• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian Tanggung Jawab

Sikap tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Mengenai tanggung jawab itu sendiri terdapat beberapa pengertian diantaranya menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia tanggung jawab diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb) (W.J.S Poerwadarminta, 1976:1014).

Purbacaraka (2010: 37) berpendapat bahwa tanggung jawab hukum bersumber atau lahir atas penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak atau/dan melaksanakan kewajiban. Lebih lanjut ditegaskan, setiap pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak baik yang dilakukan secara tidak memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai dengan pertanggung jawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.

Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis.

(2)

Ketentuan perundang-undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan (Komariah, 2001 : 12).

B. Tinjauan tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian

Dalam buku III KUH Perdata pada Pasal 1313 menyebutkan bahwa: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Abdulkadir Muhammad (1990: 78) berpendapat bahwa pengertian perjanjian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan mempunyai kelemahan-kelemahan, antara lain:

1) Rumusan ini hanya cocok untuk perjanjian sepihak karena kata “mengikatkan” hanya datang dari dari salah satu pihak, (tidak antara kedua belah pihak).

2) Pengertian perjanjian terlalu luas, karena tidak disebutkan mengikatkan diri terbatas pada lapangan hukum kekayaan, sehingga dapat pula mencakup perjanjian perkawinan dalam lapangan hukum keluarga.

3) Tanpa menyebut tujuan, sehingga para pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.

(3)

Menurut RM. Suryodiningrat (1982: 78), batasan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata kurang lengkap dan banyak mempunyai kelemahan, antara lain:

1) Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan setiap sumber perikatan. Sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, maka setiap janji adalah persetujuan. Tidak dijelaskan maksud dari kata “Perbuatan”, karena mempunyai akibat hukum adalah perbuatan hukum

2) Definisi dalam Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak saja yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi

3) Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan yang menimbulkan perikatan yang disebut perjanjian obligatoir (memberi hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak) dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya.

Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, maka beberapa ahli hukum mencoba merumuskan definisi perjanjian yang lebih lengkap, yaitu:

1) Subekti

“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, atau dimana dua orang itu berjanji

(4)

untuk melaksanakan suatu hal” (Subekti dalam Buku H.R Daeng Naja, 2009: 84).

2) Abdulkadir Muhammad

“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan” (Abdulkadir Muhammad, 2000: 224).

3) Handri Raharjo

“Perjanjian merupakan suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subyek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subyek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para phak tersebut serta menimbulkan akibat hukum” (Handri Raharjo, 2009: 42).

4) KRMT Tirtodiningrat

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh Undang-undang (KRMT Tirtodiningrat dalam Buku Agus Yudha Hernoko, 2008: 14).

(5)

5) Salim H.S.

Menurut Salim H.S (2005: 15), definisi perjanjian dalam buku 1313 KUH Perdata adalah memiliki kelemahan sebagai berikut:

a) Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian

b) Tidak tampak asas konsensualisme c) Bersifat dualisme

Berdasarkan kelemahan tersebut Menurut Salim HS (2005: 17), pengertian perjanjian adalah: “perjanjian atau kontrak adalah hubungan hukum antara subyek hukum satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan. Subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu pula subyek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya”.

Perjanjian (kontrak) adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa orang lain. Untuk mempermudah memperoleh keperluan-keperluan hidupnya manusia di dalam pergaulan masyarakat saling mengadakan hubungan dan persetujuan-persetujuan berdasarkan persesuaian kehendak. Dari persetujuan-persetujuan itu timbul akibat-akibat hukum yang mengikat kedua belah pihak dan

(6)

persetujuan-persetujuan yang demikian disebut perjanjian (C.S.T. Kansil, 1989: 250).

Pengertian perjanjian secara umum dapat diartikan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki oleh para pihak, termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit perjanjian diartikan bahwa ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan seperti yang dimaksud oleh buku III KUH Perdata (Susilo Wadani, 2005 : 6).

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat (Abdulkadir Muhammad, 2000: 231):

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.

Akibat hukum tidak adanya persetejuan kehendak (karena paksaan, kekhilafan, maupun penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Menurut ketentuan Pasal 1454 KUH Perdata,

(7)

bahwa pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu 5 (tahun), dalam hal terdapat kekhilafan, penipuan itu. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, artinya para

pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Akibat hukum ketidakcakapan membuat perjanjian ialah bahwa perjanjian yang telah dibuat itu dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim, dan apabila pembatalannya tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan maka perjanjian tetap berlaku.

3) Suatu hal tertentu maksudnya bahwa perjanjian yang dibuat harus mengenai suatu objek tertentu.

4) Suatu sebab yang halal, maksudnya isi dan tujuan dalam perjanjian haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

3. Akibat Perjanjian yang Sah

Bahwa suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata). Demikian pula suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-undang (Pasal 1339 KUH Perdata). Meskipun demikian, setiap kreditur dapat

(8)

membatalkan segala tindakan yang dilakukan oleh pihak debitur yang bertujuan merugikan kepentingan pihak kreditur (Actio Paulina, Pasal 1341 KUH Perdata) (Djaja S. Meliala, 2007: 98-99).

Oleh karena itu hakim tidak dapat menggunakan Pasal 1338 ayat (3) untuk mengubah atau membatalkan perjanjian yang bersangkutan. Pasal 1338 hanya tertuju pada pelaksanaan bukan sahnya suatu perjanjian (Susilo Wardani, 2005: 96).

Menurut Abdulkadir Muhammad (2000: 234-235) perjanjian yang sah adalah yang memenuhi syarat seperti tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, serta menimbulkan akibat hukum:

1) Berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang bagi pihak-pihak, artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya. Jika ada yang melanggar, maka ia dianggap melanggar Undang-undang sehingga dapat diberi sanksi hukum tertentu.

2) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak.

Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali atau

(9)

dibatalkan secara sepihak saja tanpa persetujuan pihak lainnya.

3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Maksudnya adalah bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

4. Berakhirnya Perjanjian

Menurut R. Setiawan (1987: 68) perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir apabila:

1) Ditentukan oleh undang-undang

2) Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat 3 KUH Perdata)

3) Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus

4) Adanya pernyataan penghentian persetujuan atau perjanjian 5) Perjanjian hapus karena putusan hakim

6) Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai.

Sedangkan menurut Djaja S. Meliala (2007: 110) berakhirnya perjanjian adalah sebagai berikut:

1) Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu

(10)

2) Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian

3) Salah satu pihak meninggal dunia

4) Salah satu pihak atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian

5) Karena putusan hakim

6) Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai 7) Dengan persetujuan para pihak.

5. Asas-asas Hukum Perjanjian

Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan. Beberapa asas perjanjian sebagaimana diatur dalam buku III KUH Perdata, yaitu:

1) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Semua perjanjian perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Asas kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang-undang,

(11)

ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini memiliki ruang lingkup kebebasan untuk:

a) Membuat atau tidak membuat perjanjian b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun

c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan perjanjian, dan persyaratannya

d) Menentukan objek perjanjian

e) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan (Handri Raharjo, 2009: 43-44).

2) Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang mengandung pengertian bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (consensus) antara pihak-pihak mengenai dan mempunyai akibat hukum (Handri Raharjo, 2009: 44).

3) Asas Mengikatnya Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda) Asas ini dapat disimpulkan dalam ketentuan 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu adanya kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian (Handri Raharjo, 2009: 45).

4) Asas Itikad Baik (Togoe dentrow)

Asas ini teracntum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang berbunyi:

(12)

“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik ada 2 yaitu:

a) Bersifat objektif, artinya megindahkan kepatutan dan kesusilaan

b) Bersifat subjektif, ditentukan oleh sifat batin seseorang (Handri Raharjo, 2009: 45).

C. Kredit dan Perjanjian Kredit 1. Pengertian Kredit

Istilah kredit bukan merupakan hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, karena sering dijumpai pada anggota masyarakat yang melakukan jual beli barang secara kredit. Jual beli tersebut tidak dilakukan secara tunai (kontan), tetapi dengan cara mengangsur. Masyarakat pada umumnya mengartikankredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka harus membayar lunas. Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang berarti kepercayaan akan kebenaran, dan apabila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa pihak bank selaku kreditur memberikan kepercayaan untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah atau debitur, karena debitur dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan (Gatot Supramono, 1996: 44).

(13)

Mengenai istilah kredit, terdapat beberapa pengertian antara lain:

1) Pengertian kredit menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pada Pasal 1 angka 11 mengalami sedikit perubahan, selengkapnya adalah sebagai berikut:

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminajam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.”

2) Menurut ketentuan Pasal 1 butir 5 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang dimaksud dengan kredit adalah: “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga termasuk:

a) cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari

b) pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak-piutang

c) prngambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain" 3) Menurut R. Subekti (1991: 1), kredit berarti kepercayaan.

Seorang nasabah yang mendapat kredit dari bank memang adalah orang yang mendapat kepercayaan dari bank.

(14)

4) Menurut Muchdarsyah Sinungan (1993: 212), kredit adalah uang bank yang dipinjamkan kepada nasabah dan akan dikembalikan pada suatu waktu tertentu di masa mendatang disertai dengan suatu kontaprestasi berupa bunga.

2. Unsur-unsur Kredit

Menurut Thomas Suyatno dalam buku Muhammad Djumhana menyebutkan unsur-unsur kredit antara lain:

1) Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya, baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. 2) Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara

pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai agio dari uang yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang

3) Degree of risk, yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit yang

(15)

diberikan, semakin tinggi pula tingkat risikonya karena sejauh-jauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Dengan adanya unsur risiko inilah maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit.

4) Prestasi, pestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktik perkreditan (Muhamad Djumhana, 2006: 478-479).

3. Fungsi Kredit

Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang bagi kedua belah pihak untuk saling menolong untuk tujuan pencapaian kebutuhan, baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari. Pihak yang mendapat kredit harus dapat menunjukan prestasi yang lebih tinggi berupa kemajuan-kemajuan pada usahanya atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya. Menurut Muhamad Djumhana dalam bukunya “hukum perbankan di Indonesia” fungsi kredit adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan daya guna uang

(16)

3) Meningkatkan daya guna dan peredaran barang 4) Salah satu alat stabilitas ekonomi

5) Meningkatkan kegairahan berusaha 6) Meningkakan pemerataan pendapatan

7) Meningkatkan hubungan internasional (Muhamad Djumhana, 2006: 480-489).

4. Jenis Kredit

Berdasarkan jangka waktu dan penggunaannya kredit dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:

1) Kredit Investasi, yaitu kredit jangka menengah atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi, modernisasi, perluasan ataupun pendirian proyek baru, misalnya pembelian tanah dan bangunan untuk perluasan pabrik, yang pelunasannya dari hasil usaha dengan barang-barang modal yang dibiayai tersebut. Jadi kredit investasi adalah kredit jangka menengah atau panjang yang tujuannya untuk pembelian barang modal dan jasa yang diperlukan untuk rehabilitasi, modernisasi, perluasan proyek penempatan kembali dan/atau pembuatan proyek baru.

2) Kredit modal kerja, yaitu kredit modal kerja yang diberikan baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam satu siklus usaha dengan

(17)

jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan antara para pihak yang bersangkutan. Dapat juga dikatakan bahwa kredit ini diberikan untuk membiayai modal kerja, dan modal kerja adalah jenis pembiayaan yang diperlukan oleh perusahaan untuk operasi perusahaan sehari-hari.

3) Kredit Konsumsi, yaitu kredit jangka pendek atau panjang yang diberikan kepada debitur untuk membiayai barang-barang kebutuhan atau konsumsi dalam skala kebutuhan rumah tangga yang pelunasannya dari penghasilan bulanan nasabah debitur yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, kredit konsumsi merupakan kredit perorangan untuk tujuan nonbisnis, termasuk pemilikan rumah. Kredit konsumsi biasanya digunakan untuk membiayai pembelian mobil atau barang konsumsi dan barang tahan lama lainnya (Hermansyah, 2005: 60-61).

Menurut Gatot Supramono (1996: 45-47) dalam Undang-undang Perbankan sama sekali tidak menyinggung tentang jenis kredit. Meskipun demikian dalam praktik perbankan kredit-kredit yang pernah diberikan kepada para nasabah dapat dilihat dari beberapa segi, sebagai berikut:

1) Menurut jangka waktunya, terdapat tiga macam kredit yaitu kredit jangka pendek, kredit jangka menengah dan kredit

(18)

jangka panjang. Adapun yang disebut kredit jangka pendek adalah kredit yang berjangka waktu paling lama satu tahun. Kredit jangka menengah dalah kredit yang berjangka waktu antara satu tahun sampai dengan tiga tahun, sedangkan kredit jangka panjang adalah kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun

2) Menurut kegunaannya, kredit digolongkan menjadi tiga jenis masing-masing yaitu kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit profesi. Kredit investasi ialah kredit yang diberikan kepada nasabah untuk keperluan penanaman modal. Kredit modal kerja ialah kredit yang diberikan untuk kepentingan kelancaran modal kerja nasabah. Kredit profesi yaitu kredit yang diberikan bank kepada nasabah semata-mata untuk kepentingan profesinya

3) Menurut pemakaiannya, kredit dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu kredit konsumtif dan kredit produktif. Kredit konsumtif adalah kredit yang diberikan kepada nasabah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sedangkan pada kredit produktif pembiayaan bank ditujukan untuk keperluan usaha nasabah agar produktifitas akan bertambah meningkat.

4) Menurut sektor yang dibiayai, terdapat beberapa macam kredit yang diberikan nasabah dipandang dari sektor yang

(19)

dibiayai bank, sebagai berikut: kredit perdagangan, kredit pemborongan, kredit pertanian, kredit peternakan, kredit perhotelan, kredit percetakan, kredit pengangkutan, kredit perindustrian.

5. Pengertian Perjanjian Kredit

Setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Namun ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa pejanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit, serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Hal-hal yang menjadi perhatian tersebut perlu guna mencegah adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat (ivalidity) sehingga pada saat dilakukannya perbuatan hukum (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan perundang-undangan (Muhammad Djumhana, 2006: 501).

(20)

Sesuai dengan asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan pada ketentuan-ketentuan yang pada KUH Perdata, tetapi dapat pula mendasarkan pada kesepakatan bersama. Artinya, dalam hal-hal ketentuan yang memaksa, harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tidak memaksa, diserahkan kepada para. Dengan demikian, perjanjian kredit selain dikuasai oleh asas-asas umum hukum perjanjian, juga harus dikuasai oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam praktik bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank yang lainnya tidaklah sama. Hal tersebut terjadi dalam rangka menyesuaikan diri dengan kebutuhannya masing-masing (Muhammad Djumhana, 2006: 502-503).

Menurut Hermansyah perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil, maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur (Hermansyah, 2005: 71).

Pendapat lain dikemukakan oleh Gatot Supramono (1996: 62), berdasarkan pengertian kredit dalam Undang-undang Perbankan, dapat diketahui bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian

(21)

pinjam-meminjam uang antara bank dengan pihak lain (nasabah). Melihat bentuk perjanjiannya dan kewajiban debitur seperti diatas, maka perjanjian kredit tergolong pejanjian pinjam pengganti (Pasal 1754 KUH Perdata). Meskipun demikian perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus, karena di dalamnya terdapat kekhususan dimana pihak kreditur selalu bank dan objek perjanjiannya berupa uang.

Dilihat dari bentuknya perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Berkaitan dengan itu, memang dalam praktiknya bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu bisa disebut dengan perjanjian baku (standard contract), dimana dalam perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau tawar menawar (Hermansyah, 2005:72).

6. Pihak-pihak dalam Perjanjian Kredit

a. Pemberi kredit (kreditur)

Bab XII KUH Perdata belum ditentukan pihak-pihak didalam perjanjian. Dalam undang-undang Perbankan secara tegas ditentukan bahwa pemberi kredit adalah Bank, yang pada hakikatnya melaksanakan secara tidak langsung tugas-tugas pemerintah yang berkaitan dengan perkembangan sektor ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat menurut pola yang

(22)

ditetapkan UUD 1945. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 angka (2) undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

b. Penerima kredit (Debitur)

Pasal 1 ayat (18) Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan definisi bahwa Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

7. Fungsi Perjanjian Kredit

Perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian yang khusus, baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Menurut Ch. Gatot Wardoyo dalam buku Muhammad Djumhana, perjanjian kredit mempunyai fungsi, diantaranya sebagai berikut (Muhammad Djumhana, 2006: 505):

a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. Artinya, perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya, perjanjian pengikatan jaminan.

(23)

b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur

c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.

8. Kualitas kredit dan Wanprestasi

a. Kualitas kredit

Penggolongan kualitas kredit terdapat pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang selanjutnya untuk beberapa pasal telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/2/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Aktiva Bank Umum, menurut ketentuan Pasal 12 ayat (3) Peratuan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, kualitas kredit dibagi menjadi 5 (lima) yaitu: Lancar, Dalam Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Mengenai masing-masing kualitas kredit tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Hermansyah, 2005: 66-68)

1) Kredit lancar, yaitu apabila pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat.

(24)

2) Kredit dalam perhatian khusus, yaitu apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90 hari, jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan, atau didukung oleh pinjaman baru

3) Kredit kurang lancar, yaitu apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari, terjadi pelanggaran kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari atau terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur

4) Kredit yang diragukan, yaitu apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari, terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari, terjadi kapitalisasi bunga, dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan

5) Kredit macet, apabila terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari, kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar.

Menurut Gatot Supramono (1996: 131) yang disebut kredit macet merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah atau

(25)

debitur tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Keadaan demikian dalam hukum perdata dinamakan wanprestasi atau ingkar janji. Suatu keadaan dapat digolongkan wanprestasi apabila memiliki criteria sebagai berikut:

1) Debitur tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan

2) Debitur melaksanakan sebagian apa yang telah diperjanjikan

3) Debitur terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan

4) Debitur menyerahkan sesuatu yang tidak diperjanjikan 5) Debitur melakukan perbuatan yang dilarang oleh

perjanjian yang telah dibuatnya atau menyalahgunakan isi perjanjian.

Apabila dihubungkan dengan kredit macet, maka ada tiga macam perbuatan yang tergolong wanprestasi, yaitu:

1) Debitur sama sekali tidak membayar angsuran kredit 2) Debitur membayar sebagian angsuran kredit (beserta

bunganya), akan tetapi yang digolongkan sebagai kredit macet dalam hal ini adalah jika debitur kurang membayar satu kali angsuran

3) Debitur membayar lunas kredit setelah jangka waktu perjanjian berakhir.

(26)

b. Wanprestasi

Menurut Yahya Harahap (2009: 201), bahwa istilah wanprestasi atau cidera janji diatur dalam Pasal 1243 jo Pasal 1763 KUH Perdata yaitu:

1) Pasal 1243 KUH Perdata menjelaskan pengertian wanprestasi atau cidera janji, yaitu:

a) Lalai memenuhi perjanjian;

b) Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan;

c) Tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu yang ditentukan.

2) Pasal 1763 KUH Perdata menjelaskan pengertian yang lebih spesifik, bahwa wanprestasi adalah tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan.

Saat terjadinya cidera janji atau default di beberapa negara diatur lebih rinci, yaitu:

1) Melanggar salah satu ketentuan perjanjian yang berkenaan dengan:

a) Pokok pinjaman;

b) Bunga (interest), yakni tidak membayar bunga paling tidak 2 (dua) bulan.

(27)

2) Pelanggaran itu telah diberitahukan kepada debitur dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan, tetapi hal tersebut tidak diindahkan debitur (M. Yahya Harahap, 2009: 201).

D. Jaminan Kredit dan Jaminan Ijazah 1. Pengertian Jaminan Umum

Di dalam pasal 1131 KUH Perdata diletakkan asas umum hak seorang kreditur terhadap debiturnya, dalam mana ditentukkan bahwa:

“Segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”.

Hak-hak tagihan seorang kreditur dijamin dengan; semua barang debitur yang sudah ada, artinya yang sudah ada pada saat hutang dibuat, semua barang yang aka nada maksudnya adalah barang-barang yang pada saat pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan debitur tetapi kemudian menjadi miliknya. Dengan perkataan lain, hak kreditur meliputi barang-barang yang akan menjadi milik debitur asal kemudian benar-benar menjadi miliknya. Jaminan seperti itu diberikan kepada setiap kreditur terhadap seluruh harta debitur dan karenanya disebut jaminan umum. Setiap kreditur menikmati hak jaminan umum seperti itu. Hal itu tidak berarti, bahwa kreditur harus menjual seluruh kekayaan debitur, lalu mengambil suatu bagian sebanding tertentu dari

(28)

tersebut, namun peristiwa seperti itu tidak didasarkan atas perintah undang-undang, tetapi dimungkinkan oleh undang-undang, karena penyelesaian dengan cara demikian adalah logis dan kiranya tidak ada jalan lain yang lebih praktis (J. Satrio, 2002 : 3-5).

2. Pengertian Jaminan Khusus

Ruang lingkup kajian hukum jaminan meliputi jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan khusus dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu jaminan kebendaan dan perorangan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan benda bergerak dan tidak bergerak. Yang termasuk dalam jaminan benda bergerak meliputi: gadai dan fidusia, sedangkan jaminan benda tidak bergerak meliputi hak tanggungan, fidusia, khususnya rumah susun, hipotek kapal laut, dan pesawat udara. Sedangkan jaminan perorangan meliputi: borg, tanggung-menanggung (tanggung renteng), dan garansi bank (Salim HS, 2004: 2)

Asas persamaan kedudukan kreditur (Pasal 1132) terdapat perkecualian-perkecualiannya, yaitu:

“Dalam hal seseorang kreditur mempunyai hak-hak jaminan khusus (zekerheidsrechten) ialah hak yang memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik dibanding kreditur lain dalam pelunasan tagihannya”.

Hak jaminan khusus, seperti juga jaminan umum, tidak memberikan jaminan, bahwa tagihannya pasti akan di lunasi, tetapi hanya memberikan kepada kreditur kedudukan yang lebih baik dalam

(29)

hak jaminan khusus atau dengan kata lain ia relatif lebih terjamin dalam pemenuhan tagihannya, kedudukan yang lebih baik di antara para kreditur yang mempunyai hak jaminan khusus, tidak sama, bergantung dari macam hak jaminan khusus yang dipunyai olehnya. (J. Satrio, 2002 : 9-10).

3. Pengertian Jaminan Kredit

Jaminan merupakan kemampuan seorang debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditur. Dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai tanggapan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap krediturnya (Rachmadi Usman, 2008: 66).

Gatot Supramono (1996: 75) memberikan pengertian yang berbeda tentang jaminan. Jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang si debitur.

Istilah jaminan di dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 memiliki kesamaan dengan istilah agunan sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 memiliki arti keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk

(30)

melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Demikian dapat dikatakan bahwa istilah agunan itu sendiri bagian dari jaminan.

Pasal 2 ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/09/KEP/DIR, tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit, bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 23 yang dimaksud dengan agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah (Hermansyah, 2005:73).

4. Fungsi Jaminan Kredit

Hermansyah berpendapat bahwa berdasarkan pengertian jaminan kredit diatas, maka dapat dikemukakan bahwa fungsi utama dari jaminan kredit adalah untuk meyakinkan bank atau kreditur. Keyakinan tersebut yaitu berupa keyakinan bahwa debitur mempunyai kemampuan untuk melunasi kredit yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati bersama (Hermansyah, 2005: 74).

Mengenai fungsi jaminan kredit baik ditinjau dari sisi bank maupun dari sisi debitur dapat dikemukakan lebih lanjut sebagai berikut:

(31)

Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada debitur wajib melakukan upaya pengamanan agar kredit tersebut dapat dilunasi debitur yang bersangkutan. Kredit yang tidak dilunasi oleh debitur baik seluruhnya maupun sebagian akan merupakan kerugian bagi bank. Kerugian yang menunjukan jumlah yang relatif besar akan memengaruhi tingkat kesehatan bank dan kelanjutan usaha bank. Oleh karena itu, sekecil apapun nilai uang dari kredit yang telah diberikan kepada debitur harus tetap diamankan sesuai prinsip kehati-hatian.

2) Jaminan kredit sebagai pendorong motivasi debitur

Umumnya sesuai dengan ketentuan peraturan intern masing-masing bank, nilai jaminan kredit yang diserahkan debitur kepada bank lebih besar bila dibandingkan dengan nilai kredit yang diberikan bank kepada debitur yang bersangkutan. Hal ini memberikan motivasi kepada debitur untuk menggunakan kredit sebaik-baiknya, melakukan kegiatan usahanya secara baik, mengelola kondisi keuangan seacara hati-hati sehingga dapat segera melunasi kreditnya agar dapat menguasai kembali hartanya. Tidak dapat dipungkiri siapapun juga pasti tidak ingin kehilangan harta (asset)-nya karena merupakan sesuatu yang dibutuhkan, mempunyai nilai-nilai tertentu, atau disayangi.

(32)

3) Fungsi yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan perbankan

Keterkaitan jaminan kredit dengan ketentuan perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Misalnya dapat diperhatikan dari ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang penilaian agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA, persyaratan agunan untuk restrukturisasi kredit yang dilakukan dengan cara pemberian fasilitas kredit, penilaian terhadap jaminan kredit dalam rangka manajemen risiko kredit, dan sebagainya. PBI No. 7/2/PBI/2005 beserta perubahannya sebagaimana yang telah diuraikan di atas mengatur dalam sebagian ketentuannya tentang agunan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan PPA, yaitu mengenai besarnya presentase nilai agunan sebagai faktor pengurang dan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi masing-masing jenis agunan yang dijadikan faktor pengurang. Ketentuan PBI tersebut menunjukkan adanya fungsi dari jaminan kredit dalam pembentukan PPA yang dikaitkan dengan kualitas kreditnya (M. Bahsan, 2007: 103-106).

5. Sifat Pengikatan Jaminan Perbankan

Semua perjanjian pengikatan jaminan bersifat accesoir artinya perjanjian pengikatan jaminan eksistensinya atau keberadaannya

(33)

tergantung pada perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit, sehingga perjanjian kredit harus dibuat terlebih dahulu baru kemudian perjanjian pengikatan jaminan. Kedudukan perjanjian jaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir mempunyai akibat hukum yaitu:

a) Eksistensinya tergantung perjanjian pokok (perjanjian kredit)

b) Hapusnya tergantung perjanjian pokok (perjanjian kredit) c) Jika perjanjian pokok beralih maka ikut beralih juga

perjanjian jaminan

d) Jika perjanjian pokok beralih karena cessie, maka ikut beralih juga perjanjian jaminan tanpa adanya penyerahan khusus (Sutarno, 2005 : 143).

6. Pengertian Ijazah

Pasal 1 ayat (18) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 memberikan pengertian bahwa ijazah adalah surat tanda tamat belajar sekolah/pendidikan negeri/swasta yang disamakan atau ditetapkan sederajat oleh Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

7. Pengertian Jaminan Ijazah

Menurut J. Satrio dalam praktik terdapat jaminan lain yang tidak termasuk dari kelompok hak jaminan kebendaan dan hak jaminan perorangan, yaitu jaminan dalam wujud ijazah, ijazah bukan

(34)

merupakan hak jaminan yang mempunyai nilai ekonomis dan bisa atau laku diperjualbelikan, ijazah bersifat sangat pribadi, sehingga sulit untuk dimasukkan dalam kelompok hak jaminan kebendaan. Benda jaminan seperti ijazah bagi orang lain tidak mempunyai nilai ekonomis. Walaupun ijazah berkaitan erat sekali dengan pemiliknya, sehingga bagi orang lain tidak mempunyai arti (ekonomis) paling-paling hanya mempunyai nilai affeksi namun demikian harus diakui, bahwa kreditur yang memegang ijazah sebagai jaminan mempunyai kedudukan yang lebih baik daripada kreditur biasa. Ijazah mempunyai sarana penekan secara psikologis yang memberikan kepadanya kemungkinan yang lebih besar untuk mendapat pelunasan dengan lebih mudah dan lebih dahulu daripada kreditur konkuren yang lain (di luar kepailitan). kedudukannya mirip dengan hak retensi. Perbedaannya adalah kreitur dengan hak retensi haknya untuk menahan benda debitur oleh undang-undang, sedang disini diperjanjikan (J. Satrio, 2002: 11-12).

E. PD. BPR. BKK 1. Pengertian BPR

Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa:

(35)

syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat yang dimaksud dengan dengan BPR adalah:

“Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disebut BPR yaitu bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang mengenai Perbankan”

Dalam peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat ditetapkan persyaratan dan tata cara pemberian status lembaga-lembaga perkreditan desa sebagai Bank Perkeditan Rakyat. Ketentuan yang mengatur pengukuhan lembaga-lembaga perkreditan desa tersebut adalah:

1) Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari, Lembaga Perkreditan Desa, Badan Kredit Desa, Badan Kredit Kecamatan, Bank Karya Produksi Desa dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu, yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Kuangan, dinyatakan menjadi Bank Perkreditan Rakyat.

2) Lembaga atau badan seperti diatas yang telah berdiri sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan belum mendapat izin usaha sebagai

(36)

selambat-lambatnya lima tahun sejak saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992.

2. Bentuk Hukum BPR. BKK

Di dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 menyebutkan bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah satu dari:

1) Perusahaan Daerah 2) Koperasi

3) Perseroan Terbatas

4) Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Bentuk hukum dari BPR.BKK yaitu Perusahaan Daerah (PD). Bentuk badan hukum PD hanya dimiliki oleh pemerintah daerah yang mendirikan bank guna menunjang dan menampung kegiatan pembangunan di daerahnya (Jonker Sihombing, 2009 : 15).

3. Bentuk Usaha BPR

Usaha bank ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 undang Nomor 10 Tahun 1998 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

(37)

a) Menghimpun dana dri masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu b) Memberikan kredit

c) Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil.

4. Pengaturan Bank

Setiap kegiatan perbankan yang dilakukan di Indonesia harus dapat dikontrol dan dimonitor oleh hukum positif Indonesia.Oleh karena itu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) tunduk pada hukum positif Indonesia yang mengatur tentang perbankan.

Undang-undang yang khusus mengatur mengenai kegiatan perbankan di Indonesia, yang masih berlaku terdiri dari:

1) Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, dan

2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

5. Asas-asas Perbankan

Mengenai asas perbankan yang dianut di Indonesia dapat diketahui dari ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang mengemukakan bahwa:

(38)

prinsip kehati-hatian”.Menurut penjelasannya yang dimaksud dengan demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”.

F. Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah

Mengenai penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia No. 26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 yang pada prinsipnya mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum adalah alternatif penanganan secara:

1) Melalui rescheduling (penjadwalan kembali) yaitu perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran dan jangka waktu kredit.

2) Melalui reconditioning (persyaratan kembali) yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu, dan persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimal saldo kredit.

3) Restructuring (penataan kembali) yaitu perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank, konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan, yang dapat disertai dengan

(39)

penjadwalan kembali atau persyaratan kembali (Hermansyah, 2005:76-77).

Menurut Muhammad Djumhana (2006:553) menyebutkan terdapat 2 cara penyelesaian kredit bermasalah yaitu secara administrasi perkreditan dan melalui jalur hukum, adapun kredit bermasalah yang diselesaikan secara administrasi prekreditan adalah sebagai berikut:

1) Penjadwalan kembali (rescheduling)

Yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan/atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak 2) Persyaratan kembali (reconditioning)

Yaitu perubahan sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan/atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan modal. 3) Penataan kembali (restructuring)

Yaitu perubahan syarat-syarat kredit berupa penambahan dana bank, dan/atau konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan. Selain penyelesaian melalui tindakan secara administratif, terhadap kredit yang sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih banyak

(40)

ditekankan melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan hukum, diantaranya (Muhammad Djumhana, 2006: 561) :

1) Melalui Panitia Urusan Lelang Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara

2) Melalui badan peradilan

Referensi

Dokumen terkait

Erpangir ku lau atau berlangir merupakan ritual untuk menyembuhkan penyakit tertentu atau dilakukan sebagai rentetan dari acara perumah dibata sebagai sebuah ucapan syukur

Hal ini lebih rendah dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hans pada tahun 2006, yang menemukan pasien CHF yang mengalami penurunan fungsi ginjal

Hasil yang diharapkan yaitu dengan adanya dukungan dari teknologi finansial pada sistem perbankan maka dapat meningkatkan statistik penggunaan M- banking /

Apabila terjadi keterlambatan dalam proses penerbitan izin usaha sesuai waktu yang telah ditentukan, maka Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu

Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan

Hasil penelitian yaitu alur pengumpulan data dari kegiatan bidan desa yang dicatat terlebih dahulu dalam kohort dan juga PWS KIA, kemudian di input oleh bidan desa

Data tentang kualitas produk pengembangan ini dikumpulkan dengan metode angket yang selanjutnya dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan teknik

Pengukuran hasil jarak lompat jauh.. Pelaksanaan tes