• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAQĀ ID ASY-SYARĪ`AH DALAM BINGKAI PEMIKIRAN ASY-SYĀ IBĪ. Siti Nurjanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAQĀ ID ASY-SYARĪ`AH DALAM BINGKAI PEMIKIRAN ASY-SYĀ IBĪ. Siti Nurjanah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MAQĀ ID ASY-SYARĪ`AH DALAM BINGKAI PEMIKIRAN ASY-SYĀ IBĪ

Siti Nurjanah ♦ Abstract

Asy-Syāthibī had used utilitarianistic methodology when he explore about maqās id asy-syarī`ah by using texs or nash. Asy-Syāthibī has said that all of syara’ law which is covered by text or nash has mashlahah for human. If law didn’t cover mashlahah so that is stopped because it was giving for human always followed by mashlahah for doing it. Asy-Syāthibī has moderate strategy in law. Maqāshid asy-syarī`ah concept for asy-Syāthibī is looking at mashlahah for human really when five of life unsure have been taken care, there are: religion protection (hifz ad-dīn), spirit protection (hifz an-nafs), intelligential protection (hifz al-`aql), eternal human protection (hifz an-nasl), and wealth protection (hifz al-māl). For really that reason, Syāthibī divided maqāshid asy-syarī`ah for three kind, there are dharūriyyāt, hajjiyāt, and tahsīniyyāt. All three can’t be split and then, hajjiyāt is become completer for dharūriyyāt, and tahsīniyyāt is become completer for hajjiyāt, while dharūriyyāt is become main of hajjiyāt and tahsīniyyāt.

Keywords: utilitarianistic methodology, dharūriyyāt,

hajjiyāt, tahsīniyyāt.

Dra. Siti Nurjanah, M. Ag. adalah dosen tetap Jurusan Syari‟ah STAIN Jurai

Siwo Metro Lampung. Telp. (0725) 41507. E-mail: nurjannahimkan@gmail.com. Alamat blog.: nurjannahimkan.blogspot.com.

(2)

Pendahuluan

Islam adalah agama yang dianugerahkan kepada seluruh manusia melalui seorang Nabi terakhir yang ummī sebagai tuntunan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebagai sebuah anugerah dari yang Maha Esa, tentunya segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah murni hanya untuk kepentingan umat, karena Allah adalah zat yang suci dari tujuan-tujuan pribadi.

Perlu diketahui bahwa semua mujtahid dalam menggali hukum, mereka selalu memperhatikan maqās id asy-syarī`ah karena dengannya syari‟at Islam telah membuktikan bahwa ia adalah agama yang mampu untuk menjawab berbagai tantangan dari perkembangan zaman dan peradaban yang tidak bisa kita pungkiri telah memiliki wujud yang selalu berubah-ubah di tiap situasi dan kondisi.

Demikian juga dengan asy-Syātibī yang begitu konsen dalam mempelajari berbagai ilmu dan secara mendalam ia lebih berminat untuk mempelajari bahasa Arab dan khususnya usul fiqh. Ketertarikannya terhadap ilmu usul fiqh karena menurutnya, metodologi dan falsafah fiqh Islam merupakan faktor yang sangat menentukan kekuatan dan kelemahan fiqh dalam menanggapi perubahan sosial.1

Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, asy-Syāt ibī mengembangkan potensi keilmuannya dengan mengajarkannya kepada generasi berikutnya, seperti Abū Yah yā ibn `Ās im, Abū Bakr al-Qād ī, dan Abū `Abdillāh al-Bayanī. Karya asy-Syāt ibī yang terkenal antara lain Jalīl `alā al-Khulās ah

fī an-Nahw dan Us ūl an-Nahw dalam bidang bahasa Arab; al-Muwāfaqāt fī Us ūl asy-Syarī`ah dan al-I’tis ām dalam bidang usul

fiqh. Asy-Syāt ibī wafat pada tanggal 8 Sya`bān 790 H (1388 M).2

1 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi tentang hidup dan

Pemikiran asy-Syatibi, Cet. Ke-1, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1996), hlm. 111.

2 Abdul Azis Dahlan, et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar

(3)

Secara khusus, tulisan ini akan membahas tentang konsep

maqās id asy-syarī`ah yang diuraikan oleh asy-Syāt ibī dalam

bukunya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, dimulai dengan pemaparan pengertian, pembagian, dan keterkaitan antara pembagian-pembagian tersebut.

Pandangan asy- yāt ibī tentang Maqās id asy-Syarī`ah

Al-Qur‟an adalah sumber ajaran yang utama dalam Islam sudah pasti mengandung berbagai ajaran yang terdiri dari aqidah, akhlak, dan syari‟ah. Aqidah berkenaan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkenaan dengan etika, dan syari‟ah berkenaan dengan berbagai aspek hukum yang berasal dari perkataan dan perbuatan. Syari‟ah dalam sistematika hukum Islam terbagi menjadi dua hal, yaitu ibadah dan muamalah.3

Al-Qur‟an bersifat global dalam menerangkan masalah ibadah dan muamalah. Nabi Muhammad saw hadir untuk menjelaskan melalui hadisnya. Maka al-Qur‟an dan hadis menjadi dasar bagi para ulama dalam memahami persoalan-persoalan yang ada pada zamannya.

Tujuan hukum harus diketahui oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur‟an dan hadis. Lebih dari itu, tujuan hukum harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih dapat diterapkan berdasarkan satu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak dapat diterapkan. Dengan demikian "pengetahuan tentang maqās id asy-syarī'ah menjadi kunci bagi keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya".4 Tentu yang

dimaksud dengan persoalan hukum di sini adalah hukum yang menyangkut bidang mu`amalah.

3 `Abdul Wahab Khallāf, `Ilm Us ūl al-Fiqh (Kairo: Dār al-Kuwaitiyah,

1986), hlm. 32.

4 Satria Effendi, Maqashid Al-Syari'at Dan Perubahan Sosial, dimuat dalam

(4)

Diakui bahwa pada dasarnya bidang mu`amalah dalam ilmu fiqh dapat diketahui makna dan rahasia oleh manusia (ma`qulāt

al-ma`nā). Sepanjang masalah itu reasonable maka penelusuran

terhadap masalah-masalah mu`amalah menjadi penting. Dalam hal ini mujtahid dapat, bahkan harus, mempertanyakan mengapa Allah swt dan rasul-Nya menetapkan hukum tertentu dalam bidang mu`amalah. Pertanyaan semacam ini lazim dikemukakan dalam filsafat hukum Islam. Pengaruh lebih jauh dari pertayaan tersebut adalah, apakah suatu aturan hukum tertetu masih dapat diterapkan dalam kasus hukum tertentu.

Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti lebih dahulu hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalinya. Artinya, bahwa dalam menetapkan nas s terhadap satu kasus yang baru, kandungan nas s harus diteliti dengan cermat, temasuk meneliti tujuan disyari'atkan hukum tersebut, setelah itu perlu dilakukan "studi kelayakan" (tanqīh al-manāt ), apakah ayat atau hadis tertentu layak untuk diterapkan pada kasus ayang baru itu. Boleh jadi ada kasus hukum baru yang mirip dengan kasus hukum yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadis. Padahal setelah diadakan penelitian yang seksama, ternyata kasus itu tidak sama. Konsekuensinya, kasus tersebut tidak bisa disamakan hukumnya dengan kasus yang ada pada kedua sumber hukum yang utama itu. Di sinilah letak pentingnya pengetahuan tentang tujuan umum disyari'atkan hukum dalam Islam.

Tujuan Allah swt mensyari'atkan hukumya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari

mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak

dicapai melalui taklīf yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, al-Qur'an dan hadis, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli usul fiqh, ada lima pokok tersebut adalah agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seorang

mukallaf akan memperoleh kemaslahatan, manakala ia dapat

(5)

merasakan adanya mafsadat, manakala ia tidak dapat memelihara kelima unsur dengan baik.

Kegiatan penelitian terhadap tujuan hukum (maqās id

asy-syarī`ah) telah dilakukan oleh para ahli usul fiqh terdahulu.

Al-Juwainī dapat dikatakan sebagai ahli usul fiqh pertama yang menekankan pentingnya memahami maqās id asy-syarī`ah dalam menetapkan hukum. Ia secara tegas menyatakan bahwa seseorang tidak dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia dapat memahami benar tujuan Allah menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya.5 Kemudian ia

mengelaborasi lebih lanjut maqās id asy-syarī`ah itu dalam kaitannya dengan pembahasan ‘illat pada masalah qiyas. Menurut pendapatnya, dalam kaitannya dengan ` illat, as l dapat dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu: kelompok d arūriyyāt, h ājah

al-`āmmah, makramat, sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyyat,

dan hajiyyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.6 Pada dasarnya al-Jawaini mengelompokkan ashl

atau tujuan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu daruriyyat,

al-hajat al-ammat, makramah. Yang terakhir dalam istilah lain disebut tah sīniyyāt.

Kerangka berpikir al-Juwainī di atas kelihatannya dikembangkan oleh muridnya, al-Gazalī. Dalam kitabnya Syifā’ al-

Galīl, al-Gazalī menjelaskan maksud syari‟at dalam kaitannya

dengan pembahasan al-munāsabah al-mas lah iyyah dalam qiyās,7

sementara dalam kitabnya yang lain ia membicarakannya dalam pembahasan istis hāb.8 Mas lah ah, baginya adalah memelihara

maksud asy-syāri`, pembuat hukum. Kemudian ia memerinci

mas lah ah itu menjadi lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal,

keturunan, dan harta.9 Kelima aspek mashlahat ini, menurut

5 Al-Juwainī, al-Burhān fī Us ūl al-Fiqh (tt: Dār al-Ans ār, 1400 H), I: .295.

6 Ibid., II: 923-930

7 Al-Gazalī, Syifā’ al-Galīl fī Bayān al-Syibh wa al-Mukhīl wa Masyākil at-Ta`līl

Bagdad Mat ba`ah al-Irsyād, 1971), hlm. 159.

8 Ibid., hlm. 251.

9 Lihat al-Gazalī, al-Mustas fā min `Ilm al-Usūl Kairo Sayyid al- usein, tt.),

(6)

Gazalī, berada pada peringkat yang berbeda, bila ditinjau dan segi tujuannya, yaitu peringkat d arūriyyāt, h ajiyyāt, dan tah sīniyyāt.10

Dari sini teori maqās id asy-syarī`ah sudah mulai kelihatan bentuknya.

Ahli usul fiqh berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama maqās id asy-syarī`ah, adalah `Izz ad-Dīn Ibn „Abd as- Salām dan kalangan mazhab Syāfi`ī. Dalam kitabnya Qawā`id

al-Ah kām fī Mas ālih al-Anām, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat

maslahat yang diejawantahkan dalam bentuk dar’u al-mafasid wa

jalb al-manāfi` (menghindari mafsadat dan menarik manfaat).11

Baginya, maslahat dunyawiyyāt tidak dapat dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu: d arūriyyāt, h ajiyyāt, dan tatimmāt atau takmīlāt.12

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa taklif bermuara pada kemaslahatan manusia, baik di dunia maupun di akhirat.13

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Ibn „Abd as-Salām telah mencoba mengembangkan prinsip maslahat yang merupakan inti pembahasan dalam maqās id asy-syarī`ah.

Dalam menyikapi hal ini, asy-Syāt ibī menguraikan konsep

maqās id asy-syarī`ah yang dapat digunakan untuk memahami

kehendak syar`ī dalam penentuan hukum setiap persoalan. Sebagai salah seorang ulama ahli ushul fiqh, ia membahas teori

maqās id asy-syarī`ah secara khusus, sistematis, dan jelas dan dia

juga berasal dari kalangan mazhab Mālikī.

Dalam kitabnya al-Muwāfaqāt, ia menghabiskan kurang lebih sepertiga pembahasannya dalam masalah ini. Tentu pembahasan maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas menyatakan bahwa tujuan Allah SWT. mensyari‟atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Karena itu taklīf dalam bidang

hukum harus bermuara pada tujuan hukum tersebut.14

10 Ibid.

11 Ibn „Abd as-Salām, Qawā`id Ah kām fī Mas ālih Anām (Kairo:

al-Istiqāmah, tt.), I: 9.

12 Ibid., II: 60 dan 62.

13 Ibid., hlm. 62.

(7)

Sebagaimana ulama sebelumnya, ia juga membagi peringkat maslahat menjadi tiga peringkat, yaitu d arūriyyāt, h ajiyyāt, dan

tah sīniyyāt.15 Yang dimaksud dengan maslahat baginya adalah

memelihara lima aspek utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.16

Selanjutnya pembahasan secara rinci akan diuraikan bahwa, secara etimologi, maqās id asy-syarī`ah terdiri dari dua kata, yaitu

maqās id dan asy-syarī`ah. Maqās id adalah jama‟ dari maqs ūd

yang berarti tujuan. Sementara asy-syarī`ah artinya jalan menuju sumber air, dan dapat pula diartikan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.17 Selanjutnya seperti dikatakan bahwa maqās id

asy-syarī`ah berarti maksud atau tujuan disyari‟atkan hukum

Islam. Karena itu yang menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan `illat ditetapkannya suatu hukum.18 Dalam perkembangan berikutnya, kajian ini merupakan

kajian utama dalam filsafat hukum Islam. Sehingga dapat dikatakan bahwa istilah maqās id asy-syarī`ah identik dengan filsafat hukum Islam.19

Secara terminologi, asy-Syāt ibī mengatakan bahwa

“sesungguhnya syari‟ah bertujuan untuk mewujudkan

kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”20

Berdasarkan pengertian tersebut, maka tujuan syari‟ah menurut asy-Syāt ibī adalah kemaslahatan umat manusia. Dan tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan, karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan

15 Ibid.

16 Ibid., II: 5.

17 Fazlurrahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), hlm. 140.

18 Ah mad ar-Raisūnī, Nazariyyāt al-Maqās id `inda asy-Syāt ibī (Rabat :

Dār al-Amān, 1991), hlm. 67.

19 S ubhi Mah masānī, Falsafah at-Tasyrī` fī Islam ( ttp.: Dār

al-Kasysyāf, 1952). Bandingkan dengan pernyataan Khalid Mas‟ud dalam memberi judul bukunya mengenai pemikiran asy-Syāt ibī sebagai berikut, Islamic Legal

Philosopy: A Study of Abu Ishak al-Syatibi’s Life and Thought (Delhi: International

Islamic Publishers, 1989).

(8)

membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.21

Kemaslahatan yang dimaksud adalah sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.22

Selanjutnya, kewajiban-kewajiban dalam syari‟ah

menyangkut perlindungan maqās id asy-syarī`ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Asy-Syāt ibī menjelaskan bahwa syari‟ah berurusan dengan perlindungan mas ālih , baik dengan cara yang positif, seperti demi menjaga eksistensi mas ālih, syari‟ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang landasan-landasan mas ālih, maupun dengan cara preventif, seperti syari‟ah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara aktual atau potensial merusak mas ālih.23

Dengan demikian, asy-Syāt ibī terkesan menggunakan metodologi utilitarianistik, yakni usul fiqh yang secara luas menjelaskan relung-relung maqās id asy-syarī`ah dengan didukung oleh teks atau nas s . Jadi menurut asy-Syāt ibī semua hukum syara` yang didukung oleh nas s , pasti mengandung kemaslahatan manusia. Namun ternyata ada sebagian hukum yang tidak mengandung kemaslahatan atau kemaslahatan itu berseberangan dengan nas s . Konsekuensinya, maka bagi asy-Syāt ibī hukum itu harus ditolak atau keberadaan hukum itu adalah batil. Namun kenyataannya bagi asy-Syāt ibī bukan berarti hukum itu harus ditolak, akan tetapi hukum itu

di-mauqūf-kan dengan mengembalikan bahwa semua hukum yang

diturunkan tetap mengandung kemaslahatan baik itu bisa diketahui secara langsung bahkan sama sekali tidak bisa diketahui oleh akal manusia dengan keterbatasannya. Asy-Syāt ibī lebih moderat dalam penentuan hukum.

Pembagian Maqās id asy-Syarī`ah menurut asy-Syāt ibī

21 Ibid., I: 150.

22 Ibid., II: 25.

(9)

Dalam pandangan asy-Syāt ibī, bahwa kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila lima unsur pokok kehidupan dapat diwujudkan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya, yaitu: 1) melindungi agama (h ifz ad-dīn); 2) melindungi jiwa (h ifz

an-nafs); 3) melindungi akal (h ifz al-`aql); 4) melindungi kelestarian

manusia (h ifz an-nasl); 5) melindungi harta benda (h ifz al-māl). Untuk mewujudkan hal itu, maka ia membagi maqās id

asy-syarī`ah menjadi tiga tingkatan, yaitu d arūriyyāt, h ajjiyyāt, dan tah sīniyyāt.24

1. D arūriyyāt

arūriyyāt secara etimologi berarti segala yang mesti ada

demi kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Tentunya hal ini didasarkan pada lima konsep pokok yang mesti dipegang teguh, yakni, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam hal ini merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat. Mengabaikan kelima unsur tersebut merupakan perbuatan yang naif karena akan menimbulkan kerusakandi dunia dan kerugian di akhirat.

Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Seperti dalam menunaikan rukun Islam, melaksanakan kehidupan manusiawi dan larangan mencuri masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.

2. H ajjiyyāt

Maqās id dalam hal ini dimaksudkan untuk memudahkan

kehidupan, menghilangkan kesulitan, atau menjadikan

pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok

(10)

kehidupan manusia. H ajjiyyāt mengandung arti bahwa segala kebutuhan manusia dalam memperoleh kelapangan dan menghindarkan diri dari kesulitan dalam hidupnya, meski kemaslahatan umum tidak menjadi rusak. Contoh maqās id dalam hal ini adalah seperti terkait dengan kebolehan melaksanakan akad mud ārabah, musāqah, muzāra`ah, dan bai` salam, serta berbagai aktifitas ekonomi lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan di dunia. 3. Tah sīniyyāt

Maqās id ketiga ini adalah bertujuan agar manusia dapat

melaksanakan yang terbaik untuk menyempurnakan

pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang, dan penghias kehidupan manusia. Tah sīniyyāt merupakan segala hal yang layak dan pantas menurut akal dan adat kebiasaan serta menjauhi segala yang tercela menurut akal sehat. Sebagai contoh untuk jenis maqās id ini ialah terkait dengan kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.25

Adapun keterkaitan antara d arūriyyāt, h ajjiyyāt, dan

tah sīniyyāt menurut asy-Syāt ibī adalah :

1. Maqās id d arūriyyāt merupakan dasar bagi maqās id

h ajjiyyāt dan maqās id tah sīniyyāt.

2. Kerusakan pada maqās id d arūriyyāt akan membawa kerusakan juga pada maqās id h ajjiyyāt dan maqās id

tah sīniyyāt.

3. Kerusakan pada maqās id h ajjiyyāt dan maqās id

tah sīniyyāt tidak dapat merusak maqās id d arūriyyāt.

4. Kerusakan pada maqās id h ajjiyyāt dan maqās id

tah sīniyyāt yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqās id d arūriyyāt.

(11)

5. Pemeliharaan maqās id h ajjiyyāt dan maqās id tah sīniyyāt diperlukan demi pemeliharaan maqās id d arūriyyāt secara tepat26.

Denga n demikian, dalam pandangan asy-Syāt ibī bahwa untuk mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqās id tersebut tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, bahwa tingkat h ajjiyyāt merupakan penyempurna tingkat d arūriyyāt, tingkat tah sīniyyāt merupakan penyempurna bagi tingkat h ajjiyyāt, sedangkan d arūriyyāt menjadi pokok dari

h ajjiyyāt dan tah sīniyyāt.

Kemudian asy-Syathibi dalam penelitiannya mengambil ayat-ayat al-Qur'an dan teks hadis sebagai materi atau bahan penelitiannya dan selanjutnya ia memusatkan perhatian pada tujuan wahyu Tuhan yang berhubungan dengan hukum sebagai saran atau obyek penelitiannya. Ayat-ayat al-Qur'an dan teks hadis yang dimaksud adalah : (1) Dan tidak Kami utus

engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (QS. 21:107), (2) Wahai segenap manusia, telah datang kepadamu mau`i ah (pengajaran) dari Tuhanmu dan syifā' (obat) bagi apa yang di dalam hatimu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS. 10:57). (3) Dan barangsiapa yang bersyukur; maka hanyalah bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang kafir, sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya Lagi Maha Mulia (QS. 27:40), (4) Allah tidak menghendaki supaya Ia menjadikan bagimu suatu kesempitan, tetapi Ia ingin supaya mensucikanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu. Mudah-mudahan kamu bersyukur (QS. 5:6), (5) Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar (QS. 29:45), (6) Ambillah sedekah (zakat) dari harta mereka yang akan membersihkan dan mensucikan dengannya ...(QS. 9:103), (7) Telah diwajibkan puasa atas dirimu, sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelummu, supanya kamu menjadi orang-orang yang taqwa kepada-Nya (QS. 2:183), (8) Supaya mereka menyaksikan menghadiri mnnfaa untuk mereka ... (QS. 22:28), (9) Dan

(12)

janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim (al-hukum) (QS. 2:188), (10) Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS. 6:108), (11) Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya khamar dan judi, maka jawablah, bahwa keduanya itu ada suatu dosa besar; di samping itu juga bemanfaat bagi manusia (QS. 2:219), (12) Yang halal sudah jelas dan yang haram sudah jelas, di antara keduanya ada beberapa perkara yang belum jelas hukumnya (hadis riwayat.

Bukhari dan Muslim).

Ayat-ayat al-Qur'an dan hadis tersebut di atas, menurut Abū Ish āq Ibrāhīm asy-Syāt ibī, terbukti memberikan faedah yang meyakinkan bahwa di antara rahmat Allah terhadap manusia dalam menetapkan syari`at ialah Allah sengaja memelihara keseimbangan antara kemaslahatan perorangan dengan kepentingan masyarakat, apa yang ditetapkan oleh syari‟at sebagai kebolehan atau kewajiban yang difardukan atas manusia, berarti bermanfaat murni bagi manusia, atau manfaatnya lebih besar dari mudaratnya atau ia dapat merealisasikan manfaat untuk jumlah manusia yang terbesar, dan apa yang ditetapkan oleh syari`at sebagai keharaman atau kemakruhan disebabkan ia murni tidak baik, atau kerusakannya lebih besar daripada manfaatnya, atau karena ia merusak kepentingan jumlah terbesar manusia.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian dan pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan teks hadis tersebut di atas ditinjau dari aspek hukum ialah hukum adalah salah satu rahmat Allah, tujuannya untuk memelihara keseimbangan antara kemaslahatan perorangan dengan kepentingan masyarakat, setiap sesuatu mengandung maslahat murni di dalam dirinya atau sebaliknya setiap sesuatu mengandung mudarat murni di dalam dirinya mengandung maslahat dan mudarat.

(13)

Hasil temuan dari penelitian asy-Syāt ibī tersebut menjadi kerangka teori untuk penelitian-penelitian hukum Islam selanjutnya, sehingga muncullah konsep maqās id

asy-syarī`ah dalam hukum Islam. Pembahasan terhadap konsep maqās id asy-syarī`ah melahirkan konsep baru dalam hukum

Islam, yaitu konsep mas lah ah. Dalam pembahasan konsep

mas lah ah muncul metode-metode penetapan hukum dalam

Islam, salah satu diantaranya adalah metode sad a - arī`ah. Konsep maqās id asy-syarī`ah dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu: pertama, dimensi qas d asy-Syāri` (tujuan Pembuat Hukum); dan kedua, qas d al-mukallaf (tujuan subyek hukum). Dimensi pertama dari qas d asy-Syāri` (tujuan Pembuat Hukum) berhubungan dengan (1) tujuan pokok Pembuat hukum dalam melembagakan hukum, (2) tujuan melembagakan hukum adalah agar bisa dipahami (ifhām), (3) tujuan melembagakan hukum adalah untuk menuntut kewajiban (taklif), (4) tujuannya dalam memasukkan mukallaf (subyek hukum) ke dalam perintahnya.

Dimensi qas d asy-Syar` dari aspek (1) tujuan pokok pembuat hukum berkaitan dengan maslahat, yakni berhubungan dengan derajat-derajat, ciri-ciri, serta relativitas atau kemutlakannya. Dari aspek (2) tujuan membuat hukum agar bisa dipahami berkaitan dengan kebahasaan masalah

taklīf. Suatu perintah yang merupakan taklīf (kewajiban)

mengandung tuntutan untuk dipahami oleh semua subyeknya, tidak hanya kata-kata dan kalimat-kalimat saja, tetapi juga dalam makna kebahasaan dan budaya pemahaman yang berhubungan dengan ad-dalālah al-as liyyah (arti kata dasar) dan ad-dalālah al-`amiyah (arti yang dipahami oleh masyarakat). Dari aspek (3) menyangkut gagasan taklīf dalam

kaitannya dengan qudrah (kemampuan), masyaqqah

(kesulitan), dan lain-lain. Dari aspek (4) tujuannya dalam memasukkan mukallaf ke dalam perintahnya berkaitan dengan

huzuz (kepentingan) dalam hubungannya dengan `ādah atau hawā dan ta`abbud.

(14)

Tujuan hukum Islam bertumpu pada maslahat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebagai diri sendiri, tersusun dari jiwa dan raga, mempunyai sifat individu dan sosial, sebagai bagian dari alam. Kewajiban-kewajiban dalam syari‟at menyangkut perlindungan maqās id asy-syarī`ah, dan pada

gilirannya bertujuan melindungi maslahat manusia.

Perlindungan maqās id asy-syarī`ah terhadap maslahat dapat melalui cara positif, misalnya demi memelihara eksistensi maslahat, syari‟at mengambil tindakan-tindakan untuk menopang landasan-landasan maslahat tersebut, atau melalui cara preventif untuk mencegah hilangnya maslahat, misalnya demi melindungi eksistensi maslahat, syari‟at mengambil tindakan-tindakan untuk melenyapkan unsur apa pun yang secara aktual atau potensial merusak maslahat.

Maslahat, sebagaimana ditetapkan oleh ahli usul fikih, mempunyai tiga urutan pokok yaitu (1) maslahat d arūriyyāt (2) maslahat h ajiyyāt (3) maslahat tah sīniyyāt. Keberadaan maslahat d arūriyyāt mutlak diperlukan dalam melindungi kepentingan manusia. Sesuatu yang tanpa maslahat ini, maka sesuatu itu tidak ada (mati), atau dalam bahasa asy-Syāt ibī: “jika maslahat ini rusak, maka stabilitas maslahat pun rusak. Kerusakan maslahat mengakibatkan terputusnya kehidupan di dunia, dan di akhirat mengakibatkan hilangnya keselamatan dan rahmat. Atau dalam bahasa Juhaya, S. Praja: “tujuan primer

ad -d arūrī) hukum Islam ini mesti ada demi adanya kehidupan

manusia. Apabila tujuan ini tidak tercapai, maka akan menimbulkan ketidak ajegan kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat, bahkan merusak kehidupan itu sendiri.

Maslahat d arūriyyāt tersebut bertumpu pada

pemeliharaan lima hal penting, berdasarkan skala prioritas yang berjenjang (berurutan) yaitu (1) memelihara agama (2) memelihara jiwa (3) memelihara akal (4) memelihara keturunan (5) memelihara harta. Kata "memelihara" mempunyai dua aspek pengertian, pertama aspek yang menguatkan unsur-unsurnya dalam mengokohkan landasannya, yang disebut h if ad-dīn

(15)

kalimat syahadat, salat, zakat, puasa, dan haji); h if an-nafs min

jānib al-wujūd, dan h if al-`aql min jānib al-wujūd (seperti

makanan, pakaian, dan tempat tinggal); h if an-nasl min jānib

al-wujūd (seperti aturan tentang pernikahan); h if al-māl min jānib al-wujūd ;seperti kewajiban mencari rezeki yang halal dan

aturan aturan dalam bidang muamalat), kedua aspek yang mengantisipasi agar kelima hal di atas tidak terganggu dan tetap terjaga, yang biasa disebut h if ad-dīn min jānib al-`adam dan seterusnya (an-nafs, al-`aql, an-nasl, dan al-māl) Dalam pengertian yang kedua ini, jika kelima hal pokok (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) diganggu, maka pelakunya dikenakan sanksi; seperti sanksi terhadap perusak agama, pembunuh, peminum khamar, pezina, pencuri, dan sebagainya. Menurut Yusuf Qardhawi, kelima haI pokok tersebut telah disepakati oleh para ulama sebagai tujuan primer

d arūriyyāt) yang dipelihara dalam hukum Islam. Akan tetapi

Imām al-Qarrāfī menambahkan jumlah yang lima ini menjadi enam yaitu memelihara kehormatan atau harga diri. Alasannya, syari‟at mengharamkan gībah atau fitnah (menggunjing, mengumpat) dan melarang qa f az-zinā (menuduh orang berbuat zina). Ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan perlindungan kehormatan atau harga diri (1) Hai orang-orang

beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu makan daging saudaranya yang sudah Mati ? (QS.

49:12), (2) Sesungguhnya orang-orang yang menuduh

perempuan-perempuan yang beriman, bersih dan jujur, mereka itu dilaknat di dunia dan di akhirat serta bagi mereka siksaan

-yang besar (QS. 24:23), (3) Sesungguhnya orang-orang -yang memfitnah kepada orang-orang mu'min laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab jahanam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar (QS.

85:10), bahkan al-Qur'an sendiri menyatakan bahwa fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan (QS. 2:191). Imām al-Qarrāfī menutup alasan ini dengan menambahkan sebuah

(16)

hadis, orang Islam itu haram darahnya, harga diri, dan hartanya

atas orang Islam yang lain (hadis riwayat Bukhārī dan Muslim).

Di dalam hadis ini harga diri dirangkaikan dengan darah dan didahulukan atas harta.

Hubungan antara maslahat d arūriyyāt, h ajiyyāt, dan

tah sīniyyāt, menurut asy-Syāt ibī sama dengan hubungan

antara maslahat pelengkap dengan tujuan semula hukum. Dengan demikian, maslahat tah sīniyyāt berfungsi sebagai pelengkap bagi maslahat d arūriyyāt. Maslahat d arūriyyāt adalah dasar dari semua maslahat. Maslahat h ajiyyāt dibutuhkan untuk memperluas (tawassu`) tujuan maqās id dan menghilangkan keketatan makna harfiah yang penerapannya membawa kepada rintangan-rintangan dan kesulitan-kesulitan yang akhirnya merusak maqās id. Dengan demikian, jika maslahat h ajiyyāt tidak dipertimbangkan bersama maslahat

d arūriyyāt, maka manusia secara keseluruhan akan

menghadapi kesulitan. Akan tetapi rusaknya maslahat h ajiyyāt tidak akan merusak seluruh maslahat, berbeda dengan rusaknya maslahat d arūriyyāt yang pasti akan merusak seluruh maslahat. Contohnva dalam bidang ibadah, keringanan-keringanan dalam salat dan puasa dikarenakan sakit atau melakukan perjalanan, jika tidak ada keringanan tersebut, maka akan timbul kesulitan dalam melaksanakan kewajiban salat, puasa, dan lain-lain. Sedangkan maslahat

tah sīniyyāt yang berarti mengambil apa yang sesuai dengan

kebiasaan (`ādat) yang paling baik dan menghindari cara-cara yang tidak disukai oleh orang-orang yang bijaksana. Tujuan maslahat ini untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik dan paling baik menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat. Misalnya menutup aurat, mensucikan, dan membersihkan najis dari tempat ibadah, berhias, melaksanakan kebaikan dalam bentuk sadaqah, dan sebagainya.

(17)

Pengetahuan dari berbagai varian ilmu yang beragam yang dimiliki asy-Syāt ibī membuatnya berbeda dengan ulama Islam lainnya. Jika pada umumnya ulama-ulama Islam lebih bersifat kaku karena tunduk pada dogma kitab suci, asy-Syāt ibī lebih bersikap lunak dalam memahami mutiara yang terkandung dalam al-Qur‟an dengan cara memadukan berbagai pengetahuan yang ia miliki. Tidak mengherankan bila berbagai serpihan-serpihan pemikiran asy-Syāt ibī yang terangkum dalam berbagai karya-karyanya mendapat tempat di hati umat Islam meski berbeda-beda kelompok.

Asy-Syāt ibī menyebut dalam maqās id asy-syarī`ah ada tiga macam mas lah ah, yaitu d arūriyyāt, h ajjiyyāt, dan

tah sīniyyāt. Secara etimologi, d arūriyyāt berarti segala yang

mesti ada demi kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik duniawi maupun ukhrawi. Tentunya hal ini didasarkan pada lima konsep pokok yang mesti dipegang teguh, yakni, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kedua, h ajjiyyāt, ini mengandung arti bahwa segala kebutuhan manusia dalam memperoleh kelapangan dan menghindarkan diri dari kesulitan dalam hidupnya, meski kemaslahatan umum tidak menjadi rusak. Terakhir, tah sīniyyāt merupakan segala hal yang layak dan pantas menurut akal dan adat kebiasaan serta menjauhi segala yang tercela menurut akal sehat. Dan ketiganya tdak dapat dipisahkan. Bagi asy-Syāt ibī bahwa tingkat h ajjiyyāt merupakan penyempurna tingkat d arūriyyāt, tingkat tah sīniyyāt merupakan penyempurna bagi tingkat h ajjiyyāt, sedangkan

d arūriyyāt menjadi pokok dari h ajjiyyāt dan tah sīniyyāt.

Daftar Pustaka

Abdul Azis Dahlan, et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996.

Fazlurrahman, Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1984.

Al-Gazalī, Syifā’ al-Galīl fī Bayān al-Syibh wa al-Mukhīl wa Masyākil

(18)

---, al-Mustas fā min `Ilm al-Usūl, Kairo Sayyid al- usein, tt. Al-Juwainī, al-Burhān fī Us ūl al-Fiqh, tt Dār al-Ans ār, 1400 . Khalid Mas‟ud, Islamic Legal Philosopy: A Study of Abu Ishak

al-Syatibi’s Life and Thought, Delhi: International Islamic

Publishers, 1989.

Khallāf, `Abdul Wahab, `Ilm Ushūl Fiqh, Kairo Dār al-Kuwaitiyah, 1986.

Mahmasānī, Subhi, Falsafah at-Tasyrī` fī Islam, ttp. Dār al-Kasysyāf, 1952.

Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Islam: Studi tentang

hidup dan Pemikiran asy-Syatibi, Cet. Ke-1, Bandung: Penerbit

Pustaka, 1996.

ar-Raisūnī, Ahmad, Na ariyyāt al-Maqāshid `inda asy-Syāthibī, Rabath Dār al-Amān, 1991.

as-Salām, Ibn „Abd, awā`id Ah kām fī Mas ālih Anām, Kairo: al-Istiqāmah, tt.

Satria Effendi, Maqashid Al-Syari'at Dan Perubahan Sosial, dimuat dalam Dialog, Badan Litbang-Depag, No 33 Tahun XV, Januari 1991.

asy-Syāthibī, al-Muwāfaqāt fī Ushūl asy-Syarī`ah, Kairo: Mushthafā Muhammad, tt.

Referensi

Dokumen terkait

Kedua, Skripsi yang disusun oleh Hafidz Ridho dengan judul “Keharusan Perceraian Di Sidang Pengadilan dalam Pasal 115 KHI (Tinjauan Maqāṣid asy-syarī’ah).” 11

Dalam skripsi ini penyusun meneliti pandangan Kepala KUA se- Kota Yogyakarta mengenai penetapan awal masa „iddah bagi wanita yang cerai gugat, dan menganalisis

Mengenai berbedaan pandangan terhadap pemaksaan hubungan seksual kepada isteri yang diatur dalam fikih Islam dan Undang-undang PKDRT, dapat mencapai tujuan hukum

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik tingkat kecemasan dan kualitas tidur dengan

Dari segi bilangan graduan yang diperlukan untuk memenuhi pasaran pekerjaan tempatan, berdasarkan kepada trend perkembangan industri sepanjang lima (5) tahun yang lalu

Keenam, dharfiyyah, ialah yang diungkapkan dalam suatu kalimat adalah bentuk dharaf-nya (letak), sementara yang dimaksud adalah madhruf-nya (yang diletakkan).. Yang

Ketua Ketua Lingkungan Lingkungan Ketua Ketua Wilayah Wilayah Sekretariat Sekretariat Paroki Paroki Seksi Katekese Seksi Katekese DPP DPP Seksi Liturgi Seksi Liturgi DPP DPP

Hasil uji tipe emulsi yang menunjukkan bahwa sediaan krim tabir surya termasuk dalam krim tipe m/a, dapat dilihat pada saat krim diencerkan dengan aquadest krim