Kenaikan pH menyebabkan logam berat mengendap. Sebagian dari kapasitas pertukaran kation berasal dari muatan tetap dan sebagian lagi dari muatan terubahkan. Logam berat yang terserap akan lebih banyak atau lebih kuat sehingga mobilitasnya turun (Ernawan, 2010).

(23)

16 2.4.5.4 Cu

Tembaga dengan nama kimia cupprum disimbolkan dengan Cu. Unsur logam ini mempunyai bentuk seperti kristal dengan warna kemerahan. Pada tabel periodik unsur – unsur kimia, tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dan memiliki bobot molekul atau berat atom 63,546 (Palar, 2004).

Tembaga (Cu) adalah unsur yang berasal dari hasil pelapukan/pelarutan berbagai mineral yang terkandung didalam batuan, ada 10 jenis batu batuan dan 19 mineral utama yang mengandung Cu. Kandungan Cu dalam batuan berkisar 2 – 200 ppm, juga terdapat dalam mineral mineral lainnya berkisar 23 – 100%. Kadar Cu dalam tanah dapat bertambah melalui polusi yg terjadi akibat kegiatan industri tembaga, pembakaran batubara, pembakaran kayu, minyak bumi dan buangan di area pemukiman/perkotaan (Lahuddin, 2007).

Kelebihan kadar Cu dalam tanah yang melebihi nilai toleransi akan menjadi penyebab terjadinya keracunan khususnya pada tanaman. (Alloway, 1995). Kisaran kadar unsur Cu dalam tanah yaitu berkisar pada 2 – 100 ppm ( Barchia,2009).

2.4.5.5 Fe

Besi dengan simbol Fe. Pada tabel periodik unsur – unsur kimia, besi menempati posisi dengan nomor atom (NA) 26 dan memiliki bobot molekul atau berat atom 55,845.

(24)

17 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang akan menjadi penunjuk dalam penelitian ini dapat dilihat dari diagram alir berikut:

3.2 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian survei lapangan untuk mengetahui tingkat pencemaran tanah di TPA Gunung Kupang.

3.3 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di TPA yang terletak di daerah Gunung Kupang, Kecamatan Cempaka, Banjarbaru.

Studi literatur

Observasi Lapangan

Pengambilan sampel dan wawancara

Uji Laboratorium

Baku Mutu Parameter Melebihi Standar

(25)

18 3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu: Penelitian pertama : Rabu, 19 Oktober 2015 Penelitian kedua : Rabu, 2 November 2015

3.3 Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang dilakukan yaitu pada kebocoran air lindi di landfill yang masih aktif digunakan serta proses pengolahan air lindinya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan kelengkapan informasi yang sesuai dengan fokus penelitian maka yang dijadiakan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Teknik Wawancara

Wawancara dilakukan sebelum observasi berlangsung. Narasumber yang memberikan data pada saat itu adalah petugas di TPA tersebut.

2. Teknik Observasi

Teknik observasi dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran tanah dan proses pengolahan lindi di TPA.

3.5 Pengambilan Sampel 3.5.1 Alat

Alat yang digunakan pada pengambilan sampel yaitu: 1. Cetok

2. Wadah penyimpanan sampel 3. Sarung tangan

4. Masker

3.5.2 Prosedur Pengambilan Sampel

Langkah-langkah pengambilan sampel tanah, yaitu: 1. Menentukan titik lokasi pengambilan sampel. 2. Mengambil sampel tanah seberat minimal 1 kg.

(26)
(27)

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Hasil

Pengambilan sampel dilakukan di TPA Gunung Kupang pada Tanggal 19 Oktober 2015 Pukul 12.00 WITA. Sampel tanah yang diambil berasal dari sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran.

Parameter Uji Satuan

Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi

4.2.Pembahasan

4.2.1. Tingkat Pencemaran Tanah 4.2.1.1. Kadar Timbal (Pb)

Berdasarkan hasil analisa pada pemeriksaan laboratorium Kadar Pb di dapat dengan kadar 73,0746 ppm dengan metode pemeriksaan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Menurut Barchia (2009), kisaran kadar unsur Pb dalam tanah yaitu berkisar pada 2 – 200 ppm sehingga kadar Pb di wilayah sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang masih memenuhi standar.

4.2.1.2. Kadar Besi (Fe)

(28)

21

sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang tidak memenuhi standar.

4.2.1.3. Kadar Tembaga (Cu)

Berdasarkan hasil analisa pada pemeriksaan laboratorium Kadar Cu di dapat dengan kadar 9990,5259 ppm dengan metode pemeriksaan AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Menurut Barchia (2009), kisaran kadar unsur Pb dalam tanah yaitu berkisar pada 2 – 200 ppm, sehingga kadar Cu di wilayah sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang tidak memenuhi standar. sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang tidak memenuhi standar.

4.2.1.5. Kadar pH

Berdasarkan hasil analisa pada pemeriksaan laboratorium Kadar pH di dapat dengan kadar 8,49 dengan metode pemeriksaan pH meter. Menurut Henry (1996) Kisaran kadar pH dalam tanah yaitu berkisar pada 5 – 8, sehingga kadar pH di wilayah sekitaran cell penimbunan sampah yang mengalami kebocoran pada TPA Gunung Kupang tidak memenuhi standar.

4.2.2. Pengolahan Lindi

4.2.2.1.Kondisi Eksisting Pengelolaan Air Lindi Pada Timbunan Sampah di TPA

Unit pengolahan yang diterapkan dalam satu unit terdiri dari 3 kompartement dengan rincian peralatan, yaitu:

(29)

22

melalui proses sedimentasi dan filtrasi. Kegunaan koagulasi atau flokulasi yakni memudahkan partikel-partikel tersuspensi yang tidak dapat mengendap secara gravitasi dan sangat lembut (koloidal) di dalam air menjadi partikel yang dapat mengendap. Hal ini karena partikel tersebut lebih berat dan lebih besar melalui proses fisika-kimia dengan penambahan koagulan, sehingga dapat dihilangkan dengan proses sedimentasi dan filtrasi. Partikel yang termasuk tidak dapat mengendap adalah bakteri.

Proses koagulasi atau flokulasi adalah penambahan koagulan yang akan mengakibatkan pertikel-partikel yang tidak dapat mengendap saling mendekat dan membentuk flok-flok mikro (ukurannya lebih besar dari koloid asalnya). Ikatan partikel-partikel ini sangat lemah dan tidak nampak dengan mata biasa serta tetap tidak dapat mengendap. Pengadukan pelan-pelan akan menyebabkan flok-flok mikro mengumpul dan membentuk flok yang lebih besar dan relatif lebih berat yang akhirnya dapat dengan mudah diendapkan atau disaring. Pembentukan flok mikro pada proses koagulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,antara lain faktor fisika dan faktor kimia.

Pada pengelolaan di TPA gunung kupang tidak ada pembubuhan koagulan yang dilakukan sebelum masuk proses flokulasi.

2. Filtrasi (saringan sederhana pasir), filtrasi adalah proses pemisahan partikel padat dari campuran fluida (mis: fasa cair dengan driving force perbedaan tekanan sehingga mendorong fasa cair melalui lubang kecil dari suatu screen atau clots. Proses penyaringan air melalui media pasir atau bahan sejenis untuk memisahkan partikel flok atau gumpalan yang tidak dapat mengendap, agar diperoleh air yang jernih. Penyaringan adalah pengurangan lumpur tercampur dan partikel koloid dari air limbah dengan melewatkan pada media yang porous.

(30)

23

teroksidasi dan secara cepat akan membentuk lapisan endapan yang nantinya dapat dihilangkan melalui proses sedimentasi atau filtrasi.

4. Filtrasi (jaringan pasir dan ijuk, yang terpasang di dinding kompartemen) 5. Kolam Reservoir Akhir, Reservoir digunakan pada sistem distribusi untuk

meratakan aliran, untuk mengatur tekanan dan untuk keadaan darurat. 6. Filtrasi (jaringan pasir dan ijuk, yang terpasang di dinding kompartemen)

Unit pengelolaan air lindi terdiri dari beberapa komponen alat, terdiri dari kolam yang terdiri dari 3 kompartemen, alat filtrasi dan pompa aerasi.

a. Kolam yang terbuat dari bahan semen dan memanfaatkan gravitasi dalam pengalirannya.

b. Alat filtrasi, terdiri dari saringan yang dibentuk dari pipa-pipa yang didalamnya terdiri dari media penyaringan pasir dan ijuk.

c. Pompa aerasi, digunakan untuk mensuplai oksigen kedalam air lindi untuk mentreatment BOD dan COD yang berlebihan dalam air lindi tersebut.

4.2.2.2.Permasalahan Pengelolaan Air Lindi Sampah

Dalam pengelolaan air lindi yang dilakukan di TPA Gunung Kupang, permasalahan terdapat pada konstruksi bangunan dari operasional bangunan pengolahan air lindi. Untuk uraian permasalahan akan diuraikan sebagai berikut: 1. Pengumpulan air lindi hasil infiltrasi air hujan yang melalui cell penimbunan

sampah. Masalah ini didapatkan pada saat observasi keadaan sekitar TPA. Untuk parameter kebocoran cell digunakan parameter sungai sekitar dengan hasil didapatkan timbunan (rembesan) air lindi yang mengalir menuju sungai. 2. Drainase pengumpulan air lindi permukaan tanah. permasalahan yang terjadi

pada sistem drainase ini adalah tidak berjalannya aliran air akibat saluran yang tersumbat.

(31)

24 4.2.2.3.Pengelolaan Air Lindi Sampah

Pembahasan permasalahan pengelolaan air lindi akan dibahas sesuai masalah-masalah yang timbul hasil observasi lapangan:

1. Pengumpulan air lindi hasil infiltrasi air hujan yang melalui cell penimbunan sampah.

Masalah ini didapatkan pada saat obeservasi keadaan sekitar TPA. Untuk parameter kebocoran cell digunakan parameter tanah dengan hasil didapatkan rembesan air lindi yang menggenang di tanah sekitar timbunan (cell). Dugaan utama pada masalah ini adalah tidak adanya lapisan pelindung kedap air guna menahan infiltrasi air lindi melewati cell timbunan sampah yang dihasilkan. Lapisan pelindung berupa lapisan dasar kedap air berfungsi untuk mencegah terjadinya pencemaran lindi terhadap tanah maupun air tanah. Untuk itu maka konstruksi dasar TPA harus cukup kedap, baik dengan menggunakan lapisan dasar geomembrane/geotextile maupun lapisan tanah lempung dengan kepadatan dan permeabilitas yang memadai (< 10-6 cm/det). Lapisan tanah lempung sebaiknya terdiri dari 2 lapis masing-masing setebal 30cm. Adanya lapisan pelindung ini merupakan solusi yang baik untuk menanggulagi masalah ini.

Lapisan landfill liner merupakan lapisan perlindungan pertama sebelum masuk kedalam cell. Pemasangan landfill liner dilakukan ketika cell

belum diaktifkan (sampah belum masuk) menggunakan beberapa lapis liner

dan juga lindi collection dengan menggunakan kerikil. Sistem pelapis dasar ganda dapat berupa dua buah sistem liner tunggal, dua buah sistem liner

(32)

25

Komponen sistem pelapis dasar yang sering digunakan adalah:

 Tanah liat; digunakan untuk melindungi air tanah dari kontaminan yang dihasilkan landfill. Sebagai liner ketebalan tanah liat yang digunakan berkisar 0,5-1,5 m. penggunaan tanah liat yang dipadatkan dengan kelembaban yang tinggi lebih efektif daripada tanah liat yang didapatkan dengan kelembaban yang rendah memiliki resiko yang lebih besar untuk retak dan pecah sehingga memperbesar jumlah lindi yang meresap ke air tanah.

 Geomembran; dikenal dengan flexible membrane liner (FML). Jenis liner ini dibuat dari bermacam-macam material plastik termasuk polyvinyl chloride (PVC) dan high density polyethylene (HDPE). Jenis liner ini tahan terhadap sejumlah besar bahan kimia dan kedap air (impermeable). Di Ohio, HDPE geomembran harus memiliki ketebalan minimal 15 mm untuk landfill sampah kota. Geomembran dan geokomposit digunakan sebagai lapisan penghalang untuk mencegah masuknya lindi ke dalam air tanah. Salah satu jenis geomembran yang banyak digunakan adalah Carbofol. Carbofol merupakan jenis geomembran yang terbuat dari HDPE dan diproduksi dengan beragam ketebalan lapisan, yaitu 1,5 mm – 3 mm. Carbofol biasanya digunakan sebagai pelapis dasar untuk melindungi air tanah dari kontaminasi pencemar. Untuk melindungi air tanah biasanya digunakan Carbofol dengan ketebalan 1,5 mm bahkan lebih tipis lagi. Carbofol ini tahan lama dan tahan terhadap zat-zat kimia serta radiasi sinar- UV. Jenis Carbofol dengan permukaan seperti kaca memiliki kelebihan karena dapat memperlihatkan kebocoran yang terjadi sehingga dapat dilakukan perbaikan dengan segea. Selain itu

Carbofol juga mudah, cepat, dan efisien dalam pemasangan.

 Geotekstil; digunakan sebagai filter untuk mencegah masuknya material-material tanah ke dalam sistem drainase, dan juga untuk mengatur aliran dalam sistem drainase. Selain itu untuk melindungi geomembran dari kerusakan dan mencegah terjadinya penyumbatan pada sistem pengumpul lindi.

(33)

26

mm) yang berada diantara dua lapisan geotekstil. Liner ini lebih mudah digunakan daripada lapisan tanah liat yang tradisional. Salah satu jenis GCL adalah Bentofix yang merupakan kombinasi antara serat (fiber) dan mineral tanah liat. Memiliki angka permeabilitas yang sangat kecil yaitu 2 x 10-11, memiliki ketebalan 7 mm dengan ukuran bentangan tiap lembarnya 4,85 m x 40 m. Bentofix dapat dibentangkan 8% dari ukuran bentangannya dengan kekuatan regangan maksimal 20kN/m. Bentofix efektif sebagai penahan/penghalang terhadap cairan, uap, dan gas. Bentofix juga dapat digunakan sebagai lapisan pelindung pada tanah dan air tanah dari kontaminasi limbah.

 Geonet merupakan liner yang berupa jaring plastik seperti selimut drainase yang digunakan sebagai sarana drainase dan lapisan pengumpul lindi. Geonet membawa cairan lebih cepat daripada tanah dan kerikil. Salah satu jenis geonet adalah Secudrain. Secudrain terbuat dari Polypropylene terdiri atas 2-3 lapisan dan merupakan filter tiga dimensi yang stabil dan merupakan sistem drainase yang tahan terhadap tekanan tinggi. Secudrain terdiri dari monofilament kasar yang bergelombang dan lapisan nonwoven yang saling terkait dengan ikatan yang sangat kuat pada salah satu sisinya. Secudrain

memiliki angka permeabilitas yang tinggi, yaitu 1 x 10-1, dengan ketebalan 2,5 mm dan ukuran bukan pori-porinya 0,12 mm. Ukuran bentangan

Secudrain tiap lembarnya adalah 1,9/3,8m x 35.

Sistem pelapis dasar yang dianjurkan adalah dengan geosintetis atau Flexible Membran Liner (FML), geosintetis yang sering digunakan adalah:

 Geotekstil digunakan sebagai filter untuk mencegah masuknya material-material tanah ke dalam sistem drainase, dan juga untuk mengatur aliran dalam sistem drainase.

 Geonet digunakan sebagai sarana drainase.

(34)

27

Tanah liner yang dipilih mempunyai kemampuan adsorpsi, biodegradasi,

penukaran ion, pengenceran dan pengendapan. Contoh liner tersebut adalah:

 Natrium bentronit dan zeolit; bahan yang dapat mengurangi transport cemaran anorganik.

 Abu terbang berkarbon tinggi; bahan yang dapat menahan cemaran organik.

 Tanah liat dengan modifikasi kandungan organik; lebih efektif untuk menahan cemaran organik dengan berat molekul lebih tinggi.

Selain lapisan pelindung, untuk mengalirkan air lindi digunakan pipa-pipa yang disusun diatas lapisan pelindung dengan konstruksi memanfaatkan sifat air yang mengalir dari tempat tinggi menuju tempat yang rendah sebelum cell penimbunan sampah diaktifkan. Pipa jaringan pengumpul lindi didasar TPA berfungsi untuk mengalirkan lindi yang terbentuk dari timbunan sampah ke kolam penampungan lindi. Jaringan pengumpul lindi dapat berupa pipa PVC berlubang yang dilindungi oleh gravel. Tipe jaringan disesuaikan dengan kebutuhan seperti luas TPA, tinggi timbunan, debit lindi dan lain-lain.

Selain pemasangan landfill liner dan lindi collection, setelah beroperasi dan kapasitas cell sudah maksimal perlu adanya lapisan pelapis atas atau penutup

cell. Lapisan penutup ini biasanya disebut dengan nama caping system. Caping sytem sendiri merupakan sistem penutup cell yang terdiri dari beberapa lapisan yang bertujuan menahan infiltrasi air kedalam cell sehingga meminimalisir terjadinya atau terbentunya air lindi dalam cell.

2. Drainase pengumpulan air lindi permukaan tanah.

Permasalahan yang terjadi pada sistem drainase ini adalah tidak berjalannya aliran air akibat saluran yang tersumbat.

(35)

28 3. Treatment pengolahan air lindi.

Masalah yang ada adalah sistem yang diterapkan masih belum memadai untuk menanggulangi permasalahan air lindi dan juga tidak berjalannya sistem pengolahan dilihat dari air lindi yang diolah dan dikeluarkan dari unti IPAL (instalasi pengolahan air lindi) TPA (output, input).

Permasalahan treatment yang digunakan dapat dilihat pada gambar dibawah ini: (gambar bangunan IPAL)

Unit pengolahan yang diterapkan dalam satu unit terdiri dari 3 kompartement dengan rincian peralatan, yaitu:

1. Kolam flokulasi

2. Filtrasi (jaringan pasir dan ijuk, yang terpasang di dinding kompartemen) 3. Kolam Aerasi

4. Filtrasi (jaringan pasir dan ijuk, yang terpasang di dinding kompartemen) 5. Kolam Reservoir Akhir

6. Filtrasi (jaringan pasir dan ijuk, yang terpasang di dinding kompartemen) Sistem yang digunakan kurang maksimal untuk pengelolaan air lindi. Instalasi atau kolam pengelolaan lindi berfungsi untuk menurunkan kadar pencemar lindi sampai sesuai dengan ketentuan standar efluen yang berlaku. Mengingat karakteristik lindi didominasi oleh komponen organik dengan nilai BOD rata-rata 2000-10.000 ppm, maka pengolahan lindi yang disarankan minimal dengan proses pengolahan biologi (secondary treatment). Proses pengolahan lindi perlu memperhatikan debit lindi, karakteristik lindi dan badan air penerima tempat pembuangan efluen. Hal tersebut berkaitan dengan pemilihan proses pengolahan, penentuan kapasitas dan dimensi kolam serta perhitungan waktu detensi.

(36)

29

Secara umum proses pengolahan lindi secara sederhana terdiri dari beberapa tahap sebagai berikut:

 Pengumpulan lindi, dilakukan di kolam pengumpul

 Proses anaerobik, dilakukan di kolam anaerob (kedalaman > 2m). Proses ini diharapkan dapat menurunkan BOD sampai 60%

 Proses fakultatif yang merupakan proses peralihan dari anaerobik, dilakukan di kolam fakultatif. Proses ini diharapkan dapat menurunkan BOD sampai 70%

 Proses maturasi atau stabilisasi, dilakukan di kolam maturasi dengan efisiensi proses 80%

 Land treatment, dilakukan dengan membuat lahan yang berfungsi sebagai saringan biologi yang terdiri dari ijuk, pasir, tanah dan tanaman yang dapat menyerap bahan polutan

Dalam kondisi efluen belum dapat mencapai nilai efluen yang diharapkan, maka dapat dilakukan proses resirkulasi lindi ke lahan timbunan sampah melalui pipa ventilasi gas. Adanya proses serupa trickling filter, diharapkan dapat menurunkan kadar BOD lindi.

Untuk skematik pengolahan terpadu IPAL (instalasi pengolahan air lindi) dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

(37)

30 A. Treatment 1 (Kolam Lindi)

1. Kolam Anaerobik

Pada bak penampung lindi ini terjadi pengolahan pre-treatment dimana terjadi pengolahan awal dengan menggunakan bakteri anaerob untuk dapat mereduksi bahan-bahan organik. Bak anaerob merupakan kolam dengan kedalaman tertentu dengan seluruh permukaan tertutup lapisan sludge. Berdasarkan teori bahwa semakin tinggi kedalaman maka semakin tinggi daya reduksi atau perombakan bahan-bahan organik. Kondisi anaerobik masih ditemukan pada kedalaman dua sentimeter dari atas permukaan air dimana masih ditemukan oksigen terlarut lebih kurang dua milligram per liter. Selebihnya konsentrasi oksigen dapat diabaikan. Pada bagian ini bahan-bahan organik dirombak menjadi asetat yang kemudian dilanjutkan dengan perombakan asetat menjadi gas metan dan karbondioksida dan dalam kondisi seimbang karbondioksida dirubah lagi menjadi air. Bagian-bagian yang tidak terdekomposisi masuk kedalam kolam atau bak fakultatif, seluruh air limbah dialirkan secara overflow menuju bak fakultatif.

2. Kolam Fakultatif

Kolam fakultatif berbentuk siku. Kondisi lumpur pada kolam fakultatif sama dengan kondisi lumpur pada kolam anaerob. Hal ini disebabkan terlalu banyak pengenceran yang dilakukan sehingga kondisi kolam cenderung bersifat aerob. Dipermukaan kolam terlihat akumulasi lumpur yang tidak rata dibagian tertentu dan dibagian lainnya terlihat encer.

3. Kolam Maturasi

(38)

31

fakultatif hanya menampung lindi sehingga dipastikan kondisi kolam aerobik sepenuhnya.

B. Treatment 2 (Koagulasi dan Flokulasi) 1. Koagulasi

Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan partikel koloid,

suspended solid halus dengan penambahan koagulan disertai dengan pengadukan cepat untuk mendispersikan bahan kimia secara merata. Dalam suatu supensi, koloid tidak mengendap (bersifat stabil) dan terpelihara dalam keadaan terdispersi, karena mempunyai gaya elektrostatis yang diperolehnya dari ionisasi bagian permukaan serta adsorpsi ion-ion dari larutan sekitar. Pada dasarnya koloid terbagi dua, yakni koloid hidrofilik yang bersifat mudah larut dalam (soluble) dan koloid hidrofolbik yang bersifat sukar larut dalam air (insoluble). Bila koagulan ditambahkan kedalam air, rekasi yang terjadi antara lain adalah:

 Pengurangan zeta potensial (potensial elektrostatis) hingga suatu titik dimana gayavan der walls dan agitasi yang diberikan menyebabkan partikel yang tidak stabil bergabung serta membentuk flok;

 Agregasi partikel melalui rangkaian inter partikulat antara grup-grup reaktif pada koloid;

 Penangkapan partikel koloid negative oleh flok-flok hidroksida yang mengendap.

Untuk suspensi encer laju koagulasi rendah karena konsentrasi koloid yang rendah sehingga kontak antar partikel tidak memadai, bila menggunakan dosis koagulan yang terlalu besar akan mengakibatkan stabilisasi koloid. Untuk mengatasi hal ini, agar konsentrasi koloid berada pada titik dimana flok-flok dapat terbentuk dengan baik, maka dilakukan proses recycle sejumlah settled sludge

sebelum atau sesudah rapid mixing dilakukan. Tindakan ini sudah umum dilakukan pada banyak instalasi untuk meningkatkan efektifitas pengolahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi antara lain:

 Kualitas air meliputi gas-gas terlarut, warna, kekeruhan, rasa, bau dan kesadahan;

(39)

32

 Derajat keasaman air (pH);

 Pengadukan cepat dan kecepatan paddle;

 Temperature air;

 Alkalinitas air, bila terlalu rendah ditambah dengan pembubuhan kapur;

 Karakteristik ion-ion dalam air.

Koagulan yang paling banyak digunakan dalam praktek di lapangan adalah

alumunium sulfat [Al2(SO4)3], karena mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan jenis koagulan lain. Sedangkan kapur untuk pengontrol pH air yang paling lazim dipakai adalah kapur tohor (CaCO3). Agar proses pencampuran koagulasi berlangsung efektif dibutuhkan derajat pengadukan > 500/detik, nilai ini disebut dengan gradien kecepatan (G).

2. Flokulasi

Proses flokulasi dalam pengolahan air bertujuan untuk mempercepat proses penggabungan flok-flok yang telah dibibitkan pada proses koagulasi. Partikel-partikel yang telah distabilkan selanjutnya saling bertumbukan serta melakukan proses tarik-menarik dan membentuk flok yang ukurannya makin lama makin besar serta mudah mengendap. Gradien kecepatan merupakan faktor penting dalam desain bak flokulasi. Jika nilai gradient terlalu besar maka gaya geser yang timbul akan mencegah pembentukan flok, sebaliknya jika nilai gradien terlalu rendah/tidak memadai maka proses penggabungan antar partikulat tidak akan terjadi dan flok besar serta mudah mengendap akan sulit dihasilkan. Untuk itu nilai gradient kecepatan proses flokulasi dianjurkan berkisar antara 90/detik hingga 30/detik. Untuk mendapatkan flok yang besar dan mudah mengendap maka bak flokulasi dibagi atas tiga kompartmen, dimana pada kompartemen pertama terjadi proses penggabungan flok, dan pada kompartemen ketiga terjadi pemadatan flok.

(40)

33 C. Treatment 3 (Bak Filtrasi)

Proses filtrasi merupakan proses pengolahan dengan cara mengalirkan air limbah melewati suatu media filter yang disusun dari bahan-bahan butiran dengan diameter dan tebal tertentu dan tak terlarut (bilological floc yang masih tersisa setelah pengolahan secara biologis). Berdasarkan control terhadap laju filtrasinya, filter dibedakan menjadi:

 Filter dengan aliran tetap/ Constant Rate Filter (CRF)

 Filter dengan aliran menurun/ Declining Rate Filter (DRF)

 Berdasarkan driving force-nya, filter dibedakan menjadi: - Filter dengan gravitasi

- Filter bertekanan

 Berdasarkan susunan media penyaringan di dalamnya, filter dibedakan menjadi:

- Filter dengan media tunggal, media filter yang digunakan hanya satu lapisan dari jenis media yang sama, biasanya berupa pasir atau hancuran antrasit - Filter dengan media ganda, media filter yang digunakan dua lapisan dari jenis

media yang berbeda, biasanya berupa pasir atau hancuran antrasit

- Filter dengan multi media, media filter yang digunakan lebih dari dua lapisan yang bermacam-macam, biasanya berupa hancuran antrasit, pasir dan garnet.

 Berdasarkan laju filtrasinya (hydraulic loading), dibedakan menjadi: - Saringan pasir cepat (rapid sand filter)

- Saringan pasir lambat (slow sand filter)

Pembilasan saringan pasir pada unit filtrasi dilakukan dengan mengalirkan air bersih dengan arah aliran yang berlawanan dengan arah aliran pada saat penyaringan. Selama pelaksanaan pembilasan bahan-bahan yang tertangkap didalam media pasir akan terlepas dan akan dikelurkan bersama-sama aliran air bilasan.

(41)

34 D. Treatment 4 (Bak Aerasi)

Aerasi digunakan untuk menyisihkan gas yang terlarut di air permukaan atau untuk menambah oksigen ke air untuk mengubah substansi yamg di permukaan menjadi suatu oksidasi. Dalam keadaan teroksidasi, besi dan mangan terlarut di air. Bentuk senyawa dengan larutan ion, keduanya terlarut pada bilangan oksidasi +2, yaitu Fe+2 dan Mn+2. Ketika kontak dengan oksigen atau oksidator lain, besi dan mangan akan teroksidasi menjadi velensi yang lebih tinggi, bentuk ion kompleks baru yang tidak larut ke tingkat yang cukup besar. Oleh karena itu, mangan dan besi dihilangkan dengan pengendapan setelah aerasi.

Ada empat tipe aerator yang sering digunakan, yaitu gravity aerator, spray aerator, air diffuser, dan mechabical aerator. Fungsi dari proses aerasi adalah menyisihkan methane (CH4), menyisihkan karbon dioksida (CO2), menyisihkan H2S, menyisihkan baud dan rasa, menyisihkan gas-gas lain.

E. Treatment 5 (Bak Filter Cepat)

Filtrasi adalah proses penyaringan air melalui media pasir atau bahan sejenis untuk memisahkan partikel flok atau gumpalan yang tidak dapat mengendap, agar diperoleh air jernih. Penyaringan adalah pengurangan lumpur tercampur dan partikel koloid darim air lindi dengan melewatkan pada media yang porous. Penyaringan ini berisikan 0,7 meter pasir dengan diameter 0,4-0,8 milimeter dan gravel setebal 0,3-0,6 meter. Adapun kecepatan aliran penyaringan yang dihasilkan sebesar 1,3-2,7 liter/m3/detik.

Mekanisme yang dilalui pada filtrasi:

 Air mengalir melalui penyaring glanular

 Partikel-partikel tertahan di media penyaring

 Terjadi reaksi-reaksi kimia dan biologis

F. Treatment 6 (Bak Reservoir Akhir)

(42)

35

(43)

36

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah :

1. Hasil uji sampel yang telah dilakukan diketahui kadar Pb 73,0746 ppm, Fe 13554, 0806 ppm, kadar Cu 9990, 5259 ppm, kadar Zn 358, 3171 ppm, pH didapat dengan kadar 8,4 yang mengindikasikan bahwa tanah di TPA Gunung Kupang tercemar oleh Fe, Cu, Zn dan pH yang melebihi batas maksimal baku mutu sehingga tidak memenuhi standar.

2. Unit pengolahan lindi yang ada di TPA adalah kolam koagulasi-flokulasi, filtrasi, kolam aerasi, filtrasi, kolam reservoir akhir dan filtrasi. Namun pengelolaan tersebut masih belum maksimal. Pengelolaan sebaiknya dilakukan adalah kolam anaerobik, kolam fakultatif, kolam maturasi (treatment 1), koagulasi dan flokulasi (treatment 2), Bak filtrasi (treatment 3), bak aerasi (treatment 4), bak filter cepat (treatment 5) dan bak reservoir akhir (treatment 6).

5.2 Saran

Adapun saran dari penelitian ini adalah :

1. Literatur yang dicari harus lebih akurat lagi sehingga penulis lebih baik lagi saat membandingkan data yang didapat dengan teori yang ada.

(44)

37

DAFTAR PERTANYAAN

SOAL

1. Apa yang dimaksud dengan pencemaran tanah?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi lindi?

3. Berapa kisaran kadar unsur Zn dalam tanah yang masih mmenuhi standar baku mutu?

4. Apa manfaat geotekstil pada lapisan dasar tempat penimbunan sampah? 5. Sebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi?

JAWABAN

1. Pencemaran tanah adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam tanah oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu untuk tanah yang telah ditetapkan yang berdampak buruk bagi ekosistem dan lingkungan disekitar.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi lindi yaitu a. Tipe material sampah yang dibuang ke TPA

b. Kondisi TPA meliputi pH, temperature, kelembaban, usia TPA dan iklim

c. Karakteristik presipitasi yang memasuki TPA

3. Kisaran kadar unsur Zn dalam tanah yang memenuhi standar baku mutu yaitu berkisar pada 10 – 300 ppm

4. Geotekstil pada lapisan tempat penimbunan sampah adalah sebagai filter untuk mencegah masuknya material-material tanah ke dalam sistem drainase, dan juga untuk mengatur aliran dalam sistem drainase. Selain itu untuk melindungi geomembran dari kerusakan dan mencegah terjadinya penyumbatan pada sistem pengumpul lindi.

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses koagulasi antara lain:

 Kualitas air meliputi gas-gas terlarut, warna, kekeruhan, rasa, bau dan kesadahan;

(45)

38

 Derajat keasaman air (pH);

 Pengadukan cepat dan kecepatan paddle;

 Temperature air;

 Alkalinitas air, bila terlalu rendah ditambah dengan pembubuhan kapur;

(46)

39

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. ANDI: Yogyakarta.

Aryenti. 2011. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah dengan Cara 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di Lingkungan Permukiman

Ditinjau dari Segi Sosial Ekonomi Masyarakat. Jurnal Permukiman, Vol. 6 : 75-83.

Barchia, M. F., 2009. Sumber Polutan dan Logam Berat.

Darliana, Ina. 2009. Fitoremediasi Sebagai Teknologi Alternatif Perbaikan Lingkungan. Universitas Bandung Raya: Bandung.

Fidiawati, Linda dan Sudarmaji. 2013. Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Kabupaten Jombang dan Kesehatan Lingkungan Sekitarnya. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7, No. 1 Juli 2013: 45–53. Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Himmah, Aminudi, dan Milala. 2009. Potensi Limbah Air Lindi oleh

Pseudomonas fluoresens sebagai Prebiotik Tanaman. Institut Pertanian Bogor.

Foth, Henry. D,. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Kartasapoetra. 2005. Teknolonogi Konservasi Tanah dan Air. PT Rineka Cipta : Jakarta

(47)

40

Larson, W.E. and G.J. Osborne. 1982. Tillage accomplishments and potential. In

Predicting Tillage Effects on Soil Physical Properties and Processes. ASA Special Publication.

Mangoensoekarjo, Soepadiyo. 2007. Manajemen Tanah dan Pemupukan Budidaya Perkebunan. Gajah Mada University Press : Yogyakarta.

Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 2006. Jurnal Imu Tanah dan Lingkungan. Volume 6 Nomor 1 Juli 2006. ISSN 0853-6368.

Palar, H, 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Pratiwi, Trisina Dwi (2013) Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pemberian Mulsa Bagas Terhadap Kandungan Biomassa Karbon Mikroorganisme Tanah

(C-MIK) Pada Lahan Pertanaman Tebu Tahun Kedua. Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Priadie, Bambang. 2012. Teknik Bioremediasi Sebagai Alternatif dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol 10, Issue : 38-48.

Purwanta, Wahyu. 2006. Tinjauan Teknologi Pengolahan Leachate di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Perkotaan. Jurnal JAI Vol. 2, No. 1 2007. Pusat Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolgi (BPPT).

Qasim, (1994) Sanitary Landfill leachate generation, control & Treatment, Technomic Publishing Company.

(48)

41

Schnoor, J.L and Mc Cutcheon, S. C. 2005. Phytoremediation Transformation and Control of Contaminants. Wiley-Interscience Inc, USA.

Sholihah, Qomariyatus & Rd. Indah Nirtha. 2014. Pengantar K3LH Keselamatan & Kesehatan Kerja Lingkungan Hidup. Akademia : Malang

Slamet, Juli Soemirat. 2004. Kesehatan Lingkungan. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Tchobanoglous. (1993), Integrated Solid Waste Management: Engineering Principles and Management Issues, McGraw-Hill.

Undang - undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Presiden Republik Indonesia.

(49)

42 LAMPIRAN

Observasi & Pengambilan Sampel di TPA Gunung Kupang Kota Banjarbaru

Senin, 19 Oktober 2015

Gambar 2. Lokasi Pengambilan Sampel

(50)

43

INDEKS

A

Agroteknis : Kesesuaian lahan.

B

Biodegradasi : Proses dimana bahan organik yang dirobohkan oleh enzim dihasilkan oleh organisme hidup.

Biodiversitas : Tingkat variasi bentuk kehidupan dalam, mengingat ekosistem bioma spesies atau seluruh planet.

D

Dekomposisi : Proses perubahan menjadi bentuk yang lebih sederhana.

L

Landfill : Sebuah area yang menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Linear : Lapisan penahan lindi.

O

Over flow : Kondisi berlebihan atau meluber.

R

Run off : Bagian curahan hujan.

S

Salinisasi : Kandungan garam yang berada ditanah.

V

Vektor Penyakit : Organisme yang membawa atau menyebarkan penyakit.

X

Xenobiotik : Bahan kimia yang ditemukan dalam organism.

Gambar

Tabel 1. Kadar Logam Berat sebagai Pencemar
Tabel 2. Hasil Uji Laboratorium Balai Riset dan Standarisasi
Gambar 2. Lokasi Pengambilan Sampel

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu PT Primayasa perlu memperhatikan hal-hal yang mendukung proses produksi agar bisa berjalan efektif dan efisien serta peningkatannya seperti tata

Untuk mendukung agar proses bisnis yang diusulkan dapat berjalan dengan baik, sesuai dengan kebutuhan, efektif dan efisien, maka perlu dilakukan pengembangan

 Agar marketing dapat menjadi lebih optimal, maka marketer perlu memiliki dukungan yang kuat tentang pemahaman bagaimana cara yang paling efektif dan efisien dalam

Jadi ntuk melihat apakah perusahaan itu sudah benar-benar efisien dan efektif dalam pengelolaannya diperlukan planing yang tepat agar dapat meng- arange seluruh

Agar manajemen yang dilakukan mengarah kepada kegiatan bisnis secara efektif dan efisien, maka manajemen perlu dijelaskan berdasarkan fungsi fungsinya atau dikenal sebagai

2006 mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan : 1 Berkomunikasi se- cara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan

Selain itu, agar proses produksi lebih efektif dan efisien perlu diadakannya perbaikan manajemen proyek meliputi perbaikan metode kerja dengan cara tidak melakukan penundaan pekerjaan

Asiaindo Property Banjarbaru untuk itu agar pekerjaan dilakukan besama – sama agar efektif dan efisien hal ini ada pada Gaya Kepemimpinan musyawarah dan menghilangkan Gaya Kepemimpinan