SATUAN ACARA PENYULUHAN
Topik : Perawatan Pada Pasien Dengan Fraktur
Sasaran : Keluarga dan penunggu pasien Ruang Flamboyan RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Tempat : Ruang Pertemuan Bedah Flamboyan RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Hari/tanggal : Kamis, 17 Maret 2011 Jam : 11.00-11.30 WIB
A. TUJUAN 1. Tujuan Umum
Setelah diberikan penyuluhan, diharapkan keluarga dan penunggu pasien mengetahui tentang perawatan pasien yang mengalami fraktur.
2. Tujuan Khusus
Diharapkan keluarga pasien dan pengunjung dapat : 1) Menjelaskan pengertian fraktur
2) Menjelaskan penyebab fraktur 3) Menjelaskan tanda dan gejala fraktur
4) Menjelaskan penanganan fraktur di rumah sakit 5) Menjelaskan perawatan fraktur di rumah
B. SASARAN
Keluarga dan penunggu pasien Ruang Bedah Flamboyan RSUD Dr. Soetomo Surabaya
D. KOMUNIKATOR
Mahasiswa PSIK Fakultas Keperawatan UNAIR Surabaya angkatan B12
A. PENGORGANISASIAN
1) Pembicara : Prima Sulthonul Hakim Moderator : Nour Viana Aprilia
Observer : Paulina Marta Palla Fasilitator : Naya Erawati
Suprapti
M. Nurdiansyah Sukma Aulia
Zusanti Widya Ningrum Anindya Arum Cempaka 2) Pembimbing Akademik : Ira Suarilah, S.Kp
Pembimbing Klinik : 1. Bambang S, S. Kep, Ns 2. Ninik Mukantini, Amd, Kep 3) Peserta : Keluarga dan penunggu pasien
Ruang Bedah F RSUD Dr. Soetomo Surabaya
B. METODE 1. Ceramah 2. Diskusi C. MEDIA - Laptop - LCD - Leaflet D. MATERI
1. Menjelaskan pengertian fraktur 2. Menjelaskan penyebab fraktur 3. Menjelaskan tanda dan gejala fraktur
4. Menjelaskan penanganan fraktur di rumah sakit 5. Menjelaskan perawatan fraktur di rumah
F. SETTING TEMPAT
Keterangan
Kegiatan Waktu Uraian Kegiatan Kegiatan Peserta Pelaksana Pembukaan 5 menit 1. Mengucapkan salam 2. Memperkenalkan fasilitator 3.Menjelaskan tujuan penyuluhan 4. Menjelaskan mekanisme kegiatan yang akan dilaksanakan 1.Menjawab salam 2.Mendengarkan 3.Memperhatikan Moderator dan fasilitator Pelaksanaan 20 menit 1. Menjelaskan Pengertian fraktur, tanda dan gejala fraktur, peyebab fraktur, penanganan fraktur di RS, perawatan fraktur di rumah
2. Tanya jawab tentang perawatan pasien dengan fraktur 1. Memperhatikan penjelasan tentang perawatan pasien fraktur
2. peserta menyimak dan memperhatikan tentang perawatan kateter yang benar
3. Memberikan umpan balik terkait demontrasi perawatan kateter Pembicara dan fasilitator Evaluasi 5 menit 1. Mengucapkan terima kasih atas partisipasi peserta 2. Mengucapkan salam 3. Membagikan leaflet 1. Memperhatikan 2. Menjawab salam 3. Peserta menerima leaflet Moderator dan fasilitator
: Fasilitator : Pembicara : Keluarga dan penunggu pasien : LCD monitor
: Observer : Moderator
G. KRITERIA EVALUASI 1. Evaluasi Struktur
a. Pengorganisasian dilaksanakan sebelum pelaksanaan kegiatan. b. Kontrak dengan peserta H-1, diulangi kontrak pada hari H.
c. Pelaksanaan kegiatan dilaksanakan sesuai satuan acara penyuluhan d. Peserta hadir ditempat penyuluhan sesuai kontrak yang disepakati 2. Evaluasi Proses
Peserta antusias dalam menyimak uraian materi penyuluhan dan demontrasi tentang perawatan pasien dengan fraktur dan bertanya apabila ada yang dianggap kurang dimengerti dan mengisi kuesioner awal dan akhir yang diberikan.
3. Evaluasi Hasil
a. Seluruh peserta kooperatif selama proses diskusi ditunjukkan dengan 30 % bertanya atau mengklarifikasi.
a.60-70% peserta mampu menjawab pertanyaan dan memahami pengertian sampai dengan hal-hal yang harus diperhatikan terkait perawatan pasien dengan fraktur dengan mampu menjawab kuesioner yang telah diberikan minimal 7 dari 10 pertanyaan yang diberikan dengan jawaban benar
b. Peserta sebanyak 80% mengikuti kegiatan penyuluhan dari awal hingga akhir penyuluhan dan tidak ada yang meninggalkan tempat penyuluhan sebelum acara penyuluhan berakhir kecuali ada kepentingan yang tidak bisa diwakilkan
MATERI FRAKTUR
A. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Menurut Linda Juall (2001) fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.
B. Etiologi
Berdasarkan penyebab/etiologinya striktur dibagi menjadi 3 jenis : a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekeuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan (Oswari, 1993).
C. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan (Apley, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontunuitas tulang (Carpenito, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam kotteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar sari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, dkk, 1993).
D.Klasifikasi
1. Complete fraktur, patah tulang pada seluruh garis tengah tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
2. Closed fraktur, tidak menyebabkan robeknya kulit, imtegritas kulit masih utuh.
3. Open fraktur, merupakan fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol samapai menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
4. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok.
5. Tranversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang 6. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
7. Komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen. 8. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tulang tengah.
9. Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah).
10. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi.
11. Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang berpenyakit (kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor, dsb).
12. Avulsi, teretariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.
13. Epifisial, fraktur melalui epifisis.
14. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.
E.Tanda dan gejala
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Perubahan bentuk (deformitas) karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
4. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
5. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. 6. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit.
F. Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan foto radiology dari fraktur : menentukan lokasi dan luasnya
• X-ray • CT scan • Bone scanning
• MRI (magnetic Resonance Imaging) • EMG (Elektromyogarfi).
• Pemeriksaan darah lengkap
• Arteriografi, dilakukan bila kerusakan dicurigai.
• Kreatinin, trauma otot meningkatkan bebean kreatinin untuk klirens ginjal.
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan segera setelah cidera adalah imobilisasi bagian yang cidera apabila klien akan dipindahkan perlu disangga bagian bawah dan atas tubuh yang mengalami cidera tersebut untuk mencegah terjadinya rotasi atau angulasi.
2. Selanjutnya prinsip penanganan fraktur adalah reduksi. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang ke posisinya ( ujung ujungnya saling berhubungan ) dengan manipulasi dan traksi manual. Alat yang digunakan biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya. Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku. Imobilisasi dapat dilakukan dengan metode eksterna dan interna.
Ilizarov adalah suatu alat eksternal fiksasi yang berfungsi untuk menjaga agar tidak terjadi pergeseran tulang dan untuk membantu dalam proses pemanjangan tulang (Maryanto, 2003).
Indikasi pemasangan Ilizarov: (1) Menyamakan panjang lengan atau tungkai yang tidak sama, (2) Menyamakan dan menumbuhkan daerah
tulang yang hilang akibat patah tulang terbuka yang hilang, (3) Membuang tulang yang infeksi dan diisi dengan cara menumbuhkan tulang yang sehat, (4) Menambah tinggi badan. Kontra indikasi pemasangan Ilizarov : (1) Open fraktur dengan soft tissue yang perlu penanganan lanjut yang lebih baik bila dipasang single planar fiksator, (2) Fraktur intra artikuler yang perlu ORIF, (3) Simple fraktur (bisa dengan pemasangan plate and screw nail wire), (3) Fraktur pada anak (fresh).
3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi 4. Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
5. Status neurovaskuler selalu dipantau meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan.
6. Fisioterapi
Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi dengan menggunakan gerak tubuh baik secara active maupun passive untuk pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi, koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional (Kisner, 1996). Teknologi intervensi Fisioterapi yang dapat digunakan antara lain:
Positioning
Dengan mengelevasikan tungkai yang sakit maka dengan posisi ini bermanfaat untuk mengurangi oedem.
Rileks passive movement
Merupakan gerakan yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien. Gerakan ini bertujuan untuk melatih otot secara pasif, oleh karena gerakan berasal dari luar atau terapis sehingga dengan gerak rileks passive movement ini diharapkan otot yang dilatih menjadi rilek maka menyebabkan efek pengurangan atau penurunan nyeri akibat incisi serta mencegah terjadinya keterbatasan gerak serta menjaga elastisitas otot (Kisner, 1996). Mekanisme penurunan nyeri oleh gerakan rileks passive movement sebagai berikut : adanya stimulasi kinestetik berupa gerakan rileks pasif movement yang murni berasal dari luar atau terapis tanpa disertai gerakan dari anggota tubuh pasien akan merangsang muscle spindle dan organ tendo golgi dalam pengaturan motorik, fungsi dari muscle spindle adalah (1) mendeteksi perubahan panjang serabut otot, (2) mendeteksi kecepatan perubahan panjang otot, sedangkan fungsi dari organ tedo golgi adalah mendeteksi ketegangan yang bekerja pada tendo golgi saat otot
berkontraksi (Guyton, 1991). Dengan terstimulasinya muscle spindle dan organ tendo golgi lewat gerakan rileks passive movement akan mempengaruhi mekanisme kontraksi dan rileksasi otot, yaitu bahwa ion-ion calsium secara normal berada dalam ruang reticulum sarcoplasma. Potensial aksi menyebar lewat tubulus transversum dan melepaskan Ca 2+. Filamen-filamen actin (garis tipis) menyelip diantara Filamen-filamen-Filamen-filamen myosin, dan garis-garis bergerak saling mendekati. Ca 2+ kemudian dipompakan kedalam reticulum sarcoplasma dan otot kemudian mengendor (Chusid, 1993). Dengan kedaaan otot yang sudah mengendor maka penurunan nyeri dapat terjadi melalui mekanisme-mekanisme sebagai berikut: (1) Tidak ada lagi perbedaan tekanan intramuscular yang menekan nociceptor sehingga nociceptor tidak terangsang untuk menimbulkan nyeri, (2) Dengan gerakan rileks passive movement yang berulang-ulang maka nociceptor akan beradaptasi terhadap nyeri. Suatu sifat khusus dari semua reseptor sensoris adalah bahwa mereka beradaptasi sebagian atau sama sekali terhadap rangsang mereka setelah suatu periode waktu. Yaitu, bila suatu rangsang sensoris kontinu bekerja untuk pertama kali, mula-mula reseptor tersebut bereaksi dengan kecepatan impuls yang sangat tinggi, kemudian secara progresif makin berkurang sampai akhirnya banyak diantaranya sama sekali tidak bereaksi lagi . Hal ini dapat pula untuk menentukan dosis gerakan rileks passive movement agar dapat menstimulasi muscle spindle.
Mekanisme umum dari adaptasi dibagi dua yaitu : (1) Sebagian adaptasi disebabkan oleh penyesuaian didalam struktur reseptor itu sendiri, (2) Sebagian disebabkan oleh penyesuaian didalam fibril saraf terminal. (Guyton, 1991). Dengan mengendornya otot melalui gerakan rileks passive movement akan mempengaruhi spasme otot dan iskemi jaringan sebagai penyebab nyeri. Spasme otot sering menimbulkan nyeri alasanya mungkin dua macam, yaitu: (1) Otot yang sedang berkontraksi menekan pembuluh darah intramuscular dan mengurangi atau menghentikan sama sekali aliran darah, (2) Kontraksi otot meningkatkan kecepatan metabolisme otot tersebut. Oleh karena itu, spasme otot mungkin menyebabkan iskemi otot relatif sehingga timbul nyeri iskemik yang khas. Penyebab nyeri pada iskemik belum diketahui, salah satu penyebab nyeri pada iskemik yang diasumsikan adalah pengumpulan sejumlah besar asam laktat didalam jaringan, yang terbentuk sebagai akibat metabolisme anaerobic yang terjadi selama iskemik, tetapi, mungkin pila zat kimia lain, seperti bradikinin dan poliopeptida, terbentuk didalam jaringan karena kerusakan sel otot dan bahwa inilah, bukannya asam laktat yang
merangsang ujung saraf nyeri. (Guyton, 1991).
Passive joint mobility Gerakan tubuh manusia terjadi pada persendian. Macam gerakan dan ROM tergantung dari struktur anatomi sendi, juga posisi otot yang mengontrol gerakan tadi.
Kapsular ligament yang seluruhnya terdapat didalam kapsul sendi akan memberikan penguat terhadap synovial membrane, dimana synovial membrane tadi akan mengeluarkan cairan kedalam rongga sendi yang menjamin gerakan sendi tetap licin, juga memberikan makan terhadap cartilago.
Pada kaki banyak terdapat persendian, sehingga memungkinkan kaki dapat berjalan, menyesuaikan bermacam-macam permukaan dan tampak lentur atau mengeper.
Active exercise
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot-otot anggota tubuh itu sendiri. Gerak dalam mekanisme pengurangan nyeri dapat terjadi secara reflek dan disadari. Gerak yang dilakukan secara sadar dengan perlahan dan berusaha hingga mencapai lingkup gerak penuh dan diikuti rileksasi otot akan menghasilkan penurunan nyeri (Kisner,1996). Mekanisme gerak yang disadari dalam penurunan nyeri adalah bahwa perananan muscle spindle sangat penting dalam mekanisme ini, sama pentingnya dalam penurunan nyeri dengan menggunakan gerakan pasif. Untuk menekankan pentingnya system eferen gamma, eferen gamma adalah suatu serabut saraf kecil yang bertugas merangsang ujung-ujung serabut intrafusal agar daerah sentral berkontraksi. Orang perlu menyadari bahwa 31 persen dari semua serabut saraf motorik ke otot merupakan serabut eferen gamma, bukannya serabut motorik besar jenis A alfa. Bila sinyal dikirimkan dari korteks motorik atau dari daerah otak lain apapun ke motoneuron gamma hampir selalu terangsang pada saat bersamaan. Ini menyebabkan serabut otot ekstrafusal dan intrafusal berkontraksi pada saat yang sama.
Tujuan mengkontraksikan serabut muscle spindle pada saat bersamaan dengan kontraksi serabut otot rangka besar mungkin ada dua macam : (1) mencegah muscle spindle menentang kontraksi otot, (2) mempertahankan sifat responsif muscle spindle terhadap peredaman dan beban yang tepat dengan tidak menghiraukan perubahan panjang otot. Dengan bekerjanya muscle spindle secara sadar dan optimal maka dengan mekanisme adaptasi dan
rileksasi akan menimbulkan penurunan nyeri (Guyton, 1991).
Active exercise terdiri dari assisted exercise, free active exercise dan resited active exercise. Assisted exercise dapat mengurangi nyeri karena merangsang rileksasi propioseptif. Resisted active exercise dapat meningkatkan tekanan otot, dimana latihan ini akan meningkatkan rekruitment motor unit-motor unit sehingga akan semakin banyak melibatkan komponen otot yang bekerja, dapat dilakukan dengan peningkatan secara bertahap beban atau tahanan yang diberikan dengan penurunan frekuensi pengulangan (Kisner, 1996). Mekanime peningkatan kekuatan otot melalui gerakan resisted active execise adalah dengan adanya irradiasi atau over flow reaction akan mempengaruhi rangsangan terhadap motor unit, motor unit merupakan suatu neuron dan group otot yang disarafinya. Komponen-komponen serabut otot akan berkontraksi bila motor unit tersebut diaktifir dengan memberikan rangsangan pada cell (AHC) nya. Jadi kekuatan kontraksi otot ditentukan motor unitnya, otot akan berkontraksi secara kuat bila otot tersebut semakin banyak menerima rangsangan motor unitnya. Karena otot terdiri dari serabut-serabut dengan motor unit yang mensyarafinya, maka kontraksi otot secara keseluruhan tergantung dari jumlah motor unit yang mengaktifir otot tersebut pada saat itu. Jumlah motor unit yang besar akan menimbulkan kontraksi otot yang kuat, sedangkan kontraksi otot yang lemah hanya membutuhkan keaktifan motor unit relatif lebih sedikit.(Heri Priatna, 1983).
Latihan jalan
Aspek terpenting pada penderita fraktur tungkai bawah adalah kemampuan berjalan ,latihan yang yang dilaksanakan adalah ambulasi non weight bearing, dengan menggunakan alat bantu berupa 2 buah kruk, caranya kedua kruk dilangkahkan kemudian diikuti kaki yang sehat sementara kaki yang sakit menggantung (Cash, 1966). Syarat berjalan dengan alat Bantu (1) Otot-otot lengan harus kuat, (2) Harus mempertahankan keseimbangan dalam posisi berdiri dengan alat bantu, (3) Bisa berdiri lama minimal 15 menit.(Tidys, 1961).
Pentalaksanaan dengan konservatif dan operatif 1. Cara konservatif
Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana masih memugkinkan terjadinya pertumbuhan tulang panjang . Selain itu, dilakukan karena adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah gips dan traksi
a. Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh Indikasi pemasangan gips adalah:
1. Perlu immobilisasi dan penyangga fraktur
2. Mengistirahatkan dan stabilisasi bagian tubuh yang fraktur
3. Koreksi deformitas
4. Mengurangi aktifitas bagian tubuh yang fraktur 5. Membuat cetakan tubuh yang orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah: 1. Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan 2. Gips patah tidak bias digunakan
3. Gips yang terlalu longgar atau terlalu kecil sangat membahayakan klien
4. Jangan merusak/menekan gips
5. Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips/menggaruk
6. Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
b. Traksi
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstremitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Tujuan penggunaan traksi mekanik adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergensi. Traksi mekanik ada 2 macam:
1. Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar system skeletal untuk struktur yang lain missal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban 5 kg.
2. Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal/ penjepit melaului tulang/ jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain: 1. Mengurangi nyeri akibat spasme otot 2. Memperbaiki dan mencegah deformitas 3. Immobilisasi
5. Menegencangkan pada perlekatannya
2. Operatif
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomic menuju tempat yang mengalami fraktur. Hematoma fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi yang sudah normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini dipertahankan dengan alat-alat ortopedik berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.
Keuntungan perawatan fraktur dengan pembedahan antara lain; 1. Ketelitian reposisi fragmen tulang yang patah
2. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf yang berada di dekatnya
3. Dapat mencapai stabilitas fiksasiyang cukup memadai 4. Tidak perlu memasang gips dan alat-alat stabilisasi yag lain
5. Perawatan di RS dapat ditekan seminimal mungkin, terutama pada kasus-kasus yang tanpa komplikasi dan dengan kemampuan mempertahankan fungsi sendi dan fungsi otot hamper normal selama penatalaksanaan dijalankan.
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta
Black, J.M, et al, 1995. Luckman and Sorensen’s. Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. EGC, Jakarta
Dudley, Hugh AF. 1986. Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II. FKUGM
Henderson, M.A, 1992. Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta
Hudak and Gallo, 1994. Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta
Ignatavicius, Donna D, 1995. Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company
Long, Barbara C, 1996.Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta
Mansjoer, Arif, et al, 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI. Jakarta
Oswari, E, 1993. Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Price, Evelyn C, 1997. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia,
Jakarta
Reksoprodjo, Soelarto, 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta
Tucker, Susan Martin, 1998. Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta
http://www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles.nsf/pages/Bone_fract ures_treatment_options?OpenDocument. diunduh tgl 29 agustus 2009 jam 20.30