• Tidak ada hasil yang ditemukan

Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam

Penanggung jawab: Ketua STIT PGRI Pasuruan

Ketua Penyunting: Mohammad Aufin, M.M. Wakil Ketua Penyunting:

Dra. Ayu Maya Damayanti, S.H., M.Pd Penyunting Ahli:

Ninik Suryatiningsih, M.Pd. Drs. Supriyo, M.Pd. Dr. H. Sugeng Pradikto, M.Pd.

Penyunting Pelaksana: Miftakhul Munir, M.Pd.I.

Nur Hasan, M.Pd.I. M. Sodikin, M.Pd.I. Pelaksana Tata Usaha:

Siti Halimah, M.Pd.I. M. Ma‘ruf, M.Pd.I. Jakaria Umro, M.Pd.I.

Mitra Bestari:

Prof. Dr. H. Syamsul Arifin, M.Si. Prof. H. Fauzan Saleh, M.A., Ph.D. Dr. Hj. Meinarni Susilowati, M.Ed.

Dr. Hj. Dies Nurhayati, M.Pd. Dr. Khoirul Huda, S.H., M.Hum.

(2)

Al- Makrifat: Jurnal Kajian Islam

PENDIDIKAN MADRASAH ERA DIGITAL

Sulaiman ~ 1

SEJARAH LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NUSANTARA (Surau, Meunasah, Pesantren dan Madrasah)

Abdul Mukhlis ~ 18

KEHIDUPAN HARMONIS DALAM MASYARAKAT MAJEMUK (Pentingnya Pendekatan Multikultur Dalam Pendidikan Di Indonesia)

Fitrotin Jamilah ~ 36

KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MENURUT IMAM AL-GHAZALI

Jiddy Masyfu’ ~ 48

IS COMMUNICATIVE LANGUAGE TEACHING (CLT) APPROPRIATE TO THE INDONESIAN CONTEXT

Syarifuddin ~ 62

Eksplikasi Tesis-Tesis Hubungan Antara Agama dan

Ilmu-Pengetahuan

Muhammad Alwi ~ 70

TASAWUF UNTUK MASYARAKAT MODERN

Siti Halimah ~ 88

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PERSPEKTIF ISLAM ( Kajian Penerapan Pendidikan Karakter Anak dalam Keluarga )

Jakaria Umro ~ 103

KONSEP KOMPETENSI GURU PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Kajian Surat Al-Qalam Ayat 1 – 4)

M. Ma’ruf ~ 122

PENERAPAN MULTIPLE INTELLIGENCES GUNA MENUMBUH KEMBANGKAN KREATIFITAS SISWA-SISWI DI SMK KARTIKA GRATI KABUPATEN

PASURUAN

(3)

PENDIDIKAN MADRASAH ERA DIGITAL

Sulaiman, M.Pd.I

Dosen STAI Panca Wahana Pasuruan

ABSTRAK

Masyarakat global menilai pendidikan madrasah sebagai investasi manusia untuk mempersiapkan masa depan yang lebih sukses di dunia dan akhirat. Sedangkan perkembangan teknologi diharapkan dapat menciptakan suasana segar yang mampu membawa prubahan pendidikan islam serta tidak menghilangkan harapan masyrakat banyak bahwa madrasah mampu berdampingan dengan teknologi informasi dalam menciptakan pendidikan yang berkualitas. Disisi lain perkembangan pesat TI yang secara instan dapat dikonsumsi secara cepat dan mudah memunculkan alternative pendidikan madrasah pada masyarakat global dengan konsep pendidikan alternative. Saat pendidikan Islam di madrasah tidak terlepas dari arus globalisasi maka persiapan menemukan peluangnya dan tantangan. Oleh karena itu, pendidikan Islam di madrasah dituntut berperan dalam penyelesaian masalah moral, etika serta ilmu pengetahuan modern. Perlu adanya pembaharuan pendidikan di madrasah untuk dapat menghadapi tantangan global yang makin kuat. Dalam hal ini peranan steakholder setempat dalam pertumbuhannya, madrasah era digital perlu merubah paradigma tentang pendidikan islam.

Kesiapan madrasah mulai dari guru, sarana, sumber daya manusianya mulai sekarang harus dipersiapkan agara dapat menciptakan suasana dan lingkungan pendidikan yang dapat bersanding dengan teknologi digital, yang kelak harpannya adalah lulusan madrasah dapat bersaing dengan semua elemen dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan industri dan bidang-bidang lainnya dalam hal urusan dunia, yang pada hakikatnya lulusan sebenarnya adalah mampu merealisasikan nilai budaya dan kearifan lolak tentang nilai dan norma, yang semuanya melekat pada madrasah

(4)

A. Pendahuluan

Era digital merupakan tantangan tersendiri dalam dunia pendidikan hususnya madrasah yang tentunnya masih menjadi second choice dalam hal pilihan jenjang pendidikan. Madrasah di era globalisasi ini menghadapi suatu masalah yang begitu signifikan. Maka dalam implementasinya pendidikan Madrasah dihadapkan pada perkembangan zaman dan teknologi seperti: televisi, handphone, komputer dan lain-lain. Madrasah yang berbasis teknologi diharapkan lebih memberikan dampak positif bagi peserta pendidikan Islam hususnya madrasah di pelosok negeri.

Madrasah merupakan satu faktor yang dapat dijadikan referensi utama dalam rangka membentuk generasi yang dipersiapkan untuk mengelola dunia global yang penuh dengan tantangan. Apalagi secara umum pendidikan Islam yang bercita-cita membentuk insan kamil yang sesuai dengan ajaran al-Qur‘an dan sunnah. Secara lebih spesifik pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan Islam atau sistem pendidikan yang Islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai fundamental yang terkandung dalam sumbernya, yaitu al-Qur‘an dan Hadits. Sehingga pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri dan dibangun dari al-Qur‘an dan Hadits.1

Maka besar harapan pendidikan yang berbasis madrasah dapat menjadi icon dalam dunai pendidikan secara umum dari semua jenjang. Bukan lah hal mudah dalam mempersiapkan manusia yang sesuai dengan ajaran agama Islam, akan tetapi minimal madrasah dalam menghadapi tantangan telah memiliki persiapan husus dalam menghadapi dunia digital.

Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang penting di Indonesia selain pesantren. Keberadaannya begitu penting dalam menciptakan kader-kader bangsa yang berwawasan keislaman dan berjiwa nasionalisme yang tinggi. Salah satu kelebihan yang dimiliki madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama.2

Madrasah juga merupakan bagian penting dari lembaga pendidikan nasional di Indonesia. Perannya begitu besar dalam menghasilkan output-output generasi penerus bangsa. Perjuangan madrasah untuk mendapatkan pengakuan ini tidak didapatkan dengan mudah. Karena sebelumnya eksistensi lembaga ini kurang diperhatikan bila dibandingkan

1

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006

2

(5)

dengan sekolah-sekolah umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan—sekarang Departemen Pendidikan Nasional. Yang ada justru sebaliknya, madrasah seolah hanya menjadi pelengkap keberadaan lembaga pendidikan nasional

1. Madrasah di Pada Era Perkembangan 2. Menerima tantangan global

3. Membangu karakter pendidikan dan peserta didik 4. Menyiapkan instrumen dan arah tujuan pendidikan

Minat ummat Islam terhadap madrasah sebenarnya cukup tinggi. Di beberapa daerah, jumlah siswa madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah bahkan lebih banyak daripada jumlah siswa Sekolah Dasar atau SLTP. Di mata mereka, madrasah memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan sekolah umum. Madrasah, terutama yang ada di dalam pondok pesantren, memberikan bekal mental keagamaan (keimanan dan ketaqwaan) yang kuat kepada siswanya. Dengan bekal mental yang kuat ini, diharapkan, apabila mereka menjadi pemimpin di kemudian hari, mereka akan menjadi pemimpin yang jujur, amanah, dan adil. Sayang, kualitas lembaga yang mengemban misi penting ini, menurut banyak pengamat, amat memprihatinkan.

Kualitas pendidikan di madrasah yang ada di luar pondok, terutama yang yayasannya kurang kuat, sering berada di bawah standar, baik dilihat dari segi pendidikan agama maupun dari segi pendidikan umum. Di bidang pendidikan agama madrasah ini kalah dari madrasah yang ada di dalam pondok dan, di bidang pendidikan umum ia kalah dari sekolah umum yang ada di sekitarnya.

Madrasah yang ada di dalam pondok masih agak lumayan, walaupun kualitas pendidikan umumnya mungkin kalah jika dibandingkan dengan standar sekolah umum tetapi di bidang pendidikan agama kebanyakan dari mereka memiliki kualitas di atas standar. Tentu saja, kekecualian-kekecualian juga ada. Madrasah yang kualitas pendidikan umumnya lebih tinggi dari sekolah umum, seperti MIN Malang I, juga ada, walau sedikit sekali.

Dalam hal misi jika dibandingkan dengan pendidikan di sekolah umum, madrasah mempunyai misi yang mulia. Ia bukan saja memberikan pendidikan umum (seperti halnya sekolah umum) tetapi juga memberikan pendidikan agama (melalui pelajaran agama dan penciptaan suasana kegamaan di madrasah) sehiingga, kalau pendidikan ini

(6)

berhasil, para lulusannya akan dapat hidup bahagia di dunia ini (biasanya diukur secara ekonomis) dan hidup bahagia di akhirat nanti (karena ketaatannya pada ajaran agama)iv. Madrasah yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia di akhirat saja (walaupun ini masih lebih baik daripada hanya memperoleh kebaikan di dunia tanpa memperoleh kebahagiaan di akhirat).

Persoalan ini menjadi makin serius apabila dikaitkan dengan isu besar akhir-akhir ini, yakni globalisasi. Kalau banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia belum siap untuk memasuki era globalisasi, maka lulusan madrasah dikhawatirkan lebih tidak siap lagi menghadapi era globalisasi ini. Kaitan antara globalisasi dan kesiapan madrasah menghadapinya itulah yang akan menjadi pokok bahasan makalah ini.

B. Globalisasi dan Madrasah

Di Indonesia, permulaan munculnya madrasah baru terjadi sekitar abad ke-20. Meski demikian, latar belakang berdirinya madrasah tidak lepas dari dua faktor, yaitu; semangat pembaharuan Islam yang berasal dari Islam pusat (Timur Tengah) dan merupakan respon pendidikan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mendirikan serta mengembangkan sekolah.3

Dalam kenyataannya, madrasah yang dulunya hanya sebagai second choice dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, kini perlahan-lahan dan pasti telah berhasil mendapat perhatian dari masyarakat. Apresiasi ini adalah modal besar bagi madrasah untuk memberikan nilai yang terbaik bagi bangsa dalam sumbangsihnya di dunia pendidikan. Dengan konteks kekinian, sekarang ini banyak sekali madrasah-madrasah yang menawarkan konsep pendidikan modern. Konsep ini tidak hanya menawarkan dan memberikan pelajaran atau pendidikan agama. Akan tetapi mengadaptasi mata pelajaran umum yang diterapkan di berbagai sekolah umum.

Kemajuan madrasah tidak hanya terletak pada SDM-nya saja, namun juga desain kurikulum yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman, dan sistem manajerial yang modern. Selain itu, perkembangan kemajuan madrasah kini juga didukung dengan sarana infrastruktur dan fasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan kegiatan belajar-mengajar di madrasah.

3

(7)

Di sisi lain, perkembangan era globalisasi digital cenderung mengkhawatirkan kehidupan bangsa. Apalagi dengan pesatnya pertumbuhan budaya baru pada era digital yang heterogen dari Sabang sampai Merauke. Hal itu dikarenakan semakin derasnya arus informasi komunikasi yang cenderung negatif dan massif. Sementara itu, ‗‘globalisasi‘‘ adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada ‗‘bersatunya‘‘ berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas. Berdasarkan istilah ‗‘globalisasi‘‘ berarti ‗‘perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antarmanusia, organisasi-orgaisasi sosial, dan pandang-pandangan dunia.4

Maka dari itu negara-negara Muslim dan pemerintah Muslim memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa globalisasi tidak akan mengakibatkan marginalisasi negara mereka seperti yang terjadi dengan Revolusi Industri dan Era Industri. Saat ini kita tidak bisa membelinya lagi. Jika sekali lagi kita kehilangan kesempatan untuk mengimbangi kemajuan yang radikal dan cepat, yang sedang dilakukan oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, dan termasuk dampak dari perkembangan tersebut berupa ide-ide baru dan konsep-konsep dalam hubungan manusia dan internasional, jika kita tertinggal dan gagal untuk menangani mereka, maka kita tidak hanya akan terpinggirkan, tetapi akan berada di bawah dominasi dan hegemoni pihak lain permanen.5

Beredar isu penting yang akan dihadapi oleh madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu harus menyadari ketika menghadapi globalisasi. Beberapa di antaranya.

1. Pesatnya perkembangan dunia teknologi dan gadget, khususnya teknologi informasi dan komunikasi.

2. Banyaknya budaya barat yang dominan dan menantang identitas Islam serta dapat merusak nilai-nilai yang terkandung dalam Islam.

3. Terintegrasinya masyarakat dunia dengan tiap individu.

4. Besarnya harapan terjadinya perubahan sosial terhadap institusi pendidikan baik yang swasta atau yang negeri.

5. Kesenjangan sosial antara masyarakat bawah dan atas dari segala aspek dan elemen.

4

Azra, Azyumardi dan JamhariPendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Perspektif Sosio-Historis .Jakarta: Rajawali Pers. 2006:6

5

Mohd Abbas Abdul Razak (2011) ‘Globalization and its impact on education and culture‘ in world

(8)

Sedikit kita bahas tentang pesatnya perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (IT). TI adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap globalisasi. Hal ini, seperti Catherine L. Mann menjelaskan, "sektor pertumbuhan yang paling kuat dalam ekonomi global, dengan permintaan di pasar yang melebihi kecepatan investasi dan pertumbuhan perdagangan untuk produk lainnya."6

Pertumbuhan TI telah mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Mann lebih lanjut menjelaskan, "TI adalah jenis khusus dari tujuan umum teknologi dengan efek jaringan yang signifikan dan tingkat pengembalian tinggi diukur ekonomi yang luas dari investasi. Hal ini tidak mengherankan karena permintaan untuk TI sangat kuat. Tapi TI juga menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya lebih banyak globalisasi pada industri non-teknologi. "7

Dengan semakin cepatnya perkembangan TI maka aa konsekwensinya yang harus kita hadapi pertama pertumbuhannya yang sangat cepat, sifat TI juga ditunjukkan oleh dinamikanya. Oleh karena itu, begitu melibatkan TI ke dalam urusan kita, jangan lupa dan harus ingat untuk terus memperbaharui komponen kepribadian kita. Jika tidak, maka sama halnya dengan sistem TI yang tertinggal, maka dunia kita juga akan tertinggal. Ini adalah tantangan utama yang harus dihadapi madrasah ketika berhadapan dengan TI. kedua globalisasi, yang adalah adanya budaya yang dominan, mengingatkan lembaga pendidikan Islam pada dampak sosial dari globalisasi, khususnya TI.

Kehadiran TI menantang budaya dan nilai-nilai yang telah ada dengan dua jenis budaya baru. Pertama adalah budaya yang dominan dari mana TI berasal, dan yang kedua adalah budaya baru yang diciptakan oleh pengguna TI. Masyarakat Muslim di seluruh dunia memiliki campuran unik nilai-nilai Islam dan budaya lokal. Oleh karena itu, sementara dasar dari nilai-nilai yang sama, budaya yang berbeda

Globalisasi TI memperkenalkan para penggunanya untuk mengakses film-film baru, lagu, desain fashion, makanan dan simbol gaya hidup lainnya yang berasal dari negara-negara maju. Akses yang tak terbatas ini tentu tidak bebas nilai dan norma. Setelah penggunanya akrab dan menikmati produk-produk tersebut, mereka akan segera mengadopsi budaya baru dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, tidak mengejutkan

6

Catherine L. Mann Accelerating the Globalization of America: the role for information technology. Washington DC: Institute fo International Economics, 2006:1.

7

(9)

untuk melihat bahwa generasi muda di negara-negara berkembang lebih akrab dengan budaya Barat dari budaya mereka sendiri.

Selain itu, mereka juga akan menciptakan budaya mereka sendiri sebagai dampak dari penggunaan TI. Salah satu budaya baru dipengaruhi oleh TI adalah kurangnya interaksi sosial.8 Orang menemukan diri mereka sibuk dengan teknologi yang bisa memberikan mereka banyak hal lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan interaksi sosial.

Secara umum kesadaran masyarakat kita dengan adanya akses yang tak terbatas denga dunia internasional dan juga perkembangan TI, seperti yang berlaku di seluruh aspek kehidupan manusia, telah menyebabkan orang Muslim untuk menetapkan harapan yang tinggi kepada lembaga pendidikan mereka hususnya Madrasah. Di beberapa daerah meningkatnya jumlah kelas menengah Muslim mewakili era baru masyarakat. Berkat perkembangan ekonomi, negara ini memiliki jumlah kelas menengah Muslim yang meningkat secara significant, pada umumnya berpendidikan dan berkecukupan secara finansial. Perubahan kondisi sosial masyarakat Muslim juga telah merubah harapan sosial untuk pendidikan Islam. Orang tua tidak lagi senang dengan sekolah yang minim fasilitas dan guru yang kurang kreatif. Mereka menuntut sekolah berkualitas dengan guru yang berkualitas untuk memastikan anak-anak mereka bisa mendapatkan akses ke dunia global dengan kepercayaan diri yang tinggi.

Maka dalam menjawab tantangan di atas, madrasah harus mampu mengidentifikasi kelemahan diri dan menemukan peluang untuk meningkatkan kapasitasnya dalam rangka menyiapkan generasi madrasah yang mampu menjawa[ tantangan global. Tentu saja banyak rintanga besar yang dihadapi madrasah untuk memasuki dunia global. Tetapi tidak ada pilihan lain untuk menghindari tantangan, karena globalisasi menyentuh setiap aspek kehidupan manusia.

Diharapkan madrasah untuk tidak hanya bias bertahan di era globalisasi, tetapi juga untuk memberikan kontribusi yang signifikan. "Satu hal yang jelas," sebagaimana Lukensbull mengingatkan, "ketika sekolah madrasah memenuhi tujuan pendidikan mereka, apa pun alasannya, ada implikasi serius bagi masyarakat secara keseluruhan sebagai akibat dari ketidakseimbangan yang dihasilkannya."9

8 Mohd Abbas Abdul Razak Globalization and its impact on education, 2011:63. 9

Ronald A. Lukens-Bull Teaching morality: Javanese Islamic Education in a globalizing era,‘ in Journal

(10)

Lukens-Bull mengamati dilema globalisasi yang menjadi perhatian banyak pemimpin Muslim Indonesia. Dia menyebutkan bahwa "ada kekhawatiran bahwa tanpa ilmu pengetahuan dan teknologi umat Islam akan miskin. Perhatian yang lebih besar, bagaimanapun, adalah bahwa dalam mengejar hal-hal ini, masyarakat Islam Indonesia akan kehilangan fondasi moralnya, dan terjebak pada keinginan yang tidak dibenarkan, dan lebih memilih menjadi menjadi budak materialisme daripada hamba Allah."10

C. Tantangan Madrasah

Tantangan global dan globalisasi yang terus menemukan momentumnya sejak akhir milenium lalu, yang dikemukakan secara singkat di atas, jelas jauh lebih kompleks daripada tantangan-tantangan yang pernah dihadapi lembaga pendidikan Islam di masa silam. Kompleksitas tantangan itu menjadi lebih rumit lagi, ketika kita harus mengakui, bahwa secara internal lembaga-lembaga pendidikan Islam umumnya masih menghadapi berbagai masalah yang masih belum terselesaikan sampai sekarang ini.

Di sisi lain, Muhammad Tholchah Hasan mengemukakan tantangan pendidikan Islam yang harus dihadapi di era global ini adalah kebodohan, kebobrokan moral, dan hilangnya karakter muslim. Secara lebih terperinci beberapa tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi informasi dan komunikasi adalah :11

1. Keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif penyebaran isu, sehingga dapat menimbulkan saling kecurigaan di antara umat.

2. Dalam banyak aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan imperalisasi informasi, yang dapat menimbulkan sukularisme, kapitalisme, pragmatisme, dan sebagainya.

3. Dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, ekspos persoalan seksualitas, peperangan, dan kriminal, berdampak besar pada pembentukan moral dan perubahan tingkah laku.

4. Lemahnya sumber daya Muslim sehingga di banyak hal harus mengimport produk teknologi Barat. (Rafiq, 2010)12

10 Ronald A. Lukens-Bull ‗Teaching morality: Javanese Islamic Education, 2000;38. 11

Marzuki Wahid ―Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan‖, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi (Bandung: Pustaka Hidayah 2011:60)

12

Rafiq, Mohd. ―Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada Era Globalisasi Informasi‖,

(11)

Sebagai indicator nilai mutu yang menempel terhadap madrasah adalah gambaran lulusan dalam mengamalkan kompetensinya baik di realitas kerja maupun pengabdian agama di lingkungan masyarakatnya. Semakin tinggi kontribusi lulusan madrasah terhadap masyarakat, akan menjadi tolak ukur dan bagian subuah penilaian masyarakat terhadap madrasah tersebut.

Lulusan sebuah pendidikan menjadi ujung tombak baik-buruknmya mutu suatu madrasah. hal ini tidak lain adalah sebagai penilaian awal masyarakat, sehingga madrasah akan berusaha keras untuk memperhatikan dengan serius akan outputnya. tinggi-rendahnya nilai madrasah terhadap lulusan akan menjadi cermin nilai mutu suatu madrasah. Selain itu peran madrasah dalam era globalisasi semakin dibutuhkan, bangsa Indonesia secara moral akan menghadapi bahaya besar, yaitu telah semakin menipisnya penjunjungan aspek moralitas, atau masalah moral dijadikan sebagai utusan kedua.

Sistem madrasah dalam menatap era modern ini haruslah mampu mengantarkan lulusannya meraih kemenangan didunia dan akhirat serta tidak antipati terhadap hal-hal yang berasal dari pihak asing selama itu tidak negative pengaruhnya. Mampu memberikan kontribusi bagi peibadinya dan tidak lupa pula mendarmabaktikan kepada masyarakat.

Madrasah memiliki tantangan besar dalam membina peserta didiknya. Dalam konteks ini, Khaerudin Kurniawan, memerinci berbagai tantangan pendidikan menghadapi era global13

1. Tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development).

2. Tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.

3. Tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas

13

(12)

sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

4. Tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi. Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan kemampuan para pendidik di madrasah harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Lembaga pendidikan Islam dituntut mampu menjamin kualitas lulusannya sesuai dengan standar kompetensi global paling tidak mampu mempersiapkan anak didiknya siap bersaing dengan para tenaga kerja lulusan SMK atau bahkan tenaga kerja asing.

D. Solusi Menghadapi Globalisasi

Banyak dari pemerhati dan praktisi pendidikan mencoba menawarkan berbagai konsep dan teori untuk mengatasi kelemahan-kelemahan madrasah dalam persiapannya menghadapi tantangan globalisasi. Tawaran konseptual ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk berpartisipasi dalam membenahi, menyempurnakan, bahkan meningkatkan mutu madrasah menjadi lembaga yang maju dan unggul, mulai dari konsep pembenahan pada aspek menajemen yang dipandang sebagai faktor penentu terhadap komponen madrasah sampai materi ajar dan lain sebgainya yang di anggap dapat meningkatkan mutu madrasah. Muzammil Qomar menegaskan bahwa lembaga madrasah pertama-mata dituntut untuk melakukan perubahan-perubahan strategis dalam bidang manajemen14

Berdasarkan identifikasi penyebab kelemahan mutu madrasah yang meliputi pihak pengelola, kondisi kultur masyarakat, kebijakan politik Negara terutama yang menyangkut keuangan/pendanaan, beban pelajaran yang harus dijalani siswa, potensi input, keadaan sarana dan prasarana, alat-alat pembelajaran, maupun kondisi guru yang kurang professional, maka banyak hal yang turut bertanggung jawab terhadap rendahnya kualitas madrasah. Akan tetapi, jika para pengelola madrasah memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengelola, maka persoalan-persoalan seharusnya dapat diatasi dengan baik. Karena para pengelola, sebagai pihak yang memegang kendali, memiliki kekuatan eksekutif atau

14

(13)

politik yang dapat dijadikan sarana atau media dalam mengkondisikan komponen-komponen lainnya.

Dalam kasus ini ranah pembahasannya adalah pendidikan madrasah, maka kepala sekolah memiliki peranan penting dan harus mampu membangun citra madrasah sebagai pendidikan keagamaan yang mampu menjawab tantangan kemajuan ilmu dan teknologi dan informasi di era globalisasi, bagaimana seharusnya madrasah tetap survive sepanjang waktu sehinnga mampu berdiri tegak dalam melawan arus perubahan zaman. Menurut Muhaimin, sedikitnya ada dua tugas penting yang harus diemban kepala madrasah. Yakni sebagai berikut15

1. Tugas di bidang manajerial. Yaitu, seorang kepala madrasah dituntut untuk mampu menyelesaikan tugas-tugas administrasi dan supervisi. Tugas administrasi ini meliputi kegiatan menyediakan, mengatur, memelihara, dan melengkapi fasilitas material dan tenaga-tenaga personal sekolah. Sedang tugas supervisi meliputi kegiatan untuk memberikan bimbingan, bantuan, pengawasan, dan penilaian pada masalah-masalah yang berhubungan dengan teknis penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan dan pengajaran untuk dapat menciptakan situasi belajar-mengajar yang lebih baik.

2. Tugas di bidang spiritual. Yaitu seorang kepala sekolah dituntut untuk mampu menjadikan madrasah sebagai suasana religius Islam yang mampu mengantarkan para anak didiknya menjadi ulul al-albab, suatu pribadi yang memiliki kekokohan spiritual, moral, dan intelektual serta professional.

Di era global ini peluang madrasah untuk tampil sebagai lembaga pendidikan pilihan masyarakat sangat mungkin diwujudkan melalui upaya perbaikan mulai dari tingkatan bawah sampai atas yaitu mulai dari wali murid sampi steakholder yang berkepntingan dalam dunia pendidikan. Namun, tentunya madrasah dituntut mampu menunjukkan keunggulan kepribadian, intelektual, dan keterampilan. Ketiga-tiganya saling menopang satu sama lain untuk membentuk integritas kepribadian siswa. Masing-masing keunggulan itu menjadi kebutuhan riil masyarakat sekarang ini.

Di era global ini peluang madrasah untuk tampil sebagai lembaga pendidikan pilihan masyarakat sangat mungkin diwujudkan melalui upaya perbaikan mulai dari tingkatan bawah sampai atas yaitu mulai dari wali murid sampi steakholder yang

15

(14)

berkepntingan dalam dunia pendidikan. Namun, tentunya madrasah dituntut mampu menunjukkan keunggulan kepribadian, intelektual, dan keterampilan. Ketiga-tiganya saling menopang satu sama lain untuk membentuk integritas kepribadian siswa. Masing-masing keunggulan itu menjadi kebutuhan riil masyarakat sekarang ini.

Maka dalam menjawab tantangan dan kebuthan tersebut hendaknya lembaga menyiapkan pendidik yang professional, menguasai penerapan teknologi informasi dalam proses pemebelajaran dan mengubah suasana belajar yang kaku dan membosankan menjadi suasana yang menyenangkan dan menggairahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran khususnya dan tujuan pendidikan pada umumnya.

Berkaitan dengan era globalisasi, maka untuk menyelenggarakan madrasah di era globalisasi disamping hal yang telah disebutkan di atas perlu adanya hal-hal yang harus diaplikasikan, hal-hal tersebut ialah:

1. Madrasah harus meningkatkan daya saing dengan sungguh-sungguh dan terencana, sehingga output dari madrasah layak bersaing dalam pergaulan global. 2. Madrasah harus membuka jurusan yang bervariasi mengingat luasnya lapangan

kerja di era pasar bebas

3. Madrasah harus tetap memepertahankan identitasnya dan tidak boleh meninggalkan nilai-nilai dasarnya

4. Madrasah harus melaksanakan evaluasi secara terus-menerus dan berkelanjutan agar jaminan kualitas dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, harus ada tekad bulat dari seluruh jajaran, baik kepala madrasah, guru, karyawan, siswa, komite madrasah dan masyarakat untuk menyukseskan lembaga madrasah menjadi lembaga yang benar-benar memiliki keunggulan riil yang bisa disaksikan dan dirasakan bahkan dibandingkan dengan lembaga-lembaga pendidikan lain yang ada disekitarnya.

E. Peluang-Peluang Di Era Digital

Besarnya tantangan yang di hadapi institusi madrasah dan dengan mempertimbangkan beberapa tantangan pendidikan Islam diatas, memunculkan berbagai inspirasi untuk menyiapkan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan global merupakan tugas pendidikan Islam. Semuanya tidak terlepas dari berbagai peluang yang

(15)

dapat dijadikan sebagai jalan untuk membina generasi dan peserta didik untuk lebih dapat bersaing dan berkiprah di desa global yang tanpa batas.

Berangkat dari perspektif tersebut, peluang pendidikan Islam di era globalisasi ini dapat diperincikan sebagai berikut:

1. Orientasi pada kemampuan nyata yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya menciptakan dunia kerja yang cenderung realistis dan pragmatis, di mana dunia kerja lebih melihat kompetensi nyata yang dapat ditampilkan.

2. Mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kriteria internal saja, melainkan dibandingkan dengan komunitas lain yang lebih riil.

3. Apresiasi dan harapan masyarakat dunia pendidikan semakin meningkat, yaitu pendidikan yang lebih bermutu, relevan dan hasilnya pun dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran masyarakat selalu ingin mendapatkan suatu yang lebih baik.

4. Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai keimanan dan tata nilai, maka pendidikan yang diinginkan adlah pendidikan yang mampu menanamkan karakter islami disamping kompetensi lain yang bersifat akademis dan skill.16

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar madrasah dapat menghadapi tantangan di atas antara lain; Pertama, madrasah harus ikut serta sebagai pendukung keberadaan era ini, dengan berusaha memanfaatkan segala informasi yang berkembang dan berperan aktif dalam menanggulangi segala dampak negatif yang di timbulkan.

Kedua, madrasah hendaknya selalu berusaha memanfaatkan sumber daya TI yang telah

menjadi media utama transformasi informasi. Dengan mengembangkannya dalam berbagai bentuk informasi positif yang dapat menjadi bahan pelajaran dan materi ajar yang diperlukan, seperti pengembangan e-learning, e-book, tafsir digital dan lain sebagainya.

16

Marzuki Wahid ―Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan‖, dalam Marzuki Wahid, (Bandung: Pustaka Hidayah 2011:63

(16)

F. Kesiapan Madrasah Meghadapi Globalisasi

Menurut Malik Fadjar bahwa dalam masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro.17 Menurutnya, kini, masyarakat melihat pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan ketrampilan dalam konteks waktu sekarang.

Di sisi lain, pendidikan dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human and capital investmen) untuk membantu meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya.18 Pergeseran tersebut menurut Ahmad watik (dalam Fadjar) dalam Pratiknya perubahan tersebut mengarah pada;

1. Terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Kecenderungan perilaku masyarakat yang lebih fungsional, dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan semata,

3. Masyarakat padat informasi, dan

4. Kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka19

Jika ditinjau dari kecenderungan atau gejala sosial yang terjadi saat ini pada masyarakat desa apalgi kota yang akhir-akhir ini yang berimplikasi pada tuntutan dan harapan tentang model pendidikan yang mereka harapkan, maka sebenarnya madrasah memiliki potensi dan peluang besar untuk menjadi alternatif pendidikan masa depan. Dengan mempersiapkan segala aspek kebutuhan antara lain sebagai berikut;

1. lembaga pendidikan harus mampu merespon dan mengapresiasi tuntutan masyarakat tersebut secara cepat dan cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini.

2. kesadaran masyarakat untuk menciptakan dan berispirasi aktif dalam pembangunan pendidikan ragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses

17 Malik Fadjar, Tantangan dan peran umat Islam dalam menyonsong abad xxi, Surabaya 1997:76 18 Ibid 87

19

(17)

Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang dilakukan secara perorangan.

3. Menyikapi arus globalisasi dan modernisasi dengan secara arif dan ikut partisipasi dalam menciptakan pendidikan yang bersanding dengan IT yaitu menciptakan guru yang professional dalam menggunakan TI.

4. Penguatan kembali manusia yang memiliki dua kompetensi sekaligus; yakni Ilmu Pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan nilai-nilai spiritualitas keagamaan (IMTAQ).

5. Madrasah harus mampu bersanding dengan TI untuk dapat menciptakan output atau lulusan yang sesuai dengan harapan. Memperbanyak menyiapkan guru professional

Agar lulusan madrasah memiliki wawasan global, maka madrasah pun harus memiliki wawasan global. Bagaimana mungkin madrasah yang tidak memiliki wawasan global dapat menghasilkan lulusan yang memiliki wawasan global? Madrasah juga harus mempersiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri. Untuk ini, maka penguasaan ketrampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi amat penting. Demikian pula pengenalan budaya dan bangsa asing.

G. Kesimpulan

Dari serangkaian pembahasan mengenai metode keteladanan di atas dapat disimpulkan bahwa:

Masalah tantangan globalisasi yang dihadapkan kepada lembaga pendidikan Islam, khususnya madrasah, sebagai lembaga pendidikan yang mempersiapkan generasi muda ummat Islam untuk masa depan, madrasah diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang akan mampu memainkan peran penting di semua sektor kehidupan bangsa, baik itu sektor agama, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Madrasah diunggulkan daripada sekolah umum karena madrasah memberikan pendidikan agama (yang lebih baik daripada sekolah umum) di samping pendidikan umum (yang sama dengan sekolah umum). Persoalan yang masih dihadapi madrasah saat ini adalah masifh rendahnya standar kualitas pendidikan umum yang diberikannya di madrasah, selain permasalahan yang timbul dari lingkungan internal lembaga masing-masing.

(18)

Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kurang disadarinya peran penting masing-masing individu dalam pembangunan nasional. Juga karena kekurang sadaran akan peran penting pendidikan umum, terutama di bidang teknologi dan ilmu eksakta, ini akan menyebabkan sektor-sektor ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat menentukan arah pembangunan nasional terpaksa diserahkan kepada lulusan non-madrasah. Sebelum terlambat, madrasah disarankan untuk lebih memperhatikan masalah kualitas pendidikan umum ini bagi para santrinya.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi dan Jamhari, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi: Perspektif Sosio-Historis .Jakarta: Rajawali Pers. 2006

Fadjar, Malik, Tantangan dan peran umat Islam dalam menyonsong abad xxi, Surabaya 1997: kurniawan, Kherudin, Paradigma Baru Pendidikan Moral, suara pembaharuan,1999

Mann, Catherine L. Accelerating the Globalization of America: the role for information technology. Washington DC: Institute fo International Economics, (2006)

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: mengurai benang kusut dunia pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006

Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007

Rafiq, Mohd. ―Tantangan dan Peluang Komunikasi Islam Pada Era Globalisasi Informasi‖, idb2.wikispaces.com/file/view/ok2015.pdf

Razak, Mohd Abbas Abdul, Globalization and its impact on education and culture‟ in world Journal of Islamic History and Civilization. 2011.

Subhan, Arief Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20. Jakarta: Kencana, 2012 Tholhah, Imam Dkk, Membuka Jendela Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2004

Wahid, Marzuki, ―Pesantren di Lautan Pembangunanisme: Mencari Kinerja Pemberdayaan”, dalam Marzuki Wahid, et.al (ed.) Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Bandung: Pustaka Hidayah 2011

(20)

SEJARAH LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM NUSANTARA

(Surau, Meunasah, Pesantren dan Madrasah)

Abdul Mukhlis, M.Pd.I Dosen STAI Pancawana Pasuruan

ABSTRAK

Lembaga-lembaga pendidikan islam ada seiring dengan penyebaran Islam itu sendiri, lembaga semisal Pondok Pesantren di Jawa, Surau di Sumatera ( Minangkabau ), Meunasah di Aceh dan Madrasah Islam modern yang menyebar di seluruh nusantara merupakan suatu fenomena-fenomena yang meniscayakan adanya dinamika lembaga-lembaga pendidikan Islam yang pada suatu kurun waktu tertentu menjadi suatu lembaga pendidikan yang menjadi menjadi primadona di masanya, akankah lembaga-lembaga Islam semisal Pondok Pesantren dan Madrasah menjadi lembaga pendidikan Islam yang tetap bereksistensi ataukah ada model lembaga pendidikan lain yang lebih mengakomodasi peradaban dan kebudayaan dunia Islam.

Kata Kunci: Pesantren, Surau, Meunasah dan Madrasah

A. PENDAHULUAN

Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan fungsi dan perannya sesuai dengan tuntntan masyarakat dan zamannya. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara konfrehensif. Kini sudah banyak hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu

(21)

mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi baru yang baik lagi. Dengan cara demikian, upaya pengembangan lembaga pendidikan Islam tersebut tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara radikal.

B. SEJARAH DAN DINAMIKA LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN DI NUSANTARA

1. Surau

Pembahasan tentang surau sebagai lembaga Pendidikan Islam di Minang-kabau, hanya dipaparkan sekitar awal pertumbuhan surau sampai dengan meredupnya pamor surau. Kondisi ini dilatarbelakangi dengan lahirnya gerakan pembaruan di Minangkabau yang ditandai dengan berdirinya madrasah sebagai pendidikan alternatif.

Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu. berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orang tua yang uzur.20 Fungsi surau ini semakin kuat posisinya karena struktur masyarakat Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal,21 menurut ketentuan adat bahwa laki-laki tak punya kamar di rumah orang tua mereka, sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan generasi Minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis22 lainnya.

Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk)23.

Melalui pendekatan ajaran tarekat (suluk) Sattariyah, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau. Dengan ajarannya yang menekankan kesederhanaan, tarekat Sattariyah berkembang dengan pesat. Muridnya tidak hanya berasal

20

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Ciputat: Logos, 1999), h. 130.

21

Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005). h. 70.

22

Surau sangat kental dengan pengajaran agamanya. Di samping itu, hampir setiap surau di Minangkabau selain mengajarkan agama, juga identik dengan mengajarkan silat yangberguna untuk mempertahankan diri dan mengajarkan adat-istiadat khususnya pepatah petitih serta tradisi anak nagari lainnya.

23

(22)

dari Ulakan-Pariaman saja melainkan juga berasal dari daerah-daerah lain di Minangkabau, seperti Tuanku Mansiang Nan Tuo yang mendirikan surau Paninjauan dan Tuanku Nan Kaciak yang mendirikan surau di Koto Gadang.24 Sehingga pada akhirnya, murid-murid Syekh Burhanuddin tersebut memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan surau sebagai lembaga pendidikan bagi generasi selanjutnya.

Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan sistem pendidikan halaqak Materi pendidikan yang diajarkan pada awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiah dan membaca Al-Quran, di samping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan, akhlak dan ibadah. Pada umumnya pendidikan ini dilaksanakan pada malam hari.

Secara bertahap, eksisitensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:

a. Pengajaran Al-Qur‘an. Untuk mempelajari Al-Qur‘an ada dua macam tingkatan

1) Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-Qur‘an dan membaca Al-Qur‘an. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal, keimanan terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan menggunakan metode menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.

2) Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Qur‘an dengan lagu, kasidah, berzanji, tajwid dan kitab parukunan.

Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai materi-materi di atas dengan baik. Bahkan adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari Al-Qur‘an dua atau tiga kali baru berhenti dari pengajaran Al-Quran.

b. Pengajian Kitab

Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah Kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi

24

(23)

dengan lagu-lagu tertentu. Pelaksanaan pendidikan pada jenjang ini biasanya dilakukan pada siang maupun malam hari.

Pada masa awal, kitab yang dipelajari pada masing-masing materi pendidikan masih mengacu pada satu kitab tertentu. Setelah ulama Minangkabau yang belajar di Timur Tengah kembali ke tanah air, sumber yang digimakan mulai mengalami pergeseran. Kitab yang digimakan pada setiap materi pendidikan sudah bermacam-macam. Terjadinya pencerahan semacam ini disebabkan karena ulama-ulama yang pulang tersebut tidak dengan tangan hampa melainkan juga dengan membawa sumber-sumber (kitab) yang banyak sekali.

Metode pendidikan yang digimakan di surau bila dibandingkan dengan metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya terletak pada kemampuan menghafal muatan teoretis keilmuan. Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan memahami dan menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan menghafal isi suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang dibaca dan dihafalnya itu25.

Surau tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam tetapi juga sebagai lembaga pendidikan tarekat. Fungsi surau yang kedua ini lebih dominan dalam perkembangannya di Minangkabau. Setiap surau di Minangkabau memiliki otoritasnya sendiri, baik dalam praktik tarekat maupun penekanan cabang ilmu-ilmu keislaman. Praktik tarekat yang dikembangkan oleh masing-masing surau tersebut lebih banyak muatan mistisnya ketimbang syariat. Gejala ini dapat diketahui, meskipun Islam sudah dianut masyarakat tetapi praktik-praktik yang bertentangan dengan syariat masih dilakukan terutama para penguasa (kaum adat).

Melihat kondisi masyarakat yang demikian, maka Syekh Abdurrahman, salah seorang ulama dari Batu Hampar, berupaya menyadarkan umat dengan pendekatan persuasif dan ia pun berhasil. Keberhasilannya ini tidak serta-merta menghilangkan praktik bid‘ah dan khurafat di sebagian daerah lain.

Untuk memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam, maka Syekh Abdurrahman mendirikan surau yang terkenal dengan ―Surau Dagang‖.26 Di surau

25

Ibid., h. 73-74

26

(24)

inilah Syekh Abdurrahman mengajarkan Al-Qur‘an dengan berbagai macam irama dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.

Keadaan yang demikian itu membuat suasana semakin memanas dan membagi masyarakat dalam dua kubu. Kubu pertama yang menolak pem-baruan yang dimotori oleh kaum adat yang dibantu kolonial Belanda, dan kubu yang kedua diwakili oleh pemuka agama (kaum Padri) yang sudah gerah melihat praktik kehidupan yang sudah jauh dari nilai-nilai agama.

Dengan momentum kepulangan ―tiga serangkai‖ H. Miskin dari Pandai Sikek, H. Piobang dari Agam dan H. Sumanik dari Batusangkar dari Mekkah, maka dilakukan pembaruan tetapi dengan pendekatan yang keras dan radikal. Ulama-ulama ini juga dibantu oleh ulama-ulama yang lain seperti Tuanku Nan Renceh dan Tuanku di Agam yang bergelar ―Harimau Nan Salapan.‖

Usaha yang dilakukan kaum Padri, sekurang-kurangnya telah berhasil membangkitkan semangat nasionalisme umat Islam dalam menentang penjajah. Meskipun pada akhirnya gerakan ini gagal membumikan ide pembaruannya.27

Surau sebagai lembaga pendidikan Islam mulai surut peranannya karena disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, selama perang Padri banyak surau yang musnah terbakar dan Syekh banyak yang meninggal, kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah nagari, ketiga, kaum intelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka terhadap praktik-praktik surau yang penuh dengan khurafat, bid‘ah dan takhayul.

Ekspansi yang dilakukan kaum intelektual muda dengan mendirikan madrasah telah mengancam keberadaan surau sebagai lembaga pendidikan. Untuk menjaga eksistensinya, Ulama Tradisional mengadakan rapat besar yang diselenggarakan di Bukittinggi tanggal 5 Mei 1930 yang menghasilkan keputusan untuk membentuk Persatuan Tarbiyah Islamiah (PTI). Keputusan lain dari rapat itu adalah bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tergabung ke dalam PTI hams dimodernisasi mengikuti pola yang dikembangkan Kaum Intelektual Muda. Dengan demikian, Ulama Tradisional tidak punya alternatif untuk menyelamatkan sistem pendidikan surau kecuali merombaknya seperti yang dilakukan oleh Kaum Intelektual Muda.28

27 Ibid, h. 76-85. 28

(25)

Dalam posisinya sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam, bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir kolonialisme Belanda. Di antara paru alumni Pendidikan Surau itu adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad dan Hamka29. 2. Meunasah

Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab Madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong (kampung, desa). Bangunan ini sepert: rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak mempunyai istri. Setelah Islam mapan di Aceh. meunasah juga menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong.30

Meunasah secara fisik, adalah bangunan rumah panggung yang dibuat pada setiap kampung, setiap kampung terdiri dari 40 rumah dan diketuai oleh keucik. Dalam meunasah terdapat sumur, bak air, dan WC yang terletak berjarak dengan meunasah. Biasanya meunasah terletak di pinggir jalan. Di antara fungsi meunasah itu adalah:

a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah dan menerima tamu.

b. Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca Al-Qur‘an. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan sekali. Kemudian, pada hari jumat dipakai ibu-ibu untuk shalat berjamaah zuhur yang diteruskan pengajian yang dipimpin oleh seorang guru perempuan.31

Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya berfungsi sebagai tempat beribadah saja, melainkan juga sebagai tempat pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi jual beli, terutama barang-barang yang tak bergerak. Yang belajar di

29

Samsur Nizar. Op. cit, h. 86.

30

Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 42.

31

(26)

meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di bawah umur. Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah guru.

Pendidikan meunasah ini dipimpin oleh Teungku Meunasah. Pendidikan untuk anak perempuan diberikan oleh teungku perempuan yang disebut Tengku Inong. Dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak, Tengku Meunasah dibantu oleh beberapa orang muridnya yang lebih cerdas yang disebut sida.

Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tertentu. Umumnya, pendidikan berlangsung selama dua sampai sepuluh tahun. Pengajaran umumnya berlangsung malam hari. Materi pelajaran dimulai dengan membaca Al-Qur‘an yang dalam bahasa Aceh disebut Beuet Quran. Biasanya pelajaran diawali dengan mengajarkan huruf Hijaiah, seperti yang terdapat dalam buku Qaidah Baghdadiyali, dengan metode mengeja huruf, kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca juz ammo, sambil menghafalkan surat-surat pendek. Setelah nitu baru ditingkatkan kepada membaca Al-Qur‘an besar dilengkapi dengan tajwidnya. Di samping itu, diajarkan pula pokok-pokok agama seperti rukun iman, rukun Islam dan sifat-sifat tuhan. Selain itu, juga diajarkan rukun sembahyang, rukun puasa serta zakat. Tak ketinggalan, pelajaran menyanyi juga diajarkan, terutama nyanyian yang berhubungan dengan agama yang dalam bahasa Aceh disebut dike atau seulaweut (zikir atau selawat). Buku-buku pelajaran yang digunakan adalah buku-buku yang berbahasa Melayu seperti kitab parukunan dan Risalah Masail al-Muhtadin.32

Belajar di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian para Tengku tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah. Namun, biasanya Teungku mendapatkan hadiah dari murid-muridnya apabila mereka telah belajar Al-Qur‘an sampai juz ke-15 atau pada saat khatam Al-Qur‘an. Hadiah-hadiah lain juga diperoleh pada waktu upacara-upacara akad nikah, sunat rasul, pembagian harta warisan, perkara perdata, mengakhiri sidang-sidang pengadilan, pemberian nasihat-nasihat dan juga dari zakat.

Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi.33

32 Ibid, h. 43 33

(27)

3. Pesantren

Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko prasodjo, ―pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama. umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.‖34

Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang di sebut pesantren tersebut, sekurang-kurangnya memiliki unsur-unsur: kiai, santri, masjid sebagai tempat penyelenggaraan pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri serta kitab-kitab klasik sebagai sumber atau bahan pelajaran.

Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah merupakan sesuatu yang bersifat ―asli‖ atau ―indigenos‖ Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan.35

Dari perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga kependidikan yang tahan terhadap berbagai gelombang modernisasi.36 Dengan kondisi demikian itu, kata Azyumardi Azra, menyebabkan pesantren tetap survive sampai hari ini. Sejak dilancarkannya perubahan atau modernisasi pendidikan Islam di berbagai Dunia Islam, tidak banyak lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Kebanyakannya lenyap setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau sekuler37. Nilai-nilai progresif dan inovatif diadopsi sebagai suatu strategi untuk mengejar ketertinggalan dari model pendidikan lain. Dengan demikian, pesantren mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern.

Di sisi lain, ciri-ciri pesantren berikut unsur-unsur kelembagaannya tidak bisa dipisahkan dari sistem kultural dan tidak dapat pula dilekatkan pada semua pesantren secara

34

Sudjoko Prasodjo, et al. ―Profit Pesantren‖, dalam Abuddin Nata (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 104.

35 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 103. 36 Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004) h.157. 37

(28)

uniformitas karena setiap pesantren memiliki keunikannya masing-masing, tetapi pesantren secara umum memiliki kateristik yang hampir sama, di antara karakteristik pesantren itu dari segi;

a. Materi pelajaran dan metode pengajaran

Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren pada dasarnya hanya mengajarkan agama, sedangkan kajian atau mata pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning). Pelajaran agama yang dikaji di pesantren ialah Al-Qur‘an dengan tajwid dan tafsirnya, aqa‘id dan ilmu kalam, fikih dan ushul fikih, hadis dengan mushthalah hadis, bahasa Arab dengan ilmunya, tarikh, mantiq, dan tasawuf.

Adapun metode yang lazim digunakan dalam pendidikan pesantren ialah;

1) Wetonan, yakni suatu metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu. Pelajaran diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum atau sesudah melaksanakan shalat fardhu. Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan, sedangkan di Sumatera di sebut dengan halaqah.

2) Metode Sorogan, yakni suatu metode di mana santri mengahadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Metode sorogan ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan Islam tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi santri/kendatipun demikian, metode ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab langsung. 3) Metode Hafalan, yakni suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat

tertentu dari kitab yang dipelajarinya.38 b. Jenjang Pendidikan

Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalas. lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya. kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Jadi, jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal, tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

38

(29)

c. Fungsi Pesantren

Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran keagamaan. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah, sekolah umum, perguruan tinggi) dan nonformal. Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak-anak dari segala lapisan masyarakat muslim tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif yang berbeda-beda. Sebagai lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yakni sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi para jamaah.

Di samping fungsi di atas, pesantren juga mempunyai peranan yang sangat besar dalam merespons ekspansi politik imperialis Belanda39 dalam bentuk menolak segala sesuatu yang ―berbau‖ barat dengan menutup diri dan menaruh sikap curiga terhadap unsur-unsur asing.40 Dan lebih dari itu, pesantren sebagai tempat mengobarkan semangat jihad untuk mengusir penjajah dari tanah air.

d. Kehidupan Kiai dan Santri

Berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai yang menetap (bermukim) di suatu tempat. Kemudian datanglah santri yang ingin belajar kepadanya dan turut pula bermukim di tempat itu. Sedangkan biaya kehidupan dan pendidikan disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat di sekitarnya. Hal ini memungkinkan kehidupan pesantren bisa berjalan stabil tanpa dipengaruhi oleh gejolak ekonomi di luar.41

Eksistensi kiai dalam pesantren merupakan lambang kewahyuan yang selalu disegani, dipatuhi dan dihormati secara ikhlas. Para santri dan masyarakat sekitar selalu berusaha agar dapat dekat dengan kiai untuk memperoleh berkah, sebab menurut anggapan mereka seperti yang dikatakan oleh Zamakhsyari Dhofier, ―kiai memiliki kedudukan yang tak terjangkau, yang tak dapat sekolah dan masyarakat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam‖42

Tegasnya, kiai adalah tempat

39

Ahmad Mansyur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), cet. IV; h. 130.

40

Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Kittab 26. (Jakarta: Erlangga, 1992), h. 41.

41

Muhammad Daud Ali. Lembaga-lemhaga Islam di Indonesia. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persacla, 1995), h. 149.

42

(30)

bertanya atau sumber referensi, tempat menyelesaikan segala urusan dan tempat meminta nasihat dan fatwa.43

Berikut ini dipaparkan beberapa ciri yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Setidak-tidaknya ada delapan ciri pendidikan pesantren, sebagai berikut.

1) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya 2) Adanya kepatuhan santri kepada kiai.

3) hidup hemat dan penuh kesederhanaan 4) kemandirian

5) jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan 6) kedisiplinan

7) berani menderita untuk mencapai suatu tujuan 8) pemberian ijazah.44

Perlu dicatat bahwa ciri-ciri di atas merupakan gambaran sosok pesantren dalam bentuk yang masih murni, yaitu pesantren tradisional. Sementara dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus pada sebagian besar pesantren. Maka pada akhir-akhir ini akan sulit ditemukan sebuah pesantren yang bercorak tradisional murni. Karena pesantren sekarang telah mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga menjadi corak yang berbeda-beda.

Dilihat dari proses transformasi tersebut, sekurang-kurangnya pesantren dapat dibedakan menjadi tiga corak, yaitu pertama, pesantren tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya pesantren corak ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam memper-tahankan tradisi-tradisi keislaman.45 Kedua, pesantren tradisional, corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi tidak sepenuhnya. Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara. Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat menambah wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab

43 Abuddin Nata, Op. cit. h. 140. 44 Ibid, h. 118-119.

45

(31)

klasik. Manajemen dan administrasi sudah mulai ditata secara modern meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai dipungut. Alumni pesantren corak ini cendrung melanjutkan pendidikannya ke sekolah atau perguruan tinggi formal. Ketiga, pesantren modern. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan bakat dan minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa Arab dan Inggris) sangat ditekankan.

4. Madrasah

Sejarah dan perkembangan madrasah akan dibagi dalam dua periode yaitu: a. Periode Sebelum Kemerdekaan

Pendidikan dan pengajaran agama Islam dalam bentuk pengajian al-Quran dan pengajian kitab yang diselenggarakan di rumah-rumah, surau, masjid, pesantren, dan lain-lain. Pada perkembangan selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan, materi pengajaran (kurikulum), metode maupun struktur organisasinya, sehingga melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.

Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik yang masih dapat dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu, teknologi dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam (surau dan pesantren) ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang disebut dengan ilmu-ilmu umum.46

Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dapat di kembalikan pada dua situasi yaitu47;

1) Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia

Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia muncul pada awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan

46 Muhammad Daud Ali. Op. cit., h. 49 47

(32)

oleh Karel A Steenbrink dengan mengindentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, antara lain:

a) Keinginan untuk kembali kepada Al-qur‘an dan Hadis b) Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah c) Memperkuat basis gerakan sosial, budaya dan polotik d) Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.

Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan pembaruan Islam yang dimulai oleh usaha beberapa orang tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam.

2) Respons Pendidikan Islam terhadap Kebijakan Pendidikan Hindia Belanda.

Pertama kali bangsa Belanda datang ke Nusantara hanya untuk berdagang, tetapi karena kekayaan alam Nusantara yang sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang tadi berubah untuk menguasai wilayah Nusantara dan menanamkan pengaruh di Nusantara sekaligus dengan mengembangkan pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu, Glory (kemenangan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya salibisasi terhadap umat Islam di Indonesia)48.

Dalam menyebarkan misi-misinya itu, Belanda (VOC) mendirikan sekolah-sekolah kristen. Misalnya di Ambon yang jumlah sekolah-sekolahnya mencapai 16 sekolah-sekolah dan 18 sekolah di sekitar pulau-pulau Ambon, di Batavia sekitar 20 sekolah, padahal sebelumnya sudah ada sekitar 30 sekolah.49 Dengan demikian, untuk daerah Batavia saja, sekolah kristen sudah berjumlah 50 buah. Melalui sekolah-sekolah inilah Belanda menanamkan pengaruhnya di daerah jajahannya.

Pada perkembangan selanjutnya di awal abad ke-20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak-anak bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.

48

H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 94.

49

Gambar

Diagram 1. ―The replacement of CLT with a C-bA‖ (taken from Jarvis & Atsilarat 2004, p

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan; teknik observasi yang digunakan untuk mengamati begaimana metode bermain peran dalam

Terdapat beberapa peneliti yang telah menerapkan metode regresi semiparametrik spline yakni Gilboa dkk [5] yang melakukan penelitian mengenai hubungan antara indeks

Frans Pikey, MSi selaku Koordinator POKJA AMPL Kota Jayapura yang juga Kepala BAPPEDA Kota Jayapura yang dalam sambutannya menyatakan bahwa dalam jangka pendek

Salah satu varietas unggul kencur dengan ukuran rimpang besar adalah varietas unggul asal Bogor (Galesia-1) yang mempunyai ciri sangat spesifik dan berbeda dengan klon

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup lansia yang mengalami sakit osteoartritis di Desa Gumpang dengan indikator instrumen WHOQOL-BREF terdiri dari kualitas dan

• Diprediksi bahwa karakteristik masyarakat desa yang perlu mendapat pelayanan utama BUMDes adalah: (a) masyarakat desa yang dalam mencukupi kebutuhan hidupnya berupa pangan,

Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah menunjukkan sejarah sebagai peristiwa yang telah terjadi pada lampau, karena ..... peristiwa sejarah ditempatkan sebagai

IbuEkawati Prihatini, S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing I (satu) Jurusan Teknik Elektro Program Studi Sarjana Terapan Teknik Elektro Politeknik Negeri Sriwijaya