• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stroke

Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah sekumpulan tanda klinis yang berkembang dengan cepat menjadi gangguan pada otak baik secara fokal atau global yang berlangsung secara tiba-tiba selama minimal 24 jam dan dapat menyebabkan kematian. Stroke merupakan gangguan neurologis mendadak yang dapat muncul dikarenakan aliran darah yang menuju ke otak terganggu secara mendadak, bisa terjadi dikarenakan sumbatan ataupun pecahnya pembuluh darah pada otak sehingga terjadi perdarahan (Pinzon & Asanti, 2010).

Stroke dapat menyerang ke siapa saja tanpa melihat usia ataupun jenis kelamin. Mulai dari usia remaja hingga lansia dan dari jenis kelamin laki-laki atau perempuan dapat terkena stroke. Stroke dapat menyerang kapanpun dan dimanapun secara mendadak. Dalam serangan stroke ini juga tidak memandang status ekonomi (Pinzon & Asanti, 2010).

Stroke sangat beragam dalam proses kejadiannya, ada yang sembuh sempurna setelah terkena stroke, ada yang sembuh dengan mengalami cacat ringan sampai berat, bahkan hingga dapat terjadi kematian (Junaidi, 2011).

Stroke terbagi menjadi dua tipe yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik banyak disebabkan oleh sumbatan emboli, sedangkan

(2)

untuk stroke hemoragik lebih sering disebabkan perdarahan dari pecahnya pembuluh darah pada suatu bagian otak (Wayunah & Saefulloh, 2016).

AHA/ASA Guideline tahun 2007 mengatakan bahwa penatalaksanaan stroke memiliki tujuan menurunkan tingkat kesakitan serta risiko kematian karena stroke, karena hal tersebut pengenalan secara dini mengenai tanda dan gejala stroke serta faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan memegang peranan penting dan menjadi kunci utama dalam penanganan stroke. “Time is brain” dan “golden period” adalah konsep utama tata laksana stroke. Pasien stroke idealnya sudah mendapatkan tatalaksana dalam tiga jam sejak gejala pertama didapatkan. Data yang ada menunjukkan terutama di negara-negara maju, pasien yang datang dalam golden period 3 jam tersebut berkisar antara 19-60% (Cook & Clement, 2011).

Sekitar 83,9% terlambatnya penanganan disebabkan oleh keterlambatan pra rumah sakit ini. Beberapa penyebab keterlambatan tersebut misalnya menyepelekan tanda-tanda dini stroke menempati urutan pertama penyebab keterlambatan pra hospital, yaitu sekitar 62,3%. Beberapa kasus lain yaitu terlambat datang karena berharap gejala dan tanda akan menghilang (2,7%). Pasien yang tinggal sendiri juga menyumbangkan angka keterlambatan sekitar 7,1%. Sedangkan pasien yang tinggal jauh dari sarana atau instansi kesehatan serta tidak tersedianya sarana transportasi turut berkontribusi dalam keterlambatan tersebut (Cook & Clement, 2011; Fassbender et al, 2013).

(3)

2.2 Etiologi Stroke dan Kekambuhan Stroke 2.2.1 Etiologi Stroke

Stroke iskemik yaitu terjadi karena terdapat sumbatan pada pembuluh darah otak yang disebabkan oleh penumpukan thrombus di pembuluh darah otak dan membuat aliran darah yang menuju ke otak terhambat atau bahkan terhenti. Stroke iskemik juga dapat disebut sebagai matinya jaringan pada otak karena tidak adanya darah yang dikirim menuju otak dan tidak dikarenakan perdarahan. Jenis-jenis stroke iskemik berdasarkan mekanisme penyebabnya: stroke trombotik yang merupakan salah satu jenis stroke yang disebabkan karena terbentuknya thrombus menjadi gumpalan, stroke embolik yaitu jenis stroke yang disebabkan karena tertutupnya pembuluh darah arteri oleh pembekuan darah, dan hipoperfusion sistemik adalah jenis stroke yang disebabkan karena kurangnya aliran darah ke bagian tubuh akibat gangguan denyut jantung (AgroMedia, 2009).

Stroke hemoragik dapat terjadi akibat pecahnya pembuluh darah pada otak yang menyebabkan perdarahan di otak dan merusak otak itu sendiri. Stroke jenis ini biasa terjadi karena kecelakaan yang disebabkan benturan secara keras pada kepala dan mampu menyebabkan pecahnya pembuluh darah pada otak. Stroke hemoragik juga dapat disebabkan oleh tekanan darah yang terlalu tinggi, sehingga pembuluh darah pecah dan menyebabkan darah mengisi ruang yang ada di otak. Berdasarkan letaknya, stroke hemoragik terbagi menjadi dua jenis: hemoragik intraserebral yaitu perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak dan hemoragik subaraknoid yaitu perdarahan yang terjadi pada ruang subaraknoid (ruang sempit antara lapisan jaringan penutup otak dan permukaan otak) (AgroMedia, 2009).

(4)

2.2.2 Kekambuhan Stroke

Terjadinya stroke sangat beragam, ada yang mengalami kepulihan sempurna setelah pengobatan pada serangan stroke pertama, pulih dengan cacat ringan hingga berat, atau bahkan bisa saja dapat terjadi kematian pada kasus stroke yang berat.

Ada juga kemungkinan terjadinya kekambuhan stroke pada kasus yang ringan sampai dengan berat. Setelah serangan yang pertama kali, terkadang serangan tersebut dapat kambuh kembali dengan kondisi yang lebih parah. Hal ini bisa terjadi pada penderita stroke yang kurang memperhatikan kebutuhan kontrol diri, membatasi konsumsi makanan yang mengandung banyak garam/gula, manajemen stres, olahraga, pengetahuan dan tingkat kesadaran yang masih tergolong rendah.

Pada kebutuhan kontrol diri memiliki maksud bahwa penderita stroke harus mampu mengontrol tekanan darah tubuhnya yang dapat diartikan bahwa seseorang penderita stroke apabila tidak mampu mengontrol tekanan darahnya maka kemungkinan tekanan darah penderita tersebut bisa saja lebih tinggi dari batas normal. Dalam hal ini tentu saja sangat berpengaruh akan terjadinya kekambuhan serangan stroke untuk kedua kalinya apabila tekanan darah penderita tidak dapat dikontrol.

Pembatasan konsumsi makanan yang banyak mengandung garam atau gula juga cukup memiliki pengaruh dalam kekambuhan serangan stroke. Dalam hal ini berhubungan dengan penyakit penyerta yang dapat meningkatkan risiko untuk terjadinya kekambuhan. Penyakit yang sering menjadi penyebab terjadinya serangan stroke yaitu tekanan darah tinggi (hipertensi) yang dimana dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang mengandung garam berlebih.

(5)

Begitupula dengan konsumsi gula, dapat memicu terjadinya hiperglikemia atau terlalu banyak kandungan gula pada darah yang dapat membuat darah menjadi lebih kental dan memperberat kinerja jantung untuk memompa darah menuju tubuh.

Pada orang yang menderita stroke juga harus mampu menjaga tingkat stres dan olahraga. Dalam hal ini berhubungan dengan kekambuhan serangan yang kemungkinan akan terjadi kembali apabila tingkat stres tinggi dan penderita stroke jarang atau bahkan tidak pernah olahraga sama sekali yang dimana olahraga fisik ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan jantung dan memperlancar peredaran darah ke seluruh tubuh, pada pasien yang menderita stroke tentunya olahraga ini harus dibatasi, apabila terlalu berlebih maka ditakutkan mampu meningkatkan serangan stroke.

Kekambuhan stroke juga dipengaruhi oleh pengetahuan dan kesadaran diri yang tergolong masih kurang. Hal ini memiliki maksud bahwa penderita stroke setelah mengalami serangan yang pertama kurang mengenal hal-hal yang dapat meningkatkan risiko kekambuhan dan masih kurang kesadaran akan bahaya serangan stroke. Pengetahuan yang rendah akan penyakit stroke ini bisa dipengaruhi tingkat pendidikan, lingkungan yang tidak mengedukasi akan bahaya penyakit tersebut atau bahkan kesadaran diri yang masih acuh akan bahaya serangan stroke berikutnya. Misalnya seseorang yang telah terkena serangan stroke akan tetapi masih merokok, konsumsi makanan yang meningkatkan risiko serangan, stres, kurang olahraga, dan lain sebagainya.

Dengan kondisi yang seperti itu, ditakutkan terjadinya kekambuhan serangan stroke untuk kesekian kalinya. Padahal apabila stroke tersebut sampai

(6)

terjadi serangan berulang maka akan terjadi perdarahan yang lebih berat daripada sebelumnya (Rahman, 2010; Go et al, 2014).

2.3 Klasifikasi Stroke

Berdasarkan mekanisme terjadinya stroke, dapat digolongkan menjadi stroke iskemik (penyumbatan) dan stroke hemoragik (perdarahan), yaitu: 1. Stroke iskemik dapat juga disebut dengan oklusif (sumbatan), merupakan

stroke yang terjadi pada sel-sel otak yang mengalami kekurangan oksigen serta nutrisi akibat penyumbatan atau penyempitan pada pembuluh darah (arteriosklerosis) (AgroMedia, 2009). Stroke jenis ini terbagi menjadi dua, yaitu sumbatan yang diakibatkan oleh thrombus dan sumbatan akibat dari emboli. Thrombus terjadi pada dinding pembuluh darah menjadi bagian dari suatu proses pengerasan dinding pembuluh darah yang sering disebut aterosklerosis. Emboli berarti suatu kondisi adanya seperti bekuan darah atau udara yang menghambat aliran darah. (Pinzon & Asanti, 2010).

2. Stroke hemoragik merupakan stroke perdarahan yang terjadi karena adanya pembuluh darah yang pecah di otak. Darah yang keluar dari pembuluh darah yang pecah merusak sel-sel otak dan mengenai area sekitarnya. Selain itu, sel otak juga dapat mengalami kematian karena adanya aliran darah yang membawa nutrisi dan oksigen terhenti (AgroMedia, 2009). Stroke hemoragik (perdarahan) terbagi menjadi tiga, yaitu: hemoragik subarachnoid, hemoragik intraserebral, dan hematoma subdural. Hemoragik subarachnoid terjadi ketika darah memasuki daerah subarachnoid (daerah yang mengelilingi otak dan spinal cord) akibat adanya trauma, pecahnya pembuluh darah pada intrakranial yang mengalami pembengkakan atau

(7)

terjadinya pecah pembuluh darah arteriovenous malformation (AVM). Sedangkan pada stroke hemoragik intraserebral adalah perdarahan akibat pecahnya pembuluh darah yang terjadi di daerah parenkim otak secara langsung yang membentuk hematoma. Hal tersebut sering terjadi karena kondisi hipertensi yang tidak terkontrol. Sementara itu, pada stroke hematoma subdural dapat terjadi karena pembekuan darah pada daerah dura yang disebabkan oleh trauma. Walaupun jenis ini jarang terjadi dibandingkan stroke jenis iskemik, tetapi stroke hemoragik dapat dikatakan lebih mematikan (Yueniwati P.W, 2015).

2.4 Manifestasi Klinis Stroke

Adapun beberapa tanda atau gejala yang muncul ketika seseorang terkena stroke dapat dilihat dari klasifikasi menurut (Yueniwati P.W, 2015) yaitu: 1. Bagian sistem saraf pusat

Tanda dan gejala yang muncul yaitu kelemahan otot (hemiplegia), kaku dan menurunnya fungsi sensorik tubuh.

2. Bagian batang otak yang terdapat 12 saraf kranial

Manifestasi klinis yang dapat timbul antara lain menurunnya kemampuan indra tubuh mulai dari membau, mengecap, mendengar, melihat parsial atau keseluruhan, menurunnya reflex, lidah lemah, terganggunya ekspresi wajah, pernafasan dan detak jantung.

3. Bagian korteks serebral

Gejala yang dapat timbul terdiri dari aphasia (hilang kemampuan berbahasa), apraxia (tidak mampu menggerakkan tubuh), daya ingat yang menurun dan kebingungan.

(8)

Sedangkan tanda dan gejala menurut (Pinzon & Asanti, 2010) yaitu: 1. Kelumpuhan anggota gerak

Kelumpuhan anggota gerak ini menjadi gejala yang umum terjadi pada penderita stroke. Hilangnya kekuatan saat menggerakkan anggota tubuh ini dapat terjadi secara tiba-tiba pada salah satu sisi anggota tubuh. Apabila stroke terjadi atau terkena otak sebelah kanan, maka anggota gerak sisi sebelah kiri akan mengalami kelemahan. Begitupula sebaliknya, apabila menyerang otak sebelah kiri maka anggota tubuh sebelah kanan akan mengalami kelemahan.

2. Wajah perot

Wajah perot juga dapat digunakan sebagai tanda awal terkenanya penyakit stroke. Penyebab wajah perot ini adalah karena terganggunya saraf otak nomor 7 pada sentral. Gejala ini dapat disertai dengan bicara yang kurang jelas atau lemahnya anggota gerak. Wajah perot dapat dinilai dengan meminta pasien untuk tersenyum, lalu dinilai apakah simetris sudut bibir kanan dan kiri.

3. Gangguan bicara

Tanda lain dari penderita stroke yaitu adanya gangguan bicara. Dimana pasien stroke akan kesulitan untuk berbicara secara jelas. Hal ini terjadi karena terganggunya saraf otak nomor 12 atau lobus fronto-temporal pada otak. Selain dari gaya bicara, juga dapat dilihat dari lidah pasien stroke. Minta pasien untuk menjulurkan lidah, apabila tidak lurus atau miring ke sisi lain yang lumpuh maka dapat dikatakan bahwa pasien tersebut memiliki tanda gejala stroke.

(9)

4. Pusing berputar

Pusing berputar atau dikenal dengan vertigo ini juga menjadi salah satu tanda gejala dari stroke. Adanya gangguan pada sistem keseimbangan di otak kecil atau cerebellum akan menyebabkan gejala pusing berputar. Gejala ini juga dapat disertai dengan gejala lainnya, misalnya mual atau muntah, ataupun gangguan koordinasi.

5. Nyeri kepala

Nyeri kepala menjadi tanda gejala yang umum terjadi pada penderita stroke. Nyeri kepala itu sendiri 95% bersifat primer dan dihubungkan dengan tegangnya otot atau migrain. Sedangkan 5% nyeri kepala bersifat sekunder yang disebabkan stroke. Bersifat mendadak, intensitas berat, dan disertai tanda gejala lainnya.

6. Penurunan kesadaran

Pada stroke dapat terjadi penurunan kesadaran apabila mengenai pusat sistem kesadaran dan terjadi secara mendadak. Akan tetapi penurunan kesadaran juga disebabkan oleh banyak hal, misalnya gangguan elektrolit ataupun gangguan kadar gula darah. Penurunan kesadaran kasus stroke umumnya terjadi pada stroke hemoragik (perdarahan). Dapat berupa somnolen (terbangun dengan suara), spoor (terbangun dengan rangsangan nyeri), sampai koma (tidak ada respon dengan rangsangan nyeri).

7. Gejala lain

Gejala stroke sangat ditentukan dari bagian otak yang terkena serangan. Salah satu kunci stroke yaitu terjadi secara mendadak yang sebelumnya baik-baik saja hingga terjadi beberapa tanda yang muncul sebagai tanda stroke.

(10)

Mulai dari perubahan tingkah laku, penurunan penglihatan, gangguan lapang pandang, gangguan menelan yang mendadak dan tanda yang lainnya.

2.5 Patofisiologi Stroke

Stroke iskemik dapat terjadi karena adanya penyempitan atau oklusi pada aliran darah menuju ke otak yang dimana otak itu sendiri membutuhkan oksigen dan glukosa sebagai energi untuk menjalankan fungsinya. Cerebral Blood Flow (CBF) atau aliran darah otak dijaga pada kecepatan tertentu, yaitu sebesar 50-150 mmHg (Price, 2012). Dalam hal ini aliran darah dapat di pengaruhi oleh tersumbatnya pembuluh darah itu sendiri yang menyebabkan aliran darah menjadi sempit. Penyempitan pembuluh darah tersebut dapat diakibatkan oleh stenosis (penyempitan) atau aterotoma. Dapat juga terjadi karena tersumbat oleh thrombus atau emboli, maka aliran darah yang akan menuju ke otak akan sangat terganggu. Dari penyempitan atau sumbatan tersebut dapat mengakibatkan viskositas (kekentalan) darah. Jika viskositas darah tersebut meningkat maka polisitemia akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat dan lama menuju otak. Saturasi oksigen dalam darah otak akan menurun akibat anemia. Apabila aliran darah otak tersumbat parsial, maka daerah yang berada disekitarnya akan mengalami kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan iskemik. Hal tersebut terjadi karena oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan otak tidak tercukupi, sehingga dapat menyebabkan infark pada otak, kematian saraf dan vaskular.

Sedangkan pada stroke hemoragik atau perdarahan ini terdiri dari hemoragik parenkim otak dan hemoragik subaraknoid. Terjadinya perdarahan pada otak atau intrakranial adalah stroke hemoragik, yang dimana terdiri dari

(11)

perdarahan intraserebral dan subaraknoid. Perdarahan intraserebral dapat dikarenakan mikroenurisma pecah akibat hipertensi maligna. Hipertensi kronik dapat menyebabkan pembuluh darah arteri yang memiliki diameter 100-400 mikrometer mengalami perubahan secara patologi berupa nekrosis fibrinoid, degenerasi lipohialinosis, dan aneurisma. Pada kejadian peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba kebanyakan disebabkan pecahnya penetrasi arteri. Efek dari penekanan pada arteri dan pembuluh darah kapiler disebabkan adanya darah yang keluar dari pembuluh darah kecil. Hal ini membuat pembuluh darah menjadi pecah sehingga perdarahan akan semakin besar. Perdarahan subaraknoid (PSA) diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah yang berada disekitar permukaan otak, sehingga terjadi perpindahan sel dari aliran darah ke ruang subaraknoid. Perdarahan tersebut terjadi akibat robeknya pembuluh darah yang melebar secara abnormal karena kondisi dinding pembuluh darah yang lemah atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM) (Caplan, 2009).

2.6 Faktor Risiko Stroke dan Kekambuhan Stroke

Stroke adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor risiko. Faktor risiko stroke menurut (Yueniwati P.W, 2015) terbagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable risk

factors) dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable risk factors).

Faktor yang tidak dapat dimodifikasi merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan fungsi tubuh yang normal sehingga tidak dapat dimodifikasi, misalnya usia, jenis kelamin, suku, riwayat stroke, dan serangan

(12)

faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu terjadi akibat gaya hidup seseorang dan dapat dimodifikasi, misalnya hipertensi, diabetes melitus, merokok, hiperlipidemia, dan intoksikasi alkohol.

Selain dua faktor diatas, adapula faktor perilaku dan faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi terjadinya penyakit stroke (KEMENKES, 2014). Akibat dari faktor resiko tersebut dapat berdampak terjadinya kekambuhan stroke. Kekambuhan stroke itu sendiri terjadi dengan faktor yang sama dengan faktor pada stroke serangan yang pertama (Ramdani, 2018).

2.6.1 Faktor Yang Tidak Dapat Dimodifikasi

Faktor yang tidak dapat dimodifikasi ini merupakan faktor risiko yang tidak dapat dilakukan dengan intervensi, karena sudah menjadi karakteristik dari seseorang tersebut sejak awal kehidupannya. Dibawah ini beberapa faktor resiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi.

a. Usia

Usia menjadi salah satu faktor risiko stroke. Semakin bertambahnya usia seseorang, maka risiko terkena stroke juga bertambah meningkat. Stroke sendiri tidak mengenal usia dalam serangannya. Mulai dari usia remaja, dewasa, hingga lansia dapat terkena serangan stroke (Yueniwati P.W, 2015)

Stroke juga dapat kembali terjadi atau kambuh ketika usia semakin meningkat. Kekambuhan stroke terjadi pada rentan usia 22-38 tahun berkisar sebesar 10%, sedangkan pada usia 39-60 tahun dapat mencapai angka 90% untuk tingkat kekambuhan serangan stroke (Ramdani, 2018).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009, umur seseorang dikategorikan menjadi 9 yaitu: masa balita (usia 0-5 tahun), masa

(13)

kanak-kanak (usia 5-11 tahun), masa remaja awal (usia 12-16 tahun) masa remaja akhir (usia 17-25 tahun), masa dewasa awal (usia 26-35 tahun), masa dewasa akhir (usia 36-45 tahun), masa lansia awal (usia 46-55 tahun), masa lansia akhir (usia 56-65 tahun), dan masa manula (usia 65-keatas).

Walaupun stroke dominan terjadi pada usia dewasa hingga lanjut, namun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada rentan usia dibawah usia lanjut. b. Jenis kelamin

Pada studi kasus yang sering ditemukan, laki-laki cenderung lebih berisiko terkena stroke tiga kali lipat dibandingkan perempuan. Laki-laki lebih dominan terkena stroke iskemik, sedangkan perempuan lebih ke stroke hemoragik (AgroMedia, 2009). Walaupun insiden terjadinya stroke lebih dominan terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Tetapi karena usia harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki-laki maka tidak jarang juga dapat lebih tinggi terjadi pada perempuan.

Ditemukan data dari penelitian (Ramdani, 2018) yang menunjukan bahwa risiko terjadinya stroke kepada jenis laki-laki sebesar 56,2% sedangkan untuk jenis kelamin perempuan sebesar 43,8% dapat berisiko terkena stroke. c. Riwayat penyakit keluarga

Adanya riwayat penyakit keluarga yang pernah terserang penyakit stroke atau penyakit yang berhubungan dengan stroke juga mampu berisiko untuk terkena stroke. Hal itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya faktor genetika, faktor pengaruh budaya, dan gaya hidup keluarga, serta pengaruh dari lingkungan (Yueniwati P.W, 2015).

Dalam hal ini sebagian besar orang yang terkena stroke dapat terserang penyakit stroke dengan pravelensi 35,6%. Dengan jumlah presentase tersebut

(14)

didapatkan data durasi penyakit stroke dalam <1 tahun (20,5%), 1-5 tahun (67,1%), 6-10 tahun (9,6%), dan >10 tahun (2,7%) (Ramdani, 2018).

d. Suku

Orang yang memiliki ras berkulit hitam, Cina, Jepang, dan Hispanik Amerika memiliki risiko lebih besar terkena penyakit stroke dibandingkan orang kulit putih. Hal ini disebabkan dugaan dari angka kejadian hipertensi dan konsumsi garam yang cukup tinggi pada ras kulit hitam (AgroMedia, 2009).

Di Indonesia, suku Padang dan Batak memiliki rentan terserang penyakit stroke lebih besar dibandingkan suku yang lainnya. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan oleh pola makan dan jenis makanan yang lebih dominan mengandung kolesterol berlebih (KEMENKES, 2014).

2.6.2 Faktor Yang Dapat Dimodifikasi

Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu faktor risiko yang dapat dicegah terjadinya penyakit dengan melakukan intervensi. Berikut merupakan beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

a. Hipertensi

Tekanan darah harus mendapat perhatian yang lebih pada penyakit stroke. Tekanan darah tinggi atau yang lebih dikenal dengan istilah hipertensi ini dalah faktor utama yang dapat terjadi pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Pada hal ini hipertensi dapat memicu proses aterosklerosis karena tekanan yang tinggi. Akibat dari hal itu, Low Density Lipoprotein (LDL) kolesterol lebih mudah untuk masuk ke lapisan intima pembuluh darah dan menurunkan elastisitas pembuluh darah. Selain itu, hipertensi dapat menyebabkan kerusakan

(15)

sel-sel endotel pembuluh darah melalui mekanisme perusakan lipid di bawah otot polos (AgroMedia, 2009).

Hipertensi dapat terjadi dikarenakan adanya beberapa faktor risiko yaitu usia, jenis kelamin, keturunan, stres, asupan garam yang berlebih, konsumsi alkohol, kopi berlebih, obesitas dan aktifitas yang berat (Yueniwati P.W, 2015).

Stroke yang terjadi pada jenis non hemoragik di salah satu penelitian sebanyak 88 (78,6%) responden dari total 112 orang akibat dari hipertensi. Sedangkan pada jenis hemoragik didapatkan hasil bahwa 71 responden (91%) dari total 78 orang mengalami stroke akibat dari hipertensi (Purnomo, Widjajanto, & Sulistyarini, 2017).

Seseorang dapat dikatakan hipertensi apabila nilai tekanan darah sistolik dan diastolik melebihi batas normal. Terdapat klasifikasi khusus dalam penentuan hipertensi. Pada penderita yang memiliki tekanan darat tinggi termasuk dalam prehipertensi, hipertensi derajat 1 atau hipertensi derajat 2 (Yonata, Satria, & Pratama, 2016).

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi menurut JNC*VII, 2003 (mmHg)

Kategori Sistolik Diastolik

Normal <120 Dan <80

Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89

Hipertensi derajat 1 140 – 159 Atau 90 – 99 Hipertensi derajat 2 >160 Atau >100

*JNC (Joint National Committee) on the prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure yang

berpusat di Amerika

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa tekanan darah seseorang dapat dikatakan normal apabila nilai sistolik <120 mmHg dan nilai diastolik

(16)

<80 mmHg. Jika rentan nilai sistolik 120-139 mmHg dan nilai diastolik 80-89 mmHg maka dapat dikatakan sebagai prehipertensi. Dan apabila rentan nilai sistolik 140-159 mmHg dan nilai diastolik 90-99 mmHg, maka disebut hipertensi derajat 1. Sedangkan dikatakan hipertensi derajat 2 apabila nilai sistolik >160 mmHg dan nilai diastolik >100 mmHg (Infodatin, 2014).

Dalam penelitian lain menyebutkan bahwa distribusi faktor risiko tekanan darah tinggi pada kasus kekambuhan stroke adalah sebesar 57 orang (91,94%), terdominasi oleh hipertensi derajat 2 sebanyak 41 orang (66,13%). Diikuti sebanyak 16 orang (25,81%) pada hipertensi derajat 1 dan kasus kekambuhan stroke tanpa hipertensi sebesar 5 orang (8,06%) (Irdelia, Joko, & Bebasari, 2014).

b. Gula darah tinggi

Kadar gula darah normal adalah dibawah 200mg/dl. Apabila melebihi nilai normal tersebut maka dapat dikatakan hiperglikemia. Adanya hiperglikemia menunjukan bahwa seseorang tersebut dicurigai terkena penyakit diabetes melitus. Kadar gula darah dapat berubah-ubah secara cepat tergantung dari makanan yang dikonsumsi dan seberapa banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung gula/glukosa tersebut.

Terjadinya stroke akibat kadar gula darah dapat saja terjadi. Seperti salah satu penelitian yang menunjukan data bahwa dari 112 responden sebanyak 56 (50%) mengalami stroke jenis non hemoragik. Sedangkan pada jenis hemoragik didapatkan hasil sebanyak 66 responden (84,6%) dari 78 orang mengalami stroke (Purnomo et al., 2017).

(17)

c. Kolestrol

Kolesterol adalah senyawa lemak yang dihasilkan oleh hati secara kompleks dan memiliki fungsi beragam, misalnya membuat hormon seks, membentuk dinding sel, adrenalin, dan lainnya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa kolesterol memiliki peranan penting dalam tubuh. Meskipun demikian, apabila kadar kolesterol dalam tubuh terlalu banyak maka akan terjadi peningkatan kadar kolesterol dalam darah. Kolestrol yang berlebih ini merupakan zat yang paling berperan dalam terbentuknya arteriosklerosis pada lapisan pembuluh darah yang dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan pembuluh darah terutama di otak. Jika penyumbatan tersebut telah menutupi seluruh rongga pembuluh darah, maka aliran darah akan terhenti dan terjadilah stroke (AgroMedia, 2009).

Dalam hal ini, pemeriksaan kolesterol darah harus dilakukan mengingat kadar kolesterol darah yang tinggi sebagai faktor risiko terjadinya stroke. Kolesterol sendiri tidak larut dalam darah sehingga dalam proses transportasinya ke seluruh tubuh membutuhkan bantuan protein yang disebut lipoprotein. Lipoprotein dalam hubungannya dengan stroke biasanya terlihat dari pemeriksaan laboratorium tentang kolesterol total, Low Density Lipoprotein (LDL), High Density Lipoprotein (HDL), dan trigliserida (Yueniwati P.W, 2015).

Dilihat dari distribusi faktor risiko kolesterol dalam darah pada kekambuhan stroke didapatkan hasil tertinggi memiliki risiko sebanyak 46 orang (95,83%). Sedangkan yang tidak memiliki risiko kambuh dari stroke sebanyak 2 orang (4,17%). Dominan terjadi oleh gangguan kadar lemak total, LDL, HDL, sebanyak 14 orang (30,44%). Diikuti dengan kombinasi kolesterol

(18)

total dan LDL sebesar 11 orang (23,91%), 7 orang dengan kombinasi kolesterol total, LDL, HDL, trigliserida (15,22%) (Irdelia et al., 2014).

Adapun dalam penelitian lain menyebutkan bahwa pada kelompok kasus usia <50 tahun kadar kolesterol tinggi lebih rendah (33,3%) dibanding kadar kolesterol normal (66,7%). Dan pada kelompok kontrol usia >50 tahun kadar kolesterol tinggi lebih tinggi sebesar (40%) dibandingkan kadar kolesterol normal (33,3%) (Alchuriyah & Wahjuni, 2016).

Tingginya kadar kolesterol dalam darah dapat menjadi pemicu timbulnya penyakit stroke, bahkan risiko terjadinya stroke berulang pada penderita stroke. Hal tersebut dapat terjadi karena kolesterol adalah zat yang berada dalam aliran darah, semakin tinggi kadar kolesterolnya maka kemungkinan terjadi penumpukan dalam aliran darah sangat bisa saja terjadi. Adanya penumpukan dalam aliran darah dapat menyebabkan terganggunya aliran dalam pembuluh darah yang akan menuju ke otak sehingga lebih sempit dan berisiko untuk terkena stroke.

d. Penyakit jantung

Penyakit jantung atau adanya kelainan pada jantung memiliki kemungkinan untuk menyebabkan iskemia otak. Hal tersebut disebabkan karena adanya denyut jantung yang tidak efisien dan tidak teratur sehingga dapat menurunkan curah jantung serta mengakibatkan iskemia atau aliran darah ke otak berkurang. Adanya penyakit jantung atau kelainan pada jantung ini mendapatkan risiko untuk terkena stroke lebih tinggi 3 kali lipat dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki penyakit jantung atau kelainan pada jantung. Sedangkan dengan adanya penyakit atau kelainan ini dapat

(19)

terjadinya pelepasan embolus (keping darah) yang dapat menyumbat aliran pembuluh darah yang menuju ke otak (Yueniwati P.W, 2015).

Ditemukan hasil bahwa distribusi faktor risiko penyakit jantung pada kekambuhan stroke yang terbanyak yaitu tidak memiliki penyakit jantung sebesar 69,35% dengan jumlah 43 orang dan untuk penderita yang memiliki penyakit jantung sebesar 30,65% dengan jumlah 19 orang (Irdelia et al., 2014). e. Diabetes melitus

Diabetes melitus (DM) dikenal sebagai suatu penyakit atau disebut penyakit gula darah. Selain sebagai penyakit, juga merupakan faktor risiko terjadinya stroke. Diabetes melitus dibagi menjadi dua tipe, yaitu diabetes tipe 1 dan diabetes tipe 2. Diabetes tipe 1 terjadi akibat defisiensi insulin karena destruksi sel beta yang disebabkan oleh idiopatik ataupun autoimun. Sedangkan diabetes tipe 2 terjadi karena defisiensi insulin relatif yang disebabkan oleh defek sekresi insulin lebih banyak daripada resistensi insulin ataupun dapat juga sebaliknya, atau juga dipengaruhi oleh perilaku makan dari penderita itu sendiri. Seseorang dapat dikatakan terkena diabetes melitus apabila kadar gula dalam darah melebihi batasan normal. Batasan normal kadar gula darah puasa <110 mg/dl. Apabila melebihi nilai 110 mg/dl maka dapat dikatakan menderita diabetes melitus (Yueniwati P.W, 2015).

Dengan adanya DM dalam diri seseorang maka dapat meningkatkan risiko untuk terkena stroke. Hal tersebut dapat terjadi karena DM meningkatkan aterosklerosis dan faktor lainnya seperti hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia. Dalam hal ini pengontrolan tekanan darah pada penderita DM juga harus dilakukan secara teratur dan secara ketat mengontrol kadar gula

(20)

darah. Tekanan darah yang disarankan untuk penderita DM adalah <130/80 mmHg.

Pada kekambuhan stroke itu sendiri, diabetes melitus juga sangat berpengaruh besar sebagai faktor risiko yang cukup menjadi pemantauan secara ketat. Apabila penderita yang terkena stroke kemudian sembuh, akan tetapi tidak mengontrol kadar gula darah dengan baik dikarenakan pola hidup dan makanan yang tidak sehat maka kemungkinan terjadinya kekambuhan serangan stroke.

Pada salah satu penelitian diketahui bahwa distribusi faktor resiko kadar gula darah pada kekambuhan stroke terdominasi tidak memiliki faktor risiko diabetes melitus sebanyak 39 orang (62,90%). Pada kasus kekambuhan stroke yang disertai diabetes melitus sebanyak 12 orang (19,36%) (Irdelia et al., 2014). f. Obesitas

Istilah obesitas sangat seringkali kita dengar bahkan dihubungkan dengan beberapa orang yang memiliki berat badan besar. Obesitas itu sendiri adalah kondisi dimana Body Mass Index (BMI) > 30kg/m atau suatu keadaan kelebihan berat badan melebihi 20% dari berat idealnya. Obesitas termasuk dalam faktor predisposisi terjadinya penyakit kardiovaskular dan stroke. Hal ini dihubungkan dengan adanya peningkatan tekanan darah pada penderita obesitas yang disebabkan karena jantung lebih keras bekerja untuk memompa darah ke seluruh tubuh akibat dari berat badan yang berlebih. Obesitas juga dapat meningkatkan terjadinya proses aterosklerosis. Sehingga penurunan berat badan pada penderita obesitas dapat mengurangi risiko terkena penyakit stroke (Yueniwati P.W, 2015).

(21)

Penurunan berat badan pada penderita obesitas juga dapat mengurangi resiko terjadinya kekambuhan serangan stroke. Dengan cara aktifitas fisik yang dianjurkan dan pola makan yang baik, maka akan menajdi berat badan dalam rentan ideal.

Obesitas seseorang dapat ditentukan melalui pengukuran indeks massa tubuh (IMT). IMT adalah rasio standar berat terhadap tinggi, dan sering digunakan sebagai indikator kesehatan umum. IMT dihitung dengan membagi berat badan (dalam kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter) (Thamaria, 2017). Cara mengukur IMT menurut rumus:

IMT = Berat badan (Kg) Tinggi Badan (m2)

Dari rumus diatas dapat ditemukan nilai IMT seseorang yang dikategorikan menjadi 4 (kurus, normal, gemuk, dan obesitas). Pada kategori kurus dibagi menjadi 2 yaitu: kekurangan berat badan tingkat ringan dan berat. Serta kategori gemuk juga dibagi menjadi 2 yaitu: kelebihan berat badan ringan dan berat.

Tabel 2.2 Indeks Massa Tubuh

Kategori Nilai Kg/m2

Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17 Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,4

Normal Normal 18,5 – 25,0

Gemuk Kelebihan berat badan 25,1 – 27,0

Obesitas Kelebihan berat badan berat > 27 Apabila nilai IMT seseorang dapat diketahui, maka akan lebih mudah untuk mengontrol gaya hidup seseorang khususnya pada penyakit kekambuhan

(22)

stroke yang dimana obesitas menjadi salah satu faktor risiko terjadinya serangan stroke berulang.

2.6.3 Faktor Risiko Perilaku a. Merokok

Merokok adalah termasuk dalam faktor yang cukup signifikan untuk meningkatkan risiko terjadinya penyakit stroke. Orang yang memiliki kebiasaan merokok sehari-harinya memiliki risiko lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Hal tersebut disebabkan karena zat-zat yang terkandung dalam rokok termasuk zat kimia serta racun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dapat merusak pembuluh darah pada lapisan endotel, menyebabkan kerusakan sistem kardiovaskular, dan meningkatkan tekanan darah. Nikotin pada rokok menyebabkan meningkatnya denyut jantung serta tekanan darah, menurunkan kolesterol HDL dan meningkatkan kolesterol LDL, dan mempercepat arteriosklerosis. Kebiasaan merokok tersebut berpotensi terhadap serangan stroke iskemik dan hemoragik akibat pecahnya pembuluh darah pada daerah otak (AgroMedia, 2009).

Kambuhnya serangan stroke dapat terjadi kembali apabila penderita tidak merubah kebiasaan merokoknya. Kebiasaan merokok ini dapat meningkatkan tekanan darah serta aterosklerosis yang sangat mempengaruhi kinerja jantung dan aliran pembuluh darah (Irdelia et al., 2014).

b. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol

Faktor risiko alkohol sebagai pencetus terjadinya stroke memang masih simpang siur tergantung dosis yang di konsumsi. Namun, alkohol dapat meningkatkan risiko serangan stroke apabila diminum dalam jumlah banyak

(23)

dan dengan dosis tinggi. Akan tetapi kebiasaan mengkonsumsi alkohol ini dalam jumlah tertentu memang dapat memberikan sumbangan sebagai faktor risiko terjadinya stroke. (Yueniwati P.W, 2015)

c. Aktifitas fisik

Aktifitas fisik atau dapat juga disebut olahraga adalah suatu bentuk kegiatan yang mampu merangsang berulang pada tubuh. Rangsangan tersebut akan di adaptasi oleh tubuh apabila dilakukan secara teratur dan dalam waktu yang tepat. Hubungan aktifitas fisik dengan stroke yaitu terletak pada hipertensi dan aterosklerosis. Apabila seseorang rutin melakukan aktifitas fisik atau olahraga dengan durasi 30-60 menit dan dalam kurun waktu 3-5 kali seminggu, maka dapat menurunkan risiko terkena penyakit stroke.

Aktifitas fisik itu sendiri dapat sebagai cara untuk mencegah terjadinya kekambuhan stroke dengan secara rutin melakukan aktifitas fisik yang sudah dianjurkan dalam bentuk aktifitas ringan hingga berat, serta ditunjang dengan pola hidup atau makan yang baik dan benar sehingga kambuhnya serangan stroke dapat dihindari. Seperti dalam salah satu penelitian dimana sebanyak 7.7% melakukan aktifitas fisik berat dan 36,4% melakukan aktifitas fisik ringan dapat membantu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya stroke berulang (Wayunah & Saefulloh, 2016).

Hal tersebut terjadi akibat aktifitas fisik yang dapat membuat pembuluh darah menjadi lancar dan lebar. Sehingga jantung tidak harus memompa terlalu kuat dan memperingan kinerja dari jantung itu sendiri. Aterosklerosis juga akan sulit terjadi akibat lebarnya aliran pembuluh darah.

(24)

d. Stres

Stres memang bukan termasuk dalam faktor risiko terjadinya stroke. Akan tetapi stres mampu mengakibatkan produksi radikal bebas lebih banyak, menurunkan imunitas, dan mengganggu fungsi dan kinerja hormonal. Stres terbagi menjadi tiga, yaitu stres biologis, stres psikis, dan stres fisik. Stres biologis berhubungan dengan infeksi oleh bakteri dan virus pada sel-sel yang berada pada tubuh. Stres psikis berhubungan dengan mental atau emosional dari seseorang tersebut. Stres fisik terjadi akibat aktifitas fisik yang berlebihan.

Dari ketiga macam stres diatas, stres psikis adalah yang paling dominan terjadi pada manusia, entah disadari ataupun tidak disadari oleh manusia itu sendiri. Apabila stres ini tidak diatur dengan baik, maka dapat mengakibatkan respon tubuh yang berlebihan dengan menghasilkan hormon yang membuat tubuh menjadi waspada, yaitu hormon kortisol, hormon epinefrin, hormon katekolamin, dan hormon adrenalin. Dalam hubungannya dengan penyakit stroke terletak pada produksi hormon kortisol dan adrenalin yang dimana berkontribusi dalam proses aterosklerosis. Hal tersebut disebabkan karena hormon kortisol dan adrenalin mampu meningkatkan jumlah trombosit dan produksi kolesterol. Hormone tersebut juga mampu merusak sel yang melapisi pembuluh darah arteri sehingga lebih mudah jaringan lemak untuk tertimbun pada dinding dalam arteri (Yueniwati P.W, 2015).

2.6.4 Faktor Sosial Ekonomi a. Pengetahuan

Pengetahuan dalam hal ini sangat berpengaruh besar perannya untuk mengenal suatu penyakit khususnya stroke. Dimana pengetahuan memiliki arti

(25)

sebagai suatu upaya untuk mempengaruhi orang lain dalam merubah perilakunya mencegah terjadinya suatu penyakit. Stroke itu sendiri adalah termasuk penyakit multikausal yang memiliki hubungan erat dengan perilaku atau gaya hidup seseorang. Pengetahuan disini digunakan dalam upaya menambah ilmu seseorang akan penyakit yang diharapkan dengan informasi tersebut dapat merubah perilaku dan pola hidup menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan termasuk dalam faktor sosial ekonomi yang secara tidak langsung berkaitan dengan penyakit stroke (Yueniwati P.W, 2015)

b. Pendidikan

Pendidikan memiliki tingkatan, ada seseorang yang memiliki tingkat pendidikan dari SD, SMP, SMA, atau bahkan hingga perguruan tinggi. Dalam hal ini tingkat pendidikan berhubungan dengan pengetahuan yang ada disetiap individu. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin tinggi pula pengetahuan yang dimiliki seseorang tersebut. Dengan demikian pendidikan menjadi hal penting yang dapat mempengaruhi kekambuhan serangan stroke untuk kedua kalinya, ketiga, dan seterusnya.

2.7 Tatalaksana Kekambuhan Stroke

Tatalaksana dalam mengatasi atau mengurangi risiko terjadinya kekambuhan serangan stroke dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengontrol tekanan darah, gaya hidup yang baik, mengkonsumsi makanan yang dianjurkan untuk penderita stroke, olahraga secara teratur, dan tidak merokok.

Selain itu, pencegahan agar kekambuhan stroke tidak kembali juga bisa dilakukan dengan menghindari faktor risiko yang dapat menyebabkan serangan

(26)

stroke berulang. Pencegahan serangan stroke yang dilakukan pada orang sehat dan tidak memiliki riwayat penyakit stroke disebut pencegahan primer. Sedangkan pencegahan kekambuhan serangan pada orang yang sudah pernah mengalami stroke disebut dengan pencegahan sekunder (Pinzon & Asanti, 2010).

Pada dasarnya kekambuhan stroke dapat dicegah. Hal tersebut tentunya dilakukan dengan memahami dan menghindari faktor risiko terjadinya stroke. Kekambuhan serangan stroke memiliki faktor risiko yang sama dengan serangan stroke pertama (Ramdani, 2018). Sehingga dalam hal ini harus ditingkatkan pemahaman dan kesadaran penderita stroke akan risiko apa saja yang dapat menimbulkan kekambuhan serangan.

Menurut (Pinzon & Asanti, 2010) serangan kekambuhan stroke dapat dicegah dengan “STROKE”.

1. S = Seimbang Gizi

Dilakukan dengan mempertahankan gizi yang seimbang. Mengkonsumsi minyak yang berlebih dapat meningkatkan dan menyebabkan risiko hiperkolesterolemia. Begitu pula dengan konsumsi garam berlebih dapat meningkatkan tekanan darah. Sehingga pada orang pasca stroke harus mampu mempertahankan gizi dengan baik dan seimbang untuk mengurangi risiko kekambuhan serangan stroke terjadi kembali.

2. T = Turunkan Berat Badan Berlebih

Kekambuhan stroke dapat terjadi pada orang yang memiliki berat badan berlebih atau obesitas. Obesitas memberikan beban yang berat kepada jantung dalam menjalankan fungsinya. Selain itu obesitas juga menjadi predisposisi

(27)

dalam peningkatan kadar kolesterol dalam darah, hipertensi, dan diabetes melitus.

3. R = Rajin Ukur Tekanan Darah

Tekanan darah yang tinggi atau hipertensi diketahui menjadi salah satu faktor risiko terbesar terjadinya kekambuhan stroke. Sehingga dilakukannya pemeriksaan tekanan darah secara rutin untuk mengetahui sedini mungkin apabila ada tanda-tanda peningkatan tekanan darah pada orang dengan pasca stroke. Hal tersebut dilakukan untuk pencegahan kekambuhan serangan stroke. 4. O = Olahraga Teratur

Olahraga secara teratur dapat memperlancar aliran darah, menurunkan tekanan darah, menurunkan berat badan, dan menurunkan kolesterol jahat dalam darah. Olahraga membuktikan bahwa dapat menurunkan tekanan darah sebesar 4-9 mmHg.

5. K = Kurangi Stres

Stres menjadi salah satu faktor risiko terjadinya serangan stroke dengan meningkatkan tekanan darah, menghambat regenerasi jaringan, dan menurunkan imunitas tubuh. Sehingga dalam hal ini stress menjadi pemicu untuk terjadinya kekambuhan stroke.

6. E = Enyahkan Rokok

Merokok menjadi salah satu kebiasaan buruk yang dilakukan akibat dari kebiasaan sebelum terkena penyakit stroke. Jika dilakukan secara terus menerus akan menyebabkan kambuhnya serangan stroke. Merokok dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, penyakit jantung, dan menurunkan aliran darah ke otak. Sehingga orang dengan pasca stroke harus berhenti dari merokok untuk menghindari risiko terjadinya serangan stroke berulang.

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi hipertensi menurut JNC * VII, 2003 (mmHg)
Tabel 2.2 Indeks Massa Tubuh

Referensi

Dokumen terkait

Merupa upaka kan n pom pompa pa yan yang g ber berfun fungsi gsi men mengan gangka gkat t (ja (jack) ck) por poros os tur turbin bin den dengan gan tek tekana anan

A adalah lambang dari data garis dasar ( baseline data ), B untuk data perlakuan ( treatment data ), dan A kedua ditujukan untuk mengetahui apakah tanpa

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Dalam seluruh rangkaian kegiatan pengabdian kepada masyarakat di Kelompok Apules berupa teknik budidaya lele dengan menggunakan bioflok dapat disimpulkan bahwa kegiatan ini

Model Stimulasi Kecerdasan Visual Spasial Dan Kecerdasan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Metode Kindergarten Watching Siaga Bencana Gempa Bumi Di Paud

Sehingga dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran di kelas eksperimen (mengunakan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) berbasis pemahaman nilai-nilai sosial) lebih

Ashfiya Nur Atqiya, D0212020, JURNALISME DAMAI DAN BERITA TENTANG GAFATAR (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Jurnalisme Damai pada Berita Gerakan Fajar Nusantara

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan