• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM EKONOMI ISLAM subjek hukum ekonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM EKONOMI ISLAM subjek hukum ekonomi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM EKONOMI ISLAM

Makalah

Al Islam dan Ke-Muhammadiyahan 4

Dosen Pengampu: Drs. Hamron Zubadi, M. Si

Disusun Oleh: Kelompok 3

Sinta Aslivia 15.0102.0058 Danu Wijaya DP 15.0102.0059 Ulfa Chanifah 15.0102.0060 Elsi Dwi Pratiwi 15.0102.0061 Endra Setiawan 15.0102.0062 Erlinda Nila Luvita 15.0102.0064 Tri mugiarti 15.0102.0065

Angga Pradana K 15.0102.0067 Arif Zulfikar 15.0102.0068 Nora Angelita W 15.0102.0070 Faida Aprilia 15.0102.0071 Sri Devi Oktavia 15.0102.0072 Imam Pamungkas 15.0102.0073

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

(2)

A. Hakikat Hukum Ekonomi

Hukum ekonomi merupakan pernyataan mengenai kecenderungan suatu pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok fenomena. Semua hukum ilmiah adalah huku dalam arti yang sama. Tetapi hkum-hukum ekonomi tidak bisa setepat hukum ilmu-ilmu pengetahuan alam. Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial, dengan menghadapi banyak orang yang dikendalikan oleh banyka motif. Unsur ini dalam situasinya menyebabkan kenyataan bahwa hukum-hukum ekonomi hanya dapat memberikan hasil rata-rata. Data ekonomi tidak hanya banyak jumlahnya tetapi data itu sendiri bisa berubah. Kaerna selera, watak, dan sikap manusia berubah pada suatu jangka waktu maka tugas untuk meramalakan bagaimanakah perbedaan reaksi manusia terhadap suatu perubahan keadaan tertentu pada kesempatna yang berbeda, menjadi sangat riskan dan berbahanya. Banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi tertentu. Semua data tidak dapat diramalkan dan diketahui berdasarkan data yang diketahui dan mungkin dipalsukan atau diubah oleh pengaruh data yang tidak diketahui.

“Hukum-hukum ekonomi”, tulis Seligman dalam karyanya Principles of Economics, pada hakikatnya bersifat hipotetik. Semua hukum ekonomi memuat isi anak kalimat bersyarat sebagai berikut, “hal-hal lain sama keadaannya:, yakni kita beranggapan bahwa seperangkat fakta-fakta tertentu akan menyusul kesimpulan-kesmpulan tertentu jika tidak terjadi perubahan lain pada waktu yang bersamaan. Hukum dari semua ilmu pengetahuan lainnya juga bersifat hipotetik. Semua hukum ekonomi pada hakikatnya tidak hipotetik. Ada beberapa hukum ekonomi yang dapat dianggap benar seperti hukum alam dan hukum lain yang berlaku. Sebagaimana yang dikatakan Marshall, “Seperti juga neraca halus seorang ahli kimia yang telah membuat ilmu kimia lebih eksak daripada ilmu

pengetahuan alam mana pun, demikian neraca ahli ekonomi sekalipun secara kasar dan

tidak sempurna telah membuat ilmu ekonomi lebih eksak dibanding dengan cabang ilmu-ilmu sosial lain yang manapun”. Secara umu ilmu ekonomi tidak memberikan kesimpulan dan doktrin yang mapan kepada kita. Sebaliknya memberikan perlengkapan pikiran, teknik berpikir, pandangan, dan pendekatan.

B. Sumber Hukum Ekonomi Islam

(3)

menghasilkan kebenaran baru dan tuntunan segar pada setiap masa dan tingkatan. Kita semua mengtahui pada dasarnya da empat sumber Hukum Islam: Al Quran, Sunnah dan Hadits, Ijma, Qiyas, dan Ijtihad.

1. Al-Qur’an

(4)

Al Qur’an juga membicarakan prinsip-prinsip pokok dan menaruh perhatian terhadap sifat-sifat Ilahi, dan suatu cara agar umat manusia dapat memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang itu. Sesungguhnya, semua hal pokok bagi peningkatan kesejahteran umat manusia di segala bidang, entah mengenai asas atau kelakuan, telah diutarakan dan disusun dalam Al Qur’an (An Nahl, 16:90). Kemudian kita diingatkan: “Hai mausia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dri Tuhan-Mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S, Yunus, 10:57).

Hal terakhir, adalah kesalahpahaman mengenai Al Qur’an yang timbul dari anggapan N.J Coulson yang membuat ulasan sebagai berikut: ”Tujuan utma Al Qur’an bukanlah untuk mengatur hubungan anatara manusia dengan sesamanya, melainkan hubungan dengan penciptanya”. Pandangan ini menunjukkan ketidakpahaman yang menyedihkan dari si Pengarang mengenai hukum Al Qur’an yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan kehidupan spiritual dan material. Ayat-ayat yang diwahyukan di Mekkah terutama yang terdahulu, semuanya memerintahkan gar rakyat Mekah percaya pada hari kebangkitan kembali, hari kiamat dan ganjaran tau hukuman, aturan tentang perkawinan dan perceraian, persoalan perang dan damai, hukuman terhadap pencurian, perzinaan, pembunuhan manusia, dan sebagainya. Dengan demikian jelaslah bahwa Al Qur’an tidak hanya mengenai rincian tentang pentingnya menyusun dan memelihara hubungan erat dengan Tuhan tetapi juga menjelaskan semua yang mungkin diperlukan untuk memenuhi kehidupan sosial yang lengkap.

2. Hadits dan Sunnah

Dalam konteks hukum Islam Sunnah secara harfiah berarti "cara, adat istiadat, kebiasaan hidup" mengacu pada perilaku Nabi SAW yang dijadikan teladan: Sunnah sebagian besar didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian Sunnah mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya.

(5)

adalah pemberitaan sesungguhnya, jika ia menuruti kaidah dan akan menjadi asas praktik bagi kaum muslimin. Sementara Sunnah merupakan sebagian besar dan terutama adalah suatu fenomena praktik yang dilengkapi dengan norma-norma perilaku, Hadist menjadi sarana tidak hanya dari norma-norma hukum tetapi juga dari kepercayaan dan asas-asas keaagamaan.

Jawaban atas pertanyaan mengenai mengapa Sunnah merupakan sumber hukum ada pada Kitab Suci Al Qur'an, yang memerintahkan kaum Muslimin agar mengikuti perilaku Nabi SAW untuk menjadi teladannya. Melalui Al Qur'an, Allah memerintahkan Nabi SAW untuk menetapkan masalah-masalah kaum Muslimin menurut wahyu-wahyu-Nya. (Q.S. Al Maidah 5 : 47-48). Selanjutnya Nabi SAW dinyatakan sebagai penafsir Al Qur'an (Q.S. An Nisa 5 : 16, 44). Al Qur'an umpamanya menyebut Shalat dan Zakat, namun tidak menulis rincian-rinciannya. Nabilah yang menjelaskan hal-hal itu kepada pengikut-pengikutnya dalam bentuk yang praktis. Lagi pula, Al Qur'an menuntun kaum Muslimin untuk mengikuti suri teladan Nabi. Karena itu, Sunnah menjadi sumber Hukum Islam. Dalam usaha memberikan kedudukan utama kepada Sunnah sebagai sumber hukum, teori yang menyatakan bahwa Sunnahlah yang merupakan pelengkap terhadap Al Qur’an dan dapat menggantikan Al Qur’an bila terjadi kontradiksi. Kita tidak bersedia menerima pendirian ini semata-mata karena

peralihan pusat gaya berat dari Al Qur’an kepada Sunnah. F. Rahman menyebutkan bahwa “setelah periode para sahabat (dan dalam beberapa hal mengenai generasi “para pengganti” berikutnya), Sunnah tidaklah dapat disimpulkan dari praktek sesungguhnya tetapi hanya dari Hadist yang disampaikan secara tegas. Akan tetapi yang terpenting adalah kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui penafsiran suatu Hadist dalam kurun waktu mana saja disebut Sunnah. Sehingga Abu Daud (meninggal 275/888) sesudah menunjuk suatu Hadits, berkata, “Ada lima Sunnah dalam hadits ini, “yakni lima soal dengan sifat nrma-norma praktis yang dapat disimpulkan dari Hadits ini.”

(6)

dari kalangan Khariji dan sekte-sekte lainnya, yang dalam rinciannya mengenai hampir semua hal bertentangan.

3. Ijma’

Ijma’ adalah sumber ketiga hukum islam, merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun para cendekiawan agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas kepada para sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampainya, sedangkan ijma adalah suatu prinsip isi hukum baru yang timbul sebagai akibat dalam melakukan penalaran dan logikanya menghadapi suatu masyarakat yang meluas dengan cepat, seperti halnya masyarakat Islam dini, yang bermula dengan para sahabat dan diperluas kepada generasi-generasi berikutnya.

Ijma' didasarkan pada Hadits, ketika Nabi berkata : "perbedaan pendapat umatku, adalah pertanda adanya rakhmat yang datangnya dari Tuhan". Terdapat hal-hal yang telah diterima dan disetujui secara umum oleh seluruh masyarakat. Jenis ijma' masyarakat. Di lain pihak, terdapat ketentuan-ketentuan yang telah disetujui oleh kalangan ulama, dari suatu daerah tertentu, dan tidak oleh seluruh masyarakat. Jenis ini dikenal sebagai ijma' ulama yang dapat digunakan sebagai mekanisme untuk menciptakan sejenis perpaduan antara pendapat-pendapat berbeda yang timbul sebagai akibat kegiatan-kegiatan hukum pribadi ulama.

Suatu masyarakat muslim yang ingin tetap mengikuti dunia modern harus memberikan arti yang layak kepada ijma' sebagai sumber hukum Islam dan yirisprudensi. Karena ia membantu kita memperoleh seperangkat asas-asas atau kitab undang-undang tingkah laku yang menjalankan Ijtihad, dasar Fikh, yang terakhir tetapi tak kalah pentingnya.

4. Ijtihad atau Qiyas

(7)

Di abad-abad dini Islam, Ra'y (pendapat pribadi) merupakan alat pokok Ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh Qiyas. Tak diragukan lagi bahwa Al Qur'an dan Sunnah memberikan ketentuan hukum mengenai kehidupan individu dan sosial kaum muslimin kepada kita.

Peranan Qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada soal-soal yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan sebab "efektif" yang bisa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum, perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang baru, malainkan hanya membantu kita untuk menemukan hukum.

C. Prinsip-prinsip Hukum Lainnya

Sejauh ini terdapat empat dasar Fiqh yang telah diuji, yakni sumber-sumber hukum yang telah diterima dan disahkan oleh keempat mazhab terpenting. Tetapi ada prinsip-prinsip hukum lain yang hanya diterima oleh sebagian kecil dari mereka dan perlu dijelaskan secara singkat, yaitu istihsan, istislah, dan istishab.

1. Istihsan

Terpenting diantara 3 prinsip ini adalah istihsan yang hanya dianjurkan oleh Mazhab Hanafi. Secara harfiah artinya adalah menganggap sesuatu itu baik dan benar. Menurut risalah “usul Fiqh”, secara teknis istihsan menyatakan pengabaian pendapat yang dihasilkan melalui penalaran anologi (qiyas) dengan lebih menyukai suatu pandapat yang berbeda yang didukung oleh pembuktian yang lebih kuat.

Istihsan merupakan “suatu sarana yang efektif dari pada Qiyas dalam memasukkan unsur-unsur baru, karena dalam hal ini ketentuan-ketentuan untuk menetapkan persoalan adalah lebih mudah dalam Qiyas, maka ia memberi kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar”.

2. Istislah

(8)

Karena prinsip yang digunakan oleh Mazhab Maliki mengesampingkan perlunya menemukan bukti pendukung dalam sumber-sumbernya, barangkali dari kesemuanya, inilah yang paling efektif dalam menghadapi suatu keadan yang belum pernah terdengar sebelumnya.

3. Istishab

Prinsip ini diajukan oleh Imam Syafi’i. Menurut istishab, bila eksistensi sesuatu hal telah pernah ditetapkan dengan bukti, walaupun kemudian timbul keragu-raguan mengenai kelanjutan eksistensinya, ia masih tetap dianggap ada. Disebut istishab ah-hal, bila masa kini dinilai menurut masa silam, dan disebut istishab al-madi, jika kebalikannya yang terjadi. Prinsip inin juga diakui oleh Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, tetapi hanya untuk menyangkal suatu pernyataan (dawa), yaitu sebagai alat pembelaan (daf’dawa) dan bukan untuk menetapkan suatu pernyataan (dawa).

D. Mazhab-mazhab Fiqh dan Implikasi Kontemporer

Hukum islam sebagai latar belakang untuk memahami hukum dan asas-asas ekonomi, atau secara rasional menentukan sejauh mana pengaruh pengetahuan yang bukan wahyu dalam menetapkan Fiqh atau hukum islam.

Diantara mazhab-mazhab Fiqh yang terpenting adalah:

1. Mazhab yang didirikan oleh Abu Hanifah 80H-150H (699M-767M), terkenal sebagai Mazhab Hanafi.

2. Malik Abu Anas, 95H-179H (713M-795M), terkenal sebagai Mazhab Maliki.

3. Muhammad Ibn Idris al Shafi’i, 150H-204H (767M-820M), terkenal sebagaui Mazhab Syafi’i.

4. Ahmad Ibn Hanbal, 169H-241H (780M-855M), terkenal sebagai Mazhab Hanbali Disamping mazhab-mazhab terkemuka tersebut, terdapat pula mazhab-mazhab Fiqh lainnya yang didirikan oleh ulama-ulama seperti Dawud ibn ‘Ali al Awza’i, Sufyan al Thawri, dan Abu Thwar, di zaman yang sama.

(9)
(10)

Daftar Pustaka

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kasus kebijakan pemerintah Aceh mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan penanganan pengungsi asing di Aceh ini, maka dapat dikaji bahwa terdapat dua

Menurut beberapa petani kopi yang di wawancarai serta berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi pengalihan fungsi lahan

Melihat hasil perhitungan di atas maka dapat diartikan bahwa wajib pajak orang pribadi yang telah memahami peraturan perpajakan dan mau melakukan kewajibannya selaku

Memiliki batasan untuk mengerjakan tugas akhir ini mengenai topik tentang name matching yaitu mencocokk- an nama dengan nama arab dari hadits shahih bukhori terjemahan bahasa

19.Bagian yang berfungsi sebagai penghubung antara komputer dengan lingkungan di luarnya dan sebagai media komputer untuk menerima masukan dari luar

 Jumlah karyawan farmasi untuk shift pagi : 54 orang terbagi untuk pelayanan di unit farmasi rawat jalan I, II, IGD, balkesmas, depo central, depo OK,

Dalam hal ini perusahaan asuransi akan membeli semua hasil panen petani dengan harga wajar / harga pasar dari uang tabarru’ yang diperuntukkan untuk investasi

Data citra perkebunan dengan resolusi tinggi dapat diperoleh menggunakan teknik pemetaan photogrammetry. Penghitungan jumlah pohon dapat dilakukan