• Tidak ada hasil yang ditemukan

Literasi Budaya dan Kewargaan Sebagai Enkulturasi Multikulturalisme. Kata kunci: Literasi Budaya dan Kewargaan, Enkulturasi, Multikulturalisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Literasi Budaya dan Kewargaan Sebagai Enkulturasi Multikulturalisme. Kata kunci: Literasi Budaya dan Kewargaan, Enkulturasi, Multikulturalisme"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

1 Literasi Budaya dan Kewargaan Sebagai Enkulturasi Multikulturalisme

Oleh: Agus Ramdani, S.Sos,M.M.Pd (PP PAUD dan Dikmas Jawa Barat)

Abstrak

Indonesia yang secara konsepsional memiliki motto “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai falsafah kehidupan bernegara, dapat dikategorikan ke yang realitas etnik dan budayanya heterogen serta menerima ide dan menerapkan kebijakan multikulturalisme, namun jika dilihat dalam implementasinya terutama zaman orde lama dan orde baru, cenderung pada uniformitas (keseragaman) budaya yang lebih menekankan pada aspek kesamaan yang mengakibatkan pengikisan secara kuantitas dan kualitas budaya lokal khususnya bahasa daerah yang makin mundur dan kehilangan daya gunanya secara pragmatik. Multikulturalisme sebetulnya sekarang ini sangat memungkinkan untuk berkembang terutama dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah. Sebab dalam multikulturalisme, menuntut pengembangan budaya lokal secara wajar serta tumbuhnya pemikiran yang sangat kaya dengan keunikan masing-masing budaya. Semua elemen itu tidak mungkin dapat diapresiasi dengan pendekatan terpusat (top down), melainkan hanya dengan mengembangkan pendekatan bottom up yang desentralistik. Melalui pengembangan literasi budaya dan kewargaan, diharapkan pemikiran pluralistik etnis, budaya, agama, seni, bahasa, dapat melakukan respons kreatif yang signifikan dengan tuntutan transformasi masyarakat yang terjadi.

Kata kunci: Literasi Budaya dan Kewargaan, Enkulturasi, Multikulturalisme

A. Pendahuluan

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya".

Sebagaimana kita ketahui, bahwa secara antropologis bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralis, bahkan mungkin yang paling pluralis dunia. Bangsa Indonesia terdiri ratusan etnis, agama, budaya, dan adat istiadat, yang tersebar di sekitar 13.000 pulau besar dan kecil, serta berbicara dalam ratusan bahasa daerah (Koentjaraningrat, 1970, 21-33; Thohari, 2000: 129).

(2)

2 Kemajemukan etnis dan budaya sebetulnya baik secara historis maupun antropologis yang ada di Indonesia itu sudah sangat kondusif bagi penerapan pendekatan multikultural. Indonesia yang memiliki motto kenegaraan Bhinneka Tunggal Ika, adalah hakiki dan mengungkapkan kebenaran historis yang tidak dapat disangkal lagi sejak zaman dahulu. Pujangga Empu Tantular pernah melukiskan kehidupan beragama dengan baik sekali dalam karangannya Sutasoma dengan kalimat “bhinneka tunggal ika tan hana darma mangrua” yang berarti walaupun berbeda, satu adanya, tidak ada agama yang tujuannya berbeda (Darmodihardjo,1985: 17).

Pertanyaan yang muncul berkaitan dengan penjelasan di atas; dapatkah kebudayaan yang heterogen (majemuk) dalam suatu bangsa menjadi suatu kekuatan positif. Karena ketidakmampuan mengelola pluralisme inilah bisa mendorong terjadinya gejolak sosial politik yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan), seperti yang sering kita dengar saat ini yaitu berkaitan dengan intoleransi bangsa.

Permasalahan intoleransi sewaktu-waktu siap membakar Indonesia. Sekalipun konflik intoleransi, saat ini terlihat hanya terpusat di kawasan perkotaan yang padat penduduk, tetapi secara sporadis tetap khawatir mencuat ke daerah lainnya. Abdullah (2001: 93-94) berpendapat bahwa huru-hara sosial ataupun anarki sosial, merupakan pantulan yang keras dari masyarakat majemuk yang berada dalam “kesunyian” tanpa perlindungan sistem kepemimpinan lokal dan masyarakat madani yang sehat dan fungsional.

Karena itulah, kemampuan literasi budaya dan kewargaan sangat penting untuk dipahami dan diterapkan oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Literasi budaya dan kewargaan dapat menjadi toleransi juga pemahaman akan perbedaan-perbedaan yang menjadi ciri tak terhindarkan dari bangsa Indonesia. Dengan kata lain, literasi budaya dan kewargaan akan mendorong terciptanya masyarakat Indonesia yang menganut paham multikulturalisme seutuhnya, yaitu masyarakat yang berlandaskan pada kesadaran untuk menghargai dan menghormati perbedaan.

Multikulturalisme sebetulnya sekarang ini sangat memungkinkan untuk berkembang terutama dengan berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah.

(3)

3 Sebab dalam multikulturalisme, menuntut pengembangan budaya lokal secara wajar serta tumbuhnya pemikiran yang sangat kaya dengan keunikan masing-masing budaya. Melalui pengembangan potensi daerah yang desentralistik tersebut, diharapkan pemikiran pluralistik etnis, budaya, agama, seni, bahasa, dapat melakukan respons kreatif yang signifikan dengan tuntutan transformasi masyarakat yang terjadi (Asy’ari, 2003: 234-235)

Proses enkulturasi menjadi penting dalam penumbuhan literasi budaya dan kewargaan untuk mendorong terciptanya masyarakat yang multikulturalisme, karena melalui enkulturasi masyarakat dapat mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.

Seseorang yang mengalami hambatan dalam proses enkulturasi, akan berakibat kurang baik. Setiap individu yang mengalami hambatan tersebut apabila dihadapkan pada situasi yang berbeda, kelihatan akan canggung dan kaku dalam pergaulan hidupnya. Akibatnya, individu tersebut cenderung untuk menghindari norma-norma dan aturan-aturan dalam masyarakat, hidupnya cenderung penuh konflik dengan orang lain, cenderung etnosentris dan menyimpang, serta tidak menghargai perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam aktivitas kehidupannya sehari-hari.

B. Kajian Teori 1. Enkulturasi

Enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk yang bernalar, punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain (Peter-Poole, 2002). Sementara itu, menurut M.J.Herskovits, enkulturasi adalah suatu proses bagi seorang baik secara sadar maupun tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan masyarakat.

Dengan kata lain, enkulturasi atau pembudayaan merupakan proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.

(4)

4 2. Multikulturalisme

Istilah “multikulturalisme” sering bersinonim dengan keanekaragaman, sedangkan kata “keanekaragaman” menunjuk pada perbedaan. Di dalam buku, Shadows of Forgotten Ancestors, karya Carl Sagan dan Ann Druyan, kita diingatkan bahwa perbedaan manusia yang kita lihat sering hanya atas outside-size saja, seperti; warna kulit, bentuk ketajaman mata, tekstur rambut dan sebagainya, yang tidak tertandingkan oleh perbedaan yang ada di dalamnya.

Kymlicka (2002: 8, 24), profesor filsafat pada Queen University Canada dalam bukunya Multicultural Citizenship, bahwa multikulturalisme merupakan suatu pengakuan, penghargaan, dan keadilan terhadap etnik minoritas baik yang menyangkut hak-hak universal yang melekat pada hak-hak individu maupun komunitasnya yang bersifat kolektif dalam mengekspresikan kebudayaannya.

Elemen-elemen multikulturalisme, menurut Blum (2001:19) mencakup tiga sub-nilai sebagai berikut;

a. menegaskan identitas kultural seseorang, mempelajari dan menilai warisan budaya seseorang;

b. menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar tentang etnik/kebudayaan-kebudayaan selain kebudayaannya; dan

c. menilai dan merasa senang dengan perbedaan kebudayaan itu sendiri; yaitu memandang keberadaan dari kelompok-kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat seseorang sebagai kebaikan yang positif untuk dihargai dan dipelihara.

Dengan demikian, kata kunci dalam multikulturalisme tersebut adalah pengakuan adanya perbedaan dan penghargaan. Karena itu dalam pendekatan multikulturalisme tidak sesungguhnya berlandaskan pada pemilikan yang mengisaratkan pada memiliki atau dimiliki budaya tertentu, tetapi berlandaskan pada kesadaran untuk menghargai dan menghormati yang mampu bernegosiasi tentang rumusan-rumusan realitas yang ada.

(5)

5 3. Literasi budaya dan kewargaan

Secara etimologis, literasi diambil dari bahasa latin “literatus” yang berarti orang yang belajar. Jika menggali dari sisi istilah, maka akan ditemukan kata yang berdekatan yaitu literacy (literasi) dan literary (literatur). Benang merah dari kedua kata tersebut menukik pada aktivitas membaca dan menulis. Dengan kata lain, apapun pengembangan definisi literasi, maka tidak bisa dilepaskan dari aktivitas membaca dan menulis.

Satu dari enam literasi dasar yang dicetuskan dari perhelatan World Economic Forum tahun 2015 adalah literasi budaya dan kewargaan yaitu kemampuan untuk memahami, mengapresiasi, menganalisa, dan mengaplikasikan pengetahuan mengenai kemanusiaan.

Selanjutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017 mendefinisikan bahwa literasi budaya dan kewargaan sebagai kemampuan anggota masyarakat dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa, serta memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga dapat memanfaatkan kemampaunnya itu untuk kehidupan yang lebih baik.

Tumbuhnya kemampuan literasi budaya dan kewargaan dalam diri masyarakat akan mendorong terciptanya pemahaman terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Hak merupakan kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan melulu oleh pihak tertentu dan tidak dapat dilakukan oleh pihak lain, yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Sementara kewajiban adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan melulu oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain, yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan (Notonegoro, 2010).

Tumbuhnya kemampuan literasi budaya dan kewargaan akan mendorong tercapainya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dengan kata lain, tumbuhnya kemampuan literasi budaya dan kewargaan akan mendorong masyarakat untuk mengetahui posisi dirinya, sehingga meraka

(6)

6 dapat memperoleh hak-hak dan tak lupa melaksanakan kewajibannya rakyat Indonesia sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD 1945.

C. Metode

Karya tulis ini disusun dengan mempergunakan metode studi literatur dengan mencari referensi teori relevan dengan kasus atau permasalahan tentang literasi budaya dan kewargaan, serta multikulturalisme. Referensi teori yang diperoleh tersebut kemudian dijadikan sebagai fondasi dasar dan alat utama penyusunan karya tulis ini.

Jenis data yang digunakan penulis dalam karya tulis ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari jurnal, buku, dan internet. Adapun teknik pengambilan data mempergunakan dokumentasi untuk mencari data-data yang dianggap penting melalui artikel, jurnal, pustaka, brosur, buku serta melalui media elektronik yang ada kaitannya dengan tema penulisan.

Data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya.

D. Hasil dan Pembahasan 1. Hasil

Penelitian tentang peranan multikultural terhadap integrasi bangsa, menurut Educational Resources Information Center (ERIC), setidaknya multikultural berperan dalam; (1) mempromosikan kehidupan masyarakat yang selaras/harmonis, (2) mewujudkan model hubungan budaya yang sesuai, (3) menghargai perbedaan-perbedaan, (4) memperbaiki munculnya prasangka-prasangka sosial, (5) menghargai keanekaragaman dan menumbuhkan demokrasi (http://eric-web.tc.Columbia.edu/alerts/ia 35.html).

Matile (1996) dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang harmoni pada suatu kehidupan bermasyarakat, berdasarkan hasil

(7)

7 penelitiannya menyatakan, bahwa upaya dalam mengenali, menghargai, dan menanamkan kepekaan keanekaragaman sosio-budaya ini dapat dikemukakan alasan-alasannya, sebagai berikut. Pertama, prinsip dalam enkulturasi multikulturalisme, sangat diupayakan pemahaman budaya yang berbeda-beda. Oleh karenanya timbul hasrat untuk mempelajari budaya etnis lain yang berbeda. Kedua, prinsip dalam multikulturalisme mengajak hidup penuh menghargai terhadap keragaman etnik dan budaya yang berbeda-beda.

Jika konsep tersebut diimplementasikan secara konsekuen, hampir dapat dipastikan mampu mereduksi konflik-konflik horizontal antar etnik yang mungkin terjadi. Artinya dengan memperlakukan semua budaya lokal/etnik yang ada secara adil dan setara, maka jauh kemungkinan adanya dominasi budaya tertentu yang dapat menghambat pengembangan budaya minoritas sekalipun (Blum, 2001: 15-16).

Pengembangan aspek kemampuan “menganalisis” berhubungan dengan aspek “kelancaran” (fluency) dalam pencarian sebab dan implikasinya. Dengan demikian aspek fluency merupakan bagian penting dalam kreativitas pemeranan kebudayaan dalam menggali kekayaan-kekayaan potensi yang dimilikinya. Sedangkan aspek “transformasi diri” ini berhubungan dengan orisinalitas (originality). Dalam arti kemampuan memberi makna berdasarkan bakat dan naluri yang dimilikinya.

Multikultural juga berperan untuk mempersatukan budaya bangsa. Penelitian ini dilakukan oleh Ravitch (1996) yang meneliti perspektif multikultural dalam hubungannya dengan persatuan budaya Amerika. Ia menjelaskan bahwa melalui pendekatan perbandingan komunitas New York dan California yang pluralistik, mereka menganggap bahwa pentingnya multikultural untuk pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan dukungan tanggung jawab untuk suatu persatuan budaya Amerika. Multikultural yang berperan dalam upaya mempersatukan budaya bangsa tersebut, sesuai dengan motto kenegaraan mereka Unity in Diversity yang serupa dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya

(8)

8 di Indonesia (Marger, 1985: 258; McLemore: 1980: 35; Supardan 2002: 34).

Multikultural pada bagian lain dapat berperan untuk menghargai perbedaan budaya. Padersen (1995), seorang konselor telah melakukan penelitian ini. Hasil temuan penelitiannya bahwa enkulturasi multikultural tersebut sangat berguna dalam memahami berbagai bias budaya yang ada di masyarakat. Sebab, tidak menutup kemungkinan apa yang peserta didik dengar dari masyarakat tentang budaya suatu etnis tertentu, ternyata berbeda sekali setelah ia pelajari dari budaya etnis tersebut yang secara langsung ia pelajari sesungguhnya. Melalui enkulturasi multikultural, bias budaya dapat dihindari jika secara dini dipelajari.

Enkulturasi multikultural juga dapat berpengaruh terhadap upaya untuk menghargai perbedaan budaya serta dapat berpengaruh sebagai wahana pemicu dalam meningkatkan prestasi belajar. Ploumis-Devick (1996) seorang peneliti yang mengadakan penelitiannya di Sekolah Dasar Amerika, kesimpulan temuan penelitiannya menunjukkan bahwa dengan memperkenalkan dan membelajarkan peserta didik melalui berbagai ragam budaya yang ada di sekitar komunitasnya, meraka akan mengenal dan mempelajari budaya tersebut yang pada gilirannya akan menghargai keragaman budaya yang ada.

Enkulturasi multikultural dapat memperlihatkan eksistensi budayanya yang memerlukan pengakuan dalam lingkungan pergaulannya. Jika pernyataan tersebut dikaitkan dengan pendapat Maslow (1954: 72) yang dikenal dengan teori “Hirarki Kebutuhan” (Hierarchy of Needs) dapat dikategorikan sebagai kebutuhan “penghargaan” sosial.

Enkulturasi multikultural juga di sisi lain dapat mengurangi sifat prasangka dan apriori terhadap budaya etnis lain. Ponterotto (1995), mengadakan penelitiannya yang menghasilkan kesimpulan bahwa enkulturasi multikultural dapat berperan sebagai pencegahan meningkatnya prasangka dan konflik antar kelompok, karena peserta didik belajar menghargai setiap budaya etnis yang berbeda, menilai setiap keunggulan dan kelemahannya yang pada akhirnya mereka akan

(9)

9 menerima bahwa sesungguhnya tidak ada budaya yang sempurna, maupun sama sekali tidak memiliki kebaikan atau manfaatnya.

2. Pembahasan

Budaya merupakan pengetahuan yang dapat dikomunikasikan dan dapat dipelajari dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, manusia menciptakan budaya tidak sebatas untuk beradaptasi dengan lingkungannya, tetapi juga sebagai alat untuk memberi andil terhadap terciptanya suatu evolusi manusia.

Seorang individu akan mempelajari dan menyesuaikan alam pemikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, enkultarasi multikulturalisme dalam konteks literasi budaya dan kewargaan memiliki fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan individu tentang nilai-nilai kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakatnya.

Karena itulah, literasi budaya dan kewargaan dapat membantu kita memahami dan memudahkan kehidupan dengan memberikan solusi untuk memecahkan suatu permasalahan yang dapat dipelajari dan dipahami melalui proses enkulturasi di keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan.

Karena itulah, sebagai sistem pengetahuan dan nilai yang diharapkan terinternalisasi dalam diri seluruh warga negara Indonesia, literasi budaya dan kewargaan sebaiknya dibingkai dalam seperangkat kompetesi yang bersifat generik untuk dikembangkan kembali berdasarkan budaya masyarakat Indonesia. Adapun lingkup dan arah pengembangannya antara lain:

a. literasi budaya dan kewargaan di keluarga:

1) mengetahui identitas diri sebagai bagian dari etnik/suku bangsa. 2) memahami dan menaati nilai-nilai dan norma-norma yang

berlaku dalam etnik/suku bangsanya.

3) memahami dan menaati ajaran agama yang dianutnya.

(10)

10 b. literasi budaya dan kewargaan di masyarakat:

1) menghargai keragaman etnik, agama, dan budaya yang berbeda-beda.

2) memperlakukan semua budaya, agama, dan etnik secara adil. 3) mempelajari dan menaati norma dan hukum yang berlaku di

masyarakat.

4) mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat dan bagian dari bangsa Indonesia.

c. literasi budaya dan kewargaan di satuan pendidikan:

1) memahami dan menghargai budaya etnik/suku bangsa lain yang berbeda.

2) memahami berbagai bias budaya yang ada di masyarakat. 3) mengenal dan mempelajari berbagai ragam budaya.

4) mengetahui hak dan kewajiban sebagai peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan.

5) mengetahui hak dan kewajiban sebagai warga negara.

Enkultrasi literasi budaya dan kewargaan dalam konteks pemahaman multikulturalisme dapat dimulai di keluarga, karena anak-anak menghabiskan masa-masa awal kehidupan bersama keluarga dan memperoleh refleksi nilai dan pola perilaku keluarganya. Kemudian mereka akan mempelajari budaya dan norma-norma masyarakat melalui teman-teman bermain dan masyarakat sekitarnya dengan cara meniru berbagai macam tindakan yang ditemuinya.

Namun budaya dan norma bukan saja diajarkan di lingkungan keluarga atau dalam pergaulan di masyarakat saja, tetapi diajarkan di lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal. Dapat dikatakan, lembaga pendidikan adalah salah satu pilar penting yang menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan masyarakat melalui strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya dan penguatan ikatan-ikatan sosial, karena lembaga pendidikan adalah miniatur masyarakat yang di dalamnya ada struktur, status, fungsi, peran, norma dan nilai.

(11)

11 Karena itulah literasi budaya dan kewargaan dalam konteks penguatan multikulturalisme sangat berguna untuk mempromosikan kehidupan masyarakat yang selaras/harmonis, mewujudkan model hubungan budaya yang sesuai, menghargai perbedaan-perbedaan, memperbaiki munculnya prasangka-prasangka sosial, dan menghargai keanekaragaman

E. Simpulan

Pemberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah, menuntut pengembangan budaya lokal secara wajar serta tumbuhnya pemikiran yang sangat kaya dengan keunikan masing-masing budaya. Semua itu tidak mungkin dapat diapresiasi dengan pendekatan top down, melainkan dengan mengembangkan pendekatan bottom up yang desentralistik. Melalui pengembangan literasi budaya dan kewargaan, diharapkan pemikiran pluralistik etnis, budaya, agama, seni, bahasa, dapat melakukan respons kreatif yang signifikan dengan tuntutan transformasi masyarakat yang terjadi.

Enkulturtasi literasi budaya dan kewargaan dalam konteks multikulturalisme di keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan sangat berperan sebagai pencegahan meningkatnya prasangka dan konflik antar kelompok, karena masyarakat dituntut untuk belajar menghargai setiap budaya etnis yang berbeda, menilai setiap keunggulan dan kelemahan yang pada akhirnya mereka akan menerima bahwa sesungguhnya tidak ada budaya yang sempurna, maupun sama sekali tidak memiliki kebaikan atau manfaatnya. Dengan kata lain, tumbuhnya kemampuan literasi budaya dan kewargaan dalam diri masyarakat akan mendorong terciptanya pemahaman terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara, sehingga dapat menumbuhkan jati diri, demokrasi, dan nasionalisme sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

(12)

12 Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik (2001) Nasionalisme & Sejarah, Bandung: Satya Historika. Asy’ari, Musa (2003) “Desentralisasi Pemikiran Keagamaan Muhammadyah dalam

onteks Budaya Lokal” dalam Zakiyuddin Baidhaway dan Muthoharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: Muhammadyah University Press.

Blum, A. Lawrence, (2001) Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar Ras, Tiga Nilai yang Bersifat Mendidk Bagi Sebuah Masyarakat Multikultural, dalam Larry May, dan Shari Colins-Chobanian, Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultura, Terjemahan: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Darmodiharjo, D. (1985) Pancasila dalam Beberapa Perspektif, Jakarta: Aries Lima.

Eliade, Mircea (2002) Sakral dan Profan, Penterjemah Nuwanto, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Kymlicka, Will (2002) Kewargaan Multikultural, Terjemahan Edlina Hafmini Eddin, Jakarta: LP3ES.

Koentjaraningrat, (1970) Manusia dan Kebudayaannya di Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Marger, Martin N. (1985) Race Ethnic Relations: American and Global Perspektive, Belmomont California: Wadworth, Inc.

Maslow, A.H. (1954) Motivation and Personality, New York: Harper & Row Publisher.

Supardan, Dadang (2003) “Turbulensi dan Bahaya Kekerasan dalam Pendidikan”, Dalam Helius Sjamsuddin & Andi Suwirta, Historia Magistra Vitae: Menyambut 70 Tahun Prof.Dr.Hj. Rochiati Wriaatmadja, M.A, Bandung: Historia Utama Press.

Thohari, Harijanto Y. () “Pluralisme Etnik Sebuah Potensi Konflik” dalam Yayah Kisbiyah Ed. Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

yang bergerak dalam jasa layanan operator terminal pelabuhan.. Dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik

Robot pengikut garis yang dirancang ini bekerja pada saat sensor membaca garis dan mengirim signal ke komparator sebagai pembanding dan diterima oleh

Berdasarkan hasil penelitian, pengolahan data, analisis data dan pengujian hipotesis diperoleh kesimpulan bahwa Peningkatan adaptive reasoning siswa kategori PS

Ada sepuluh indikator dari kompetensi pedagogik, yaitu (1) menguasai karakteristik peserta didik; (2) menguasai teori dan prinsip-prinsip pembelajaran; (3)

penelitiannya, menggunakan aerated filter dengan media zeolit berhasil mereduksi Besi sebesar 62%, sedangkan dalam penelitian ini penurunan konsentrasi Fe

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari instansi pemerintah sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan diperoleh langsung dari

Potensi hasil tangkapan ikan laut nelayan Kabupaten Demak dapat ditunjukkan dengan panjang pantai 34,1 Km yang membujur dari Kecamatan Sayung sampai Kecamatan

[r]