• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Spasial Suksesi Mangrove di Area Tanah Timbul Segara Anakan Cilacap*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Spasial Suksesi Mangrove di Area Tanah Timbul Segara Anakan Cilacap*"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Spasial Suksesi Mangrove di Area Tanah Timbul Segara

Anakan Cilacap*

Oleh : Erwin Riyanto Ardli1 dan Edy Yani1

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan kajian suksesi mangrove pada area tanah timbul di kawasan Segara Anakan dengan integrasi analisis spasial. Materi yang digunakan adalah citra satelit landsat pada aquisisi yang berbeda serta vegetasi mangrove di area tanah timbul yang kemudian dianalisis dengan menggunakan program PRIMER-E untuk struktur komunitas, suksesi dan zonasi serta dengan program ArcView 3.2 untuk analisis spasialnya.

Dari hasil penelitian diperoleh informasi laju terbentuknya tanah timbul sekitar 0.6-4.1 ha/tahun yang diikuti dengan tumbuhnya mangrove pioner seperti Sonneratia, Avicennia, dan Acanthus. Pola suksesi dan zonasi pada tiap pulau di tanah timbul mempunyai kecenderungan yang berbeda.

A. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan luasan mangrove terbesar di dunia, pada tahun 2005 mencapai 2,9 juta ha (FAO, 2006). Akan tetapi luasan tersebut menalami penurunan sebesar 1,6% per tahun dan menjadikan penurunan paling besar di Asia. Penurunan yang sangat besar tersebut disebabkan antara lain karena konversi menjadi tambak dan lahan pertanian, penebangan yang tidak terkendali, pencemaran minyak dan polusi lainnya. Kondisi ini menjadikan sumberdaya hayati mangrove mengalami gangguan dan tekanan. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis yang sangat penting sebagai tempat nursery, spawning dan feeding ground biota estuarin dan biota laut termasuk yang bernilai ekonomi penting, juga berperan sangat peting dalam suplai unsur hara ke lingkungan perairan atau lautan di sekitarnya.

Kawasan Segara Anakan (SA) terletak di Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah pada koordinat 07º34’29.42” LS - 07º47’32.39” LS dan 108º46’30.12” BT - 109º03’21.02” BT yang meliputi wilayah kurang lebih 34.018 ha. Sumberdaya hayati di kawasan SA semakin menurun (Ardli & Wolff, 2008a). Pada tahun 2003 lebih dari 50% area mangrove di wilayah SA bagian barat mengalami kerusakan atau gangguan (BPKSA 2003). Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa faktor diantaranya yaitu sedimentasi, exploitasi sumberdaya yang tidak benar, konversi dan penebangan mangrove, migrasi penduduk serta faktor lain seperti belum terintegrasinya semua stakeholder dalam pengelolaan kawasan SA (BPKSA, 2003; Yuwono et al., 2007; Ardli & Wolff, 2008b).

Ekosistem mangrove pada dasarnya dapat bertambah luasan areanya dan menjadi mature secara ekologis. Di kawasan SA khususnya daerah klaces (sekitar laguna), kolonisasi vegetasi mangrove relatif muda dibandingkan dengan daerah di bagian timur (Sapuregel), hal ini dikarenakan adanya dominasi vegetasi pioner seperti Avicennia alba, Sonneratia caseolaris and Sonneratia alba (Pribadi, 2003).

Luasan ekosistem mangrove di kawasan SA mengalami fluktuasi sebagai akibat dari deforestasi dan tumbuhnya mangrove di area sedimentasi yang baru atau tanah timbul. Dari tahun 1978 sampai 1987 sekitar 3003.6 ha mangrove hilang, akan tetapi seluas 1741.1 ha mangrove baru terbentuk di area tanah timbul di kawasan Segara Anakan (Ardli & Wolff, 2008a). Zonasi dan suksesi merupakan respons terhadap perubahan faktor biotik seperti kompetisi interspesifik, reproduksi tumbuhan, strategi kolonisasi. Perubahan geomorfologi juga dapat mempengaruhi pola zonasi berdasarkan waktu dan spasial yang dinamis sebagai akibat dari perubahan fisik dan lingkungan pada zona

(2)

mid littoral seperti perubahan ukuran, konfigurasi, topografi dan geologi.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang timbul pada ekosistem mangrove di kawasan tanah timbul SA adalah : 1) Seberapa cepat laju terbentuknya tanah timbul di kawasan SA ? 2)Bagaimana laju suksesi mangrove di area tanah timbul ? 3) Adakah keterkaitan antara laju terbentuknya tanah timbul dengan kecepatan suksesi mangrove pada lokasi tersebut ? 4) Bagaimanakah hasil analisis spasial suksesi mangrove di area tanah timbul ?

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) laju terbentuknya tanah timbul di kawasan SA, 2) suksesi mangrove di area tanah timbul di kawasan SA, 3) bagaimana hubungan antara laju terbentuknya tanah timbul dengan kecepatan suksesi mangrove pada lokasi yang sama, 4) suksesi mangrove di area tanah timbul dari tinjauan secara spasial.

Penelitian ini diharapkan diperoleh informasi dasar yang penting tentang suksesi mangrove pada daerah sedimentasi yang baru, sehingga dapat dijadikan acuan tentang pengelolaan mangrove dan konservasinya termasuk untuk keperluan rehabilitasi hutan mangrove pada tipe dan kondisi yang sama atau mirip di seluruh Indonesia.

B. METODA PENELITIAN 1) Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Landsat TM tahun 1995, 2001, 2004, 2006 serta vegetasi mangrove di area tanah timbul Segara Anakan Cilacap. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah plot sampling, transek line, rol meter, salt-refraktometer, GPS (Global Positioning System), thermometer, lux meter, dan corer.

2) Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei. Pengambilan sampel struktur dan komposisi vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode plot sampling (Mueller-Dumbois dan Ellenberg, 1974). Plot sampling diletakkan secara acak terstratifikasi (stratified random sampling). Penempatan arah transek (I, II, III, dst.) dilakukan secara acak, sedangkan sub transek (a, b, c, dst.) diambil secara terstratifikasi dari pusat (bagian tengah) tanah timbul ke arah luar (perairan) dengan jarak antar sub-transek 50 m. Pada tiap sub-transek diambil sebanyak 4 (empat) plot sampling.

3) Cara Pengambilan Sampel

Pada masing-masing plot diambil data vegetasi mangrovenya dengan ukuran 10m  10m untuk pohon dengan diameter  10cm, untuk data sapling (1cm < diameter  10cm) diambil dalam subplot 5m  5m dan data seedling (ketinggian  1m atau diameter = 1cm) diambil dalam subplot 1m  1m. Identifikasi spesies vegetasi dilakukan langsung di lapangan berdasar pada Tomlinson (1994) dan Kitamura et al. (1997).

Pengukuran data faktor lingkungan dilakukan insitu pada tiap sub-transek yang meliputi pengukuran salinitas air, salinitas tanah, temperatur air, temperatur udara, water content, intensitas cahaya, fraksi sedimen.

4) Analisis Data

Untuk mengetahui laju terbentuknya tanah timbul dianalisis dengan menggunakan program ERMapper dengan cara overlay dua citra satelit, kemudian dihitung laju terbentuknya tanah timbul dalam satuan area per waktu. Untuk mengetahui suksesi mangrove dapat dilakukan dengan menganalisis struktur komunitas mangrove pada tiap stratifikasi pembentukan tanah timbul, dengan menggunakan rumus : indek

(3)

keanekaragaman Shannon (H’), indeks dominansi Simpson (λ), indeks kekayaan jenis Margalef (D), dan indeks kemerataan jenis Pielou (J’).

Untuk analisis struktur komunitas mangrove di daerah tanah timbul dilakukan dengan membandingkan seluruh transek dengan meng-gunakan analisa pengelompokan berdasarkan tingkat kesamaan komposisi spesies (Cluster Analisys) yang hasilnya berupa dendogram. Untuk mengevaluasi tingkat kontribusi tiap spesies mangrove untuk tiap kategori (semai, pancang dan pohon) pada struktur komunitas mangrove dilakukan dengan analisa Similarity Percentages (SIMPER). Untuk mengevaluasi adanya hubungan antara laju suksesi yang dilihat dari struktur komunitas mangrove pada tiap kategori dengan laju terbentuknya tanah timbul dilakukan dengan membandingkan (superimposing) ordinasi struktur komunitas mangrove dengan ordinasi laju pembentukan tanah timbul dan faktor lingkungan lainnya dari seluruh transek dengan menggunakan analisa ordinasi Multi Dimensional Scale (MDS). Analisis struktur komunitas (total spesies (S), total individu (N), D, E’, H’, λ, Cluster Analisys, SIMPER, dan MDS) dilakukan dengan menggunakan program komputer PRIMER-E (Clarke dan Warwick, 2001). Analisis spasial suksesi mangrove di area tanah timbul dilakukan dengan menggunakan ArcView 3.2 (ESRI, 1990).

5) Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data lapangan dilakukan di Kawasan Segara Anakan bagian barat, Cilacap, Jawa Tengah pada koordinat 07º34’29.42” LS - 07º47’32.39” LS dan 108º46’30.12” BT - 109º03’21.02” BT (Gambar 1). Lokasi ini dipilih dikarenakan tingginya tingkat sedimentasi di wilayah barat yang diindikasikan dengan penyusutan luas laguna dan penambahan area tanah timbul (Tejakusuma, 2006; Yuwono et al., 2007; Ardli & Wolff, 2008a; Ardli & Wolff, 2008b). Analisis data

lapangan, pengolahan citra satelit dan analisis spasial dilakukan di kampus Fakultas Biologi UNSOED Purwokerto. Penelitian dimulai April sampai dengan Juli 2009.

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel (dalam kotak)

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Laju terbentuknya tanah timbul di kawasan SA,

Tanah timbul di kawasan SA terjadi akibat tingginya tingkat sedimentasi yang berasal dari beberapa sungai seperti Sungai Citanduy, Cikonde, Cibereum, dan Cimeneng. Terbentuknya tanah timbul terjadi secara tidak serempak dengan pola penyebaran dan perluasan yang juga tidak teratur (Tabel 1 dan Gambar 2A-B). Hal tersebut dipengaruhi

(4)

oleh pola pasang-surut, bathimetry laguna, serta arah muara sungai. Lingkungan pasang surut sangat dinamis dan berubah-ubah tingkat perubahan lingkungan fisik dalam penempatan diperkirakan bahkan melebihi proses perubahan faktor endogen ekologi (perubahan secara siklikal, kesenjangan regenerasi/suksesi) (Snedaker 1982).

Data laju pertambahan luasan tanah timbul dan mangrove di area tanah timbul dapat dilihat dalam tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Data luasan mangrove (ha) di area tanah timbul kawasan SA

Tahun Pulau 2

Perubahan

per tahun Pulau 3

Perubahan per tahun semua pulau tt m tt m tt m tt m tt m 1995 6.7 2.6 - - 0 0 - - 94.7 50.4 2001 13.3 12.0 1.1 1.6 8.2 0 4.1 0 103.2 77.2 2004 18.4 18.4 1.7 2.1 11.3 11.3 1.0 3.8 120.1 103.0 2006 19.6 19.6 0.6 0.6 15.7 15.7 2.2 2.2 130.9 114.4 Keterangan : tt : tanah timbul, m: mangrove

Laju perluasan tanah timbul adalah berbeda untuk setiap pulaunya, sebagai contoh pulau 2 yang terbentuk sebelum tahun 1995 mengalami penambahan luasan dengan laju sebesar 1.1 ha/tahun, kemudian mengalami kenaikan dari tahun 2001-2004 sebesar 1.7 ha/tahun, akan tetapi mengalami penurunan menjadi 0.6 ha per tahun. Fluktuasi perubahan laju perluasan tanah timbul ini tidak seragam untuk seluruh pulau yang ada, misalnya dengan pulau 3.

Hal serupa juga terjadi dengan laju terbentuknya area mangrove yang baru yang mengalami fluktuasi tidak seragam untuk tiap pulau. Akan tetapi pola fluktuasi tumbuhnya mangrove mengikuti pola fluktuasi terbentuknya tanah timbul. Dengan demikian munculnya tanah timbul langsung ditumbuhi mangrove dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Gambar 2. Data spasial perubahan mangrove di area tanah timbul dari 1995-2006 (A: hasil spasial analisis dari ArcView, B: hasil overlay dari citra tahun 1995, 2001, 2004 dan 2006)

A

(5)

2)

Suksesi mangrove di area tanah timbul di kawasan SA

Setelah dilakukan analisa terhadap struktur komunitas mangrove di dua pulau tanah timbul diperoleh hasil seperti yang tercantum dalam Tabel 2 dan 3 di bawah ini.

Tabel 2. Vegetasi mangrove di area tanah timbul

Species 2a 2b 2c 2d 2e 2f 2g 2h 3a 3b 3c 3d 3e 3f 3g 3h Acanthus ebracteatus ++++ ++ ++ + + ++++ ++ - ++ + - - - - Acanthus ilicifolius + + + + + - - - + +++ ++++ ++++ - - - - Aegiceras corniculatum - - + - - - + - - + - - - - + - Avicennia marina + + + - + + +++ + +++ + + + + +++ ++++ ++++ Bangka laut - - - ++++ - - - + - - - - Bruguiera gymnorhiza - - + + - - - + - - - - Cyperus sp. - +++ - - - + ++ + - - - - Derris trifoliata + ++ +++ + - + + + - - - - Nypa fruticans + + ++ - + + ++ - - - + - - Rhizophora apiculata - + - - - + - - - - Rhizphora mucronata + + - - + - - - - Sonneratia alba - - - + + + - ++ - - - - Sonneratia caseolaris ++ +++ + ++++ ++ + + + - - ++ + + + + ++ Sonneratia x urama - - - - + + - + - - - -

Keterangan: - tidak ada, + sedikit, ++ sedang, +++ banyak, ++++ melimpah Tabel 3. Hasil analisis struktur komunitas mangrove di tanah timbul

Sub-transek S N d J' H'(loge) 1- λ 2a 7 36.5 1.67 0.63 1.22 0.61 2b 9 41.25 2.15 0.83 1.83 0.83 2c 8 36 1.95 0.79 1.64 0.79 2d 7 53.5 1.51 0.65 1.27 0.66 2e 8 23.25 2.22 0.83 1.73 0.80 2f 9 33.25 2.28 0.64 1.40 0.63 2g 7 37.25 1.66 0.91 1.76 0.83 2h 7 22.75 1.92 0.93 1.81 0.86 3a 3 22.8 0.64 0.88 0.97 0.62 3b 5 18.5 1.37 0.56 0.91 0.53 3c 3 28.75 0.60 0.61 0.67 0.39 3d 3 31.5 0.58 0.19 0.21 0.09 3e 2 6.5 0.53 0.84 0.58 0.47 3f 3 13 0.78 0.56 0.62 0.36 3g 3 18.5 0.69 0.18 0.20 0.08 3h 2 28.25 0.30 0.75 0.52 0.35

Dari nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’), indeks dominansi Simpson (λ), indeks kekayaan jenis Margalef (D), dan indeks kemerataan jenis Pielou (J’) akan terlihat jelas perbedaan antara pulau 2 dan pulau 3. Dimana nilai pada pulau 2 mempunyai kecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan pulau 3. Hal tersebut sesuai dengan sejarah terbentuknya kedua pulau tersebut, pulau 2 terbentuk sebelum 1995 dan pulau 3 mulai muncul sekitar tahun 2000. Dengan demikian pulau yang lebih muda akan lebih muda juga struktur komunitas mangrovenya. Sebagai contoh ada beberapa species mangrove yang sudah muncul di pulau 2 (lebih tua) seperti Rhizophora mucronata, R. apiculata, Sonneratia alba, S. X urama, Cyperus sp. dan Bangka Laut, akan tetapi belum ditemukan pada pulau 3. Dari hal tersebut terlihat bahwa Avicennia marina dan Sonneratia caseolaris termasuk Achantus dapat dikategorikan sebagai vegetasi pioneer (Hogarth, 2007).

(6)

Gambar 3. Dendogram hasil analisis cluster di area tanah timbul

Dari hasil analisis cluster dan MDS diperoleh 4 kelompok yang terbagi secara jelas, dimana pulau 2 akan terpisah secara detail dengan pulau 3 akan tetapi anggota kelompok berbeda tergantung dari komposisi species dan jumlah individu masing-masing species yang ada dalam setiap anggota (subs-transek). Apabila dibandingkan dengan titik subs-transek (Gambar 2.) ada pola suksesi yang cukup jelas, misalnya pada pulau 2 terurut hampir sempurna. Subs-transek 2d terkelompok agak jauh dengan substransek lainnya, hal ini salah satunya dikarenakan telah adanya aktivitas penebangan pohon mangrove di pulau 2 yang berakibat akan berkurangnya komposisi

species dalam analisis. Kondisi yang sama juga telah terjadi di pulau 3, hal tersebut mengakibatkan pola pengelompokan dalam MDS yang cukup rumit.

Gambar 4. Hasil analisis skala multidimensi (MDS) di area tanah timbul

3) Suksesi mangrove di area tanah timbul dari tinjauan secara spasial.

Berdasarkan hasil analisis SIMPER (Tabel 4. dan Gambar 5.) diperoleh jawaban bahwa pengelompokan tersebut dikarenakan kontribusi spesies tertentu pada kelompok tertentu. Misalnya species Acanthus ebracteatus mendominasi kelompok A dan sangat sedikit atau bahkan tidak ditemukan di kelompok subs-transek yang lain (B, C, dan D). Demikian halnya dengan spesies lain seperti Sonneratia alba – kategori sapling, Avicennia marina, dan Achantus ilicifolius.

A

B

D

C

A

B

C

D

(7)

Acanthus ebracteatus Sonneratia alba -sapling

Avicennia marina -seedling Acanthus ilicifolius

Gambar 5. MDS spesies yang memiliki kontribusi tertinggi untuk masing-masing kelompok

Tabel 4. Hasil analisis persentase kesamaan (similarity percentage)

Group Species Average similarity Contrib%

A Achantus ebracteatus 38.59 33.30

B Sonneratia alba -sapling - -

C Avicennia marina 47.68 83.43 D Achantus ilicifolius 61.64 94.23

Dari analisis MDS untuk parameter lingkungan (Gambar 6), secara umum tidak terjadi pengelompokan yang terlihat jelas, dalam arti pada setiap subs-transek tidak terdapat perbedaan yang nyata. Kecuali pada parameter kandungan debu, pasir, dan liat dalam tanah terlihat adanya

pemisahan yang cukup jelas antara pulau 2 dengan pulau 3. Pada subs-transek 2h terjadi pemisahan yang sangat jelas pada parameter pH, dimana nilai pH relative lebih kecil dibandingkan dengan subs-transek lainnya, hali ini yang mengelompokkan transek 2h seolah terpisah dengan subs-transek yang lain.

Chy tanpa naungan Debu

Liat N

(8)

Pasut pH

Salinitas Suhu air

Suhu udara Kandungan air dalam tanah

Gambar 6. Hasil analisis MDS untuk parameter lingkungan

Terdapat banyak aspek yang menyebabkan terjadinya zonasi mangrove. Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa untuk meneliti zonasi mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan pola berdasarkan : a) suksesi tumbuhan, yaitu pola zonasi spasial dihasilkan dari sekuens

suksesi mangrove berdasarkan waktu sampai mencapai klimaksnya, b) perubahan geomorfologi, asumsi yang digunakan adalah perkembangan pola zonasi berdasarkan waktu dan spasial yang dinamis sebagai akibat dari perubahan fisik dan lingkungan pada zona mid littoral seperti perubahan ukuran, konfigurasi, topografi dan geologi, c) fisiologi-ekologi, yaitu masing-masing spesies memiliki kondisi lingkungan yang optimum dan terbatas pada segmen tertentu untuk perubahan lingkungan yang terjadi, dan d) dinamika populasi. Zonasi merupakan respons terhadap perubahan faktor biotik seperti kompetisi interspesifik, reproduksi tumbuhan, strategi kolonisasi.

Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : a) daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. Yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik, b) lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp., c) zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp., dan d) zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

D. SIMPULAN

Laju terbentuknya tanah timbul di kawasan SA terjadi secara tidak serempak dan tidak teratur pola arahnya. Suksesi mangrove di area

(9)

tanah timbul di kawasan SA terjadi di semua pulau tanah timbul dengan pola zonasi yang cukup jelas. Terdapat hubungan antara laju terbentuknya tanah timbul dengan kecepatan suksesi mangrove pada lokasi yang sama, di mana suksesi mangrove terjadi setelah tanah timbul terbentuk. Suksesi dan zonasi mangrove di area tanah timbul dari tinjauan secara spasial terlihat perbedaan antar pulau.

E. DAFTAR PUSTAKA

Ardli E.R. and M. Wolff. 2008a. Quantifying habitat and resource use changes in the Segara Anakan lagoon (Cilacap, Indonesia) over the past 25 years (1978 – 2004). Asian Journal of Water, Environment and Pollution, Vol. 5 (4): 59-67.

Ardli E.R. and M. Wolff. 2008b. Land use and land cover change affecting habitat distribution in the Segara Anakan lagoon, Java, Indonesia. Regional Environmental Change. DOI:10.1007/ s10113-008-0072-6.

Aksornkoae, S. 1993. Ecology and management of mangroves. Gland, Switzerland, IUCN, Wetlands and Water Resources Programme. Bengen, D.G. 2000. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir.

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

Bengen, D.G. 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.

BPKSA (Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan). 2003. Laporan pelaksanaan proyek konservasi dan pembangunan Segara Anakan. Lokakarya Status, Problem dan Potensi Sumberdaya Perairan dengan Acuan Segara Anakan dan DAS Serayu. Purwokerto.

Clarke, K.R and R.M. Warwick. 2001. Change in Marine Communities: an Approach to Statistical Analysis and Interpretation 2nd. PRIMER-E. Plymouth Marine Laboratory, United Kingdom. Environmental Systems Research Institute (ESRI) (1990) Understanding

GIS, the ARC/INFO method. Environmental Systems Research Institute, Inc., Redlands, CA.

FAO. 2006. The World’s Mangroves 1980-2005. FAO, Rome.

Hogart, P. 2007. The Biology of Mangroves and Seagrasses. Oxford University Press Inc., New York

Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago and S. Baba. 1997. Handbook of mangrove in Indonesia: Bali & Lombok. International Society for Mangrove Ecosystem. Denpasar. 119 hlm.

Mueller-Dombois, D and H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley, London.

Pribadi, R. 2003. The ecology of mangrove vegetation and common asiatic clam (Polymesoda erosa) in Segara Anakan. Pusat kajian pesisir dan laut tropis lembaga penelitian, Universitas Diponegoro, Semarang.

Snedaker, S.C. 1982. Mangrove species zonation: why? In Contributions to the Study of Halophytes. Tasks for Vegetation Science vol. 2 (Sen, D.N. and Rajpurohit, K.S., eds), pp. 111– 125.W. Junk, The Hague.

Tejakusuma, I.G. 2006. Analisis factor dan implikasi penyusutan laguna Segara Anakan. Alami Vol 11 (3) : 35-40

Tomlinson, P.B. 1994 The Botany of Mangrove. Cambridge University Press, New-York. 419 hlm.

Yuwono, E., T.C. Jennerjahn, I. Nordhaus, E.R. Ardli, M.H. Sastranegara and R. Pribadi. 2007. Ecological status of Segara Anakan, Java, Indonesia, a mangrove-fringed lagoon affected by human activities. Asian Journal of Water, Environ-ment and Pollution. Vol. 4 (1): 61-70.

Gambar

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel (dalam kotak)
Tabel 1. Data luasan mangrove (ha) di area tanah timbul kawasan SA
Gambar 4. Hasil analisis skala multidimensi (MDS) di area tanah timbul
Gambar  5.  MDS  spesies  yang  memiliki  kontribusi  tertinggi  untuk  masing- masing-masing kelompok
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dalam permasalahan tersebut ditemukan juga pada mata pelajaran IPS yaitu, motivasi belajar siswa yang kurang, guru tidak kreatif dalam penggunaan model-model

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, teknis dan kewajaran harga serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk penawaran paket pekerjaan tersebut diatas,

domisili dan/atau habitual resisdence dan tempat diajukan perkara ( choice of law) dalam memutus perceraian WNA yang telah melangsungkan perkawinan. di luar negeri,

Dalam skripsi ini, penulis bermaksud menguraikan tentang implementasi tugas dan peran Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat yang kemudian disingkat FKPM di Kecamatan

Pada Lembar Pengesahan ini berisi Judul Penelitian, nama mahasiswa beserta NPM, tanggal sidang dan tanggal lulus sidang. Pada Bagian bawah juga disertai tanda

Apabila item pertanyaan yang harus dibuang sangat penting dan menurut anda krusial atau tidak akan dihapus karena menyangkut variabel yang penting solusinya

 Fase vegetatif dimulai sejak tanaman tumbuh dan umumnya dicirikan oleh banyaknya buku pada batang utama yang telah memiliki daun terbuka penuh; dan fase vegetatif

Risiko pembiayaan (NPF) pada masing-masing bank target penggabungan relatif rendah, lebih rendah dari NPF perbankan syari’ah nasional yang mencapai 4.33 persen tahun 2014, namun