BAB 5 PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
1. Prosedur penggusuran tanah ada dua macam ;
Pertama, penggusuran dengan pembebasan hak yang harus ditempuh adalah : 1. Pelepasan hak; pelepasan hak adalah suatu perbuatan hukum berupa melepasakan hubungan hukum yang semula terdapat antara pemegang hak dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hingga tanah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi tanah Negara. Pelepsan hak terjadi pada saat pihak yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat sehingga untuk memproleh tanah tersebut tidak bisa dengan pemindahan hak tapi harus ditempuh pelepasan hak terlebih dahulu, setelah tanah menjadi tanah Negara pihak yang membutuhkan tanah mengajukan permohonan hak atas tanah pada Negara sesuai dengan keperluan. Namun, jika status tanah yang ingin diperoleh adalah tanah Negara maka pelepasan hak tidak perlu dilakukan karena subjek yang memerlukan tanah dapat langsung mengajukan permohonan hak.
2. Setelah tanah dilepaskan haknya dan menjadi tanah Negara maka hal yang harus dilakukan untuk memperoleh hak atas tanah adalah dengan permohonan hak. Permohonan hak terjadi bila status tanah adalah tanah Negara, maka satu-satunya cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh hak atas tanah adalah dengan permohonan. Hak-hak yang dapat diperoleh atas tanah yang dikuasai Negara ada 5 macam (hak-hak primer). Subjek dalam hal ini pemerintah mengajukan permohonan hak atas tanah yang diperlukan untuk pembangunan dan yang memenuhi syarat.Maka karena pemerintah dalam hal ini sebagai instansi dan pembangunan yang dilakukan
bukanlah pembangunan untuk kepentingan umum maka hak yang diajukan pemerintah adalah hak pakai.
Kedua, penggusuran dengan pencabutan hak; pencabutan hak adalah suatu perbuatan hukum pengambilan tanah kepunyaan pihak lain oleh pemerintah secara paksa untuk keperluan penyelenggaraan kepentingan umum dengan pemberian ganti rugi yang layak kepada yang mempunyai hak atas tanah. Pencabutan hak perbuatan hukum sepihak yang dilakukan pemerintah.
Dalam melakukan pencabutan hak atas tanah dapat dilakukan pemerintah bila memenuhi syarat-syarat berikut :
1. Tanah diperlukan benar-benar untuk kepentingan umum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undang pertanahan.
2. Merupakan upaya terakhir dalam menguasai tanah yang diperlukan dan hanya digunakan dalam keadaan memaksa
3. Harus ada ganti rugi yang layak.
4. Harus dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden.
Dalam perolehan hak ada satu lagi cara yang dapat ditempuh namun tidak dikatagorikan sebagai penggusuran, yaitu; pemindahan hak. Pemindahan hak adalah suatu perbuatan hukum dalam pengalihan hak atas tanah apabila pihak yang memerlukan tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang
bersedia, dan pemegang hak hak atas tanah tersebut bersedia
mengalihkan/memindahkan haknya.Tanah-tanah yang dapat dipindahkan adalah : Hak milik, Hak guna usaha Hak guna bangunan, Hak pakai atas tanah Negara.
2. Pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum dalam penggusuran dalam hal :
1. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain; disini pemerintah telah melanggar hak milik atas kebendaan dalam hal ini tanah milik Ny. Siti Sumeni dengan mendiami tanah tersebut tanpa haknya sejak tahun 1980 sampai gugatan dimasukan ke pengadilan yaitu pada tahun 1995. Dengan demikian Pemerinta cq. Menteri Koperasi cq Biro Umum Departemen Koperasi cq Bira Hukum dan Organisasi telah menduduki tanah tersebut tanpa hak selama 15 (dua puluh tujuh) tahun. Dikatakan tanpa hak karena pembayaran ganti rugi yang disebut dalam gugatan sebagai pembayaran atas jual beli tanah belum terpenuhi.
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; Pemerintah yang memerlukan tanah untuk pengembangan bangunan tidak berhak memperoleh tanah dengan pencabutan hak maupun pemindahan hak yang berarti pihak yang menerima hak atas tanah akan mendapatkan jenis hak atas tanah yang sama dengan yang dimiliki pihak pemilik tanah sebelumnya. Tanah yang dimiliki Ny. Siti sumeni adalah tanah dengan hak milik sedangkan pemerintah sebagai suatu intitusi tidak berhak atau tidak memenuhi syarat sebagai subjek atas hak milik atsa tanah. Seharusnya pemerintah memperoleh tanah dengan pelepasan hak terlebih dahulu lalu setelah tanah menjadi tanah Negara pemrintah mengajukan permohonan hak atas tanah yang diperlukan dalam hal pembangunan bukan untuk kepentingan umum maka hak yang diperlukan atas tanah adalah hak pakai. Adapun akta pelepasan hak yang dibuat tidak berkekuatan hokum karena mengandung klausula yang beri’tikad buruk dan bertentangan dengan Perturan Mentri dalam Negeri No 15 tahun 1975.
3. Melanggar kesusilaan baik; dengan pemerintah menduduki tanah Ny. Siti Sumeni tanpa hak selama 15 tahun hal itu sudah melanggar norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat karena termasuk dalam perampasan hak milik orang lain.
4. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai benda atau orang lain; dalam masyarakat berlaku norma untuk menghargai hak kebendaan orang lain, disini pemerintah telah melanggar norma dalam pergaulan bermasyarakat dengan menduduki tanah Ny. Siti Sumeni dimana kepemilikan atas tanah masih berada ditangan Ny. Siti Sumeni dan belum beralih. 5.Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian; pemerintah telah melanggar kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian karena pemerintah sebagai suatu instansi seharusnya mengetahui mengenai cara yang harus ditempuh dalam pengadaan tanah karena ketidaktelitian dan kehatia-hatiannya akhrinya pemerintah menempuh proses atau cara yang salah atau tiadak sesuai dengan perundang-undangan pertanahan dalam pengadaan tanah yang diperlukan.
3. Ganti rugi yang dapat diperoleh Ny. Siti Sumeni adalah : 1. Ganti Rugi Materil
Ganti Rugi materil adalah ganti rugi yang secara nyata diderita dan dapat dinilai oleh uang. Maka dalam kasus perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemerintah yang dapat diganti rugi dengan menganalogikan pasal 1243 KUHPer adalah rugi dan bunga karena dengan dikuasainya tanah Ny. Siti Sumeni dalam waktu 15 tahun oleh pemerintah tanpa hak maka kerugian materil yang diderita Ny. Siti Sumeni merupakan keuntungan yang seharusnya Ny. Siti Sumeni dapatkan bila tanah tersebut dikelola atau diusahakan; seperti ditanami tanaman buah atau sayur, disewakan atau pemanfaatan lainnya. Serta merosotnya nilai tanah yang tidak diusahakan/dikelola yang menyebabkan nilai kesuburan tanah menjadi berkurang sehingga nilai ekonomi tanah merosot.
2. Ganti Rugi Immateril
merasakan takut dan cemas akan kehilangan hak atas tanahnya yang dikuasai oleh pihak lain yang kemungkinan tidak dapat kembali lagi karena pihak yang saat ini menguasainya adalah pemerintah yang secara posisi lebih tinggi maka secara tidak langsung memberikan tekanan emosi pada Ny. Siti Sumeni. Rasa takut dan cemas yang dirasakan oleh Ny. Siti Sumeni selama 15 tahun merampas kesenangan hidupnya.
5.2 SARAN
1. Dengan adanya kekeliruan dalam pelaksanaan pengadaan tanah oleh Pemerintah yang seharusnya lebih mengetahui hukum maka terlihat bahwa pengetahuan mengenai pengadaan tanah dari perspektif hokum sangatlah kurang. Terlebih, ditataran masyarakat. Maka sangat perlu diadakan edukasi hokum terkait dengan hokum nasional khususnya mengenai hokum pertanahan nasional yang masih sangat jarang dilakukan sosialisasi ke masyarakat. Hal ini bertujuan untuk perlindungan terhadap para pihak yang memerlukan tanah.
2. Proses pengadaan tanah, baik itu dengan pelepasan ataupun pencabutan hak mensyaratkan adanya ganti rugi. Dalam mengadakan penaksiran mengenai bentuk atau besarnya ganti rugi, panitia pembebasan tanah harus mengadakan musyawarah dengan dengan para pemilik atau pemegang hak atas tanah dan/atau benda atau tanaman yang ada diatasnya (pasal 6 ayat 1 PMDN No. 15/1975. Dalam menetapkan besarnya ganti rugi atas bangunan dan tanaman panitia harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang di tetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian setempat tentang lokasi dan factor-faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga tanah. Tidak hanya berpatok Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang relatif sangat rendah.
3. Musyawah yang disyaratkan dalam penentuan ganti rugi seharusnya dapat terlaksana dengan maksimal bukan hanya dilakukan semata-mata untuk memenuhi formalitas hokum. Dengan adanya musyawarah dapat memperkecil konflik anatara para pihak suhingga kasus-kasus penggusuran tanah tidak akan diselesaikan di Pengadilan yang dapat memakan waktu, biaya dan tenaga yang lebih.