• Tidak ada hasil yang ditemukan

respon beberapa varietas lokal terhadap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "respon beberapa varietas lokal terhadap"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi karena

memiliki potensi kerusakan yang tinggi bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di

negara-negara tropik Asia lainnya. Pada musim tanam 1969-1992 penyebab

penyakit tungro dilaporkan menginfeksi pertanaman padi di Sumatera,

Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, Irian Jaya dengan

total luas tanaman terinfeksi 244.904 ha (Hasanuddin et al., 1997). Ledakan penyakit tungro yang terjadi pada akhir tahun 1995 di wilayah Surakarta, Jawa

Tengah mengakibatkan sekitar 12.340 ha sawah puso, dan nilai kehilangan hasil

akibat penyakit tersebut diperkirakan setara dengan Rp. 25 milyar (Puslitbangtan,

1995). Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir luas serangan penyakit tungro

mencapai 17.504 ha/tahun (Soetarto et al. 2001), terluas dibandingkan dengan

luas infeksi penyakit lain dengan estimasi nilai kehilangan hasil mencapai

Rp14,10 miliar/tahun (widiarta, 2005). Pada awal tahun 2008, penyakit tungro

dilaporkan telah menyebar ke Daerah Sumatera barat, khususnya di Kabupaten

Pesisir Selatan, Solok, Pasaman Barat (BPT, 2008). Sampai saat ini penyakit

tungro masih sering terjadi di Sulawesi Selatan, Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah

dan Jayapura yang merupakan sentra produksi padi Nasional.

Penyebaran dapat meluas dengan cepat terutama apabila faktor-faktor

pendukung perkembangannya tersedia seperti kepadatan populasi vektor utama

(2)

terutama musim hujan dan kelembaban yang tinggi, sangat menguntungkan bagi

perkembangan wereng hijau.

Infeksi penyakit tungro pada tanaman padi dapat terjadi sejak tanaman di

persemaian. Pada daerah pertanaman padi yang serempak infeksi penyakit tungro

sebagian besar mulai terjadi setelah tanam. Kehilangan hasil akibat infeksi

penyakit tungro bervariasi, bergantung pada periode pertumbuhan tanaman saat

terinfeksi, lokasi dan titik infeksi, musim tanam, dan varietas. Makin muda

tanaman terinfeksi makin besar persentase kehilangan hasil yang ditimbulkan

(Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1992). Kehilangan hasil pada stadia

infeksi 2-12 minggu setelah tanam (MST) berkisar antara 90 - 20%. Kehilangan

hasil rumpun tanaman di pusat infeksi lebih tinggi daripada rumpun tanaman di

pinggir infeksi. Kehilangan hasil pada tanaman terinfeksi di musim hujan lebih

tinggi daripada tanaman terinfeksi di musim kemarau (Widiarta. 2005).

Menggunakan varietas tahan virus terutama rice tungro bacilliform virus

(RTBV), membatu agar rice tungro spherical virus ( RTSV) tidak dapat

ditularkan oleh vektor karena tidak ada virus perantara (Widiarta dan Daradjat

2000). Menggunakan varietas tahan, juga dapat mengubah kebiasaan mengisap

vektor sehingga wereng hijau hanya mengisap pembuluh xilem yang tidak

mengandung virus tungro (Siwi et al. 1999). Sama et al.(1991) melaporkan

bahwa penyakit tungro di Sulawesi Selatan sebagai daerah endemis, berhasil

dikendalikan dengan cara memadukan waktu tanam yang tepat dan penggunaan

varietas tahan. Namun, pengendalian dengan varietas tahan secara terus menerus

(3)

karena itu, pergiliran varietas tahan dan penerapan tanam serempak (minimal 20

hektar) menjadi salah satu alternatif pengendalian yang perlu dilakukan secara

intensif dengan memperhatikan tingkat virulensi virus (Widiarta et al. 2003).

Berdasarkan hal tersebut diatas maka pengetahuan tentang

varietas-varietas yang tahan terhadap penyakit tungro khususnya galur lokal masih sangat

diperlukan, hal ini yang mendasari dilaksanakannya penelitian ini.

Hipotesis

Terdapat salah satu galur lokal yang tahan terhadap penyakit tungro.

Tujuan Dan Kegunaan

Tujuan dari praktek lapang ini adalah untuk mengetahui galur lokal yang

tahan terhadap tungro.

Kegunaannya adalah sebagai bahan informasi terhadap pengendalian

(4)

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik tanaman padi

Berdasarkan literatur Grist (1960), tanaman padi dalam sistematika

tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan ke dalam: Divisi; Spermatophyta, Subdivisi; Angiospermae, kelas; Monocotyledonae, family; Graminae (Poaceae), Genus; Oryza Linn, spesies; Oryza sativa L.

Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah Oryza sativa dengan dua

subspesies yaitu indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi

cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di

dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan

(http://www.warintek.ristek.go.id., 2008).

Akar tanaman padi memiliki sistem perakaran serabut. Ada dua macam

akar yaitu : Akar seminal yang tumbuh dari akar primer radikula sewaktu

berkecambah dan bersifat sementara, akar adventif sekunder yang bercabang dan

tumbuh dari buku batang, muda bagian bawah Akar adventif tersebut

menggantikan akar seminal. Akar ini disebut adventif/buku, karena tumbuh dari

bagian tanaman yang bukan embrio atau karena munculnya bukan dari akar yang

telah tumbuh sebelumnya (Suharno, 2005). Batang terdiri atas beberapa ruas

yang dibatasi oleh buku, dan tunas (anakan) tumbuh pada buku. Jumlah buku

sama dengan jumlah daun ditambah dua yakni satu buku untuk tumbuhnya

(5)

terpanjang adalah ruas yang teratas dan panjangnya berangsur menurun sampai ke

ruas yang terbawah dekat permukaan tanah (Tobing, dkk, 1995).

Anakan muncul pada batang utama dalam urutan yang bergantian. Anakan

primer tumbuh dari buku terbawah dan memunculkan anakan sekunder. Anakan

sekunder ini pada gilirannya akan menghasilkan anakan tersier (Suharno, 2005).

Daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam susunan yang berselang

seling terdapat satu daun pada tiap buku. Tiap daun terdiri atas; Helaian daun

yang menempel pada buku melalui pelepah daun, pelepah daun yang

membungkus ruas di atasnya dan kadang-kadang pelepah daun dan helaian daun

ruas berikutnya, telinga daun (auricle) pada dua sisi pangkal helaian daun, lidah

daun (ligula) yaitu struktur segitiga tipis tepat di atas telinga daun, daun bendera

adalah daun teratas di bawah malai (Suharno, 2005).

Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Malai terdiri dari 8–10

buku yang menghasilkan cabang–cabang primer selanjutnya menghasilkan

cabang–cabang sekunder. Dari buku pangkal malai pada umumnya akan muncul

hanya satu cabang primer, tetapi dalam keadaan tertentu buku tersebut dapat

menghasilkan 2–3 cabang primer (Tobing, dkk, 1995).

Lemma yaitu bagian bunga floret yang berurat lima dan keras yang

sebagian menutupi palea dan memiliki suatu ekor. Palea yaitu bagian floret yang

berurat tiga yang keras dan sangat pas dengan lemma. Bunga terdiri dari 6 benang

sari dan sebuah putik. Enam benang sari tersusun dari dua kelompok kepala sari

(6)

Butir biji adalah bakal buah yang matang, dengan lemma, palea, lemma

steril, dan ekor gabah (kalau ada) yang menempel sangat kuat. Butir biji padi

tanpa sekam (kariopsis) disebut beras. Buah padi adalah sebuah kariopsis, yaitu

biji tunggal yang bersatu dengan kulit bakal buah yang matang (kulit ari), yang

membentuk sebuah butir seperti biji. Komponen utama butir biji adalah sekam,

kulit beras, endosperm, dan embrio (Suharno, 2005).

Ada tiga stadia umum proses pertumbuhan tanaman padi dari awal

penyemaian hingga pemanenan :

1. Stadia vegetatif ; dari perkecambahan sampai terbentuknya bulir. Pada

varietas padi yang berumur pendek (120 hari) stadia ini lamanya sekitar 55

hari, sedangkan pada varietas padi berumur panjang (150 hari) lamanya

sekitar 85 hari.

2. Stadia reproduktif ; dari terbentuknya bulir sampai pembungaan. Pada

varietas berumur pendek lamanya sekitar 35 hari, dan pada varietas

berumur panjang sekitar 35 hari juga.

3. Stadia pembentukan gabah atau biji ; dari pembungaan sampai pemasakan

biji. Lamanya stadia sekitar 30 hari, baik untuk varietas padi berumur

pendek maupun berumur panjang.

Pemuliaan padi

Pemuliaan tanaman merupakan perpaduan antara seni dan ilmu dalam

memperbaiki pola genetik dari populasi tanaman. Pemuliaan padi bertujuan untuk

menghasilkan varietas-varietas baru yang lebih baik dari varietas-varietas yang

(7)

bergantung pada kemampuan kelompok pemulia tanaman mengelola dan

memanfaatkan secara maksimal keragaman genetik plasma nutfah yang tersedia.

Abdullah, (2009) menyatakan bahwa pembentukan atau perakitan varietas unggul

padi merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan dan memerlukan

waktu yang panjang (multiyear activities) yang terdiri dari tiga kegiatan utama, yaitu persilangan untuk membentuk populasi dasar, seleksi untuk memilih

populasi dan atau tanaman yang dikehendaki, dan uji daya hasil dan adaptasi

galur-galur harapan untuk mengidentifikasi galur-galur unggulan yang dapat

diusulkan menjadi varietas unggul tipe baru (VUTB).

Keragaman genetik sangat menentukan keberhasilan pemuliaan padi.

Indonesia mempunyai padi bulu atau subspecies japonica tropis yang digunakan

sebagai tetua dalam pembentukan padi tipe baru (PTB) di IRRI, sebagai sumber

sifat yang mendukung tanaman berpotensi hasil tinggi, seperti batang kokoh serta

malai panjang dan padat. Padi subspesies indica mempunyai sifat beranak banyak

dan genjah. Penggunaan padi indica sebagai tetua dalam pembentukan padi tipe

baru (PTB) diharapkan mendapatkan galur-galur padi tipe baru (PTB) yang

mempunyai anakan lebih banyak, semua produktif, dan berumur pendek

dibanding padi tipe baru (PTB) hasil persilangan japonica daerah sedang dan

tropis. Sejak tahun 2001, pembentukan padi tipe baru (PTB) telah menggunakan

persilangan yang kompleks dengan banyak tetua, yang mempunyai gen-gen

indica, japonica subtropis dan tropis, serta galur-galur introgresi yang mempunyai

gen-gen dari padi liar. Melalui program ini telah dihasilkan populasi dasar dari

(8)

galur-galur harapan sebagai materi seleksi untuk memperoleh galur atau varietas

yang lebih baik dari yang sudah ada (Abdullah et al., 2008).

Populasi dapat dibentuk melalui koleksi, introduksi, persilangan, mutasi

atau fusi. Pembentukan populasi dilakukan dengan mengadakan persilangan

antara beberapa varietas tetua untuk menggabungkan sebanyak mungkin sifat-sifat

yang baik kedalam suatu populasi dan kemudian memilih tanaman-tanaman yang

baik dari populasi tersebut. Populasi tersebut kemudian dilakukan seleksi untuk

mendapatkan sifat-sifat yang diharapkan. Seleksi dalam hal ini mencakup seleksi

untuk memilih tetua atau galur pada populasi bersegregasi.

Uji daya hasil merupakan lanjutan salah satu tahapan dalam program

pemuliaan tanaman yang bertujuan mengevaluasi keberadaan gen-gen yang

diinginkan pada suatu genotipe yang selanjutnya dipersiapkan sebagai galur atau

kultivar unggul baru. Biasanya kegiatan ini memerlukan banyak waktu, tenaga

dan biaya. Secara umum ada tiga tahap uji daya hasil yaitu uji daya hasil

pendahuluan, uji daya hasil lanjut, dan uji multi lokasi (Nasir, 2001).

Padi Tipe Baru

Pembentukan padi tipe baru (PTB) di Indonesia dimulai sejak tahun 1995,

dengan mengintroduksi beberapa galur PTB dari IRRI yang merupakan keturunan

dari hasil persilangan antara padi subspecies japonica daerah sedang dan japonica

tropis (javanica), seperti IR65600, IR66160 dan IR66738. Galur-galur tersebut

disilangkan dengan varietas unggul dan galur-galur harapan yang tergabung

sebagai subspecies padi indica mempunyai anakan banyak. Hal ini dilakukan

karena galur-galur PTB IRRI anakannya terlalu sedikit, sehingga akan sulit untuk

(9)

membentuk padi yang mempunyai malai lebat dengan anakan yang tidak terlalu

sedikit (sedang), sehingga dapat meningkatkan potensi hasil (Abdullah, 2009).

Las et al, (2003) menyatakan bahwa telah dihasilkan varietas dan sejumlah

galur PTB dalam beberapa generasi. Dalam program awal pembentukan PTB

telah dihasilkan sejumlah galur semi PTB, yang sebagian sifat-sifatnya

menyerupai sifat PTB yang sebenarnya, antara lain jumlah anakan yang relatif

sedikit (10-12 batang/rumpun) dan potensi hasil 5-10% lebih tinggi dibanding

varietas IR64 dan Ciherang. Galur-galur tersebut antara lain adalah

BP-10384-MR-1-8-3 yang dilepas pada tahun 2001 dengan nama Cimelati dan

BP-50F-MR-30-5 yang dilepas pada tahun 2002 dengan nama Gilirang (aromatik). Varietas

Gilirang cukup pesat pengembangannya.

Generasi kedua. Beberapa galur PTB yang potensial antara lain adalah

BP138E-KN-23, BP-364-MR-33-PN-5-1, BP364B-MR-33-2-PN-2-5-5-1,

BP342B-MR-30-1, dan BP140F-MR-1. Galur-galur tersebut umumnya masih

memerlukan pengujian lanjutan untuk menentukan teknologi budidaya yang

paling tepat. Meskipun tingkat kehampaan gabahnya masih tinggi, tetapi galur

PTB generasi kedua ini mempunyai jumlah gabah isi yang tetap lebih banyak

(149-188 butir/malai) dibandingkan dengan gabah isi varietas lR64 (112

butir/malai). Galur yang telah memenuhi syarat untuk dilepas adalah

BP-364B-33-3-PN-5-1. Selain berdaya hasil lebih tinggi, galur-galur PTB generasi kedua

tahan terhadap hama wereng coklat biotipe 2, tetapi relatif peka terhadap penyakit

(10)

Generasi ketiga dan seterusnya. Saat ini terdapat sekitar 80 galur harapan

PTB generasi menengah yang masih dalam tahap pengujian. Hasil pengujian

menunjukkan galur harapan terbaik PTB generasi ketiga ini mampu berproduksi

lebih dari 8 ton/ha, atau 20% lebih tinggi daripada hasil varietas IR64.

Padi tipe baru (PTB) perlu dikembangkan di Indonesia, karena: 1) padi

sawah merupakan pemasok utama produksi beras nasional, sehingga penanaman

PTB akan meningkatkan produktivitas, produksi, dan pendapatan petani, 2) PTB

merupakan padi inbrida, sehingga produksi benih lebih mudah dan murah dan

harga benih bermutu terjangkau petani (Abdullah et al., 2008).

Uji Multi lokasi

Seleksi melalui uji multi lokasi merupakan tahap terakhir dari rangkaian

program pemuliaan. Galur-galur yang diuji jumlahnya hanya berkisar 10 sampai

15 galur. Galur-galur yang diuji tidak hanya berasal dari penggaluran populasi

yang bersegregasi saja, tetapi juga galur-galur harapan atau galur introduksi

manca Negara. Tujuan pengujian ini adalah untuk menilai stabilitas hasil

galur-galur harapan dan mengetahui daya adaptasinya (Nasir, 2001).

Pengertian lingkungan dalam pemuliaan biasanya dijabarkan pada lokasi

dan tahun/ musim sehingga minimal percobaan dilakukan di 2 lokasi dan 2

tahun/musim sehingga ada 4 kondisi lingkungan. Hal ini dilakukan untuk

mengatasi pengaruh bias yang besar pada pengujian yang dilakukan pada satu

lokasi atau musim karena adanya pengaruh interaksi baik musim x genotipe,

maupun lokasi x genotipe yang cukup besar. Makarim dan Suhartatik (2009)

(11)

dari pengaruh interaksi antara faktor genetik varietas tanaman dengan lingkungan

dan pengelolahan melalui proses fisiologik dalam bentuk pertumbuhan tanaman.

Penampilan tanaman pada suatu wilayah merupakan respon dari sifat tanaman

terhadap lingkungannya dan juga pengelolahannya.

Pada suatu kondisi iklim (tempat dan musim) tertentu, suatu varietas

dengan genetik tertentu memiliki potensi hasil tertentu pula, yang disebut potensi

hasil G x E (genotipe x lingkungan) atau sering disebut potensi hasil saja.

Makarim dan Suhartatik (2009) menambahkan bahwa potensi hasil adalah hasil

maksimal atau batas kemampuan varietas tanaman untuk berproduksi pada

kondisi iklim tertentu pada suatu lokasi tanpa adanya kendala seperti kekurangan

air, hara, keracunan besi, garam, serangan hama, penyakit, dan sebagainya.

Ketahanan tanaman padi terhadap virus tungro

Pada dasarnya tanaman padi memiliki ketahanan terhadap suatu penyakit

yang dimana bisa dijadikan tetua tahan terhadap penyakit tertentu. Sehingga

pengujian galur-galur padi perlu dilakukakan untuk menemukan gen ketahanan

terhadap penyakit tungro untuk disilangkan dengan varietas unggul. Ini sesuai

pernyataan (Semangun,1996) bahwa jika kita membandingkan suatu patogen

terhadap beberapa kultivar (varietas, klon) satu jenis tumbuhan tertentu, sering

tampak adanya reaksi yang berbeda-beda dari kultivar-kultivar itu, yang berkisar

antara sangat rentan dan sangat tahan. Ketahanan dan kerentanan adalah

pengertian yang relatif, dengan dengan tidak ada batas-batasnya yang tajam. Jika

suatu kultivar tumbuhan disebut tahan terhadap serangan patogen tertentu,

(12)

pertama mempunyai ketahanan yang lebih tinggi daripada kultivar kedua. Bahkan

ketahanan dan kerentanan ini dapat bervariasi karena pengaruh lingkungan dan ras

patogen. Imunitas atau kekebalan, yaitu sama sekali bebas dari patogen yang

dapat menyerang kultivar lain dari jenis tumbuhan yang sama, jarang terdapat.

Penyakit tungro

Tungro yang artinya pertumbuhan terhambat merupakan salah satu

penyakit virus yang paling merusak padi di asia tenggara. Ribuan hektar sawah di

banyak Negara telah terkena wabah berkala penyakit ini (Deptan 1985). Tungro

menjadi epidemik pertengahan tahun 1960an di Bangladesh, Cina, India,

Indonesia, Malaysia, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Langka, dan Thailand.

Di Indonesia gejala tungro diketahui timbul secara sporiadis pada tahun

1859 dengan nama mentek di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan tahun 1962 yang biasa disebut penyakit habang. Pengujian lanjutan di Bogor membuktikan bahwa penyakit habang di Kalimantan Selatan tersebut identik 6

dengan penyakit tungro di negara-negara lain, seperti Filipina, India, dan

Bangladesh (Prayudi 2001). Di Malaysia penyakit tungro dikenal dengan nama

penyakit merah yang telah diketahui sejak tahun 1938 (Ou 1985). Pada awalnya

petani di Malaysia menduga bahwa gejala yang timbul pada tanaman padi tersebut

disebabkan oleh kekurangan unsur hara. Pada tahun 1963, Filipina untuk pertama

kalinya telah membuktikan bahwa penyakit yang menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan tanaman padi di sejumlah negara adalah penyakit tungro

(13)

Gejala Penyakit Tungro

Tungro disebabkan oleh infeksi ganda dari dua virus yang berbeda, yaitu

rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan rice tungro spherical virus (RTSV) yang keduanya ditularkan oleh wereng hijau (Nephotettix virescens) secara semipersisten (Hibino and Cabunagan 1986)

Penyakit tungro dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi dan

menyebabkan warna daun menjadi kuning atau orange. Daun mulai menguning

dari ujung dan dapat meluas sampai ke tepi helaian daun. Daun yang terinfeksi

virus tungro dapat terlihat burik (kurik) atau bergaris-garis. Tanaman yang

terinfeksi virus tungro selama tahap pertumbuhan dini lebih parah kerusakannya

(Deptan 1985). Gejala yang muncul pada tanaman masih muda dapat hilang pada

tanaman yang semakin menua, sehingga tanaman yang semula sakit dianggap

sembuh (Ou 1985). Tanaman padi yang terinfeksi virus tungro akan mengalami

kekerdilan dan mempunyai jumlah anakan yang lebih sedikit bila dibandingkan

dengan tanaman sehat. Besarnya hambatan pertumbuhan tanaman tergantung

pada kerentanan suatu varietas (Ou 1985). Tanaman sakit membentuk malai yang

kecil dan umumnya tidak keluar dari pelepah daun bendera sehingga malainya

hampa, serta perakaran tanaman menjadi lebih sedikit. Daun padi yang terinfeksi

virus tungro mengandung lebih banyak amilum (pati) dan asam amino total,

sementara kandungan klorofil, gula terlarut serta senyawa fenol berkurang

(14)

Penularan Virus Tungro

Vektor virus tungro umumnya terdiri dari dua genus yaitu Nephotettix dan Recilia. Spesies dari genus Recilia yang dapat menularkan virus tungro yaitu Recilia dorsalis. Genus Nephotettix yang dapat menularkan virus tungro terdiri dari 4 spesies, yaitu N. virescens, N. nigropictus, N. parvus, dan N. malaynus Tingkat serangan N. virescens dalam mentransmisikan virus mencapai 85-100%, 7 diikuti oleh N. nigropictus kurang dari 35%, R. dorsalis kurang dari 5%, N. parvus dan N. malaynus 1-2% (Ling 1979). N. virescens merupakan vektor utama virus tungro di Asia. Imago N. virescens maupun nimfanya efektif dalam menularkan virus tungro. N.virescens menjadi efektif setelah menghisap tanaman sakit (acquisition feeding period) selama 30 menit, dan periode makan inokulasi membutuhkan waktu kirakira 15 menit (Ou 1985). Virus itu tidak bertahan dalam

tubuh vektor, namun vektor tersebut dapat makan dan mengambil virus berulang

kali setiap kali setelah makan (Deptan 1985). Virus tersebut ditularkan oleh

vektor secara semi persistan. Virus tungro dapat dipertahankan di dalam tubuh

vektor selama 5-6 hari. Nimfa N. virescens dapat juga menularkan virus, namun akan kehilangan infektivitasnya setelah berganti kulit (Prayudi 2001).

Virus tungro tidak dapat ditularkan melalui telur serangga vektor, biji padi,

dan tanah secara mekanis. Virus tersebut dapat bertahan pada singgang padi serta

inang alternatif lain, seperti Eleusine indica (L.) Gaertn., Echinochloa colonum (L.) Link dan E. crusgalii Beauv. Tanaman padi yang terinfeksi umumnya mudah dikenali karena adanya gejala yang muncul, sedangkan rumput-rumputan yang

(15)

Wereng hijau (Nephotettix virescens distant) Klasifikasi:

Menurut Kalshoven (1981), wereng hijau (Nephotettix virescens distant) termasuk ke dalam :

Kingdom : animali

Filum : arthropoda

Kelas : insekta

Ordo : homoptera

Family : cicadelidae

Genus : nephotettix

Spesies : nephotettix virescens distant

Sebaran dan arti ekonomi

Tersebar di beberapa Negara, yaitu india, Thailand, Srilanka, Bangladesh,

Burma, Laos, Malaysia, Vietnam Selatan, Cina, Taiwan, Jepang, filipina dan

Indonesia (Ou dan ling, 1967 dalam Fahriah, 1996). Wereng hijau dikenal karena

tubuhnya berwarna hijau. Jenis wereng ini tidak terlalu secara langsung. Tapi

disisi lain merupakan vector atau penular virus tungro pada tanaman padi.

Berdasarkan hasil pemantauan terdapat lima jenis wereng hijau di Indonesia yaitu

N. virescens, N. nigropictus, N. malayanus, N. parvus, N. sympatricus (Lestari

mandiri, 2013)

(16)

virescens wilayah asia selatan dan asia tenggara, termasuk di Indonesia saat ini adalah sebagai vector virus tungro padi (Muralidharan et al.,2003; Widiarta 2005). Biologi wereng hijau Nephotettix virescens

Wereng hijau N. virencens termasuk kelas insekta, ordo hemiptera, dan family Cicadellidae. Ukuran imago N. virencens berkisar 4-6 mm. imago sangat aktif di malam hari dan tertarik oleh cahaya. Telur serangga ini diletakkan di

bagian lunak selubung daun sekitar 25 baris. Betina meletakkan 100-200 telur

kemudian menetas setelah satu minggu. Nimfa N. virescens yang baru menetas berwarna putih, kemudian berkembang dalam waktu 3 minggu dan pada akhirnya

berwarna hijau penuh. Masa hidup sekitar 4 minggu. Imago N. virescens memiliki bintik hitam di pusat dan puncak sayap, abdomennya berwarna coklat

(Kalshoven 1981).

Nimfa wereng hijau berwarna hijau kekuning-kuningan. Serangga dewasa

berukuran panjang 4,0-5,2 mm dengan warna kehijau-hijauan tanpa titik hitam di

sayapnya (Kranz 1987). Daur hidup wereng hijau dari fase bertelur, menetas,

nimfa (pra dewasa) dengan lima stadia hingga dewasa membutuhkan waktu

rata-rata 25 hari, sehingga dalam satu tahun dapat ditemukan 11 generasi. Nimfa N. virescens dilaporkan tidak dapat menularkan virus tungro setelah ganti kulit, tetapi kemampuannya akan datang kembali setelah mengisap cairan tanaman sakit.

Waktu yang dibutuhkan wereng hijau untuk menularkan virus hanya 7 menit dan

untuk mengisap virus dari tanaman sakit hanya 5 menit (Muhsin dan Widiarta

(17)

Kerusakan akibat wereng hijau.

Kerusakan padi secara langsung karena hilangnya cairan tanaman akibat

hisapan wereng hijau sampai mati kering tidak pernah dilaporkan. Namun yang

banyak dilaporkan adalah kerusakan tanaman padi oleh penyakit kerdil padi

(18)

BAHAN DAN METODE Waktu dan tempat

Praktek lapang ini dilaksanakan di Rumah Kaca Loka Penelitian Penyakit

Tungro Lanrang, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, pada bulan Januari 2013

sampai selesai.

Alat dan Bahan.

Alat yang digunakan pada praktek lapang ini adalah mangkuk, baki,

camera digital, selang penghisap, jaring perangkap, alat penyiram, sangkar

serangga, dan alat tulis menulis.

Bahan yang digunakan adalah pupuk Urea, SP-36, Kcl, benih Galur lokal

yaitu, pare battan, pare mandi, pare lotong, pare tingke, pare bae’bonga, pare

bulan, pare kaloko, inpari 9 (pembanding tahan), dan T(N)1 (pembanding rentan)

Metode Pelaksanaan Persiapan Tanaman Padi

Percobaan ini dilaksanakan dengan menggunakan rancangan acak

kelompok dengan 9 perlakuan masing-masing 7 galur lokal Sulawesi barat dan 2

varietas pembanding yakni inpari 9 sebagai pembanding tahan dan TN1 sebagai

pembanding peka serta masing-masing ulangan diberi kontrol. Persiapan tanaman

padi dilakukan dengan mengikuti prosedur Heinrichs et al. (1985). Benih padi

varietas T(N)1 ditabur dalam masing-masing pot yang telah diisi tanah dan

ditumbuhkan sampai stadia satu daun. Tanaman padi kemudian dipindahkan

dalam pot baru dengan lima tanaman per pot dan dilakukan pada interval satu

(19)

serangga.Pemupukan dan perawatan dilakukan sesuai standar agronomi. Dosis

pemupukan adalah 250 kg/ha Urea, 100 kg/ha SP-36, dan 100 kg/ha KCl. Urea

dan SP-36 diberikan 3 kali pada saat tanaman berumur 7,14 dan 21 hari setelah

tanam (HST), sedangkan KCl diberikan pada saat tanaman berumur 21 HST.

Perawatan tanaman padi tersebut juga dilakukan dengan penyiraman dan

penghilangan gulma. Ketika tanaman padi pertama lebih kurang berumur 45 hari,

perbanyakan serangga dapat dimulai.

Persiapan tanaman padi untuk perbanyakan inokulum hampir sama dengan

persiapan tanaman padi untuk perbanyakan wereng. Benih padi T(N)1 ditabur

dalam ember kecil yang berisi air selama 1 malam. Kemudian benih tersebut

ditabur dalam baki yang sudah diisi tanah dan kemudian ditumbuhkan sampai

stadia satu daun. Tanaman tersebut dipelihara dalam rumah kaca yang bebas dari

serangga. Pemupukan dan perawatan dilakukan seperti pada persiapan tanaman

padi untuk perbanyakan wereng. Pada saat tanaman padi lebih kurang berumur

45 hari, inokulasi mulai dilakukan.

Benih padi ditabur dalam masing-masing ember kecil yang berisi air

selama 1 malam. Benih tersebut kemudian ditabur pada tanah di dalam baki.

Tanaman padi dipelihara dalam rumah kaca yang bebas serangga. Setelah

tanaman tersebut berumur2 minggu setelah tanam (MST), digunakan untuk

(20)

Rearing Wereng hijau (Nephotettix. virescens)

Perbanyakan wereng hijau (N.virescens) dilakukan pada tanaman padi

varietas TN1 dengan mengikuti prosedur Heinrichs et al. (1985). Koloni Wereng

hijau berasal dari Sulawesi Selatan yang kemudian dikoleksi di Rumah Kaca Loka

Penelitian Penyakit Tungro Lanrang. Sebanyak 300 – 500 wereng dewasa

dipelihara dalam sangkar wereng berukuran 53 cm x 53 cm x 90 cm dengan

tanaman padi varietas TN1 berumur 45 hari selama 2 – 3 hari untuk peneluran.

Kemudian tanaman padi yang digunakan untuk bertelur dipindahkan pada sangkar

yang lain dan diletakkan kembali tanaman padi baru untuk peneluran. Tanaman

padi untuk oviposisi tersebut dibersihkan, daun dan pelepah yang sudah tua

dibuang, dan tanaman dicuci sebelum dimasukkan dalam sangkar untuk

menghilangkan semut dan predator. Tanaman padi yang telah diteluri dirawat

sampai muncul nimfa. Selanjutnya tanaman padi TN1 umur 45 hari diletakkan

lagi dalam sangkar tersebut sebagai bahan makanan yang diperlukan untuk

berkembang menjadi dewasa. Wereng hijau dewasa yang baru muncul

dipindahkan dalam sangkar penularan. Proses tersebut dilakukan terus-menerus

untuk memelihara ketersediaan wereng hijau.

Isolat virus tungro

Isolat virus tungro pada tanaman padi sakit dikoleksi dari daerah endemik

tungro di Sulawesi Selatan. Isolat virus tungro dari sampel tanaman padi sakit

dipelihara pada tanaman padi varietas TN1 dengan cara ditularkan menggunakan

(21)

Wereng hijau diletakkan pada tanaman padi sakit selama 4 hari untuk

akuisisi. Selanjutnya tanaman padi varietas TN1 sehat berumur 45 hari dalam pot

( 2 tanaman per pot) dimasukkan dalam kurungan selama 4 jam dengan wereng

hijau viruliferous (3 wereng per tanaman). Selanjutnya tanaman padi varietas

TN1 tersebut diamati perkembangan gejalanya 2 – 3 minggu. Tanaman padi

terinfeksi digunakan sebagai sumber inokulum. Tahap-tahap tersebut diulangi

untuk pemeliharaan inokulum selanjutnya.

Ketahanan Galur

Evaluasi ketahanan dilakukan dengan penularan buatan terhadap stadia

bibit (tes tube metode). Sepuluh bibit umur 2 MST dari setiap galur pada baki

disungkup dengan tabung sungkup yang telah dimodifikasi. Infeksi buatan

dilakukan dengan melepaskan wereng hijau dewasa pada sumber inokulum

selama 24 jam untuk memperoleh virus (acquisition feeding), kemudian

diinfestasikan pada setiap tabung sungkup masing-masing 2 ekor selama 24 jam

untuk menularkan virus (Inoculation feeding). Setelah itu, wereng hijau dilepas

dengan membuka tabung sungkupnya dan bibit dimasukkan ke dalam sangkar

kasa yang telah dibersihkan sebelumnya sehingga bebas dari serangga hama dan

infeksi patogen lain. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman umur 1 minggu

(22)

Parameter pengamatan 1. Tinggi tanaman (cm)

Diukur 1 minggu setelah inokulasi sampai 4 minggu setelah inokulasi.

2. Persentase tanaman terserang (%)

Tingkat serangan (severty) penyakit tungro dievaluasi berdasarkan

Standard Evaluation System for Rice (IRRI, 1996) sebagai berikut :

Skor Tingkat Serangan (%)

1 - 10 % terserang, kerdil dan belum menguning.

11 – 30 % terserang, kerdil dam agak menguning.

31 – 50 % kerdil dan menguning.

50 % terserang kerdil dan orange.

Berdasarkan skor tersebut kemudiaan dihitung indeks penyakit dengan

(23)

DI=n(1)+n(3)+n(5)+n(7)+n(9) tn

Dimana, DI = Indeks penyakit tungro

n = Jumlah tanaman terserang dengan skor tertentu

tn = Total rumpun tanaman

Kriteria ketahanan terhadap tungro digolongkan berdasarkan rentang

indeks penyakit tungro dengan kategori sebagai berikut : tahan (R : resisten = 1

-3), moderat/agak tahan (M = 4 – 6), dan Peka (S = 7 – 9)

(24)

Indeks penyakit tungro (tingkat serangan) menunjukkan bahwa galur pare

kaloko yang paling rendah yaitu (3.33 = tahan), tidak berbeda nyata dengan

inpari 9 sebagai varietas pembanding tahan. Dengan demikian menunjukkan

bahwa galur lokal juga memiliki gen tahan terhadap penyakit tungro seperti yang

tercantum pada (table 1).

Tabel 1. Rata-rata Tingkat Keparahan Penyakit (Indeks Penyakit) Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar Umur 1-4 Minggu Setelah Inokulasi (MSI)

Perlakuan Indek Penyakit

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST

Pare Lotong 1.33a 3.17bc 3.83b 4.67b

Pare Mandi 1.50a 2.33ab 3.17b 3.83b

Pare Kaloko 1.67a 2.83abc 3.00b 3.33ab

Pare Bae'bonga 1.83a 2.83abc 3.17b 4.17b

Pare Tingke 1.17a 2.67abc 2.67ab 3.83b

Pare Bulan 1.83a 2.67abc 3.00b 3.50ab

Pare Battan 1.67a 3.33bc 4.00b 5.17b

TN1 1.67a 4.00c 5.33c 8.00c

Inpari 9 1.00a 1.50a 1.50a 1.67a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan (α = 0.05)

Intensitas serangan dan tingkat serangan gejala penyakit tungro hasil

inokulasi pada Galur lokal Sulawesi Barat seperti tercantum pada (tabel2).

Intensitas serangan tungro paling rendah pada Galur pare kaloko yaitu 58.33%

tidak berbeda nyata dengan pare bulan dan inpari 9 sebagai pembanding tahan.

Tabel 2. Rata-rata Persentase Serangan Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar Umur 1-4 Minggu Setelah Inokulasi (MSI)

Perlakuan Persentase Serangan Penyakit (%)

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST

(25)

Pare Mandi 41.67b 66.67abc 83.33bc 83.33bc

Pare Kaloko 25.00ab 58.33abc 58.33ab 58.33ab

Pare Bae'bonga 16.67ab 75.00bc 83.33bc 83.33bc

Pare Tingke 8.33ab 66.67abc 83.33bc 83.33bc

Pare Bulan 41.67b 66.67abc 75.00bc 75.00bc

Pare Battan 33.33ab 100.00c 100.00c 100.00c

TN1 33.33ab 35.33ab 100.00c 100.00c

Inpari 9 0.00a 25.00a 25.00a 33.33a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan (α = 0.05)

Dari hasil pengamatan kami tentang tinggi tanaman memperlihatkan

pengaruh terhadap virus tungro, beberapa galur memperlihatkan penghambatan

pertumbuhan seperti tercantum pada (table 3).

Tabel 3. Rata-rata Tinggi Tanaman Beberapa Galur Lokal Sulbar Umur 1-4 Minggu Setelah Inokulasi (MSI)

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm)

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST

Pare Lotong 20.85ab 24.50bc 24.75ab 25.13abc

Pare Mandi 22.46b 25.13bc 28.77bc 31.44bc

Pare Kaloko 17.16a 20.64ab 26.81bc 30.92abc

Pare Bae'bonga 21.08ab 23.66bc 24.96ab 27.25abc

Pare Tingke 22.07b 26.53c 25.46sbc 27.48abc

Pare Bulan 21.68b 24.29bc 28.79bc 32.83bc

Pare Battan 18.79ab 17.49a 17.67a 17.75a

TN1 19.29ab 20.07ab 21.94ab 23.71ab

Inpari 9 19.32ab 26.74c 33.27c 37.95c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan (α = 0.05)

(26)

Tungro yang artinya pertumbuhan terhambat merupakan salah satu

penyakit virus yang paling merusak padi di asia tenggara. Ribuan hektar sawah di

banyak Negara telah terkena wabah berkala penyakit ini (Deptan 1985). Tungro

menjadi epidemik pertengahan tahun 1960an di Bangladesh, Cina, India,

Indonesia, Malaysia, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Langka, dan Thailand. Tungro

disebabkan oleh infeksi ganda dari dua virus yang berbeda, yaitu rice tungro bacilliform virus (RTBV) dan rice tungro spherical virus (RTSV) yang keduanya ditularkan oleh wereng hijau (Nephotettix virescens) secara semipersisten (Hibino and Cabunagan 1986)

Galur pare battan memperlihatkan ketahanan paling rentan diantara galur

lokal lainnya ini tidak berbeda nyata dengan varietas TN1 sebagai pembanding

rentan. Menurut Muis et al, (1990), bahwa tinggi rendahnya serangan tungro

ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya ketersediaan sumber inokulum dan

tingkat ketahanan varietas yang ditanam. Hasil evaluasi ketahanan galur terhadap

tungro menunjukkan bahwa semua galur yang diuji memperlihatkan gejala

serangan yang berbeda namun ada satu galur yang tingkat serangannya rendah

yakni pare kaloko (3,33) sesuai dengan pendapat Suprihatno,1985 bahwa

varietas-varietas tahan yang telah teruji ketahananya terhadap tungro merupakan sumber

gen ketahanan baru yang dapat digunakan dalam perbaikan dan perakitan varietas

tahan.

Sebagian besar galur yang diuji dengan pengamatan selama empat minggu

setelah inokulasi (MSI) menunjukan nilai tingkat serangan rendah dan sedang

(27)

bulan (DI:3,50), pare tingke (DI:3,83), pare mandi (DI:3,38), pare baebonga

(DI:4,17), pare lotong (DI:4,67), pare battan (DI:5,17). Hal ini menunjukkan

setiap galur memiliki tingkat ketahanan masing-masing, namun masih perlu di

lakukan penelitian yang berkaitan tentang agronomi dan fisiologinya, sehingga

kita bisa mendapakan informasi yang lebih akurat. Menurut Sahjahan et al,

(1990), varietas tahan mengandung gen ketahanan, dimana gen yang mengatur

ketahanan terhadap virus tungro dikontrol oleh lebih dari satu gen (polygenik) dan

ketahanan terhadap vektornya dikontrol oleh satu gen (monogenik).

Dari hasil yang di dapatkan bahwa Galur pare kaloko memiliki gen

ketahanan yang nantinya bisa dijadikan tetua tahan terhadap tungro untuk

disilangkan dengan varietas unggul. Hal ini bertujuan untuk bisa menjadi acuan

dasar bagi pemulia-pemulia padi sebagai bahan pengujian. Sejalan dengan hasil

penelitian (Heru et al, 2005) yakni uji ketahanan sepuluh varietas lokal nusa tenggara barat (NTB).

Pada dasarnya tanaman padi memiliki ketahanan terhadap suatu penyakit

yang dimana bisa dijadikan tetua tahan terhadap penyakit tertentu. Sehingga

pengujian galur-galur padi perlu dilakukakan untuk menemukan gen ketahanan

terhadap penyakit tungro untuk disilangkan dengan varietas unggul. Ini sesuai

pernyataan (Semangun, 1996) bahwa jika kita membandingkan suatu patogen

terhadap beberapa kultivar (varietas, klon) satu jenis tumbuhan tertentu, sering

tampak adanya reaksi yang berbeda-beda dari kultivar-kultivar itu, yang berkisar

antara sangat rentan dan sangat tahan. Ketahanan dan kerentanan adalah

(28)

suatu kultivar tumbuhan disebut tahan terhadap serangan patogen tertentu,

sedangkan kultivar lainnya dikatakan rentan, maka ini berarti bahwa kultivar yang

pertama mempunyai ketahanan yang lebih tinggi daripada kultivar kedua. Bahkan

ketahanan dan kerentanan ini dapat bervariasi karena pengaruh lingkungan dan ras

patogen. Imunitas atau kekebalan, yaitu sama sekali bebas dari patogen yang

dapat menyerang kultivar lain dari jenis tumbuhan yang sama, jarang terdapat.

Selain parameter tingkat serangan, parameter tinggi tanaman dan

persentase serangan juga menjadi acuan dalam melihat tingkat serangan virus

tungro. Dari hasil yang didapatkan setelah pengamatan selama empat minggu

setelah inokulasi (MSI) menunjukkan tingkat serangan virus tungro

mempengaruhi tinggi tanaman yakni pare battan (17,75 cm), pare lotong (25,13

cm), pare baebonga (27,25 cm), pare tingke (27,48 cm), pare kaloko (30, 92 cm),

pare mandi (31,44 cm), dan pare bulan (32,83 cm). dimana galur dengan tingkat

serangan tinggi memperlihat penghambatan pertumbuhan sehingga kerdil yakni

pare battan (17,75 cm) ini berbeda nyata dengan varietas inpari 9 sebagai

pembanding tahan (37,95 cm). Sesuai pendapat (Semangun, 1996) yakni

terjadinya hambatan pertumbuhan tergantung dari kerentanan tanaman, tanaman

sakit cenderung mempunyai anakan lebih sedikit. Penyakit tungro dapat

menghambat pertumbuhan tanaman padi dan menyebabkan warna daun menjadi

kuning atau orange. Daun mulai menguning dari ujung dan dapat meluas sampai

ke tepi helaian daun. Daun yang terinfeksi virus tungro dapat terlihat burik (kurik)

atau bergaris-garis. Tanaman yang terinfeksi virus tungro selama tahap

(29)

pada tanaman masih muda dapat hilang pada tanaman yang semakin menua,

sehingga tanaman yang semula sakit dianggap sembuh (Ou 1985). Tanaman padi

yang terinfeksi virus tungro akan mengalami kekerdilan dan mempunyai jumlah

anakan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman sehat. Besarnya

hambatan pertumbuhan tanaman tergantung pada kerentanan suatu varietas (Ou

1985). Tanaman sakit membentuk malai yang kecil dan umumnya tidak keluar

dari pelepah daun bendera sehingga malainya hampa, serta perakaran tanaman

menjadi lebih sedikit. Daun padi yang terinfeksi virus tungro mengandung lebih

banyak amilum (pati) dan asam amino total, sementara kandungan klorofil, gula

terlarut serta senyawa fenol berkurang (Semangun, 2004).

Dari hasil pengamatan tingkat serangan virus tungro, juga memperlihatkan

persentase serangan yang merata. Dimana dari semua galur yang di amati selama

empat minggu setelah inokulasi (MSI) menunjukkan semua galur terserang

dengan persentase 58,33% - 100% yakni pare battan (100%), pare lotong

(83,33%), pare baebonga (83,33%), pare mandi (83,33%), pare tingke (83,33%),

pare bulan (75,00%), pare kaloko (58,33%). Dari hasil pengamatan persentase

serangan menunjukkan pare battan memiliki persentase serangan tertinggi yakni

(100%) ini tdk berbeda nyata dengan varietas TN1 sebagai pembanding rentan

(100%) dan berbeda nyata dengan varietas inpari 9 sebagai pembanding tahan

(33,33%). (Semangun, 1996) mengemukakan padi mempunyai bermacam-macam

tingkat ketahanan. Ketehanan terhadap vektor dan ketahanan terhadap virus

ditentukan oleh gen-gen yang berbeda dan bebas. Jenis padi yang tahan terhadap

(30)

Berdasarkan respon ketahanan menunjukkan bahwa galur pare kaloko

(DI:3,33) tahan(R), pare bulan (DI:3,50), pare tingke (DI:3,83), pare mandi

(DI:3,83), pare baebonga (DI:4,17), pare lotong (DI:4,67) dan pare battan

(DI:5,17) agak tahan (M) terhadap penyakit tungro. Hal ini dapat menjadi bahan

informasi awal sebagai galur anjuran untuk disilangkan dengan varietas unggul

agar mnghasilkan varietas yang tahan terhadap penyakit tungro dan berproduksi

tinggi. Hasanuddin et al, (1997), mengemukakan bahwa peningkatan proporsi penanaman varietas yang lebih tahan disuatu hamparan berpengaruh nyata dalam

mengurangi serangan tungro. Menanam varietas tahan dapat mengubah kebiasaan

mengisap vektor, sehingga vektor hanya menghisap pembuluh xilem yang tidak

mengandung virus tungro. (Siwi et al, 1999). Dengan demikian tidak akan terjadi penularan virus pada tanaman lain. Kemampuan vektor untuk memperoleh atau

menularkan virus dapat dikendalikan dengan menanam varietas tahan, eradikasi

selektif gulma sumber inokulum atau tanam sistem tabela, dan menekan

kemampuan mengisap vektor dengan antifidan (Widiarta et al, 2008)

KESIMPULAN DAN SARAN

(31)

Berdasarkan hasil praktek lapang uji beberapa galur padi lokal sulawesi

barat terhadap virus tungro, maka disimpulkan bahwa :

Galur lokal yang resisten/tahan terhadap tungro yaitu Pare Kaloko (DI:

3,33). Sedangkan galur lokal yang moderat/agak tahan terhadap tungro yaitu Pare

Bulan (DI: 3,50), Pare Mandi (DI: 3,83), Pare Tingke (DI: 3,83), Pare Baebonga

(DI: 4,17), Pare Lotong (DI: 4,67), dan Pare Battan (DI: 5,17).

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kami menyarankaan agar

dilakukan penelitian lanjutan mengenai galur lokal ini dilihat dari sisi agronomis

dan fisiologinya.

DAFTAR PUSTAKA

(32)

Http://www.lestarimadiri.org/id/slpht/katalog-hama-dan-penyakit/hama-tanaman-padi/353-wereng.html ( diakses 28 mei 2013)

http://warintek.bantul.go.id. , 2008. Budidaya Pertanian Padi. (Diakses tanggal 28 mei 2013)

Abdullah, B. 2009. Perakitan Dan Pengembangan Varietas Padi Tipe Baru. Padi: Inovasi Teknologi Produksi. Buku 1. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 67-89.

Abdullah, B., S. Tjokrowidjojo, dan Sularjo. 2008. Perkembangan dan Prospek Perakitan Padi Tipe Baru di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 27(1): 1-9.

Azzam O, Cabunagan RC, Chancellor T (Ed) 2000. Methods for evaluating resistance to rice tungro disease. Discussion paper No.38. internasional Rice Research Institute.

BPT( Balai Proteksi Tanaman) Sumatera Barat. 2008. Serangan penyakit Tungro. www. Bpt.sumbar.go.id/Berita terbaru. Htm [22 november 2008]

[Deptan] Departemen Pertanian RI. 1985. Penyakit Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Direktorat Penyuluhan Tanaman Pangan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1992. Tungro dan wereng hijau. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, Jakarta. 194 hlm.

Grist D.H., 1960. Rice. Formerly Agricultural Economist, Colonial Agricultural Service, Malaya. Longmans, Green and Co Ltd. London.

Heinrichs EA, Medrano FG, Rapusas HR. 1985. Genetic Evaluation for Insect Resistance in Rice. Los Banos:IRRI.

Hasanuddin A, Koesnang, Baco D. 1997. Rice tungro virus diseases in Indonesia: Present status and current managemen strategy. Dalam Chancellor TBC, Thersh JM (ed). Epidemiology and Management of Rice tungro Diseases. Chatam, UK. Nasional Resource Institute.

Praptana H, Muliadi A. 2005. Ketahanan sepuluh varietas padi local nusa tenggara barat (NTB) terhadap tungro. Prosiding seminar ilmiah dan pertemuan tahunan PEI dan PFI XVI komda Sulawesi selatan, 2005

Hibino H, Cabunangan RC. 1986. Rice tungro associated viruses and their relation to host plant and vector leafhopper. Tropical Agricultural Research Series. 19: 173-182.

(33)

Las, I., B. Abdullah, dan A. A. Daradjat. 2003. Padi Tipe Baru dan Padi Hibrida Mendukung Ketahanan Pangan. Tabloid Sinar Tani.

Luh, B.S., 1991. Rice Production, Volume I. Published by Van Nostrand Reinhold, New York.

Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Jakarta: PT Ichtiar Baru. Krans. 1978. Leafhoppers, white flies, aphids, scale insect, etc. Diseases, Pests

and Weeds in Tropical Crop:313-8.

Ling KC. 1979. Rice Virus Diseases. Los Banos: IRRI.

Makarim, A. K. dan E. Suhartatik. 2009. Morfologi dan Fisiologi Tanaman Padi. Iptek Tanaman Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Hal 295-330.

Muis, A., M. Yasin Said dan A. Hasanuddin. 1990. Epidemiologi penyakit tungro, pergiliran varietas dan waktu tanam. Hasil Penelitian Padi, Balai Penelitian Tanaman Pangan Maros, 1990(1):47-52.

Muhsin, M. dan I.N. Widiarta. 2008. Pengendalian penyakit tungro dan penyakit virus tanaman padi lainnya. Padi. Inovasi Teknologi Produksi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian: 473-98.

Nasir, M. 2001. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 325 hal.

Ou SH. 1985. Rice Disease. Second ed. England: Commonwealth Mycological Institute.

Pakki, S. 2010. Peran Faktor Ekobiologi Terhadap Dinamika Populasi Vektor dan Penyakit Tungro.Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan.hal 107-113.

Prayudi B. 2001. Penyakit Tungro di Lahan Rawa. Banjar Baru: Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa.

Puslitbangtan.1995. Laporan Serangan Tungro di Jawa Tengah. Bogor: Puslitbangtan.

(34)

Sama S, Hasanuddin A, Manwan I, Cabunagan RC, Hibino H. 1991. Integrated rice tungro disease management in South Sulawesi. Crop Protection 10:34-40.

Semangun H. 2004. Hama dan Penyakit Tanaman Pangan. Yogyakarta: UGM Press.

Siwi, S. S., I.N. Widiarta, dan A. Hasanuddin. 1999. Daya hidup dan kemampuan koloni Nephotettix virescens (Distant) sebagai penular virus tungro. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 18: 6−14.

Soetarto, A., Jasis, S.W.G. Subroto, M. Siswanto, dan E. Sudiyanto. 2001. Sistem peramalan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) mendukung sistem produksi padi berkelanjutan. Dalam I. Las, Suparyono, A.A. Daradjat, H. Pane, U.S. Nugraha, H.M. Toha, A. yasdjaya, dan O.S. Lesmana (Ed.). Prosiding Lokakarya Padi: Implementasi Kebijakan Strategis untuk Meningkatkan Produksi Padi Berwawasan Agribisnis dan Lingkungan. Pusat Penelitian dan engembangan Tanaman Pangan, Bogor. 247 hlm.

Suharno, 2005. Dinas Pertanian Provinsi DIY. http://www.distanpemda-diy.go.id. (11 april 2013).

Suprihatno , B. 1985. Pewarisan sifat ketahanan varietas terhadap penyakit tungro. Makalah temu lapang pengendalian penyakit tungro di banyumas, 18-19 september 1985.

Tobing, M.T, Opor, G, Sabar, G dan R. K. Damanik, 1995. Agronomi Tanaman Makanan. Medan: USU Press.

Widiarta IN, Daradjat AA. 2000. Daya tular tungro daerah endemins terhadap varietas tahan. Berita Puslitbangtan 18:1-2.

Widiarta I N, Kusdiman D, Drajat A A, Hasanuddin A. 2003. Identifikasi variasi virulensi inokulum tungro. (unpublished).

Widiarta, I N. 2005. Wereng Hijau (Nephotettix virescens Distant): Dinamika Populasi dan Strategi Pengendaliannya sebagai Vektor Penyakit Tungro. Jurnal Litbang Pertanian, 24(3), 2005.

(35)

Tabel Lampiran 1.a. Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 1 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

Tabel Lampiran 1.b. Sidik Ragam Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Varietas Lokal Sulbar pada Umur 1 minggu setelah inokulasi (MSI).

FK = 11124.400 KK = 11.30%

Tabel Lampiran 1.b. Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 2 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

(36)

P.LOTONG 25.05 21.95 26.50 73.50 24.50

Tabel Lampiran 1.b. Sidik Ragam Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 2 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 17.482 8.741 0.975tn 3.63 6.23

Perlakuan 8 238.014 29.752 3.317* 2.59 3.89

Acak 16 143.504 8.969

Total 26 399.000

FK = 14566.139 KK = 12.89%

Tabel Lampiran 1.c. Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 3 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

(37)

P.MANDI 31.50 28.13 26.68 86.31 28.77

P.KALOKO 27.50 25.25 27.68 80.43 26.81

P.BAE'BONGA 21.88 30.75 22.25 74.88 24.96

P.TINGKE 27.13 28.88 20.38 76.39 25.46

P.BULAN 37.25 27.38 21.75 86.38 28.79

P.BATTAN 19.75 14.88 18.38 53.01 17.67

TN1 18.68 23.13 24.00 65.81 21.94

INP.9 31.63 34.18 34.00 99.81 33.27

Jumlah 243.70 234.56 219.00 697.26 25.82

Tabel Lampiran 1.c. Sidik Ragam Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 3 minggu setelah inokulasi (MSI).

FK = 18006.352 KK = 15.29%

SK DB JK KT F hit F Tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 34.657 17.329 1.111tn 3.63 6.23

Perlakuan 8 472.642 59.080 3.788* 2.59 3.89

Acak 16 249.567 15.598

(38)

Tabel Lampiran 1.d. Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 4 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

Tabel Lampiran 1.d. Sidik Ragam Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 4 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 60.017 30.008 0.610tn 3.63 6.23

Perlakuan 8 823.497 102.937 2.091tn 2.59 3.89

Acak 16 787.737 49.234

Total 26 1671.252

(39)

Tabel Lampiran 2.a. Persentase Serangan Tungro (%) Terhadap Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 1 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

Tabel Lampiran 2.a. Sidik Ragam Persentase Serangan Tungro (%) Terhadap Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 1 minggu setelah inokulasi (MSI).

Kelompok 2 324.074 162.037 0.341 3.63 6.23

Perlakuan 8 5740.741 717.593 1.512 2.59 3.89

Acak 16 7592.593 474.537

(40)

Tabel Lampiran 2.b. Persentase Serangan Tungro (%) Terhadap Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 2 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

Tabel Lampiran 2.b. Sidik Ragam Persentase Serangan Tungro (%) Terhadap Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 1 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 1429.556 714.778 1.397tn 3.63 6.23

Perlakuan 8 12560.667 1570.083 3.069* 2.59 3.89

Acak 16 8186.444 511.653

Total 26 22176.667

FK = 110976.33 KK = 35.28

(41)

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

Tabel Lampiran 2.c. Sidik Ragam Persentase Serangan Tungro (%) Terhadap Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 3 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 740.741 370.370 0.934 3.63 6.23

Perlakuan 8 12824.074 1603.009 4.044 2.59 3.89

Acak 16 6342.593 396.412

Total 26 19907.407

FK = 159467.59 KK = 25.91%

Tabel Lampiran 2.d. Persentase Serangan Tungro (%) Terhadap Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 4 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

(42)

P.LOTONG 75.00 100.00 75.00 250.00 83.33

Tabel Lampiran 2.d. Sidik Ragam Persentase Serangan Tungro (%) Terhadap Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 4 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 972.222 486.111 1.191tn 3.63 6.23

Perlakuan 8 10416.667 1302.083 3.191* 2.59 3.89

Acak 16 6527.778 407.986

Total 26 17916.667

FK = 163333.33 KK = 25.97%

Tabel Lampiran 3.a. Indeks Penyakit Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 1 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

(43)

P.MANDI 1.00 1.50 2.00 4.50 1.50

Tabel Lampiran 3.a. Sidik Ragam Indeks Penyakit Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 1 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

Tabel Lampiran 3.b. Indeks Penyakit Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 2 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

P.LOTONG 2.50 4.00 3.00 9.50 3.17

P.MANDI 2.00 2.00 3.00 7.00 2.33

(44)

P.BAE'BONGA 3.00 2.50 3.00 8.50 2.83

Tabel Lampiran 3.b. Sidik Ragam Indeks Penyakit Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 2 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 1.685 0.843 1.802tn 3.63 6.23

Perlakuan 8 11.407 1.426 3.050* 2.59 3.89

Acak 16 7.481 0.468

Total 26 20.574

FK = 213.926 KK = 24.29%

Tabel Lampiran 3.c. Indeks Penyakit Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 3 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

1 2 3

P.LOTONG 4.00 4.50 3.00 11.50 3.83

P.MANDI 3.00 3.00 3.50 9.50 3.17

P.KALOKO 3.00 3.00 3.00 9.00 3.00

(45)

P.TINGKE 2.50 2.50 3.00 8.00 2.67

Tabel Lampiran 3.c. Sidik Ragam Indeks Penyakit Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 3 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

Tabel Lampiran 3.d. Indeks Penyakit Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 4 minggu setelah inokulasi (MSI).

Perlakuan Ulangan Jumlah Rata-rata

(46)

P.BULAN 2.00 3.00 5.50 10.50 3.50

P.BATTAN 4.00 6.50 5.00 15.50 5.17

TN1 9.00 7.50 7.50 24.00 8.00

INP.9 1.50 2.00 1.50 5.00 1.67

Jumlah 35.50 39.00 40.00 114.50 4.24

Tabel Lampiran 3.d. Sidik Ragam Indeks Penyakit Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 4 minggu setelah inokulasi (MSI).

SK DB JK KT F hit F Tabel

0.05 0.01

Kelompok 2 1.241 0.620 0.524tn 3.63 6.22

Perlakuan 8 70.519 8.815 7.452** 2.59 3.29

Acak 16 18.926 1.183

Total 26 90.685

(47)

Gambar lampiran 1. Penyiapan sangkar untuk melakukan rearing Wereng Hijau.

(48)

Gambar lampiran 3. Penyiapan pakan untuk Wereng Hijau yang di rearing dengan benih TN1.

(49)

Gambar lampiran 5. Wereng Hijau Instar 1

(50)

Gambar lampiran 7. Inokulasi feeding.

(51)

Gambar lampiran 9 a. Gejala serangan Virus Tungro pada varietas Lokal Sulbar.

Gambar

Tabel 2.  Rata-rata Persentase Serangan Tungro pada Beberapa Galur Lokal Sulbar Umur 1-4 Minggu Setelah Inokulasi (MSI)
Tabel Lampiran 1.a. Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 1minggu setelah inokulasi (MSI)
Tabel Lampiran 1.c. Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 3minggu setelah inokulasi (MSI)
Tabel Lampiran 1.d. Tinggi Tanaman (cm) Beberapa Galur Lokal Sulbar pada Umur 4minggu setelah inokulasi (MSI)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Budidaya kepiting bakau ramah lingkungan\r\n-wadah pemeliharaa\r\n-pembesaran kepiting bakau\r\n-penggemukan kepiting bakau\r\n-budidaya kepiting cangkang lunak 8

Dalam pada itu juga, mantan Menteri Penerangan Malaysia, Tan Sri Khalil Yaakob (dalam Lim, 2007b) melihat kesan globalisasi terhadap sektor ekonomi dan pasaran perniagaan dengan

Kewajiban-kewajiban notaris dalam menjalankan jabatannya diatur pada Pasal 16 UUJN, yaitu bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tutupan karang hidup di lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL), yakni di Kampung Nusi Inarusdi Pulau Nusi dan Kampung Wundi

Hasil belajar siswa kelas sebelas TGB pada mata pelajaran Rencana Anggaran Biaya masih dibawah rata-rata. Kurang lebih ada 60% siswa yang nilainya dibawah rata-rata. Tujuan

Apabila selama masa berlaku asuransi, ada diantara harta benda yang ditanggung hilang atau rusak, maka penanggung akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung yang terkait

Pengakuan tentang bersifat khusus atau bersifat istimewa tersebut belum dijabarkan lebih rinci sebagai acuan untuk pembentukan daerah yang bersifat istimewa dan

Dalam bahasa Jerman, adjektiva turunan ini disebut dengan abgeleitete Adjektive yang merupakan hasil derivasi dari kelas kata lain, seperti nomina, verba dan adverbia.. Dari teori