PERAN KEPOLISIAN DALAM MENANGGULANGI PENYALAHGUNAAN SENJATA API
OLEH WARGA SIPIL (STUDI: POLDA SUMBAR)
Irwandy Hendrik1, Dr.Uning Pratrimaratri1, Syafridatati2
Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
E-mail :Irwandy_Hendrik@yahoo.co.id
Abstract
The Police Department is one of the institutions that have the task in the field of public order. The Police Department has the authority to issue permits the use of firearms by civilians. Possession of firearms by civilians, whether legal or illegal are often misused. The problem in this study are: (1) What is the role of the police in tackling the misuse of firearms (2) What factors a barrier to tackling the misuse of firearms (3) What efforts to overcome a barrier in tackling the misuse of firearms. This research uses the juridical socio legal approach that is by doing research in West Sumatera regional police. Source data obtained from the primary data and secondary data, primary data obtained from conducting interviews, secondary data obtained from studies of the document. Such Data in qualitative analysis. From the results it can be concluded: (1) the role of the police in tackling the misuse of firearms, such as conducting an investigation if there is misuse of firearms (2) restricting Factor in tackling the misuse of firearms is the cost of the investigation, the society does not give information, limitations of the equipment owned by the police (3) efforts are being made in tackling the misuse of firearms through tightened management of firearms permits.
Key Words: Role, Police Abuse, Firearms, Pendahuluan
Kepolisian suatu institusi yang telah memisahkan diri dengan TNI, ini dapat dilihat dari Instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI dan merupakan landasan formal berjalannya reformasi di
tubuh Polri. Pada tahun 2000 diterbitkan pula Keputusan Presiden Nomor 89 tentang kedudukan Polri yang langsung berada dibawah Presiden dan kemudian dipertegas dengan keluarnya TAP MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang pemisahan Tentara Nasional Indonesia dengan Polri dan TAP MPR Nomor
VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Polri. Landasan-landasan formal tersebut diatas merupakan latar belakang disusunnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai pengganti Undang-Undang Polri yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 28 tahun 1997.
Pelaksanaan tugas maupun peran serta Polri yang telah disusun dan ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian telah dirumuskan dan memperhatikan kedudukan Polri sebagai alat Negara sesuai dalam bunyi TAP MPR Nomor VII tentang Polri dimana dalam pertimbangannya yaitu bahwa dalam kehidupan masyarakat diperlukan aparat keamanan yang memberikan perlindungan dan penegakan hukum (Law enforcemet) berupa Kepolisian Negara Republik Indonesia, oleh sebab itu, Polri merupakan alat Negara yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang Kepolisian Preventif dan
represif dalam rangka Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
Sistem).
Semenjak berpisah dengan TNI tahun 1999, wajah Polri berubah
dari sebuah institusi berbasis militer menjadi berbasis sipil, perubahan paradigma ini tidak saja membuat penampilan Polri lebih lembut, lunak, dan bersahabat dengan masyarakat, tetapi juga menegaskan Polri sebagai alat Negara yang berfungsi sebagai menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta menegakkan supremasi hukum yang berbasis pada perlindungan hak sipil warga Negara.
Aksi-aksi kekerasan massa dan tindak kriminal yang disertai kekerasan sepertinya telah menjadi tren di negeri ini. Berita-berita terdengar silih berganti, dari mulai tawuran kelompok masyarakat, pelajar, mahasiswa, pemuda sampai masyarakat petani dan lain sebagainya. Belum lagi aksi-aksi yang menggunakan senjata api baik yang ilegal maupun yang legal, baik dilakukan penjahat maupun oleh oknum aparat. Semakin terasa bahwa sebuah rasa aman dan nyaman semakin lama semakin merambat menjadi barang yang mahal harganya. Jati diri sebagai bangsa yang ramah tamah seperti yang dipahami selama ini seperti serta merta hilang ketika melihat fenomena kekerasan yang kerap terjadi. Di tengah masalah seperti ini
wacana penggunaan senjata api oleh masyarakat sipil kembali mengemuka. Karena tinggi frekuensi perampokkan atau aksi-aksi melawan hukum lainnya dengan menggunakan senjata api, sehingga banyak pihak yang kemudian meminta pemerintah untuk memperketat perizinan kepemilikan senjata api.
Rasa aman tidak cukup didapat hanya dengan adanya perangkat hukum. Sehingga masyarakat merasa perlu untuk mengamankan dirinya sendiri dari segala ancaman marabahaya yang bisa muncul seketika. Maka kepemilikan senjata api adalah salah satu jawabannya.
Alasan lain bagi masyarakat sipil memiliki senjata adalah karena proses kepemilikan tersebut bisa dilakukan dengan proses yang relatif gampang juga dengan harga yang terbilang murah - apalagi bagi orang-orang yang memiliki uang banyak. Karena sifatnya yang gampang dan murah ini maka orang ingin memiliki senjata api. Tercatat sejak awal tahun 2012, sekitar 18.030 izin kepemilikan senjata api dikeluarkan untuk warga sipil.
Tercatat pihak berwenang telah mengeluarkan 41.269 surat izin kepemilikan senjata api non organik ke
masyarakat. Senjata tersebut terdiri dari senjata api dengan peluru tajam, karet dan gas. "Senjata api non organik yang diberikan izin ke masyarakat 2000-2011 sebanyak 41.269, berupa senjata api peluru tajam 25.301 pucuk, peluru karet 10.158 pucuk, gas 5.810 pucuk," ujar Irjen Saud Usman Nasution, 7 Mei lalu.
Kepemilikan senjata api memang bukan merupakan tindakan “haram”. Karena dalam peraturan perundang‐undangan sudah diatur yakni dalam UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Sedangkan untuk biaya pengurusan izin diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kepolisian negara Republik Indonesia. Dalam undang-undang disebutkan bahwa izin kepemilikan senjata api juga diberikan kepada pejabat seperti pejabat swasta atau perbankan, yakni presiden direktur, presiden komisaris, komisaris, diretur utama, dan direktur keuangan; pejabat pemerintah, yakni menteri, Ketua MPR/DPR, Sekjen, Irjen, Dirjen, dan Sekretaris Kabinet, juga gubernur, wakil gubernur, Sekda, Irwilprov,
Ketua DPRD-I dan Anggota DPR/MPR, TNI/Polri dan purnawirawan. Adapun senjata-senjata yang boleh dimiliki antara lain adalah : Selain senjata api yang memerlukan izin khusus (IKHSA). Contoh kasus
Mengungkap kasus perampokan di Banda Olo, Padang,
Selasa (2/10), membuahkan hasil. Dua dari 10 anggota sindikat perampok lintas provinsi yang beraksi di Banda Olo, berhasil diciduk polisi.
Mereka ditangkap pada waktu dan lokasi berbeda. Satu dari mereka ditembak polisi karena berusaha kabur, demikian di wartakan Harian Singgalang edisi Sabtu (6/10).
Sepanjang 2012, inilah untuk pertama kali, pelaku rampok berhasil ditangkap di Padang. Dari 309 kasus pencurian dengan kekerasan sepanjang 2012, sebanyak 12 kasus berupa perampokan bersenjata. Kita tidak menutup mata bahwa masih banyak dari kasus perampokan tersebut belum terungkap, seperti kasus perampokan bersenjata api yang beraksi di Pasar Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, yang mengakibatkan seorang tewas atas perampokan tersebut. Demikian pula
kasus perampokan di Dharmasraya juga belum diusut tuntas.
Dari uraian latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Kepolisian
dalam menanggulangi penyalahgunaan senjata api oleh
warga sipil?
2. Faktor apakah yang menjadi
penghambat untuk menanggulangi penyalahgunaan
senjata api?
3. Upaya apakah untuk mengatasi
penghambat dalam menanggulangi penyalahgunaan
senjata api?
Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan
Metode yang digunakan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis
sosiologis, yaitu suatu metode
pendekatan dengan melakukan penelitian dengan melihat perkembangan hukum di masyarakat Kepolisian Daerah Sumbar.
2. Jenis Data
Adapun jenis-jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan untuk memecahkan masalah. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan pihak Polda Sumbar (AKBP.Zaini, Kasubdit Sosbud Dit Intelkam Polda Sumbar dan Briptu Umul Chair).
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kantor Kepolisian Polda Sumatera Barat Padang yaitu Berita Acara Pemeriksaan (BAP). 2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
a. Wawancara, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara lisan guna memperoleh keterangan dari nara sumber yang erat kaitannya dengan pemecahan masalah yang diteliti oleh penulis di lapangan.
b. Studi dokumen ataupun studi kepustakaan, yaitu penulis mengambil bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti di lapangan. 3. Teknik Analisa Data
Pengolahan data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah dengan menggunakan pengolahan
data yang bersifat kualitatif yaitu dengan menjabarkan data yang diperoleh menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat.
Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Peran Kepolisian dalam
Menanggulangi
Penyalahgunaan Senjata Api Oleh Warga Sipil.
Polri senantiasa berusaha mewujudkan keamanan yang kondusif, penegakkan hukum secara tegas, konsisten, transparan, serta melaksanakan fungsi dan tugas sesuai dengan Undang-Undang Kepolisian No 2 tahun 2002, menjamin rasa keadilan serta memberikan perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya. Dalam era reformasi saat sekarang ini Polri terus membangun kemitraan dengan masyarakat
dengan menekankan komunikasi yang menjunjung
tinggi nilai-nilai yang berlaku
serta memperhatikan keberagaman secara santun dan
menghargai.
Setiap perorangan atau pejabat yang akan mengurus izin kepemilikan dan
penggunaan senjata api harus memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, yakni:
1. Memiliki kemampuan atau keterampilam menembak minimal klas III yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan
oleh institusi pelatihan menembak yang sudah mendapat izin dari Polri.
Sertifikat tersebut disahkan oleh Polri (Pejabat Polri yang ditunjuk) Mabes Polri atau Polda.
2. Memiliki keterampilan dalam merawat, menyimpan dan mengamankannya
sehingga terhindar dari penyalahgunaan.
3. Memenuhi persyaratan mediam psikologis dan persyaratan lain
Peranan POLRI dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Senjata Api oleh Masyarakat Sipil di Kota Padang, dalam hal ini Polda Sumbar telah melakukan upaya penanggulangan
penyalahgunaan senjata api seperti:
1. Melakukan pendataan kepemilikan senjata api,
2. Melakukan pengecekan secara periodik setiap setahun sekali kepada pemilik senjata api baik senjata api maupun surat dokumen
kepemilikan/penggunaan senjata api,
3. Melakukan
penarikan/penggudangan senjata api yang surat dokumennya sudah mati atau masa berlakunya sudah habis,
4. Penerbitan izin kepemilikan dan penggunaan senjata api maupun senapan angin dan senjata replika/mainan dalam rangka pengawasan dan pengendalian (Skep Kapolri No.Pol 82 tahun 2004),
5. Melakukan tindakan/upaya hukum sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
Aturan yang mengatur tentang Penyalahgunaan Senjata Api oleh warga sipil, dalam hal ini penyidik
menggunakan Undang-undang darurat No.51 tahun 1951 tentang senjata api.
Menurut Dit Intelkam Polda Sumbar, dari tahun 2010 – 2012 tercatat ada 20 kasus penyalahgunaan senjata api. Sebelum tahun 2005, Polri telah memberikan izin kepemilikan 18.030 pucuk senjata legal kepada warga sipil untuk kepentingan bela diri. Sejak 2004, kepemilikan senjata api sesungguhnya telah dibatasi sehingga senjata api yang mulanya dimiliki
perseorangan sipil dikembalikan lagi kepada
aparat kepolisian. Bagi pemilik senjata yang izinnya habis, tetapi belum mengembalikan senjatanya kepada polisi, akan dipidana sesuai dengan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Pihaknya memperkirakan setidaknya masih ada 1.000 pucuk senjata api yang masih beredar di kalangan warga sipil di sekitar Padang.
Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun
2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi
Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (“Perkapolri 1/2009”). Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa:
1. Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.
2. Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk :
a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa
b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat
c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat
d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang
e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa dan
f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.
Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila (Pasal 8 ayat [1] Perkapolri 1/2009):
a. tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat
b. anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut
c. anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa
anggota Polri atau masyarakat.
d. Pada prinsipnya, penggunaan senjata api
merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 8 ayat [2] Perkapolri 1/2009).
Jadi, penggunaan senjata api oleh polisi hanya digunakan saat keadaan adanya ancaman terhadap jiwa
manusia. Sebelum menggunakan senjata api,
polisi harus memberikan peringatan yang jelas dengan cara (Pasal 48 huruf b Perkapolri 8/2009):
1. menyebutkan dirinya sebagai petugas atau anggota Polri yang sedang bertugas
2. memberi peringatan dengan ucapan secara jelas dan tegas kepada sasaran untuk berhenti, angkat tangan, atau meletakkan senjatanya dan
3. memberi waktu yang cukup agar peringatan dipatuhi
Bagaimana
pertanggungjawaban polisi terhadap penggunaan senjata
api? Jika ada pihak yang dirugikan atau keberatan karena penggunaan senjata api, petugas polisi yang bersangkutan wajib membuat penjelasan secara terperinci tentang alasan penggunaan senjata api, tindakan yang dilakukan dan akibat tindakan yang telah dilakukan (Pasal 49 ayat [2] huruf a Perkapolri 8/2009).
Selain itu, setelah menggunakan senjata api, polisi harus membuat laporan terperinci mengenai evaluasi pemakaian senjata api. Laporan tersebut berisi antara lain (Pasal 14 ayat [2] Perkapolri 1/2009):
a. tanggal dan tempat kejadian b. uraian singkat peristiwa
tindakan pelaku kejahatan atau tersangka, sehingga memerlukan tindakan kepolisian
c. alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan
d. rincian kekuatan yang digunakan
e. evaluasi hasil penggunaan kekuatan
f. akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh
penggunaan kekuatan tersebut.
Laporan inilah yang akan digunakan untuk bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan, serta sebagai bahan
pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan (Pasal 14 ayat [5] huruf e dan f Perkapolri 1/2009).
Pada prinsipnya, setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya (Pasal 13 ayat [1] Perkapolri 1/2009). Oleh karena pertanggung jawaban secara individu terhadap penggunaan senjata api oleh polisi, maka penggunaan senjata api yang telah merugikan pihak lain karena tidak mengikuti prosedur dapat dituntut
pertanggungjawabannnya secara perdata maupun secara pidana.
1. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian 2. Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
B. Faktor-Faktor yang Menjadi
Penghambat dalam Menanggulangi
Penyalahgunaan Senjata Api Masalah yang timbul di lingkungan Polda Sumbar dirasakan masih tersendat-sendat, hal ini disebabkan adanya dua (2) faktor :
a. Faktor Intern
1. Kurangnya partisipasi dari tenaga praktisi di lingkungan Polri terhadap penyalahgunaan senjata api 2. Kurangnya tenaga peneliti di bidang hukum Kepolisian, khususnya dalam penyalahgunaan senjata api
3. Biaya yang ditimbulkan dalam penyelidikan penyalahgunaan senjata api memerlukan biaya yang besar
Kesulitan-kesulitan tugas Kepolisian dalam menanggulangi
penyalahgunaan senjata api di pengaruhi beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor undang-Undang
2. Faktor penegak hukumnya
3. Faktor sarana / alat-alat
4. Faktor masyarakat b. Faktor Ekstern
Untuk memerangi kejahatan diperlukan juga bantuan informasi dan daya tangkal dari masyarakat. Karena pada hakekatnya penggunaan senjata api bercampur baur dengan masyarakat. Informasi-informasi
dengan cara melapor kepada Kepolisian merupakan salah satu bantuan yang sangat paling
berharga. Keengganan untuk melapor / menjadi saksi dalam peristiwa penyalahgunaan senjata api yang dilihatnya merupakan keuntungan bagi penyalahgunaan senjata api, dan disisi lain menghambat kinerja tugas pihak Kepolisian.
C. Upaya-upaya yang
Dilakukan Kepolisian dalam Menanggulangi
Penyalahgunaan Senjata Api Pihak Kepolisian juga
melakukan upaya penaggulangan
penyalahgunaan senjata api oleh warga sipil yaitu dengan cara: Memperketat prosedur didalam memperoleh izin kepemilikan senjata api, dengan cara menseleksi setiap rekomendasi yang diajukan oleh sipemohon, juga meningkatkan pengawasan terhadap pemegang izin senjata api.
Selain melakukan pengetaatan terhadap pemberian izin senjata api,
aparat keamanan harus tegas memberlakukan berbagai produk hukum untuk menjerat
pihak-pihak yang menyalahgunakan senjata api,
termasuk juga mencegah peredaran senjata api illegal sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi :
“barang siapa tanpa hak memasukkan ke Indonesia,
membuat menerima, memperoleh, menyerahkan, atau mencoba menyerahkan,
mencoba menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak mendapatkan hukuman penjara selama 20 tahun.”
Dan dari hasil penelitian dari penulis di tempat izin menembak di Sekolah Polisi Negara Polda Sumbar, Sekolah Kepolisian Negara (SPN) hanya menerima surat penunjukkan dari Polda Sumbar untuk pelaksanaan / melakukan tes atau uji praktek menembak kepada si pemohon senjata api. Dengan kriteria lulus sebagai berikut : Tes
merupakan bagian yang sangat penting oleh karena itu setelah usai tahap rekomendasi, tes psikologi dan fisik. Pada bagian tes ini agak fleksibel, tes keahlian dapat dilakukan di Polda setempat atau ditempat yang dipilih oleh pemohon. Untuk mendapatkan sertifikat lulus dengan score 85 sampai 120 hingga kualifikasi kelas I sampai kelas III, calon harus lulus tes keahlian. Kualifikasi kelas III harus bisa berhasil menggunakan sepuluh peluru dan membidik target dengan poin antara 121 sampai 130, untuk kualifikasi kelas II dengan poin 131 sampai 140, dan untuk kelas yang terbaik kelas I 141 sampai 150 dengan nilai terbaik. Setiap senjata api yang akan diterimakan kepada pemilik senjata api itu dapat ditembakkan dulu oleh pihak Kepolisian di labfor (Laboratorium Forensik).
Simpulan
1. Peran Kepolisian dalam menanggulangi penyalahgunaan senjata api oleh warga sipil seperti:
a. Melakukan pendataan kepemilikan senjata api,
b. Melakukan pengecekan secara periodik setiap setahun sekali kepada pemilik senjata api baik senjata api maupun surat dokumen kepemilikan / penggunaan senjata api,
c. Melakukan penarikan / penggudangan senjata api yang surat dokumennya sudah mati atau masa berlakunya sudah habis,
d. Penerbitan izin kepemilikan dan penggunaan senjata api maupun senapan angin dan senjata replika/mainan dalam rangka pengawasan dan pengendalian (Skep KapolriNo.Pol 82 tahun 2004),
e. Melakukan tindakan/upaya hokum sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang berlaku.
2. Faktor penghambat Kepolisian
dalam menanggulangi penyalahgunaan senjata api, pihak
Kepolisian juga sering mengalami kesulitan dalam menanggulangi penyalahgunaan senjata api yaitu masyarakat ini dikarenakan masyarakat sendiri tidak memberikan informasi bahwa
terjadi penyalahgunaan senjata api, pengetahuan masyarakat tentang hokum sendiri kurang, pelaku yang melarikan diri, banyaknya beredar senjata api rakitan sehingga pihak Kepolisian kesulitan untuk menyelidikinya karena sulit mana senjata illegal dan legal.
3. Upaya pihak Kepolisian dalam menanggulangi penyalahgunaan senjata api dapat dilakukan dengan kebijakan criminal dalam masyarakat baik penal yakni melalui jalur hokum pidana yang akhirnya akan dikenakan sanksi pidana berupa melalui pidana penjara, sedangkan non penal kebijakan yang diambil bukan melalui pidana akan tetapi melalui tindakan persuasive atau pendekatan secara sosiologis, selain itu melakukan razia terhadap masyarakat yang menggunakan senjata api, penyuluhan hukum kepada masyarakat, menghentikan izin kepemilikan senjata api bagi warga sipil dan senjata api yang dimiliki oleh warga sipil akan segera ditarik.
Saran
1. Sebaiknya Pihak Kepolisian mengevaluasi bagaimana member rekomendasi yang lebih
efektif, baik dalam tes, maupun penunjukkan orang oleh instansi tertentu dan pemegang senjata api mestinya adalah orang yang secara psikologi tepat.
2. Sebaiknya pemberian izin senjata api harus dihentikan sesuai dengan petunjuk Kapolri tentang penggunaan senjata api oleh warga sipil dengan alas an karena terjadi penyalahgunaan senjata api oleh warga sipil itu sendiri.
3. Pihak Kepolisian harus dapat bertindak tegas dan konsisten menindak penyalahgunaan senjata api.
4. Sebaiknya penyidikan penyalahgunaan senjata api
harus diselesaikan dengan jalur
pengadilan dengan menggunakan Undang-Undang
Darurat Nomor 12 tahun 1951 agar pelaku penyalahgunaan senjata api memiliki sifat jera.
Daftar Pustaka A. Buku-buku
AKP Dodi Pribadi Sik, Seminar
tentang Tugas dan wewenang Kepolisian di Fakultas Hukum
Unand Prog Ekstensi tanggal 11 Mei 2005.
Awaloedin Djamin. Masalah dan
Issue manajemen Polri dalam era reformasi, Yayasan Brata
Bhakti, Jakarta. 2005.
Barda Nawawi Arief. Beberapa
Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan hukum pidana, Bandung, 1998. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti,
Bandung. 1996.
DPM. Sitompul. Beberapa tugas dan
wewenang Polri, Perkembangan Hukum Kepolisian Divisi Pembinaan
Hukum Polri. Jakarta. 2005.
Momo Kelana. Memahami
Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 tahun 2002, Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta. 2002.
Suwardji dkk, Kamus Badan Intelijen Keamanan Kepolisian PT. Panca Darma Sejati, Jakarta. 2003.
H. Warsito Hadi Utomo, Hukum
Kepolisian di Indonesia,
Prestasi Pustaka, Jakarta. 2005.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang
Tugas dan wewenang Kepolisian Tahun 2009.
B. Peraturan Perundang-undangan
UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian RI.
UU Darurat nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api.
C. Sumber Lain
Alumni Akademi Kepolisian tahun 1996. www.Kepolisian.com
Kepemilikan senjata api di tangan sipil, Diakses tanggal
27 April 2013 pukul 20.00 WIB.
Harian Singgalang. Tentang Sumber
Target Perampokan. 08
Oktober 2012.
Ramli Lubis. Tentang Kepemilikan