• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TALASEMIA 2.1.1. Definisi

Menurut Setianingsih (2008), Talasemia merupakan penyakit genetik yang menyebabkan gangguan sintesis rantai globin, komponen utama molekul hemoglobin (Hb).

Talasemia adalah gangguan pembuatan hemoglobin yang diturunkan. Pertama kali ditemukan secara bersamaan di Amerika Serikat dan Itali antara 1925-1927. Kata Talasemia dimaksudkan untuk mengaitkan penyakit tersebut dengan penduduk Mediterania, dalam bahasa Yunani Thalasa berarti laut. (Permono, & Ugrasena, 2006)

2.1.2. Epidemiologi Talasemia α0

ditemukan terutama di Asia Tenggara dan kepulauan Mediterania, Talasemia α+

tersebar di Afrika, Mediterania, Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. Angka kariernya mencapai 40-80%. (Permono, & Ugrasena, 2006)

Talasemia β memiliki distribusi sama dengan Talasemia α. Dengan kekecualian di beberapa negara, frekuensinya rendah di Afrika, tinggi di Mediterania dan bervariasi di Timur Tengah, India dan Asia Tenggara. HbE yang merupakan varian Talasemia sangat banyak dijumpai di India, Burma dan beberapa negara Asia Tenggara. Adanya interaksi HbE dan Talasemia β menyebabkan Talasemia HbE sangat tinggi di wilayah ini. Tingginya frekuensi Talasemia mempengaruhi kekebalan HbE ini terhadap malaria plasmodium

falsiparum yang berat. Hal ini membuktikan penyakit ini disebabkan oleh mutasi

baru dan penyebarannya dipengaruhi oleh seleksi lokal oleh malaria. Kenyataan bahwa mutasi tersebut berbeda di setiap populasi, menunjukkan seleksi ini baru terjadi dalam beberapa ribu tahun (Permono, & Ugrasena, 2006). \

(2)

2.1.3. Etiologi

Talasemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11 (Tamam, 2009).

2.1.4. Klasifikasi

Menurut Permono dan Ugrasena (2006), Talasemia adalah grup kelainan sintesis hemoglobin yang heterogen akibat pengurangan produksi satu atau lebih rantau globin. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan produksi rantai globin. Ada 3 tingkat klasifikasi Talasemia. Secara klinis bisa dibagi menjadi 3 grup kerna ia memiliki implikasi klinis diagnosis dan penatalaksanaan:

1. Talasemia mayor sangat tergantung kepada transfusi 2. Talasemia minor/ karier tanpa gejala

3. Talasemia intermedia

Talasemia juga bisa diklasifikasikan secara genetik menjadi α-, β-, δβ- atau Talasemia-εγδβ sesuai dengan rantai globin yang berkurang produksinya. Pada beberapa Talasemia sama sekali tidak terbentuk rantai globin disebut αo

atau βo Talasemia, bila produksinya rendah α+ atau β+

Talasemia. Sedangkan Talasemia δβ bisa dibedakan menjadi (δβ)o dan (δβ)+

dimana terjadi gangguan pada rantai δ dan β (Permono, & Ugrasena, 2006).

Bila Talasemia timbul pada populasi di mana variasi hemoglobin struktural ada. Seringkali di turunkan gen talasemia dari satu orang tua dan gen varian hemoglobin dari orang tua lainnya. Lebih jauh lagi, mungkin pula didapatkan Talasemia-α dan β bersamaan. Interaksi dari beberapa gen ini menghasilkan gambaran klinis yang bervariasi mulai dari kematian dalam rahim sampai sangat ringan (Permono, & Ugrasena, 2006).

Talasemia diturunkan berdasarkan hukum mandel, resesif atau ko-dominan. Heterozigot biasanya tanpa gejala homozigot atau gabungan heterozigot gejalanya lebih berat dari Talasemia α atau β (Permono, & Ugrasena, 2006).

(3)

2.1.5. Patogenesis

Talasemia merupakan sindrom kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Pada Talasemia mutasi gen globin ini dapat menimbulkan perubahan rantai globin α dan β, berupa perubahan kecepatan sintesis (rate of synthesis) atau kemampuan produksi rantai globin tertentu, dengan akibat menurunnya atau tidak diproduksinya rantai globin tersebut. Perubahan ini diakibatkan oleh adanya mutasi gen globin pada clusters gen α atau β berupa bentuk delesi atau non delesi. Walaupun telah lebih dari dua ratus mutasi gen Talasemia yang telah diidentifikasi, selalunya pada analisis DNA Talasemia dapat ditentukan jenis mutasi gennya. Hal inilah yang merupakan kendala terapi gen pada Talasemia (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).

Cluster gen-α terletak pada kromosom 16. Ia terdiri atas gen-ζ fungsional

dan dua gen-α (α1 dan α2). Exon kedua gen globin-α memiliki sekuens yang identikal. Produksi mRNA α2 melebihi produksi mRNA α1, oleh faktor 1,5 ke 3 (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).

Cluster gen β terletak pada kromosom 11. Ia terdiri atas satu gen ε

fungsional, gen Gã, gen Aã, gen δ dan gen β. Flanking regions mengandung

conserved sequences, penting untuk ekspresi gen (Atmakusuma, & Setyaningsih,

2009).

Cluster gen globin diatur oleh mekanisme kontrol yang kompleks.

Transkrip primer adalah prekursor mRNA yang besar, dengan kedua sekuens intron dan exon, yang secara ekstensif diproses di dalam nukleus untuk menghasilkan mRNA akhir (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).

Globin-β yang diproduksi dalam konsentrasi rendah mulai minggu ke 8 sampai ke 10 masa fetus dan sangat meningkat pada gestasi 39 minggu. Globin-ã yang diproduksi dalam konsentrasi pada awalnya, mulai menurun pada gestasi 36 minggu. Pada saat kelahiran, globin-β dan globin-ã diproduksi decara seimbang. Pada usia 1 tahun, produksi globin-ã kurang dari 1 persen dari produksi globin non-α total. Mekanisme perubahan tidak jelas, mungkin melibatkan “a time clock” dalam sel asal (stem cells) hemopoiesis. Sintesis hemoglobin fetal dapat

(4)

direaktivasi pada orang dewasa bila terjadi stress hemopoiesis (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).

a) Talasemia Beta

Lebih 150 mutasi telah diketahui tentang Talasemia β, sebagian besar disebabkan perubahan pada satu basa, delesi atau insersi 1-2 basa pada bagian yang sangat berpengaruh. Hal ini bisa terjadi pada intron, ekson ataupun diluar gen pengode (Permono, & Ugrasena, 2006).

Satu substitusi disebut mutasi non sense menyebabkan perubahan satu basa pada ekson yang mengode kodon stop pada mRNA. Hal ini menyebabkan terminasi sintesis rantai globin menjadi lebih pendek dan tidak tahan lama. Satu mutasi lain yang disebut frameshift menyebabkan 1-2 basa tidak dibaca sehingga menghasilkan kodon stop baru. Mutasi pada intron, ekson atau perbatasannya, mengganggu pelepasan ekson dari prekursor mRNA. Misalnya satu substitusi pada GT atau AG pada intron-ekson junction mengganggu pemisahan, beberapa mutasi pada bagian ini menyebabkan penurunan produksi β globin. Mutasi pada sekuen ekson menjadi menyerupai intron-ekson junction mengaktivasi terjadinya pemisahan. Misalnya sekuen yang menyerupai IVS-1 dan kodon 24-27 pada ekson 1 gen globin β, mutasi pada kodon 19 (A-G), 26 (G-A) dan 27 (G-T) menyebabkan penurunan jumlah mRNA karena splicing abnormal dan substitusi asam amino pada mRNA normal yang diterjemahkan menjadi protein. Hemoglobin abnormal yang dihasilkan adalah hemoglobin Malay, E dan Knossos yang memberikan fenotip Talasemia β minor (Permono, & Ugrasena, 2006).

Substitusi satu basa juga terjadi pada bagian kosong gen globin β. Bila mengenai bagian promoter, menurunkan jumlah transkripsi gen globin β dan menyebabkan Talasemia β minor. Mutasi pada bagian akhir (3’) mempengaruhi prosesing mRNA dan menyebabkan Talasemia β mayor (Permono, & Ugrasena, 2006).

(5)

Karena banyaknya mutasi pada Talesemia β, pasien yang nampaknya homozigot mungkin merupakan heterozigot dari 2 lesi molekuler yang berbeda. Jarang sekali pasien dengan Talasemia β memiliki Hb A2 normal, biasanya hal ini terjadi pada gabungan Talasemia β dan δ (Permono, & Ugrasena, 2006).

Talasemia δβ dibagi menjadi (δβ)+ dan (δβ)o. Talasemia (δβ)+ dihasilkan oleh penggabungan gen δ dan β selama miosis, menghasilkan varian fenotip Talasemia δβ. Pada Talasemia (δβ)o, terjadi delesi gen δ dan β, dengan gen γ yang utuh. Delesi yang lebih panjang yang juga mengenai LCR gen β globin, menginaktifkan seluruh komplek gen dan menghasilkan Talasemia (εγδβ)o

(Permono, & Ugrasena, 2006). b) Talasemia Alfa

Patologi molekular dan genetik pada Talesemia α lebih komplek dari Talesemia β, karena adanya 2 gen α globin pada tiap pasang kromosom 16. Genotip normal α globulin digambarkan αα/αα. Talasemia αo

, disebabkan beberapa delesi pada 2 gen tersebut. Homozigot dan heterozigot digambarkan -/- dan -/αα. Jarang sekali Talasemia αo disebabkan oleh delesi gen bagian yang mirip LCR α globin, 40 kb di atas kumpulan gen α globin atau pemutusan lengan pendek kromosom 16 (Permono, & Ugrasena, 2006).

Pada beberapa kasus terjadi delesi pada 1 bagian dari pasangan gen α globulin, sedangkan yang lain utuh – α/αα. Lainnya memiliki 2 gen globin tapi salah satu mengalami mutasi sehingga menyebabkan inaktivasi sebagian atau seluruhnya αTα/αα (Permono, & Ugrasena, 2006).

Delesi pada Talasemia α+ diklasifikasikan lebih lanjut dengan 2 varian umum yang menyebabkan hilangnya 3,7 atau 4,2 kb dari DNA, disebut sebagai –α3,7 dan – α4,2. Diketahui kemudian bahwa bentuk tersebut sangat heterogen tergantung dari kelainan genetik yang mendasari delesi. Delesi ini diduga dari penggabungan dan crossing over pasangan gen tersebut saat meiosis. Menghasilkan kromosom dengan satu α dan kromosom lain dengan triple α (Permono, & Ugrasena, 2006).

(6)

Bentuk lain Talasemia α yang disebabkan oleh mutasi, mirip Talasemia β. Beberapa disebabkan oleh mutasi pada bagian awal dan pemisahan yang menghasilkan rantai α yang sangat tak stabil dan tidak bisa membentuk tetramer. Bentuk lain yang sering di populasi Asia Tenggara, mutasi satu basa kodon terminasi UAA CAA. Sehingga diterjemahkan menjadi glutamin dan mRNA akan dibaca terus sampai tercapai kodon stop lain. Sehingga dihasilkan α globin yang lebih panjang tapi dalam jumlah sedikit, disebut Hb Constant Spring sesuai dengan nama kota di Jamaika dimana kelainan ini ditemukan pertama kali. Jumlahnya 2-5% dari populasi di Thailand dan negara-negara Asia Tenggara. Mutasi kodon terminasi bisa bermacam-macam. Satu mutasi pada sekuen 3 gen α globin, yang sering ditemukan di Timur Tengah, adalah AATAA – AATAAG, bagian yang memberi signal poliadenilasi globin mRNA. Suatu proses yang menstabilisasi mRNA saat berpindah ke sitoplasma. Mutasi ini menghasilkan penurunan produksi rantai α yang bermakna (Permono, & Ugrasena, 2006).

Sebagai tambahan, didapatkan sindrom Talasemia α dengan retardasi mental ringan (ATR). Dengan penelitian klinis dan molekuler diketahui 2 sindrom, oleh kromosom 16 (ATR-16) dan kromosom X (ATR-X). ATR-16 berhubungan dengan retardasi mental ringan dan delesi bagian akhir lengan pendek kromosom 16, berdiri sendiri atau bersamaan translokasi kromosom. ATR-X diikuti retardasi mental berat, dan disebabkan oleh mutasi pada XH2 kromosom X. Gen yang dihasilkan berhubungan dengan faktor transkripsi yang mengatur gen α globin dan fase awal pertumbuhan susunan saraf pusat dan traktus renalis fetus (Permono, & Ugrasena, 2006).

2.1.6. Patofisiologi

Pada Talasemia terjadi pengurangan atau tidak ada sama sekali produksi rantai globin. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis salah satu jenis rantai globin (rantai-α atau rantai-β) menyebabkan sintesis rantai globin yang

(7)

tidak seimbang. Bila pada keadaan normal rantai globin yang disintesis seimbang antara rantai α dan rantai β, yakni berupa α2β2, maka pada Talasemia-β0

, di mana tidak disintesis sama sekali rantai β, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai α yang berlebihan (α4). Sedangkan pada Talasemia-α0

, di mana tidak disintesis sama sekali rantai α, maka rantai globin yang diproduksi berupa rantai β yang berlebihan (β4) (Atmakusuma, & Setyaningsih, 2009).

a) Talasemia Beta

Kelebihan rantai α mengendap pada membran sel eritrosit dan prekursornya. Hal ini menyebabkan pengrusakan prekursor eritrosit yang hebat intra meduler. Kemungkinan melalui proses pembelahan atau proses oksidasi pada membran sel prekursor. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membran sel, akibat pelepasan heme dan denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada Talesemia β disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit (Permono, & Ugrasena, 2006).

Sebagian kecil prekursor eritrosit tetap memiliki kemampuan membuat rantai γ, menghasilkan HbF extra uterine. Pada Talesemia β sel ini sangat terseleksi dan kelebihan rantai α lebih kecil karena sebagian bergabung dengan rantai γ membentuk HbF. Sehingga HbF mengikat pada talesemia β. Seleksi seluler ini terjadi selama masa fetus, yang kaya HbF. Beberapa faktor genetik mempengaruhi respons pembentukan HbF ini. Kombinasi faktor-faktor ini mengakibatkan peningkatan HbF pada talesemia β. Produksi rantai δ tidak terpengaruh pada Talesemia β, sehingga HbA2 meningkat pada heterozigot (Permono, & Ugrasena, 2006).

Kombinasi anemia pada Talesemia β dan eritrosit yang kaya HbF dengan afinitas oksigen tinggi, menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi prosuksi eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif dengan perubahan tulang, peningkatan absorpsi besi, metabolisme rate yang tinggi dan gambaran klinis talesemia

(8)

β mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit abnormal mengakibatkan pembesaran limpa. Juga diikuti dengan terperangkapnya eritrosit, leukosit dan trombosit di dalam limpa, sehingga menimbulkan gambaran hipersplenisme (Permono, & Ugrasena, 2006).

Beberapa gejala ini bisa dihilangkan dengan transfusi yang bisa menekan eritropoesis, tapi akan meningkatkan penimbunan besi. Hal ini bisa dimengertikan dengan memahami metabolisme besi. Di dalam tubuh besi terikat oleh transferin, dalam perjalanan ke jaringan,besi ini segera diikat dalam timbunan molekul berat rendah. Bila berjumlah banyak bisa merusak sel. Pada pasien dengan kelebihan zat besi, timbunan ini bisa dijumpai di semua jaringan, tapi sebagian besar di sel retikuloendothelial, yang relatif tidak merusak. Juga di miosit dan hepatosit yang bisa merusak. Kerusakan tersebut diakibatkan terbentuknya hidroksil radikal bebas dan kerusakan akibat oksigen (Permono, & Ugrasena, 2006).

Normalnya ikatan besi pada transferin mencegah terbentuknya radikal bebas. Pada orang dengan kelebihan besi, transferin menjadi tersaturasi penuh, dan fraksi besi tidak terikat transferin bisa terdeteksi di dalam plasma. Hal ini mengakibatkan terbentuknya radikal bebas dan meningkatnya jumlah besi di jantung, hati dan kelenjar endokrin. Mengakibatkan kerusakan dan gangguan fungsi organ (Permono, & Ugrasena, 2006).

Gambaran klinis tersebut bisa dikaitkan dengan gangguan produksi globin, dan kelebihan rantai pada maturasi dan umur eritrosit. Dan akibat penumpukan zat besi akibat peningkatan absorpsi dan transfusi. Sehingga mudah dimengerti mengapa ada bentukan lebih ringan dari yang lain. Gambaran klinis ini dipengaruhi jumlah ketidakseimbangan rantai globin. Termasuk Talesemia α, Talesemia β minor dan segregasi gen yang mengakibatkan peningkatan HbF (Permono, & Ugrasena, 2006).

(9)

b) Talasemia Alfa

Dengan adanya HbH dan Bart’s, patologi seluler Talesemia α berbeda dengan Talesemia β. Pembentukan tetramer ini mengakibatkan eritropoesis yang kurang efektif. Tetramer HbH cenderung mengendap seiring dengan penuaan sel, menghasilkan inclusion bodies. Proses hemolitik merupakan gambaran utama kelainan ini. Hal ini semakin berat karena HbH dan Bart’s adalah homotetramer, yang tidak mengalami perubahan allosterik yang diperlukan untuk transpor oksigen. Seperti mioglobin, mereka tidak bisa melepaskan oksigen pada tekanan fisiologis. Sehingga tingginya kadar HbH dan Bart’s sebanding dengan beratnya hipoksia (Permono, & Ugrasena, 2006).

Patofisiologi Talesemia α sebanding dengan jumlah gen yang terkena. Pada homozigot (-/-) tidak ada rantai α yang diproduksi. Pasien memiliki Hb Bart’s yang tinggi dengan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb nya cukup, karena hampir semua merupakan Hb Bart’s, fetus tersebut sangat hipoksik. Sebagian besar pasien lahir mati dengan tanda-tanda hipoksia intrauterin. Bentuk heterozigot talesemia αo

dan – α+ menghasilkan ketidakseimbangan jumlah rantai tetapi pasiennya mampu bertahan dengan penyakit HbH. Kelainan ini ditandai dengan adanya anemia hemolitik, adaptasi terhadap anemianya sering tidak baik, karena HbH tidak berfungsi sebagai pembawa oksigen (Permono, & Ugrasena, 2006).

Bentuk heterozigot Talasemia αo

(-/αα) dan delesi homozigot Talesemia α+

(-α/-α) berhubungan dengan anemia hipokromik ringan, mirip Talesemia β. Meskipun pada Talesemia αo ditemukan eritrosit dengan inklusi, gambaran ini tidak didapatkan pada Talesemia α+. Hal ini menunjukkan diperlukan jumlah kelebihan rantai β tertentu untuk menghasilkan β4 tetramer. Yang menarik adalah bentuk heterozigot non delesi talasemia α (αTα/αTα) menghasilkan rantai α yang lebih sedikit, dan gambaran klinis penyakit HbH (Permono, & Ugrasena, 2006).

(10)

2.1.7. Manifestasi Klinis

Kelainan genotip Talasemia memberikan fenotip yang khusus, bervariasi, dan tidak jarang tidak sesuai dengan yang diperkirakan (Atmakusuma, 2009).

Semua Talasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi, tergantung jenis rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya (mayor atau minor). Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, khususnya anemia hemolitik (Tamam, 2009)

Talasemia-β dibagi tiga sindrom klinik ditambah satu sindrom yang baru ditentukan, yakni (1) Talasemia-β minor/heterozigot: anemia hemolitik mikrositik hipokrom. (2) Talasemia-β mayor/homozigot: anemia berat yang bergantung pada transfusi darah. (3) Talasemia-β intermedia: gejala di antara Talasemia β mayor dan minor. Terakhir merupakan pembawa sifat tersembunyi Talasemia-β (silent

carrier) (Atmakusuma, 2009).

Empat sindrom klinik Talasemia-α terjadi pada Talasemia-α, bergantung pada nomor gen dan pasangan cis atau trans dan jumlah rantai-α yang diproduksi. Keempat sindrom tersebut adalah pembawa sifat tersembunyi Talasemia-α (silent

carrier), Talasemia-α trait (Talasemia-α minor), HbH diseases dan Talasemia-α

homozigot (hydrops fetalis) (Atmakusuma, 2009).

Pada bentuk yang lebih berat, khususnya pada Talasemia-β mayor, penderita dapat mengalami anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, pembesaran limpa dan hati akibat anemia yang lama dan berat, perut membuncit karena pembesaran kedua organ tersebut, sakit kuning (jaundice), luka terbuka di kulit (ulkus/borok), batu empedu, pucat, lesu, sesak napas karena jantung bekerja terlalu berat, yang akan mengakibatkan gagal jantung dan pembengkakan tungkai bawah. Sumsum tulang yang terlalu aktif dalam usahanya membentuk darah yang cukup, bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah. Anak-anak yang menderita talasemia akan tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani transfusi, maka kelebihan

(11)

zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung, yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung (Tamam, 2009).

2.1.8. Diagnosis

Terdapat empat diagnosis utama jika seseorang menderita talasemia. Pertama, terdapat gambaran sel darah merah mikrositik yang banyak sehingga nilainya jatuh kepada diagnosis anemia. Kedua, dari anamnesa terdapat riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama. Ketiga, gambaran sel darah merah yang abnormal yakni mikrositik, acanthocytes dan terdapat sel target. Keempat, untuk Talasemia beta, terdapat peningkatan hemoglobin α2 atau F (Linker, 1996).

2.1.9. Pemeriksaan Laboratorium a) Talasemia α

Pasien dengan gen dua globin-α menderita anemia ringan, dengan nilai hematokrit antara 28% sehingga 40%. MCV rendah yaitu antara 60-75 fL dan hitung darah tepi selalunya normal. Hapusan darah tepi menunjukkan abnormalitas yang ringan yaitu terdapat gambaran mikrosit, hipokromia, target sel, dan acantocytes (sel yang mempunyai bentuk yang irregular). Hitung retikulosit dan nilai besi dalam batas normal. Hemoglobin electrophoresis menunjukkan tiada peningkatan pada hemoglobin A2 atau F dan tiada hemoglobin H.

b) Hemoglobin H disease

Pasien ini menderita anemia hemolotik yang berat, dengan nilai hematokrit antara 22% sehingga 32%. Nilai MCV yang rendah yaitu antara 69-70 fL. Hapusan darah tepi menunjukkan abnormalitas dengan hipokrom, mikrositosis, sel target dan poikilositosis. Hitung retikulosit meningkat. Hemoglobin electrophoresis menunjukkan terdapat hemoglobin H sebanyak 10-40% dari hemoglobin total.

(12)

c) Talasemia β minor

Seperti pasien yang mempunyai Talasemia-α, pasien dengan talasemia-β juga menderita anemia ringan. Nilai hematokrit antara 28-40%. MCV sekitar 55-75 fL dan hitung sel darah merah normal. Hapus darah tepi sedikit abnormal dengan terdapat gambaran hipokrom, mikrositosis dan ada sel target. Bedanya dengan penderita Talasemia-α, pasien dengan Talasemia-β dijumpai basophilic

stippling. Hitung retikulosit dalam batas normal atau nilainya sedikit

meningkat. Hemoglobin electrophoresis menunjukkan terdapat peningkatan hemoglobin A yaitu 4-8% dan peningkatan hemoglobin F yaitu 1-5%.

d) Talasemia β mayor

Pasien dengan Talasemia β mayor menderita anemia yang berat sehingga mengancam nyawa. Jika tidak ditransfusi, hematokrit akan jatuh sehingga dibawah 10%. Hapusan darah tepi yang aneh menunjukkan adanya poikilocytosis yang berat, hipokrom, mikrositosis, basophilic stippling, dan ada nukleus pada sel darah merah. Hemoglobin A menunjukkan nilai yang sedikit atau tiada. Hemoglobin yang banyak adalah hemoglobin F (Linker, 1996).

2.1.10. Penatalaksanaan

Menurut Linker (1996), pasien dengan Talasemia ringan (Talasemia-α atau Talasemia-β minor) secara klinis tampak normal dan tidak memerlukan pengobatan. Pasien yang perlu pengobatan yang serius merupakan pasien yang menderita anemia berat seperti Talasemia-β mayor.

Pasien Talasemia-β mayor harus mendapatkan transfusi darah yang teratur, mengurangi komplikasi anemia dan eritropoiesis yang tidak efektif, membantu pertumbuhan dan perkembangan selama masa anak-anak dan memperpanjang ketahanan hidup pada Talasemia mayor. Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada kadar hemoglobin <6g/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut, yang berhubungan dengan

(13)

pertumbuhan yang terganggu, pembesaran limpa dan atau ekspansi sumsum tulang. Penentuan berbasis molekuler dari Talasemia-β yang berat jarang dapat memperkirakan kebutuhan transfusi yang teratur. Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, vaksin hepatitis B diberikan dan fenotip sel darah merah secara lengkap ditentukan, sehingga allloimunisasi yang timbul dapat dideteksi (Permono, & Ugrasena, 2006).

Regimen yang digunakan untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin sebelum transfusi tidak melebihi dari 9,5 g/dl telah menunjukkan berupa penurunan kebutuhan transfusi dan memperbaiki kontrol beban besi tubuh, dibandingkan dengan regimen transfusi di mana hemoglobin lebih dari 11 g/dl. Regimen transfusi secara individual pada tiap-tiap pasien, perlu diketahui. Konsentrasi hemoglobin sebelum transfusi, volume sel darah merah yang diberikan dan besarnya limpa, sebaiknya dicatat pada setiap kunjungan untuk mendeteksi perkembangan hipersplenisme (Permono, & Ugrasena, 2006).

2.1.11. Prognosis

Tidak ada pengobatan untuk Hb Bart’s. Pada umumnya kasus penyakit Hb H mempunyai prognosis baik, jarang memerlukan transfusi darah atau splenektomi dan dapat hidup biasa. Talasemia alfa 1 dan Talasemia alfa 2 dengan fenotip yang normal pada umumnya juga mempunyai prognosis baik dan tidak memerlukan pengobatan khusus.

Transplantasi sumsum tulang alogenik adalah salah satu pengobatan alternative tetapi hingga saat ini belum mendapatkan penyesuaian hasil atau bermanfaat yang sama di antara berbagai penyelidik secara global.

Talasemia β homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia dekade ke 3, walaupun digunakan antibiotic untuk mencegah infeksi dan pemberian chelating agents (desferal) untuk mengurangi hemosiderosis (harga umumnya tidak terjangkau oleh penduduk Negara berkembang). Di Negara maju dengan fasilitas transfuse yang cukup dan perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai dekade ke 5 dan kualitas hidup juga lebih baik.

(14)

2.1.12. Pencegahan

WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan kehamilan dan penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa sifat Talasemia. Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program nasional pemerintah.

Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting dilakukan bagi pasangan yang berisiko mempunyai seorang anak yang menderita suatu defek hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil diketahui menderita kelainan hemoglobin, pasangannya harus diperiksa untuk menentukan apakah dia juga membawa defek. Jika keduanya memperlihatkan adanya kelainan dan ada resiko suatu defek yang serius pada anak (khususnya Talasemia-β mayor) maka penting untuk menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.

a) Penapisan (Screening)

Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:

1. Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau gabungan heterozigot.

2. Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan Talasemia β berat.

Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting menyediakan program konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil penapisan Talasemia (Permono, & Ugrasena, 2006).

Alternatif lain adalah memeriksa setiap wanita hamil muda berdasarkan ras. Penapisan yang efektif adalah ukuran eritrosit, bila MCV dan MCH sesuai gambaran Talasemia, perkiraan kadar HbA2 harus diukur, biasanya meningkat pada Talasemia β. Bila kadarnya normal, pasien dikirim ke pusat yang bisa menganalisis gen rantai α. Penting untuk membedakan Talasemia αo

(15)

pasien tidak memiliki risiko mendapat keturunan Talesemia αo

homozigot. Pada kasus jarang dimana gambaran darah memperlihatkan Talesemia β heterozigot dengan HbA2 normal dan gen rantai α utuh, kemungkinannya adalah Talasemia α non delesi atau Talasemia β dengan HbA2 normal. Kedua hal ini dibedakan dengan sintesis rantai globin dan analisa DNA. Penting untuk memeriksa Hb elektroforase pada kasus-kasus ini untuk mencari kemungkinan variasi struktural Hb (Permono, & Ugrasena, 2006).

b) Diagnosis Prenatal

Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Talasemia, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion (CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada janin (Permono, & Ugrasena, 2006).

Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS, mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs), dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari mutasi. Yang lebih baru, perkembangan dari polymerase chain reaction (PCR) untuk mengidentifikasikan mutasi yang merubah lokasi pemutusan oleh enzim restriksi. Saat ini sudah dimungkinkan untuk mendeteksi berbagai bentuk α dan β dari Talasemia secara langsung dengan analisis DNA janin. Perkembangan PCR dikombinasikan dengan kemampuan oligonukleotida untuk mendeteksi mutasi individual, membuka jalan bermacam pendekatan baru untuk memperbaiki akurasi dan kecepatan deteksi karier dan diagnosis prenatal. Contohnya diagnosis menggunakan hibridasi dari ujung oligonukleotida yang diberi label 32P spesifik untuk memperbesar

(16)

region gen globin β melalui membran nilon. Sejak sekuensi dari gen globin β dapat diperbesar lebih 108 kali, waktu hibridasi dapat dibatasi sampai 1 jam dan seluruh prosedur diselesaikan dalam waktu 2 jam (Permono, & Ugrasena, 2006).

Terdapat berbagai macam variasi pendekatan PCR pada diagnosis prenatal. Contohnya, tehnik ARMS (Amplification refractory mutation

system), berdasarkan pengamatan bahwa pada beberapa kasus,

oligonukleotida (Permono, & Ugrasena, 2006).

Angka kesalahan dari berbagai pendekatan laboratorium saat ini, kurang dari 1%. Sumber kesalahan antara lain, kontaminasi ibu pada DNA janin, non-paterniti, dan rekombinasi genetik jika menggunakan RELP

linkage analysis (Permono, & Ugrasena, 2006).

Menurut Tamam (2009), karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal yang lebih penting dibanding pengobatan. Program pencegahan Talasemia terdiri dari beberapa strategi, yakni (1) penapisan (skrining) pembawa sifat Talasemia, (2) konsultasi genetik (genetic counseling), dan (3) diagnosis prenatal. Skrining pembawa sifat dapat dilakukan secara prospektif dan retrospektif. Secara prospektif berarti mencari secara aktif pembawa sifat thalassemia langsung dari populasi diberbagai wilayah, sedangkan secara retrospektif ialah menemukan pembawa sifat melalui penelusuran keluarga penderita Talasemia (family study). Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasehat-nasehat tentang keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang baik untuk Talasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut. Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik terutama di negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif memerlukan biaya yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di negara berkembang dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program prospektif.

(17)

Konsultasi genetik meliputi skrining pasangan yang akan kawin atau sudah kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan yang berisiko tinggi diberikan informasi dan nasehat tentang keadaannya dan kemungkinan bila mempunyai anak (Tamam, 2009).

Diagnosis prenatal meliputi pendekatan retrospektif dan prospektif. Pendekatan retrospektif, berarti melakukan diagnosis prenatal pada pasangan yang telah mempunyai anak Talasemia, dan sekarang sementara hamil. Pendekatan prospektif ditujukan kepada pasangan yang berisiko tinggi yaitu mereka keduanya pembawa sifat dan sementara baru hamil. Diagnosis prenatal ini dilakukan pada masa kehamilan 8-10 minggu, dengan mengambil sampel darah dari villi khorialis (jaringan ari-ari) untuk keperluan analisis DNA (Tamam, 2009).

Dalam rangka pencegahan penyakit Talasemia, ada beberapa masalah pokok yang harus disampaikan kepada masyarakat, ialah : (1) bahwa pembawa sifat Talasemia itu tidak merupakan masalah baginya; (2) bentuk Talasemia mayor mempunyai dampak mediko-sosial yang besar, penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian; (3) kelahiran bayi Talasemia dapat dihindarkan (Tamam, 2009).

Karena penyakit ini menurun, maka kemungkinan penderitanya akan terus bertambah dari tahun ke tahunnya. Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan sebelum menikah sangat penting dilakukan untuk mencegah bertambahnya penderita Talasemia ini. Sebaiknya semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa kemungkinan membawa sifat Talasemia. Pemeriksaaan akan sangat dianjurkan bila terdapat riwayat : (1) ada saudara sedarah yang menderita Talasemia, (2) kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl walaupun sudah minum obat penambah darah seperti zat besi, (3) ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb normal (Tamam, 2009).

(18)

2.2. USIA MENIKAH

Perkawinan adalah suatu peristiwa di mana sepasang mempelai atau sepasang suati istri dipertemukan secara formal di hadapan penghulu atau kepala agama tertentu serta para saksi dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami istri dengan upacara dan ritus-ritus tertentu. (Mansur, 2009)

Menurut undang-undang perkahwinan yang dikenal dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, yang dimaksudkan dengan perkahwinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Agama Islam, perkahwinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan serta persiapan fisik dan mental karena menikah adalah sesuatu yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang. (Mansur, 2009)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan diperlukan persiapan fisik dan mental untuk melaksanakannya (Mansur, 2009)

Menurut Mansur (2009) usia 20-25 tahun bagi perempuan dan 25-30 tahun bagi laki-laki merupakan usia yang ideal untuk berumah tangga. Mereka yang hendak bekeluarga amat dianjurkan untuk menjaga kesehatan, baik sehat jasmani maupun rohani. Kesehatan fisik meliputi bebasnya seseorang dari penyakit (apalagi penyakit menular) dan juga bebas dari penyakit karena keturunan. Pemeriksaan kesehatan dan konsultasi pranikah amat dianjurkan bagi pasangan yang hendak menikah.

Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat

(19)

perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa. Bahkan harus diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan. Dalam istilah KIE disebut sebagai anjuran untuk mengubah bulan madu menjadi tahun madu. (CERIA, 2008)

Pendewasaan usia perkawinan merupakan bagian dari program Keluarga Berencana Nasional. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur kawin pertama yang pada gilirannya akan menurunkan TotalFertility Rate

(TFR).Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah memberikan

pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran (CERIA, 2008).

2.3. PERILAKU KESEHATAN

Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Terdapat 3 domain yang akan diukur untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan. Pertama, pengetahuan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (knowledge). Kedua, sikap atau tanggapan peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude). Ketiga, praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta didik sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan (practice) (Notoatmodjo, 2007). Untuk penelitian ini, yang akan dibahaskan adalah pengetahuan (knowledge) dan sikap (attitude).

2.3.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindaran terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

(20)

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni:

a. Tahu (know)

Tahu artinya sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi lain.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabar materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis ini suatu kemampuan yang menyusun

(21)

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencana, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya, terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kamampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya: dapat membandingkan antara anak-anak yang cukup gizi dengan anak yang kekurangan gizi, dapat menanggapi terjadinya wabah diare di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab ibu-ibu tidak mau ikut KB, dan sebagainya.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yan ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007).

2.3.2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan (predisposisi) tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkahlaku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahawa sikap merupakan reaksi terhadap objek dilingkingan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yakni:

a. Menerima (receiving)

Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

(22)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah indikasi dari suatu sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (valueing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ke tiga. d. Bertanggungjawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan responden terhadap suatu objek. Secara langsung tidak dilakukan dengan pertanyaan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2007).

Referensi

Dokumen terkait

Gen cacat RB1 dapat warisan dari orang tua baik, pada beberapa anak, bagaimanapun, mutasi terjadi pada tahap awal perkembangan janin. Tidak diketahui apa yang menyebabkan

Wawancara keenam dilakukan dengan AP (dayak) dilaksanakan pada hari jumat tanggal 27 november 2015, pada pukul 14.15- 15.22 hasil wawancara yang dilakukan dengan AP, AP sangat

Dalam bisnis otomotif harga sangat berperan bagi konsumen. Selain produk atau jasa yang di perlukan konsumen, yang pertama kali yang akan dibandingkan konsumen adalah

Mengacu kepada pertanyaan penelitian tersebut, maka penelitian ini didasarkan pada tujuan umum untuk mengetahui korelasi antara manajemen stres dan kompetensi secara

Modal seperti ini tidak dikenakan kewajiban zakat karena berkaitan dengan asset tetap lainnya yang ditujukan untuk membantu jalannya operasi usaha. Bila niat memilikinya

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Harmendo et al  pada tahun 2009 di Bangka Belitung yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara

Hasil yang diperoleh adalah 100% silabus dan RPP yang telah dikumpulkan oleh guru bersifat orisinil (karya sendiri), hal tersebut terlihat dengan cukup besarnya kemampuan

Elektron tersebut dapat membentuk pasangan elektron bersama dari masing-masing sebuah elektron pada subkulit p, sehingga halogen dalam keadaan bebas terdapat