• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Obat 1. Definisi

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, yang dimaksud obat adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia.

Obat adalah suatu bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menetapkan diagnosa, mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian badan manusia (M. Anief, 1997).

2. Penggolongan

Ada beragam kriteria yang digunakan untuk menggolongkan jenis-jenis obat, antara lain sebagai berikut:

a. Menurut Kegunannya

Berdasarkan kegunaannya di dalam tubuh, obat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:

1) Untuk menyembuhkan (terapeutik) 2) Untuk mencegah (prophylactic), dan

3) Untuk diagnosis (diagnostic) (Widodo, 2013). b. Menurut Cara Penggunaannya

Berdasarkan cara penggunaannya, obat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

1) Medicamentum ad usum internum (pemakaian dalam) melalui oral, diberi etiket putih; dan

(2)

2) Medicamentum ad usum externum (pemakaian luar) melalui implantasi, injeksi, membran mukosa, rektal, vaginal, nasal, ophthalmic, aurical, atau collutio/gargarisma/gargle, diberi etiket biru (Widodo, 2013).

c. Menurut Cara Kerjanya

Berdasarkan cara kerjanya di dalam tubuh, obat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:

1) Obat lokal, yaitu obat yang bekerja pada jaringan setempat, seperti pemakaian topikal; dan

2) Obat sistemik, yaitu obat yang didistribusikan ke seluruh tubuh, seperti tablet analgesik (Widodo, 2013).

d. Menurut Undang-Undang

Untuk menjaga keamanan pengguanaan obat oleh masyarakat, pemerintah menggolongkan obat menjadi beberapa macam. Berikut adalah beberapa macam obat menurut undang-undang:

1) Narkotika (obat bius atau daftar O = opium), yakni obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan IPTEK serta dapat menimbulkan ketergantungan dan ketagihan (adiksi) yang sangat merugikan masyarakat dan individu apabila digunakan tanpa pembatasan dan pengawasan dokter, seperti candu/opium, morfin, petidin, metadon, dan kodein (Widodo, 2013).

2) Psikotropika (obat berbahaya), adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Undang-undang RI No. 5 Tahun 1997).

3) Obat Keras atau daftar G (Geverlujk = berbahaya). Menurut Undang-undang obat keras St.No.419, tanggal 22 Desember 1949. Pada pasal 1 butir a, disebutkan bahwa, obat-obat keras yaitu obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan,

(3)

membaguskan, mendesinfeksi-kan dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretaris Van Staat, Hoofd van het Departement van Gesonheid, menurut ketentuan dalam pasal 2. Obat keras hanya dapat diperoleh dengan resep dokter di Apotek, Apotek Rumah Sakit, Puskesmas, dan Balai pengobatan.

4) Obat bebas terbatas (daftar W = warschuwing = peringatan), yakni obat keras yang boleh diserahkan tanpa resep dari dokter dalam bungkus aslinya dari produsen atau pabrik obat tersebut, kemudian diberi tanda lingkaran bulat berwarna biru dengan garis tepi hitam serta diberi tanda peringantan sebagai berikut:

a) P.No.1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan memakaiannya. b) P.No.2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan

ditelan.

c) P.No.3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.

d) P.No.4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar. e) P.No 5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

f) P.No.6: Awas! Obat keras. Obat Wasir, jangan ditelan (Widodo, 2013).

5) Obat bebas, yaitu obat yang dapat dibeli secara bebas dan tidak membahayakan si pemakai dalam batas dosis yang dianjurkan, obat ini diberi tanda lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi hitam (Widodo, 2013).

e. Menurut Sumber Obat

Adapun menurut sumbernya, obat yang saat ini digunakan dapat bersumber dari:

1) Tumbuhan (flora atau nabati), misalnya digitalis, kina, dan minyak jarak.

2) Hewan (fauna atau hayati), misalnya minyak ikan, adeps lanae, dan cera.

(4)

3) Mineral (pertambangan), misalnya iodkali, garam dapur, paraffin, vaselin, dan sulfur.

4) Sintetis (tiruan/buatan), misalnya kamper sintetis dan vitamin C. 5) Mikroba dan fungi/jamur, misalnya antibiotik penisilin

(Widodo, 2013).

f. Menurut Proses Fisiologis dan Biokimia di dalam Tubuh

Jika dilihat dari proses fisiologis dan biokimianya di dalam tubuh, obat dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu:

1) Obat kemoterapeutik, yaitu obat yang dapat membunuh parasit dan kuman di dalam tubuh inang.

2) Obat farmakodinamik, yaitu obat yang bekerja terhadap inang dengan cara mempercepat atau memperlambat proses fisiologis atau fungsi biokimia di dalam tubuh.

3) Obat diagnostik, yaitu obat yang membantu dalam mendiagnosis suatu kelainan atau penyakit (Widodo, 2013).

g. Menurut Bentuk Sediaan Obat (Bentuk Sediaan Farmasi)

Adapun menurut bentuk sediaannya, obat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu:

1) Bentuk padat, misalnya: serbuk, tablet, pil, kapsul, dan supositoria. 2) Bentuk setengah padat, misalnya: salep, krim, pasta, cerata, gel dan

salep mata.

3) Bentuk cair/larutan, misalnya: potio, sirop, eliksir, obat tetes, gargarisma, injeksi, infus intravena, lotion, dll.

4) Bentuk gas, misalnya: inhalasi/spray/aerosol (Widodo, 2013). B. Obat Generik

Obat generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propletary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau

buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Permenkes, 2010).

(5)

Obat generik yang ada dalam peredaran sekarang ini berasal dari obat paten yang sudah habis hak perlindungan patennya. Biasanya sebuah pabrik yang pertama kali menemukan dan mengembangkan sebuah obat (zat berkhasiat baru), mempunyai hak paten antara 10-15 tahun atas obat yang dikembangkan atau ditemukannya, artinya tidak boleh ada pihak lain yang menjual atau mengedarkan obat dengan kandungan tersebut, kecuali pemilik patennya (Sumarsono, 2014). Hak Paten merupakan hak eksklusif yang diberikan Negara kepada investor atas hasil investasinya dalam bidang teknologi untuk waktu tertentu (20 tahun), melaksanakan sendiri investasinya

atau memberikan persetujuannya untuk melaksanakannya (No. 14 Tahun 2001 tentang Paten).

Jika masa patennya sudah habis, obat paten itu berubah menjadi obat dengan status umum dan disebut dengan obat generik. Dengan tidak adanya hak paten lagi, siapa pun dapat membuat dan mengedarkan dengan menggunakan zat aktif tersebut tanpa adanya gugatan dari pihak manapun. Dalam perdagangan, obat generik menggunakan nama generiknya saja. Namun jika menggunakan nama dagang, yang membuatnya bisa menggunakannya nama dagang dan dikenal dengan obat generik dengan nama dagang (branded generic medicines) (Sumarsono, 2014).

Nama generik bisa berupa nama kimia, nama lazim, dan nama singkatan. Nama generik disebut nama generik resmi, jika nama itu dijadikan judul monografi buku resmi misalnya dalam Farmakope Indonesia. Kegenerikan mencangkup aspek karakter obat jadi, setidaknya meliputi hak kepemilikan, nama, sediaan dasar, kekuatan sediaan, mutu, khasiat, pola penggunaan, kestabilan, keamanan, dan jika dikehendaki juga cemaran mikroba dan informasi obat (Sumarsono, 2014).

Obat yang beredar di pasaran umumnya berdasarkan atas nama dagang yang dipakai oleh masing-masing produsennya. Karena tiap produsen jelas akan melakukan promosi untuk masing-masing produknya, maka harga obat dengan nama dagang lebih mahal. Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan

(6)

untuk mengendalikan harga obat, di mana obat dipasarkan dengan nama bahan aktifnya (IONI, 2008).

Sudah jelas bahwa harga obat generik akan sangat jauh lebih murah (sepersepuluh dari harga obat paten) karena tidak dibebani oleh biaya promosi yang berlebihan seperti yang terjadi pada obat paten (nama dagang). Obat generik yang bermutu dengan jumlah yang memadai baik dalam kuantitas ataupun range produknya akan sangat membantu lapisan masyarakat kalangan bawah sampai menengah, sehingga segenap rakyat Indonesia dapat menikmati pengobatan yang selayaknya (Sumarsono, 2014).

Sebenarnya, obat generik sudah sangat siap untuk digunakan terapinya, dalam artian dengan khasiatnya yang nyata dalam terapi dengan tingkat kemanan yang terkendali serta reaksi yang tidak diinginkan bisa ditekan seminimal mungkin. Dengan bergulirnya kebijakan obat generik yang sudah lebih dari sepuluh tahun diperkenalkan, sebenarnya secara ekonomi akan sangat menolong upaya pemerintah dalam hal penyelenggaraan sistem kesehatan nasional lebih tajam lagi dalam hal Kebijaksanaan Obat Nasional (KONAS) (Sumarsono, 2014).

Dibalik itu semua, penggunaan obat khususnya obat generik harus didukung juga oleh pengadaan dan ketersediaannya. Selain itu, penggunaan obat oleh pasien sangat dipengaruhi pula oleh para profesi medis dalam hal peresepannya. Peresepan suatu obat bergantung pula pada kemauan, kesediaan, dan kemampuan dokter. Kewajiban penulisan resep dan penggunaan obat esensial atau generik di fasilitas kesehatan pemerintah, diatur dalam Permenkes RI No. 085/Menkes/Per/98. Hal yang menarik perhatian adalah peraturan Menteri Kesehatan itu menetapkan kewajiban terhadap ketersediaan formularium untuk unit pelayanan kesehatan yang memuat obat esensial. Kewajiban penyediaan obat generik dengan nama generik dikenakan pada semua kelas rumah sakit dan dinas kesehatan daerah tingkat II. Selain itu, dokter yang bertugas di rumah sakit juga diwajibkan untuk menulis resep obat dengan nama generik untuk semua pasiennya. Selain itu, apotek juga berkewajiban untuk menyediakan obat esensial dengan nama generik (Sumarsono, 2014).

(7)

Namun masih banyak masyarakat yang belum mengetahui obat generik, hal ini didasarkan dari data riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang menyatakan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia yang mengetahui atau pernah mendengar tentang obat generik sebesar 31,9%, dari jumlah tersebut yang mengetahui dengan benar hanya sebesar 14,1% dan sisanya sebesar 85,9% mempunyai pengetahuan yang salah tentang obat generik. Bisa dibayangkan dari jumlah rumah tangga yang pernah mendengar atau mengetahui tentang obat generik dan berpengetahuan benar saja sudah sangat memprihatinkan, terlebih ditambah dengan jumlah rumah tangga yang belum pernah mendengar atau tidak mengetahui obat generik sebesar 68,1% (Riskesdas, 2013).

Proporsi rumah tangga di Indonesia dengan karakteristik pedesaan yang mengetahui atau pernah mendengar tentang obat generik sebesar 17,4%, sedangkan pada rumah tangga dengan karakteristik perkotaan sebesar 46,1%. Perbedaan yang cukup jauh tersebut disebabkan oleh banyak faktor diantaranya tingkat pendidikan, pola hidup, media informasi, dll (Riskesdas, 2013).

C. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang dari penginderaannya terhadap objek melalui indera yang di miliki manusia (mata, hidung, telinga dan sebagainya). Dengan sendirinya pada saat penginderaan terjadi sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsinya terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo, 2010).

Tingkatan pengetahuan:

1. Pengetahuan kurang apabila skor tingkat pengetahuan responden <55% atau <10 pernyataan yang benar.

2. Pengetahuan cukup apabila skor tingkat pengetahuan responden antara 56%-74% atau 11-14 pernyataan yang benar.

3. Pengetahuan baik apabila skor tingkat pengetahuan responden >75% atau 15 pernyataan yang benar (Arikunto, 2010).

(8)

D. Metode CBIA (Community-Based Interactive Approach)

CBIA pertama kali dikenalkan oleh Prof. Dr. Sri Suryawati pada tahun 1992. Metode CBIA menggunakan konsep pembelajaran aktif, dimana peserta melakukan diskusi dalam kelompok yang kemudian didiskusikan secara bersama. Peserta CBIA dapat terdiri dari kader kesehatan (posyandu), ibu rumah tangga, anggota tim penggerak PKK, tokoh masyarakat, maupun organisasi masyarakat lainnya (Gusnelyanti, 2014).

CBIA adalah model edukasi pemberdayaan masyarakat agar lebih terampil memilih obat sehingga swamedikasi menjadi lebih efektif, aman, dan hemat biaya. Metode yang digunakan diadopsi dari metode belajar mengajar yang dahulu digunakan untuk sekolah dasar di Indonesia, dan untuk mudahnya dinamakan CBIA (Cara belajar Ibu aktif). Metode ini telah diuji coba, dan terbukti sangat efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan memilih obat. Pada mulanya metode ini memang disiapkan untuk para ibu, karena ibu umumnya berfungsi sebagai pengelola kesehatan di rumah tangga. Namun pada pelaksanaannya kemudian, ternyata para bapak dan remaja pria juga menyukai dan merasakan manfaatnya sehingga namanya diubah menjadi Cara Belajar Insan Aktif, walaupun singkatannya tetap CBIA. Setelah CBIA digunakan di negara‐negara lain, nama CBIA sering dipanjangkan menjadi

Community‐Based Interactive Approach (Suryawati, 2012).

Tujuan CBIA adalah terbentuknya kemampuan untuk menggali sumber informasi dan meningkatkan kebiasaan berpikir secara kreatif dan kritis sehingga mampu memecahkan masalah yang didasarkan pada proses belajar mandiri (self learning). Metode CBIA merupakan metode penyampaian informasi obat dengan melibatkan subyek secara aktif yaitu mendengar, melihat, menulis, dan melakukan evaluasi tentang pengenalan jenis obat dan bahan aktif yang terkandung dalam suatu obat serta informasi lain seperti indkasi, kontraindikasi, dan efek samping (Suryawati, 2012).

Metode ini berupa diskusi kelompok kecil, dan diakhiri dalam kelompok besar. Untuk itu diperlukan pembentukan kelompok yang terdiri atas 6-8 orang. Tiap kelompok memerlukan tutor, yang akan memfasilitasi jalannya diskusi

(9)

kelompok. Pada pelaksanaannya kegiatan ini memerlukan alat bantu berupa berbagai macam obat yang yang diperlukan sesuai tema yang didiskusikan. Untuk melakukan diskusi memakan waktu sekitar 1-2 jam, tergantung dari dinamika kelompok. Makin tinggi tingkat dinamika, makin besar gairah untuk berdiskusi sehingga waktu makin lama. Namun kegiatan dalam kelompok ini sebaiknya maksimal 2 jam (Suryawati, 2012).

E. Metode FGD (Focus Group Discussion)

Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terfokus merupakan suatu metode pengumpulan data yang sering digunakan pada penelitian kualitatif sosial. Metode ini mengandalkan perolehan data atau informasi dari suatu interaksi fasilitator dengan responden berdasarkan hasil diskusi dalam suatu kelompok yang berfokus untuk melakukan diskusi dalam menyelesaikan permasalahan tertentu. Data atau informasi yang diperoleh melalui teknik ini, selain merupakan informasi kelompok, juga merupakan suatu pendapat dan keputusan kelompok tersebut. Keunggulan penggunaan metode FGD adalah memberikan data yang lebih kaya dan memberikan nilai tambah pada data yang tidak diperoleh ketika menggunakan metode

pengumpulan data lainnya, terutama dalam penelitian kuantitatif (Lehoux & Poland, 2006).

Tujuan utama metode FGD adalah untuk memperoleh interaksi data yang dihasilkan dari suatu diskusi sekelompok partisipan/responden dalam hal meningkatkan kedalaman informasi menyingkap berbagai aspek suatu fenomena kehidupan, sehingga fenomena tersebut dapat didefinisikan dan diberi penjelasan. Data dari hasil interaksi dalam diskusi kelompok tersebut dapat memfokuskan atau memberi penekanan pada kesamaan dan perbedaan pengalaman dan memberikan informasi/data yang padat tentang suatu

perspektif yang dihasilkan dari hasil diskusi kelompok tersebut (Afiyanti, 2008).

(10)

Metode FGD telah berkembang pada saat ini, tidak hanya digunakan untuk mengumpulkan data secara kualitatif. Namun, juga digunakan sebagai metode dalam penyampaian materi edukasi (Rizki, 2012).

Dalam pelaksanaannya jumlah peserta dalam kelompok cukup 7-10 orang, namun dapat diperbanyak hingga 12 orang, sehingga memungkinkan setiap individu untuk mendapat kesempatan mengeluarkan pendapatnya serta cukup memperoleh pandangan anggota kelompok yang bervariasi (Krueger, 1988). Jumlah peserta yang lebih besar, sebernarnya juga bisa memberi keuntungan lain, yaitu memperluas sudut pandang dan pengalaman peserta yang mungkin muncul. Namun walaupun jumlah peserta tidak banyak dan waktu untuk mengemukakan pendapat tidak dibatasi, peserta mempunyai batasan waktu tertentu dalam berbicara karena fokus perhatian tidak hanya tidak hanya pada satu responden melainkan seluruh peserta (Paramita, 2013). Waktu diskusi tidak terlalu lama sekitar 1,5-2 jam dan harus dihentikan sebelum peserta merasa jenuh (Suhaimi, 1999).

Dalam metode FGD diskusi dipimpin oleh seorang fasilitator dan seorang notulen. Fasilitator haruslah seorang yang peka, serta perhatian terhadap adanya perbedaan peserta dalam sebuah kelompok. Jika memungkinkan, fasilitator dipilih seorang yang secara demografi mempunyai kesamaan dengan peserta. Standar minimal yang perlu dikuasai oleh fasilitator adalah tujuan dan topik sehingga mampu memahami diskusi yang berlangsung dan mengembangkan pertanyaam-pertanyaan lanjutan. Kemampuan fasilitator dalam membaca bermcam-macam respons peserta, dengan tetap menjaga agar diskusi tetap pada jalurnya. Fasilitator bisa berasal dari tenaga profesional (dengan menggaji seorang fasilitator yang sudah terlatih), atau salah seorang tim peneliti yang dianggap mampu. Fasilitator profesional adalah fasilitator yang telah dilatih untuk mampu menjaga netralitas, tidak menghakimi, dan memimpin diskusi serta memberi pertanyaan secara jelas tapi ringkas. Jika tidak mempunyai dana untuk menggaji seorang yang profesional, fasilitator dapat direkrut dari tim peneliti yang telah mempunyai pengalaman sebagai fasilitator.

(11)

Kuncinya adalah pilih seseorang yang mampu bersikap objektif dan tidak defensif saat berbicara dengan orang lain (Paramita, 2013).

F. Kuesioner

Kuesioner merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2011).

Tujuan Kuesioner:

1. Memperoleh informasi yang akurat dari responden.

2. Memberikan struktur agar wawancara berjalan dengan lancar dan berurutan. 3. Memberikan format standar pencatatan fakta, komentar dan sikap.

4. Memudahkan pengelolaan data (Supardi et al, 2014).

Kelebihan kuesioner adalah peneliti dapat menentukan sistematika isi dan urutan pertanyaan, data dapat dikumpulkan dalam waktu yang relatif singkat, dan data yang terkumpul dapat dicek kebenarannya.

Kekurangan kuesioner adalah tidak memberikan keleluasaan pewawancara untuk mengubah susunan pertanyaan agar sesuai dengan alam pikiran/ pengetahuan responden, dan tidak dapat memberikan jawaban yang mendalam (Supardi et al, 2014).

G. Uji Hipotesis

Pada penelitian ini uji hipotesis yang dilakukan ada 2, yaitu uji T berpasangan dan uji T tidak berpasangan. Uji T berpasangan digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai rata-rata dari dua kelompok dengan dua sampel yang saling berhubungan, yang artinya satu sampel akan mempunyai dua data yaitu data sebelum intervensi (pretest) dan data sesudah intervensi (posttest) (Dahlan, 2010). Apabila uji T berpasangan tidak memenuhi syarat maka digunakan alternatifnya yaitu uji Wilcoxon, uji ini merupakan uji statistik nonparametrik. Tujuan uji Wilcoxon yaitu untuk mengetahui adanya perbedaan dari dua kelompok dari dua sampel yang sama dan data yang diperoleh tidak terdisitribusi normal.

(12)

Uji yang kedua yaitu uji T tidak berpasangan, adalah untuk mengetahui adanya perbedaan nilai rata-rata antara dua kelompok perlakuan. Apabila uji T tidak berpasangan tidak memenuhi syarat maka digunakan alternatifnya yaitu uji Mann-Whitney, uji ini merupakan uji statistik nonparametrik. Adapun tujuan dari uji mann-whitney yaitu untuk mengetahui apakah ada perbedaan dari dua sampel yang saling tidak berhubungan dan data yang diperoleh adalah data yang tidak terdistribusi normal (Riwidikdo, 2012).

Kemudian untuk membandingkan karakteristik responden tiap-tiap metode dilakukan uji homogenitas. Uji ini digunakan untuk membuktikan bahwa dua atau lebih data sampel berasal dari populasi yang memiliki varians yang sama atau dua kelompok tersebut setara. Dikatakan setara apabila didapat nilai p > 0,05.

H. Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Jadi pengujian validitas itu diperlukan sebelum instrument itu digunakan. Validitas ini digunakan untuk melihat sejauh mana suatu instrument dapat menjalankan fungsinya. Instrument dikatakan valid jika instrument tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur (Sugiyono, 2008). Valid atau tidaknya suatu butir pertanyaan ditentukan oleh nilai r hitung. Apabila nilai r hitung > r tabel maka butir pertanyaan tersebut dinyatakan valid. Atau dapat juga dilihat dari nilai signifikansi, apabila nilai p < 0,05 maka butir pertanyaan dinyatakan valid, begitu juga sebaliknya (Notoatmodjo, 2010).

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas (ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2012). Untuk Pengujian reliabilitas dapat dihitung dengan menggunakan nilai koefisien Alpha cronbach dengan nilai di atas 0,7. Apabila suatu instrument penelitian nilai Alpha

(13)

Cronbach diatas 0,7 maka dapat instrument tersebut dikatakan reliabel (Djemari, 2003).

I. Kecamatan Purwokerto Utara

Kecamatan Purwokerto Utara adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan Purwokerto Utara memiliki luas daerah 15 km2 dan meiliki jumlah penduduk sekitar 61.061 jiwa. Kecamatan Utara terdiri dari 7 kelurahan, yaitu Bancarkembar, Bobosan, Grendeng, Karangwangkal, Pabuaran, Purwanegara, dan Sumampir (Kecamatan dalam angka, 2014).

Menurut data yang ada di profil kesehatan Kabupaten Banyumas tahun 2014, menyatakan bahwa Kecamatan Purwokerto Utara merupakan Kecamatan dengan karakteristik perkotaan yang memiliki kasus penyakit tidak menular paling tinggi yaitu sebanyak 488 kasus, dibandingkan dengan 3 Kecamatan lain yang berada di pusat kota Kabupaten Banyumas yaitu Kecamatan Purwokerto Timur, Kecamatan Purwokerto Selatan, dan Kecamatan Purwokerto Barat (Anonim, 2014).

Referensi

Dokumen terkait

Kami sangat bangga dan berterima kasih atas kepercayaan dan kerjasama yang diberikan oleh Pemeperintah Daerah Provinsi Papua lewat Badan Pengelola Sumberdaya Alam dan

Berdasarkan risk matriks business consequence komponen liner berada pada area merah, dengan nilai peluang kegagalan (Pf) &gt; 70% dan berada pada kategori very high

Pada Gambar 13 ditampilkan jumlah data yang ada pada manajemen pengguna merupakan data pengguna yang telah melakukan registrasi, dan ditampilakan jumlah data kategori

Rumah Sakit Umum Daerah sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul perlu dioptimalkan fungsinya dengan menetapkan RSUD sebagai Unit

Agar propaganda ideologi dan cara hidup liberalis dan pluralis itu diterima oleh orang Islam, maka diikuti pula dengan bantuan fasilitas, popularitas dan juga

Tingkat kemudahan pembacaan simbol pada peta multiskala cetak dan web diperoleh hasil sebesar 74% responden memilih web cartography sebagai bentuk penyajian peta multiskala yang

Dari hasil analisa yang dilakukan telah terjadi perubahan beberapa nilai rata-rata yaitu warna R ( red ) pada piksel citra digital tersebut, tetapi citra yang disisipkan

Masyarakat Jakarta yang kehilangan identitas karena ikatan dengan daerah asal mereka telah memudar berusaha mencari batas-batas identitas baru yang pada akhirnya melahirkan