• Tidak ada hasil yang ditemukan

246452006 dampak implementasi kebijakan outsourcing sebagai proses pembangunan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "246452006 dampak implementasi kebijakan outsourcing sebagai proses pembangunan di Indonesia"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN OUTSOURCING

BAGI PEKERJA SEBAGAI PROSES PEMBANGUNAN DI

INDONESIA

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester Ganjil Mata Kuliah

Teori-teori Pembangunan

Dosen Pengampu : Dr. Abdullah Said, M.SI

Oleh:

Wahyu Riyani

135030101111044

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

(2)

KATA PENGANTAR

Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu ujian tengah semester ganjil mata kuliah teori-teori pembangunan.

Dalam makalah ini diuraikan tentang “DAMPAK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

OUTSOURCING BAGI PEKERJA SEBAGAI PROSES PEMBANGUNAN DI INDONESIA”, yang menjadi suatu permasalahan bagi pekerja/buruh yang mengalami diskriminasi pada perusahaan dimana tempat mereka bekerja.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana dan tepat pada waktunya tanpa halangan apapun. Dan tidak lupa penulis ingin berterima kasih kepada Bapak Dr. Abdullah Said, M.SI selaku dosen mata kuliah Teori-teori Pembangunan yang telah membimbing dalam pembuatan makalah ini.

Dalam penyusunan karya ilmiah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan agar karya ini dapat tersusun dengan rapi. Namun, sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan bagi dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa. Namun, demikian penulis sudah berusaha semaksimal mungkin agar karya ilmiah ini dapat tersusun dengan baik. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang telah membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membaca dan masyarakat pada umumnya.

Malang, 02 November 2014

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Makalah... 2

BAB II LANDASAN TEORI ... 3

A. Pengertian Dampak... 3

B. Implementasi Kebijakan ... 4

C. Outsourcing ...8

1. Definisi Outsourcing ...8

2. Dasar Hukum Outsourcing ... 8

3. Syarat-syarat Penyerahan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain ... 9

D. Pembangunan... 11

1. Pengertian dan Pembangunan ... 11

2. Teori-teori Pembangunan ... 12

3. Pendekatan dan Indikator Pembangunan ... 15

4. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan ... 16

BAB III PEMBAHASAN ... 21

A. Dampak Kebijakan Outsourcing bagi Pekerja di Indonesia ... 21

B. Kelebihan dan Kekurangan Implementasi Kebijakan Outsourcing di Indonesia... 22

C. Hubungan antara Kebijakan Outsourcing dengan Proses Pembangunan di Indonesia ... 24

BAB IV PENUTUP ... 27

A. Kesimpulan ... 27

B. Saran ... 28

(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa timbulnya dampak persaingan usaha yang begitu ketat dan terjadi di semua lini. Persaingan bisnis global yang semakin ketat ini, menentukan ketangguhan sebuah perusahaan dalam melaksanakan efisiensi agar dapat bersaing dan mempertahankan kelangsungan hidupnya. Perusahaan yang dapat bertahan dan berkembang di era globalisasi adalah perusahaan yang menerapkan dua hal, yaitu : cost effective management dan mendayagunakan teknologi informasi.

Untuk meningkatkan daya saingnya, perusahaan-perusahaan berusaha mencari strategi baru agar apa yang dilakukannya efektif dan efisien. Dengan melakukan efisiensi tanpa mengurangi kualitas, perusahaan akan mampu meberikan nilai pelanggan (cutomer value) yang lebih baik daripada yang diberikan oleh pesaingnya, sehingga dapat memberikan kepuasan pelanggan dan mampu meningkatkan kesetiaan pelanggan.

Dalam mengembangkan usahanya, perusahaan memerlukan penambahan kapasitas produksi, diantaranya melalui penambahan fasilitas produksi dan atau tenaga kerja. Untuk melakukan penambahan tenaga kerja tersebut, diperlukan perencanaan dan analisis yang tepat, karena akan berdampak terhadap adanya investasi atas bertambahnya biaya produksi dan beban operasional. Kebijakan penambahan tenaga kerja akan dihadapkan dengan masalah rekruitmen, pelatihan, jaminan sosial, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, tunjangan-tunjangan lainnya sampai dengan pemutusan hubungan kerja.

(5)

Kebijakan perusahaan model tersebut, dikenal dengan nama outsourcing. Kebijakan outsourcing di Indonesia didasari dengan adanya UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang pada pasal 64 menyebutkan bahwa ”outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis”. Pada prakteknya

outsourcing dapat diartikan juga sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi perusahaan dengan memanfaatkan sumber daya dari luar menggantikan sumber daya dari dalam perusahaan untuk menyelesaikan tugas tertentu yang selama ini dianggap kurang efisien.

Namun, meski outsourcing tersebut dibolehkan, UU Ketenagakerjaan mengaturnya secara terbatas. Misalnya, pelaksanaan outsourcing harus dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis dan harus didaftarkan ke Dinas Tenaga Kerja. Hal ini diatur dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 101 Tahun 2004 (Kepmen 101/2004). Berdasarkan pemaparan di atas, dalam menulis makalah ini penulis tertarik untuk menyajikan dan membahas tentang “Dampak Implementasi Kebijakan

Outsourcing bagi Pekerja sebagai Proses Pembangunan di Indonesia.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penulisan tersebut di atas, maka kami dapat merumuskan beberapa permasalahan, yaitu :

1. Bagaimana dampak implementasi kebijakan outsourcing bagi pekerja di Indonesia?

2. Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari pengimplementasian kebijakan

outsourcing di Indonesia?

3. Bagaimana hubungan antara kebijakan outsourcing dengan proses pembangunan di Indonesia?

C. Tujuan Makalah

(6)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Dampak

Dampak menurut Dunn (1984, h. 280) adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Sedangkan menurut Peter H. Rossi dkk dalam “Evaluation a Systemic Approach”, (1982), membedakan dua jenis dampak yaitu:

a. Dampak (impact)

Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, dimana akibat tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh intervensi program, dan akibat tersebut mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran.

b. Dampak/pengaruh (effects)

Akibat yang dihasilkan oleh suatu intervensi program pada kelompok sasaran, baik akibat tersebut sesuai dengan yang diharapkan oleh intervensi ataupun tidak, dan akibat tersebut tidak mampu menimbulkan pola perilaku baru pada kelompok sasaran. (Peter H. Rossi dkk, 1982, h. 106).

Pengamatan terhadap dampak dari suatu kebijakan selain harus dilakukan dengan kerangka berpikir kausalitas yang kritis dan wawasan yang komprehensif juga harus dilakukan secara cermat. Ketiga keharusan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Sekedar untuk menuntun kecermatan evaluasi, dapat dipilihkan adanya empat macam dimensi dampak yang penting untuk diperhatikan, yaitu:

a. Waktu

Suatu kebijakan dapat menimbulkan dampak segera maupun jangka panjang, seorang analis kebijakan atau evaluator harus menyadari hal ini, terutama untuk analisis yang dilakukan setelah kebijakan berjalan. Studi evaluai sebaiknya tidak dilakukan lama setelah dampak terjadi, karena ada kemungkinan dampak yang dikira akan muncul pada jangka panjang ternyata muncul segera setelah program berakhir. Jika penelitian terlambat dilakukan, maka elevator akan kesulitan mencari data dan meneliti pengaruh program yang diamatinya.

(7)

diinginkan, dampak yang hanya sebagian saja diinginkan, dan dampak yang sama sekali bertentangan dengan dampak yang dinginkan.

c. Tingkat agregasi dampak

Dampak juga bersifat agregatif, dalam arti yang dirasakan secara individual mungkin akan merembes pada perubahan masyarakat disuatu tempat.

d. Jenis dampak

Dampak dapat menyentuh aspek ekonomi maupun politik dari suatu unit sosial. Suatu kebijakan tidak hanya mensejahterakan sekelompok mayoritas masyarakat dan menyengsarakan kelompok minoritas, melainkan dapat berpengaruh terhadap sistem nilai masyarakat yang pada akhirnya, meskipun tidak radikal mengubah proses politik secara keseluruhan (Wibawa, 1994, h. 38-39).

B. Implementasi Kebijakan

Dalam hal ini di kemukakan mengenai model pelakasanaan kebijakan yang dikemukakan oleh George C. Edwards. Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial bagi public adminstration dan public policy. Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan tersebut akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan baik. Sementara itu, suatu kebijakan ynag cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.

Dalam mengkaji implementasi kebijakan, Edwards mulai menggunakan dua buah pertanyaan mengenai Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil dan hambatan apa yang mengakibatkan suatu implemtasi gagal. Dalam menjawab kedua pertanyaan itu, Edwards menggunakan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan publik. Keempat faktor tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecendrungan-kecendrungan atau tingkah laku dan struktur birokrasi.

(8)

dengan cara mereflesikan kompleksitas ini dengan membahas semua faktor tersebut sekaligus. Untuk memahami suatu implementasi kebijakan perlu meyederhanakan dan untuk meyederhanakan perlu merinci penjelasan-penjelasan tentang implementasi dalam komponen-komponen utama. Implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup banyak interaksi dari banyak variabel. Oleh karenanya, tidak ada variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga perlu dijelaskan keterikatan antara satu variabel dengan variabel lainnya dan bagaimana variabel-variabel ini mempengaruhi proses implementasi kebijakan.

Variabel-variabel tersebut dijelaskan oleh Edwards III sebagai berikut : 1. Komunikasi

Dalam variabel komunikasi ini, secara umum Edwards membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi kebijakan, yaitu transmisi, konsistensi, dan kejelasan. Menurut Edwards, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Komunikasi harus akurat, dalam proses transmisi akan banyak hambatan-hambatan yang menghadang transmisi komunikasi pelaksanaan dan akan menghalangi pelaksanaan kebijakan. Aspek lain dari komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk pelaksanaan adalah persoalan konsistensi. Keputusan-keputusan yang bertentangan akan membingungkan dan menghalangi staf adminstrasi dan menghambat kemampuan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif.

2. Sumber-sumber

(9)

3. Kecenderungan-kecenderungan

Kecenderungan dari pelaksana kebijakan merupakan faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif. Mengingat pentingnya kecendrungan-kecendrungan bagi implementasi kebijakan yang efektif, maka akan timbul dampak dari kecenderungan-kecenderungan tersebut dalam implementasi kebijakan. Menurut Edwards dampak dari kecenderungan-kecenderungan yaitu terdapat kebijakan yang dilaksanakan secara efektif karena mendapat dukungan dari pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana. Kecenderungan-kecenderungan yang menghalangi implementasi biasanya para pelaksana tidak sepakat dengan substansi suatu kebijakan. Implementasi tersebut di hambat oleh keadaan-keadaan yang sangat kompleks.

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah satu badan yang menjadi pelaksana kebijakan. Pada dasarnya, para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang dilakukan dan mempunyai cukup keinginan serta sumber-sumber untuk melakukannya, tetapi dalam pelaksanaannya masih dihambat oleh struktur-struktur organisasi dalam menjalankan kegiatan tersebut. Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut

Standard Operating System (SOP) dan fargmentasi.

Struktur organisasi-organisasi yang melaksanakan kebijakan mempunyai pengaruh penting pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek struktural paling dasar dari suatu organisasi adalah prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (SOP). Sedangkan sifat kedua dari struktur organisasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan yaitu fragmentasi organisasi. Fragmentasi organisasi ini akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap implementasi kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi.

(10)

Komunikasi

Sumber-sumber Implementasi Kecenderungan-kecenderungan

Struktur Birokrasi

Gambar diatas menjelaskan adanya interaksi mengenai beberapa hubungan dari faktor-faktor yang akan menjelaskan peranan masing-masing dalam proses implementasi. Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap faktor-faktor komunikasi, sumber-sumber, kecendrungan-kecendrungan dan struktur birokrasi pada pelaksanaan kebijakan. Akan tetapi, disamping itu secara langsung dapat mempengaruhi implementasi. Jika dilihat dari gambar diatas, komunikasi-komunikasi mempengaruhi sumber-sumber, kecendrungan-kecendrungan, dan struktur-struktur birokrasi, yang pada akhirnya akan mempengaruhi implementasi.

Menurut literatur ekonomi pembangunan seringkali didefinisikan sebagai suatu proses yang berkesinambunagan dari peningkatan pendapatan riil perkapita melalui peningkatan produktifitas sumberdaya. Dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan pertumbuhan ekonomi. Teori mengenai pertumbuhan ekonomi dapat ditelussuri setidaknya sejak abad ke-18. Menurut Adam Smith (1776) proses pertumbuhan dimulai apabila perekonomian mampu melakukan pembagian kerja (devision of labor). Pembagian kerja akan meningkatkan produktivitas yang ada pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan. Adam Smith juga menggarisbawahi pentingnya skala ekonomi. Setelah Adam Smith muncul pemikiran pemikiran yang berusaha mengkaji batas batas pertumbuhan (limits to growth) antara lain Malthus (1798) dan Ricardo (1917).

Salah satu metode yang umun digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan terhadap kesejahtraan masyarakat adalah dengan mempelajari distribusi pendapatan. Pembagian pendapatan berdasarkan kelas-kelas pendapatan (the size distribisiont of income) dapat di ukur dengan menggunakan kurva Lorenz atau indeks Gini. Selain ditribusi pendapatan, dampak dan hasil pembangunan juga dapat di ukur dengan melihat tingkat kemiskinan (poverty) di suatu negara atau wilayah.

C. Outsourcing

(11)

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (alih daya) diartikan sebagai

contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut “Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle ofcontrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary). Mengandung pengertian kegiatan menerima perjanjian atau membuat perjanjian. Pada masa lalu kegiatan perjanjian membuat rancangan bersama, menghasilkan sesuatu yang menjadi dasar persetujuan (dikutip oleh Nurcahyo: 2006). Pengertian outsourcing secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing : Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut: “Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.” Yang mengandung pengertian bahwa outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama (Nurcahyo : 2006).

Beberapa pakar serta praktisi outsourcing dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain, Suwondo (2003), menyebutkan bahwa

outsourcing dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing). Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.

2. Dasar Hukum Outsorcing

Outsourcing dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja, dan pengaturan hukum

outsourcing di Indonesia diatur dalam:

a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tanggal 25 Maret tentang Ketenagakerjaan

(12)

c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep-101/Men/VI/2004 tanggal 21 juni 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

d. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Kep-220/Men/X/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain

Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

3. Syarat-syarat penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain

Syarat-syarat penyerahan pekerjaan kepada perusahaan lain terdapat dalam Pasal 65 dan Pasal 66 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:

1) Ayat 1: Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain

dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. 2) Ayat 2: Pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam

ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama

b) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

c) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

d) tidak menghambat proses produksi secara langsung.

3) Ayat 3 : Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan

hukum

4) Ayat 4 : Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama

(13)

5) Ayat 5 : Perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih

lanjut dalam keputusan menteri.

6) Ayat 6 : Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian

tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya.

7) Ayat 7 : Hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat

didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

8) Ayat 8 : Bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai

pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:

a. Adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.

b. Perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak.

c. Perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.

D. Pembangunan

(14)

Pengertian pembangunan mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan. Mungkin saja tidak ada satu disiplin ilmu yang paling tepat mengartikan kata pembangunan. Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, mulai dari perspektif sosiologi klasik (Durkheim, Weber, dan Marx), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow, strukturalisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan sosial, hingga pembangunan berkelanjutan. Namun, ada tema-tema pokok yang menjadi pesan di dalamnya.

Berikut pengertian pembangunan menurut para ahli, yaitu:

a) Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).

b) Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.

c) Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”.

d) Pembangunan (development) adalah proses perubahan yang mencakup seluruh system sosial, seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya (Alexander 1994).

e) Portes (1976) mendefenisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan adalah proses perubahan yang direncanakan untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan masyarakat.

(15)

g) Berger (1987), memandang modernisasi sebagai suatu rangkaian fenomena historis yang jauh lebih spesifik, yang diasosiasikan dengan tumbuhnya masyarakat-masyarakat industrial.

h) Rogers dan Shoemaker (1971), mendefinisikan pembangunan sebagai suatu jenis perubahan sosial, dimana ide-ide baru diperkenalkan pada suatu sistem sosial untuk menghasilkan pendapatan per kapita dan tingkat kehidupan yang lebih tinggi melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih baik. Pembangunan adalah modernisasi pada tingkat sistem sosial.

Sebagaimana dikemukakan oleh para para ahli di atas, pembangunan adalah sumua proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya secara sadar dan terencana dan perubahan yang direncanakan oleh pemerintah dan dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat sebagai cita-cita nasional suatu Negara. Sedangkan perkembangan adalah proses perubahan yang terjadi secara alami sebagai dampak dari adanya pembangunan (Riyadi dan Deddy Supriyadi Bratakusumah, 2005).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembangunan adalah perubahan menuju pola-pola masyarakat yang lebih baik meliputi nilai-nilai kemanusiaan dimana ide-ide baru diperkenalkan pada suatu sistem sosial untuk menghasilkan pendapatan per kapita dan tingkat kehidupan yang lebih tinggi melalui metode produksi yang lebih modern dan organisasi sosial yang lebih baik yang diasosiasikan dengan tumbuhnya masyarakat-masyarakat industrial. Pembangunan Nasional haruslah diikuti oleh semua aspek dalam kehidupan, baik dalam bidang sosial, bidang ekonomi, bidang politik, pertahanan dan keamanan nasional serta diikuti oleh kesiapan semua daerah dalam suatu Negara.

2. Teori-teori Pembangunan

(16)

Larrain (1994). Sedangkan Tikson (2005) membaginya kedalam tiga klasifikasi teori pembangunan, yaitu modernisasi, keterbelakangan dan ketergantungan

Sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teori-teori pembangunan dikelompokkan atas tiga, yaitu; kelompok Teori Modernisasi, kelompok Teori Ketergantungan, dan kelompok Teori Pasca-Ketergantungan.

Dalam Teori Modernisasi, teori Harrod-Domar melihat masalah pembangunan pada dasarnya adalah masalah kekurangan modal. Berbeda dengan teori Rostow, yang melihat pembangunan sebagai proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat terbelakang ke masyarakat maju. Rostow membagi proses pembangunan menjadi lima tahap, yaitu;

a.)Masyarakat tradisional: Ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum banyak dikuasai. Masyarakat masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan tentang kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia dengan demkian tunduk kepada alam dan belum bisa menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat terbatas. Masyarakat kini cenderung bersifat statis, dalam arti kemajuan berjalan dengan sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi. Tidak ada investasi.

b.)Prakondisi untuk lepas landas: Masyarakat tradisional yang terus bergerak secara evolusi. Keadaan ini terjadi karena adanya faktor eksternal (lingkungan luar) karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk mengubah dirinya sendiri. Campur tangan dari luar ini menggoncangkan masyarakat tradisional itu. Di dalamnya mulai berkembang ide pembaharuan.

c.) Lepas landas: Pada periode ini, tabungan dan investasi yang efektif meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional atau lebih. Demikian juga industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat pesat. Sektor modern dari perekonomian dengan demikian jadi berkembang.

(17)

e.)Zaman konsumsi massal yang tinggi: pendapatan masyarakat mengalami kenaikan, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi industri juga berubah, dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Pada periode ini, investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Sesudah taraf kedewasaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pada titik ini, pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan, yang bisa menopang kemajuan secara terus menerus. Seperti halnya teori-teori modernisasilainnya, didasarkan pada dikotomi masyarakat tradisional dan masyarakat modern.

Teori Modernisasi mendapat kritikan dari Teori Ketergantungan. Andre Gunder Frank melihat hubungan dengan negara metropolis selalu berakibat negatif bagi negara satelit. Berbeda dengan pandangan Dos Santos, yang melihat ketergantungan negara satelit hanya merupakan bayangan dari negara metropolis. Artinya, perkembangan negara satelit tergantung dari perkembangan negara metropolis yang menjadi induknya. Demikian sebaliknya, krisis negara metropolis, negara satelitnya pun kejangkitan krisis. Adapun bentuk ketergantungan terdiri atas tiga; ketergantungan kolonial, ketergantungan finasial-industrial, dan ketergantungan teknologis-industrial.

Selanjutnya, Teori ketergantungan mendapat kritik, misalnya dari Teori Artikulasi dan Teori Sistem Dunia. Kedua teori ini merupakan dua teori baru dalam kelompok teori-teori pembangunan, khususnya dalam kelompok Teori Pasca-Ketergantungan. Teori Artikulasi menekankan pada konsep formasi sosial yang dikaitkan dengan konsep cara produksi. Adapun Teori Sistem Dunia melihat bahwa dinamika perkembangan dari suatu negara sangat ditentukan oleh sistem dunia.

(18)

menekankan pentingnya akumulasi modal (Physical capital formation) dan meningkatkan kualistas sumberdaya manusia (human capital). Setelah itu muncul perkembangan model yang disebut neoklasik. Teori pertumbuhan neoklasik mulai memasukkan unsur teknologi yang diyakini akan mempengaruhi pertumbuhan pemberdayaan masyarakat dalam negara ataupun wilayah (Solow, 1957).

Teori pertumbuhan selanjutnya mencoba menemukan faktor-faktor lain diluar modal dan tenaga kerja yang mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Salah satu teori berpendapat bahwa investasi sumber daya manusia berpengaruh yang besar dalam meningkatkan produktivitas. Menurut Becker (1964) peningkatan produktivitas tenaga kerja ini dapat mendorong melalui pendidikan dan pelatihan serta meningkatkan derajat kesehatan. Disisi lain berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan, maka berkembang kelompok pemikiran yang disebut sebagai pradigma pembanguna sosial yang bertujuan untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadialaan, serta memberi angin segar dalam perubahan sosial yang lebih dinamis dan elegan.

3. Pendekatan dan Indikator Pembangunan

Terdapat berbagai pendekatan dan upaya untuk mengukur hasil pembangunan. Salah satu yang paling luas digunakan adalah pendekatan pertumbuhan ekonomi, dengan menggunakan PNB atau PDB sebagai kriteria ukuran keberhasilan pembangunan. Namun, muncul pendekatan pemerataan sebagai reaksi terhadap pendekatan pertumbuhan ekonomi, karena pendapatan tidak merata pada seluruh penduduk. Secara sederhana pemerataan diukur dengan berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok bawah, berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok menengah, dan berapa besarnya pendapatan yang diterima oleh 20% kelompok atas. Indeks Gini merupakan salah satu cara yang biasa digunakan untuk mengukur ketimpangan pembagian pendapatan masyarakat.

(19)

mutlak dalam proses pembangunan. Tujuan utama pembangunan manusia adalah memperluas pilihan-pilihan dan membuat pembangunan lebih demokratis dan partisipatoris. Salah satu indikator yang digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia. Indeks ini menggabungkan pendapatan nasional dan dua indikator sosial, yakni melek huruf dan harapan hidup. Jadi bedanya dengan indeks mutu manusia adalah dimasukkannya pendapatan nasional.

Contoh pembangunan yang sangat diperlukan dalam pembangunan di indonesia adalah salah satu contohnya pembangunan masyarakat. Pembangunan masyarakat adalah perubahan secara berencana dan dilakukan secara berencana pula dari keadaan yang kurang baik, menuju pada keadaan yang lebih baik. Pembangunan masyarakat ini, meliputi dua dimensi utama, yakni dimensi struktural “vertikal”, dan dimensi “horizontal”. Model pembangunan ini bertujuan untuk membatasi kesenjangan dalam masyarakat, agar lebih memungkinkan terjadinya proses partisipasi (empowerment). Hal ini diharapkan terjadi agar tercipta peluang kepada anggota masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi, prakarsa maupun kreativitasnya untuk memperkuat solidaritas dan persatuan nasional. Ciri-ciri model pembangunan, antara lain; bertolak dari konsep komunitas; menganut prinsip distribusi kekuasaan yang merata; mengutamakan distribusi pelayanan yang merata kepada segenap anggota komunitas; pelaksanaan kegiatan dalam pembangunan berdasarkan pada pendekatan program; peranan pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan, lebih berperan sebagai fasilitator; penekanan kegiatan pada aspek dapat lebih untuk memandirikan masyarakat (mengutamakan aspek pendidikan dalam arti luas); program kegiatannya berkesinambungan (berkelanjutan) antara satu periode ke periode berikutnya.

4. Indikator Pengukuran Keberhasilan Pembangunan

(20)

Sejumlah indikator ekonomi yang dapat digunakan oleh lembaga-lembaga internasional antara lain pendapatan perkapita (GNP atau PDB), struktur perekonomin, urbanisasi, dan jumlah tabungan. Disamping itu terdapat pula dua indikator lainnya yang menunjukkan kemajuan pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa atau daerah yaitu Indeks Kualitas Hidup (IKH atau PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI). Berikut ini, akan disajikan ringkasan Deddy T. Tikson (2005) terhadap kelima indikator tersebut:

a.) Pendapatan perkapita

Pendapatan per kapita, baik dalam ukuran GNP maupun PDB merupakan salah satu indikaor makro-ekonomi yang telah lama digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Dalam perspektif makro ekonomi, indikator ini merupakan bagian kesejahteraan manusia yang dapat diukur, sehingga dapat menggambarkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Tampaknya pendapatan per kapita telah menjadi indikator makro ekonomi yang tidak bisa diabaikan, walaupun memiliki beberapa kelemahan. Sehingga pertumbuhan pendapatan nasional, selama ini, telah dijadikan tujuan pembangunan di negara-negara dunia ketiga. Seolah-olah ada asumsi bahwa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat secara otomatis ditunjukkan oleh adanya peningkatan pendapatan nasional (pertumbuhan ekonomi). Walaupun demikian, beberapa ahli menganggap penggunaan indikator ini mengabaikan pola distribusi pendapatan nasional. Indikator ini tidak mengukur distribusi pendapatan dan pemerataan kesejahteraan, termasuk pemerataan akses terhadap sumber daya ekonomi.

b.) Struktur ekonomi

(21)

perluasan tenaga kerja. Di lain pihak, kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan nasional akan semakin menurun.

c.) Urbanisasi

Urbanisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di wilayah perkotaan dibandingkan dengan di pedesaan. Urbanisasi dikatakan tidak terjadi apabila pertumbuhan penduduk di wilayah urban sama dengan nol. Sesuai dengan pengalaman industrialisasi di negara-negara eropa Barat dan Amerika Utara, proporsi penduduk di wilayah urban berbanding lurus dengan proporsi industrialisasi. Ini berarti bahwa kecepatan urbanisasi akan semakin tinggi sesuai dengan cepatnya proses industrialisasi. Di Negara-negara industri, sebagian besar penduduk tinggal di wilayah perkotaan, sedangkan di Negara-negara yang sedang berkembang proporsi terbesar tinggal di wilayah pedesaan. Berdasarkan fenomena ini, urbanisasi digunakan sebagai salah satu indikator pembangunan.

d.) Angka Tabungan

Perkembangan sektor manufaktur/industri selama tahap industrialisasi memerlukan investasi dan modal. Finansial capital

merupakan faktor utama dalam proses industrialisasi dalam sebuah masyarakat, sebagaimana terjadi di Inggeris pada umumnya Eropa pada awal pertumbuhan kapitalisme yang disusul oleh revolusi industri. Dalam masyarakat yang memiliki produktivitas tinggi, modal usaha ini dapat dihimpun melalui tabungan, baik swasta maupun pemerintah.

e.) Indeks Kualitas Hidup

(22)

(2) angka kematian bayi, dan (3) angka melek huruf. Dalam indeks ini, angka rata-rata harapan hidup dan kematian bayi akan dapat menggambarkan status gizi anak dan ibu, derajat kesehatan, dan lingkungan keluarga yang langsung beasosiasi dengan kesejahteraan keluarga. Pendidikan yang diukur dengan angka melek huruf, dapat menggambarkan jumlah orang yang memperoleh akses pendidikan sebagai hasil pembangunan. Variabel ini menggambarkan kesejahteraan masyarakat, karena tingginya status ekonomi keluarga akan mempengaruhi status pendidikan para anggotanya. Oleh para pembuatnya, indeks ini dianggap sebagai yang paling baik untuk mengukur kualitas manusia sebagai hasil dari pembangunan, disamping pendapatan per kapita sebagai ukuran kuantitas manusia.

f.) Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)

The United Nations Development Program (UNDP) telah membuat indikator pembangunan yang lain, sebagai tambahan untuk beberapa indikator yang telah ada. Ide dasar yang melandasi dibuatnya indeks ini adalah pentingnya memperhatikan kualitas sumber daya manusia. Menurut UNDP, pembangunan hendaknya ditujukan kepada pengembangan sumberdaya manusia. Dalam pemahaman ini, pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah proses yang bertujuan untuk mengembangkan pilihan-pilihan yang dapat dilakukan oleh manusia. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa peningkatan kualitas sumberdaya manusia akan diikuti oleh terbukanya berbagai pilihan dan peluang menentukan jalan hidup manusia secara bebas.

(23)

Power Parity. Pengembangan manusia berkaitan erat dengan peningkatan kapabilitas manusia yang dapat dirangkum dalam peningkatan knowledge, attitude dan skills, disamping derajat kesehatan seluruh anggota keluarga dan lingkungannya.

Dalam penangannya tentu tidak berdiri sendiri melainkan dikolaborasikan dengan sistem lain diantaranya dengan peningkatan pendapatan (ekonomi), memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, dengan peningkatan derajat kesehatan, serta membuka diri dengan sistem kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dikarenakan ketiga aspek tersebut di atas, memiliki interrelasi dan interdependensi, maka dalam perkembangannya harus seiring dan sejalan. Agar kondisi tersebut dapat dicapai maka perlu suatu kreativitas (melalui nalar, wawasan, pengetahuan, nurani, keyakinan-keimanan) sehingga melahirkan budaya baru dalam masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai dan falsapah kehidupan.

(24)

BAB III PEMBAHASAN

A. Dampak Kebijakan Outsourcing bagi Pekerja di Indonesia

Bagi buruh sendiri, realita praktek Outsourcing saat ini meluas dengan banyaknya praktek outsourcing manusia, yaitu penyaluran tenaga kerja dari perusahaan penyalur kepada perusahaan pengguna untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Dalam model kerja outsourcing, menjadikan buruh tidak mempunyai kejelasan dalam hubungan kerja, berimbas pada tidak jelasnya posisi buruh bagaimana mereka menuntut hak-haknya.

Buruh yang bekerja dalam sistem kerja outsourcing dipaksa bekerja dalam kondisi jam kerja yang padat, upah yang tidak seimbang dengan beban kerja karena upahnya dipotong oleh perusahaan pengerah tenaga kerja, diskriminasi hak dibanding pekerja dengan status kontrak dan tetap (misalnya, buruh outsourcing tidak mendapat jatah makan, transport tidak ada, perhitungan lembur yang tidak sesuai UU, dll), serta tidak adanya kesempatan untuk bergabung dalam organisasi buruh karena masa kontrak yang relatif singkat serta tidak terima oleh organisasi buruh yang ada dengan alasan bukan merupakan karyawan perusahaan dimana organisasi itu berada tapi merupakan karyawan perusahaan pengerah tenaga kerja. Pelanggaran terhadap perjanjian akan langsung berakibat pada pemberhentian secara langsung oleh managemen perusahaan outsourcing dan digantikan oleh tenaga-tenaga outsourcing lainnya sebagai "tentara-tentara" cadangan yang siap menggantikan kapan saja.

Sistem outsourcing mengakibatkan buruh benar-benar berada pada titik kulminasi, tidak mampu berbuat apapun demikian juga untuk membela hak-haknya. Dalam sistem

(25)

pada sistem outsourcing adalah buruh dan perusahaan penyalur (kebanyakan tidak ada perjanjian kerja), bukan dengan perusahaan pengguna. Seandainya perusahaan tersebut menghasilkan keuntungan besar, maka buruh outsourcing tersebut tidak akan mendapatkan bagian atas keuntungan perusahaan tersebut, sedangkan di sisi lain, tenaga, keringat serta waktunya telah dihisap oleh perusahaan pengguna dan perusahaan penyalur tersebut. Bahkan juga tidak sedikit buruh outsourcing yang mendapatkan THR tidak sebagaimana mestinya karena jatah THR dari perusahaan pengguna dipotong atau bahkan tidak diberikan oleh perusahaan penyalur tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya sistem outsourcing akan berdampak pada pelanggaran terhadap Konstitusi Negara Republik Indonesia khususnya pasal 28D ayat (2), yang menyatakan: "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja." Semakin menjamurnya praktek sistem kerja outsourcing menunjukkan bahwa telah munculnya SISTEM PERBUDAKAN JAMAN MODERN yang habis menyerap tenaga buruh namun tidak memberikan imbalan yang setimpal.

B. Kelebihan dan Kekurangan implementasi kebijakan Outsourcing di Indonesia

Sehubungan dengan kebijakan outsourcing pastinya ada kelebihan dan kekurangan dalam pelaksanaannya. Kelebihan tersebut merupakan dampak positif bagi pekerja maupun perusahaan. Begitu pula sebaliknya, kelemahan merupakan dampak negatif. Berikut uraian dari kelebihan dan kekurangan diterapkannya kebijakan outsourcing baik dilihat dari pekerja/buruh dan perusahaan yang menyelenggarakannya.

1. Kelebihan Menjadi Pekerja Outsourcing:

 Memudahkan calon pekerja/buruh/karyawan fresh graduate untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan sistem outsourcing mereka tidak perlu bersusah payah memasukkan lamaran pekerjaan ke banyak perusahaan karena justru perusahaan outsourcing yang akan menyalurkan mereka.

 Mendapat pelatihan memadai dari perusahaan penyedia jasa pekerja

outsourcing. Sebelum ditempatkan di perusahaan para pencari kerja tentunya harus mendapat pelatihan sehingga pengalaman tentang dunia kerja menjadi bertambah.

(26)

2. Kekurangan Menjadi Pekerja Outsourcing:

 Masa kerja yang tidak jelas karena sistem kontrak. Sebagian besar pekerja

outsourcing khawatir jika ada PHK maka tidak mudah mendapatkan pekerjaan kembali.

 Tidak ada jenjang karir. Karena sistem outsourcing memberlakukan kontrak mengakibatkan pekerja susah memegang jabatan tinggi.

 Tidak mendapat tunjangan. Sebagian besar perusahaan outsourcing tidak memberikan tunjangan seperti THR, asuransi dan jaminan hari tua untuk pekerja

outsourcing.

 Pemotongan penghasilan pekerja outsourcing yang tidak jelas. Rata-rata gaji yang dipotong untuk karyawan outsourcing berkisar dia angka 30 persen dari seharusnya yang mereka terima seandainya menjadi pekerja tetap (karyawan) di perusahaan mereka saat ini bekerja.

3. Kelebihan dan Kekurangan Outsourcing bagi perusahaan a) Kelebihan Outsourcing bai perusahaan

 Mempercepat proses adaptasi terhadap perubahan bisnis

 Manajemen SI yang lebih baik, SI dikelola oleh pihak luar yang telah berpengalaman dalam bidangnya

 Dapat mengeksploitasi skill dan kepandaian yang berasal dari perusahaan lain dalam mengembangkan produk yang diinginkan

 Bagian dari modenisasi dunia usaha

 Meningkatkan daya saing perusahaan dengan efisiensi penggunaan fasilitas dan teknologi

 Memfasilitasi downsizing, sehingga perusahaan tak perlu memikirkan pengurangan pegawai

b) Kekurangan Outsourcing bagi perusahaan

 ketidakpastian status ketenagakerjaan dan ancaman PHK bagi tenaga kerja

 Perbedaan perlakuan Compensation and Benefit antara karyawan internal dengan karyawan outsource

(27)

 Informasi merupakan aset berharga bagi perusahaan, jika salah pengelolaan bisa berbalik menjadi bumeran

Loss of flexibility (kontrak diatas 3 tahun), perubahan teknologi baru tidak bisa diadaptasi dengan cepat oleh perusahaan

 Adanya hidden cost (biaya pencarian vendor, biaya transisi, dan biaya post outsourcing)

 Timbulnya ketergantungan terhadap perusahaan penyedia jasa outsourcing

C. Hubungan antara kebijakan Outsourcing dengan Proses Pembangunan di Indonesia

Sesuai dengan definisi pembangunan yaitu serangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara, dan pemerintah menuju modernitas (kemajuan) dalam rangka pembinaan bangsa (SP.Siagian, Adm.Pembangunan, 1983: 3). Outsourcing merupakan salah satu bidang ketenagakerjaan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selain mempertimbangkan jumlah pengangguran yang besar di Indonesia, pemerintah berpandangan bahwa sektor informal sebagai sektor ekonomi yang kurang produktif, dan menghasilkan pendapatan yang rendah. Karenanya diperlukan dukungan agar pekerja dapat berpindah dari pekerjaan dengan produktivitas rendah ke pekerjaan dengan produktivitas lebih tinggi.

Pendapat dari beberapa ahli seperti Lewwellen, Larrin, Kiely yang menyebutkan bahwa dalam sebuah teori pembangunan ada dua paradigma besar yaitu modernisasi dan ketergantungan. Paradigma modernisasi mencakup teori-teori makro tentang pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial sedangkan teori-teori mikro tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Kondisi Outsourcing sesuai perspektif teori ekonomi makro tidak menguntungkan karena dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tingkat GNP (Gross National Product) atau PDB (Product Domestic Bruto) Indonesia masih rendah. Kenaikan GNP dan PDB dapat muncul melalui yang pertama, kenaikan penawaran tenaga kerja. Kenaikan permintaan tenaga kerja di Indonesia masih kurang dan tidak sebanding dengan banyaknya penawaran tenaga kerja. Dengan demikian pemerintah menerapkan sistem

(28)

besar. Keadaan supply (penawaran) yang lebih besar daripada demand (permintaan) pada faktor produksi berupa SDM, memungkinkan berbagai perusahaan mendapatkan SDM yang besar dalam jumlah yang tidak besar. SDM tersebut biasanya dipekerjakan untuk beberapa jenis pekerjaan yang sifatnya pendukung dan tidak memerlukan keterampilan khusus dalam mengerjakannya, misalnya operator perakit onderdil di produsen kendaraan bermotor, penyedia katering di sebuah perusahaan besar, pengolah tanaman sawit untuk perusahaan produsen minyak goreng, dsb. Dalam prakteknya, sistem outsourcing di Indonesia merupakan suatu hal yang sebenarnya tidak bisa dihindari dalam kehidupan ekonomi modern. Sebuah perusahaan yang besar bahkan tidak akan bisa menangani semua pekerjaan sampai pekerjaan yang paling ringan seperti layanan kebersihan. Pemerintah Indonesia pun telah melegalkan praktek

outsourcing dengan ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan untuk memberikan kebaikan baik pada pihak buruh, perusahaan penyalur, juga pengusaha pengguna buruh itu sendiri. Pemerintah menganggap Kebijakan outsourcing ini dapat mengarahkan konsep pembangunan Indonesia menuju Pasar kerja fleksibel (fleksibillity Labour Market) Pasar kerja fleksibel sendiri menurut Meulders & Wilkin merupakan, sebuah situasi dimana pengguna tenaga kerja (employer) dan pekerja serta pencari kerja bertemu pada suatu tingkat upah tertentu dimana kedua belah pihak memiliki keleluasaan dalam menentukan keputusan untuk bekerjasama tanpa hambatan sosial politik. Keleluasaan ini merupakan bentuk strategi adaptasi masing-masing terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lingkungannya.

Masalah timbul saat pihak pengusaha melakukan pelanggaran atas multitafsir dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Status tenaga outsourcing yang diberikan untuk petugas tersebut memungkinkan pengusaha memberikan upah yang lebih kecil dari pada gaji yang sebenarnya jika pegawai tersebut berstatus sebagai pegawai tetap. Ketiga, Kenaikan produktivitas ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor termasuk perubahan teknologi, kemajuan pengetahuan lain, dan ekonomisnya skala produksi. Sesuai dengan pengertian

outsourcing yaitu pelimpahan pekerjaan penunjang saja pada tenaga kerja, dan tenaga kerja tersebut tidak perlu memiliki ketrampilan khusus dalam bekerja. Namun, beberapa pengusaha telah berbuat menyimpang dari aturan/undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Banyak perusahaan memperkerjakan tenaga kerjanya secara outsourcing

(29)

sebelah mata oleh pengusaha atau perusahaan. Pekerja outsourcing ini mendapatkan perlakuan diskriminatif mulai dari penggajian yang lebih rendah dibandingkan tenaga kerja tetap, pemakaian seragam, ketidak pastian sistem kontrak dan pekerja outsourcing dapat di PHK sewaktu-waktu. Akibatnya terjadilah perubahan sosial dalam masyarakat dengan adanya perserikatan buruh yang menuntut upah yang lebih besar dari yang telah diberikan oleh perusahaan sampai dengan penghapusan sistem outsourcing di Indonesia.

Sedangkan teori ekonomi mikro berkaitan tentang nilai-nilai individu yang menunjang proses perubahan. Dalam outsourcing timbul rasa iri atau tidak suka antara pekerja

outsourcing dengan pekerja tetap. Hal ini dikarenakan pekerja outsourcing mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh pengusaha sehingga dapat berakibat munculnya suatu kriminilatas dalam suatu perusahaan. Apabila sudah terjadi kriminalitas dalam suatu perusahaan akibatnya proses menuju perubahan masyarakat yang modern terhambat dan dapat membuat pembangunan suatu Negara atau wilayah gagal.

(30)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis diatas, kebijakan outsourcing sesuai dengan teori pertumbuhan Rostow khususnya pada tahap lepas landas, hal ini dikarenakan terjadinya pembangunan industri-industri baru berupa perusahaan atau pabrik-pabrik. Asumsi bahwa semakin banyak dan terbukanya pasar-pasar baru di Indonesia dapat membuat investasi suatu Negara akan semakin meningkat, serta mempercepat pertumbuhan perkonomian suatu negara. Selain itu outsourcing pada akhir-akhir ini mengarah pada pendekatan teori kapitalis, hal ini dibuktikan dengan arah dimana para perusahaan tersebut dalam kebijakan outsourcing diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi para pengusaha tanpa memperhatikan kesejahteraan para pekerja terutama dibidang ekonomi.

Kebijakan outsourcing kurang maksimal diterapkan di Indonesia, hal ini dikarenakan Pemerintah memang memandang kebijakan outsourcing ini dapat meningkatkan pendapatan nasional Negara dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat dengan berkurangnya pengangguran. Namun faktanya pengangguran dan masyarakat miskin masih banyak di Indonesia. Dalam sebuah desa yang dekat dengan sektor perindustrian di perkotaan dipastikan pengangguran berkurang walaupun masih ada, sedangkan tingkat produktivitas SDM di desa yang sangat jauh dari pusat perindustrian di perkotaan dan penduduknya masih belum melek huruf atau terbelakang pengangguran didaerah tersebut masih banyak. Belum meratanya proses modernisasi dalam perindustrian pada desa atau daerah terbelakang di Indonesia. Outsourcing dipraktekkan oleh para pengusaha atau perusahaan menyimpang dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja outsourcing ditempatkan bukan dalam pekerjaan borongan yang tidak memiliki ketrampilan khusus tetapi juga ditempatkan pada pekerjaan inti yang merupakan bisnis dari perusahaan penyelenggara.

Outsourcing berdampak buruk yaitu pekerja mendapatkan perlakuan yang diskriminatif oleh perusahaan penyelenggara. Dampak ini dapat mengubah perilaku individu yang menimbulkan kriminalitas serta dapat menghambat perubahan sosial.

(31)

nasional) dan perubahan sosial yang dihasilkan belum tampak seperti berkurangnya tingkat kesejahteraan dan pengangguran secara merata di masyarakat.

B. Saran

(32)

DAFTAR PUSTAKA

http://firiijb.wordpress.com/2014/03/26/teori-ekonomi-kesejahteraan/

http://siboykasaci.wordpress.com/teori-kesejahteraan/

http://jayaadministrasi.blogspot.com/2013/12/makalah-teori-pembangunan.html

Gambar

Gambar diatas menjelaskan adanya interaksi mengenai beberapa hubungan dari

Referensi

Dokumen terkait

Kaidah pencacahan adalah suatu kaidah yang digunakan untuk menghitung semua kemungkinan yang dapat terjadi dalam suatu kejadian.Dalam kehidupan sehari-hari, kita

Penerimaan dalam masyarakat ialah mereka lebih mudah menerima seseorang berpenampilan agamis (pakaian syar’i) dibandingkan seseorang yang biasa.Selain itu, pada bidang ekomoni dari 5

Dalam pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam tindak pidana penganiayaan rumusan deliknya dititik beratkan terhadap akibat yang dialami oleh korban yang dilakukan oleh

43 PURWANTO SD NEGERI 1 SUNGAPAN Galur SMP N 1 LENDAH. 44 WAHYU SUDARMOKO SD NEGERI PLERET KIDUL Panjatan SMP N

Menurut Jumingan (2014, hal. 242) “Analisis Rasio Keuangan merupakan analisis dengan membandingkan satu pos laporan dengan dengan pos laporan keuangan lainnya, baik

Adalah dana yang dialokasikan dari APBN untuk daerah sebagai pengeluaran pemerintah pusat untuk belanja daerah, yang meliputi:.. 1) Dana

Tujuan diterapkannya K3 di PT Ferron Par Pharmaceuticals untuk melindungi dan menjamin keselamatan dan kesehatan setiap tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja,

Mengetahui konsentrasi katalis yang optimum untuk sintesis senyawa 3- metoksi-4-hidroksikalkon yang dibuat melalui kondensasi Claisen-Shcmidt dengan teknik grinding