• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS POLA SEBARAN SPASIAL Panthera pardus melas Cuvier, 1809 DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO GHUFRON AHMAD E

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS POLA SEBARAN SPASIAL Panthera pardus melas Cuvier, 1809 DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO GHUFRON AHMAD E"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

Panthera pardus melas Cuvier, 1809

DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

GHUFRON AHMAD E 34102054

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

RINGKASAN

Macan tutul jawa merupakan predator yang cepat beradaptasi pada perubahan, mampu mempelajari hal baru dengan cepat, lihai menyembunyikan diri, mempunyai kemampuan memanjat yang baik, memiliki kemampuan berenang, dan sangat lincah di permukaan tanah. Struktur tulang macan tutul jawa menunjukkan bahwa jenis ini merupakan individu yang yakin pada kekuatan, kecepatan, serta ketangkasannya. Karakteristik ini seringkali menimbulkan kesulitan dalam hal penelitian maupun inventarisasi yang diperlukan untuk kepentingan pengelolaan dan pelestarian.

Jumlah macan tutul jawa pada area konservasi di seluruh pulau Jawa diperkirakan 350-700 ekor (Santiapillai dan Ramono, 1992). Meskipun keadaan macan tutul jawa masih lebih baik bila dibandingkan dengan harimau jawa, tetap saja kegiatan pengelolaannya harus dilaksanakan dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Pihak pengelola, atau dalam hal ini Taman Nasional Alas Purwo, dituntut untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti para peneliti, mahasiswa, ataupun masyarakat umum karena upaya pelestarian tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2006 di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah untuk menentukan pola sebaran spasial macan tutul jawa, dan membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas macan tutul jawa dengan karakteristik habitat alaminya di Taman Nasional Alas Purwo.

Pada penelitian ”Analisis Pola Sebaran Panthera pardus melas Cuvier, 1809 di Taman Nasional Alas Purwo” ini, pengambilan data dilakukan secara pengamatan langsung maupun tidak langsung. Data pengamatan langsung didapatkan dari perjumpaan secara langsung dengan macan tutul jawa, sedangkan data pengamatan tidak langsung bersumber pada jejak berupa suara, jejak kaki, sisa makanan, cakaran di tanah (scrape), cakaran di pohon (scratch), dan feces.

Pengamatan dilaksanakan di lima tipe ekosistem, yaitu mangrove, hutan pantai, hutan tanaman, hutan dataran rendah, dan padang penggembalaan Sadengan. Terdapat 41 data kontak dengan macan tutul jawa yang berhasil dikoleksi. Data tersebut menunjukkan beberapa aktivitas yang dilakukan oleh macan tutul jawa, yaitu: berjalan, berburu, makan, bersuara, mencakar di tanah, mencakar di pohon, mengasuh anak, dan bersuara. Hasil perhitungan dengan chi kuadrat (x2tabel = 23, 685, dan x2hitung = 40) membuktikan bahwa

tipe aktivitas macan tutul jawa memiliki hubungan dengan karakteristik habitat yang ada di Taman Nasional Alas Purwo.

Dari analisis data juga dapat diketahui bahwa macan tutul jawa di Taman Nasional Alas Purwo memiliki pola sebaran spasial mengelompok. Hal ini terkait dengan faktor internal maupun faktor eksternal.

Faktor internal yang dimaksud adalah sifat biologis macan tutul jawa (postur, komposisi fisik dan kimia tubuh, proses metabolisme, ekspresi, kepekaan, reproduksi, adaptasi) dan perilaku macan tutul jawa yang dipengaruhi oleh rangsang dari dalam (endogenus factor) maupun rangsang dari luar (exogenus factor).

Faktor eksternal yang menentukan adalah komponen habitat (satwa mangsa macan tutul jawa, ketersediaan air, cover berupa struktur vegetasi maupun formasi batuan/gua) dan potensial gangguan (kebakaran, perburuan liar, tradisi ritual kepercayaan, pariwisata, eksploitasi sumberdaya alam yang belum terkontrol).

(4)

ANALISIS POLA SEBARAN SPASIAL

Panthera pardus melas Cuvier, 1809

DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

GHUFRON AHMAD E 34102054

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Panthera pardus melas Cuvier, 1809

DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

GHUFRON AHMAD E 34102054

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Analisis Pola Sebaran Spasial Panthera pardus melas Cuvier, 1809

di Taman Nasional Alas Purwo

Nama Mahasiswa : Ghufron Ahmad Nomor Pokok : E 34102054

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata

Fakultas : Kehutanan

Menyetujui, Pembimbing I

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA NIP: 131.430.800

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP: 131.430.799

(7)

Purworejo, 5 Juli 1984. Bersekolah di SDN Jono 1 (1990-1996) dan Madrasah (1993-1995), SLTPN 1 Grabag (1996-1999), dan SMUN 2 Purworejo (1999-2002). Masuk ke Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowosata Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI.

Selama menjadi mahasiswa, penulis terlibat aktif dalam sejumlah kegiatan lapang: Bina Corps Rimbawan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Magang Mandiri di Program Konservasi Harimau Sumatera (PKHS) TN Way Kambas, kunjungan ke Sumatran Rhino Sanctuary (SRS), 1st Ekspedisi Global bersama Rhino Protection Unit (RPU) di TN Bukit Barisan Selatan, Observasi Kolaboratif bersama Pecinta Alam IGREX di CA Gunung Masigit Kareumbi Bandung, Eksplorasi di Bodogol, Eksplorasi di CA/TWA Pangandaran Ciamis, Pendidikan dan Pelatihan Metamorfosa di TN Gunung Halimun Salak dan Megamendung, Praktek Ekologi Hutan di TN Gunung Gede Pangrango, Praktek Pengelolaan dan Perencanaan Hutan di KPH Banyumas Barat dan Baturraden, Praktek Pencemaran Lingkungan di CA Blanakan, Praktek Pengelolaan Satwaliar di CA Muara Angke, Praktek Manajemen Kebijakan Konservasi di Cagar Alam Yanlapa Jasinga, Praktek Ekologi Satwaliar di Pulau Rambut, Praktek Pengelolaan Satwaliar di Taman Margasatwa Ragunan, Praktek Inventarisasi Sumberdaya Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, field trip ke Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Gadog, Praktek Pendidikan Konservasi di Desa Cibanteng, Praktek Rekreasi Alam di Situ Cijantungeun, Praktek Kerja Lapangan dan Profesi di TN Alas Purwo, dan penelitian bersama PPLH IPB di CA/TWA Telaga Warna Puncak.

Penulis juga diberi kepercayaan sebagai: Sie Publikasi Piknas Fahutan 2003, Wakil Ketua Umum UKF 2004, panitia Seminar Nasional Harimau Sumatera 2004, koordinator sie lapangan dan pelatihan Paguyuban Seroja 2004, Staf Departemen PSDM UKF 2005, Ketua UKF Expo 2005: (Seni Konservasi 2005, Kampanye Pelestarian Fauna 2005, Parade Film Fauna 2005, Exhibition 2005, Galeri Foto Fauna 2005, Dongeng Satwa 2005, dan Seminar Nasional Badak Jawa 2005), member Taman Plasma, pendiri Komunitas Serasah, anggota tim nasyid Taubat, juri Lomba Menggambar Satwa 2006, juri Lomba Mewarnai Satwa 2006, juri Lomba Dongeng Satwa 2006, MC pada Seminar Nasional Curik Bali 2006. , dan penulis lagu-lagu bertemakan pelestarian alam untuk U.K. Fauna Institut Pertanian Bogor. [nocturnovus@yahoo.com]

(8)

KATA PENGANTAR

ﻢﺴﺑ ا ﺮﻠاﷲ ﺣ ﻢﻴﺣرﻠاﻦﻤ

Bermula dari keprihatinan akan keadaan macan tutul jawa yang eksistensinya terkesan dianak tirikan apabila dibandingkan dengan intensitas perhatian yang diberikan kepada harimau sumatera, maka tumbuhlah suatu cita-cita untuk dapat memberikan sesuatu yang berarti bagi dunia konservasi macan tutul jawa. Penelitian ”Analisis Pola Sebaran Spasial Populasi Panthera pardus melas Cuvier, 1809 di Taman Nasional Alas Purwo” ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk pengabdian dalam perjuangan menjaga kelestarian plasma nutfah yang ada di Indonesia.

Sudah semestinya setiap spesies penyusun keanekaragaman hayati termasuk macan tutul jawa, mendapatkan perhatian dan kedudukan yang layak juga terlindungi, setara dengan pesona dan nilai keilmuan tak tergantikan yang menyertainya. Tidak perlu menunggu hingga dunia barat menyatakan mengenai kritisnya kondisi suatu spesies tertentu, baru kita berbondong-bondong menunjukkan kepedulian kita. Sudah saatnya masyarakat Indonesia membuka mata untuk lebih peduli terhadap nilai dan potensi yang dimiliki, yang bersamanya selalu terdapat tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga kelestariannya.

Dengan prinsip dasar bahwa kontribusi sekecil apapun akan memiliki arti dalam sebuah proses, maka sedikit kajian mengenai macan tutul jawa ini disusun. Besar harapan penulis bahwasanya sedikit karya ini dapat bermanfaat bagi usaha pelestarian Panthera pardus melas Cuvier, 1809 di Indonesia. Semoga Allah memberikan kekuatan serta cintaNya.

(9)

proses menemukan dan menulis karya ini:

1. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku dosen pembimbing. 2. Syahrial Anhar Harahap sebagai ‘konsultan macan’.

3. Yang secinta dan sedarah: Bapak Sayidi, Ibu Endang Pertiwi, dan R. Farisa Ahmad. 4. Pemerintah Daerah Kabupaten Purworejo sebagai penyandang dana penelitian.

5. Saudara seperjuangan: KSH 39 (2002), KSH 38 (2001), KSH 41 (2004), U.K. Fauna IPB dan HERBIVegetarian (selamatkan fauna indonesia!), Paguyuban SEROJA, Komunitas SERASAH (..dan berpuisilah sampai mati..), & Keluarga GAMAPURI.

6. Team PKLP TeEnAPe La’Kere: Idel Subo, Gugum Vietkong, Indri BI, Dani Indun, Abah

Hitler, Dira Semar.

7. Masyarakat Mushola, sahabat & partner berpetualang yang hebat: Gus Muslim, Amin, Sodiq, Muhaimin, Cak Saeful, Bang Heri, Bowo, Dodi Amarillo. (Matur sembah nuwun) 8. Resto Rowobendo: Pak Pon & Bu Jar, Resto Pancur: Pak Hadi & Bu Wiwik.

9. Pasukan kuncen Alas Purwo: Mas Gendut, Kang Banda, Mas Cipto, Mas Margo, P’Bambang, P’Hudiyono, Mas Ajir, Mas Handoko, Mas Nano, Mas Paidi, P’Misijo, P’Misenu, P’Heru, P’Joko, Mas Joko, Mbak Imas, Mbak Dian, Mbah Sampun, P’Komar, Mbah Man, P’Heri, P’Tekun, P’Harto, P’Untung, Mbah Barodji, de’es be.

10. Putri ‘Macan Nanggroe’ Komalasari, Keluarga Ismail & Cut Ina.

11. Big NOLers: Penjinak Jelangkung Statistik-Maryanti, Pongo Ireng-Julius, Merak Ijo-Nisa, Badak Estrus-Andrian, Meong Tua-Pa’de, Prince Tong2-Dodo, RajaKatak-Ucok. 12. SiX: Sinta UNSOED, Ditya UNDIP, Acoy IPB, Naning UNWAMA, Wuri UGM.

13. Teman seatap sepernaungan di C3-248, Baitussalaam, late Padepokan Rimba, Jamparing, & GongLi.

14. Wita Amazon, Vina & Diah Alcatraz, dan seluruh jajaran staf KSHE.

15. Sakabehan pihak-nampak tak nampak, yang sulit ditembangkan satu per satu.

Dan ketika tak ada sesuatu yang bisa saya berikan untuk membalas kebaikan serta sejumlah pengorbanan yang telah saya terima, maka permohonan maaf - doa - dan sebagian kapasitas ingatan saya, akan dipersembahkan untuk mengenang segala hal tentang kalian. Howgh!

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Macan Tutul Jawa ... 3

Pola Sebaran Spasial Satwaliar ... 8

KONDISIS UMUM TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Sejarah Kawasan ... 9

Kondisi Fisik ... 9

Kondisi Biotik ... 10

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat ... 10

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu ... 11

Bahan dan Alat ... 11

Pengambilan Data ... 12

Analisis Data ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat ... 18

Pola Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa ... 25

Hubungan Antara Tipe Aktivitas Macan Tutul Jawa Dengan Karakteristik Habitat.... ... 43

Interaksi Macan Tutul Jawa Dengan Manusia ... 45

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 46

Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(11)

1 Penampilan visual macan tutul ... 5

2 Peta lokasi penelitian macan tutul jawa ... 12

3 Zona kontak dengan macan tutul jawa ... 28

4 Track macan tutul jawa ... 28

5 Identifikasi jejak kaki macan tutul jawa ... 29

6 Kondisi substrat sebagai media perekam jejak kaki ... 29

7 Jejak aktivitas makan ... 32

8 Feces macan tutul jawa ... 33

9 Scrape macan tutul jawa ... 33

10 Scratch macan tutul jawa ... 34

11 Tempat terdengar suara macan tutul jawa ... 35

12 Penyu di pantai marengan ... 36

13 Beberapa sumber air di Taman Nasional Alas Purwo ... 37

14 Penampilan vegetasi pada beberapa ekosistem ... 38

15 Gua kecil dan formasi batuan di Taman Nasional Alas Purwo ... 39

16 Pengambilan sumberdaya alam di Taman Nasional Alas Purwo ... 40

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Ukuran tubuh macan tutul ... 4

2 Penampilan fisik, medula, dan sisik rambut macan tutul jawa ... 6

3 Tabel isian aktivitas macan tutul jawa ... 15

4 Jenis vegetasi di hutan pantai ... 17

5 Jenis vegetasi di hutan dataran rendah ... 18

6 Jenis tumbuhan bawah di padang penggembalaan Sadengan ... 20

7 Jenis vegetasi di hutan tanaman ... 20

8 Jenis vegetasi di mangrove ... 21

9 Fluktuasi lama penyinaran matahari ... 22

10 Fluktuasi curah hujan dan jumlah hari hujan ... 22

11 Fluktuasi kelembaban udara ... 23

12 Fluktuasi penguapan air ... 23

13 Fluktuasi suhu udara ... 24

14 Fluktuasi tekanan udara ... 24

15 Fluktuasi kecepatan, kecepatan maksimum, dan dominasi arah angin ... 25

16 Frekuensi kontak dengan macan tutul jawa ... 26

17 Jenis aktivitas macan tutul jawa di lima tipe ekosistem ... 27

18 Pengaruh kondisi substrat terhadap bentukan jejak kaki dan cetakan gips ... 29

19 Penggunaan waktu oleh macan tutul jawa ... 32

20 Keanekaragaman mangsa satwa macan tutul jawa ... 36

21 Data perburuan di Taman Nasional Alas Purwo ... 39

22 Data pengambilan sumberdaya alam di Taman Nasional Alas Purwo ... 41

23 Data kebakaran hutan di Taman Nasional Alas Purwo ... 42

24 Rekapitulasi temuan aktivitas macan tutul jawa pada tiga tipe ekosistem ... 44

(13)
(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809) merupakan satwa endemik pulau Jawa. Namun demikian, data dan pengetahuan yang telah diarsipkan selama ini masih belum setara dengan nilai positif eksistensi macan tutul jawa. Jumlah macan tutul jawa pada area konservasi di seluruh pulau Jawa belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 350-700 ekor (Santiapillai dan Ramono, 1992). Secara alamiah, macan tutul jawa merupakan predator yang pandai beradaptasi pada perubahan, mampu mempelajari hal baru dengan cepat, lihai menyembunyikan diri, mempunyai kemampuan memanjat yang baik, dapat berenang, dan sangat lincah di permukaan tanah. Naluri yang kuat serta kemampuan yang hebat ini seringkali menimbulkan kesukaran dalam kegiatan penelitian serta inventarisasi untuk pengelolaannya.

Macan tutul jawa termasuk dalam kategori endangered species dalam daftar IUCN, dan appendix I dalam daftar CITES. Satwa mengagumkan ini dilindungi oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dan Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa. Hal ini menegaskan nilai penting kelestarian macan tutul jawa.

Kondisi kelestarian macan tutul jawa pada saat ini cukup mengkhawatirkan. Macan tutul jawa menghadapi berbagai masalah yang berpotensial mengakibatkan gangguan dan kepunahan. Aktivitas manusia seperti perubahan peruntukan lahan, pembakaran, serta perburuan liar terhadap macan tutul jawa ataupun satwa mangsanya merupakan ancaman serius yang harus segera dicari akar masalah serta solusinya.

Salah satu habitat dari macan tutul jawa adalah Taman Nasional Alas Purwo (TNAP), Jawa Timur. Meskipun keadaan macan tutul jawa masih lebih baik bila dibandingkan dengan harimau jawa, tetap saja kegiatan pengelolaannya harus dilaksanakan dengan hati-hati dan bertanggung jawab. Pihak pengelola dituntut untuk dapat bekerja sama dengan pihak lain seperti para peneliti, mahasiswa, ataupun masyarakat umum, karena upaya pelestarian tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak maupun oleh satu atau beberapa golongan tertentu saja.

Salah satu langkah dalam proses pencapaian tujuan untuk melestarikan macan tutul jawa adalah dengan melakukan penelitian-penelitian terhadap satwa ini. Misalnya dengan meneliti aspek sebaran spasial dan karakteristik habitat yang digunakan oleh macan tutul jawa sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan yang tepat menyangkut pengelolaan dan peluang kelestarian macan tutul jawa di habitat aslinya.

(15)

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menentukan pola sebaran spasial macan tutul jawa dan membuktikan adanya hubungan antara tipe aktivitas yang dilakukan oleh macan tutul jawa dengan karakteristik habitat di TNAP, Jawa Timur.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan data dan informasi untuk kegiatan pengelolaan macan tutul jawa di TNAP, serta bermanfaat sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut kelestarian macan tutul jawa dan habitatnya di Indonesia.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Bio-Ekologi Macan Tutul Jawa Taksonomi

Macan tutul jawa termasuk binatang bertulang belakang dengan klasifikasi sebagai berikut (Gunawan, 1988; Anonim,1978; Lekagul dan McNeely,1977):

Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Sub-phylum : Vertebrata

Class : Mammalia

Ordo : Carnivora

Sub Ordo : Fissipedia Family : Felidae

Sub-family : Pantherinae

Genus : Panthera

Spesies : Panthera pardus Linnaeus, 1758

Sub Spesies : Panthera pardus melas Cuvier, 1809 untuk macan tutul jawa. Sinonim : Felis pardus Linnaeus, 1758

Felis orientalis Schlegel, 1857 Felis fusca Meyer, 1794

Panthera antiquorium Fitzinger, 1868

Nama Daerah : Jawa : macan, macan tutul, sima, seruni, kombang, gogor, pogoh, bungbak.

Madura : macan totol

Sunda : macan tutul, meong hideung, rimau lalat, meong kerud. Melayu : harimau tutul

Nama Asing : Inggris : leopard, panther Belanda : lui’paard, panter

Cina : bào Jerman : leopard Greek : leópardos Latin : leopardus Prancis : léopard Afrika : luiperd Swahili : Chui

(17)

Seperti anggota keluarga kucing lainnya, macan tutul jawa juga mengalami dimorfisme seksual, yaitu perbedaan ukuran tubuh antara jenis kelamin yang berbeda. Pada kondisi yang normal dan usia yang sama, macan tutul jawa jantan akan memiliki tubuh yang relatif lebih besar daripada macan tutul jawa betina. Perbandingan karakteristik tubuh untuk masing-masing jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Ukuran tubuh macan tutul

No. Sumber Jenis Kelamin Ukuran tubuh

Jantan Betina Berat Panjang Tinggi 1. Garman, 1997 30-90 kg 66,1-198,4 pon 91-190 cm 2,9-6,2 feet 35,8-74,8 inch - 2. www. Lioncruisher. com, 2000 30-80 kg 66,1-176 pon 160-260 cm 5,3-8,5 feet 63-102,4 inch - 3.

The World Book Encyclopedia, 1992 45-75 kg 99-165,4 pon 280 cm 9,2 feet 110,2 inch 70 cm 2,3 feet 27,6 inch 35 kg 77,2 pon 250 cm 8,2 feet 98,4 inch 70 cm 2,3 feet 27,6 inch 4. The Encyclopedia Americana, 1996 34-57 kg 75-125,7 pon 180 cm 5,9 feet 70,9 inch - 5. Leekagul dan McNeely, 1977 45-65 kg 99,2-143,3 pon - - 6. Ensiklopedi Indonesia, 2004 45 kg 99,2 pon 210 cm 6,9 feet 82,7 inch - 7. Hoogerwerf, 1970 52 kg 114,6 pon 215 cm 7,1 feet 84,7 inch 60-65 cm 2,0-2,1 feet 23,6-25,6 inch 39 kg 86 pon 185 cm 6,1 feet 72,9 inch 60-65 cm 2,0-2,1 feet 23,6-25,6 inch 8. Harahap dan Sakaguchi, 2004 38,3 kg 84,48 pon 112,7 cm 3,70feet 44,4 inch - 20,00 kg 44,1 pon 97,1 cm 3,2 feet 38,2 inch - 9. Grzimek, 1975 60 kg 132,3 pon 155-245 cm 5,1-8 feet 61-96,5 inch - Diolah dari berbagai sumber

Macan tutul jawa memiliki bentuk badan yang memanjang dan silindris, dengan kaki agak pendek dan telapak melebar. Macan tutul jawa juga memiliki taring yang tajam sebagai senjata bertarung maupun alat berburu, yaitu untuk membunuh dan menyeret mangsa. Mata macan tutul jawa berwarna kuning dengan kemampuan penyesuaian

(18)

5

ukuran pupil yang tinggi pada berbagai intensitas cahaya. Pada siang hari pupil akan menyempit dan hanya terlihat seperti satu garis vertikal. Pada malam hari pupil akan membesar sesuai intensitas cahaya yang diterimanya. Macan tutul jawa memiliki ekor panjang yang ujungnya membengkok ke atas dan pada ujung sisi bawahnya berwarna putih. Cakar macan tutul jawa dapat dikeluarkan dan disimpan sesuai kebutuhan sehingga efektif dalam kegiatan berjalan biasa ataupun berburu. Hal ini juga membuat macan tutul jawa memiliki kemampuan memanjat vertikal. Bantalan metakarpal yang lembut dan kuat akan meredam suara ketika mengendap dan mengintai mangsa. Kaki belakang yang dapat berfungsi layaknya pegas sangat membantu dalam pencapaian jarak lompat yang diperlukan ketika akan memanjat, menerkam mangsa maupun berlari biasa.

Gambar 1. Penampilan visual macan tutul

Gam Macan tutul jawa juga mengalami dimorfisme rambut. Terdapat macan tutul jawa yang memiliki warna dasar rambut coklat kekuningan (macan tutul jawa biasa) dan hitam (macan kumbang). Kondisi ini seringkali menimbulkan kesalah pahaman. Banyak orang mengira macan kumbang adalah jenis yang berbeda dari macan tutul jawa biasa. Padahal, macan kumbang hanya merupakan bentuk kelainan dari macan tutul jawa biasa. Hal tersebut terbukti dengan dihasilkannya keturunan yang fertil dari perkawinan induk macan tutul biasa dengan macan kumbang. Warna yang umum adalah coklat kekuningan dengan tutul-tutul hitam berbentuk kembang (rosette), sedangkan warna dasar hitam disebabkan oleh proses melanisme yaitu pendominasian oleh pigmen hitam pada struktur rambut. Namun demikian, corak kembangan tetap dimiliki oleh macan kumbang. Corak ini akan terlihat apabila macan berada pada tempat dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi.

(19)

Tabel 2. Penampilan fisik, medula dan sisik macan tutul jawa

Tip

e

Penampilan Fisik Medula Rambut Sisik Rambut

Maca n tut u l bias a M ac a n kum ba n g

Sumber: http://www.lioncrusher.com/animal dan Javantiger Populasi

Penurunan populasi macan tutul jawa diakibatkan oleh penurunan mutu habitat dan populasi satwa mangsa karena pembukaan wilayah hutan dan perburuan liar. Jumlah populasi macan tutul jawa di habitat aslinya belum diketahui secara tepat. Pada saat ini diperkirakan ada 350-700 ekor macan tutul jawa di pulau Jawa (Santiapillai dan Ramono, 1992).

Makanan

Macan tutul jawa mulai berburu mangsanya dengan cara mengintai, dan lalu menyergapnya dari belakang. Jika serangan pertama pada mangsa gagal, ia cenderung tidak meneruskan serangannya. Bagian yang pertama kali dimakan adalah bagian dalam tubuh, lalu daging sekitar dada, rusuk, dan paha. Macan tutul juga mau memakan tulang mangsanya. Apabila ada sisa, macan tutul jawa akan menyimpan makanannya untuk suatu saat didatanginya lagi. Untuk melindungi hasil buruannya dari pemangsa lain, macan tutul menyembunyikan makanannya di atas pohon, atau menutupinya dengan daun, ranting, rumput atau serasah.

(20)

7

Jenis mangsa yang dimakan adalah sigung, kelelawar, lutung dan satwa mangsa lain (Anonim,1978). Ada juga jenis surili, kijang, ayam hutan, merak, pelanduk dan kancil. Ditemukan juga tanah liat, remukan tulang, dan rerumputan di dalam kotorannya. Berdasarkan ukuran tubuh mangsa, macan tutul jawa lebih sering memangsa satwa dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki ukuran badan setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul jawa (Seidensticker,1976 dalam Gunawan,1988).

Reproduksi

Macan tutul jawa betina menganut pola polyestrus, yaitu mengalami beberapa kali birahi dalam satu tahun. Di penangkaran, periode pematangan telur terjadi setiap tiga minggu sekali dengan masa subur selama 4 - 12 hari. Rata-rata masa buntingnya adalah 90-95 hari. Jumlah anak per kelahiran adalah 1-3 ekor. Anak-anak macan tutul jawa sejak lahir sudah memiliki rambut, namun matanya belum berfungsi secara sempurna. Penyapihan akan dimulai ketika peroses penyusuan sudah berlangsung antara tiga sampai empat bulan. Anakan akan mencapai kedewasaan pada umur 2,5 - 4 tahun (Laveiren, 1983 dalam Gunawan, 1988). Di bawah pengawasan dan pemeliharaan macan tutul dapat hidup hingga usia duapuluh tiga tahun (Grzimek,1975). Adapun usia di alam diperkirakan antara tujuh sampai sembilan tahun (Guggisberg, 1975).

Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah suatu satu kesatuan kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik, yang digunakan oleh satwaliar sebagai tempat hidup dan berkembangbiak. Habitat memiliki fungsi dalam hal penyediaan makanan, air, dan pelindung (Alikodra, 2002). Macan tutul jawa tersebar dari pantai hingga pegunungan. Mereka juga sering terpergok di hutan-hutan jati dan perkebunan dekat perkampungan (Veevers dan Carter,1978 dalam Wahyudi,1989). Luas daerah jelajah macan tutul adalah 10 km2 (Ewer,1974 dalam Wahyudi,1989).

Penyebaran satwa sangat dipengaruhi oleh kondisi biologis dari setiap jenis satwa yang meliputi sifat-sifat ekologis, morfologis, dan fisiologisnya. Analisa sebaran satwa dapat ditinjau dari segi interaksi antar satwa, seperti pemangsaan dan persaingan (Alikodra, 2002). Diantara jenis kucing besar yang ada, macan tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas (Lekagul dan McNeely,1977). Macan tutul tersebar di benua Afrika, Asia bagian selatan dan timur sampai ke bagian Manchuria, menyebar ke Indonesia, Malaya, dan Pulau Jawa (Anonim,1978).

(21)

(Madura). Di Jawa Barat macan tutul jawa terdapat di Cirebon, Cianjur selatan, TN Gunung Gede Pangrango dan TN UjungKulon (Hoogerwerf, 1970). Daerah penyebaran macan tutul jawa di Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut: Nusa Kambangan, Batang, Banjarnegara, Kendal, Cepu, Sragen, Notog, Jati Lawang, gunung Slamet, Kebasan, Gunung Muria, Gunung Merapi dan Kulon Progo (Anonim, 1978). Di Jawa Timur macan tutul jawa dapat dijumpai di TN Meru Betiri, TN Baluran, Tuban, Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo, Madiun, dan Gundih (Hoogerwerf, 1970).

Perilaku dan Kebiasaan

Macan tutul jawa biasanya hidup menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin dan mengasuh anak. Macan tutul jawa kurang suka menetap, namun ia tidak akan keluar dari daerah teritorinya jika makanan masih mencukupi. Eisenberg dan Lockhart (1972) mengatakan bahwa macan tutul jawa jantan dan betina dapat mendiami daerah perburuan yang sama, tetapi hal ini tidak berlaku bagi individu-individu yang berjenis kelamin sama. Cara mempertahankan daerah teritori dilakukan dengan pengiriman tanda-tanda berupa suara, cakaran, maupun urin dan kotoran. Macan tutul jawa membuang kotoran tanpa disembunyikan, melainkan diletakkan di tempat-tempat yang terbuka. (Medwey,1975 dalam Gunawan,1988).

Pola Sebaran Spasial Satwaliar

Sebaran spasial merupakan salah satu parameter demografi satwaliar. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa pola sebaran spasial suatu komunitas ekologi dapat ditentukan dengan berbagai macam indeks penyebaran (dispersion index), yaitu: indeks dispersi (ID), indeks Agregatif (IC), dan Indeks Greens (GI).

Pola sebaran satwa, termasuk macan tutul dapat berbentuk merata, kelompok, maupun acak. Macan tutul menggunakan ruang habitat yang ada baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal macan tutul jawa memanfaatkan bentang alam mendatar sebagai tempat untuk melakukan aktivitas kesehariannya seperti makan, minum, berburu, bermain, istirahat, dan berreproduksi. Sedangkan secara vertikal macan tutul jawa menggunakan pohon sebagai tempat untuk menyimpan sisa makanannya. Namun demikian, penggunaan ruang secara vertikal ini sangat sulit untuk diteliti. Untuk menganalisis pola sebaran spasial macan tutul jawa, indeks yang digunakan adalah indeks dispersi (ID).

(22)

KONDISI UMUM

TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

Sejarah Kawasan

Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) yang lebih dulu dikenal sebagai Semenanjung Blambangan, merupakan salah satu kawasan pelestarian alam di Indonesia. Status sebagai Taman Nasional ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No : 283/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992. Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/ Kpts-II/2002 tanggal 10 Juni 2002, Balai Taman Nasional Alas Purwo mengelola kawasan Taman Nasional (TN) Alas Purwo dan Cagar Alam/Taman Wisata Alam (CA/WTA) Kawah Ijen yang terdiri dari 3 Seksi Konservasi Wilayah (SKW), yaitu SKW I Rowobendo, SKW II Muncar, dan SKW III Kawah Ijen.

Kondisi Fisik

Ditinjau dari segi administratif pemerintahan, TNAP terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan secara geografis terletak di ujung timur pulau Jawa, wilayah pantai selatan antara 8°26’45”– 8°47’00” LS dan 114°20’16” – 114°36’00” BT. TNAP yang memiliki luas 43.420 ha terbagi dalam beberapa zona, yaitu:

1. Zona Inti (Sanctuary zone) seluas 17.200 ha. 2. Zona Rimba (Wilderness zone) seluas 24.767 ha. 3. Zona Pemanfaatan (Intensive use zone) seluas 250 ha. 4. Zona Penyangga (Buffer zone) seluas 1.203 ha.

Rata-rata curah hujan 1000-1500 mm per tahun dengan temperatur 22°C-31°C dan kelembaban udara 40-85 %. Wilayah TNAP sebelah barat menerima curah hujan lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah sebelah timur. Dalam keadaan normal, pada bulan April sampai Oktober TNAP mengalami musim kemarau, sedangkan pada bulan Oktober sampai April mengalami musim hujan.

Secara umum kawasan TNAP mempunyai topografi datar, bergelombang ringan sampai berat, dengan puncak tertinggi Gunung Lingga Manis (322 mdpl). Keadaan tanah hampir keseluruhan merupakan jenis tanah liat berpasir dan sebagian kecil berupa tanah lempung. Sungai di kawasan TNAP umumnya dangkal dan pendek. Sungai yang mengalir sepanjang tahun hanya terdapat di bagian barat, yaitu Sungai Segoro Anak dan Sunglon Ombo. Mata air banyak terdapat di daerah Gunung Kuncur, Gunung Kunci, Gua Basori, dan Sendang Srengenge.

(23)

Berdasarkan tipe ekosistemnya, hutan di TNAP dapat di kelompokkan menjadi hutan bambu, hutan pantai, mangrove, hutan tanaman, hutan dataran rendah, dan padang penggembalaan (feeding ground). Terdapat 158 jenis flora dari 59 famili yang teridentifikasi. Diantaranya terdapat tumbuhan khas daerah ini, yaitu sawo kecik (Manilkara kauki) dan bambu manggong (Gigantochloa manggong). Tumbuhan lainnya misalnya ketapang, kepuh, keben, dan 13 jenis bambu.

Keanekaragaman jenis fauna di kawasan TN Alas Purwo secara garis besar dapat dibedakan menjadi 4 kelas yaitu mamalia, aves, pisces dan reptilia. Mamalia yang tercatat sebanyak 31 jenis, diantaranya yaitu : Banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), ajag (Cuon alpinus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul jawa (Panthera pardus melas), lutung (Trachypithecus auratus), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis).

Burung yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 236 jenis terdiri dari burung darat dan burung air. Burung migran dari Australia yang telah berhasil diidentifikasi berjumlah 39 jenis, diantaranya adalah cekakak suci (Halcyon chloris / Todirhampus sanctus), burung kirik-kirik laut (Merops philippinus), trinil pantai (Actitis hypoleucos), dan trinil semak (Tringa glareola). Jenis burung yang mudah dilihat antara lain: Ayam hutan (Gallus gallus), kangkareng (Antracoceros coronatus), rangkong (Buceros undulatus), merak (Pavo muticus) dan cekakak jawa (Halcyon cyanoventris).

Reptil yang telah teridentifikasi ada 20 jenis. Empat jenis diantaranya adalah jenis penyu, yaitu penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu hijau (Chelonia mydas). Satwa yang dilindungi ini biasanya mendarat untuk bertelur di pantai Marengan pada bulan Januari sampai September.

Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat

Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di sekitar kawasan adalah bertani, buruh tani, dan nelayan. Masyarakat nelayan kebanyakan tinggal di wilayah Muncar, yang merupakan salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa, dan di wilayah Grajagan. Mayoritas penduduk di sekitar kawasan memeluk agama Islam. Sebagian pemeluk agama Hindu tinggal di desa Kedungasri dan desa Kalipait. Secara umum masyarakat sekitar TNAP masih memegang tradisi jawa kuno. Pagerwesi, sayan, bayenan serta selamatan-selamatan lain yang berkaitan dengan pencarian ketenangan batin masih dilaksanakan (www.alaspurwonationalpark.com).

(24)

METODE PENELITIAN

Lokasi Dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2006 di Taman Nasional Alas Purwo, Jawa Timur. Pembagian wilayah kerja penelitian dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian macan tutul jawa

Bahan dan Alat

Bahan sebagai obyek penelitian adalah macan tutul jawa beserta habitat alamiahnya di TNAP. Adapun alat yang telah digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Peta kawasan Taman Nasional Alas Purwo 2. Kompas 3. Kamera 4. Senter 5. Meteran 6. Tambang 7. Jam tangan 8. Gips 9. Ember 10. Pengaduk 11. Tabel pengamatan 12. Alat tulis Cungur Bedul Ngagelan

Rowobendo, Sadengan, Triangulasi

Pancur

Plengkung

Brobos TNAP 2006 Sumber:

Peta Taman Nasional Alas

(25)

A. Data Primer

Data primer merupakan data yang digunakan untuk mendukung hipotesis mengenai sebaran spasial dan tipe ekosistem yang digunakan oleh macan tutul jawa. Data primer terdiri dari:

1. Karakteristik habitat, meliputi kondisi fisik habitat (suhu, kelembaban, curah hujan, kelerengan) dan komposisi vegetasi.

2. Data mengenai aktivitas macan tutul jawa. Data ini didapatkan dari kegiatan pengamatan baik berupa perjumpaan langsung ataupun tidak langsung (jejak kaki, suara, cakaran, kotoran, dan sisa mangsa). Pengamatan utama dilakukan pada pagi dan sore hari, yaitu pada pukul 06.00-09.00 WIB dan 15.00-18.00 WIB. Sebagai penunjang dilakukan pengamatan malam, dengan pertimbangan sifat nokturnal yang dimiliki macan tutul jawa.

Metode pengamatan yang digunakan adalah dengan metode transek jalur. Luas total dari TNAP adalah 43.420 yang terdiri dari 750 ha hutan pantai, 36.686 ha hutan dataran rendah, 84 ha padang penggembalaan, 1200 ha mangrove, dan 3.350 ha hutan tanaman. Dengan demikian akan area penelitian dibagi menjadi lima wilayah kerja. Pada setiap wilayah kerja dibuat jalur transek, disesuaikan dengan jalur yang telah ada di TNAP. Dengan pertimbangan tipe habitat, luasan serta waktu yang dibutuhkan, maka pengamatan dilaksanakan pada 17 jalur pengamatan, dengan perincian sebagai berikut: 1. Mangrove : 3 jalur

2. Hutan pantai : 4 jalur 3. Hutan dataran rendah : 5 jalur 4. Hutan tanaman : 4 jalur 5. Padang Penggembalaan : 1 jalur

Setiap jalur merupakan garis lurus sepanjang 2,5 km. Jadi panjang total jalur yang diamati adalah 42,5 km. Pada setiap jalur dilakukan ulangan sebanyak tiga kali.

Tahapan dalam kegiatan pengamatan adalah sebagai berikut: 1. Menentukan jumlah, letak, serta arah jalur pengamatan pada peta.

2. Melakukan pengamatan. Seluruh perjumpaan baik secara langsung atau tidak langsung difoto dan dicatat dalam tabel pengamatan. Untuk keperluan identifikasi serta pendokumentasian, data berupa jejak kaki dibuat cetakan dengan menggunakan bahan gips.

(26)

13

B. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka ataupun wawancara dengan pihak pengelola, petugas di lapangan, dan masyarakat setempat. Data sekunder ini dibutuhkan untuk mendukung data primer yang didapatkan.

Adapun data sekunder yang diperlukan adalah keberadaan satwa mangsa dan satwa pesaing, kondisi macan tutul jawa dan habitatnya pada waktu sebelum penelitian, gangguan yang terjadi dan potensial terjadi, interaksi antara macan tutul jawa dengan masyarakat, serta kondisi penduduk di sekitar TNAP.

Analisis Data A. Analisis Vegetasi

Data yang telah dikumpulkan dari lapangan diolah dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

A.1. Kerapatan jenis

Kerapatan suatu jenis

KR = x 100%

Kerapatan semua jenis

A.2. Frekuensi Jenis

∑ plot ditemukannya suatu jenis F =

∑ seluruh plot Frekuensi suatu jenis

FR = x 100%

Frekuensi semua jenis

A.3. Dominasi Jenis

Luas bidang dasar D =

Luas contoh

Dominasi suatu jenis

FR = x 100%

Dominasi semua jenis

A.4. Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon dan tiang INP = KR + FR + DR

Jumlah individu K =

(27)

INP= KR + FR

Keterangan: INP = Indeks Nilai Penting

K = Kerapatan D = Dominasi KR = Kerapatan relatif DR = Dominasi relative F = Frekuensi FR = Frekuensi relative

B. Analisis Pola Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa

Bentuk sebaran spasial dari macan tutul jawa ditentukan dengan menggunakan pendekatan nilai indeks penyebaran sebagai berikut:

x

S

ID

2

=

Keterangan: ID : Indek penyebaran

S2 : Ragam populasi macan tutul jawa

x : Jumlah rata-rata macan tutul jawa

Untuk menemukan bentuk sebarannya, digunakan uji statistik chi square dengan persamaan sebagai berikut:

N

Σ ( xi – x )2 i=1

X2 =

x

Keterangan : x2 : Nilai hitung chi square

N : Ukuran contoh

Kaidah keputusan untuk menentukan bentuk sebaran spasial dari macan tutul jawa adalah sebagai berikut:

1. Jika x2

hitung < x20,975 bentuk sebaran spasial acak

2. Jika x2

0,025 > x2hitung > x20,975 bentuk sebaran spasial sistematik

3. Jika x2

hitung > x20,025 bentuk sebaran spasial mengelompok

C. Analisis Hubungan Antara Tipe Aktivitas dan Karakteristik Habitat

Analisis hubungan dilakukan antara aktivitas macan tutul jawa dengan karakteristik habitat yang ada di TNAP. Hal ini dimaksudkan untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan antara tipe habitat dengan jenis-jenis aktivitas yang dilakukan oleh macan tutul jawa. Hubungan tersebut akan dianalisis dengan menggunakan chi kuadrat. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:

(28)

15

C.1. Pengisian Tabel Penggunaan Habitat Oleh Macan Tutul Jawa

Untuk mempermudah pengelompokan data mengenai macan tutul jawa, maka setiap perjumpaan baik langsung atau tidak langsung yang mengindikasikan keberadaan macan tutul jawa beserta aktivitasnya dimasukkan ke dalam tabel isian.

Tabel 3. Tabel isian aktivitas macan tutul jawa

No. Jenis Aktivitas

Frekuensi Hutan Mangrove Hutan Pantai Padang Rumput H.D. Rendah Hutan Tanaman 1 Berburu 2 Makan 3 Menyimpan makanan 4 Minum 5 Berlari 6 Berjalan 7 Memanjat pohon 8 Berdiri diam 9 Berbaring 10 Tidur 11 Cakaran di tanah 12 Cakaran di pohon 13 Membuang kotoran 14 Bersuara 15 Bermain 16 Kawin 17 Mengasuh anak 18 Membersihkan diri 19 Lainnya

Setiap temuan yang ada dimasukkan ke dalam tabel sehingga dapat diketahui frekuensi keseluruhan dari aktivitas macan tutul jawa pada suatu tipe habitat tertentu. Hal ini juga digunakan untuk mengetahui karakteristik habitat yang disukai oleh macan tutul jawa, dengan indikasi bahwa tempat yang lebih disukai akan lebih banyak digunakan oleh macan tutul jawa untuk beraktivitas.

(29)

Parameter yang akan dianalisis menggunakan metode uji chi-kuadrat adalah tipe aktivitas macan tutul jawa dengan karakteristik habitat yang digunakannya. Langkah pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Hipotesis

Ho : Tidak ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat H1 : Ada hubungan antara tipe aktivitas dengan karakteristik habitat 2. Kriteria Pengujian

Jika x2

hitung kurang dari x2tabel maka terima H0 pada taraf nyata, dengan derajat

bebas (v) = (b-) (k-1) dimana b dan k masing-masing menyatakan baris dan kolom. Persamaan yang digunakan:

k (Oi - Ei)2

X2 = ∑

i=1 Ei

Keterangan:

Oi = Frekuensi hasil pengamatan ke-i

Ei = Frekuensi harapan ke-i

Total kolom x total baris Frekuensi harapan =

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Habitat A. Kondisi Vegetasi

TNAP memiliki luas 43.420 ha, terdiri dari hutan pantai, hutan dataran rendah, padang penggembalaan Sadengan, mangrove, dan hutan tanaman. Berdasar penataan zonasi yang berlaku, TNAP tersusun dari mintakat inti, mintakat rimba, mintakat pemanfaatan, dan mintakat penyangga.

Hutan yang luas dan disertai dengan keanekaragaman plasma nutfah yang tinggi merupakan habitat yang potensial bagi satwaliar. Setiap jenis satwaliar bergantung pada kelompok tumbuhan untuk mendapatkan sumber pakan dan cover (Alikodra, 2002). Dengan demikian bukan hanya herbivora saja yang memiliki interaksi dengan tumbuhan. Macan tutul jawa sebagai salah satu karnivora juga akan membutuhkan keberadaan tumbuhan. Untuk menyelidiki potensi struktur vegetasi di TNAP bagi macan tutul jawa, dilaksanakan kegiatan analisis vegetasi dengan metode garis berpetak.

A.1. Hutan Pantai

Hutan pantai memiliki luas 750 ha atau 1,73% dari total luas TNAP. Meskipun dekat dengan garis pantai, hutan ini tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Dengan substrat berpasir yang menyusunnya, hutan pantai memiliki kekhasan pada tanaman yang hidup dan tumbuh di ekosistem ini. Jenis vegetasi di hutan pantai tertera pada tabel 4. Tabel 4.a. Jenis vegetasi tingkat semai di hutan pantai

No Jenis Jumlah K KR F FR INP

1 Kerandan 49 122.500 32,89 0,2 7,69 40,59 2 Piplan 19 47.500 12,75 0,2 7,69 20,44 3 Rumput kawatan 11 27.500 7,38 0,2 7,69 15,08 4 Bakung kecil 1 2.500 0,67 0,2 7,69 8,36 5 Dadap laut 47 117.500 31,54 0,6 23,08 54,62 6 Malaman 3 7.500 2,01 0,2 7,69 9,71 7 Lampeni 2 5.000 1,34 0,2 7,69 9,04 8 Ndog-ndogan 3 7.500 2,01 0,2 7,69 9,71 9 Pulai 3 7.500 2,01 0,2 7,69 9,71 10 Suruh tanah 10 25.000 6,71 0,2 7,69 14,40 11 Jambu 1 2.500 0,67 0,2 7,69 8,36

Tabel 4.b. Jenis vegetasi tingkat pancang di hutan pantai

No Jenis Jumlah K KR F FR INP

1 Loh-lohan 14 5.600 36,84 0,2 14,29 51,13

2 Waru laut 6 2.400 15,79 0,2 14,29 30,08

3 Ndog-ndogan 6 2.400 15,79 0,4 28,57 44,37

4 Pulai 7 2.800 18,42 0,4 28,57 46,99

(31)

No Jenis ∑ Lbds K KR F FR D DR INP 1 Waru laut 1 0,01 100 16,67 0,2 16,67 0,82 10,36 43,69 2 Dadap laut 2 0,03 200 33,33 0,4 33,33 2,55 32,46 99,12 3 Rengas burung 1 0,01 100 16,67 0,2 16,67 1,27 16,18 49,52 4 Jambu air 1 0,02 100 16,67 0,2 16,67 1,68 21,41 54,74 5 Pulai 1 0,02 100 16,67 0,2 16,67 1,54 19,59 52,92

Tabel 4.d. Jenis vegetasi tingkat pohon di hutan pantai

No Jenis ∑ Lbds K KR F FR D DR INP 1 Bogem 12 1,601 300 50 0,6 25 40,03 59,72 134,72 2 Nyamplung 1 0,14 25 4,17 0,2 8,33 3,47 5,17 17,67 3 Ndog-ndogan 1 0,05 25 4,17 0,2 8,33 1,37 2,04 14,54 4 Dadap laut 5 0,50 125 20,83 0,6 25 12,56 18,73 64,57 5 Jambu batu 1 0,13 25 4,17 0,2 8,33 3,36 5,015 17,52 6 Pulai 3 0,21 75 12,50 0,4 16,67 5,24 7,820 36,99 7 Jambu 1 0,04 25 4,17 0,2 8,33 1,00 1,50 13,99 Dari tabel dapat dilihat bahwa INP tertinggi tingkat semai dimiliki oleh jenis dadap laut, INP tertinggi tingkat pancang dimiliki oleh jenis loh-lohan, INP tertinggi tingkat tiang dimiliki oleh jenis dadap laut, dan INP tertinggi tingkat pohon dimiliki oleh jenis bogem.

A.2. Hutan Dataran Rendah

Dari seluruh ekosistem terestrial yang ada, ekosistem hutan dataran rendah merupakan ekosistem yang paling kaya akan keanekaragaman hayatinya. Di TNAP terdapat hutan dataran rendah seluas 36.686 ha. Apabila dibandingkan dengan yang lain nilai ini mengambil prosentase yang paling besar, yaitu 84,49%. Secara fisik, hutan dataran rendah di TNAP tidak digenangi air, tapak beragam, dan topografi dari datar sampai tinggi atau curam. Sedangkan dari segi biotiknya, hutan dataran rendah memiliki strata tajuk yang lengkap, keanekaragaman vegetasi tinggi, dan satwaliar yang ditemui juga beraneka ragam.

Tabel 5.a. Jenis vegetasi tingkat pancang di hutan dataran rendah

No Jenis Jumlah K KR F FR INP

1 Walik lar 1 400 1,82 0,2 9,09 10,90 2 Endog-endogan 3 1.200 5,46 0,2 9,09 14,55 3 Jambu air 2 800 3,64 0,2 9,09 12,73 4 Mangga 1 400 1,82 0,2 9,09 10,91 5 Budengan 32 12.800 58,19 0,8 36,36 94,55 6 Malaman 5 2.000 9,09 0,2 9,09 18,19 7 Suren 10 4.000 18,19 0,2 9,09 27,28 8 Ripupuh 1 400 1,82 0,2 9,09 10,91

(32)

19

Tabel 5.b. Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan dataran rendah

No Jenis Jumlah K KR F FR INP

1 Rumput kawatan 23 57.500 13,61 0,6 11,54 25,15 2 Walik lar 21 52.500 12,43 0,4 7,69 20,12 3 Jembirit 3 7.500 1,78 0,2 3,85 5,62 4 Potro 4 10.000 2,37 0,4 7,69 10,06 5 Jerukan 18 45.000 10,65 0,4 7,69 18,34 6 Teki 5 12.500 2,96 0,2 3,85 6,81 7 Piper cubeba 29 72.500 17,16 0,4 7,69 24,85 8 Bayur 42 105.000 24,85 0,6 11,54 36,39 9 Nyamplung 1 2.500 0,59 0,2 3,85 4,44 10 Sangkal buaya 2 5.000 1,18 0,2 3,85 5,03 11 Jambu 2 5.000 1,18 0,2 3,85 5,03 12 Timo 1 2.500 0,59 0,2 3,85 4,44 13 Malaman 10 25.000 5,92 0,4 7,69 13,61 14 Paku 18 12.500 2,96 0,4 7,69 10,65 15 A 1 2.500 0,59 0,2 3,85 4,44 16 Lampeni 2 5.000 1,18 0,2 3,85 5,03

Tabel 5.c. Jenis vegetasi tingkat tiang di hutan dataran rendah

No Jenis ∑ Lbds K KR F FR D DR INP 1 Malaman 6 0,29 600 85,71 0,8 80 28,70 95,52 258,24

2 Walangan 1 0,02 100 14,29 0,2 20 2,32 7,48 41,76

Tabel 5.d. Jenis vegetasi tingkat pohon di hutan dataran rendah

No Jenis ∑ Lbds K KR F FR D DR INP 1 Pancal kidang 1 0,04 25 3,33 0,2 5,56 0,98 0,98 9,87 2 Pulai 1 0,31 25 3,33 0,2 5,56 7,72 7,73 16,62 3 Jiran 3 0,15 75 10 0,2 5,56 3,65 3,65 19,21 4 Jambu 1 0,09 25 3,33 0,2 5,56 2,24 2,24 11,13 5 Garu 6 0,71 150 20 0,4 11,11 17,80 17,82 48,93 6 Laban 2 0,44 50 6,67 0,4 11,11 10,91 10,92 18,69 7 Malaman 4 0,28 100 13,33 0,4 11,11 697 6,98 31,42 8 Ficus 1 0,26 25 3,33 0,2 5,56 6,45 6,45 15,34 9 Wili 1 0,08 25 3,33 0,2 5,56 1,87 1,87 10,76 10 Bayur 6 1,48 150 20 0,4 11,11 36,90 36,93 68,05 11 Laban kecil 1 0,05 25 3,33 0,2 5,56 1,24 1,24 10,13 12 Walangan 1 0,06 25 3,33 0,2 5,56 1,51 1,51 10,40 13 Jembirit 1 0,03 25 3,33 0,2 5,56 0,79 0,79 9,68 14 C 1 0,04 25 3,33 0,2 5,56 0,89 0,89 9,78

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa INP tertinggi tingkat semai, tumbuhan bawah, pancang, tiang dan pohon masing-masing diisi oleh jenis bayur, rumput kawatan, budengan, malaman, dan jenis bayur.

A.3. Padang Penggembalaan Sadengan

Padang penggembalaan Sadengan memiliki luas 84 ha atau 0,2% dari luas total TNAP. Karakteristiknya dicirikan dengan pendominasian oleh jenis rerumputan. Terdapat

(33)

merak, rusa dan banteng untuk berteduh ketika panas maupun hujan. Suhu terasa lebih hangat karena luasnya permukaan penerima sinar matahari dan topografi yang datar. Keanekaragaman vegetasi di tempat ini termasuk rendah.

Tabel 6. Jenis tumbuhan bawah di padang penggembalaan Sadengan

No Jenis Jumlah K KR F FR INP

1 Eceng-eceng 15 150.000 3,79 0,4 8,33 12,12 2 Putihan 1 110.000 2,78 0,4 8,33 11,11 3 Meniran 17 170.000 4,29 0,6 12,50 16,72 4 Wedusan 1 10.000 0,26 0,2 4,17 4,42 5 Pahitan 63 630.000 15,91 0,8 16,67 32,58 6 Teki 244 2440.000 61,62 1 20,83 82,45 7 Legetan 23 230.000 5,81 0,8 16,67 22,48 8 Lamuran 18 180.000 4,55 0,2 4,17 8,71 9 Brambangan 4 40.000 1,01 0,4 8,33 9,34

Jenis rumput yang mendominasi adalah jenis rumput teki, pahitan, dan legetan. Selain tersebut terdapat eceng-eceng yang menginvasi padang penggembalaan. Apabila tidak dikontrol, eceng-eceng berpotensi menjadi ancaman bagi kualitas penyediaan pakan hijauan di wilayah ini. Eceng-eceng akan menjadi pesaing dalam perebutan nutrisi dan ruang, padahal satwa herbivora seperti rusa, kijang, dan banteng tidak menyukai jenis ini sebagai makanan mereka.

A.4. Hutan Tanaman

Hutan tanaman di Taman Nasional Alas Purwo ditumbuhi oleh jenis jati dan mahoni. Luas hutan tanaman adalah 3.350 ha atau 7,72% luas seluruh TNAP.

Tabel 7. Jenis vegetasi tingkat pohon di hutan tanaman

No Jenis K KR FR DR INP

1 Jati 100 100 100 100 300

2 Mahoni 100 100 100 100 300

Jenis pohon jati dan mahoni memiliki jumlah INP yang sama. Keduanya memiliki dominansi yang sama dalam struktur vegetasi hutan tanaman. Pada kenyataan di lapangan, antara hutan tanaman jati dan hutan tanaman terpisah dengan sangat jelas. Perbedaan letak ini tidak terlalu mempengaruhi kondisi masing-masing huatn tanaman. Perbedaan yang jelas adalah kondisi penutupan tanah. Pada waktu penelitian dilaksanakan, permukaan tanah hutan tanaman mahoni tertutup rapat oleh serasah, sedangkan permukaan tanah pada hutan jati cukup bersih dari penumpukan serasah. Hal ini dimungkinkan karena pada saat itu, tanaman jati belum memasuki masa meranggas atau pengguguran daun.

(34)

21

A.5. Mangrove

Terdapat hutan mangrove seluas 1.200 ha atau kurang lebih 0,03% dari luas total TNAP. Wilayah mangrove ini dipengaruhi oleh aktivitas pasang surut air laut. Substrat tanah lumpur yang selalu tergenang air membuat hanya beberapa jenis tumbuhan tertentu yang bisa hidup di daerah ini. Jenis satwa yang hidup di daerah ini juga tidak begitu banyak.

Tabel 8.a. Jenis vegetasi tingkat semai di mangrove

No Jenis Jumlah K KR F FR INP

1 Ceriops tagal 6 3.000 50 0,4 50 100

2 R. mucronata 6 3.000 50 0,4 50 100

Tabel 8.b. Jenis vegetasi tingkat pancang di mangrove

No Jenis Jumlah K KR F FR INP

1 Xylocarpus 8 640 29,63 0,6 27,27 56,90

2 Cerips tagal 6 1.040 22,22 0,6 27,27 49,50

3 R. mucronata 13 2.160 48,15 1 45,45 93,61

Tabel 8.c. Jenis vegetasi tingkat pohon di mangrove

No Jenis ∑ K KR F FR D DR INP 1 Xylocarpus 25 0,69 500 0,4 22,22 13,71 27,77 69,52 2 S. Marina 3 0,24 60 0,2 11,11 4,76 9,63 23,08 3 Bruguiera 2 0,04 40 0,2 11,11 0,80 1,63 14,30 4 Rhizopora 98 1,51 1.960 1 55,56 30,12 60,98 193,10

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa jenis Ceriops tagal dan Rhizopora mucronata sangat mendominasi jenis vegetasi tingkat semai di daerah mangrove. Sedangkan pada tingkat pancang dan pohon, Rhizopora mucronata menjadi satu-satunya jenis yang mendominasi struktur vegetasi.

B. Penyinaran Matahari

Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan matahari diterima oleh permukaan bumi, namun radiasi surya merupakan sumber energi utama untuk proses kehidupan. Lama penerimaan sinar matahari sangat bervariasi menurut ruang dan waktu. Menurut ruang, perbedaan radiasi akan bergantung pada letak lintang. Perbedaan radiasi menurut waktu terjadi secara harian maupun musiman. (Handoko, 1995). Pergantian musim dari musim penghujan ke musim kemarau ketika penelitian dilakukan juga berpengaruh terhadap lamanya penyinaran matahari. Adapun fluktuasi lama penyinaran matahari di TNAP dapat dilihat pada tabel 9.

(35)

No. Bulan Rata-rata Lama penyinaran matahari (%) Keterangan 1. Maret 49 Prosentase diukur pada pukul 08.00-16.00 WIB 2. April 75 3. Mei 75 Rata-rata total 66,3

Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006 Naluri yang dimiliki macan tutul jawa membimbingnya untuk memiliki gaya hidup nokturnal. Meskipun demikian, macan tutul jawa juga menggunakan waktu siang hari untuk melakukan aktivitasnya. Ada tidaknya sinar matahari (malam atau siang), panjang hari serta intensitas radiasi akan menjadi pertimbangan pemilihan waktu aktif. Pada keadaan hari tidak hujan, sinar matahari di TNAP terasa cukup panas. Hal ini akan menyebabkan satwa yang ada mencari cover sebagai tempat berlindung dan meminimalisir penyinaran yang berlebihan dalam rangka penghematan energi.

C. Hujan

Awan yang tersusun dari uap air merupakan sumber presipitasi seperti hujan dan salju. TNAP yang termasuk daerah tropis dan pada keadaan normal akan memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan dibatasi sebagai tinggi air hujan dalam satuan mm yang diterima di permukaan bumi sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan. Sedangkan hari hujan adalah jumlah hari dengan curah hujan 0,5 mm atau lebih (Handoko, 1995).

Tabel 10. Curah hujan dan jumlah hari hujan

No. Bulan Curah Hujan (mm) Hujan Jumlah hari hujan (hari)

1. Maret 284,5 19

2. April 71,0 20

3. Mei 146,6 14

Rata-rata total 167,4 17,7

Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006 Curah hujan akan berpengaruh bagi ketersediaan air di TNAP. Hal ini tidak hanya akan menentukan kondisi vegetasi, namun juga perilaku satwaliar. Curah hujan yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menyebabkan timbulnya kerusakan. Kekurangan atau kelebihan jumlah air akan berdampak pula terhadap metode pengelolaan yang harus diterapkan. Pada musim kering beberapa bagian hutan di TNAP rawan terhadap bahaya kebakaran, sedangkan pada saat curah hujan sangat tinggi terjadi peluapan air pada beberapa sungai.

(36)

23

D. Kelembaban Udara

Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara yang dapat dinyatakan sebagai kelembaban mutlak, kelembaban nisbi, maupun defisit tekanan uap air. Karena kapasitas udara untuk menampung uap air semakin tinggi dengan naiknya suhu udara, maka kelembaban udara pada siang hari akan lebih rendah daripada kelembaban udara pada malam hari (Handoko, 1995).

Tabel 11. Fluktuasi kelembaban udara

No. Bulan Rata-rata kelembaban udara (%)

1. Maret 83

2. April 80

3. Mei 81

Rata-rata total 81,3

Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006 Secara horizontal, terdapat perbedaan tingkat kelembaban udara di setiap tempat di TNAP. Hal ini terjadi karena kelembaban sangat bergantung pada tingkat penguapan yang berlangsung. Pada daerah-daerah pusat air, kelembaban akan lebih tinggi dibanding tempat lainnya.

E. Penguapan Air

Di atmosfer, peningkatan panas laten akibat penguapan tidak menyebabkan kenaikan suhu udara. Uap air merupakan penyerap radiasi gelombang panjang yang efektif. Penguapan justru menurunkan suhu udara karena proses ini akan mengurangi proporsi panas terasa yang menyebabkan kenaikan suhu udara. Sumber uap air utama adalah lautan. Jumlah uap air selalu berubah karena terjadinya penguapan dan kondensasi secara terus-menerus (Handoko, 1995).

Tabel 12. Fluktuasi jumlah penguapan air

No. Bulan Jumlah penguapan air (mm)

1. Maret 128,5

2. April 117,1

3. Mei 103,4

Rata-rata total 116,3

Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006 Tempat yang dekat dengan sungai ataupun sumber air yang akan terasa lebih sejuk. Kondisi ini disebabkan karena penguapan di tempat tersebut akan lebih besar sehingga berdampak pada jumlah uap air yang tertampung di udara.

(37)

Pada lapisan troposfer, suhu akan berbanding terbalik dengan tingkat ketinggian. Sebagai penyimpan panas yang buruk, udara akan sangat dipengaruhi oleh persentuhan dengan permukaan bumi terdekatnya (Handoko, 1995). Suhu udara di Taman Nasional Alas Purwo tergantung pada kondisi cuaca yang sedang berlangsung. Selain itu, suhu juga akan dipengaruhi oleh kondisi tempat serta vegetasi yang ada.

Tabel 13. Fluktuasi suhu udara

No. Bulan Suhu (celcius)

Suhu Maksimum Suhu Minimum Suhu rata-rata

1. Maret 33.6 21,0 27 2. April 32,3 23,5 27,5 3. Mei 32,8 22,6 27,1 Rata-rata total - - 27,2 Maksimum 33,6 - - Minimum - 21,0 -

Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006 Macan tutul jawa merupakan salah satu satwa yang memiliki adaptasi yang baik terhadap suhu dan perubahannya (Santiapillai dan Ramono, 1992). Meskipun begitu, naluri untuk mendapatkan sumberdaya serta kondisi yang lebih memadai akan membuat macan tutul jawa lebih memilih tempat yang memiliki suhu lingkungan yang sesuai dan cukup konstan. Daerah yang tidak terlalu panas ataupun tidak terlalu dingin memiliki potensi yang lebih besar untuk menjadi habitat macan tutul jawa.

G. Tekanan Udara

Tekanan udara yang merupakan gaya berat kolom udara dari permukaan tanah sampai puncak atmosfer per satuan luas, secara vertikal akan berbanding terbalik dengan ketinggian tempat. Sedangkan variasi horizontal tekanan udara secara lebih dipengaruhi gaya-gaya yang mengendalikan angin di atmosfer (Handoko, 1995).

Tabel 14. Fluktuasi tekanan udara

No. Bulan Rata-rata tekanan udara (mb)

1. Maret 1008,1

2. April 1008,9

3. Mei 1010,6

Rata-rata total 1009,2

Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006 Macan tutul jawa dapat dijumpai dari pantai hingga gunung yang tinggi (Hoogerwerf, 1970). Hal ini menunjukkan bahwa macan tutul jawa memiliki ketahanan tubuh yang tinggi terhadap perbedaan tekanan udara. Ketahanan ini akan sangat berpengaruh terhadap keunggulan macan tutul jawa dalam persaingan untuk mempertahankan kelestarian jenisnya.

(38)

25

H. Angin

Angin merupakan gerakan horizontal udara relatif terhadap permukaan bumi. Di atmosfer, keadaan tidak setimbang terjadi berkaitan dengan gaya-gaya yang saling berinteraksi. Untuk mengkompensasi gaya-gaya ini, udara akan bergerak untuk mencapai kesetimbangan kembali (Handoko, 1995).

Tabel 15. Fluktuasi kecepatan, kecepatan maksimum, dan dominasi arah angin

No. Bulan

Angin

Arah terbanyak Kecepatan rata-rata Knots Km/jam Knots Km/jam Kecepatan maksimum

1. Maret Timur Laut 2,8 5,2 17 31,5

2. April Tenggara 2,1 3,9 18 33,3

3. Mei Tenggara 1,7 3,2 11 20,4

Rata-rata total - 2,2 4,1 - -

Maksimum - - - 18 33,4

Dominansi arah Tenggara - - - -

Diolah dari sumber: Stasiun Meteorologi Banyuwangi, 2006 Selain dipengaruhi oleh sirkulasi angin global, TNAP yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan garis pantai juga dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut. Macan tutul jawa menggunakan angin sebagai media pembawa pesan yang akan ditangkap dan diterjemahkan oleh indera penciumannya, maupun kumis yang berperan sebagai alat sensor. Kepekaan akan informasi yang dibawa oleh udara akan berguna dalam metode penguasaan lingkungan, berburu, maupun pertahanan diri. Hal ini menjadi penting karena di hutan, jarak pandang akan terhalang oleh pohon-pohon yang cukup rapat serta bentuk topografi yang tidak selalu datar. Keterbatasan penglihatan karena faktor lingkungan ini akan ditutupi oleh kemampuan Penciuman dan pendengaran.

Pola Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa

Pola penyebaran satwaliar di alam bebas dapat berbentuk acak (independent), mengelompok (dependent), maupun merata (homogen). Alikodra (2002) menyatakan bahwa organisme atau kumpulan organisme tersebar di permukaan bumi sesuai dengan kemampuan pergerakannya atau kondisi lingkungan seperti adanya pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat, dan letak geografis. Penyebaran satwaliar dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan sumberdaya cover, pakan dan air, fasilitas penunjang reproduksi, predasi, kondisi cuaca, maupun degradasi lingkungan.

Esensi dari sebaran spasial macan tutul jawa adalah pola penggunaan ruang oleh macan tutul dalam melakukan berbagai aktivitas di dalam hidupnya. Pengetahuan mengenai sebaran spasial macan tutul jawa ini dapat digunakan sebagai salah satu

(39)

habitat, serta pengembangan program ekotourisme yang ideal.

Pada penelitian analisis pola sebaran macan tutul jawa di TNAP ini, pengambilan data dilakukan secara pengamatan langsung maupun tidak langsung dengan pertimbangan kondisi wilayah penelitian serta perilaku yang dimiliki oleh macan tutul jawa. Data pengamatan langsung didapatkan dari perjumpaan secara langsung dengan macan tutul jawa, sedangkan data pengamatan tidak langsung bersumber pada jejak macan tutul jawa berupa suara, sisa makanan, cakaran di tanah (scrape), cakaran di pohon (scratch) maupun feces.

Tabel 16. Frekuensi kontak dengan macan tutul jawa

No. Tipe Vegetasi dan Jalur JumlahKontak Individu/ jalur Identifikasi PPM* A. Mangrove

1 Cungur 0 - -

2 Bedul 1 1 ekor Aztec

3 Buyukan 0 - -

B. Hutan Pantai

1 Brobos 4 1 ekor Sioux

2 Batulawang-Tapakdoyong 3 1 ekor Apache

3 Parangireng 1 - Pancur 1 2 1 ekor Apache 4 Trianggulasi - Sungklonombo 5 2 ekor Squaw & Winnetou C. Savana

1 Padang Penggembalaan Sadengan 0 - -

D. Hutan Tanaman

1 Rowobendo 1 2 1 ekor Inca

2 Rowobendo 2 4 1 ekor Inca

3 Ngagelan 1 5 1 ekor Aztec

4 Ngagelan 2 1 1 ekor Aztec

E. Hutan Dataran Rendah

1 Motolele 1 1 ekor Apache

2 Istana-Mayangkara 1 1 ekor Apache

3 Jalur Pengamatan Burung 3 1 ekor Inca

4 Sendangbiru-Parangireng 2-Pancur 2 9 2 ekor Squaw & Winnetou

5 Plengkung 0 - -

Jumlah 41 6 individu berbeda

* Nama individu Panthera pardus melas diberikan untuk mempermudah pengidentifikasian. Pengidentifikasian sederhana didasarkan pada perbedaan ukuran jejak kaki. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan nilai Indeks Dispersi (ID) dan uji statistik chi-square. Hasil perhitungan yang menunjukkan bahwa x2

hitung

(74,268) memiliki nilai lebih besar daripada x2

0,025 (44,461) mengindikasikan bahwa

macan tutul jawa di TNAP memiliki pola sebaran spasial mengelompok (dependent). Sebaran frekuensi binominal negatif ini dimungkinkan karena terkait dengan faktor internal macan tutul jawa maupun faktor eksternal lingkungan TNAP.

(40)

27

A. Faktor Internal

Salah satu faktor yang dominan dalam pola sebaran spasial macan tutul jawa adalah sifat biologis dan perilaku satwa (animal behaviour) dari individu macan tutul jawa. Sifat biologis yang di dalamnya termasuk postur dan komposisi fisik dan kimia tubuh, proses metabolisme, ekspresi, kepekaan, reproduksi, dan adaptasi akan menentukan tingkat kemampuan macan tutul jawa dalam persaingan dan usaha mempertahan kelestarian jenisnya. Perilaku macan tutul jawa dipengaruhi oleh rangsangan dari dalam dan rangsang dari luar Sedangkan respon yang akan diberikan tergantung pada derajat rangsangan minimum yang dimiliki oleh individu macan tutul jawa. Hal ini akan tercermin dari aktivitas yang dilakukannya.

Kegiatan penelitian macan tutul jawa dilakukan di lima tipe ekosistem berbeda, yaitu: mangrove, hutan pantai, padang penggembalaan, hutan tanaman, dan hutan dataran rendah. Selama kegiatan pengamatan dijumpai delapan aktivitas macan tutul jawa, yaitu: berjalan, berburu, makan, membuang kotoran, mencakar di tanah, mencakar di pohon, mengasuh anak, dan bersuara.

Tabel 17. Jenis aktivitas macan tutul jawa di lima tipe ekosistem

No Tipe Vegetasi A B C D E F G H Jenis Aktivitas Yang Ditemui Jumlah

A. Mangrove 1 1 Cungur 0 0 0 0 0 0 0 0 2 Bedul 1 0 0 0 0 0 0 0 3 Buyukan 0 0 0 0 0 0 0 0 B. Hutan Pantai 14 1 Brobos 3 0 0 0 0 1 0 0 2 Batulawang-Tapakdoyong 3 0 0 0 0 0 0 0 3 Parangireng 1-Pancur 1 1 0 0 1 0 0 0 0 4 Trianggulasi-Sungklonombo 3 1 0 0 0 0 1 0 C. Savana 0

1 Padang Penggembalaan Sadengan 0 0 0 0 0 0 0 0

D. Hutan Tanaman 12 1 Rowobendo 1 1 0 0 1 0 0 0 0 2 Rowobendo 2 0 0 0 2 2 0 0 0 3 Ngagelan 1 1 1 0 2 1 0 0 0 4 Ngagelan 2 0 0 0 0 1 0 0 0

E. Hutan Dataran Rendah

14

1 Motolele 0 0 0 0 0 0 0 1

2 Istana-Mayangkara 0 0 0 0 0 0 0 1

3 Jalur Pengamatan Burung 0 0 0 1 1 0 0 1 4 Sendangbiru-Parangireng2-Pancur2 2 0 1 6 0 0 0 0 5 Plengkung 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 15 2 1 13 5 1 1 3 41 *)Keterangan: A. Berjalan B. Berburu C. Makan D. Membuang kotoran E. Mencakar di tanah F. Mencakar di pohon G. Mengasuh H. Bersuara

(41)

Gambar 3. Zona kontak dengan macan tutul jawa

A.1. Berjalan

Aktivitas berjalan dari macan tutul jawa diketahui dari pengamatan langsung maupun pengamatan tidak langsung. Pengamatan langsung adalah perjumpaan secara langsung dengan individu macan tutul jawa, sedangkan pengamatan tidak langsung yang menunjukkan aktivitas berjalan adalah jalur jejak kaki. Jejak kaki yang ditinggalkan dapat menunjukkan kegiatan berjalan, berlari, maupun berdiri diam. Jejak kaki yang ditemukan pada beberapa tempat menunjukkan track normal. Track ini terdiri dari komposisi jejak kaki yang tersusun berderet dengan jarak langkah biasa. Track dengan model seperti ini menunjukkan bukti adanya salah satu aktivitas berpindah tempat yaitu berjalan.

Gambar 4. Track macan tutul jawa: a. Track di pasir, b. Sketsa track

133cm 29cm 20cm 25cm 12cm 21cm 14cm 12cm K IRI KANAN a b Bedul Ngagelan Rowobendo, Sadengan, Triangulasi Pancur Plengkung Brobos Cungur 1 jejak kaki 1 berjalan, 1 berburu, 2 feces, 2 scrape 3 jejak kaki, 1 bangkai rusa, 5 feces, 3 scrape, 1 mengasuh, 1 bersuara 5 jejak kaki, 1 berjalan, 1 tulang mangsa, 7 feces, 2 bersuara

(42)

29

Knight (1968) menyatakan bahwa seluruh jejak memiliki cerita dan informasi. Bentuk dan formasinya akan memberikan gambaran tentang aktivitas yang dilakukan oleh satwaliar serta proses yang terjadi bersamaan dengan hal itu. Analisis menggunakan jejak kaki juga digunakan oleh Strien (1983). Menurutnya, footprint (satu cetakan kaki satwa yang terekam oleh substrat) dan tracks (sejumlah tatanan jejak kaki satwa) merupakan hal yang sangat penting. Menjadi demikian karena untuk beberapa spesies termasuk macan tutul jawa, jejaknya lebih mudah dijumpai dibandingkan dengan individunya sendiri. Dalam penelitian ini, bentuk dan ukuran jejak kaki digunakan untuk membedakan antara spesies macan tutul jawa dan spesies lain, serta individu macan tutul jawa yang satu dengan individu macan tutul jawa yang lain.

Gambar 5. Identifikasi jejak kaki macan tutul jawa

Salah satu kendala untuk mendapatkan data mengenai jejak kaki adalah kondisi tanah yang seringkali terutup rapat oleh serasah, ekstrimnya kandungan air, dan media pasir yang labil. Beberapa penampilan kondisi lingkungan dan penutupan lantai hutan di TNAP dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Kondisi substrat sebagai media perekam jejak kaki macan tutul jawa a. Substrat berbatu b. Substrat berserasah, c. Substrat pasir kering, d. Substrat lumpur, e. Substrat tanah keras, f. Substrat pasir basah.

jari metakarpal b a d c f e

(43)

pantai, dan hutan dataran rendah seringkali menjadi kendala dalam proses pencarian jejak kaki macan tutul jawa. Keberadaan serasah baik yang basah maupun yang kering akan menghalangi pencetakan telapak kaki macan tutul jawa di tanah sehingga tidak ada sama sekali jejak kaki yang terekam di tanah. Kalaupun ada maka jejak kaki tersebut tidak akan sempurna sehingga akan menyulitkan dalam hal pengambilan data.

Ekstrimnya kandungan air dapat berupa keadaan tanah yang telalu kering ataupun terlalu basah. Penelitian dilaksanakan bertepatan dengan pergantian musim di TNAP. Meskipun demikian sudah ditemui beberapa tempat dengan tanah yang keras, kering, dan berdebu. Tanah seperti ini tidak akan bisa merekam jejak kaki macan tutul jawa. Kalaupun ada, maka angin dan debu yang ada akan merubah kondisi jejak kaki macan tutul jawa. Demikian pula dengan lumpur atau tanah yang ekstrim basah di daerah mangrove yang akan mengalami kesulitan dalam proses perekaman jejak kaki karena kandungan air yang terlalu tinggi sehingga jejak kaki akan segera tertutup oleh tanah atau lumpur yang cenderung untuk kembali ke posisi semula.

Media pasir di dekat garis pantai sangat bagus dalam merekam jejak kaki macan tutul jawa. Kondisinya yang lembut serta minim dari kotoran akan membuat cetakan jejak kaki terlihat jelas. Demikian pula dengan cetakan gips yang dibuat akan lebih mudah diangkat, rapi, dan bersih. Kegiatan pengukuran jejak juga akan lebih tepat. Sedangkan kendala yang ada pada substrat jenis ini bersumber dari gejala pasang surut air laut. Kondisi pasir seperti diatas hanya dapat dijumpai di bibir pantai. Dengan demikian peluang penemuan jejak kaki macan tutul jawa di daerah seperti ini sangat erat hubungannya dengan waktu dan ketinggian pasang surut air laut. Ketepatan waktu untuk menemukan jejak kaki macan tutul jawa akan sangat penting karena apabila terlambat sedikit, maka jejak kaki macan tutul jawa akan terhapus oleh ombak.

Media pasir yang agak jauh dari garis pantai akan memiliki karakter kering dan sangat labil. Meskipun jejak kaki dapat terekam, jejak kaki ini tidak akan bertahan lama karena pasir kering akan mudah runtuh dan sensitif sekali terhadap tiupan angin di pantai yang biasanya cukup kencang. Perubahan bentuk dan susunan pasir yang merekam jejak kaki macan tutul akan menyebabkan pengukuran menjadi tidak valid.

Secara umum, kesulitan yang timbul akibat kondisi substrat adalah sulitnya pengambilan keterangan dalam pembedaan bentuk metakarpal, struktur posisi jari, klarifikasi keberadaan kuku, pengukuran, pengambilan foto, serta pembuatan cetakan jejak menggunakan bubuk gips. Data-data ini dibutuhkan dalam analisis yang digunakan

(44)

31

untuk membedakan jejak macan tutul jawa dengan satwa lain seperti kucing hutan, dan ajag yang juga ada di TNAP.

Tabel 18. Pengaruh jenis media terhadap kondisi jejak kaki dan cetakan gips

No. Jenis Media Jejak Kaki Cetakan Gips Kondisi

1. Pasir basah Bagus

2. Pasir kering - Buruk

3. Tanah ekstrim

basah Buruk

4. Tanah ekstrim

kering Tidak tercetak Tidak tercetak -

5. Tanah sedang Sedang

A.2. Berburu

Aktivitas berburu diperoleh dari data perjumpaan tidak langsung, yaitu berupa bangkai utuh rusa betina yang masih ditemukan di Trianggulasi. Sedangkan data berupa perjumpaan langsung ditemukan di jalur Ngagelan Pal 27. Satwa yang menjadi mangsa macan tutul jawa diantaranya adalah kijang, rusa, lutung, dan monyet ekor panjang. Menurut Grzimek (1975), macan tutul jawa berburu pada senja hari setelah matahari terbenam dan keadaan sepi. Hal ini berbeda dengan keadaan yang ditemukan pada saat penelitian. Macan tutul jawa sempat terlihat sedang mengintai kijang pada pagi hari. Pada saat itu gerimis baru saja reda namun sudah ada sinar matahari. Keadaan ini sesuai dengan Hoogerwerf (1970) yang menyatakan dalam beberapa kasus di Jawa, macan tutul

Gambar

Gambar 1.  Penampilan visual macan tutul
Tabel 2. Penampilan fisik, medula dan sisik macan tutul jawa
Gambar 2. Peta lokasi penelitian macan tutul jawa
Tabel 4.a. Jenis vegetasi tingkat semai di hutan pantai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil simulasi perhitungan persen refleksi cahaya oleh permukaan sel surya silikon yang diberi lapisan anti refleksi ZnO dapat disimpulkan bahwa persen refleksi

Identifikasi Senyawa Fitokimia Calcium Channel Blocker dengan Molecular Docking sebagai Pengembangan Terapi Hipertensi pada Kehamilan.. Fakultas Kedokteran,

Tingkat akurasi perbandingan Wavelet Daubechies dan MFCC antara data asli dan data dengan penambahan noise 30dB, 20dB, dan 10dB dapat dilihat pada Gambar 29. Gambar

Dari analisa didapat hasil, untuk analisa kestabilan forklift saat mengangkat beban CG combined berada pada titik 1220 mm dari axle roda belakang antara roda depan dan

ALGA JAYA RAYA, PT JL PANGKALAN KEDUNG HALANG DSKEDUNG HALANG SPRING MATTRESS DAN UNDER

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi yang berjudul

Sesuai dengan permasalahan yang telah diajukan diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui “Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams

kelas VIII A sebagai subyek penerima tindakan dan guru matematika sebagai subyek pemberi tindakan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi,