• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM-PROGRAM. I. Pelatihan Kewarganegaraan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROGRAM-PROGRAM. I. Pelatihan Kewarganegaraan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

CE Indonesia adalah yayasan non-profit yang bergerak dalam bidang pendidikan kewarganegaraan. Yayasan ini bertujuan untuk mendorong berkembangnya kehidupan berwarga negara yang

berwawasan, memiliki rasa turut berpartisipasi yang bertanggung jawab, yang dilakukan oleh tiap-tiap warganegara. Pada tahun 2002 CCEI berdiri sebagai kantor perwakilan dari Center for Civic Education (CCE) Calabasas, Amerika Serikat. Kemudian pada bulan Desember 2007, CCEI berubah menjadi yayasan yang bernama Yayasan Pusat Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia (YPPKI) atau Center for Civic Education Indonesia (CCEI).

Hingga saat ini, CCEI telah mengadakan program pelatihan, program pertukaran, dan program-program pendidikan lainnya. Lebih dari 5000 guru dan pendidik telah mengikuti program-program-program-program pelatihan bidang Kewarganegaraan yang diadakan CCEI. CCEI juga telah memiliki lebih dari 250 alumni program-program pertukaran yang telah dilaksakan sejak tahun 2002.

PROGRAM-PROGRAM

I. Pelatihan Kewarganegaraan

1. Kami Bangsa Indonesia (KBI)

Model pembelajaran kewarga-negaraan dalam pelatihan Kami Bangsa Indonesia atau dalam dunia internasional disebut Project Citizen sangat sederhana dan terbukti telah berhasil di banyak provinsi di Indonesia. CCEI yang berkedudukan di Jakarta dibantu oleh tim trainer di berbagai propinsi.

Guru PKn mendapatkan pelatihan secara intensif selama tiga hari untuk mempelajari model pembelajaran yang berusaha menyelesaikan masalah di masyarakat. Metode pembelajaran dalam program ini terpusat pada siswa; guru berperan sebagai pembimbing atau pengarah dan siswa memegang peran yang lebih aktif. Dalam program ini para siswa terlibat dalam proses pembuatan kebijakan public, mengidentifikasi masalah kebijakan publik yang berpengaruh terhadap diri mereka dan masyarakat, kemudian bekerja secara bertahap dan berkelompok agar dapat mengusulkan kebijakan publik baru.

2. Dasar-Dasar Demokrasi

Dasar–Dasar Demokrasi adalah suatu strategi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yang inovatif untuk siswa-siswa Sekolah Dasar dengan menge-tengahkan konsep-konsep dasar mengenai hubungan siswa dan keluarganya dengan pemerin-tah. Dalam Dasar-Dasar Demokrasi, CCEI menggunakan tiga metode: Wewenang, Tanggung Jawab dan Keadilan, yang sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Wewenang, Tanggung Jawab dan Keadilan adalah materi-materi pembelajaran yang menyenangkan untuk anak-anak dimana mereka diajak untuk ikutserta aktif dalam pembelajaran.

3. Delegasi Indonesia dalam International Project Citizen Showcase

Lebih dari 250 siswa dari 31 negara berkumpul di ibukota Amerika Serikat pada tanggal 15 – 17 Juli 2007 untuk mempresentasikan proyek dari negara mereka masing-masing dalam ajang

Internasional Project Citizen Showcase (IPCS) (KBI di dunia internasional disebut Project Citizen). Acara ini merupakan kegiatan internasional pertama yang diadakan untuk merayakan suksesnya penerapan program Project Citizen di banyak negara di dunia. Delegasi Indonesia diwakili oleh delapan orang siswa terbaik dan seorang guru PKn dari SMP Muhammadiyah 7 Yogyakarta. Setelah sukses menampilkan proyek mereka, delegasi Indonesia meraih “Superior Achievement Award”.

(2)

II. Program Pertukaran

1. Indonesia Youth Leadership Program (IYLP)

Progam IYLP memberi kesempatan siswa dari berbagai penjuru Indonesia untuk melakukan kunjungan sebulan di Amerika, bertemu dengan orang-orang Amerika, berbagi kebudayaan Indonesia, dan belajar kepemimpinan, serta Pendidikan Kewarganegaraan. Siswa-siswi terpilih mewakili keanekaragaman latar belakang etnis, suku, dan agama di Indonesia. Program ini

bertujuan untuk meningkatkan pengertian dan persahabatn antar Indonesia dan Amerika. Program ini diselenggarakan bekerjasama dengan Legacy International sejak 2004 dan disponsori oleh Biro Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Amerika serta Kedutaan Besar Amerika di Jakarta. Program ini masih berjalan hingga saat ini.

2. Linking Individuals, Knowledge and Cultures (LINC)

LINC adalah sebuah program pertukaran, yang disponsori oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Biro Pendidikan dan Kebudayaan. Para remaja Indonesia dan Amerika dapat bertemu dan belajar lebih banyak satu sama lain mengenai bangsa dan kebudayaan. LINC mengupayakan saling pengertian antara masyarakat Indonesia dan Amerika Serikat. Program-program kegiatan para siswa Indonesia dan Amerika dibuat untuk memperkenalkan prinsip-prinsip masyarakat madani dan kepemimpinan bagi remaja yang mereka terapkan di kedua Negara. Dalam program ini CCEI bekerjasama dengan Legacy International.

3. Religion and Society: A Dialogue (RSD)

RSD adalah sebuah program yang dijalankan selama dua tahun, yaitu program pertukaran antara cendikiawan muslim, alim ulama, dan tokoh masyarakat di Indonesia dan Amerika. Empat belas orang dari Indonesia dan enam orang dari Amerika akan berpergian setiap tahunnya, mengunjungi beberapa wilayah yang berbeda-beda di kedua negara, yang akan dipandu oleh universitas bergengsi dari masing-masing negara tersebut. Pertukaran ini mengundang partisipasi dari para profesional untuk lebih mendalami topik yang diberikan mengenai negara masing-masing; menciptakan suatu dialog tentang pendidikan dan praktek keagamaan di kedua negara; mengkaji kesesuaian antara ajaran agama dengan nilai-nilai demokrasi sosial dan politik.

4. Community Leader Program (CLP)

Heartland International bekerjasama dengan Center for Civic Education Indonesia (CCEI)

mengadakan program pelatihan pendidikan bernamaCommunity Leaders Program (CLP) selama tiga minggu yang berfokus pada usaha untuk memperkokoh Pendidikan Tingkat Menengah Swasta dan Negeri di Indonesia. Program yang didanai oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat ini melengkapi program-program serupa untuk memperbaiki kualitas belajar mengajar di sekolah menengah

pertama dan atas, serta mengikutsertakan masyarakat secara lebih luas.

III. Program Camp

1. Youth Theater Camp

Youth Theater Camp 2009 “Menciptakan Toleransi dan Dialog melalui Seni Teater Interaktif di Daerah Timur Indonesia” telah sukses diselenggarakan tanggal 22 Juni – 23 Juli 2009 di Batu, Malang, Jawa Timur. Program ini telah sukses menyatukan 100 orang remaja dari Program ini telah sukses membawa anak-anak dari Pasuruan, Poso, Ambon dan Lombok untuk mempelajari teater

(3)

sebagai sarana untuk membangun sikap toleransi dan dialog. Peserta berasal dari daerah-daerah konflik yang sebagian besar adalah korban-korban konflik. Selama kegiatan kamp 14 hari, mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menggunakan metode teater untuk menciptakan toleransi dan dialog. Mereka belajar untuk menempatkan diri mereka dalam posisi orang lain di dalam suatu konflik, untuk menemukan penyebab-penyebab konflik, untuk mencari solusi terbaik.

2. English Camp

CCE Indonesia mengadakan sebuah camp yang fokus pada pendidikan Bahasa Inggris dan Kepemimpinan untuk 42 orang siswa berasal dari daerah-daerah yang tersebar di kepulauan Indonesia. Acara ini diselenggarakan tanggal 11-18 September 2007, disponsori oleh Kedutaan Amerika di Jakarta.

Salah satu tujuan English Camp adalah mengumpulkan siswa-siswa yang berasal dari berbagai daerah yang mencerminkan keberagaman etnis, agama, budaya dan bahasa di Indonesia. Daerah-daerah tersebut adalah: Aceh, Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Dalam program ini, siswa-siswa tidak akan hanya duduk diam. Mereka terlibat dalam kegiatan yang interaktif dan mendorong mereka untuk berbahasa Inggris secara aktif.

Berakhirnya Perang Dunia Kedua berpengaruh besar terhadap perjalanan bangsa dan negara Jepang, terlebih pada aspek pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas yang diperlukan bagi pembangunan kembali Jepang yang porak poranda akibat perang. Perhatian besar Jepang terutama difokuskan pada aspek pendidikan. Periode setelah kekalahan jepang dalam perang, menjadi titik balik yang sangat penting bagi pendidikan di Jepang.

Pendidikan kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminologi social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan warga negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Dalam tulisan ini, kajian pendidikan kewarganegaraan di Jepang akan memfokuskan diri kepada kajian

tentang konteks kelahiran, landasan pengembangan, kerangka sistemik, dan kurikulum dan bahan ajar pendidikan kewarganegaraan di Jepang.

Konteks Kelahiran

Konteks kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat ditelusuri, terutama setelah Perang Dunia kedua (1945). Pada masa itu, perhatian pemerintah Jepang terhadap pendidikan mulai

menunjukkan peningkatan. Pendidikan menjadi pusat perhatian pemerintah sebagaimana direncanakan sejak periode Meiji (abad ke-19) (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Periode setelah kekalahan Jepang ini, merupakan titik balik yang sangat penting bagi

pendidikan di Jepang. Pendidikan Jepang mengubah orientasinya dari yang bersifat militer ke arah pendekatan yang lebih demokratis. Demikian pula perubahan dirasakan dalam Pendidikan

(4)

warganegara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu sosial yang terkait dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang, ke arah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warganegara (Ikeno, 2005:93). Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia II dapat digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93) sebagai berikut: “Pertama, periode tahun 1947-1955, berorientasi pada

pengalaman. Kedua, periode tahun 1955-1985, berorientasi pada pengetahuan, dan ketiga, periode tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”.

Periode pertama, Pendidikan Kewarganegaraan sebagian besar diterapkan secara integratif ke dalam studi sosial. Studi sosial mengadopsi metoda-metoda pemecahan masalah, seperti penelitian dan diskusi, dan mengajarkan kehidupan sosial dan masyarakat secara umum. Di dalam kelas, para guru dan anak-anak mempertimbangkan permasalahan kehidupan sosial dan masyarakat melalui

pengalaman sosial yang diperoleh dengan pemecahan masalah. Mereka belajar tentang “masyarakat mereka sendiri” dan mengembangkan “sikap dan keterampilan-keterampilan untuk berpartisipasi secara positif untuk membangun masyarakat yang demokratis”.

Pelaksanaan pembelajaran studi sosial pada periode ini adalah melalui “yubin-gokko (playing the post)” dan “yamabiko-gakko (echo school)”. Dalam praktek ini, guru mengorganisir suatu struktur yang berhubungan dengan kegiatan pos sebagai satu aktivitas untuk anak-anak. Di yamabiko-gakko, guru mengorganisir aktivitas penyelidikan sehingga anak-anak bisa membuat pertanyaan-pertanyaan melalui komposisi dan jawaban bebas mereka.

Dalam situasi demikian, anak-anak itu melaksanakan aktivitas, sementara para guru tidak mengambil peran yang besar untuk memimpin dalam proses pembelajaran tersebut. Banyak orang mengkritik praktek pembelajaran ini, mereka berpendapat bahwa dalam praktek pembelajaran tersebut, anak-anak hanya memperoleh pengetahuan biasa yang dipelajari tanpa sengaja, dan mereka menuntut para guru studi sosial untuk mengajar ilmu sosial secara sistematis.

Pada periode yang kedua, Pendidikan Kewarganegaraan didasarkan atas prinsip intelektualisme yang berkembang dalam disiplin akademis. Kementerian Pendidikan Jepang memisahkan Pendidikan Moral (dotoku) dari studi sosial. Studi sosial dipecah menjadi Geografi, Sejarah, dan

politik/ekonomy/kemasyarakatan.

Masing-masing disipilin di atas terdiri atas seperangkat pengetahuan dan keterampilan. Hal tersebut dipersiapkan agar para siswa memiliki pengetahuan inti tentang budaya Jepang secara umum. Pendidikan Kewarganegaraan periode kedua ini diarahkan agar para siswa memperoleh pengetahuan yang dianggap penting bagi bangsa Jepang.

Sasaran pengajaran Pendidikan Kewarganegara pada periode kedua ini terdiri atas empat unsur (Ikeno, 2005:94), yaitu untuk mengembangkan:

1. pengetahuan dan pemahaman 2. keterampilan berpikir dan ketetapan 3. keterampilan dan kemampuan, dan

(5)

4. kemauan, minat, dan sikap warganegara

Pada periode ketiga, Pendidikan Jepang ditekankan pada pengembangan prinsip hubungan timbal balik. Dalam hal ini, pendidikan sekolah difokuskan untuk mengembangkan “kemampuan yang diperlukan dalam kehidupan siswa”, dalam arti siswa mampu menemukan suatu masalah sendiri, belajar tentang permasalahan itu, memikirkannya, menilai dengan bebas, menggunakan metode yang tepat, memecahkan masalah secara tepat, kreatif, dan memperdalam pemahamannya tentang hidup. Sasaran ini dicapai melalui integrasi dari setiap disiplin ilmu. Karena itu, periode ini disebut sebagai “periode studi yang terintegrasi”.

Pendidikan Kewarganegaraan dalam periode ketiga bertujuan mempersiapkan setiap individu untuk dapat terlibat dalam secara aktif dalam masyarakat, dan menggunakan budaya umum dalam setiap hal. Penekanan Pendidikan Kewarganegaraan telah diubah dari mengutamakan pengetahuan umum tentang bangsa Jepang kepada kemampuan itu untuk membangun masyarakat. Pada periode ketiga ini, pendidikan Kewarganegaraan Jepang sebagian besar diterapkan sebagai “kewarganegaraan (civics)” dalam sekolah tingkat atas, dan sebagai “studi sosial” dalam sekolah tingkat menengah (Otsu, 1998:51).

Landasan Pengembangan

Landasan Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepangtidak dapat dilepaskan dari konsep warganegara (komin, citizen) dan kewarganegaraan (citizenship). Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana konsep-konsep tersebut dikonstruksi. Untuk menjelaskan hubungan

antara citizen dan citizenship di Jepang, Otsu (1998:53) mengemukakan sebagai berikut: “Related to the definition of ‘citizen’, ‘citizenship’ has a much wider meaning and can be used differently in different contexts”. Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa definisi

antara citizen dan citizenship dapat memiliki arti yang luas dan dapat digunakan dalam cara dan dalam konteks yang berbeda.

Lebih lanjut Otsu (1998:53) mengemukakan bahwa pada saat “studi sosial (social studies)” dimulai sebagai mata pelajaran inti pada tahun 1948, Kementerian Pendididikan menjelaskan bahwa „studi sosial tidak hanya membantu penduduk mengikuti kebijakan pemerintah, tetapi setiap penduduk secara intens belajar tentang masyarakat mereka dan untuk mengembangkan sikap dan keterampilan mereka untuk berpartisipasi secara positif dalam masyarakat mereka untuk membangun masyarakat yang demokratis.

Pada saat “kewarganegaraan (civics)” disiapkan sebagai suatu mata pelajaran pada sekolah menengah pada tahun 1970, Kementerian Pendidikan menggambarkan tujuan inti Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:

(6)

1. to develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of

sovereignty (Untuk mengembangkan kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah negara dan prinsip kedaulatan)

2. to develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can contribute to the work of the community and the state (Untuk mengembangkan suatu konsep tentang masyarakat lokal dan negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi dalam satu pekerjaan di masyarakat dan negara)

3. to appreciate rights and responsibilities and duties of the individual in the community and wider society (Untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas)

4. to develop an ability to act positively in relation to rights and duties (untuk mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban)

Kerangka Sistemik

Kerangka sistemik yang dimaksud adalah “istilah teknis yang digunakan, pendekatan yang dikembangkan, dan jumlah jam perminggu, baik untuk pendidikan dasar maupun pendidikan

menengah” (Kerr, 1999; Winataputra, 2007). Pada tabel berikut ini disajikan pengorganisasian Civic Education di Jepang pada pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas.

Tabel 1. Organisation of Citizenship Education in Primary Phase

Country Terminology Approach

Hours per week Japan Social studies, living experiences and moral education Statutory core separate and integrated 175 x 45 minutes per year Kerr, (1999:18)

Tabel di atas dapat menggambarkan kerangka sistemik pendidikan kewarganegaraan pada tingkat pendidikan dasar. Terminologi yang digunakan untuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah “Social studies, living experiences and moral education”. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah 175 x 45 menit per tahun.

Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas dapat dilihat dalam tabel berikut:

(7)

Untuk sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas, bahan kajian atau mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan digunakan istilah “Social studies, living experiences and moral education”. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau secara berdiri sendiri. Beban belajar perminggu adalah: tingkat lanjutan pertama: 175 x 45 menit per tahun untuk tingkat 7 dan 8, dan 140 x 50 menit per tahun untuk tingkat 9. Sedangkan untuk tingkat atas adalah 140 x 50 menit per tahun.

Kurikulum dan Bahan Belajar

Dalam uraian Otsu (1998:) Pendidikan Kewarganegaraan dalam sekolah dasar diimplementasikan sebagai “life and environmental studies” pada tingkat 1-2, dan “social studies” pada tingkat 3-6 untuk tiga jam pelajaran (1 jam pelajaran = 45 menit) per minggu. Di sekolah menengah, studi sosial terdiri atas tiga mata pelajaran, Geografi (4 jam per minggu pada tingkat 1 dan 2, 1 jam = 50

menit), Sejarah (dengan proporsi yang sama dengan geografi), dan Kewarganegaraan (2-3 jam per minggu pada tingkat 3).

(8)

Isi (kurikulum) Kewarganegaraan pada sekolah menengah terdiri atas: 1. contemporary social life (Kehidupan sosial kontemporer)

2. Improvement of national life and economy (Perbaikan kehidupan nasional dan ekonomi)

3. democratic government and international community (Pemerintahan demokratis dan masyarakat internasional)

(Otsu, 1998:54)

Pada sekolah menengah, para siswa belajar Kewarganegaraan pada tahun terakhir, pelajaran Kewarganegaraan tingkat tiga cenderung diarahkan sebagai pusat pengetahuan dan ditekankan terhadap hapalan (memorization), karena banyak siswa dan guru berkonsentrasi untuk ujian masuk ke tingkat sekolah menengah atas.

Kurikulum sekolah menengah atas terdiri atas bidang mata pelajaran dan sub mata pelajaran yang spesifik. Para siswa diharuskan mengambil empat kredit dari mata pelajaran Kewarganegaraan yang terdiri atas: masyarakat kontemporer (4 jam, 1 jam = 50 menit), etika (2 jam), dan politik/ekonomi (2 jam).

Isi dari kajian tentang masyarakat kontemporer adalah sebagai berikut:

1. the individual and culture in contemporary society (individu dan budaya dalam masyarakat kontemporer)

2. environment and human life (lingkungan dan kehidupan manusia)

3. contemporary politics and economy and the individual (politik dan ekonomi kontemporer dan individual)

4. international community and global issues (organisasi internasional dan isu-isu global) (Otsu, 1998:54)

Dalam kajian tentang masyarakat kontemporer, berbagai inovasi pembelajaran telah dihasilkan. Untuk mengembangkan keterampilan dan sikap pembelajar seperti pengetahuan, beberapa guru menciptakan inovasi pembelajaran dengan mengambil isu-isu kontemporer dengan menggunakan pendekatan yang komprehensif dan aktifitas yang bervariasi, seperti diskusi, games dan simulasi. Meskipun studi sosial dalam sekolah menengah atas dicitrakan sebagai pelajaran hapalan dalam waktu yang lama, namun studi tentang masyarakat kontemporer telah mengubah citra (image) studi sosial sampai taraf tertentu. Pembelajaran kreatif pada masyarakat kontemporer dipublikasikan dan memiliki pengaruh yang mendukung guru-guru lintas bangsa.

Kajian tentang etika dan politik/ekonomi merupakan kajian penting untuk Pendidikan

Kewarganegaraan. Tetapi mata pelajaran ini cenderung berfokus pada pengajaran tentang struktur dan metode setiap disiplin ilmu-ilmu sosial.

Sejak kajian masyarakat kontemporer diubah dari pelajaran wajib menjadi satu pilihan, Pendidikan Kewarganegaraan secara umum telah mengakhiri kehilangan statusnya. Hal ini berarti, pada saat yang sama Pendidikan Kewaranegaraan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas

(9)

menjadi hal penting bagi setiap siswa yang akan menjadi pemilih dan bekerja dalam masyarakat segera setelah kelulusan mereka.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi peserta yang sudah memiliki nilai TOEFL (minimal ITP TOEFL) ≥ 500 (lima ratus) dan tanggal tesnya setelah/sama dengan 30 Januari 2014 dapat memasukan (input) nilai tersebut

• Peramalan (forecasting) adalah aktivitas yang kompleks karena faktor- faktor seperti inovasi teknologi, perubahan budaya, produk baru, jasa yang telah diperbaharui, pesaing

Upaya pengembangan bahan bakar alternatif sebagai pengganti BBG yang tak terbarukan menjadi tuntutan yang semakin menguat, di mana pertimbangan untuk menjadikan bahan

Dari diagram Alur di atas, terlihat bahwa dana untuk membantu kaum dhuafa merupakan bantuan dari donatur, para donatur sangat berperan dalam hal pendanaan bagi kaum

Perbedaan pokok dari kedua proses produksi tersebut adalah berdasarkan pada panjang tidaknya waktu persiapan untuk mengatur (set up) peralatan produksi yang

1) Interaksi (obat dengan obat atau obat dengan makanan): Interaksi aktual dan interaksi potensial. 2) Ketidaktepatan Pemilihan Obat: tidak tepat pemilihan obat sesuai drug

Rencana Induk Bandar Udara sebagai salah satu persyaratan didalam sertifikasi operasi bandar udara, merupakan dasar dari rencana pengembangan bandar udara untuk 20 tahun

Kerusakan candi berbahan batu yang sering dijumpai adalah struktur yang miring, melesak atau pecah. Sedangkan kondisi materialnya pada umumnya masih baik, hanya